Pterygium
Pembimbing :
Disusun Oleh :
Jefri
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
karunia,rahmat kesehatan, dan keselamatan kepada penulis sehingga mampu
menyelesaikan laporan kasus ini yang berjudul “Jefri” yang diajukan sebagai
persyaratan untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior Ilmu Penyakit Mata.
Terima kasih penulis ucapkan kepada dokter pembimbing yaitu dr. Alfida Yanti
Sp.M yang telah bersedia membimbing, sehingga laporan kasus ini dapat selesai
pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan kasus ini masih memiliki
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan laporan kasus
ini. Akhir kata, penulis berharap agar laporan kasus ini dapat memberi manfaat
kepada semua orang. Atas perhatian dan sarannya penulis ucapkan terima kasih.
Jefri
2
DAFTAR ISI
3
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................19
BAB I
PENDAHULUAN
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Penumbuhan ini biasanya terletak pada celah
kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea
berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea.
Pterygium ini lebih sering tumbuh di bagian nasal daripada dibagian temporal.
namun dapat juga terjadi pertumbuhan nasal dan temporal pada satu mata disebut
double pterygium. Pterygium dapat mengenai kedua mata dengan derajat
pertumbuhannya yang berbeda.
Pterygium mudah meradang dan bila terjadi iritasi. akan berwarna merah
dan dapat mengenai kedua mata dan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk
dapat berkembang sepenuhnya. Pada kasus lanjut pterygium juga dapat
menyebabkan perubahan yang signifikan dalam fungsi visual l 4
Di Amerika Serikat, kasus pterygium sangat bervariasi tergantung pada
lokasi geografisnya Di daratan Amerika Serikat. prevalensinya berkisar <2%
untuk daerah di atas 40' lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang
28-360.4
Ptengiurn terjadi dua kali lipat lebih sering pada laki-laki dibandingkan
perempuan. Untuk usia jarang terjadi pada usia di bawah 20 tahun. Untuk usia
dengan prevalensi tertinggi adalah pasien dengan usia diatas 40 tahun, sedangkan
untuk insidensi tertinggi adalah pasien dengan usia antara 20-40 tahun. 4
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.Anatomi & Fisiologi
1.1 Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak mata
bagian belakang. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu konjungtiva tarsal
yang menutup tarsus. konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus. Konjungtwa
bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di forniks yang
merupakan tempat perallhan konjunguva tarsal dengan konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan sangat longgar dengan
garingan dibawahnya sehingga bola mata mudah bergerak. Konjungtiva bulbi
supenor paltng senng mengalami infeksi dan menyebar kebawahnya Pada
ptenglurn, koryungtiva yang mengalami fibrovaskular adalah konjungtiva
Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak
kena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jarring-
jaring vaskuler yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam
lapisan superfisial dan lapisan profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe
palpebra hingga membentuk pleksus limfatikus yang banyak. Konjungtiva
menerima persarafan dari percabangan pertama (oftalmik) nervus trigeminus.
Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyen.
1.2 Fisiologi Konjungtiva
Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata. menyediakan
kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi mata
dengan mekanisme pertahanan nonspesifik yang berupa barrier epitel, aktivitas
lakrimasi dan menyuplai darah. Selain itu, terdapat pertahanan spesifik berupa
mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit. adanya jaringan limfoid pada
mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA. 1 4
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel
silinder bertingkat, superficial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat
5
limbus. di atas karunkula. dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi
kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa. 4
Sel-sel epitel superficial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang
mensekresi mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk
dispersi lapisan air mata secara merata diseluruh prekornea. Sel-sel epitel basal
berwarna lebih pekat daripada sel-sel superficial dan di dekat limbus dapat
mengandung pigmen. 1 4 5
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superficial) dan satu
lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di
beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum
germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2
atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada neonatus
bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi folikuler. Lapisan
fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus.
Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang konjungtivm Lapisan
fibrosa tersusun longgar pada bola mata.1 4 5
Secara garis besar, kelenjar pada konjungtiva dibagi menjadi dua yaitu:
1. Penghasil musin
a. Sel goblet terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan pada daerah
inferonasal.
b. Crypts of Henle terletak sepaniang sepertiga atas dari konjungtiva tarsalis superior
dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva tarsalis inferior.
c. kelenjar Manz mengelilingi daerah limbus.
2. Kelenjar asesoris lakrimalis.
Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar krause dan kelenjar wolfring. Kedua
kelenjar ini terletak dalam di bawah substansi propria. Kelenjar air mata asesori
(kelenjar krause dan kolfring), yang struktur dan fungsinya mirip kelenjar
lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di
forniks atas, dan sedikit ada diforniks bawah. Kelenjar wolfring terletak ditepi
atas tarsus atas. Pada sakus konjungtiva tidak pernah bebas dari mikroorganisme
namun karena suhunya yang cukup rendah, evaporasi dari cairan lakrimal dan
6
suplai darah yang rendah menyebabkan bakteri kurang mampu berkernbang biak.
Selain itu, air mata bukan merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan
bakteri.4
1.DEFINISI
Pterygium merupakan suatu penumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah
kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea
berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea.
Pterygium ini lebih sering tumbuh di bagian nasal daripada dibagian temporal,
namun dapat juga terjadi pertumbuhan nasal dan temporal pada satu mata disebut
double pterygium. Pterygium dapat mengenai kedua mata dengan derajat
pertumbuhannya yang berbeda.
Pterygium mudah meradang dan bila terjadi iritasi. akan berwarna merah
dan dapat mengenai kedua mata dan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk
dapat berkembang sepenuhnya. Pada kasus lanjut pterygium juga dapat
menyebabkan perubahan yang signifikan dalam fungsi visual.
2.EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat. kasus pterygium sangat bervariasi tergantung pada
Iokasi geografisnya. Di daratan Amerika Serikat. prevalensinya berkisar <2%
untuk daerah di atas 400 lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang
28-360.4
Pterygium terjadi dua kali lipat lebih sering pada laki-laki dibandingkan
perempuan. Untuk usia jarang terjadi pada usia di bawah 20 tahun. Untuk usia
dengan tertinggi adalah pasien dengan usia diatas 40 tahun, sedangkan untuk
insidensi tertinggi adalah pasien dengan usia antara 20-40 tahun. 1
3.ETIOLOGI
Pterygium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debus cahaya sinar
matahari. dan udara yang panas. Etiologinya tidak diketahui secara pasti. namun
diduga merupakan suatu neoplasma, radang„ dan degenerasi.
7
4.PATOFISIOLOGI
Ada beberapa teori penyebab terjadinya pterygium. salah satunya teori
penyinaran sinar ultraviolet- terutama UV-B. Hipotesis keqia yang berlaku saat
ini adalah radiasi sinar UV menyebabkan mutasi tumor supresor gen pS3. yang
kemudian memfasilitasi proliferasi abnormal dari epitel limbus.6
Sinar ultraviolet juga dapat menyebabkan perubahan histologis sel epitel.
yaitu jaringan subepitel menunjukkan elastosis senilis (degenerasi basotilik) dari
substansia propria dengan jaringan kolagen abnormal. Teriadi disolusi membran
Bowman yang diikuti oleh invasi kornea superivisial. Akibatnya fungsi barier
limbus tidak ada sehingga konjungtiva yang mengalami innamasi dan degenerasi
dapat dengan mudah menjalar melewati limbus menujiu kornea dan membentuk
jaringan pterygium di daerah interpalpebra (celah kelopak).
Pterygium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai
kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan
kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuiu ke bagian nasal,
kemudian melalui pungtum Iakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior. Daerah
nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak
dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain. karena di samping kontak
langsung. bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak
langsung akibat pantulan dari hidung. karena itu pada bagian nasal konjungtiva
lebih sering didapatkan pterygium dibandingkan dengan bagian temporal.'
5.GEJALA KLINIS
Pterygium dapat tidak memberikan keluhan atau akan memberikan
keluhan mata iritatif, merah dan mungkin menimbulkan astigmat yang akan
memberikan keluhan gangguan penglihatan.' Sejalan dengan progresivitas
penyakit, lesi bertambah besar dan kasat mata sehingga secara kosmetik
mengganggu pasien. Pertumbuhan lebih lanjut, lesi menyebabkan gejala visual
karena terjadinya astigmatisma ireguler.6
Derajat pertumbuhan pterygium ditentukan berdasarkan bagian kornea
yang tertutup oleh pertumbuhan pterygium. dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi
klinis menurut Youngson ):
8
• Derajat 1 : Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
• Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih
dari 2 mm melewati kornea
• Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil
sekitar 3-4 mm)
• Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan. 9
6.DIAGNOSIS3
Anamnesis
Pada anamnesis dapat ditanyakan kepada pasien hal-hal seperti berikut:
-Keluhan dirasakan pada satu mata saja atau pada kedua mata?
-Apakah ada disertai dengan rasa gatal, kemerahan dan atau
pembengkakan?
-Kapan pasien merasakan keluhan untuk pertama kalinya?
-Apakah seperti ada benda asing atau mengganjal?
-Apakah ada riwayat paparan berlebihan terhadap sinar matahari atau
partikel debu?
Pemeriksaan fisik
Dapat dilihat adanya massa jaringan berdaging kekuningan yang terlihat
pada lapisan luar mata (sclera) di limbus, tumbuh ke arah dan di permukaan
transparan kornea. Sclera dan selaput lendir luar mata (konjungtiva) mungkin
merah dari iritasi dan peradangan.
Pemeriksaan penuniang
l. Pemeriksaan snellen chart
2. slitlamp
7.DIAGNOSIS BANDING'
Pseudopterygium
Pseudoptengium merupakan perlekatan konjungtisa dengan kornea yang
cacat. Pseudopten gium sering ditemukan pada proses pemembuhan ulkus kornea.
9
sehingga koniungtiva menutupi kornea. Pseudopterygium ini terletak pada daerah
koniungtiva yang terdekat dengan proses konea sebelumnya.
Perbedaan dengan pterygium adalah selain letaknya, pudopterygium tidak
harus pada celah kelopak atau fisura palpebra, dan dapat diselipkan sonde
dibawahnya. Pada anamnesis pseudopterygium selamanya ada kelainan kornea
sebelumnya, seperti ulkus kornea.
Pinguekula
Pinguekula merupakan benjol pada konjungtiva bulbi yang ditemukan pada orang
tua, terutama yang matanya sering mendapat rangsangan sinar matahari, debu, dan
angin panas. Letak bercak ini pada celah kelopak mata terutama dibagian nasal.
Pinguekula merupakan degenerasi hialin jaringan submukosa
subkonjungtiva. Pembuluh darah tidak masuk ke dalam pinguekula akan tetapi
bila meradang atau terjadi iritasi. maka sekitar bercak degenerasi ini akan terlihat
pembuluh darah yang melebar.
Pada pinguekula tidak perlu diberikan pengobatan, akan tetapi bila terlihat
adanya tanda peradangan (pinguekulitis). dapat diberikan obat-obat antiradang.
Gambar 4. Pinguekula
8. KOMPLIKAS14
Pterygium dapat menimbulkan komplikasi baik pre maupun post operasi, seperti:
1. Komplikasi dari pterygium sebelum dilakukan tindakan bedah meliputi
sebagai berikut:
-Gangguan penglihatan karena astigmatisma ireguler
-Mata kemerahan
-Iritasi
10
-Gangguan pergerakan bola mata
-Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea
Dry Eye sindrom
2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:
Infeksi
Ulkus kornea
Grafi konjungtiva yang terbuka
Diplopia
Adanya jaringan parut di kornea
Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan.
Dalam penelitiannya, Saerang (2013) mengemukakan bahwa lamanya tumbuh
ulang hampir 100% terjadi pada enam bulan pertama hingga dua tahun pasca
bedah. Di Indonesia, terjadinya tumbuh ulang pascabedah pterigium memiliki
angka yang bervariasi dan cukup besar. Penelitian yang dilakukan di RS Dr
Soetomo Surabaya menunjukkan angka tumbuh ulang berkisar sekitar 52%,
sedangkan di RSCM Jakarta adalah sekitar 61,1% untuk kelompok umur di bawah
40 tahun dan 12,5% untuk kelompok umur di atas 40 tahun. 9
9. PENATALAKSANAAN
Pterygium tidak memerlukan pengobatan karena sering bersifat rekuren,
terutama pada pasien yang masih muda. Bila pterygium meradang dapat
diberikan steroid atau tetes mata. Selain penatalaksanaan secara konservatif,
pterygium dapat pula dilakukan tindakan bedah atas indikasi. Indikasi operasinya
adalah.6
l . Pterygium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterygium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3. Pterygium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau
karena astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita
Terapi supportif yang bisa diberikan adalah artificial tear tetes karena salah
satu
11
keluhan dari pterigium adalah kekeringan pada mata (dry eye). Membatasi
paparan faktor lingkungan, penggunaan kacamata pelindung dan topi terbukti
dapat
mengurangi keluhan, mencegah terjadinya pterigium, dan mencegah timbulnya
kekambuhan.2'9
Penatalaksanaan pada pterygium berdasarkan derajat:
-Derajat I -2 yang mengalami inflamasi dapat diberikan Obat tetes
mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari.
Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak
dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular yang tinggi
atau mengalami kelainan pada kornea.
-Pada pterygium derajat 3-4 dapat dilakukan tindakan bedah berupa
avulsi pterygium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterygium maka
bagian konjungtiva bekas pterygium tersebut ditutupi dengan
cangkok konjungtiva yang diambil dari konjungtiva bagian superior
untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan
pterygium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik,
mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, dan angka
kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC)
sebaiknya hanya pada kasus pterygium yang rekuren, karena
komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.
10.PROGNOSIS
Umumnya prognosis baik. Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi
operasi sitostatik tetes mata atau Beta radiasi.6 Eksisi pada pterigium pada
penglihatan dan kosmetik adalah baik. Pada umumnya setelah 48 jam pasca
operasi pasien bisa memulai aktivitasnya. Pada pmsien dengan pterygia yang
kambuh lagi dapat mengulangi pembedahan eksisi dan grafting dengan
konjungtiva/limbal autografts atau tranplantasi membran amnion. I
12
BAB III
ILUSTRASI KASUS
13
Keluarga tidak ada yang memiliki keluhan yang sama
Riwayat Pengobatan :
Keluhan belum pernah diobati sebelumnya
Riwayat Sosial :
Pasien sering beraktivitas dibawah terik matahari karena bekerja sebagai petani.
14
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Edema (-) Edema (-)
Entropion (-) Entropion (-)
Ekstropion (-) Ekstropion (-)
Pseudoptosis (-) Pseudoptosis (-)
Ptosis (-) Ptosis (-)
15
Warna (coklat) Warna (coklat)
Pupil Bulat Bulat
Reflek cahaya (+) Reflek cahaya (+)
Sinekia (-) Sinekia (-)
Lensa Jernih Jernih
Pemeriksaan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Funduskopi
Pemeriksaan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tonometri
1.5 DD :
1. Pterygium grade III OS
2. Pseudopterigium
3. Pinguekula
1.6 Diagnosis Kerja : Pterygium grade III OS
1.7 Penatalaksanaan
1. Tindakan bedah
1.8 Prognosis
Ad Vitam : Bonam
Ad fungsionam : Bonam
Ad sanationam : Bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
16
Pasien datang ke poliklinik mata RSUD Tengku Rafi’ah Siak dengan
keluhan ada selaput pada mata kiri. Selain itu, pasien juga mengatakan seperti ada
yang mengganjal, penglihatan kabur, berair, panas, perih, silau, namun tidak ada
keluhan penglihatan membayang, mata tidak merah, tidak nyeri, dan tidak ada
kotoran mata. Pasien juga mengaku ada riwayat sering terdapat sinar matahari dan
riwayat mana sering terkena debu.
Hal ini sesuai dengan teori yaitu dari anamnesa didapatkan pengakuan
langsung dari pasien yang sering terpapar sinar matahari dan terpapar debu yang
merupakan salah satu etiologic atau factor pencetus timbulnya pterygium. Dari
pemeriksaan fisik dapat dilihat adanya massa jaringan berdaging kekuningan yang
terlihat pada lapisan luar mata (sclera) di limbus, tumbuh kearah dan dipermukaan
transparan kornea. Berdasarkan kasus, pasien termasuk pterygium derajat 3 karena
pterygium sudah melewati limbus kornea dan sudah lebih dari 2 mm melewati
kornea.
BAB V
17
KESIMPULAN
Eksisi pada pterygium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Pada
umumnya setelah 48 jam pada operasi pasien bisa memulai aktivitasnya.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, S., Yulianti SR. 2017. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Kelima.
Jakarta:Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
2. Erry, Mulyani, U.A., Susilowati, D., 2011. Distribusi dan Karakteristik
Pterygium di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan.
3. MDGuidelines, n.d. Pterygium. MDGuidelines.URL
http://www.mdguidelines.com/pterygium.
4. Fisher, J. Pterygium. Available
fromhttp://emedicine.medscape.com/article/1192527-treatment#d9
5. Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Oftamologi
umum. Edisi 14.jakarta:widya medika,2000.
6. aminlari,A., Sings, R., liang, D., 2010. Management of pterygium.
7. Soewono, W., Oetomo, M.M., Eddyanto, 2006. Pterygium, in: Pedoman
diagnose dan terapi bag/SMF ilmu penyakit mata edisi III 2006. Pp. 102-
104.
8. inascrs, 2011. Panduan penatalaksanaan medis.
9. Saerang, J.S.M., 2013. Vascular Endothelial Growth Factor Air Mata
Sebagian Faktor Resuko Tumbuh Ulang Pterygium. J Indon Med Assoc
Volume: 63, 100-105.
10. American academi of Ophtahalmologyu. 2010.The American Academy of
Ophthalmology, The Eye M.D. Association and the Academy logo are
registered trademarks of the American Academy of Ophthalmology.
19