Anda di halaman 1dari 79

REFARAT

“Kelainan Refraksi”

Pembimbing:

dr. H. SYAFRIDON, Sp.M

Falhan Muhamad Fazdin (20360183)


Muhammad Dirgantara Hr (20360199)
Cindy Tiara (20360176)
Regi Mohammad Rochmat (20360213)

SMF MATA

RSUD LUBUK PAKAM DELI SERDANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNMAL

2021
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia, rahmat kesehatan,
keselamatan dan kemampuan kepada penulis sehingga penyusunan refarat yang berjudul
“Kelainan Refraksi” ini dapat diselesaikan tepat waktu.

Refarat ini disusun untuk memenuhi syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan
kepaniteraan klinik SMF Mata RSUD Lubuk Pakam Deli Serdang dalam kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. dr. H. Syafridon, Sp.M selaku dokter pembimbing yang bersedia meluangkan waktu
untuk menyempurnakan penyusunan refarat ini..
2. Orang tua, para staf perawat di RSUD Lubuk Pakam Deli Serdang dan teman-teman
yang telah mendukung dalam penulisan refarat ini.

Segala daya upaya telah di optimalkan untuk menghasilkan refarat yang baik dan
bermanfaat, dan terbatas sepenuhnya pada kemampuan dan wawasan berpikir penulis. Pada
akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca agar dapat menghasilkan tulisan yang
lebih baik di kemudian hari.

Akhir kata penulis mengharapkan refarat ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca, khususnya bagi para dokter muda yang memerlukan panduan dalam menjalani
aplikasi ilmu.

Lubuk Pakam, 10 Februari 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman Judul..........................................................................................................
Kata Pengantar......................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang Masalah....................................................................... 1
1.2. Tujuan Penulisan................................................................................... 1
1.3. Manfaat Penulisan................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 2


2.1. Anatomi dan Fisiologi Media Refraksi Mata........................................ 2
2.2. Hipermetropia....................................................................................... 4
2.3. Miopia................................................................................................... 12
2.4. Astigmatisma........................................................................................ 23
2.5. Presbiopia.............................................................................................. 33
2.6. Anisometropia Dewasa......................................................................... 39
2.7. Anisometriopia Anak............................................................................ 41
2.8. Ambliopia............................................................................................. 46
2.9. Buta Senja............................................................................................. 61
2.10. Skotoma................................................................................................ 67

BAB III KESIMPULAN.......................................................................................... 70


DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Penyakit mata sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di dunia, terutama
yang menyebabkan kebutaan. Kelainan refraksi (0,14%) merupakan penyebab utama
kebutaan ketiga setelah katarak (0,78%) dan glaukoma (0,20%). Dari 153 juta orang di
dunia yang mengalami kelainan refraksi, delapan juta orang diantaranya mengalami
kebutaan.
Kelainan refraksi adalah keadaan bayangan tegas tidak dibentuk pada retina, dimana
terjadi ketidakseimbangan sistem penglihatan pada mata sehingga menghasilkan
bayangan yang kabur. Sinar tidak dibiaskan tepat pada retina, tetapi dapat di depan atau
di belakang retina dan/ atau tidak terletak pada satu titik fokus. Kelainan refraksi dapat
diakibatkan terjadinya kelainan kelengkungan kornea dan lensa, perubahan indeks bias,
dan kelainan panjang sumbu bola mata.
Kelainan refraksi dapat dengan mudah dideteksi, diobati dan dievaluasi dengan
pemberian kaca mata. Namun demikian kelainan refraksi menjadi masalah serius jika
tidak cepat ditanggulangi. Oleh karena itu setiap pasien wajib dilakukan pemeriksaan
visus sebagai bagian dari pemeriksaan fisik mata umum. Pemeriksaan visus merupakan
pengukuran obyek terkecil yang dapat diidentifikasi terhadap seseorang dalam jarak
yang ditetapkan dari mata. Pemeriksaan visus jarak jauh juga harus dilakukan terhadap
semua anak-anak sesegera mungkin setelah usia 3 tahun, karena penting untuk deteksi
dini terhadap ambylopia.

1.2. Tujuan Penulisan


Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai kelainan refraksi serta untuk
melengkapi tugas kepaniteraan klinik senior (KKS) di Departemen Ilmu Kesehatan Mata
Rumah Sakit Umum Daerah Lubuk Pakam Deli Serdang.

1.3. Manfaat Penulisan


Manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai penambah wawasan mengenai
kelainanan refraksi

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatami dan Fisiologi Media Refraksi Mata

Gambar : Anatomi bola mata

Bola mata bentuknya merupai kistik yang dipertahankan oleh adanya tekanan
didalamnya. Walaupun secara umum bola mata dikatakan bentuknya bulat atau globe
namun bentuknya tidak bulat sempurna. Orbita adalah tulang-tulang rongga mata
yang didalamnya terdapat bola mata, otot-otot ekstraokular, nervus, lemak dan
pembuluh darah. Tiap-tiap tulang orbita berbentuk menyerupai buah pear, yang
bagian posteriornya meruncing pada daerah apeks dan optik kanal.1

Media Refraksi
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang
terdiri atas kornea, aqueous humor (cairan mata), lensa, badan vitreous (badan kaca),
dan panjangnya bola mata. Pada orang normal susunan pembiasan oleh media
penglihatan dan panjang bola mata sedemikian seimbang sehingga bayangan benda
setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea. Mata yang
normal disebut sebagai mata emetropia dan akan menempatkan bayangan benda tepat
di retinanya pada keadaan mata tidak melakukan akomodasi atau istirahat melihat
jauh.1

2
Fisiologi Refraksi
Berkas-berkas cahaya mencapai mata harus dibelokkan ke arah dalam untuk
difokuskan kembali ke sebuah titik peka-cahaya di retina agar dihasilkan suatu
bayangan yang akurat mengenai sumber cahaya. Pembelokan suatu berkas cahaya
(refraksi) terjadi ketika berkas berpindah dari satu medium dengan kepadatan
(densitas) tertentu ke medium dengan kepadatan yang berbeda.1
Cahaya bergerak lebih cepat melalui udara daripada melalui media transparan
lainnya misalnya : kaca, air. Ketika suatu berkas cahaya masuk ke medium dengan
densitas yang lebih tinggi, cahaya tersebut melambat (sebaliknya juga berlaku).
Berkas cahaya mengubah arah perjalanannya jika mengenai medium baru pada tiap
sudut selain tegak lurus. 1
Dua faktor penting dalam refraksi : densitas komparatif antara 2 media
(semakin besar perbedaan densitas, semakin besar derajat pembelokan) dan sudut
jatuhnya berkas cahaya di medium kedua (semakin besar sudut, semakin besar
pembiasan). Dua struktur yang paling penting dalam kemampuan refraktif mata
adalah kornea dan lensa. Permukaan kornea, struktur pertama yang dilalui cahaya
sewaktu masuk mata, yang melengkung berperan besar dalam reftraktif total karena
perbedaan densitas pertemuan udara/kornea jauh lebih besar dari pada perbedaan
densitas antara lensa dan cairan yang mengelilinginya. Kemampuan refraksi kornea
seseorang tetap konstan karena kelengkungan kornea tidak pernah berubah.
Sebaliknya kemampuan refraksi lensa dapat disesuaikan dengan mengubah
kelengkungannya sesuai keperluan untuk melihat dekat/jauh.1
Struktur-struktur refraksi pada mata harus membawa bayangan cahaya
terfokus diretina agara penglihatan jelas. Apabila bayangan sudah terfokus sebelum
bayangan mencapai retina atau belum terfokus sebelum mencapai retina ,bayangan
tersebut tampak kabur. Berkas-berkas cahaya yang berasal dari benda dekat lebih
divergen sewaktu mencapai mata daripada berkas-berkas dari sumber jauh. Berkas
dari sumber cahaya yang terletak lebih dari 6 meter (20 kaki) dianggap sejajar saat
mencapai mata.2
Untuk kekuatan refraktif mata tertentu, sumber cahaya dekat memerlukan
jarak yang lebih besar di belakang lensa agar dapat memfokuskan daripada sumber
cahaya jauh, karena berkas dari sumber cahaya dekat masih berdivergensi sewaktu
mencapai mata. Untuk mata tertentu, jarak antara lensa dan retina selalu sama. Untuk
membawa sumber cahaya jauh dan dekat terfokus di retina (dalam jarak yang sama),

3
harus dipergunakan lensa yang lebih kuat untuks umber dekat. Kekuatan lensa dapat
disesuaikan melalui proses akomodasi.2

Gambar : Fisiologi Refraksi

2.2. Hipermetropia
2.2.1. Definisi
Hipermetropi merupakan kelainan refraksi dimana dalam keadaan mata
istirahat (tanpa akomodasi), semua sinar sejajar, yang datang dari benda-benda
pada jarak tak terhingga, dibiaskan dibelakang retina dan sinar divergen yang
datang dari benda-benda pada jarak dekat, dibiaskan lebih jauh lagi,
dibelakang retina.3,4

2.2.2. Etiologi
Penyebab dari hipermetropi adalah sebagai berikut :
1. Sumbu utama bola mata yang terlalu pendek
Biasanya terjadi karena Mikropthalmia, renitis sentralis, arau ablasio retina
(lapisan retina lepas lari ke depan sehingga titik fokus cahaya tidak tepat
dibiaskan).
2. Daya pembiasan bola mata yang terlalu lemah
Terjadi gangguan-gangguan refraksi pada kornea, aqueus humor, lensa dan
vitreus humor. Gangguan yang dapat menyebabkan hipermetropi adalah
perubahan pada komposisi kornea dan lensa sehingga kekuatan refraksi
menurun dan perubahan pada komposisi aqueus humor dan viterus humor.
Misal pada penderita Diabetes Melitus terjadi hipermetopi jika kadar gula
darah di bawah normal.
3. Kelengkungan kornea dan lensa tidak adekuat

4
Kelengkungan kornea ataupun lensa berkkurang sehingga bayangan
difokuskn di belakang retina.
4. Perubahan posisi lensa
Dalam hal ini, posisi lensa menjadi lebih posterior.

2.2.3. Mekanisme Akomodasi


Mekanisme akomodasi yaitu mekanisme yang memfokuskan sistem
lensa dari mata, penting untuk meningkatkan ketajaman mata. Akomodasi
terjadi akibat kontraksi atau relaksasi muskulus siliaris, kontraksi
menyebabkan peningkatan system lensa, dan relaksasi menyebabkan
penurunan kekuatan.
Akomodasi lensa diatur oleh mekanisme umpan balik negatif yang
secara otomatis mengatur kekuatan fokal lensa untuk tingkat tajam
penglihatan yang paling tinggi. Bila mata difiksasi pada beberapa objek yang
jauh, kemudian difiksasi pada beberapa objek yang dekat, biasanya lensa akan
berakomodasi untuk tajam penglihatan maksimum dalam waktu kurng dari 1
detik. Area korteks otak yang mengatur akomodasi terletak paralel dengan
area yang mengatur gerakan fiksasi mata, dengan integrasi akhir berupa sinyal
penglihatan dalam area 18 dan 19 korteks Brodmann dan menjalankan sinyal
motorik ke muskulus siliaris melalui pretektal dalam batang otak dan
kemudian masuk ke dalam inti Edinger Westphal.
Pada orang muda, lensa terdiri atas kapsul elastis yang kuat dan berisi
cairan kental yang mengandung banyak protein dan serabut-serabut
transparan. Bila lensa berada dalam keadaan relaksasi tanpa tarikan terhadap
kapsulnya, maka lensa dianggap berbentuk hampir sferis. Namun selain
terdapat kapsul elastis, juga terdapat ligamen yang sangat tidak elastis, yaitu
zonula yang melekat disekeliling lensa, menarik tepi lensa kearah bola mata.
Ligamen ini secara konstan direnggangkan oleh perlekatannya ke badan siliar
pada tepi anterior koroid dan retina. Hal ini menyebabkan lensa relatif datar
dalam keadaan mata istirahat.
Tempat perlekatan ligamen lensa di badan siliar merupakan suatu otot
yang disebut otot siliaris. Otot siliaris tersusun dari gabungan serat
longitudinal, sirkuler, dan radial. Fungsi serat-serat sirkuler adalah untuk
mengerutkan dan relaksasi serat-serat zonula, yang berorigo di lembah-lembah

5
di antara processus siliaris. Otot ini mengubah tegangan pada kapsul lensa,
sehingga lensa dapat mempunyai berbagai fokus baik untuk objek berjarak
dekat maupun yang berjarak jauh dalam lapangan pandang. Serat-serat
longitudinal muskulus siliarsi menyisip ke dalam anyam-anyam trabekula
untuk mempengaruhi besar porinya.
Jadi, kontraksi seperangkat serabut otot polos dalam otot siliaris akan
mengendurkan kapsula lensa, dan lensa akan lebih cembung seperti balon
karena sifat elastisitas kapsulanya. Oleh karena itu bila otot siliaris melakukan
relaksasi lengkap, kekuatan dioptri lensa akan berkurang menjadi sekecil
mungkin yang dapat dicapai oleh lensa. Sebaliknya bila otot siliaris
berkontraksi sekuat-kuatnya, kekuatan lensa menjadi maksimal.

Pengaturan Akomodasi Melalui Saraf Parasimpatis.


Otot siliaris hampir seluruhnya diatur oleh sinyal saraf parasimpatis
yang dijalarkan ke mata dari nukleus saraf kranial ketiga pada batang otak.
Perangsangan saraf parasimpatis menimbulkan kontraksi otot siliaris, yang
selanjutnya mengendurkan ligamen lensa dan meningkatkan daya bias.
Dengan meningkatnya daya bias, mata mampu melihat objek lebih dekat
dibanding sewaktu daya biasnya rendah. Akibatnya dengan memendeknya
objek kearah mata, frekwensi impuls saraf parasimpatis ke otot siliaris secara
progresif ditingkatkan agar objek dapat tetap dilihat dengan jelas.

2.2.4. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, dikenal:5,6
1. Hipermetropi sumbu atau hipermetropi aksial. Pada tipe hipermetropia ini
didapatkan keadaan sumbu mata yang terlalu pendek dan ada yang bersifat
kongenital ataupun akuisita (didapat). Kelainan kongenital yang dapat
menyebabkan terjadinya hipermetropi aksial adalah mikroftalmia.
Kelainan akuisita yang menyebabkan terjadinya hipermetropi aksial adalah
retinitis sentralis dan ablasio retina.
2. Hipermetropi refraktif, dimana terdapat indeks bias yang kurang pada
sistem optik mata. Keadaan ini didapatkan pada pasien yang tidak
mempunyai lensa (afakia). Pada penderita Diabetes Mellitus mungkin
dengan pengobatan yang hebat, sehingga humor akuos yang mengisi bilik

6
mata, mengandung kadar gula yang rendah, menyebabkan daya bias
berkurang sehingga terjadi hipermetropia.
3. Hipermetropi kurvatur, dimana kelengkungan kornea berkurang (aplanatio
cornea) ataupun kelengkungan lensa yang telah berkurang karena sklerosis
yang lazim terjadi pada usia 40 tahun keatas.

Hipermetropi dikenal dalam bentuk : 5,6,7


1. Hipermetropi manifes. Ialah hipermetropi yang dapat dikoreksi dengan
lensa sferis (+) terbesar yang memberikan tajam penglihatan normal
sebaik-baiknya. Hipermetropi ini terdiri atas hipermetropi manifes absolut
dan hipermetropi manifes fakultatif.
Pada hipermetropi manifes fakultatif, kelainan hipermetropi masih dapat
dikoreksi atau diimbangi dengan akomodasi ataupun dengan kacamata
positif. Pasien yang hanya mempunyai hipermetropi fakultatif akan
melihat normal tanpa kacamata yang bila diberikan kacamata positif yang
memberikan penglihatan normal maka otot akomodasinya akan
mendapatkan istirahat. Pada penderita ini, jika diberikan lensa S + 0,50
maka tajam penglihatan akan tetap sama atau bahkan bertambah baik.
Pada hipermetropi manifes absolut, keadaan refraksi tidak diimbangi
dengan akomodasi dan memerlukan kacamata positif untuk melihat jauh.
Biasanya hipermetropi laten yang ada, berakhir dengan hipermetropi
absolut ini.
2. Hipermetropi laten. Merupakan selisih antara hipermetropi total dan
hipermetropi manifes, merupakan kekuatan tonus dari mm. Siliaris.
3. Hipermetropi Total. Merupakan suatu hipermetropi yang ukurannya
didapatkan sesudah diberikan sikloplegia (preparat medikamentosa yang
bertujuan untuk melemahkan daya akomodasi).

2.2.5. Patomekanisme
Pada keadaan ini, cahaya sejajar kurang dibelokkan oleh sistem lensa
sehingga tidak terfokus di retina. Untuk mengatasi kelainan ini, otot siliaris
berkontraksi untuk meningkatkan kekuatan lensa. Dengan menggunakan
mekanisme akomodasi, pasien hipermetropia dapat memfokuskan bayangan
dari objek jauh di retina. Bila pasien menggunakan sebagian dari kekuatan otot

7
siliarisnya untuk melakukan akomodasi jarak jauh, ia tetap masih mempunyai
sisa data akomodasi untuk melihat dengan tegas objek yang mendekati mata
sampai otot siliarisnya telah berakomodasi maksimum. Pada pasien tua,
sewaktu lensa menjadi presbiopia, pasien hipermetropia sering tidak bisa
berakomodasi cukup kuat untuk memfokuskan objek jauh sekali pun, apalagi
untuk memfokuskan objek dekat.

Gambar : Hipermetropia, bayangan di fokuskan di belakang retina

2.2.6. Patofisiologi
Diameter anterior posterior bola mata yang lebih pendek, kurvatura
kornea dan lensa yang lebih lemah, dan perubahan indeks refraktif
menyebabkan sinar sejajar yang datang dari objek terletak jauh tak terhingga
di biaskan di belakang retina.

8
Gambar : Patofisiologi Hipermetropia

2.2.7. Gejala Klinis


Tanda dan gejala orang yang terkena penyakit rabun dekat secara obyektif
klien susah melihat jarak dekat atau penglihatan klien akan rabun dan tidak
jelas. Sakit kepala frontal. Semakin memburuk pada waktu mulai timbul gejala
hipermetropi dan sepanjang penggunaan mata dekat.
1. Penglihatan tidak nyaman (asthenopia)
Terjadi ketika harus fokus pada suatu jarak tertentu untuk waktu yang
lama.
2. Akomodasi akan lebih cepat lelah terpaku pada suatu level tertentu dari
ketegangan.
3. Bila 3 dioptri atau lebih, atau pada usia tua, pasien mengeluh penglihatan
jauh kabur.
4. Penglihatan dekat lebih cepat buram, akan lebih terasa lagi pada keadaan
kelelahan, atau penerangan yang kurang.\
5. Sakit kepala biasanya pada daerah frontal dan dipacu oleh kegiatan melihat
dekat jangka panjang. Jarang terjadi pada pagi hari, cenderung terjadi
setelah siang hari dan bisa membaik spontan kegiatan melihat dekat
dihentikan.

9
6. Eyestrain
7. Sensitive terhadap cahaya
8. Spasme akomodasi, yaitu terjadinya cramp m. ciliaris diikuti penglihatan
buram intermiten

2.2.8. Diagnosis
Kelainan refraksi hipermetropi dapat di periksa dengan melakukan
pemeriksaan Okuler
a. Visual Acuity.
Mempergunakan beberapa alat untuk mengetahui kemampuan membaca
pasien hipermetropi dalam jarak dekat. Seperti Jaeger Notation, Snellen
metric distance dan Lebehnson.
b. Refraksi.
Retinoskopi merupakan prosedur yang digunakan secara luas untuk
menilai hipermetropia secara objektif. Prosedur yang dilakukan meliputi
static retinoscopy, subjective refraction dan autorefraction.
c. Pergerakan Okuler, Pandangan Binokuler dan Akomodasi.
Pemeriksaan ini diperlukan karena gangguan pada fungsi visual diatas
dapat menyebabkan terganggunya visus dan performa visual yang
menurun.
d. Assesmen kesehatan okuler dan Skreening Kesehatan sistemik.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendiagnosa hipermetropia
dapat berupa respon pupil, uji konfrontasi lapangan pandang, uji
penglihatan warna, pengukuran tekanan intraokuler dan pemeriksaan
posterior bola mata dan adnexa.
e. Segmen anterior
Pada pasien dengan daya akomodasi yang masih sangat kuat atau pada
anak-anak, sebaiknya pemeriksaan dilakukan dengan pemberian
siklopegik atau melumpuhkan otot akomodasi.

2.2.9. Penatalaksanaan
1. Koreksi Optikal
Hipermetropia dikoreksi dengan kacamata berlensa plus (konveks)
atau dengan lensakontak. Pada anak kecil dengan kelainan berderajat
rendah yang tidak menunjukan gejala sakit kepala dan keluhan lainnya,

10
tidak perlu diberi kacamata. Hanya orang-orang yang derajat
hipermetropianya berat dengan atau tanpa disertai mata juling dianjurkan
menggunakan kacamata. Pada anak-anak dengan mata juling ke dalam
(crossed eye) yang disertai hipermetropia, diharuskan memakai kacamata
berlensa positif. Karena kacamata berlensa plus ini amat bermanfaat untuk
menurunkan rangsangan pada otot-otot yang menarik bolamata juling ke
dalam.
Biasanya sangat memuaskan apabila power yang lebih tipis (1 D)
daripada total fakultatif dan absolute hyperopia yang diberikan kepada
pasien dengan tidak ada ketidak seimbangan otot ekstraokular. Jika ada
akomodatif esotrophia (convergence), koreksi penuh harus diberikan. Pada
exophoria, hyperopianya harus dikoreksi dengan 1-2D. Jika keseluruhan
refraksi manifest kecil, misalnya 1 D atau kurang, koreksi diberikan
apabila pasien memiliki gejala-gejala.
2. Terapi Penglihatan.
Terapi ini efektif pada pengobatan gangguan akomodasi dan disfungsi
binokuler akibat dari hipermetropia. Respon akomodasi habitual pasien
dengan hipermetropia tidak akan memberi respon terhadap koreksi dengan
lensa, sehingga membutuhkan terapi penglihatan untuk mengurangi
gangguan akomodasi tersebut.
3. Terapi Medis.
Agen Antikolinesterase seperti diisophropylfluorophospate(DFP) dan
echothiopate iodide (Phospholine Iodide,PI) telah digunakan pada pasien
dengan akomodasi eksotropia dan hipermetropia untuk mengurangi rasio
konvergensi akomodasi dan akomodasi(AC/A).
4. Merubah Kebiasaan Pasien.
Modifikasi yang dapat dilakukan adalah pengunaan cahaya yang cukup
dalam aktivitas, menjaga kualitas kebersihan mata dan apabila pasien
adalah pengguna komputer sebaiknya menggunakan komputer dengan
kondisi ergonomis.
5. Bedah Refraksi.
Terapi pembedahan refraksi saat ini sedang dalam perkembangan
Terapi pembedahan yang mungkin dilakukan adalah HOLIUM:YAG laser
thermal keratoplasty, Automated Lamellar Keratoplasty, Spiral Hexagonal

11
Keratotomy, Excimer Laser dan ekstraksi lensa diganti dengan Intra
Oculer Lens. Akan tetapi pembedahan masih jarang digunakan sebagai
terapi terhadap hipermetropia.

2.2.10. Pencegahan
1. duduk dengan posisi tegak ketika menulis.
2. Istirahatkan mata setiap 30-60 menit setelahmenonton TV, komputer atau
setelah membaca.
3. Aturlah jarak baca yang tepat (> 30 cm).
4. Gunakan penerangan yang cukup
5. Jangan membaca dengan posisi tidur.

2.2.11. Prognosis
Prognosis tergantung onset kelainan, waktu pemberian peengobatan,
pengobatan yang diberikan dan penyakit penyerta. Pada anak-anak, jika
koreksi diberikan sebelum saraf optiknya matang (biasanya pada umur 8-10
tahun), maka prognosisnya lebih baik.

2.2.12. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah esotropia dan glaucoma.
Esotropia atau juling ke dalam terjadi akibat pasien selamanya melakukan
akomodasi. Glaukoma sekunder terjadi akibat hipertrofi otot siliar pada badan
siliar yang akan mempersempit sudut bilik mata.

2.3. Miopia
2.3.1. Definisi
Miopia adalah anomali refraksi pada mata dimana bayangan difokuskan di
depan retina, ketika mata tidak dalam kondisi berakomodasi. Ini juga dapat
dijelaskan pada kondisi refraktif dimana cahaya yang sejajar dari suatu objek
yang masuk pada mata akan jatuh di depan retina, tanpa akomodasi. Miopia
berasal dari bahasa Yunani “muopia” yang memiliki arti menutup mata.
Miopia merupakan manifestasi kabur bila melihat jauh, istilah populernya
adalah “nearsightedness” .8

12
Gambar : Penglihatan normal dan penglihatan myopia

2.3.2. Epidemiologi
Diperkirakan bahwa 2,3 miliar orang di seluruh dunia mengalami
kelainan refraksi. Sebagian besar memiliki kelainan refraksi yang dapat
dikoreksi dengan kacamata, tetapi hanya 1,8 miliar orang yang melakukan
pemeriksaan dan koreksi yang terjangkau. Saat ini, myopia masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat yang utama terutama di negara negara Asia,
seperti Taiwan, Jepang, Hongkong dan Singapura. Prevalensi dari miopia
dipengaruhi oleh usia dan beberapa faktor lain. Angka kejadian ini meningkat
pada usia sekolah dan dewasa muda, dimana pada remaja diketahui memiliki
prevalensi 20-25%. Sedangkan pada dewasa muda memiliki prevalensi 25-
35%. Beberapa penelitian juga menyatakan bahwa wanita secara signifikan
memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya miopia dibandingkan pria.9

2.3.3. Etiologi
9
Menurut Ilyas miopia disebabkan karena terlalu kuat pembiasan sinar di
dalam mata untuk panjangnya bola mata akibat :
1. Kornea terlalu cembung
2. Lensa mempunyai kecembungan yang kuat sehingga bayangan dibiaskan
kuat
3. Bola mata terlalu panjang
Secara fisiologis sinar yang difokuskan pada retina terlalu kuat sehingga
membentuk bayangan kabur atau tidak tegas pada makula lutea. Titik fokus
sinar yang datang dari benda yang jauh terletak di depan retina. Titik jauh
(pungtum remotum) terletak lebih dekat atau sinar datang tidak sejajar. (5) 9

13
Etiologi miopia masih belum diketahui secara pasti. Namun miopia diduga
berasal dari faktor genetik dan faktor lingkungan.

2.3.4. Klasifikasi
Menurut Ilyas 10 dikenal beberapa bentuk miopia seperti :
a. Miopia refraktif, bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti
terjadi pada katarak intumessen dimana lensa menjadi lebih cembung
sehingga pembiasan lebih kuat. Sama dengan miopia bias atau myopia
indeks, miopia yang terjadi akibat pembiasan media penglihatan kornea
dan lensa yang terlalu kuat.
b. Miopia aksial, miopia akibat panjangnya sumbu bola mata, dengan
kelengkungan kornea dan lensa yang normal.

Menurut derajat beratnya miopia dibagi dalam :

a. Miopia ringan, dimana miopia kecil daripada 1 -3 dioptri


b. Miopia sedang, dimana miopia lebih antara 3 -6 dioptri
c. Miopia berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6 dioptri

Menurut perjalanan myopia dikenal bentuk :

a. Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah dewasa


b. Miopia progresif, miopia yang bertamb ah terus pada usia dewasa akibat
bertambah panjangnya bola mata
c. Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif, yang dapat
mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan myopia
pernisiosa = miopia maligna = miopia degeneratif.

Menurut American Optometric Association, miopia terbagi dalam:

14
2.3.5. Faktor Resiko
Terdapat dua pendapat yang menerangkan faktor risiko terjadinya miopia,
yaitu berhubungan dengan faktor herediter atau keturunan, faktor lingkungan,
dan gizi 10.
a. Faktor Herediter atau Keturunan
Faktor risiko terpenting pada pengembangan miopia sederhana adalah
riwayat keluarga miopia. Beberapa penelitian menunjukan 33 -60%
prevalensi myopia pada anak-anak yang kedua orang tuanya memiliki
miopia, sedangkan pada anak -anak yang salah satu orang tuanya memiliki
miopia, prevalensinya adalah 23-40%. Kebanyakan penelitian menemukan
bahwa ketika orang tua tidak memiliki miopia, hanya 6-15% anak-anak
yang memiliki miopia.

b. Faktor Lingkungan
Tingginya angka kejadian miopia pada beberapa pekerjaan telah
banyak dibuktikan sebagai akibat dari pengaruh lingkungan terhadap
terjadinya miopia. Hal ini telah ditemukan, misalnya terdapat tingginya
angka kejadian serta angka perkembangan miopia pada sekelompok orang
yang menghabiskan banyak waktu untuk bekerja terutama pada pekerjaan
dengan jarak pandang yang dekat secara intensive. Beberapa pekerjaan
telah dibuktikan dapat mempengaruhi terjadinya miopia termasuk
diantaranya peneliti, pembuat karpet, penjahit, guru, manager, dan
pekerjaan-pekerjaan lain.
Seiring dengan kemajuan teknologi dan telekomunikasi seperti televisi,
komputer, video game dan lain -lain, secara langsung maupun tidak
langsung akan meningkatkan aktivitas melihat dekat.

15
Konsumsi sayuran dan buah juga dapat mempengaruhi terjadinya
miopia. Adapun sayuran dan buah yang diketahui mempengaruhi, yaitu
wortel, pisang, pepaya, jeruk, buah merica dan cabai. Hal ini dikarenakan
pada sayuran dan buah tersebut memiliki kandungan beta karoten yang
tinggi, yang nantinya akan dikonversikan menjadi vitamin A (retinol)
untuk tubuh.

2.3.6. Gejala dan Tanda


Gejala Klinis myopia antara lain :
1. Menurunnya penglihatan bahkan dengan koreksi refraksi
2. Penderita merasa tidak nyaman ketika menggunakan lensa koreksi, dimana
kacamata untuk miopia tinggi biasanya berat dengan distorsi yang
bermakna di tepi lensa, lapang pandangan juga terbatas
3. Dijumpai degenerasi vitreus, dimana vitreus ini lebih cair dan mempunyai
prevalensi yang tinggi untuk pelepasan vitreus posterior (PVD)

Tanda-Tanda Miopia :

1. Status refraksi
Curtin (4) 11 melaporkan bahwa 55% penderita miopia kongenital akan
berkembang menjadi miopia progresif, 30% tetap stabil dan 15% akan
menjadi regresif. Francois dan Goes menunjukan bahwa semakin awal
onsetnya semakin besar pula progresivitasnya.
2. Status oculomotor
Banyak penderita dengan miopia patologi mengalami strabismus atau
nistagmus. Nistagmus biasanya menetap walaupun dilakukan koreksi
kesalahan refraksinya.
3. Segmen anterior
Pada sebagian besar penderita, mata akan menjadi lebih besar, kornea akan
lebih datar dan tipis, pupil akan mengalami dilatasi, bilik mata depan akan
lebih dalam. Banyak penderita akan mengalami sklera yang transfusen dan
tampak biru. Badan siliaris biasanya terletak lebih posterior, lebih panjang,
datar dan atrofi.
4. Lensa

16
Prevalensi katarak pada miopia adalah dua kali lipat dari populasi normal,
dan terjadi pada usia-usia awal, umumnya nuklear atau subkapsuler.
5. Vitreus
Vitreus mengalami degenerasi dan pencairan. Semakin tua penderita,
semakin tinggi derajat miopia, semakin besar derajat keparahan degenerasi
vitreus. Degenerasi vitreus ini menghasilkan filamen -filamen vitreus yang
tampak sebagai vitreus floaters. Pencairan vitreus menyebabkan terjadinya
posterior vitreus detachment (PVD). Perubahan-perubahan pada vitreus ini
meningkatkan prevalensi terjadinya retinal tears, retinal haemorrhages,
retinal detachment. Kelainan-kelainan ini sering terjadi di area supero
temporal retina.
6. Perubahan pada diskus optikus
Ukuran dan bentuk diskus optikus meningkat, menjadi lebih besar dan
bentuknya oval vertikal. Rasio mangkok pada diskus (CD ratio)
meningkat, tapi kedalamannya normal. Terdapat tarikan pada permukaan
nervus optikus nasal sehingga akan mengangkat bagian -bagian nasal dari
diskus optikus. Perubahan ini disebut supertraksinasal.
7. Perubahan pada retina perifer
Elemen-elemen retina mengalami proses peregangan dan menurut suplai
darah, arteri vena retina. Tampak lebih lurus, retina akan mengalami
penipisan. Epitel pigmen retina, akan mengalami penipisan, pigmen
-pigmen menggumpal dan bergerak ke innerlayer retina. Semua perubahan
tersebut disebut lattice degeneration.
8. Sklera
Karena sklera tidak memberikan dukungan yang memadai bagi bola mata
pada miopia, mata memanjang kearah posterior dan semua lapisan bola
mata pada kutub posterior mengalami perubahan degeneratif yang semakin
bertambah seiring berjalannya waktu, salah satu yang terjadi adalah staf
iloma posterior. Ini biasanya berkembang antara usia 9 sampai dengan 26
tahun.
9. Koroid
Perubahan pada koroid terutama terjadi pada fase lanjut. Proses yang pasti
dari degenerasi dan atrofi koroid masih belum diketahui, tetapi hal ini
terkait dengan pemanjangan aksial mata.

17
10. Perubahan pada area macula
Terdapat penipisan pada retina, kehilangan sel -sel rods dan sel-sel cones
serta area makula lebih datar. Terjadi degenerasi kistik serta atrofi.
Perubahan yang sering terjadi pada area makula adalah bintik Fuch s,
bintik ini merupakan degenerasi terlokalisir, terkait dengan pertumbuhan
jaringan neovaskuler koroid menjadi ruang epitel pigmen subretina dan
proliferasi epithelium pigmen retina pada jaringan. Pemunculan bintik
biasanya terkait dengan pendarahan dari jaringan neovaskuler (Widodo
dan Prillia, 2007).

2.3.7. Diagnosis
Untuk menegakan diagnosa pada pasien miopia, dapat dilakukan melalui 3
tahap, yaitu: Riwayat pasien, Pemeriksaan klinis dan Pemeriksaan tambahan.

 Riwayat pasien
Komponen utama dari riwayat pasien yaitu identifikasi masalah dan
keluhan-keluhan utama seperti keluhan visual, okular, dan riwayat
kesehatan umum pasien, riwayat keluarga dan perkembangan, dan alergi
obat -obatan.
 Miopia sederhana
Gejala yang terdapat pada miopia sederhana yaitu penglihatan yang
tidak jelas atau kabur. Dalam hal ini pemeriksa harus menanyakan
apakah penglihatan yang tidak jelas tersebut menetap atau hanya
sementara. Klinisi harus menyadari bahwa pada miopia pada anak-
anak sulit didiagnosa karena anak-anak sulit menyampaikan
penglihatan yang kabur.
 Miopia nokturnal
Gejala utama pada miopia nokturnal adalah penglihatan kabur pada
jarak yang jauh dengan pencahayaan yang redup. Pasien mungkin
mengeluhkan sulit untuk melihat rambu-rambu lalu lintas saat
berkendara pada malam hari.
 Pseudomiopia

18
Pandangan kabur yang bersifat sementara, terutama setelah bekerja
dalam jarak dekat, mungkin di indikasikan adanya daya akomodasi
yang tidak adekuat atau pseudomiopia.
 Miopia degenerative
Dalam miopia degeneratif, didapati pandangan kabur yang
dipengaruhi oleh jarak karena derajat miopia biasanya signifikan.
Pasien harus menahan “nearpoint-objects” sangat dekat dengan
mata, karena myopia yang tidak terkoreksi.
 Miopia yang di dapat
Pasien dengan miopia yang didapat juga melaporkan pandangan
kabur. Gejala lain yang mungkin dikeluhkan oleh pasien
tergantung pada penyebab terjadinya miopia tersebut. Misalnya,
pupil yang konstriksi ketika penyebab dari miopia didapat adalah
terpapar oleh agen agonis kolinergik (American Optometric
Association, 2006).

2.3.8. Pemeriksaan
Dalam melakukan pemeriksaan refraksi ada 2 cara, yaitu :
1. Refraksi subjektif
Memeriksa kelainan pembiasan mata pasien dengan memperlihatkan kartu
optotipi Snellen dan memasang lensa yang sesuai dengan hasil
pemeriksaan bersama pasien.

2. Refraksi Objektif
Melakukan pemeriksaan kelainan pembiasan mata pasien dengan alat
tertentu tanpa perlunya kerjasama dengan pasien.
Pemeriksaan objektif dipakai alat :
 Refrationometer apa yang disebut pemeriksaan dengan computer
 Streak retinoskopi

Pemeriksaan Refraksi Subjektif


Pada pemeriksaan subjektif diperlukan hubungan atau komunikasi
yang baik antara pemeriksa dengan pasien. Dalam pemeriksaan ini, optotype
diletakan sejauh 5 atau 6 pasien yang akan diperiksa karena pada jarak 5 meter

19
sinar –sinar datang dianggap merupakan sinar sejajar dan pasien yang
diperiksa matanya dalam keadaan istirahat atau tidak berakomodasi. Keadaan
penerangan dalam ruang pemeriksaan tidak terlalu cerah. Dilihat kontras kartu
Snellen cukup baik. Mata yang biasa diperiksa terlebih dahulu adalah mata
kanan.
a. Letakkan bingkai uji coba ( trial frame) pada posisi yang tepat
b. Dilihat apakah titik tengah terletak tepat di depan mata
c. Pasang penutup (occluder) pada mata yang tidak diperiksa (mata kiri)
d. Catat tajam penglihatan mata yang dibuka

Untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan khusus untuk miopia.


Pada mata miopia dilakukan pemeriksaan berikut :
1. Bila penglihatan kurang dari 6/6 diletakan lensa pada bagian kacamata
coba dengan kekuatan S +0,5 atau S -0,5.
2. Ditanyakan dengan lensa mana yang terlihat lebih jelas. Tajam penglihatan
dapat lebih kurang dari 6/10 sehingga penambahan lensa diberikan yang
lebih berat.
3. Penambahan lensa lanjut, bila lebih terang de ngan lensa S - 0,5 maka
pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan lensa S – yang dinaikan
perlahan sehingga terdapat penglihatan yang paling jelas.
4. Lensa ditambahkan perlahan sampai tajam penglihatan maksimal.

Resep kaca mata yang diberikan adalah lensa negatif yang paling tidak berat.

Pemeriksaan miopia pada anak diperlukan rujukan berikut :


1. Pemeriksaan dengan sikloplegik harus dilakukan pada pemeriksaan
mata anak, anak dengan juling esotropia dan miopia sangat tinggi (>10
D).
2. Koreksi sebaiknya dilakukan se cara total pada kelainan refraksi dan
astigmatismatnya.
3. Rencana koreksi kurang (under correction) pada miopia dengan juling
ke dalam atau esotropia untuk mengurangi esotropia sudut tidaklah
begitu ditoleransi.

20
4. Koreksi lebih (over correction) dapat dilakukan untuk memperbaiki
deviasi juling ke dalam (esotropia).
5. Pada anak dengan miopia tinggi dan anisometropia yang
mengakibatkan aniseikonia dapat dipertimbangkan.9

Pemeriksaan Tambahan
Pemeriksaan tambahan dapat dibutuhkan untuk mengidentifikasi
kondisi yang berkaitan dengan perubahan retina pada pasien dengan miopia
degeneratif. Pemeriksaan tambahan tersebut dapat berupa : Fotografi fundus,
Ultrasonografi A- dan B-scan, Lapangan pandang, Tes seperti gula darah
puasa (misalnya untuk mengidentifikasi penyebab dari miopia yang didapat)
(American Optometric Association, 2006).

2.3.9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan miopia terdiri dari :
a. Koreksi refraksi
Langkah pertama yang dilakukan adalah koreksi dengan lensa oftalmik
atau lensa kontak.
b. Modifikasi Lingkungan
Beberapa penelitian mendukung efektivitas diet dalam pengelolaan
miopia, dianjurkan pada penderita miopia yang terpapar secara genetic
untuk meningkatkan konsumsi protein hewani, mengurangi karbohidrat
dan gula. Duke Elder menyarankan diet kay a vitamin D dan kalsium
untuk penderita miopia ini. Aktivitas yang dianjurkan adalah olahraga luar
ruang misalnya jogging, namun aktivitas lain yang cenderung
meningkatkan tekanan intra kranial dan stress sebaiknya dihindari, misal
angkat berat.
c. Tindakan Operatif
Tindakan operatif kornea tidak disarankan pada penderita miopia patologi,
misal tindakan LASIK, namun implantasi IOL merupakan tindakan bedah
refraksi yang disarankan.
d. Fotokoagulasi laser
Bila terdapat choroidal neovascularization membran dilakukan argon laser
photokoagulasi, tetapi harap dipertimbangkan bahwa pada miopia patologi

21
ini terdapat pemanjangan dan peregangan bola mata sehingga sikatrik yang
diakibatkan oleh laser akan menambah peregangan bola mata
tersebut.
e. Pengawasan Tekanan Intra Okuler
Tekanan intra okuler (TIO) harus dipantau secara cermat. Curtin
melaporkan bahwa TIO ini berperan secara mekanik dalam pemanjangan
aksial bola mata. Black merekomendasikan bahwa TIO dibawah 20 mmHg
f. Pendidikan Penderita
Penderita dengan miopia patologi cenderung mengalami koroid yang tipis
dan rapuh sehingga trauma pada mata atau bahkan gosokan keras pada
membran Bruch dan mengakibatkan perdarahan. Penderita harus
disarankan untuk memeriksakan mata jika mengalami kilatan cahaya
terang, berbentuk seperti busur atau peningkatan jumlah floaters. Faktor
pendidikan penderita lainnya adalah konseling genetik. Penderita dengan
miopia memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk memiliki anak
dengan miopia pula. Jika kedua orang tua menderita miopia terdapat
kemungkinan yang lebih besar anak -anaknya akan menderita myopia 11.

2.3.10. Prognosis
Prognosis untuk koreksi miopia sederhana sangat baik. Pasien
memiliki lapangan pandang yang lebih jauh dengan koreksi. Bergantung
dengan derajat miopia, astigmatismat, anisometropia, dan daya akomodasi
pasien, pasien memiliki kemungkinan untuk dapat melihat dengan jarak dekat
ataupun tidak melalui koreksi mata. Anak-anak dengan miopia sederhana
harus diperiksa secara berkala. Anak-anak dengan derajat perkembangan
miopia yang tinggi harus diperiksa 6 bulan sekali. Orang dewasa yang
memiliki miopia harus diperiksa setidaknya setiap 2 tahun sekali. Kontrol
harus dilakukan lebih sering apabila pasien memiliki faktor risiko yang lebih
besar. Pasien dengan miopia nocturnal harus diperiksa 3-4 minggu setelah
menerima koreksi untuk daya lihat pada malam hari, untuk memeriksa apakah
koreksi tersebut telah menghilangkan gejala-gejala sulit melihat saat gelap dan
kesulitan berken dara pada malam hari.
Prognosis pada miopia nokturnal adalah baik. Prognosis untuk
pseudomiopia biasanya baik tapi biasanya waktu yang dibutuhkan untuk

22
koreksi lebih lama. Prognosis pada pasien dengan miopia degeneratif
bervariasi tergantung pada perubahan retina dan okuler. Pada kasus miopia
didapat, baik prognosis maupun pemeriksaan berkala dilakukan berdasarkan
ada atau tidaknya kondisi yang menjadi pemicu terjadinya myopia. 12

2.3.11. Komplikasi
Komplikasi yang timbul pada miopia adalah akibat dari proses degenerasi,
yaitu :
a) Floaters
Kekeruhan badan kaca yang disebabkan proses pengenceran dan
organisasi, sehingga menimbulkan bayangan pada penglihatan.
b) Skotoma
Defek pada lapang-pandangan yang diakibatkan oleh atrofi retina.
c) Trombosis Koroid dan Perdarahan Koroid
Sering terjadi pada obliterasi dini pembuluh darah kecil. Biasanya terjadi
di daerah sentral, sehingga timbul jaringan parut yang mengakibatkan
penurunan tajam penglihatan.
d) Ablasio retina
Merupakan komplikasi yang tersering. Biasanya disebabkan karena
didahului dengan timbulnya hole pada daerah perifer retina akibat proses -
proses degenerasi di daerah ini.
e) Glaukoma sederhana
Komplikasi ini merupakan akibat atrofi menyeluruh dari koroid.
f) Katarak
Merupakan komplikasi selanjutnya dari miopia degeneratif, terjadi setelah
usia 40 tahun. Biasanya adalah tipe pole posterior. Sering dihubungkan
pula dengan adanya degenerasi koroid.12

2.4. Astigmatisma
2.4.1. Definisi
Astigmatisme adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar sejajar
dengan garis pandang oleh mata tanpa akomodasi dibiaskan tidak pada satu
titik tetapi lebih dari satu titik. Astigmatisme mencegah berkas cahaya jatuh
sebagai suatu fokus titik di retina karena perbedaan derajat refraksi di berbagai
meridian kornea atau lensa kristalina.13

23
Gambar : Perbedaan mata normal dan astigmatisme

2.4.2. Epideimiologi
Prevalensi global kelainan refraksi diperkirakan sekitar 800 juta
sampai 2,3 milyar. Di Indonesia prevalensi kelainan refraksi menempati
urutan pertama pada penyakit mata. Kasus kelainan refraksi dari tahun ke
tahun terus mengalami peningkatan. Ditemukan jumlah penderita kelainan
refraksi di Indonesia hampir 25% populasi penduduk atau sekitar 55 juta
jiwa.13,14
Insidensi myopia dalam suatu populasi sangat bervariasi dalam hal
umur, negara, jenis kelamin, ras, etnis, pekerjaan, lingkungan, dan factor
lainnya. Prevalensi miopia bervariasi berdasar negara dan kelompok etnis,
hingga mencapai 70-90% di beberapa negara. Sedangkan menurut Maths
Abrahamsson dan Johan Sjostrand tahun 2003, angka kejadian astigmat
bervariasi antara 30%-70%. 13,14

2.4.3. Etiologi
Etiologi kelainan astigmatisme adalah sebagai berikut: 14,15
1. Adanya kelainan kornea dimana permukaan luar kornea tidak teratur.
Media refrakta yang memiliki kesalahan pembiasan yang paling besar
adalah kornea, yaitu mencapai 80% s/d 90% dari astigmatismus,
sedangkan media lainnya adalah lensa kristalin. Kesalahan pembiasan
pada kornea ini terjadi karena perubahan lengkung kornea dengan tanpa
pemendekan atau pemanjangan diameter anterior posterior bolamata.

24
Perubahan lengkung permukaan kornea ini terjadi karena kelainan
kongenital, kecelakaan, luka atau parut di kornea, peradangan kornea serta
akibat pembedahan kornea.
2. Adanya kelainan pada lensa dimana terjadi kekeruhan pada lensa. Semakin
bertambah umur seseorang, maka kekuatan akomodasi lensa kristalin juga
semakin berkurang dan lama kelamaan lensa kristalin akan mengalami
kekeruhan yang dapat menyebabkan astigmatismus.

2.4.4. Klasifikasi
Berdasarkan posisi garis fokus dalam retina Astigmatisme dibagi sebagai
berikut 15,16:
1. Astigmatisme Reguler
Dimana didapatkan dua titik bias pada sumbu mata karena adanya dua
bidang yang saling tegak lurus pada bidang yang lain sehingga pada salah
satu bidang memiliki daya bias yang lebih kuat dari pada bidang yang lain.
Astigmatisme jenis ini, jika mendapat koreksi lensa cylindris yang tepat,
akan bisa menghasilkan tajam penglihatan normal. Tentunya jika tidak
disertai dengan adanya kelainan penglihatan yang lain.

Bila ditinjau dari letak daya bias terkuatnya, bentuk astigmatisme regular
ini dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
a. Astigmatisme With the Rule
Bila pada bidang vertical mempunyai daya bias yang lebih kuat dari
pada bidang horizontal.sering ditemukan pada anak-anak dan orang
muda.
b. Astigmatisme Against the Rule
Bila pada bidang horizontal mempunyai daya bias yang lebih kuat dari
pada bidang vertikal. Serinng ditemukan pada orang tua.

2. Astigmatisme Irreguler
Dimana titik bias didapatkan tidak teratur.

Berdasarkan letak titik vertical dan horizontal pada retina, astigmatisme dibagi
sebagai berikut:

25
1. Astigmatisme Miopia Simpleks
Astigmatisme jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B
berada tepat pada retina (dimana titik A adalah titik fokus dari daya bias
terkuat sedangkan titik B adalah titik fokus dari daya bias terlemah). Pola
ukuran lensa koreksi astigmatisme jenis ini adalah Sph 0,00 Cyl -Y atau
Sph -X Cyl +Y di mana X dan Y memiliki angka yang sama.

Gambar : Astigmatisme Miopia Simpleks

2. Astigmatisme Hiperopia Simpleks


Astigmatisme jenis ini, titik A berada tepat pada retina, sedangkan titik B
berada di belakang retina.

Gambar : Astigmatisme Hiperopia Simpleks

3. Astigmatisme Miopia Kompositus


Astigmatisme jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B
berada di antara titik A dan retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisme
jenis ini adalah Sph -X Cyl -Y.

26
Gambar : Astigmatisme Miopia Kompositus

4. Astigmatisme Hiperopia Kompositus


Astigmatisme jenis ini, titik B berada di belakang retina, sedangkan titik A
berada di antara titik B dan retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisme
jenis ini adalah Sph +X Cyl +Y.

Gambar : Astigmatisme Hiperopia Kompositus

5. Astigmatisme Mixtus
Astigmatisme jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B
berada di belakang retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisme jenis ini
adalah Sph +X Cyl -Y, atau Sph -X Cyl +Y, di mana ukuran tersebut tidak
dapat ditransposisi hingga nilai X menjadi nol, atau notasi X dan Y
menjadi sama - sama + atau -.

27
Gambar : Astigmatisme Mixtus

Berdasarkan tingkat kekuatan dioptri

1. Astigmatismus Rendah
Astigmatismus yang ukuran powernya < 0,50 Dioptri. Biasanya
astigmatismus rendah tidak perlu menggunakan koreksi kacamata. Akan
tetapi jika timbul keluhan pada penderita maka koreksi kacamata sangat
perlu diberikan.
2. Astigmatismus Sedang
Astigmatismus yang ukuran powernya berada pada 0,75 Dioptri s/d 2,75
Dioptri. Pada astigmatismus ini pasien sangat mutlak diberikan kacamata
koreksi.

3. Astigmatismus Tinggi
Astigmatismus yang ukuran powernya > 3,00 Dioptri. Astigmatismus ini
sangat mutlak diberikan kacamata koreksi.

2.4.5. Tanda dan Gejala


Pada umunya, seseorang yang menderita astigmatismus tinggi
menyebabkan gejala-gejala sebagai berikut : 17
- Memiringkan kepala atau disebut dengan “tilting his head”, pada
umunya keluhan ini sering terjadi pada penderita astigmatismus
oblique yang tinggi.
- Memutarkan kepala agar dapat melihat benda dengan jelas.

28
- Menyipitkan mata seperti halnya penderita myopia, hal ini dilakukan
untuk mendapatkan efek pinhole atau stenopaic slite. Penderita
astigmatismus juga menyipitkan mata pada saat bekerja dekat seperti
membaca.
- Pada saat membaca, penderita astigmatismus ini memegang bacaan
mendekati mata, seperti pada penderita myopia. Hal ini dilakukan
untuk memperbesar bayangan, meskipun bayangan di retina tampak
buram.

Sedang pada penderita astigmatismus rendah, biasa ditandai dengan gejala-


gejala sebagai berikut :
- Sakit kepala pada bagian frontal.
- Ada pengaburan sementara / sesaat pada penglihatan dekat, biasanya
penderita akan mengurangi pengaburan itu dengan menutup atau
mengucek-ucek mata.

2.4.6. Diagnosis
Selain dari anamnesis, diagnosis astigmatisme dapat dilakukan dengan
melakukn beberapa pemeriksaan diantaranya :
1. Pemeriksaan pin hole
Uji lubang kecil ini dilakukan untuk mengetahui apakah berkurangnya
tajam penglihatan diakibatkan oleh kelainan refraksi atau kelainan pada
media penglihatan, atau kelainan retina lainnya. Bila ketajaman
penglihatan bertambah setelah dilakukan pin hole berarti pada pasien
tersebut terdapat kelainan refraksi yang belum dikoreksi baik. Bila
ketajaman penglihatan berkurang berarti pada pasien terdapat kekeruhan
media penglihatan atau pun retina yang menggangu penglihatan.16
2. Uji Refraksi
a. Subjektif, optotipe dari Snellen & Trial lens
Metode yang digunakan adalah dengan Metoda ‘trial and error’ Jarak
pemeriksaan 6 meter/ 5 meter/ 20 kaki. Digunakan kartu Snellen yang
diletakkan setinggi mata penderita, Mata diperiksa satu persatu
dibiasakan mata kanan terlebih dahulu Ditentukan visus / tajam
penglihatan masing-masing mata. Bila visus tidak 6/6 dikoreksi dengan

29
lensa sferis positif, bila dengan lensa sferis positif tajam penglihatan
membaik atau mencapai 5/5, 6/6, atau 20/20 maka pasien dikatakan
menderita hipermetropia, apabila dengan pemberian lensa sferis positif
menambah kabur penglihatan kemudian diganti dengan lensa sferis
negatif memberikan tajam penglihatan 5/5, 6/6, atau 20/20 maka
pasien menderita miopia. Bila setelah pemeriksaan tersebut diatas tetap
tidak tercapai tajam penglihatan maksimal mungkin pasien mempunyai
kelainan refraksi astigmat. Pada keadaan ini lakukan uji pengaburan
(fogging technique). 16,18
b. Objektif
- Autorefraktometer
Yaitu menentukan myopia atau besarnya kelainan refraksi dengan
menggunakan komputer. Penderita duduk di depan autorefractor,
cahaya dihasilkan oleh alat dan respon mata terhadap cahaya
diukur. Alat ini mengukur berapa besar kelainan refraksi yang
harus dikoreksi dan pengukurannya hanya memerlukan waktu
beberapa detik.
- Keratometri
Adalah pemeriksaan mata yang bertujuan untuk mengukur radius
kelengkungan kornea. Keratometer dipakai klinis secara luas dan
sangat berharga namun mempunyai keterbatasan. 19

3. Uji Pengaburan
Setelah pasien dikoreksi untuk myopia yang ada, maka tajam
penglihatannya dikaburkan dengan lensa positif, sehingga tajam
penglihatan berkurang 2 baris pada kartu Snellen, misalnya dengan
menambah lensa spheris positif 3. Pasien diminta melihat kisi-kisi juring
astigmat, dan ditanyakan garis mana yang paling jelas terlihat. Bila garis
juring pada 90° yang jelas, maka tegak lurus padanya ditentukan sumbu
lensa silinder, atau lensa silinder ditempatkan dengan sumbu 180°.
Perlahan-lahan kekuatan lensa silinder negatif ini dinaikkan sampai garis
juring kisi-kisi astigmat vertikal sama tegasnya atau kaburnya dengan
juring horizontal atau semua juring sama jelasnya bila dilihat dengan lensa

30
silinder ditentukan yang ditambahkan. Kemudian pasien diminta melihat
kartu Snellen dan perlahan-lahan ditaruh lensa negatif sampai pasien
melihat jelas.20

2.4.7. Diagnosis Banding


1. Miopia
2. Hipermetropia
3. Katarak
4. Age Related Macular Degeneration (ARMD)

2.4.8. Tatalaksana
1. Koreksi lensa
Astigmatismus dapat dikoreksi kelainannya dengan bantuan lensa silinder.
Karena dengan koreksi lensa cylinder penderita astigmatismus akan dapat
membiaskan sinar sejajar tepat diretina, sehingga penglihatan akan
bertambah jelas.

2. Orthokeratology
Orthokeratology adalah cara pencocokan dari beberapa seri lensa kontak,
lebih dari satu minggu atau bulan, untuk membuat kornea menjadi datar
dan menurunkan myopia. Kekakuan lensa kontak yang digunakan sesuai
dengan standar. Pada astigmatismus irregular dimana terjadi pemantulan
dan pembiasan sinar yang tidak teratur pada dataran permukaan depan
kornea maka dapat dikoreksi dengan memakai lensa kontak. Dengan
memakai lensa kontak maka permukaan depan kornea tertutup rata dan
terisi oleh film air mata.

3. Bedah refraksi
Methode bedah refraksi yang digunakan terdiri dari: 17,21
 Radial keratotomy (RK)
Dimana pola jari-jari yang melingkar dan lemah diinsisi di parasentral.
Bagian yang lemah dan curam pada permukaan kornea dibuat rata.
Jumlah hasil perubahan tergantung pada ukuran zona optik, angka dan
kedalaman dari insisi.

31
Gambar : Radial Keratotomy

 Photorefractive keratectomy (PRK)


Adalah prosedur dimana kekuatan kornea ditekan dengan ablasi laser
pada pusat kornea. Kornea yang keruh adalah keadaan yang biasa
terjadi setelah photorefractive keratectomy dan setelah beberapa bulan
akan kembali jernih. Pasien tanpa bantuan koreksi kadang-kadang
menyatakan penglihatannya lebih baik pada waktu sebelum operasi.

Gambar : Photorefractive Keratectomy

 LASIK
Laser in situ Keratomileusis (LASIK) merupakan tindakan bedah yang
paling sering digunakan untuk mengkoreksi kelainan refraksi, seperti
miopia, hiperopia, dan astigmatisma. Pada LASIK, dibuat sebuah flap
pada bagian tengah kornea dengan menggunakan alat mikrokeratome
atau laser. Kemudian flap tersebut diangkat, sejumlah kecil jaringan

32
kornea diangkat untuk membentuk kornea, dan flap diposisikan
kembali. Kornea akan pulih dalam waktu beberapa hari. LASIK hanya
menimbulkan sedikit rasa tidak nyaman pada saat dan setelah
pembedahan. Perbaikan penglihatan cepat terjadi dan seseorang dapat
kembali bekerja dalam waktu 1-3 hari setelah pembedahan. Namun,
tidak semua orang dapat dilakukan LASIK, orang-orang yang memiliki
kornea yang tipis atau permukaan kornea yang longgar bukan kandidat
yang baik untuk LASIK.17

Flap Kornea Dicipta dan Diangkat

Membentuk semula Kornea dengan Laser

Flap Kornea disusun semula

Gambar : LASIK

 LASEK
LASEK (Laser Epithelial Keratomileusis) adalah sebuah bedah
refraktif di mana epitel dipotong dengan pisau halus, yang disebut
trefin, dan melibatkan penggeseran lapisan epitel kornea dan kemudian
menggantinya untuk bertindak sebagai perban alami.

2.4.9. Komplikasi
Astigmatisme yang tidak dirawat pada orang dewasa dapat
menyebabkan ketidaknyamanan pada mata, mata menjadi penat dan terkadang
sakit kepala. Rabun pada anak-anak memerlukan perhatian khusus dan
penjagaan mata benar. Hal ini disebabkan karena apabila mata tidak dirawat
dengan benar dapat menyebabkan terjadinya ambliopia (mata malas). 22,23

33
2.4.10. Prognosis
Sekitar 30 % dari semua orang memiliki Silindris . Dalam sebagian
besar kasus, kondisi tidak berubah banyak setelah usia 25 tahun. Astigmatisme
progresif dapat terjadi pada trauma kornea , infeksi berulang dari kornea, dan
penyakit degeneratif seperti keratoconus. 22,23

2.5. Presbiopia
2.5.1. Definisi
Presbiopia merupakan gangguan penglihatan yang berkaitan dengan
usia. Hilangnya daya akomodasi yang terjadi bersamaan dengan proses
penuaan pada semua orang disebut presbiopia. Seseorang dengan mata
emetrop (tanpa kesalahan refraksi) akan mulai merasakan ketidakmampuan
membaca huruf kecil atau membedakan benda-benda kecil yang terletak
24
berdekatan pada usia sekitar 44-46 tahun. Gagal penglihatan dekat akibat
usia, berhubungan dengan penurunan amplitudo akomodasi atau peningkatan
punctum proximum. 25,26,27

2.5.2. Epideimiologi
Prevalensi presbiopi lebih tinggi pada populasi dengan usia harapan
hidup yang tinggi. Karena presbiopi berhubungan dengan usia, prevalensinya
berhubungan langsung dengan orang-orang lanjut usia dalam populasinya.
Walaupun sulit untuk melakukan perkiraan insiden presbiopia karena onsetnya
yang lambat, tetapi bisa dilihat bahwa insiden tertinggi presbiopia terjadi pada
usia 42 hingga 44 tahun. Studi di Amerika pada tahun 2006 menunjukkan 112
juta orang di Amerika mempunyai kelainan presbiopia. 25

2.5.3. Etiologi
Etiologi dari presbiopia adalah kelemahan otot akomodasi dan lensa
mata tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya akibat sklerosis lensa.25,26

2.5.4. Patofisiologi
Cahaya masuk ke mata dan dibelokkan ( refraksi ) ketika melalui
kornea dan struktur-struktur lain dari mata ( kornea, humor aqueus, lensa,
humor vitreus ) yang mempunyai kepadatan berbeda-beda untuk difokuskan di
retina.25

34
Mata mengatur ( akomodasi ) sedemikian rupa ketika melihat objek
yang jaraknya bervariasi dengan menipiskan dan menebalkan lensa.
Penglihatan dekat memerlukan kontraksi dari cilliary body, yang bisa
memendekkan jarak antara kedua sisi cilliary body yang diikuti relaksasi
ligament pada lensa. Lensa menjadi lebih cembung agar cahaya dapat
terfokuskan pada retina.25
Pada mata presbiopia yang dapat terjadi karena kelemahan otot
akomodasi atau lensa mata tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya,
menyebabkan kurang bisa mengubah bentuk lensa untuk memfokuskan mata
saat melihat. Akibat gangguan tersebut bayangan jatuh di belakang retina.
Karena daya akomodasi berkurang, maka titik dekat mata makin menjauh.25
Akomodasi suatu proses aktif yang memerlukan usaha otot, sehingga
dapat lelah. Jelas musculus cilliary salah satu otot yang terlazim digunakan
dalam tubuh. Derajat kelengkungan lens yang dapat ditingkatkan jelas terbatas
dan sinar cahaya dari suatu objek yang sangat dekat individu tak dapat dibawa
ke suatu focus di atas retina, bahkan dengan usaha terbesar. Titik terdekat
dengan mata, tempat suatu objek dapat dibawa ke fokus jelas dengan
akomodasi dinamai titik dekat penglihatan. Titik dekat berkurang selama
hidup, mula-mula pelan-pelan dan kemudian secara cepat dengan bertambanya
usia, dari sekitar 9 cm pada usia 10 tahun sampai sekitar 83 cm pada usia 60
tahun. Pengurangan ini terutama karena peningkatan kekerasan lens, dengan
akibat kehilangan akomodasi karena penurunan terus-menerus dalam derajat
kelengkungan lens yang dapat ditingkatkan. Dengan berlalunya waktu,
individu normal mencapai usia 40-45 tahun, biasanya kehilangan akomodasi,
telah cukup menyulitkan individu membaca dan pekerjaan dekat.25,26

2.5.5. Faktor Resiko


Usia merupakan faktor resiko utama penyebab presbiopia. Namun pada
kondisi tertentu dapat terjadi presbiopia prematur sebagai hasil dari faktor-
faktor seperti trauma, penyakit sistemik, penyakit jantung, atau efek samping
obat.25
a. Usia, terjadi pada atau setelah usia 40 tahun.
b. Penyakit atau trauma pada mata, kerusakan pada lensa, zonula, atau otot
siliar.

35
c. Penyakit sistemik : diabetes mellitus, multiple sklerosis, kejadian
kardiovaskular, anemia, Influenza, campak.
d. Obat-obatan, penurunan akomodasi adalah efeksamping dari obat
nonprescription dan prescription (contoh : alkohol, klorprozamin,
hidroklorotiazid, antidepresan, antipsikotik, antihistamin, diuretik).
e. Lain-lain : Kurang gizi, penyakit dekompresi.

2.5.6. Klasifikasi 25
a. Presbiopia insipient
Presbiopia insipient merupakan tahap awal di mana gejala atau temuan
klinis menunjukkan beberapa kondisi efek penglihatan dekat. Pada
presbiopia insipient dibutuhkan usaha ekstra untuk membaca cetakan
kecil. Biasanya, pasien membutuhkan tambahan kacamata atau adisi, tetapi
tidak tampak kelainan bila dilakukan tes dan pasien lebih memilih untuk
menolak diberikan kacamata baca.
b. Presbiopia Fungsional
Ketika dihadapkan dengan amplitude akomodasi yang berangsur – angsur
menurun, pasien dewasa akhirnya melaporkan adanya kesulitan melihat
dan akan didapatkan kelainan ketika diperiksa.
c. Presbiopia Absolut
Sebagai akibat dari penurunan akomodasi yang bertahap dan terus
menerus, dimana presbiopi fungsional berkembang menjadi presbiopia
absolut. Presbiopia absolut adalah kondisi di mana sesungguhnya tidak ada
sisa kemampuan akomodatif.
d. Presbiopia Prematur
Pada presbiopia prematur, kemampuan akomodasi penglihatan dekat
menjadi berkurang lebih cepat dari yang diharapkan. Presbiopia ini terjadi
dini pada usia sebelum 40 tahun. Berhubungan dengan lingkungan, gizi,
penyakit atau obat – obatan, hipermetropia yang tidak terkoreksi,
premature sklerosis dari cristaline lensa, glaukoma simple kronik.
e. Presbiopia nocturnal
Presbiopia nokturnal adalah kondisi dimana terjadi kesulitan untuk melihat
dekat disebabkan oleh penurunan amplitudo akomodasi di cahaya redup.

36
Peningkatan ukuran pupil, dan penurunan kedalaman menjadi penyebab
berkurangnya jarak penglihatan dekat dalam cahaya redup.

2.5.7. Gejala
Presbiopia terjadi secara bertahap. Penglihatan yang kabur, dan
ketidakmampuan melihat benda – benda yang biasanya dapat dilihat pada
jarak dekat merupakan gejala dari presbiopia. Gejala lain yang umumnya
terjadi pada presbiopia adalah: 25,26,27
- keterlambatan saat memfokuskan pada jarak dekat
- mata terasa tidak nyaman, berair, dan sering terasa pedas
- sakit kepala
- astenopia karena kelelahan pada otot siliar
- menyipitkan mata saat membaca
- kelelahan atau mengantuk saat membaca dekat
- membutuhkan cahaya yang lebih terang untuk membaca.
Kesulitan melihat pada jarak dekat yang biasa dilakukan dan
mengubah atau mempertahankan fokus disebabkan oleh penurunan amplitudo
akomodasi. Penggunaan cahaya terang untuk membaca pada pasien
menyebabkan penyempitan pupil, sehingga peningkatan kedalaman fokus.
Kelelahan dan sakit kepala berhubungan dengan kontraksi otot orbicularis atau
bagian dari otot occipitofrontalis, dan diduga berhubungan dengan ketegangan
dan frustrasi atas ketidakmampuan untuk mempertahankan jelas penglihatan
dekat. Mengantuk dikaitkan dengan upaya fisik dikeluarkan untuk akomodasi
selama beberapa waktu.25,26,27

2.5.8. Diagnosa 25,26,28


1. Anamnesa
Anamnesa gejala – gejala dan tanda presbiopi. Keluhan pasien terkait
presbiopi dapat bermacam-macam, misalnya pasien merasa hanya mampu
membaca dalam waktu singkat, merasa cetakan huruf yang dibaca kabur
atau ganda, kesulitan membaca tulisan huruf dengan cetakan kualitas
rendah, saat membaca membutuhkan cahaya yang lebih terang atau jarak
yang lebih jauh, saat membaca merasa sakit kepala dan mengantuk.

37
2. Pemeriksaan Oftalmologi
a. Pemeriksaan Tajam Penglihatan, dilakukan di kamar yang tidak terlalu
terang dengan Kartu Snellen. Cara :
- Pasien duduk dengan jarak 6 m dari kartu snellen dengan satu mata
ditutup.
- Pasien diminta membaca huruf yang tertulis di kartu, mulai dari
baris paling atas ke bawah, dan ditentukan baris terakhir yang
masih dapat dibaca seluruhnya dengan benar.
- Bila pasien tidak dapat membaca baris paling atas ( terbesar ),
maka dilakukan uji hitung jari dari jarak 6 m.
- Jika pasien tidak dapat menghitung jari pada jarak 6 m, maka jarak
dapat dikurangi satu meter, sampai maksimal jarak penguji dengan
pasien satu meter.
- Jika pasien tidak dapat melihat, dilakukan uji lambaian tangan dari
jarak satu meter.
- Jika pasien tetap tidak bisa melihat lambaian tangan, dilakukan uji
dengan arah sinar.
- Jika penglihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinar, maka
dikatakan penglihatannya adalah nol (0) atau buta total.

Penilaian :

Tajam penglihatan normal adalah 6/6. Berarti pasien dapat membaca


seluruh huruf dalam kartu snellen dengan benar.

Bila baris yang dapat dibaca seluruhnya bertanda 30, maka dikatakan
tajam penglihatan 6/30. Berarti ia hanya dapat melihat pada jarak 6 m
yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 30 m.

Bila dalam uji hitung jari, pasien hanya dapat melihat atau menentukan
jumlah jari yang diperlihatkan pada jarak 3 m, maka dinyatakan tajam
penglihatan 3/60. Jari terpisah dapat dilihat orang normal pada jarak 60
m.

38
Orang normal dapat melihat gerakan atau lambaian tangan pada jarak
300 m. Bila mata hanya dapat melihat lambaian tangan pada jarak 1
meter, berarti tajam penglihatan adalah 1/300.

Bila mata hanya mengenal adanya sinar saja, tidak dapat melihat
lambaian tangan, maka dikatakan sebagai 1/~. Orang normal dapat
melihat adanya sinar pada jarak tidak berhingga.

b. Pemeriksaan Presbiopia, untuk usia lanjut dengan keluhan dalam


membaca, dilanjutkan dengan pemeriksaan presbyopia. Cara :
- Dilakukan penilaian tajam penglihatan dan koreksi kelainan
refraksi bila terdapat
- myopia, hipermetropia, atau astigmatisma, sesuai prosedur di atas.
- Pasien diminta membaca kartu baca pada jarak 30-40 cm (jarak
baca)
- Diberikan lensa mulai +1 dinaikkan perlahan-lahan sampai terbaca
huruf terkecil pada kartu baca dekat dan kekuatan lensa ini
ditentukan.
- Dilakukan pemeriksaan mata satu per satu.

2.5.9. Penatalaksanaan
Presbiopia dikoreksi dengan ,menggunakan lensa plus untuk mengatasi
daya fokus otomatis lensa yang hilang. Pada pasien presbiopia kacamata atau
adisi diperlukan untuk membaca dekat yang berkekuaan tertentu:25,26-28

 + 1.0 D untuk usia 40 tahun


 + 1.5 D untuk usia 45 tahun
 + 2.0 D untuk usia 50 tahun
 + 2.5 D untuk usia 55 tahun
 + 3.0 D untuk usia 60 tahun

Karena jarak baca biasanya 33 cm, maka adisi + 3.0 dioptri adalah
lensa positif terkuat yang dapat diberikan pada seseorang. Pemeriksaan adisi
untuk membaca perlu disesuaikan dengan kebutuhan jarak kerja pasien pada
waktu membaca. Pemeriksaan sangat subjektif sehingga angka – angka di

39
atas tidak merupakan angka yang tetap.25,26

Kacamata baca memiliki koreksi-dekat di seluruh aperture kacamata


sehingga kacamata tersebut baik untuk membaca, tetapi membuat benda-
benda jauh menjadi kabur. Untuk mengatasi gangguan ini, dapat digunakan
kacamata yang bagian atasnya terbuka dan tidak terkoreksi untuk penglihatan
jauh. Kacamata bifokus melakukan hal serupa tetapi memungkinkan untuk
koreksi kalainan refraksi yang lain. Kacamata trifokus mengoreksi
penglihatan jauh disegmen atas, penglihatan sedang di segmen tengah, dan
penglihatan dekat di segmen bawah. Lensa progresif juga mengoreksi
penglihatan dekat, sedang, dan jauh tetapi dengan perubahan daya lensa yang
progresif dan bukan bertingkat.24

2.5.10. Prognosis
Hampir semua pasien presbiopia dapat berhasil dalam menggunakan
salah satu pilihan penatalaksanaan. Dalam beberapa kasus (misalnya, pasien
presbiopia yang baru menggunakan kacamata, pemakai lensa kontak, pasien
yang memiliki riwayat kesulitan beradaptasi dengan koreksi visual), tambahan
kunjungan untuk tindak lanjut mungkin diperlukan. Selama kunjungan
tersebut, dokter mata dapat memberikan anjuran kepada pasien, verifikasi
resep lensa dan penyesuaian bingkai. Kadang-kadang, perubahan dalam desain
lensa diperlukan.25

2.6. Anisometropia Dewasa


2.6.1. Definisi
Anisometropia merupakan kelainan dimana kekuatan refraksi kedua
mata berbeda. Pada keadaan berat anisometropia tertentu otak tidak dapat
melihat besarnya benda yang berbeda. Perkembangan selanjutnya mata akan
merasa senang melihat dengan satu mata dan melakukan supresi pada mata
lainnya.10

2.6.2. Patofisiologi
Hingga saat ini belum diketahui dengan jelas bagaimana perjalanan
penyakit anisometropia. Yang dapat diketahui hanyalah anisometropia
disebabkan karena adanya perbedaan refraksi antara kedua mata (Donahue,
2005) 29. Mata tidak dapat berakomodasi secara independen dan mata yang

40
hiperopia terus-menerus kabur. Hal ini akan mengakibatkan supressi pada satu
mata yang disebut dengan ambliopia. 30

2.6.3. Klasifikasi
Tipe klinis anisometropia:
1. Simple anisometropia: Satu mata normal (emetropia) dan mata lain miopia
atau hipermetropia.
2. Compound anisometropia: Kedua mata hipermetropia atau miopia, tapi
satu mata memiliki kelainan refraksi lebih tinggi dari mata yang lain.
3. Mixed anisometropia: Satu mata miopia dan mata lain hipermetropia.
Keadaan ini juga disebut dengan antimetropia.
4. Simple astigmatic anisometropia: Satu mata normal dan mata lain
memiliki baik miopia atau pun hipermetropia simpel dengan astigmatisme.
5. Compound astigmatic anisometropia: Kedua mata astigmatisme, tetapi
dengan derajat yang berbeda. 18

2.6.4. Gambaran Klinis


Orang dengan ambliopia akan memiliki penglihatan ganda karna
adanya perbedaan refraksi antara mata kanan dan mata kiri. Selain itu juga
terjadi kelelahan pada mata.

2.6.5. Pemeriksaan Penunjang


Pada anisometropia terjadi kelainan refraksi pada salah satu ataupun
kedua mata. Untuk itu dilakukan pemeriksaan refraksi seperti dengan
menggunakan uji pinhole. Fotorefraksi dikatakan berguna untuk menskrinning
adanya anisometropia.30

2.6.6. Diagnosa Banding


Diagnosa banding dari anisometropia adalah aniseikonia dan
ambliopia. Ambliopia bisa juga merupakan lanjutan dari anisometropia.

2.6.7. Tatalaksana
Anisometropia pada derajat yang ringan bukanlah sebuah masalah.
Perbedaan 1 D pada kedua mata menyebabkan perbedaan ukuran bayangan di
kedua retina sebanyak 2 %. Perbedaan bayangan retina di kedua mata hingga 5

41
% masih dapat ditoleransi dengan baik dan antara 2.5 sampai 4 D dapat
ditoleransi tergantung sensitivitas individu. Bagaimanapun, lebih dari 4 D
tidak dapat ditoleransi lagi dan harus menjadi perhatian. Jika perbedaannya
lebih dari 4D, bisa menyebabkan diplopia. Modalitas terapi lain berupa
intraokular lensa implantasi untuk uniokular afakia, operasi refraktif kornea
untuk yang mengalami unilateral miopia, astigmatisme dan hipermetropia, dan
ekstraksi lensa kristalin untuk unilateral miopia derajat tinggi. 18

2.6.8. Komplikasi
Pada awal koreksi kaca mata dapat terjadi ketidakcocokan. Ukuran
bayangan yang tidak sama, atau aniseikonia dapat terjadi, dan efek prismatik
dari kacamata dapat memicu anisoforia. Anisoferia biasanya lebih
mengganggu dibandingkan aniseikonia bagi pasien dengan anisometropia
yang dikoreksi dengan kacamata. 31

2.6.9. Prognosis
Koreksi dengan kacamata menghasilkan perbedaan ukuran bayangan
di retina sekitar 25 %, yang jarang dapat ditoleransi. Koreksi dengan lensa
kontak menurunkan perbedaan ukuran bayangan menjadi sekitar 6 %, yang
dapat ditoleransi. Lensa intraokular menghasilkan perbedaan kurang dari 1 %.
30

2.7. Anisometropia Anak


2.7.1. Definisi
Isometropia merupakan keadaan dimana kedua mata memiliki
kekuatan refraksi yang sama. Anisometropia merupakan salah satu gangguan
penglihatan, yaitu suatu keadaan dimana kedua mata terdapat perbedaan
32
kekuatan refraksi. Anisometropria dengan perbedaan antara kedua mata
33,34
lebih dari atau sama dengan dioptri akan menyebabkan perbedaan
bayangan sebesar 5% atau lebih. Perbedaan bayangan antara kedua mata
sebesar 5% atau lebih pada umumnya akan menimbulkan gejala
aniseikonia.32,33,35

2.7.2. Etiologi
1. Kongenital dan anisometropia karena pertumbuhan, yaitu muncul
disebabkan oleh perbedaan pertumbuhan dari kedua bola mata

42
2. Anisometropia didapat, yaitu mungkin disebabkan oleh aphakia uniokular
setelah pengangkatan lensa pada katarak atau disebabkan oleh implantasi
lensa intra okuler dengan kekuatan yang salah

Anisometropia dapat terjadi apabila: 32,33

1. Mata yang satu hipermetropia sedangkan yang lain miopia (antimetropia)


2. Mata yang satu hipermetropia atau miopia atau astagmatisma sedangkan
yang lain emetropia
3. Mata yang satu hipermetropia dan yang lain juga hipermetropia, dengan
derajat refraksi yang tidak sama
4. Mata yang satu miopia dan yang lain juga miopia dengan derajat refraksi
yang tidak sama
5. Mata yang satu astigmatisma dan yang lain juga astigmatisma dengan
derajat yang tidak sama

2.7.3. Klasifikasi
1. Simple anisometropia: dimana refraksi satu mata adalah normal
(emetropia) dan mata yang lainnya miopia (simple miopia anisometropia)
atau hipermetropia (simple miopia anisometropia).
2. Coumpound anisometropia: dimana pada kedua mata hipermetropia
(coumpound hipermetropic anisometropia) atau miopia (coumpound
miopia anisometropia), tetapi sebelah mata memiliki gangguan refraksi
lebih tinggi dari pada mata yang satunya lagi.
3. Mixed anisometropia: dimana satu mata adalah miopia dan yang satu lagi
hipermetropia, ini juga disebut antimetropia.
4. Simple astigmmatic anisometropia: dimana satu mata normal dan yang
lainnya baik simple miopia atau hipermetropi astigamatisma.
5. Coumpound astigmatismatic anisometropia: dimana kedua mata
merupakan astigmatism tetapi berbeda derajatnya.

Sloane membagi anisometropia menjadi 3 tingkat yaitu:


1. anisometropia kecil, beda refraksi lebih kecil dari 1,5 D
2. anisometropia sedang, beda refraksi antara 1,5-2,5 D
3. anisometropia besar, beda refraksi lebih besar dari 2,5 D

43
2.7.4. Gejala
Gejala anisometropia sangat bervariasi. Menurut Friedenwald gejala
anisometropia muncul apabila terdapat perbedaan bayangan yang diterima
pada kedua retina (aniseikonia). Gejala anisometropia pada umumnya sakit
kepala, pada kedua mata merasa tidak enak, panas, tegang. Gejala yang
spesifik pada anisometropia yaitu pusing, mual-mual, kadang-kadang melihat
ganda, kesulitan memperkirakan jarak suatu benda, melihat lantai yang
bergelombang.

Kelainan Klinik Akibat Anisometropia


1. Akibat Perbedaan visus
Adanya perbedaan visus kedua mata berakibat gangguan fusi, sehingga
orang tersebut akan menggunakan mata yang lebih baik, sedangkan mata
yang kurang visusnya akan disupresi. Apabila keadaan ini dibiarkan maka
akan dapat terjadi strabismus, dan apabila terjadi pada anak-anak yang
masih mengalami perkembangan visus binokular, dapat mengakibatkan
ambliopia.

2. Akibat Perbedaan bayangan


Perbedaan bayangan meliputi perbedaan ukuran dan bentuk. Adanya
perbedaan bayangan disebut aniseikonia. Pada aniseikonia selalu terjadi
gangguan penglihatan binokular. Gangguan penglihatan binokular ini
diakibatkan oleh ketidaksamaan rangsangan untuk penglihatan
stereoskopik.

Secara klinik praktis aniseikonia yang terjadi akibat anisometropia dapat


diketahui dari kelainan distorsi dan kelainan stereoskopik yang muncul.

2.7.5. Diagnosis
Diagnosis anisometropia dapat dibuat setelah pemeriksaan retinoskopi pada
pasien yang penglihatannya berkurang. Pada pemeriksaan retinoskopi dinilai
refleks fundus dan dengan ini bisa diketahui apakah seseorang menderita
hipermetropia, miopia atau astigmatisma. Kemudian baru ditentukan

44
berapakah perbedaan kekuatan refraksi antara kedua bola mata dan ditentukan
besar kecilnya derajat anisometropia.

2.7.6. Tatalaksana
Anisometropia merupakan salah satu gangguan penglihatan, yaitu suatu
keadaan dimana kedua mata terdapat perbedaan kekuatan refraksi, sehingga
penatalaksanaan anisometropia adalah memperbaiki kekuatan refraksi kedua
mata. Adapun beberapa penatalaksanan baik menggunakan alat maupun
tindakan, yaitu:
1. Kaca mata. Kacamata koreksi bisa mentoleransi sampai maksimum
perbedaan refraksi kedua mata 4D. lebih dari 4D koreksi dengan
menggunakan kacamata dapat menyebabkan munculnya diplopia.
2. Lensa kontak. Lensa kontak disarankan untuk digunakan untuk
anisometropia yang tingkatnya lebih berat.
3. Kacamata aniseikonia. Hasil kliniknya sering mengecewakan.
4. Modalitas lainnya dari pengobatan, termasuk diantaranya:
a. Implantasi lensa intraokuler untuk aphakia uniokuler
b. Refractive cornea surgery untuk miopia unilateral yang tinggi,
astigmata, dan hypermetropia
c. Pengangkatan dari lensa kristal jernih untuk miopia unilateral yang
sangat tinggi (operasi fucala)

2.7.7. Komplikasi
Komplikasi pertama yang muncul akibat anisometropia adalah diplopia,
ambliopia dan strabismus sebagai kompensasi mata terhadap perbedaan
kekuatan refraksi kedua mata dan yang paling ditakuti adalah kebutaan
monokular.

2.8. Ambliopia
2.8.1. Definisi
Amblyopia berasal dari bahasa Yunani yaitu amblyos (tumpul) dan
opia (penglihatan). Dikenal juga dengan “lazy eye” atau mata malas. 36
Amblyopia merupakan suatu keadaan dimana pemeriksa tidak melihat apa –
apa dan pasien melihat sangat sedikit.(The observer see nothing and the
patient very little.) 37

45
Amblyopia adalah penurunan ketajaman penglihatan,walaupun sudah
diberi koreksi yang terbaik, dapat unilateral atau bilateral (jarang) yang tidak
dapat dihubungkan langsung dengan kelainan struktural mata maupun jaras
penglihatan posterior. 38

2.8.2. Epidemiologi
Prevalensi amblyopia di Amerika Serikat sulit untuk ditaksir dan
berbeda pada tiap literatur, berkisar antara 1 – 3,5 % pada anak yang sehat
sampai 4 – 5,3 % pada anak dengan problema mata. Hampir seluruh data
mengatakan sekitar 2 % dari keseluruhan populasi menderita amblyopia. 39,49,50
Di Cina, menurut data bulan Desember tahun 2005 yang lalu, sekitar 3 – 5 %
atau 9 hingga 5 juta anak menderita amblyopia.36
Jenis kelamin dan ras tampaknya tidak ada perbedaan. Usia terjadinya
amblyopia yaitu pada periode kritis dari perkembangan mata. Resiko
meningkat pada anak yang perkembangannya terlambat, prematur dan / atau
dijumpai adanya riwayat keluarga amblyopia.39

2.8.3. Patofisiologi
Pada amblyopia didapati adanya kerusakan penglihatan sentral, sedangkan
daerah penglihatan perifer dapat dikatakan masih tetap normal. Studi
eksperimental pada binatang serta studi klinis pada bayi dan balita,
mendukung konsep adanya suatu periode kritis yang peka dalam
berkembangnya keadaan amblyopia. Periode kritis ini sesuai dengan
perkembangan sistem penglihatan anak yang peka terhadap masukan abnormal
yang diakibatkan oleh rangsangan deprivasi, strabismus, atau kelainan refraksi
yang signifikan. Secara umum, periode kritis untuk amblyopia deprivasi
terjadi lebih cepat dibanding strabismus maupun anisometropia. Lebih lanjut,
waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya amblyopia ketika periode kritis lebih
singkat pada rangsang deprivasi dibandingkan strabismus ataupun
anisompetropia.38

Periode kritis tersebut adalah :39


1. Perkembangan tajam penglihatan dari 20/200 (6/60) hinga 20/20 (6/6),
yaitu pada saat lahir sampai usia 3 – 5 tahun.

46
2. Periode yang beresiko (sangat) tinggi untuk terjadinya amblyopia
deprivasi, yaitu di usia beberapa bulan hingga usia 7 – 8 tahun.
3. Periode dimana kesembuhan amblyopia masih dapat dicapai, yaitu sejak
terjadinya deprivasi sampai usia remaja atau bahkan terkadang usia
dewasa.

Walaupun mekanisme neurofisiologi penyebab amblyopia masih


sangat belum jelas, studi eksperimental modifikasi pengalaman dalam melihat
pada binatang dan percobaan laboratorium pada manusia dengan amblyopia
telah memberi beberapa masukan, pada binatang percobaan menunjukkan
gangguan sistem penglihatan fungsi neuron yang dalam/besar yang
diakibatkan pengalaman melihat abnormal dini. Sel pada korteksvisual primer
dapat kehilangan kemampuan dalam menanggapi rangsangan pada satu atau
kedua mata, dan sel yang masih responsif fungsinya akhirnya dapat menurun.
Kelainan juga terjadi pada neuron badan genikulatum lateral. Keterlibatan
retina masih belum dapat disimpulkan.38

Sistem penglihatan membutuhkan pengalaman melihat dan terutama


interaksi kompetitif antar jalur penglihatan di kedua mata pada visual korteks
untuk berkembang hingga dewasa.51 Bayi sudah dapat melihat sewaktu lahir,
tapi mereka harus belajar bagaimana menggunakan mata mereka. Mereka
harus belajar bagaimana untuk fokus, dan bagaimana cara menggunakan
kedua mata bersamaan.40

Penglihatan yang baik harus jernih, bayangan terfokus sama pada kedua
mata. Bila bayangan kabur pada satu mata, atau bayangan tersebut tidak sama
pada kedua mata, maka jaras penglihatan tidak dapat berkembang dengan
baik, bahkan dapat memburuk.41 Bila hal ini terjadi, otak akan ”mematikan”
mata yang tidak fokus dan orang tersebut akan bergantung pada satu mata
untuk melihat.40

2.8.4. Klasifikasi
Amblyopia dibagi kedalam beberapa bagian sesuai dengan gangguan/kelainan
yang menjadi penyebabnya.38
1. Amblyopia Strabismik

47
Amblyopia yang paling sering ditemui ini terjadi pada mata yang
berdeviasi konstan. Konstan, tropia yang tidak bergantian (nonalternating,
khususnya esodeviasi) sering menyebabkan amblyopia yang signifikan.38
Amblyopia umumnya tidak terjadi bila terdapat fiksasi yang bergantian,
sehingga masing – masing mata mendapat jalan/ akses yang sama ke pusat
penglihatan yang lebih tinggi, atau bila deviasi strabismus berlangsung
intermiten maka akan ada suatu periode interaksi binokular yang normal
sehingga kesatuan sistem penglihatan tetap terjaga baik.41
Amblyopia strabismik diduga disebabkan karena kompetisi atau
terhambatnya interaksi antara neuron yang membawa input yang tidak
menyatu (fusi) dari kedua mata, yang akhirnya akan terjadi dominasi pusat
penglihatan kortikal oleh mata yang berfiksasi dan lama kelamaan terjadi
penurunan respon terhadap input dari mata yang tidak berfiksasi.38
Penolakan kronis dari mata yang berdeviasi oleh pusat penglihatan
binokular ini tampaknya merupakan faktor utama terjadinya amblyopia
strabismik, namun pengaburan bayangan foveal oleh karena akomodasi
yang tidak sesuai, dapat juga menjadi faktor tambahan.41
Hal tersebut di atas terjadi sebagai usaha inhibisi atau supresi untuk
menghilangkan diplopia dan konfusi.42 (konfusi adalah melihat 2 objek
visual yang berlainan tapi berhimpitan, satu di atas yang lain).43
Ketika kita menyebut amblyopia strabismik, kita langsung
mengacu pada esotropia, bukan eksotropia. (Tabel 1.1) Perlu diingat, tanpa
ada gangguan lain, esotropia primer-lah, bukan eksotropia, yang sering
diasosiasikan dengan amblyopia . Hal ini disebabkan karena eksotropia
sering berlangsung intermiten dan / atau deviasi alternat dibanding deviasi
unilateral konstan, yang merupakan ”prasyarat” untuk terjadinya
amblyopia.37

Jenis Strabismus Primer dan Ada atau Tidaknya Amblyopia 4 (37)

Intermiten  tidak ada amblyopia

Esotropia Primer Alternating  tidak ada amblyopia

Konstan unilateral (sering)  Amblyopia

48
Intermiten  tidak ada
amblyopia

Eksotropia Primer Alternating  tidak ada


amblyopia

Konstan unilateral (jarang)  Amblyopia

2. Fiksasi Eksenterik
Fiksasi eksentrik mengacu kepada penggunaan regio nonfoveal
retina terus menerus untuk penglihatan monokular oleh mata
amblyopia .38 Fiksasi eksentrik terdapat sekitar 80% dari penderita
amblyopia.44 Fiksasi eksentrik ringan (derajat minor), hanya dapat
dideteksi dengan uji khusus, seperti visuskop, banyak dijumpai pada
penderita amblyopia strabismik dan hilangnya tajam penglihatan
ringan.38
Secara klinis bukti adanya fiksasi eksentrik, dapat dideteksi
dengan melihat refleks kornea pada mata amblyopia tidak pada posisi
sentral, dimana ia memfiksasi cahaya, dengan mata dominan ditutup.38
Umumnya tajam penglihatan adalah 20/200 (6/60) atau lebih buruk
lagi.38,45 Penggunaan regio nonfoveal untuk fiksasi tidak dapat
disimpulkan sebagai penyebab utama menurunnya penglihatan pada
mata yang amblyopia. Mekanisme fenomena ini masih belum
diketahui.38

3. Amblyopia Anisometropik
Terbanyak kedua setelah amblyopia strabismik adalah
amblyopia anisometropik, terjadi ketika adanya perbedaan refraksi
antara kedua mata yang menyebabkan lama kelamaan bayangan pada
satu retina tidak fokus.38
Jika bayangan di fovea pada kedua mata berlainan bentuk dan
ukuran yang disebabkan karena kelainan refraksi yang tidak sama
antara kiri dan kanan, maka terjadi rintangan untuk fusi. Lebih – lebih

49
fovea mata yang lebih ametropik akan menghalangi pembentukan
bayangan (form vision).43
Kondisi ini diperkirakan sebagian akibat efek langsung dari
bayangan kabur pada perkembangan tajam penglihatan pada mata yang
terlibat, dan sebagian lagi akibat kompetisi interokular atau inhibisi
yang serupa ( tapi tidak harus identik) dengan yang terjadi pada
amblyopia strabismik.38
Derajat ringan anisometropia hyperopia atau astigmatisma (1-2
D) dapat menyebabkan amblyopia ringan. Myopia anisometropia
ringan (< - 3 D) biasanya tidak menyebabkan amblyopia, tapi myopia
tinggi unilateral ( - 6 D) sering menyebabkan amblyopia berat.1 Begitu
juga dengan hyperopia tinggi unilateral ( + 6 D). Tapi pada beberapa
pasien (kemungkinan onset-nya terjadi pada umur lanjut), gangguan
penglihatan, anehnya, adalah ringan. Bila gangguan penglihatan amat
sangat besar, sering didapat bukti adanya malformasi atau perubahan
degeneratif pada mata ametropia yang menyebabkan kerusakan
fungsional atau menambah faktor amblyopiogenik.41

4. Amblyopia Isometropia
Amblyopia isometropia terjadi akibat kelainan refraksi tinggi
yang tidak dikoreksi, yang ukurannya hampir sama pada mata kanan
dan mata kiri.38 Dimana walaupun telah dikoreksi dengan baik, tidak
langsung memberi hasil penglihatan normal. Tajam penglihatan
membaik sesudah koreksi lensa dipakai pada suatu periode waktu
(beberapa bulan). Khas untuk amblyopia tipe ini yaitu, hilangnya
penglihatan ringan dapat diatasi dengan terapi penglihatan, karena
interaksi abnormal binokular bukan merupakan faktor penyebab.37
Mekanismenya hanya karena akibat bayangan retina yang kabur saja. 38
Pada amblyopia isometropia, bayangan retina (dengan atau tanpa
koreksi lensa) sama dalam hal kejelasan/ kejernihan dan ukuran.37
Hyperopia lebih dari 5 D dan myopia lebih dari 10 D beresiko
38,45
menyebabkan bilateral amblyopia ,dan harus dikoreksi sedini
mungkin agar tidak terjadi amblyopia.45

50
5. Amblyopia Deprivasi
Istilah lama amblyopia ex anopsia atau ”disuse amblyopia”
sering masih digunakan untuk amblyopia deprivasi, dimana sering
disebabkan oleh kekeruhan media kongenital atau dini 38, akan
menyebabkan terjadinya penurunan pembentukan bayangan yang
akhirnya menimbulkan amblyopia.45 Bentuk amblyopia ini sedikit kita
jumpai namun merupakan yang paling parah dan sulit diperbaiki.38
Amblyopia bentuk ini lebih parah pada kasus unilateral dibandingkan
bilateral dengan kekeruhan identik.45
Anak kurang dari 6 tahun, dengan katarak kongenital padat /
total yang menempati daerah sentral dengan ukuran 3mm atau lebih,
harus dianggap dapat menyebabkan amblyopia berat. Kekeruhan lensa
yang sama yang terjadi pada usia > 6 thn lebih tidak berbahaya. 38
Amblyopia oklusi adalah bentuk amblyopia deprivasi disebabkan
karena penggunaan patch (penutup mata) yang berlebihan.38
Amblyopia berat dilaporkan dapat terjadi satu minggu setelah
penggunaan patching unilateral pada anak usia < 2 tahun sesudah
menjalani operasi ringan pada kelopak mata.41

2.8.5. Diagnosis
Amblyopia didiagnosis bila terdapat penurunan tajam penglihatan yang tidak
dapat dijelaskan, dimana hal tersebut ada kaitan dengan riwayat atau kondisi
yang dapat menyebabkan amblyopia.38
 Anamnesis
Bila menemui pasien amblyopia, ada 4 pertanyaan penting yang harus kita
tanyakan dan harus dijawab dengan lengkap, yaitu :37
1) Kapan pertama kali dijumpai kelainan amblyogenik ? (seperti
strabismus, anisometropia, dll)
2) Kapan penatalaksanaan pertama kali dilakukan ?
3) Terdiri dari apa saja penatalaksanaan itu ?
4) Bagaimana kedisiplinan pasien terhadap penatalaksanaan itu?

51
Jawaban dari keempat pertanyaan tersebut akan membantu kita dalam
membuat prognosisnya.37 (Tabel 2)

Jelek s/d Sedang Sedang s/d Baik Baik s/d Sempurna

Onset anomali lahir s/d usia 2 thn 2 s/d 4 thn 4 s/d 7 thn

Amblyogenik

Onset terapi >3 thn 1 s/d 3 thn ≤1

thn Minus onset

Anomali

Bentuk dan koreksi optikal Koreksi optikal & Koreksi optikal penuh

Keberhasilan Kemajuan VA Patching Patching

Dari terapi minimal Kemajuan VA sedang Kemajuan VA signifi

Awal (moderat) -kan

Latihan akomodasi,

Koordinasi mata-ta-

ngan,& fiksasi

Adanya stereopsis &

Alternasi

Kepatuhan tidak s/d kurang lumayan s/d cukup cukup s/d sgt patuh

Tabel 2. Faktor primer yang berhubungan dengan prognosis

amblyopia4 VA = visual acuity = tajam penglihatan

Sebagai tambahan, penting juga ditanyakan riwayat keluarga yang


menderita strabismus atau kelainan mata lainnya, karena hal tersebut

52
merupakan predisposisi seorang anak menderita amblyopia.39 Strabismus
dijumpai sekitar 4% dari keseluruhan populasi. Frekuensi strabismus
yang ”diwariskan” berkisar antara 22% - 66%. Frekuensi esotropia
diantara saudara sekandung, dimana pada orang tua tidak dijumpai
kelainan tersebut, adalah 15%. Jika salah satu orang tuanya esotropia,
frekuensi meningkat hingga 40%. ( Informasi ini tidak mempengaruhi
prognosis, tapi penting untuk keturunannya).37

 Tajam Penglihatan
Penderita amblyopia kurang mampu untuk membaca bentuk / huruf
yang rapat dan mengenali pola apa yang dibentuk oleh gambar atau huruf
tersebut. Tajam penglihatan yang dinilai dengan cara konvensional, yang
berdasar kepada kedua fungsi tadi, selalu subnormal.41
Telah diketahui bahwa penderita amblyopia sulit untuk
mengidentifikasi huruf yang tersusun linear (sebaris) dibandingkan dengan
huruf yang terisolasi, maka dapat kita lakukan dengan meletakkan balok
disekitar huruf tunggal.(Gambar 1). Hal ini disebut ”Crowding
Phenomenon”.41
Terkadang mata amblyopia dengan tajam penglihatan 20/20 (6/6) pada
huruf isolasi dapat turun hingga 20/100 (6/30) bila ada interaksi bentuk
(countour interaction). Perbedaan yang besar ini terkadang muncul juga
sewaktu pasien yang sedang diobati kontrol, dimana tajam penglihatannya
jauh lebih baik pada huruf isolasi daripada huruf linear. Oleh karena itu,
amblyopia belum dikatakan sembuh hingga tajam penglihatan linear
kembali normal.41

Gambar 1. Balok Interaktif yang mengelilingi huruf Snellen

53
Menentukan tajam penglihatan mata amblyopia pada anak adalah
pemeriksaan yang paling penting.38 Walaupun untuk mendapatkan hasil
pemeriksaan yang dapat dipercaya sulit pada pasien anak – anak, tapi
untungnya penatalaksanaan amblyopia sangat efektif dan efisien pada anak
– anak.41
Anak yang sudah mengetahui huruf balok dapat di tes dengan karta
Snellen standar. Untuk Nonverbal Snellen, yang banyak digunakan adalah
tes ”E” dan tes ”HOTV”. 41 Tes lain adalah dengan simbol LEA.(Gambar 2
) Bentuk ini mudah bagi anak usia ± 1 tahun (todler), dan mirip dengan
konfigurasi huruf Snellen. Caranya sama dengan tes HOTV.41

Gambar 2. Simbol LEA

 Neutral Density (ND) Filter Test


Tes ini digunakan untuk membedakan amblyopia fungsional dan
organik. Filter densitas netral (Kodak No.96, ND 2.00 dan 0,50) dengan
densitas yang cukup unruk menurunkan tajam penglihatan mata normal
dari 20/20 (6/6) menjadi 20/40 (6/12) ditempatkan di depan mata yang
amblyopik.41,43 Bila pasien menderita amblyopia, tajam penglihatan dengan
NDF tetap sama dengan visus semula atau sedikit membaik.51 (Gambar 3)
Jika ada amblyopia organik, tajam penglihatan menurun dengan nyata
bila digunakan filter,12,14 misalnya 20/100 (6/30) menjadi hitung jari atau
lambaian tangan.51 Keuntungan tes ini bisa, digunakan untuk screening
secara cepat sebelum, dikerjakan terapi oklusi, apabila penyebab
amblyopia tidak jelas.43

54
Gambar : Tes Filter Densitas Netral

Keterangan :
A. Pada saat mata yang sehat ditutup, filter ditempatkan di depan mata
yang ambliopik selama 1 menit sebelum diperiksa visusnya.
B. Tanpa filter pasien bisa membaca 20/40
C. Dengan filter, visus tetap 20/40 (atau membaik 1 atau 2 baris) pada
amblyopia fungsional
D. Filter bisa menurunkan visus 3 baris atau lebih pada kasus-kasus
amblyopia organic

 Menentukan Sifat Fiksasi


Pada pasien amblyopia, sifat fiksasi haruslah ditentukan. Penglihatan
sentral terletak pada foveal; pada fiksasi eksentrik, yang digunakan untuk
melihat adalah daerah retina parafoveal – hal ini sering dijumpai pada
pasien dengan strabismik amblyopia daripada anisometropik amblyopia. 45
Fiksasi eksentrik ditandai dengan tajam penglihatan 20/200 (6/60) atau
lebih buruk lagi.38,45 Tidak cukup kiranya menentukan sifat fiksasi hanya
pada posisi refleks cahaya korneal. Fiksasi didiagnosis dengan
menggunakan visuskop dan dapat didokumentasi dengan kamera fundus
Zeiss. Tes lain dapat dengan tes tutup alternat untuk fiksasi eksentrik
bilateral.43
o Visuskop
Visuskop adalah oftalmoskop yang telah dimodifikasi yang
memproyeksikan target fiksasi ke fundus.(Gambar 4) Mata yang tidak
diuji ditutup. Pemeriksa memproyeksikan target fiksasi ke dekat

55
makula, dan pasien mengarahkan pandagannya ke tanda bintik hitam
(asterisk / *).43,45

Gambar : Visuskop

Posisi tanda asterisk di fundus pasien dicatat. Pengujian ini diulang


beberapa kali untuk menentukan ukuran daerah fiksasi eksentrik.43
Pada fiksasi sentral, tanda asterisk terletak di fovea. Pada fiksasi
eksentrik, mata akan bergeser sehingga asterisk bergerak ke daerah
ekstrafoveal dari fiksasi retina.45

o Tes Tutup Alternat (Alternat Cover Test) untuk Fiksasi Eksentrik


Bilateral
Fiksasi eksentrik bilateral adalah suatu kelainan yang jarang
dijumpai dan terjadi pada pasien – pasien dengan amblyopia
kongenital keduabelah mata dan dalam hal ini pada penyakit makula
bilateral dalam jangka lama.43 Misalnya bila kedua mata ekstropia atau
esotropia, maka bila mata kontralateral ditutup, mata yang satunya
tetap pada posisi semula, tidak ada usaha untuk refiksasi bayangan.
(Gambar 5) Tes visuskop akan menunjukkan adanya fiksasi eksentrik
pada kedua belah mata.45

56
Gambar : Fiksasi Eksentrik Bilateral

2.8.6. Penatalaksanaan
Amblyopia, pada kebanyakan kasus, dapat ditatalaksana dengan efektif
selama satu dekade pertama. Lebih cepat tindakan terapeutik dilakukan, maka
akan semakin besar pula peluang keberhasilannya. Bila pada awal terapi sudah
berhasil, hal ini tidak menjamin penglihatan optimal akan tetap bertahan, maka
para klinisi harus tetap waspada dan bersiap untuk melanjutkan
penatalaksanaan hingga penglihatan ”matang” (sekitar umur 10 tahun).46

Penatalaksanaan amblyopia meliputi langkah – langkah berikut :38


1) Menghilangkan (bila mungkin) semua penghalang penglihatan seperti
katarak
2) Koreksi kelainan refraksi
3) Paksakan penggunaan mata yang lebih lemah dengan membatasi
penggunaan mata yang lebih baik

 Pengangkatan Katarak
Katarak yang dapat menyebabkan amblyopia harus segera dioperasi,
tidak perlu ditunda – tunda. Pengangkatan katarak kongenital pada usia 2-
3 bulan pertama kehidupan, sangat penting dilakukan agar penglihatan
kembali pulih dengan optimal. Pada kasus katarak bilateral, interval
operasi pada mata yang pertama dan kedua sebaiknya tidak lebih dari 1- 2
minggu. Terbentuknya katarak traumatika berat dan akut pada anak
dibawah umur 6 tahun harus diangkat dalam beberapa minggu setelah
kejadian trauma, bila memungkinkan.38 Yang mana katarak traumatika itu
sangat bersifat amblyopiogenik. Kegagalan dalam ”menjernihkan” media,
memperbaiki optikal, dan penggunaan reguler mata yang terluka, akan
mengakibatkan amblyopia berat dalam beberapa bulan, selambat –
lambatnya pada usia 6 hingga 8 tahun.46
 Koreksi Refraksi
Bila amblyopia disebabkan kelainan refraksi atau anisometropia, maka
dapat diterapi dengan kacamata atau lensa kontak.36 Ukuran kaca mata

57
untuk mata amblyopia diberi dengan koreksi penuh dengan penggunaan
sikloplegia.38
Bila dijumpai myopia tinggi unilateral, lensa kontak merupakan
pilihan, karena bila memakai kacamata akan terasa berat dan
penampilannya (estetika) buruk.46
Karena kemampuan mata amblyopia untuk mengatur akomodasi
cenderung menurun, maka ia tidak dapat mengkompensasi hyperopia yang
tidak dikoreksi seperti pada mata anak normal. Koreksi aphakia pada anak
dilakukan segera mungkin untuk menghindarkan terjadinya deprivasi
penglihatan akibat keruhnya lensa menjadi defisit optikal berat.
Amblyopia anisometropik dan amblyopia isometropik akan sangat
membaik walau hanya dengan koreksi kacamata selama beberapa bulan.36
 Oklusi dan Degradasi Optikal
1) Oklusi
39
Terapi oklusi sudah dilakukan sejak abad ke-18 dan merupakan
terapi pilihan,45 yang keberhasilannya baik dan cepat, dapat dilakukan
oklusi penuh waktu (full time) atau paruh waktu (part-time).47
a. Oklusi Full Time
Pengertian oklusi full- time pada mata yang lebih baik adalah
oklusi untuk semua atau setiap saat kecuali 1 jam waktu berjaga.
(Occlusion for all or all but one waking hour),38,45 arti ini sangat
penting dalam pentalaksanaan amblyopia dengan cara penggunaan
mata yang ”rusak”.38 Biasanya penutup mata yang digunakan
adalah penutup adesif (adhesive patches) yang tersedia secara
komersial.38 (Gambar 6).

Gambar : Adhesive patch

58
Penutup (patch) dapat dibiarkan terpasang pada malam hari
atau dibuka sewaktu tidur. Kacamata okluder (spectacle mounted
ocluder) atau lensa kontak opak38,atau Annisa’s Fun Patches
(Gambar 7)39 dapat juga menjadi alternatif full-time patching bila
terjadi iritasi kulit atau perekat patch-nya kurang lengket.1 Full-
time patching baru dilaksanakan hanya bila strabismus konstan
menghambat penglihatan binokular, karena full-time patching
mempunyai sedikit resiko, yaitu bingung dalam hal penglihatan
binokular.38
Ada suatu aturan / standar mengatakan full-time patching diberi
selama 1 minggu untuk setiap tahun usia 39,45,47, misalnya penderita
amblyopia pada mata kanan berusia 3 tahun harus memakai full-
time patch selama 3 minggu, lalu dievaluasi kembali. 47 Hal ini
untuk menghindarkan terjadinya amblyopia pada mata yang baik.39

Gambar : Annisa’s Fun Patches yang tidak memakai perekat


karena dapat disisipkan kedalam kacamata

b. Oklusi Part Time


Oklusi part-time adalah oklusi selama 1-6 jam per hari, akan
memberi hasil sama dengan oklusi full-time. Durasi interval buka
dan tutup patch-nya tergantung dari derajat amblyopia.38
Amblyopia Treatment Studies (ATS) telah membantu dalam
penjelasan peranan full-time patching dibanding part-time. Studi
tersebut menunjukkan, pasien usia 3- 7 tahun dengan amblyopia
berat (tajam penglihatan antara 20/100 = 6/30 dan 20/400 =

59
6/120 ), full-time patching memberi efek sama dengan penutupan
selama 6 jam per hari. Dalam studi lain, patching 2 jam/hari
menunjukkan kemajuan tajam penglihatan hampir sama dengan
patching 6jam/hari pada amblyopia sedang / moderate (tajam
penglihatan lebih baik dari 20/100) pasien usia 3 – 7 tahun. Dalam
studi ini, patching dikombinasi dengan aktivitas melihat dekat
selama 1 jam/ hari.39
Idealnya, terapi amblyopia diteruskan hingga terjadi fiksasi
alternat atau tajam penglihatan dengan Snellen linear 20/20 (6/6)
pada masing – masing mata. Hasil ini tidak selalu dapat dicapai.
Sepanjang terapi terus menunjukkan kemajuan, maka
penatalaksanaan harus tetap diteruskan.46

2) Degradasi Optikal
Metode lain untuk penatalaksanaan amblyopia adalah dengan
menurunkan kualitas bayangan (degradasi optikal) pada mata yang
lebih baik hingga menjadi lebih buruk dari mata yang amblyopia,
sering juga disebut penalisasi (penalization). Sikloplegik (biasanya
atropine tetes 1% atau homatropine tetes 5%) diberi satu kali dalam
sehari pada mata yang lebih baik sehingga tidak dapat berakomodasi
dan kabur bila melihat dekat dekat.38
ATS menunjukkan metode ini memberi hasil yang sama
efektifnya dengan patching untuk amblyopia sedang (tajam
penglihatan lebih baik daripada 20/100). ATS tersebut dilakukan pada
anak usia 3 – 7 tahun. ATS juga memperlihatkan bahwa pemberian
atropine pada akhir minggu (weekend) memberi perbaikan tajam
penglihatan sama dengan pemberian atropine harian yang dilakukan
pada kelompok anak usia 3 – 7 tahun dengan amblyopia sedang.39 Ada
juga studi terbaru* yang membandingkan atropine dengan patching
pada 419 orang anak usia 3-7 tahun,menunjukkan atropine merupakan
pilihan efektif. Sehingga, ahli mata yang tadinya masih ragu – ragu,
memilih atropine sebagai pilihan pertama daripada patching.† 2
Pendekatan ini mempunyai beberapa keuntungan dibanding
dengan oklusi, yaitu tidak mengiritasi kulit dan lebih apik dilihat dari

60
segi kosmetis. Dengan atropinisasi, anak sulit untuk ”menggagalkan”
metode ini. Evaluasinya juga tidak perlu sesering oklusi.46
Metode pilihan lain yang prinsipnya sama adalah dengan
memberikan lensa positif dengan ukuran tinggi (fogging) atau filter.
Metode ini mencegah terjadinya efek samping farmakologik atropine.38
Keuntungan lain dari metode atropinisasi dan metode non-
oklusi pada pasien dengan mata yang lurus (tidak strabismus) adalah
kedua mata dapat bekerjasama,38 jadi memungkinkan penglihatan
binokular.46

2.8.7. Komplikasi dari Penatalaksanaan


Semua bentuk penatalaksanaan amblyopia memungkinkan untuk
terjadinya amblyopia pada mata yang baik.Oklusi full-time adalah yang paling
beresiko tinggi dan harus dipantau dengan ketat, terutama pada anak balita.
Follow-up pertama setelah pemberian oklusi dilakukan setelah 1 minggu pada
bayi dan 1 minggu per tahun usia pada anak (misalnya : 4 minggu untuk anak
usia 4 tahun). Oklusi part-time dan degradasi optikal, observasinya tidak perlu
sesering oklusi full-time, tapi follow-up reguler tetap penting.38
Hasil akhir terapi amblyopia unilateral adalah terbentuknya kembali
fiksasi alternat, tajam penglihatan dengan Snellen linear tidak berbeda lebih
dari satu baris antara kedua mata.38

Waktu yang diperlukan untuk lamanya terapi tergantung pada hal berikut :
 Derajat Amblyopia
 Pilihan Terapeutik yang digunakan
 Kepatuhan pasien terhadap terapi yang dipilih
 Usia Pasien

Semakin berat amblyopia, dan usia lebih tua membutuhkan penatalaksanaan


yang lebih lama. Oklusi full-time pada bayi dan balita dapat memberi
perbaikan amblyopia strabismik berat dalam 1 minggu atau kurang.
Sebaliknya, anak yang lebih berumur yang memakai penutup hanya seusai
sekolah dan pada akhir minggu saja, membutuhkan waktu 1 tahun atau lebih
untuk dapat berhasil.38

61
2.8.8. Kekambuhan (Rekurensi)
Bila penatalaksanaan amblyopia dihentikan setelah perbaikan penuh
atau masih sebagian tercapai, sekitar setengah dari pasien-pasien akan
mengalami kekambuhan, yang selalu dapat disembuhkan lagi dengan usaha
terapeutik baru. Kegagalan dapat dicegah dengan memakai pengaturan pada
penglihatan, seperti patching selama 1 – 3 jam per hari, penalisasi optikal
dengan kacamata, atau penalisasi farmakologik dengan atropine selama 1 atau
2 hari per minggu. Pengaturan ini diteruskan hingga ketajaman penglihatan
telah stabil tanpa terapi lain selain kacamata biasa. Keadaan ini perlu tetap
dipantau secara periodik sampai usia 8 – 10 tahun. Selama penglihatan tetap
stabil, interval kunjungan untuk follow-up dapat dilakukan tiap 6 bulan.

2.8.9. Prognosis
Setelah 1 tahun, sekitar 73% pasien menunjukkan keberhasilan setelah
terapi oklusi pertama.3 Bila penatalaksanaan dimulai sebelum usia 5 tahun,
visus normal dapat tercapai. Hal ini semakin berkurang seiring dengan
pertambahan usia. Hanya kesembuhan parsial yang dapat dicapai bila usia
lebih dari 10 tahun.47

Faktor resiko gagalnya penatalaksanaan amblyopia adalah sebagai berikut :39


 Jenis Amblyopia : Pasien dengan anisometropia tinggi dan pasien dengan
kelainan organik, prognosisnya paling buruk. Pasien dengan amblyopia
strabismik prognosisnya paling baik.
 Usia dimana penatalaksanaan dimulai : Semakin muda pasien maka
prognosis semakin baik.
 Dalamnya amblyopia pada saat terapi dimulai : Semakin bagus tajam
penglihatan awal pada mata amblyopia, maka prognosisnya juga semakin
baik.

2.9. Buta Senja


2.9.1. Definisi

62
Buta senja adalah ketidakmampuan untuk melihat dengan baik pada
malam hari atau penglihatan yang kurang sempurna pada penerangan yang
kurang.

2.9.2. Epidemiologi
Kekurangan vitamin A lebih sering pada negara berkembang
dibandingkan dengan negara maju dan diperkirakan sebanyak 250 juta anak-
anak yang mengalami defisiensi vitamin A, meskipun kekurangan vitamin A
dapat terjadi pada semua umur. Kekurangan vitamin A biasanya terjadi pada
anak yang menderita Kurang Energi Protein (KEP) atau gizi buruk sebagai
akibat asupan zat gizi sangant kurang. Berbagai laporan menunjukkan bahwa
di negara Asia tenggara prevalensinya tinggi begitu juga dengan masyarakat
yang tinggalnya dipengungsian.

2.9.3. Etiologi
 Defisiensi vitamin A
 Gangguan padasel batang retina
 Miopi atau rabun jauh
 Katarak
 Diabetes
 Retinitis pigmentosa
 Obat glukoma yang dapat mengkontriksikan pupil
 Kongenital

2.9.4. Klasifikasi
Klasifikais defisiensi vitamin A menurut WHO adalah:
 XN : buta senja (hemeralopia, nyctalopia)
 XIA : xerosis konjungtiva
 XIB : xerosis konjungtiva disertai bercak bitot
 X2 : xerosis kornea
 X3A : keratomalasia atau ulserasi kornea kurang dari 1/3 permukaan
kornea
 X3B : keratomalasia atau ulserasi sama atau lebih dari 1/3
permukaan kornea

63
 XS : jaringan parut kornea (sikatrik/scar)
 XF : fundus xeroftalmia, dengan gambaran seperti cendol

2.9.5. Patofisiologi
Rabun senja terjadi karena kerusakan sel retina yang semestinya
bekerja saat melihat benda pada lingkungan kurang cahaya. Banyak hal yang
dapat menyebabkan kerusakan sel tersebut, tetapi yang paling sering akibat
dari kekurangan vitamin A. Retinol penting untuk elaborasi rodopsin
(penglihatan remang-remang) oleh batang, reseptor sensori retina yang
bertanggung jawab untuk penglihatan dalam cahaya tingkat rendah. Oleh
karena itu, defisiensi vitamin A dapat mengganggu produksi rodopsin,
mengganggu fungsi batang sehingga menimbulkan rabun senja.

2.9.6. Tanda dan Gejala


a. Tanda-tanda buta senja
 Buta senja terjadi akibat gangguan pada sel batang retina.
 Pada keadaan ringan, sel batang retina sulit beradaptasi di ruang yang
remang-remang setelah lama berada di cahaya terang
 Penglihatan menurun pada senja hari, dimana penderita tak dapat
melihat di lingkungan yang kurang cahaya, sehingga disebut buta
senja.

Gambar : Ilustrasi Buta Senja

b. Tanda-tanda Xerosis konjungtiva


 Selaput lender bola mata tampak kurang mengkilat atau terlihat
sedikit kering, berkeriput, dan berpigmentasi dengan permukaan
kasar dan kusam

64
 Orang tua sering mengeluh mata anak tampak kering atau berubah
warna kecoklatan

Gambar : Xerosis Konjungtiva

c. Tanda-tanda Xerosis konjungtiva dan bercak bitot


 Tanda-tanda xerosis kojungtiva (X1A) ditambah bercak bitot yaitu
bercak putih seperti busa sabun atau keju terutama di daerah celah
mata sisi luar.
 Bercak ini merupakan penumpukan keratin dan sel epitel yang
merupakan tanda khas pada penderita xeroftalmia, sehingga dipakai
sebagai kriteria penentuan prevalensi kurang vitamin A dalam
masyarakat.

Gambar : Xerosis Konjungtiva dan bercak bitot

d. Tanda-tanda Xerosis kornea


 Kekeringan pada konjungtiva berlanjut sampai kornea.
 Kornea tampak suram dan kering dengan permukaan tampak kasar.
 Keadaan umum anak biasanya buruk (gizi buruk dan menderita,
penyakit infeksi dan sistemik lain)

65
Gambar : Xerosis Kornea

e. Tanda-tanda Keratomalasia dan ulkus kornea


 Kornea melunak seperti bubur dan dapat terjadi ulkus.
 Tahap X3A : bila kelainan mengenai kurang dari 1/3 permukaan
kornea.
 Tahap X3B : Bila kelainan mengenai semua atau lebih dari 1/3
permukaan kornea.
 Keadaan umum penderita sangat buruk.
 Pada tahap ini dapat terjadi perforasi kornea (kornea pecah)

66
Gambar : Keratomalasia dan Ulkus Kornea

f. Tanda-tanda Xeroftalmia scar


 Kornea mata tampak menjadi putih atau bola mata tampak mengecil.
Bila luka pada kornea telah sembuh akan meninggalkan bekas berupa
sikatrik atau jaringan parut.
 Penderita menjadi buta yang sudah tidak dapat disembuhkan walaupun
dengan operasi cangkok kornea.

Gambar : Xeroftalmia Scar

g. Tanda-tanda Xeroftalmia fundus


 Dengan opthalmoscope pada fundus tampak gambar seperti cendol

Gambar : Xeroftalmia Fundus

2.9.7. Pemeriksaan Penunjang


a. Tes adaptasi gelap
b. Pemeriksaan labor : kadar vitamin A dalam darah (kadar , 20 mcg/100 ml
menunjukkan kekurangan asupan)

67
2.9.8. Diagnosis Banding
Ritinitis Pigmentosa

2.9.9. Tatalaksana
a. Non-medikamentosa
Konsumsi makanan kaya vitamin A , seperti hati , daging sapi, ayam , telur
, susu yang diperkaya , wortel , mangga , ubi jalar , dan sayuran berdaun
hijau.
b. Medikamentosa
 Anak berusia 3 tahun dan <3 tahun 600 mcg (2000 IU)
 Anak berusia 4-8 tahun 900 mcg (3000 IU)
 Anak berusia 9-13 tahun 1700 mcg (5665 IU)
 Anak berusia 14-18 tahun 2800 mcg (9335 IU)
 Semua orang dewasa 3000 mcg (10.000 IU)
 Wanta hamil sebaiknya dosis vitamin A tidak terlalu berlebihan, dosis
10.000 IU untuk jangka waktu 2 minggu aman
 Pemberian obat gangguan protein kalori malnutrisi dengan menambah
vitamin A, sehingga perlu diberikan perbaikan gizi pasien
 Pemberian vitamin A memberikan perbaikan nyata dalam 1-2 minggu

2.9.10. Komplikasi
 Xerosis
 Kebutaan

2.9.11. Prognosis
Bila penderita tidak diobati secara adekuat maka buta senja dapat
menyebabkan kebutaan.

2.10. Skotoma
2.10.1. Definisi
Skotoma adalah daerah buta atau agak buta dalam lapangan pandang.
Scotoma dapat disebabkan oleh banyak faktor, seperti degenerasi makula,
stroke, cedera otak traumatis dan gangguan yang mempengaruhi Retina atau
saraf optik. Bentuk yang paling umum dari blind spot adalah pusat scotoma,

68
yang erat terkait dengan degenerasi makula. Sebenarnya, degenerasi makula
adalah faktor paling berbahaya dari scotoma, meskipun kondisi lain yang
tercantum di atas semua mempengaruhi retina atau saraf optik. Titik pusat
buta disebabkan oleh degenerasi makula cukup dimengerti. Di bagian
belakang retina, makula bertanggung jawab untuk penglihatan sentral.
Namun, degenerasi makula dapat menyebabkan sel fotoreseptor atau sel
kerucut di mata mati, yang menyebabkan blind spot pusat.1

2.10.2. Klasifikasi
1. Skotoma Sentralis
2. Skotoma Perifer

2.10.3. Etiologi
Ada 2 penyebab tersering skotoma sentralis, yaitu :
a. Degenerasi makula atrofi.
b. Eksudatif (hemoragik) yang terkait usia.
Penyebab lain dari skotoma sentralis adalah cedera makula, degenerasi
makula miopik, penyakit saraf optikus dan gangguan makula kongenital.

Penyebab terjadinya skotoma perifer adalah penyakit yang menyebabkan


penurunan lapangangan pandang perifer, misalnya :
a. Glaukoma stadium akhir.
b. Retinitis pigmentosa.
c. Penyakit retina perifer lainnya.
d. Penyakit vascular serebral.

2.10.4. Gejala Klinis


Gambaran klinis dari skotoma sentralis, terkait pada stadium perjalan
penyakitnya
 Stadium awal :
1. Pasien dengan skotoma sentralis sering mengeluhkan penglihatan
sentral kabur dan terdistorsi, tetapi penglihatan perifer jelas
kecuali apabila juga terjadi katarak.
2. Kesulitan membaca serta mengenali wajah
3. Persepsi kontras biasanya tidak terganggu

69
 Stadium Disiformis
Terdapat skotoma padat adalah tanda khusus dari stadium ini
 Stadium Lanjut
Walaupun telah terdapat gejala gejala diatas, namun pada stadium
lanjut, penderita masih memiliki kemampuan berpegian relatif
normal.

Gambaran klinis dari scotoma perifer


 Penurunan lapang pandang perifer, namun pada penyakit retinitis
pigmentosa tahap lanjut, pasien masih mampu membaca huruf
berukuran kecil tetapi memerlukan bantuan untuk berjalan-jalan.
 fotofobia

2.10.5. Pemeriksaan Penunjang


Untuk memeriksa fungsi penglihatan, digunakan ketajaman
penglihatan Snellen, Amsler grid dan sensitivitas kontras  apabila terdapat
penurunan kontras pada pemriksaan, mengisyaratkan perlunya pembesaran
yang lebih kuat daripada yang diperkirakan dari pemriksaan ketajaman
penglihatan Snellen.

2.10.6. Tatalaksana
Untuk skotoma sentralis
 Pasien dapat menggunakan posisi kepala yang eksentris  untuk
menempatklan bayangan didaerah retina yang sehat. Tekhnik ini
dapat didemonstrasikan ke pasien sewaktu pemeriksaan ketajaman
penglihatan atau pada Amsler grid.
 Lensa pembesar  pasien dapat menggunakan beberapa jenis lensa
untuk bermacam-macam aktivitas, misalnya kacamata untuk
membaca, kaca pembesar untuk berbelanja.

Untuk skotoma perifer


a. Fotofobia pada pasien dapat diatasi dengan lensa kuning gading, yang
dapat menahan sinar ultraviolet dan sinar tampak yang kurang dari 527
nm,

70
b. Apabila terjadi penurunan persepsi kontras akibat katarak, maka
kombinasi uji sensitivitas kontras dan kilau mungkin dapat menunjukan
saat yang tepat untuk bedah katarak.
c. Penggunaan kaca pembesar dan closed circuit television digunakan
apabila lapangan pandang sentral kurang dari 7 derajat. Penggunaan ini
dipilih karena mudah diatur sendiri oleh pasien.
d. Penanaman lensa intraokular dikamera anterior untuk pasien-pasien yang
menjalani ekstraksi katarak  penting untuk mempertahankan ukuran
bayangan normal.

71
BAB III

KESIMPULAN

Kelainan refraksi merupakan suatu kelainan pada mata yang paling umum terjadi.
Keadaan ini terjadi ketika cahaya tidak dibiaskan tepat pada retina sehingga menyebabkan
penglihatan kabur. Kelainan refraksi secara umum dapat dibagi menjadi empat bentuk yaitu
myopia, hyperopia, astigmatisma, dan presbyopia. Penyebab kelainan refraksi dapat
diakibatkan karena kelainan kurvatur atau kelengkungan kornea dan lensa, indeks bias atau
retraktif, dan kelainan aksial atau sumbu mata. Kelainan refraksi dapat terjadi dan
dipengaruhi oleh beberapa factor, antara lain, umur, jenis kelamin, ras, lingkungan, dan
genetik.

Mata dapat dianggap sebagai kamera, dimana system refraksinya menghasilkan


bayangan kecil dan terbalik di retina. Rangsangan ini diterima oleh sel batang dan kerucut di
retina, yang diteruskan melalui saraf optic (N II), ke korteks serebri pusat penglihatan.
Supaya bayangan tidak kabur, kelebihan cahaya diserap lapisan epitel pigmen di retina. Bila
intensitas cahaya terlalu tinggi maka pupil akan mengecil untuk menguranginya. Daya
refraksi kornea hamper sama dengan humor aqueous, sedang daya refraksi lensa hamper
sama pula dengan badan kaca.

Secara umum, terjadi ketidakseimbangan sistem penglihatan pada mata sehingga


menghasilkan bayangan yang kabur. Sinar tidak dibiaskan tepat di retina, tetapi dapat di
depan atai di belakang retina dan tidak terletak pada satu titik focus. Kelainan refraksi dapat
mengakibatkan terjadinya kelainan kelengkungan kornea dan lensa, perubahan indeks bias,
dan kelainan panjang sumbu bola mata. Ametropia adalah suatu keadaan mata dengan
kelainan refraksi sehingga pada mata yang dalam keadaan istirahat memberikan fokus yang
tidak terletak pada retina. Ametropia dapat ditemukan dalam bentuk kelainan myopia (rabun
jauh), hipermetropia (rabun dekat), dan astigmatisma.

72
DAFTAR PUSTAKA

1) Ilyas S, Mailangkay H, Taim H, Saman R dan Simarmata M, 2003. Ilmu


Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan mahasiswa Kedokteran Edisi Ke-2.
Jakarta.
2) James B, Chew C and Bron A, Lecture Notes on Ophtalmology. New York:
Blackwell Publishing, 2003; 20-26
3) Wijana, N. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta, 1993
4) Anonymous. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit Mata. Surabaya : FK
UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, 1994.
5) Riordan, P. Dan Orson W. White. Optik dan Refraksi dalam Oftalmologi Umum
Voughan DG, et al (ed) Edisi 14. Jakarta : Widya Medika, 2000.
6) Ilyas, S. Dkk. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa
Kedokteran. Edisi ke-2. jakarta : Sagung Seto, 2002.

7) James B, dkk, 2006. Lecture notes oftamologi. Jakarta : Erlangga

8) Curtin, B.J, 2012, The Myopia, The Philadelphia Harper & Row: pp 348
9) Ilyas, S, 2006, Kelainan Refraksi dan Kacamata, Jakarta: Balai Penerbit FKUI
10) Ilyas, S, 2009, Ilmu Penyakit Mata, Jakarta: Balai Penerbit FKUI
11) Woo, W, Lim, K, Yang, H, 2004, Refractive Errors in Medical Students in
Singapore, Medical Journal Vol 45(10):470
www.sma.org.sg/smj/4510/4510al.pdf>
12) Vaughan, D, Asbury, T. 2009. Oftalmologi Umum, Jakarta: EGC

13) James B, Chew C and Bron A, Lecture Notes on Ophtalmology. New York:
Blackwell Publishing, 2003; 20-26.

14) Whitcher J P and Eva P R, Low Vision. In Whitcher J P and Eva P R, Vaughan
& Asbury’s General Ophtalmology. New York: Mc Graw Hill, 2007.
15) Wijana N. Astigmatisme. Ilmu Penyakit Mata. 3theditions. Jakarta, 1983;200-3.

16) Ilyas S, Mailangkay H, Taim H, Saman R dan Simarmata M, 2003. Ilmu Penyakit
Mata Untuk Dokter Umum dan mahasiswa Kedokteran Edisi Ke-2. Jakarta.

73
17) Roque M., 2009. Astigmatism, PRK. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1220845-overview#a0101 [Diakses
tanggal 28 Juni 2011]

18) A. K. Khurana, Comprehensive Ophtalmology Fourth Edition: Optics and


Refraction, New Age International (P) limited Publishers, 12: 36-38, 2007.

19) Choi H. Y., Jung J. H. and Kim. M. N., 2010. The Effect of Epiblepharon Surgery
on Visual Acuity and With-the-Rule Astigmatism in Children. Korean J
Ophthalmol 2010; 24(6) : 325-330. Diunduh dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3016080/pdf/1545-
6110_v108_p077.pdf??tool=pmcentrez

20) Gerhard K. Lang, Ophthalmology A Short Textbook :Optics and Refractive


Errors, Thieme, p. 127-136, 2000.
21) Deborah, Pavan-Langston,Manual of Ocular Diagnosis and Therapy, 6th
Edition:Refractive Surgery, Lippincott Williams and Wilkins, 5:73-100,2008.

22) Harvey M. E., 2009. Development and Treatment of Astigmatism-Related


Amblyopia. Optom Vis Sci 86(6): 634-639. Diunduh dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2706277/pdf/nihms114434.pdf??
tool=pmcentrez [Diakses tanggal 26 Juni 2011]

23) Choi H. Y., Jung J. H. and Kim. M. N., 2010. The Effect of Epiblepharon Surgery
on Visual Acuity and With-the-Rule Astigmatism in Children. Korean J
Ophthalmol 2010; 24(6) : 325-330. Diunduh dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3016080/pdf/1545-
6110_v108_p077.pdf??tool=pmcentrez
24) Whitcher JP, Paul RE. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Jakarta: EGC.
2009; 20:392-393.
25) American Optometric Association. Care of the patient with presbyopia. USA:
AOA, 2010.p.3-37.
26) Hartono, Yudono HR, Indrawati SG. Refraksi. Dalam: Suhardjo, Hartono. Ilmu
kesehatan mata. Yogyakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada, 2012.h.145, 153-5.

74
27) Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2010. 1: 3-74.
28) Khurana AK. Opthalmologi. New Delhi: New Age International Publishers. 2005.
3: 60- 65.
29) Donahue, S. P. 2005. The Relationship Between Anisometropia, Patient Age, and
The Development of Amblyopia. Transaction of The American Ophtalmological
Society. 103, 313-336
30) Whitcher, J. P. 2010. Vaughan and Asbury Oftalmologi Umum. Jakarta: Penerbit
Kedokteran EGC.
31) Skuta, G. L. 2011. Clinical Optics. New York: American Academy of
Ophtalmology.
32) Ilyas S. Penyakit mata: Ringkasan & istilah PT. Pustaka utama graffiti, Jakarta,
1988: 82, 126, 441
33) Ilyas S,dkk. Sari Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: FKUI, 1981:184-95
34) Radjimin T,dkk. Ilmu Penyakit mata. Surabaya: Unair,1993:121-4
35) Mein JHB. Diagnosis and Management of ocular mobility disorder, London.
Black Well Scientrific Publications, 1986: 93-52, 124-30
36) Lee,J; Bailey,G; Thompson, V; “ Amblyopia (Lazy Eye)”. Available at :
http://www.allaboutvision.com/conditions/amblyopia.htm
37) Ciufrfreda, K.J; Levi,D.M ; Selenow, A ; Amblyopia Basic and Clinical Aspects,
Butterworth Heinemann; 1991
38) American Academy of Ophthalmology; Pediatric Ophthalmology; Chapter 5 :
Amblyopia; Section 6; Basic and Clinical Science Course; 2004 – 2005; p.63 – 70
39) Yen, K.G; Amblyopia. Available at:
http://www.emedicine.com/OPH/topic316.htm

40) Amblyopia : Treat “Lazy Eye” in early childhood. Available at:


http://www.eyesite.ca/english/public-information/eye-
conditions/pdfs/amblyopia.pdf#search=’amblyopia’

41) Amblyopia in Children: What It Is and How It Is Treated. Available at:


http://familydoctor.org/460.xml?printxml
42) Henkind, P; Priest, R.S; Schiller, G; Compendium of Ophthalmolgy;
J.B.Lippincott Company; Philadelphia and Toronto; 1983; p 78-93
43) Noorden,G.K.V; Atlas Strabismus; Edisi 4; EGC; Jakarta; 1988; p78-93

75
44) Cleary, M ; Efficacy of Occlusion for Strabismic Amblyopia : Can an optimal
duration be identified?. Available at : http://www.bjo.com
45) Langston, D.P; Manual of Ocular Diagnosis and Therapy; 5th Edition; Lippincott
Wlliams & Wilkins; Philadelphia; p 344-346
46) Greenwald, M.J; Parks, M.M; in Duane’s Clinical Ophthalmology; Volume 1;
Revised Edition; Lippincott Williams & Wilkins; 2004; Chapter 10 – p.1-19;
Chapter 11 p1-8
47) Amblyopia. Available at: http://www.eyemdlink.com/condition.asp?
conditionID=64
48) Medical Encyclopedia: Amblyopia. Available at:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001014.htm

49) Amblyopia in Common Eye Conditions Disorders and Diseases. Available at:
http://www.middleseweye.com/eye_conditions.htm
50) Leske,M.C ; Hawkins, B.S ; Screening: Relationship to diagnosis and therapy in
Duane’s Clinical Ophthalmology; Chapter 54; Volume 5; Revised Edition;
Lippincott Williams & Wilkins; 2004; p.11
51) American Academy of Ophthalmology ; International Ophthalmology; Chapter
10: Amblyopia; Section 13; Basic and Clinical Science Course; 2004 – 2005;
p111-119

76

Anda mungkin juga menyukai