Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

PERDARAHAN SUBKONJUNGTIVA

Oleh:
Dea Tasha Meicita KS 1820221191

Diajukan Kepada:
dr. Ade Irawan, Sp.M

dr. Devi Chyntia Sari, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CILEGON
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ‘VETERAN’
JAKARTA
PERIODE 12 APRIL 2021 – 01 MEI 2021
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
PERDARAHAN SUBKONJUNGTIVA

Disusun oleh :
Dea Tasha Meicita KS 1820221191

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti kepaniteraan klinik di


Departemen Ilmu Kesehatan Mata di Rumah Sakit Umum Daerah Cilegon

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal Apri, 2021

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Ade Irawan, Sp.M

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan Referat
“Perdarahan Subkonjungtiva” dengan baik. Kasus ini merupakan salah satu
syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan klinik Pendidikan Profesi Dokter di
Departemen Ilmu Penyakit Mata di Rumah Sakit Umum Daerah Cilegon.
Dalam menyelesaikan tugas ini penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada
dr. Ade Irawan, Sp.M selaku pembimbing.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan kasus ini banyak terdapat
kekurangan dan juga masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis
mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca. Semoga
kasus ini dapat bermanfaat bagi teman-teman dan semua pihak yang
berkepentingan bagi pengembangan ilmu kedokteran. Aamiin.

Cilegon, April 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan.. ............................................................................................ ii


Kata Pengantar ...................................................................................................... iii
Daftar isi ................................................................................................................ 1
BAB I Pendahuluan…………………………………………………………… .. 2
BAB II Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 3
Anatomi Mata dan Konjungtiva..................................................................... 3
Definisi Perdarahan Subkonjungtiva .............................................................. 6
Etiologi Perdarahan Subkonjungtiva ............................................................. 7
Epidemiologi Perdarahan Subkonjungtiva..................................................... 7
Patofisiologi Perdarahan Subkonjungtiva ...................................................... 8
Manifestasi Perdarahan Subkonjungtiva .........................................................9
Diagnosis dan Pemeriksaan .......................................................................... 10
Penatalaksanaan Perdarahan Subkonjungtiva.................................................11
Diagnosis Banding................ ......................................................................... 12
Prognosis Perdarahan Subkonjungtiva ......................................................... 13
Komplikasi Perdarahan Subkonjungtiva........................................................ 13
BAB III ................................................................................................................ 14
Penutup........................................................................................................... 14
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 15

1
BAB I
PENDAHULUAN

Mata adalah struktur bulat berisi cairan yang dibungkus oleh tiga lapisan. Dari bagian
paling luar hingga paling dalam, lapisan – lapisan tersebut adalah sklera/kornea, koroid/badan
siliaris/iris dan retina. Kelopak atau palpebra merupakan alat menutup mata yang berguna untuk
melindungi bola mata, serta mengeluarkan sekresi kelenjar yang membentuk film air matcula di
depan kornea. Palpebra berfungsi untuk melindungi bola mata terhadap trauma, trauma sinar
matahari dan keringnya bola mata. Kelopak mempunyai lapis kulit yang tipis pada bagian depan
sedang di bagian belakang ditutupi selaput lendir tarsus yang disebut konjungtiva tarsal.
Kasus cedera pada mata akibat trauma pada umumnya sering menyebabkan kehilangan
fungsi visual. Kelompok dewasa muda-terutama pria merupakan kelompok yang paling mungkin
mengalami trauma pada mata. Trauma mata yang berat dapat menyebabkan cedera multiple pada
palpebra, bola mata, dan jaringan lunak orbita.
Mata merah adalah keluhan umum di unit gawat darurat dan klinik rawat jalan. Salah satu
penyebab yang sering adalah perdarahan subkonjungtiva. Perdarahan Subkonjungtiva (SCH)
adalah kelainan yang dapat terjadi sebagian besar dari situasi tidak berbaya. Namun, ada saat-
saat tertentu ketika perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi sebagai manifestasi dari diagnosis
dasar yang lebih berbahaya, terutama jika terus-menerus atau berulang. Perdarahan
subkonjungtiva umumnya tidak menimbulkan rasa sakit tetapi dapat tampak sebagai hiperemik
difus. Oleh karena itu, dokter, penyedia praktik lanjutan, dan dokter mata dapat menghadapi
SCH berkali-kali selama praktik klinis mereka.
Konjungtiva dibagi menjadi dua bagian. Konjungtiva bulbar menutupi sklera dan
konjungtiva tarsal menutupi bagian dalam kelopak mata. Darah dari SCH berasal dari pembuluh
darah kecil di permukaan mata di atas sklera dan bukan dari bagian dalam mata. Darah bocor di
bawah kapsul Tenon dan kondisinya menjadi lebih jelas ketika darah bocor ke bagian
konjungtiva bulbar yang terbuka. Pasien lansia, terutama mereka yang memiliki kelainan
pembuluh darah seperti hipertensi dan diabetes, adalah yang paling berisiko. Pasien yang lebih
muda cenderung memiliki penyebab yang lebih spontan atau traumatis. Namun demikian, SCH
biasanya tidak memerlukan perawatan khusus dan akan hilang dalam 1-2 minggu.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi Mata dan Konjungtiva


Mata adalah organ kompleks yang memiliki lebih dari satu sistem anatomi yang
mendukung fungsi mata itu sendiri. Secara umum ada beberapa sistem anatomi yang mendukung
fungsi organ mata, yaitu:
a. Palpebra
Palpebra (kelopak mata) superior dan inferior adalah modifikasi lipatan kulit yang
dapat menutup dan melindungi bola mata bagian anterior. Palpebra superior pertama kali
berkembang dari hasil proliferasi permukaan ectoderm pada usia 4 – 5 minggu gestasi
selama bulan kedua. Palpebra superior dan inferior dapat dilihat sebagai lipatan kulit
yang tidak terdefirinsiasi yang mengelilingi mecenkimal neuralcerest. Selanjutnya,
mecenkimal mesodermal menginfiltrasi palpebra dan berdiferensiasi menjadi pelpebra
muscular. Lipatan palpebra berkembang kearah lateral. Dimulai dekat inner cantus, batas
lipatan menyatu hingga pada usia 10 minggu gestasi, karena lipatan menyatu satu sama
lain, evolusi silia dan glandula tetap berlanjut. Muskulus orbicularis menyatu kedalam
lapisan pada usia gestasi 12 minggu. Penyatuan palpebra akan terlepas pada usia 5 bulan
gestasi disertai dengan secresi sebum dari glandula sebacea dan cornifikasi permukaan
epithelium.
Berkedip membantu menyebarkan lapisan tipis air mata, yang melindungi kornea dan
konjungtiva dari dehidrasi. Palpebra superior berakhir pada alis mata; palpebra inferior
menyatu dengan pipi. Kelopak mata terdiri atas empat bidang jaringan yang utama. Dari
superfisial ke dalam antara lain:
1) Lapisan kulit
Kulit palpebra berbeda dari kulit di kebanyakan bagian lain tubuh karena tipis,
longgar, dan elastis, dengan sedikit folikel rambut serta tanpa lemak subkutan.
2) Musculus Orbicularis Oculi
Fungsi musculus orbicularis oculi adalah menutup palpebra. Serat-serat ototnya
mengelilingi fissura palpebrae secara konsentris dan menyebar dalam jarak pendek
mengelilingi tepi orbita. Sebagian serat berjalan ke pipi dan dahi. Bagian otot yang

3
terdapat di dalam palpebra dikenal sebagai bagian pratarsal; bagian di atas septum
orbital adalah bagian praseptal. Segmen di luar palpebra disebut bagian orbita.
Orbicularis oculi dipersarafi oleh nervus facialis.
3) Jaringan areolar
Jaringan areolar submuskular yang terdapat di bawah musculus orbicularis oculi
berhubungan dengan lapisan subaponeurotik kulit kepala.
4) Tarsus
Struktur penyokong palpebra yang utama adalah lapisan jaringan fibrosa padat yang-
bersama sedikit jaringan elastik - disebut lempeng tarsus. Sudut lateral dan medial
serta juluran tarsus tertambat pada tepi orbita dengan adanya ligamen palpebrae
lateralis dan medialis. Lempe tarsus superior dan inferior juga tertambat pada tepi
atas dan bawah orbita oleh fasia yang tipis dan padat. Fasia tipis ini membentuk
septum orbital.

Gambar 1. Struktur mata dan Palpebra


b. Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membrane yang menutupi sclera dan kelopak mbagian
belakang. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel goblet yang
befungsi membasahi bola mata terutama kornea.
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu:
1) Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakan dari
tarsus.
2) Konjungtiva bulbi menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera dibawahnya.

4
3) Konjungtiva forniks yang merupakan tempat peralhian konjungtiva tarsal dengan
konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di
bawahnya sehingga bola mata dapat bergerak.

Gambar 2. Struktur Konjungtiva


Vaskularisasi, Peredaran Limfe, dan Persarafan
Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua
arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak vena konjungtiva yang umumnya
mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali.
Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan
bersambung dengan pembulh limfe kelopak mata hingga membentuk pleksus limfatikus.
Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan pertama nervus V yang relatif sedikit
mempunyai saraf nyeri.
c. Kornea
Kornea adalah jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya sebanding dengan
kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea ini disisipkan ke dalam sklera pada limbus,
lekukan melingkar pada sambungan ini disebut sulcus sclearis. Kornea dewasa ratarata
mempunyai tebal 550 um di pusatnya (terdapat variasi menurut ras); diameter
horizontalnya sekitar 11,75 mm dan vertikalnya 10,6 mm. Dari anterior ke posterior,
kornea mempunyai 5 lapisan yang berbeda-beda, antara lain:
a) Lapisan epitel: berlaku sebagai barrier terhadap air, bakteri, dan mikroba.
Menyediakan permukaan optic yang lembut sebagai bagian internal dari Film Air
Mata. Kornea juga berkontribusi tergadap kemampuan refraksi mata.
b) Lapisan Bowman: membantu mempertahankan bentuk dari kornea.
c) Lapisan Stroma: sebagai sumber kekuatan mekanik korna, memberikan kesan
transparansi pada kornea dan sebagai lensa refraksi utama pada kornea.

5
d) Membrane Descemet: sebagai pondasi lapisan pada sel-sel endothelial.
e) Lapisan Endotel: menjaga stroma kornea, endotel kornea cukup rentan terhadap
trauma dan kehilang sel-selnya seiring dengan penuaan. Reparasi endotel terjadi
hanya dalam wujud pembesaran dan pergeseran sel-sel dengan sedikit pembelahan
sel. Kegagalan pada fungsi endotel akan menyebabkan edem kornea.

Gambar 3. Struktur Kornea


Fungsi penting dari kornea pada mata termasuk sebagai fungsi proteksi terhadap struktur
internal mata, berkontribusi terhadap kekuatan refraksi mata, dan memfokuskan cahaya kepada
retina dengan pecahan dan degradasi optic yang minimal. Kornea dan sklera bergabung sebagai
kesatuan pelindung isi dari bola mata bersamaan dengan film air mata.

II.2 Perdarahan Subkonjungtiva


II.2.1 Definisi
Perdarahan subkonjungtiva adalah perdarahan akibat rapuhnya pembuluh darah
konjungtiva. Darah terdapat di antara konjungtiva dan sclera. Sehingga mata akan mendadak
terlihat merah.
Terdapat beberapa istilah lain untuk perdarahan subkonjungtiva, antara lain:
a. Bleeding in The Eye
b. Eye Injury
c. Ruptured Blood Vessels
d. Blood in The Eye
e. Bleeding Under The Conjunctiva
f. Bloodshot Eye

6
Gambar 4. Perdarahan Subkonjungtiva
II.2.2 Epidemiologi
Perdarahan subkonjungtiva secara umum tidak memiliki perbedaan jenis kelamin. Namun
SCH traumatis terbukti lebih umum pada pria muda yang kemungkinan besar terkait dengan
melakukan pekerjaan berat dan kecenderungan untuk melakukan aktivitas yang lebih agresif.
Tingkat kejadian spontan vs. traumatis bervariasi tergantung pada karakteristik populasi itu
sendiri.
Satu studi menunjukkan tingkat kejadian SCH non-traumatis lebih tinggi pada wanita
dengan rasio pria terhadap wanita 0,8. Dengan konsensus yang luas bahwa SCH spontan
meningkat seiring bertambahnya usia terutama setelah usia 50 tahun. Hal ini disebabkan
kemungkinan penyakit penyerta yang lebih tinggi seperti hipertensi, hiperlipidemia, dan diabetes
mellitus. Perdarah subkonjungtiva sebagian besar terjadi secara unilateral (90%).

II.2.3 Etiologi
1. Idiopatik, suatu penelitian menjelaskan kibat adanya gangguan faktor pembekuan
darah yang diturunkan secara genetic menyebabkan peningkatan risiko perdarahan
subkonjungtiva.
2. Maneuver valsava (batuk keras, tegang, muntah-muntah, bersin)
3. Traumatic
4. Penyakit lain, seperti hipertensi dan gangguan perdarahan, penyakit hati penyakit
darah, diabetes, SLE, dan defisiensi vitamin C.
5. Penggunaan obat-obatan, antibiotic, NSAID, steroid, kontrasepsi dan vitamin A dan
D yang telah mempunyai hubungan dengan terjadinya perdarahan subkonjungtiva,
serta penggunaan warfarin.

7
6. Sequel normal pada operasi mata, sekalipun tidak terdapat insisi pada konjungtiva.
7. Beberapa infeksi sistemik, demam tifoid, kolera, malaria, dan infeksi virus (influenza,
smallpox, measles, yellow fever).
8. Penggunaan lensa kontak, faktor risiko mayor perdarahan subkonjungtiva yang
diinduksi oleh penggunaan lensa kontak adalah konjungtivakhalasis dan pinguekula.

Gambar 5. Perdarahan Subkonjungtiva karena Penggunaan Warfarin

II.2.4 Patofisiologi
Konjungtiva adalah selaput tipis transparan yang melapisi bagian ptih dari bola mata
(sclera) dan bagian dalam kelopak mata. Konjungtiva merupakan lapisan pelindung terluar dari
bola mata. Konjungtiva mengandung serabut saraf dan sejumlah besar pembuluh darah yang
halus. Pembuluh-pembuluh darah ini umumnya tidak terlihat secara kasat mata kecuali bila mata
mengalami peradangan. Pembuluh-pembuluh darah di konjungtiva cukup rapuh dan dindingnya
mudah pecah sehingga mengakibatkan terjadinya perdarahan subkonjungtiva. Perdarahan
subkonjungtiva tampak berupa bercak berwana merah terang di sclera.
Perdarahan subkonjungtiva terjadi akibat perdarahan pembuluh darah konjungtiva atau
episkleral dan kemudian bocor ke ruang subkonjungtiva. Pembuluh darah bisa robek seiring
waktu. Jaringan ikat dan elastis menjadi rapuh seiring bertambahnya usia dan penyakit penyerta
yang mendasari yang dapat menyebabkan penyebaran perdarahan yang mudah pada orang tua.
Karena struktur konjungtivayang halus, sedikit darah dapat menyebar secara difus di
jaringan ikat subkonjungtiva dan menyebabkan eritrema difus, yang biasanya memiliki intensitas
yang sama. Secara klinis, perdarahan subkonjungtiva tampak sebagai perdarahan yang datar,
berwarna merah, di bawah konjungtiva dan dapat mejadi cukup berat sehingga menyebabkan
kemotik kantung darah yang berat dan menonjol d atas tepi kelopak mata.

8
Perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi secara spontan, akibat trauma, ataupun infeksi.
Perdarahan dapat berasal dari pembuluh darah konjungtiva atau episklera yang bermuara ke
ruang subkonjungtiva.
Berdasarkan mekanismenya, perdarahan subkonjungtiva dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan
Terjadi secara spontan. Perdarahan tipe ini diakibatkan oleh menurunnya fungsi
endotel sehingga pembuluh darah rapuh dan mudah pecah. Keadaan yang dapat
menyebabkan pembuluh darah menjadi rapuh adalah umur, hipertensi, arterosklerosis,
konjungtivitis hemoragik, anemia, pemakaian antikoagulan, dan batuk rejan.
2. Perdarahan subkonjungtiva tipe traumatic
SCH traumatis lebih terlokalisasi di lokasi benturan dibandingkan spontan. Ada
kecenderungan untuk berkembangnya SCH pada aspek temporal mata karena
konjungtiva bulbar dari aspek temporal lebih besar daripada aspek nasal. Alasan lain
termasuk peningkatan insiden konjungtivokalasis, perlindungan hidung pada aspek
hidung, dan lebih sulitnya mendeteksi proyektil pada aspek temporal. Aspek inferior
tercatat memiliki peningkatan insiden SCH dibandingkan dengan kemungkinan superior
darah yang mengarah ke bawah setelah terpapar.

II.2.5 Manifestasi Klinis


a. Sebagian besar tidak ada gejala simptomatis yang berhubungan dengan perdarahan
subkonjungtiva selain terlihat darah pada bagian sclera.
Secara histopatologis, perdarahan itu sendiri terjadi antara konjungtiva dan
episclera. Secara khusus, unsur darah ditemukan di substansia propria. Mata bisa
membiru dan menguning karena hemoglobin dan elemen darah lainnya rusak seperti
memar.
b. Sangat jarang mengalami nyeri. Ketika perdarahan terjadi pertama kali akan terasa
tidak nyaman, terasa ada yang mengganjal dan penuh di mata.
c. Tampak adanya perdarahan di sclera dengan warna merah terang atau merah tua.
d. Tidak ada tanda peradangan, kalaupun ada biasanya peradangan ringan.
e. Perdarahan akan terlihat meluas dalam 24 jam pertama setelah itu akan berkurang
perlahan karena diabsorbsi.

9
II.2.6 Diagnosis dan Pemeriksaan
Diagnosis dibuat secara klinis dan anamnesis tentang riwayat dapat membantu
penegakkan diagnosis dan terpai lebih lanjut. Ketika ditemukan adanya trauma, trauma dari bola
mata atau orbita harus disingkirkan. Apabila perdarahan subkonjungtiva idiopatik terjadi untuk
pertama kalinya, langkah-langkah diagnostic lebih lanjut biasanya tidak diperlukan. Dalam
kejadian kekambuhan, hipertensi arteri dan kelainan koagulasi harus disingkirkan.
Selanjutnya, periksa reaktivitas pupil dan mencari apakah ada defek pupil, bila perlu
lakukan pemeriksaan slit lamp. Curigai rupture bola mata jika perdarahan subkonjungtiva terjadi
penuh pada 360˚. Pada pemeriksaan fisik yang dapat menunjukan tanda perdarahan
subkonjungtiva, antara lain:
a. SCH adalah area darah ekstravasasi yang tidak menimbulkan rasa sakit, akut, dan
berbatas tajam tepat di bawah permukaan mata.
b. Biasanya unilateral.
c. Tidak ada gangguan ketajaman visual.
Aspek kunci dari pemeriksaan fisik adalah untuk membedakan antara injeksi konjungtiva
versus injeksi siliaris. Perdarahan konjungtiva disebabkan oleh pelebaran pembuluh darah
konjungtiva posterior dan lebih dangkal. Hal ini dapat menyebabkan mata tampak lebih merah
secara dramatis dalam pola kontinu di atas sklera. Sebaliknya, injeksi siliaris melibatkan
pelebaran arteri siliaris anterior yang dapat menunjukkan peradangan intraokular pada iris,
kornea, atau badan siliaris. Injeksi siliaris juga dikenal sebagai siraman sirkumcorneal dan
muncul sebagai lingkaran kemerahan. Perbedaan ini penting karena injeksi siliaris dikaitkan
dengan diagnosis yang berpotensi lebih berbahaya seperti iritis, glaukoma akut, episkleritis, dan
skleritis.
SCH juga dapat disalahartikan sebagai konjungtivitis virus atau bakteri. Namun, biasanya
ada beberapa derajat nyeri yang terkait dengan diagnosis ini. Selain itu, pada pemeriksaan fisik,
kemerahan lebih menyebar dan bukan area perubahan hemoragik yang tertutup dan rapat seperti
yang terlihat pada SCH. Konjungtivitis virus bersifat bilateral dan dalam banyak kasus SCH
bersifat unilateral.
Evaluasi awal dan penentuan SCH bersifat klinis dan berdasarkan penampilan itu sendiri.
Namun, slit-lamp yang hati-hati dengan pemeriksaan fluorescein penting untuk menentukan

10
trauma mata atau kondisi mata lokal yang mungkin mendasari, yang dapat menyebabkan SCH.
Semua pasien dengan SCH harus diperiksa tekanan darahnya secara rutin. INR harus diperiksa
jika pasien memakai warfarin. Jika SCH menjadi persisten atau berulang, maka pemeriksaan
tentang gangguan perdarahan dan keadaan hipokoagulabel lainnya harus dilakukan. Namun,
perlu dicatat bahwa pengujian hemostatik ekstensif tidak diperlukan jika tidak ada gejala
perdarahan lain dan hanya SCH. Fundoskopi umumnya tidak diindikasikan.

II.2.7 Penatalaksanaan
Umumnya, tidak ada pengobatan yang diindikasikan untuk SCH kecuali jika dikaitkan
dengan kondisi serius tertentu. Darah biasanya diserap kembali selama 1-2 minggu tergantung
pada jumlah darah yang diekstravasasi. Pemulihan bisa memakan waktu hingga 3 minggu jika
pasien menggunakan antikoagulasi. Kompres es dan air mata buatan dapat digunakan untuk
meminimalkan pembengkakan jaringan dan meredakan ketidaknyamanan. Konsultasi
oftalmologi darurat diperlukan jika SCH terjadi melalui trauma dan diduga trauma retina
intraokular atau tambahan. Brimonidine encer dan oxymetazoline telah diindikasikan untuk
meningkatkan kenyamanan pasien dan menurunkan kejadian SCH setelah injeksi intravitreal.
Pada batuk-batuk berat yang menyebabkan kelainan dari kornea, dapat dilakukan sayatan
dari konjungtiva untuk drainase dari perdarahan. Pemberian air mata buatan juga dapat
membantu pada pasien yang simtomatis.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dicari penyebab utamanya, kemudia terapi sesuai
penyebabnya. Tetapi untuk mencegah perdarahan yang semakin meluas, beberapa dokter
memberikan vasokonstriksi dan multivitamin. Air mata buata untuk iritasi ringan dan mengobati
faktor risikonya untuk mencegah risiko perdarahan berulang.
Perdarahan subkonjungtiva harus segera dirujuk ke spesialis mata jika ditemukan kondisi
berikut ini:
1. Nyeri yang berhubungan dengan perdarahan.
2. Terdapat perubahan penglihatan (pandangan kabur, ganda atau kesulitan untuk melihat)
3. Terdapat riwayat gangguan perdarahan.
4. Riwayat hipertensi.
5. Riwayat trauma mata.

11
II.2.8 Diagnosis Banding
Jika dicurigai trauma orbital, globe pecah dan hematoma retrobulbar adalah diagnosis
yang harus disingkirkan karena ini mengancam penglihatan dan membutuhkan konsultasi
oftalmologi darurat. Dalam trauma, juga harus dipertimbangkan:
a. abrasi kornea,
b. laserasi konjungtiva,
c. benda asing okular,
d. iritis traumatis,
e. hifema traumatis.
Perbedaan untuk kasus non-trauma yaitu:
a. konjungtivitis,
b. episkleritis,
c. pterigium atau pinguekula yang meradang,
d. erosi kornea,
e. keratitis,
f. uveitis anterior.
Selain itu juga harus mempertimbangkan dan menyingkirkan glaukoma akut sudut
tertutup, ulkus kornea, endophthalmitis, dan skleritis karena ini adalah keadaan darurat
oftalmologi. Sering kali, etiologi yang lebih berbahaya dapat ditemukan hanya dengan observasi
sederhana. Seorang pasien yang mengalami ruptur globe atau hematoma retrobulbar dapat
mengalami proptosis, chemosis, penurunan ketajaman visual, atau pupil berbentuk tetesan air
mata.
Pemeriksaan fisik juga dapat membantu membedakan kelainan mata lainnya seperti cacat
pupil aferen dalam pengaturan neuropati optik atau fotofobia konsensual dalam pengaturan iritis.
Pemeriksaan slit lamp dengan pewarnaan fluorescein bisa menjadi tambahan yang sangat
berguna dalam pemeriksaan untuk menyelidiki kemungkinan erosi, borok, dendrit dengan lebih
baik. Banyak dari pasien ini mungkin memiliki gejala grittiness atau sensasi benda asing yang
semuanya tidak boleh muncul pada kasus SCH sederhana.

12
II.2.9 Prognosis
SCH umumnya baik setelah resolusi. Penglihatan umumnya tidak terganggu. Tingkat
kekambuhan untuk SCH spontan adalah sekitar 10% tanpa faktor risiko yang dapat diidentifikasi
dan lebih tinggi jika pasien menggunakan terapi antikoagulan atau antiplatelet.

Gambar 6. Proses Penyembuhan

II.2.10 Komplikasi
Tidak ada komplikasi seputar perdarahan subkonjungtiva karena sebagian besar sembuh
sekitar 2 minggu. Perdarahan subkonjungtiva sendiri mungkin merupakan tanda dari gangguan
berbahaya yang lebih mendasar seperti koagulopati, eksaserbasi asma yang parah, trauma non-
spontan, atau trauma orbital yang parah.

13
BAB III
PENUTUP

Perdarahan subkonjungtiva merupakan keluhan yang sering ditemui dalam praktek


medis. Banyak pasien tidak mengalami gejala sama sekali kecuali tampilan fisik dari perdarahan
itu sendiri. Penyebab perdarahan subkonjungtiva biasanya berasal dari etiologi yang tidak dapat
diidentifikasi. Untuk sebagian besar, mereka berasal dari jinak termasuk peningkatan
ketegangan, Valsava, penggunaan lensa kontak. Tetapi dalam beberapa kasus, mungkin ada
faktor risiko predisposisi sistemik dan penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mencegah
morbiditas dan mortalitas lebih lanjut.
Ada banyak jenis tenaga medis profesional yang dapat menghadapi perdarahan
subkonjungtiva. Penyedia perawatan primer, dokter gawat darurat, dan spesialis mata semuanya
dapat terlibat dalam perawatan pasien dengan perdarahan subkonjungtiva. Penting untuk
berkonsultasi dengan tim interprofesional Anda untuk mendiskusikan diagnosis pasien dan
berkolaborasi dengan perawatan lebih lanjut. Dokter mata adalah komponen penting untuk tim
interprofesional Anda karena pasien diharapkan dapat menindaklanjuti dengan spesialis ini dan
mengoordinasikan perawatan lebih lanjut.
Selain itu, beberapa pasien mungkin mengalami perdarahan subkonjungtiva yang
disebabkan oleh antikoagulasi. Oleh karena itu, penting untuk berkonsultasi dengan ahli jantung /
ahli bedah vaskular atau siapa pun yang memantau antikoagulasi pasien. Perdarahan
subkonjungtiva juga dapat terjadi pada bayi baru lahir dan anak-anak, oleh karena itu,
neonatalogist, dokter anak, dokter gawat darurat anak dapat dilibatkan. Penting untuk dicatat
bahwa perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi dalam konteks trauma non-kecelakaan sehingga
dokter harus waspada terhadap tanda-tanda pelecehan anak.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Doshi R, Noohani T. 2020. Subconjunctival Hemorrhage.


Diakses 18 April 2021. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551666/
2. Ilyas, Sidarta.2010. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta: FK UI
3. Akbar M, Helijanti N, et al.2019. Conjunctival Laceration Of The Tarsalis Palpebra
Inferior Et Causing By A Fishing Hook. Vol.1 No.2. Juni 2019. Jurnal Medical
Profession (MedPro).
4. Syaefullah SP. 2019. Kegawatdaruratan Mata Akibat Trauma Mekanik. Departemen
Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Pusat Mata
Nasional Rumah Sakit Cicendo Bandung.
5. Kusumastuti DH. 2010. Awareness of Subconjunctival Bleeding on Warfarin Patient.
Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 4 Desember 2010: 167−170.
Diakses 18 April 2021. http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-
JOI%20Vol%207%20No%204%20Des%202010%20(Diana%20H).pdf

15

Anda mungkin juga menyukai