Anda di halaman 1dari 24

Clinical Report Session

ABLASIO RETINA

Oleh:

Muhammad Ihsan Fadillah 1510312090


Vannisa Al Khalish 1840312742

Preseptor:

dr. Weni Helvinda, Sp.M (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga referat untuk clinical report session
dengan judul “Ablasio Retina” ini dapat penulis selesaikan dengan baik dan sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan.
Referat ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis
mengenai ablasio retina serta menjadi salah satu syarat dalam menyelesaikan
kepaniteraan klinik di bagian mata Fakultas Kedokteran Universitas Andalas RSUP
Dr. M. Djamil Padang.
Penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam pembuatan referat ini, khususnya dr. Weni Helvinda, SpM (K) sebagai
preseptor yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan saran, perbaikan
serta bimbingan kepada penulis.
Dengan demikian, penulis berharap referat ini dapat menambah wawasan
dan pengetahuan serta meningkatkan pemahaman semua pihak mengenai kasus
ablasio retina.

Padang, 9 November 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Sampul ........................................................................................................................... i
Kata Pengantar .............................................................................................................. ii
Daftar Isi....................................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Batasan Masalah .................................................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................................. 2
1.4 Metode Penulisan ................................................................................................ 2
1.5 Manfaat Penulisan ............................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 3
2.1 Anatomi Retina.................................................................................................... 3
2.2 Fisiologi Retina ................................................................................................... 3
2.3. Ablasio Retina .................................................................................................... 4
2.3.1. Definisi ......................................................................................................... 4
2.3.2. Epidemiologi ................................................................................................ 5
2.3.3. Etiologi dan Faktor Resiko ........................................................................... 5
2.3.4. Klasifikasi ..................................................................................................... 6
2.3.5. Patogenesis ................................................................................................... 6
2.3.6. Manifestasi Klinis......................................................................................... 7
2.3.7. Diagnosis ...................................................................................................... 8
2.3.8. Diagnosis Banding ...................................................................................... 9
2.3.9. Tatalaksana ................................................................................................. 9
2.3.10. Komplikasi ................................................................................................ 10
2.3.11. Prognosis................................................................................................... 10
BAB 3 LAPORAN KASUS ...................................................................................... 11
BAB 4 DISKUSI ........................................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 20

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ablasio retina atau retinal detachment adalah istilah yang berarti pelepasan
lapisan retina neurosensorik dari lapisan membran yang berada dibawahnya, yaitu
epitel pigmen retina. Pemisahan dua lapisan terjadi di dalam fisura yang terbentuk
oleh invaginasi optic cup.1 Insiden ablasio retina setiap tahunnya terjadi sekitar 1
sampai 2 per 10.000 orang.2
Ablasio retina dikenal memiliki tiga jenis, yaitu bentuk regmatogenosa,
traksi (tarikan), dan eksudatif.1 Ablatio retina bentuk regmatogenosa merupakan
bentuk yang sering terjadi, dengan insidens yang bervariasi, yaitu 1 diantara 10.000
orang sampai kejadian tahunan dengan nilai sebesar 6,3 – 17,9 per 100.000 orang.3
Jenis kelamin pria memiliki resiko terjadinya ablasio retina regmatogenosa yang
sedikit lebih tinggi daripada wanita.4
Berdasarkan gambaran klinis dan etiologi, ablasio retina diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu ablasio retina regmatogenosa, ablasio retina eksudatif dan ablasio
retina traksi (tarikan). Pada ablasio retina regmatogenesa terjadi robekan pada retina
sehingga cairan masuk ke belakang antara sel pigmen epitel dengan retina.1
Faktor resiko ablasio retina yang penting diketahui adalah miopia, di mana
67% orang yang memiliki ablasio retina memiliki kelainan miopia, sementara
sekitar 50% pasien ablasio retina regmatogenosa memiliki miopia.2,3 Faktor resiko
lainnya adalah diabetes yang tidak terkontrol, ablasio retina mata sebelahnya,
riwayat operasi katarak, riwayat keluarga dengan ablasio retina, dan trauma tumpul
pada mata.4
Peluang mengembalikan penglihatan normal lebih besar ketika dilakukan
penatalaksanaan ablasio retina sebelum terjadinya pelepasan makula.4 secara
umum, tatalaksana ablasio retina ditatalaksana dilakukan dengan menyegel secara
mekanis dan dipicu oleh luka pada semua lubang di retina. Penutupan lubang retina
merupakan bagian terpenting dari tatalaksana ablasio retina. Terdapat beberapa
metode tatalaksana ablasio retina yang dapat dilakukan secara sendiri atau
kombinasi.1

1
1.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas tentang anatomi dan fisiologi retina, definisi,
epidemiologi, etiologi dan faktor risiko, klasifikasi, patogenesis dan patofisiologi,
manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis diferensial, tatalaksana, komplikasi dan
prognosis ablasio retina. Referat ini juga membahas tentang laporan kasus pasien
dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan lanjutanm diagnosis, dan
tatalaksana, serta diskusi laporan kasus.
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis dan
para dokter muda mengenai ablasio retina.
1.4 Metode Penulisan
Referat ini disusun berdasarkan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada
berbagai literatur.
1.5 Manfaat Penulisan
Penulisan referat ini diharapkan memberikan manfaat untuk menambah
informasi dan pengetahuan mengenai ablasio retina.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Retina


Retina adalah jaringan transparan yang tipis dan halus yang terbentuk dari
jaringan neuroektoderm.5 lapisan retina membentang ke anterior hampir sejauh
korpus siliaris dan berhenti pada ora serata dengan tepi yang ireguler.6 Retina
memiliki ukuran ketebalan yang berbeda, dimana sekitar 0,4 mm pada tepi kepala
saraf optikus dan semakin menipis ke arah periferal sampai mencapai ketebalan 0,14
pada ora serata.5
Retina neural memiliki struktur keseluruhan yang kompleks, di mana
terdapat 10 lapisan anatomis. Secara singkat, retina terdiri dari tiga lapis neuron,
yaitu lapisan luar terdiri dari fotoreseptor, lapisan tengah berupa neuron bipolar, dan
lapisan dalam berupa sel ganglion yang mengumpulkan sinyal penglihatan dan
mentransmisikannya pada saraf optikus.7
Retina memiliki 10 jenis lapisan dari yang terdalam hingga yang terluar, yaitu
membrana limitans interna, lapisan serat saraf, lapisan sel ganglion yang menerima
sinyal dari sel bipolar, lapisan pleksiform dalam, lapisan inti dalam badan-badan sel
amakrin, sel bipolar yang berfungsi menghantarkan sinyal fotoreseptor ke retina, dan
sel horizontal. Lalu di atasnya terdapat lapisan pleksiform luar, lapisan inti luar sel
fotoreseptor, membran limitans eksterna, lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar
kerucut dan batang, serta epitel pigmen retina.6,7
2.2 Fisiologi Retina
Retina merupakan bagian dari jaringan okuler yang paling kompleks dengan
struktur yang sangat terorganisasi.6 Retina terdiri dari neuron sensorik yang memulai
jalur penglihatan. Retina memiliki fungsi menerima, memodulasi, dan
mentransmisikan rangsangan penglihatan dari dunia luar menuju saraf optikus, dan
pada akhirnya, korteks oksipital otak.5
Retina memiliki sel konus dan batang yang berfungsi mentransformasikan
berkas cahaya menjadi sinyal saraf. Sel batang dan kerucut terletak di lapisan paling

3
luar retina sensorik yang tak berpembuluh darah.6 terdapat perbedaan komposisi sel
kerucut dan batang pada bidang lapisan terluar retina. Kepadatan sel kerucut
semakin meningkat mendekati daerah makula (fovea), berkurang ke arah perifer,
sementara sel batang meningkat kepadatannya ke arah perifer.6
Fungsi sel batang dan kerucut dapat dibedakan menjadi penglihatan malam
(skotopik) dan siang (fotopik). Sel batang memiliki kemampuan menerima cahaya
pada penglihatan malam. Sel batang memiliki rhodopsin, suatu pigmen tersusun dari
komponen protein opsin dan kromofor. Penglihatan siang utamanya memanfaatkan
kemampuan sel kerucut dan fovea. Fovea menangkap cahaya high ambient yang
berperan dalam menghasilkan ketajaman penglihatan (visual acuity) dan penglihatan
warna, sementara daerah retina yang lain berperan dalam menciptakan penglihatan
gerakan, kontras, dan malam hari.
Retina memiliki lapisan neural, di mana dapat ditemukan sel bipolar, sel
ganglion, sel horizontal, dan sel amakrin. Sel bipolar terdistribusi di retina, bertugas
menghubungkan sel fotoreseptor dan sel ganglion. Sel ganglion memberikan
aksonnya yang bergabung dengan serabut saraf optikus menuju otak. Sel horizontal
berada di lapisan pleksiform luar dan berfungsi sebagai interkoneksi sel bipolar
dengan sel bipolar lainnya. Sel amakrin berada pada lapisan pleksiform dalam, di
mana berfungsi untuk menghubungkan sel bipolar dengan sel ganglion. Retina juga
memiliki sel glia atau sel pendukung, yang terdiri dari astrosit, sel muller, dan sel
mikroglia. Sel muller berada di lapisan inti dalam dan menghasilkan ketebalan
ireguler yang memanjang menjangkau lapisan pleksiform luar. Sel astrosit tertutup
rapat pada lapisan serabut saraf di retina. Sel mikroglia terbentuk dari lapisan
mesodermal dan bukan merupakan sel mikroglia.8

2.3. Ablasio Retina


2.3.1. Definisi
Ablasio retina merupakan pemisahan epitel pigmen retina dari membran Bruch
(ablasio epitel pigmen retina) atau lapisan fotoreseptor yang terpisah dari epitel pigmen
retina (ablasio retina neurosensorik). Dua jenis utama ablasio retina adalah
regmatogenosa dan nonregmatogenosa. Ablasio regmatogenosa timbul dari adanya

4
lubang atau robekan di lapisan retina, sementara nonregmatogenosa biasanya tidak
terdapat lubang atau robekan dan bisa disebabkan oleh jenis serosa atau traksi
(tarikan).1 pelepasan retina dari koroid akan mengakibatkan gangguan nutrisi retina
dari pembuluh darah koroid, di mana jika berlangsung lama akan mengakibatkan
gangguan fungsi permanen.9
2.3.2. Epidemiologi
Ablasio retina terjadi pada beberapa populasi yang memiliki risiko tinggi
timbulnya ablasio retina. Faktor risiko ablasio retina adalah miopia, diabetes tidak
terkontrol, riwayat operasi katarak, riwayat keluarga dengan ablasio retina, dan trauma
tumpul mata.2
Sekitar 40-50% dari seluruh pasien yang memiliki ablasio retina memiliki
miopia tinggi. Pada pembedahan, ablasio retina terjadi pada 5-16 per 1.000 kasus
setelah dilakukannya bedah katarak, di mana menyumbang 30-40% penyebab dari
seluruh kasus ablasio retina yang dilaporkan. Trauma okuler langsung juga menjadi
penyebab dan menyumbang sekitar 10-20% dari seluruh kasus ablasio retina. Ablasio
retina akibat miopia tinggi lebih sering terjadi pada usia 25-45 tahun, sementara akibat
trauma mata lebih sering pada usia muda.10
2.3.3. Etiologi dan Faktor Resiko
Ablasio retina dapat terjadi akibat tiga mekanisme utama, yaitu,
regmatogenosa, di mana terjadi akumulasi cairan dibawah lapisan retina robek, dan
nonregmatogenosa yang terbagi menjadi akumulasi cairan dibawah lapisan retina intak
dan traksi oleh cairan vitreous.5
Faktor resiko ablasio retina regmatogenosa adalah ekskavasi retina perifer,
miopia patologis, pembedahan intraokuler sebelumnya, dan trauma. Faktor resiko
ablasio retina akumulasi serosa atau eksudatif adalah tumor okuler primer, sarkoidosis,
sifilis, dan oftalmia simpatetik. Faktor resiko ablasio retina traksi adalah retinopati
diabetik proliferatif, vitreoretinopati proliferatif, dan hemoglobinopati sel sabit.11

5
2.3.4. Klasifikasi
Ablasio retina dapat dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan etiologinya, yaitu:
a. Ablasio Retina Regmatogenosa
Ablasio retina regmatogenosa dimulai dengan adanya robekan retina, lalu cairan
vitreous yang mencair (likuifikasi) dapat masuk ke bagian antara lapisan sensoris
retina dan epitel pigmen retina.12
b. Ablasio retina nonregmatogenosa
1) Ablasio retina traksi, yaitu adanya tarikan membran vitreoretina yang
menyebabkan lepasnya lapisan sensoris dari epitel pigmen retina.
2) Ablasio retina eksudatif, yaitu masuknya cairan yang asalnya dari koriokapiler
ke rongga subretina, dengan cara melewati lapisan epitel pigmen retina yang
rusak.12

2.3.5. Patogenesis
a. Ablasio Retina Regmatogenosa
Ablasio retina jenis ini terjadi ketika robekan, patahan, atau lubang terbentuk
di retina. Ketika robekan terjadi, cairan vitreous dapat masuk ke dalam ruangan di
bawah retina neurosensorik, menyebabkan pelepasannya dari epitel pigmen retina.
Cairan vitreous berlanjut memasuki bagian bawah retina, melepaskannya dari epitel
pigmen retina, hingga seluruh retina posterior terlepas. Pelepasan ini dapat terjadi
dalam waktu beberapa jam hingga bulan, tergantung lokasi pelepasannya. Ablasi retina
dapat memicu kehilangan penglihatan parah, di mana jika tidak dilakukan intervensi
tindakan bedah, dapat menyebabkan kebutaan menetap.11
b. Ablasio retina Traksi
Ablasio retina traksi tidak seperti jenis regmatogenosa yang terdapat robekan
pada retina neurosensorik. Ketika ada membran proliferatif pada cairan vitreous atau
permukaan retina, membran tersebut dapat menarik retina neurosensorik. Ketika gaya
tariknya sudah cukup kuat, dapat terjadi pelepasan retina neurosensorik dari epitel
pigmen retina di bawahnya.11

6
c. Ablasio Retina Eksudatif
Ablasio retina ekudatif atau serosa tidak melibatkan adanya robekan retina
neurosensorik. Pada jenis ini, pelepasan terjadi akibat akumulasi cairan subretina
akibat eksudasi cairan dari lesi yang luas, seperti dari tumor atau mediator pada proses
inflamasi.11

2.3.6. Manifestasi Klinis


Ablasio retina dapat dikenali melalui pemeriksaan manifestasi klinis yang
muncul, yaitu:
a. Penurunan Penglihatan
Ablasio retina menimbulkan gejala gangguan penglihatan yang suatu saat
terlihat sebagai tabir yang menutup. Penurunan penglihatan terjadi mendadak dan dapat
berkurang dari ringan sampai sedang.9
b. Shadows
Saat robekan retina terjadi, pasien seharusnya segera mencari pengobatan
medis dan pengobatan efektif. Akan tetapi, ada beberapa pasien tidak segera mencari
pengobatan, bahkan mengabaikan gejala yang dialami. Memang dalam beberapa saat
gejala akan berkurang, tetapi dalam kurun waktu beberapa hari hingga tahunan akan
muncul bayangan hitam pada lapangan pandang perifer. Jika terjadi pelepasan retina
bagian atas, maka bayangan akan terlihat pada lapangan pandang bagian bawah dan
dapat membaik secara spontan dengan tirah baring, terutama sesudah tirah baring di
pagi hari. Kehilangan penglihatan sentral atau pandangan kabur dapat muncul jika
fovea ikut terlibat.14
c. Flashes (Fotopsia)
Fotopsia adalah sensasi yang dialami pasien seperti melihat kilatan cahaya.
Fotopsia diakibatkan tarikan vitreus terhadap retina. Tarikan yang berlangsung cukup
kuat akan menyebabkan robekan retina. Gejala dapat dirasakan sepanjang waktu, tetapi
paling terasa saat suasana gelap. Kilatan cahaya (flashes) biasanya terlihat pada
lapangan pandang perifer.14

7
d. Floaters
Retina yang robek dapat mengakibatkan pigmen dari epitel pigmen retina
terlepas dan masuk ke dalam rongga vitreus, sehingga membuat gejala floaters.
Floaters merupakan sensasi melihat objek berwarna coklat kehitaman dengan kelainan
retina yang berhubungan dengan proliferasi membran neovaskular, sebagai respon
kondisi iskemia retina. Gejala yang ditimbulkan adalah titik hitam yang melayang di
depan lapangan pandang. Titik hitam yang semakin besar dan muncul tiba tiba menjadi
tanda signifikan suatu keadaan patologis. Pada beberapa kasus, pasien menggambarkan
gejala ini seperti berudu atau bahkan sarang laba-laba.9,13,14

2.3.7. Diagnosis
Keluhan utama pasien pada ablasio retina adalah penurunan penglihatan yang
dideskripsikan sebagai penglihatan yang tertutup sebagian, atau seperti tertutup tirai.
Metode mendiagnosis ablasio retina adalah menggunakan oftalmoskopi direk dan
indirek, tapi yang terbaik dengan menggunakan indirek binokuler. Ablasio yang
mengenai bagian retina perifer, tidak mempengaruhi tajam penglihatan (visus 6/6),
tetapi terdapat lapangan pandang yang terganggu dengan kesan tertutup tirai di sisi
lapangan pandang yang berkaitan dengan retina yang mengalami ablasi. . Tetapi jika
ablasio mengenai makula, maka pasien akan mengalami penurunan tajam penglihatan
mencapai 1/60 sampai 1/~.9,13,15
Pada pemeriksaan funduskopi, ditemukan kehilangan refleks fundus merah dan
peningkatan retina. Retina nampak berwarna abu-abu dan menunjukkan lipatan dan
undulasi. Pelepasan retina yang dangkal sulit untuk didiagnosis tapi dapat dilihat
dengan visualisasi stereoskopik pembuluh darah retina yang membentuk bayangan
pada epitelium pigmen retina.15
Pemeriksaan secara menyeluruh dilakukan pada kedua mata. Pemeriksaan pada
mata yang tidak bergejala memberikan petunjuk tentang penyebab dari ablasio retina
pada mata yang terkena ablasio retina. Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan
adalah:10,16
• Pemeriksaan segmen luar untuk menilai kemungkinan trauma.
• Pemeriksaan pupil untuk menententukan ada atau tidaknya defek pupil aferen.

8
• Pemeriksaan visus penglihatan.
• Pemeriksaan konfrontasi lapangan pandang.
• Pemeriksaan slit lamp untuk melihat keberadaan pigmen intak pada vitreus
(Shafer’s sign).
• Pemeriksaan tekanan bola mata.
• Pemeriksaan fundus dengan oftalmoskopi.
• Pemeriksaan USG membantu diagnosis ablasio retina saat gejala yang timbul
minimal atau kondisi di mana diagnosis kelainan segmen posterior sulit ditegakkan
hanya dengan anamnesis, funduskopi, dan pemeriksaan lapang pandang.
Pada mata normal, rongga vitreous nampak sebagai struktur hipoekoik sirkular
dengan retina nampak hiperekoik yang tidak dapat dibedakan dari koroid hiperekoik
di bawahnya. Pada kondisi ablasio retina, bagian retina neurosensorik menjadi jelas
berbeda dengan koroid.17
2.3.8. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari ablasio retina adalah korioretinopati serosa sentralis
(CSR). CSR adalah penyakit mata ditandai dengan dekompensasi epitel pigmen retina,
yang menyebabkan pelepasan retina neurosensorik, epitel pigmen serosa, dan atrofi
epitel pigmen retina. CSR biasanya terjadi unilateral dan menyerang usia muda atau
dewasa muda (25-50 tahun), dengan pria lebih banyak dibandingkan wanita.18
2.3.9. Tatalaksana
Tatalaksana ablasio retina bertujuan menutup robekan retina dan membuat
hubungan korioretinal yang kuat, sehingga tidak timbul robekan baru. Terdapat dua
metode yang dapat dilakukan, yang pertama dengan pendekatan eksternal
menggunakan indentasi skleral dengan bahan silikon yang disebut scleral buckling,
dan yang kedua adalah menggunakan pendekatan internal, yaitu vitrektomi.15
a. Scleral Buckling
Pembedahan scleral buckling adalah alat yang diletakkan di dalam atau di atas
sklera dan digunakan untuk menatalaksana robekan retina. Prinsip bedah ini adalah
dengan dengan merubah sklera, maka traksi vitreoretinal dapat berkurang, dan caira
yang termasuk faktor inflamasi dapat disingkirkan dari robekan retina. Pada

9
prosedur ini digunakan bahan silikon yang berstruktur solid. Kelebihan bahan
silikon adalah tidak menempel dengan jaringan, yang dapat menimbulkan
komplikasi saat implan perlu untuk diangkat.19
b. Vitrektomi
Vitrektomi telah menjadi tatalaksana bedah utama untuk retinopati diabetik
proliferatif, termasuk juga penyakit hemoragik vitreous persisten dan ablasio retina
traksi. Vitrektomi bertujuan meningkatkan penglihatan dengan menghilangkan
hemoragik yang ada di dalam atau di balik membran vitreous atau membran
proliferatif dan menempelkan ulang retina yang terlepas.20

2.3.10. Komplikasi
a. Vitreoretinopati Proliferatif
Vitreoretinopati proliferatif (PVR) merupakan penyebab utama kegagalan
pembedahan ablasio retina. PVR dicirikan dengan terbentuknya membran
fibroselular pada retina dan permukaan hyaloid posterior.21
b. Komplikasi Scleral Buckling
Komplikasi dari tindakan bedah scleral buckling yang mungkin terjadi adalah
perubahan refraktif, intrusi atau ekstrusi, infeksi, iskemia bola mata, dan pelepasan
koroid.22

2.3.11. Prognosis
Penglihatan yang didapatkan dari hasil bedah ablasio retina regmatogenosa
tergantung dari status makula sebelum operasi. Apabila makula terlepas, pengembalian
penglihatan sentral biasanya tidak sempurna. Bila makula sudah terlepas, penundaan
tindakan bedah hingga 1 minggu tidak mengubah hasil akhir penglihatan. Oleh karena
itu, tindakan bedah harus segera dilakukan selagi makula masih melekat.13

10
BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. M
Jenis Kelamin : Laki-Laki
No RM : 01040024
Usia : 54 Tahun
Alamat : Tabing
Pekerjaan : Pedagang di pasar
3.2 Anamnesis
Seorang pasien laki-laki berumur 54 tahun datang ke Poliklinik Mata RSUP Dr.
M Djamil Padang pada tanggal 10 November 2020 dengan:
Keluhan Utama:
Penglihatan kiri menurun sejak 2 bulan yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang:
- Penglihatan kiri menurun sejak 2 bulan yang lalu, seperti ada yang
menghalangi. Muncul perlahan-lahan dan semakin lama dirasakan semakin
bertambah buruk
- Penglihatan seperti ditutup tirai (+)
- Melihat debu-debu berterbangan (+)
- Penglihatan silau
- Mata terasa gatal (-)
- Mata berair (-)
- Mata merah (-)
- Riwayat trauma pada mata kiri (-)
- Mual (-), muntah (-)
- Pasien sebelumnya telah berobat ke dokter spesialis mata, diberikan
kacamata koreksi, pasien tidak ingat berapa visus koreksi. Pasien merasa
visusnya tidak membaik. Setelah itu pasien berobat di Yos Sudarso, lalu di
rujuk ke RSUP DR. M Djamil Padang.

11
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat pengguna kacamata sejak 5 tahun yang lalu, dengan dioptri + 1,5
- Riwayat hipertensi (+) tidak diketahui sejak kapan
- Riwayat CHF (+) tahun 2019
- Riwayat penggunaan obat-obatan tradisional pada mata kiri (+)
- Riwayat konsumsi OAT (+) tahun 1990, tidak ada kontrol
- Riwayat DM (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama seperti
pasien
- Riwayat keluarga menggunakan kacamata (-)
Riwayat Kebiasaan dan Sosioekonomi
- Pasien seorang pedagang
- Kebiasaan merokok (+), konsumsi alkohol (-)
3.3 Pemeriksaan Fisik
Vital Sign
- Keadaan Umum : Sakit sedang
- Kesadaran : Komposmentis kooperatif
- Tekanan darah : 130/80 mmHg
- Frekuensi Nadi : 72x/menit
- Frekuensi Nafas : 20x/menit
- Suhu : afebris
Kulit : teraba hangat, turgor baik
Kelenjar Getah Bening : tidak ada perbesaran KGB
Kepala : normocephal
Mata : Status oftalmologis
Telinga : tidak ada kelainan
Hidung : tidak ada kelainan
Tenggorokan : tidak ada kelainan
Gigi dan Mulut : caries dentis (-)

12
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Toraks
Jantung:
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari lateral LMCS RIC VI
Perkusi :
Batas jantung atas : RIC II
Batas jantung bawah : 1 jari lateral LMCS RIC VI
Batas jantung kanan : LSD
Batas jantung kiri : 1 jari lateral LMCS RIC VI
Auskultasi : S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (+)
Paru :
Inspeksi :
Statis : Dinding dada kiri dan kanan simetris
Dinamis : Pergerakan dinding dada kiri dan kanan simetris
Palpasi : Fremitus kiri dan kanan sama
Perkusi : sonor
Auskultasi :
Kanan : suara napas bronkovesikular, rh -/-, wh -/-
Kiri : suara napas bronkovesikular, rh -/-, wh -/-
Abdomen
Inspeksi : Tidak tampak membuncit
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Punggung : dalam batas normal
Genitalia : tidak diperiksa
Ekstremiats : akral hangat, CRT < 2 detik

13
Status Oftalmikus

STATUS OFTALMIKUS OD OS
Visus tanpa koreksi 20/20 1/60
Visus dengan koreksi - -
Refleks fundus + +
Bulu mata hitam, Bulu mata hitam,
Silia/ supersilia trikiasis tidak ada, trikiasis tidak ada,
madarosis tidak ada madarosis tidak ada
Edema (-) Edema (-)
Palpebra superior Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Massa (-) Massa (-)
Edema (-) Edema (-)
Palpebra inferior Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Massa (-) Massa (-)
Skret (-) Skret (-)
Margo palpebra
Krusta (-) Krusta (-)
Aparat lakrimalis Dalam batas normal Dalam batas normal
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Konjungtiva tarsalis Edem (-) Edem (-)
Sekret (-) Sekret (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Papil (-) Papil (-)
Konjungtiva forniks
Folikel (-) Folikel (-)
Sikatrik (-) Sikatrik (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Injeksi siliar (-) Injeksi siliar (-)
Konjungtiva bulbi
Injeksi konjungtiva (-) Injeksi konjungtiva (-)
Bleb (+) Bleb (+)

14
Sklera Warna putih Warna putih
Kornea Bening Bening
Kamera Okuli Anterior Cukup dalam Cukup dalam
Iris Coklat, rugae (+) Coklat, rugae (+)
Bulat, RP +/+, diameter 3 Bulat, RP +/+, diameter 3
Pupil
mm mm
Lensa Bening Bening
Korpus vitreum Jernih Jernih
Fundus
- Media Bening Bening
Bulat, batas tegas, C/D Bulat, batas tegas, C/D
- Papil optikus
0,3-0,4 0,3-0,4
- Pembuluh darah
Aa:Vv 2:3 Aa:Vv 2:3
aa:vv
Perdarahan (-), eksudat (-),
- Retina Perdarahan (-), eksudat (-)
ablasio (+)
- Makula Reflek Fovea (+) Reflek Fovea (+)
Tekanan bulbus okuli 18 mmHg 15 mmHg
Posisi bulbus okuli Ortho Ortho
Gerakan bulbus okuli Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah
Gambar

15
3.4 Diagnosis Kerja
Ablasio retina rhegmatogen OS
3.5 Diagnosis Banding
Tidak ada diagnosis banding
3.6 Anjuran Terapi
- Vitrektomi + Edolaser + Silicon Oil OS
Terapi Post operative
- Posop 6 x 1 OS
- LFX 4 x 1 OS
- Atropin 1 % 3 x 1 OS
- Bed Rest
3.7 Anjuran Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan darah lengkap
- USG Orbita
3.8 Prognosis
Dobia ad bonam

16
BAB 4
DISKUSI

Telah datang seorang pasien laki-laki usia 54 tahun ke poliklinik mata RSUP
Dr. M. Djamil pada tanggal 10 november 2020 dengan diagnosis ablasio retina
regmatogen. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis didapatkan keluhan utama berupa penglihatan mata kiri
menurun sejak 2 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan seperti ada yang menghalangi,
muncul perlahan-lahan dan semakin lama dirasakan semakin bertambah buruk
sehingga tidak bisa melihat, penglihatan terasa seperti tertutup tirai. Pasien juga
merasakan seperti melihat debu beterbangan dan rasa silau. Pasien tidak mengeluhkan
mata berair, mata merah dan mata tidak terasa gatal. Mual dan muntah tidak ada. Tidak
ada. Riwayat trauma pada mata kiri. Pasien sebelumnya telah berobat ke dokter
spesialis mata dan diberikan kacamata koreksi, pasien tidak ingat berapa koreksinya.
Pasien merasa penglihatan belum membaik.
Pada pemeriksaan visus tanpa koreksi didapatkan penurunan visus pada mata
kiri. Visus mata kiri yaitu 1/60 dan visus mata kanan 20/20. Refleks fundus pada kedua
mata ada. Silia/supersilia tidak ada edema, hiperemis dan massa. Palpebra superior dan
inferior kedua mata tidak ada tanda-tanda inflamasi. Sklera putih, kornea bening, COA
cukup dalam, iris dan pupil normal pada kedua mata. Pada pemeriksaan funduskopi
pada mata kanan dalam batas normal, pada mata kiri media bening, papil optikus bulat,
batas tegas, c/d 0,3-0,4, Aa:Vv 2:3, pada retina ditemukan ablasio, tidak ada perdarahan
dan eksudat, pada makula refleks fovea positif.
Keluhan penglihatan terasa seperti tertutup tirai diakibatkan robeknya retina
pada mata pasien sehingga terjadi defek penglihatan mulai dari perifer hingga sentral.
Melihat debu beterbangan yang dialami pasien diakibatkan darah dan sel epitel pigmen
retina yang masuk ke badan vitreus dan terlihat sebagai floaters, yaitu kopakan/
bayangan gelap pada vitreus yang terjadi ketika retina robek. Rasa silau terjadi akibat
hasil dari stimulasi mekanik pada retina. Hal ini diinduksi oleh gerakan bola mata dan

17
lebih jelas pada keadaan gelap, yang terjadi karena stadium pertama dari robekan
retina. Pasien tidak mengeluhkan mata berair, mata merah dan mata tidak terasa gatal
karena tidak terjadi inflamasi pada mata pasien. Mual dan muntah tidak ada, hal ini
dapat menjadi tanda tidak ada peningkatan tekanan intraokuler.
Berdasarkan keluhan pasien, penyakit pasien ini termasuk ke dalam mata
tenang dengan penurunan visus mata. Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan hal
tersebut diantaranya yaitu ablasio rerina. Ablasio retina dalah terlepasnya lapisan
fotoreseptor dan lapisan retina dalam lainnya dari sel epitel pigmen retina yang masih
berikatan dengan koroid. Ada tiga jenis ablasio retina yaitu regmatogen, traksional dan
eksudatif. Pada ablasio retina traksional paling sering terjadi pada pasien dengan
proliferative retinopati diabetikum akibat pembentukan fibroblast dari pembuluh darah
yang pecah di retina. Pada ablasio retina eksudatif terjadi akibat akumulasi cairan pada
lapisan sensoris retina akibat penyakit degeneratif, inflamasi dan infeksi. Sedangkan
pada pasien ini tidak ditemukan penyakit diabetes melitus dan penyakit inflamasi lain
sehingga dicurigai ablasio retina regmatogen.
Pada pasien ini terdapat penurunan visus pada mata kiri akibat kerusakan retina
karena pada saat pemeriksaan dengan pin hole tidak ada perbaikan penglihatan
sehingga disimpulkan pasien tidak mengalami kelainan pada media refraksi, melainkan
kelainan pada neuron atau retina. Pada pemeriksaan funduskopi mata kiri ditemukan
pelepasan retina di daerah inferior nasal.
Pasien dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan labor seperti darah rutin,
PT/APTT, GDP, Ureum dan kreatinin, SGOT/SGPT untuk memastikan apakah
terdapat gangguan pembekuan darah, diabetes melitus, gangguan ginjal dan hepar.
Pada pemeriksaan labor pasien menunjukkan dalam batas normal sehingga dipastikan
juga pasien tidak memiliki diabetes melitus yang menjadi factor risiko ablasio retina
traksional. Pemeriksaan USG mata dilakukan untuk membantu membedakan
regmatogen dan non regmatogen,
Tujuan utama tatalaksana pasien adalah mengembalikan kontak antara
neurosensorik retina yang terlepas dengan RPE dan eleminasi kekuatan traksi.
Tatalaksana definitif abalsio retina saat telah didiagnosis adalah pembedahan. Berbagai

18
metode operasi yang dilakukan bergantung dari lokasi robekan, usia pasien, gambaran
fundus, dan pengalaman ahli bedah. Pada pasien di anjurkan dilakukan vitrektomi
berupa pembuangan vitreus, menurunkan gaya traksi yang kemudian vitreus diganti
dengan minyak silicon atau gas sebagai tamponade robekan. Tabung endolaser dapat
digunakan sebagai drainase eksternal cairan subretinal.
Terdapat beberapa komplikasi intraoperatif yang dapat menganggu tujuan
pembedahan tersebut seperti pecahnya sklera, perforasi retina, perdarahan subretinal,
perdarahan vitreus, choroidal detachment, retinal incarceration, dan oklusi arteri retina
sentral.
Post operative care yang dapat diberikan kepada pasien yaitu patcing dimana
mata yang di operasi di tutup selama beberapa hari sampai mata nyaman, kemudian
medikamentosa berupa antibiotik, steroid dan sikloplegik. Pada pasien diberikan tetes
mata steroid berupa Posop 6 x 1 OS, antibiotik berupa LFX 4 x 1 OS dan sikloplegik
berupa atropine 1% 3 x 1 OS. Antibiotik sistemik jarang diperlukan.
Ambulasi didorong sesegera mungkin. Mencukur dan mandi di bawah leher
diizinkan dalam beberapa hari dan aktivitas penuh diizinkan dalam waktu enam
minggu. Namun, aktivitas berat tidak diizinkan selama tiga bulan. Dan pasien
dianjurkan untuk follow up secara teratur.
Operasi ablasio retina sederhana memiliki tingkat keberhasilan 90%.
Komplikasi tertentu dapat menyebabkan kegagalan perbaikan dalam beberapa minggu
pertama atau muncul setelah beberapa bulan kemudian. Glaukoma pasca operasi terjadi
7%, edem macula sistoid 25-29%, infeksi pada mata sekitar 3%.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Feltgen N, Walter P. Rhegmatogenous retinal detachment—an ophthalmologic


emergency. Deutsches Ärzteblatt International. 2014;111(1-2):12-24.
2. Chang Huan J. In : Retinal Detachment. The Journal Of The American Medical
Association. JAMA. 2012;307(13):1447.
3. Mitry D, Charteris DG, Fleck BW, Campbell H, Singh J. The epidemiology of
rhegmatogenous retinal detachment: geographical variation and clinical
associations. Br J Ophthalmol. 2010;94(6):678-84.
4. Mitry D, Tuft S, McLeod D, Charteris DG. Laterality and gender imbalances in
retinal detachment. Graefes Arch Clin Exp Ophthalmol. 2011 Jul;249(7):1109-10.
5. Herzlich AA, Patel M, Sauer TC, Chan CC. Retinal anatomy and pathology.
Retinal Pharmacotherapy. 2010. p. 5-14.
6. Vaughan DG, Asbury T. General Ophtamology Ed 19. McGraw-Hill Education.
2018.p.462- 5.
7. Carlson BA. The Human Body: Linking Structure and Function. Academic Press;
2018. p. 177-207.
8. Sherwood, L., 2010. Human Physiology from Cells to Systems. 7th ed. USA:
Brook/Cole. p. 195-213.
9. Ilyas S, dkk. Ablasio retina. Sari Ilmu Penyakit Mata. cetakan ke 5. Gaya Baru
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:2016. p.192-5.
10. Kwon OW, Roh MI, Song JH. Retinal detachment and proliferative
vitreoretinopathy. In: Retinal Pharmacotherapy. Britain: Saunders-Elsevier.
2010. p. 147-51.
11. Blair K, Czyz CN. Retinal Detachment. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551502/. Diakses 9 November 2020.
12. Budiono, S. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Mata. Surabaya: Airlangga University
Press. 2013.
13. Fletcher EC, Chong NHV, Shetlar DJ. Retina. In: Riordan-Eva P, Whitcher JP.
Vaughan & Asbury: Oftamologi Umum. Edisi 17. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2017. p.196-7.
14. Galloway NR, Amoaku WMK, Galloway PH, et al. Common Eye Disease And
Their Management. 3rd ed. London: Springer-Verlag. 2006. p. 103-10.

20
15. Jalali S. Retinal detachment. Community Eye Health. 2003;16(46):25-6.
16. Chern KC. Emergency Opthalmology A Rapid Treatment Guide. New York:
McGrawHill. 2002.
17. Lahham S, Ali Q, Palileo BM, Lee C, Fox JC. Role Of Point Of Care Ultrasound
In The Diagnosis Of Retinal Detachment In The Emergency Department. Open
Access Emerg Med. 2019 Nov 13;11:265-70.
18. Semeraro F, Morescalchi F, Russo A, Gambicorti E, Pilotto A, Parmeggiani F, et
al. Central Serous Chorioretinopathy: Pathogenesis and Management. Clin
Ophthalmol. 2019 Dec 2;13:2341-52.
19. Rachel L, Williams HJ, Levis RL, Kyle G, Doherty S, Kennedy M, Victoria R,
Kearns. Encyclopedia of Biomedical Engineering Biomaterials in
Ophthalmology; 2019. p. 289-300.
20. Shintaro N, Yasuaki H. Nutritional and Therapeutic Interventions for Diabetes
and Metabolic Syndrome. Chapter 13 - An Overview of Diabetes and Ocular
Health. 2012. p. 159-76.
21. Hiscott P, Wong D. Proliferative Vitreoretinopathy. In: Encyclopedia of the Eye.
Academic Press. 2010. p. 526-34.
22. Papakostas TD, Vavvas D. Postoperative complications of scleral buckling.
Seminars in Ophthalmology. 2018;33(1):70-4.

21

Anda mungkin juga menyukai