Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN

“ CA CAPUT ”

OLEH:

FIKI

1930018

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS PROGRAM PROFESI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN

2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pada pasien Ca Caput diruang 24.B Rumah Sakit Saiful Anwar Malang
Yang Dilakukan Oleh:
Nama : Fiki
NIM : 1930018
Prodi : Pendidikan Profesi Ners Program Profesi STIKes Kepanjen
Malang
Sebagai salah satu syarat dalam pemenuhan tugas praktik Profesi Ners Departemen
Keperawatan Dasar yang dilaksanakan pada tanggal 07 Oktober 2019- 12 Oktober
2019, yang telah disetujui dan disahkan pada:

Hari :
Tanggal :

Malang, Oktober 2019

Mengetahui,

Pembimbing Institusi Pembimbing Klinik

(................................) (................................)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Retina adalah jaringan neurosensoris yang tipis, semitransparan dan
berlapis-lapis yang terletak pada dua per tiga dinding sebelah dalam bola mata.
Retina manusia merupakan suatu struktur yang sangat terorganisir, yang terdiri
dari lapisan-lapisan badan sel dan prosesus sinaptik. Walaupun ukurannya
kompak dan tampak sederhana apabila dibandingkan dengan struktur saraf
misalnya korteks serebrum, retina memiliki daya pengolahan yang sangat
canggih. Pengolahan visual retina diuraikan oleh otak, dan persepsi warna,
kontras, kedalaman, dan bentuk berlangsung di korteks. Pengolahan informasi
di retina berlangsung dari lapisan fotoreseptor melalui akson sel ganglion
menuju ke saraf optikus dan otak (Hardy RA, 2004).

Retina merupakan lapisan membran neurosensoris dan merupakan lapisan


ketiga bola mata setelah sklera yang merupakan jaringan ikat dan jaringan uvea
yang merupakan jaringan vaskuler yang terdiri dari iris, badan siliar, dan
koroid. Retina berbatas dengan koroid dengan sel pigmen epitel retina. Antara
retina dan epitel pigmen retina terdapat rongga potensial yang bisa
mengakibatkan retina terlepas dari epitel pigmen retina. Hal ini yang disebut
sebagai ablasio retina (Ilyas Sidarta, 2010).
BAB 2
LAPORAN PENDAHULUAN
ABLASIO RETINA
A. DEFINISI

Ablasio retina (retinal detachment) adalah suatu keadaan terpisahnya sel


kerucut dan sel batang retina dengan dari sel epitel pigmen retina. Pada keadaan
ini sel epitel pigmen masih melekat erat dengan membran Bruch.
Sesungguhnya antara sel kerucut dan sel batang retina tidak terdapat suatu
perlekatan struktural dengan koroid atau pigmen epitel, sehingga merupakan
titik lemah yang potensial untuk lepas secara embriologis. Pada mata normal,
retina sensorik yang utuh tertahan melekat ke epitel pigmen oleh adanya tarika
oleh epitel terhadap ruang kedap air diantara keduanya. Apabila terdapat
robekan retina, gerakan bola mata yang cepat dan rotasi bola mata mendadak
dapat menimbulkan gaya inersi yang cukup besar untuk menimbulkan
pelepasan retina (Sidarta Ilyas, 2010).

B. ETIOLOGI
a. Malformasi kongenital
b. Kelainan metabolisme
c. Penyakit vaskuler
d. Inflamasi intraokuler
e. Neoplasma
f. Trauma
g. Perubahan degeneratif dalam vitreus atau retina
(C. Smelzer, Suzanne, 2002).

C. EPIDEMIOLOGI

Paling umum di seluruh dunia yang terkait dengan ablasio retina adalah
miop, afakia, pseudofakia, dan trauma. Sekitar 40-50% dari semua pasien
dengan ablasio memiliki miop tinggi (> 6 dioptri), 30-35% pernah menjalani
operasi pengangkatan katarak, dan 10-20% pernah mengalami trauma okuli.
ablasio retina yang terjadi akibat trauma lebih sering terjadi pada orang muda,
dan miop terjadi paling sering pada usia 25-45 tahun. Meskipun tidak ada
penelitian yang menunjukkan untuk terjadinya ablasio retina yang
berhubungan dengan olahraga tertentu (misalnya, tinju dan bungee jumping)
tetapi olahraga tersebut meningkatkan resiko terjadinya ablasio retina (Larkin,
L. Gregory, 2010).

Kejadian ini tidak berubah ketika dikoreksi, meningkat pada pria dengan
trauma okuli.Ablasio retina pada usia kurang dari 45 tahun, 60% laki-laki dan
40% perempuan (Larkin, L. Gregory, 2010).

retina biasanya terjadi pada orang berusia 40-70 tahun. Namun, cedera
paintball pada anak-anak dan remaja merupakan penyebab umum dari cedera
mata, yang termasuk ablasio retina traumatik (Larkin, L. Gregory, 2010).

D. KLASIFIKASI

Berdasakan penyebabnya ablasio retina dibagi menjadi:

1. ABLASIO RETINA REGMATOGENOSA

Ablasio regmatogenosa berasal dari kata Yunani rhegma, yang berarti


diskontuinitas atau istirahat. Pada ablasi retina regmatogenosa dimana
ablasi terjadi adanya robekan pada retina sehingga cairan masuk ke
belakang antara sel pigmen epitel dengan retina. Terjadi pendorongan retina
oleh badan kaca cair (fluid vitreus) yang masuk melalui robekan atau lubang
pada retina ke rongga subretina sehingga mengapungkan retina dan terlepas
dari lapis epitel pigmen koroid. Ablasio regmantogenosa spontan biasanya
didahului atau disertai oleh pelepasan korpus vitreum posterior (Khurana
AK, 2007).

Faktor predisposisi terjadinya ablasio retina regmantosa antara lain:


1. Usia. Kondisi ini paling sering terjadi pada umur 40 – 60 tahun. Namun,
usia tidak menjamin secara pasti karena masih banyak faktor yang
mempengaruhi
2. Jenis kelamin. Keadaan ini paling sering terjadi pada laki – laki dengan
perbandingan laki : perempuan adalah 3 : 2.
3. Miopia. Sekitar 40 persen kasus ablasio retina regmatogenosa adalah
seseorang yang menderita rabun jauh.
4. Afakia. Keadaan ini lebih sering terjadi pada orang yang afakia daripada
yang fakia.
5. Trauma. Mungkin juga bertindak sebagai faktor predisposisi
6. Senile posterior vitreous detachment (PVD). Hal ini terkait dengan ablasio
retina dalam banyak kasus.
7. Retina yang memperlihatkan degenerasi di bagian perifer seperti Lattice
degeneration, Snail track degeneration, White-with-pressure and white-
without or occult pressure, acquired retinoschisis
Berbagai factor resiko akan menyebabkan terjadinya robekan pada retina,
yang menyebabkan cairan vitreous dapat masuk ke ruang subretina melalui robekan
tersebut dan akan memisahkan retina dari epitel pigmen retina.3
Ablasi retina akan memberikan gejala prodromal berupa gangguan
penglihatan yang kadang–kadang terlihat sebagai adanya tabir yang menutupi di
depan mata (floaters) akibat dari degenerasi vitreous secara cepat dan terdapat
riwayat fotopsia (seperti melihat kilasan cahaya) pada lapangan penglihatan karena
iritasi retina oleh pergerakan vitreous (Khurana AK, 2007).
Ablasi retina yang berlokalisasi di daerah superotemporal sangat berbahaya
karena dapat mengangkat makula. Penglihatan akan turun secara akut bila lepasnya
retina mengenai makula lutea. Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina
yang terangkat berwarna pucat dengan pembuluh darah diatasnya dan terlihat
adanya robekan retina berwarna merah. Bila bola mata bergerak akan terlihat retina
yang lepas (ablasi) bergoyang. Kadang – kadang terdapat pigmen didalam badan
kaca. Pada pupil terdapat adanya defek aferen pupil akibat penglihatan menurun.
Tekanan bola mata rendah dan dapat meninggi bila telah terjadi neovaskuler
glaucoma pada ablasi yang telah lama (Cassidy L, Olver, J, 2005).
Gambar 3. Ablasio retina tipe regmatogenosa, arah panah menunjukkan
horseshoe tear (Lang, GK, 2007).

2. ABLASIO RETINA NON REGMATOGENOSA

A) ABLASIO RETINA EKSUDATIF

Ablasio retina eksudatif terjadi akibat adanya penimbunan cairan eksudat di


bawah retina (subretina) dan mengangkat retina hingga terlepas. Penimbunan cairan
subretina terjadi akibat ekstravasasi cairan dari pembuluh retina dan koroid.
Penyebab ablasio retina eksudatif yaitu penyakit sistemik yang meliputi Toksemia
gravidarum, hipertensi renalis, poliartritis nodos dan karena penyakit mata yang
meliputi inflamasi (skleritis posterior, selulitis orbita), penyakit vaskular (central
serous retinophaty, and exudative retinophaty of coats), neoplasma (melanoma
maligna pada koroid dan retinoblastoma), perforasi bola mata pada operasi
intraokuler (Khurana AK, 2007).
Ablasio retina eksudatif dapat dibedakan dengan ablasio retina
regmatogenosa dengan:
a. Tidak adanya photopsia, lubang/sobekan, lipatan dan undulasi
b. Ablasio retina eksudatif halus dan konveks. Bagian atasnya biasa bulat dan
bisa menunjukkan gangguan pigmentari
c. Kadang-kadang, pola pembuluh darah retina mungkin terganggu akibat adanya
neovaskularisasi.
d. Pergeseran cairan ditandai dengan perubahan posisi daerah terpisah karena
pengaruh gravitasi merupakan ciri khas yang dari ablasio retina eksudatif.
e. Pada tes transilluminasi, ablasio retina regmatogenosa nampak transparan
sedangkan ablasio retina eksudatif lebih opak.

Gambar 4. Ablasio retina eksudatif (Khurana AK, 2007).

B) ABLASIO RETINA TRAKSI

Pada ablasio ini lepasnya jaringan retina terjadi akibat tarikan jaringan
parut. Pada badan kaca terdapat jaringan fibrosis yang dapat disebabkan diabetes
mellitus proliferative, trauma, dan perdarahan badan kaca akibat bedah atau infeksi
(Hardy RA, Shetlar DJ, 2010).

Ablasio retina traksi dihubungkan dengan kondisi-kondisi seperti, retraksi


jaringan parut post trauma terutama akibat trauma penetrasi, retinopati diabetik
proliferatif, retinitis proliferans post hemoragik, retinopati prematuritas, retinopati
sel sabit (Khurana AK, 2007).

Tipe ini juga dapat terjadi sebagai komplikasi dari ablasio retina
regmatogensa. Ablasio retina tipe regmatogenosa yang berlangsung lama akan
membuat retina semakin halus dan tipis sehingga dapat menyebabkan terbentuknya
proliferatif vitreotinopathy (PVR). Pada PVR juga dapat terjadi kegagalan dalam
penatalaksanaan ablasio retina regmatogenosa. Pada PVR, epitel pigmen retina, sel
glia, dan sel lainya yang berada di dalam maupun di luar retina pada badan vitreus
akan membentuk membran. Kontraksi dari membran tersebut akan menyebabkan
retina tertarik ataupun menyusut, sehingga dapat mengakibatkan terdapatnya
robekan baru atau berkembang menjadi ablasio retina traksi (Khurana AK, 2007).
Gambar 5. Ablasio retina traksi (Khurana AK, 2007).

E. PATOFISIOLOGI
Longgarnya perlekatan antara epitel pigmen dan retina menyebabkan
keduanya bisa terlepas satu terhadap yang lain, sehingga cairan bisa terkumpul
diantaranya. Cairan tersebut biasanya berasal dari bagian badan kaca yang cair
yang dengan bebas melewati lubang di retina menuju kedalam rongga yang
terbentuk karena terlepasnya epitel pigmen dari retina tersebut (Daniel
Vaughan dan Taylor Asbury, 1995).

Penyebab ablasio retina pada orang muda yang matanya tampak sehat
dan refraksi lensanya normal adalah karena adanya kelemahan perlekatan bagi
retina untuk melekat dengan lapisan dibawahnya. Kelemahan yang biasanya
tidak terdiagnosis letaknya di pinggiran bawah retina. Kadang-kadang di
tempat yang sama terdapat kista retina kecil. Jika pinggiran retina terlepas dari
perlekatannya maka akan terbentuk suatu lubang seperti yang disebutkan diatas
(Robert Youngson, 1985 : 120).

Pada ablasio retina, bagian luar retina yang sebelumnya mendapat nutrisi
dari pembuluh darah koriokapiler tidak lagi mendapat nutrisi yang baik dari
koroid. Akibatnya akan terjadi degenerasi dan atropi sel reseptor retina. Pada
saat degenerasi retina terjadi kompensasi sel epitel pigmen yang melakukan
serbukan sel ke daerah degenerasi. Akibat reaksi kompensasi akan terlihat sel
epitel pigmen di depan retina. Selain itu juga akan terjadi penghancuran sel
kerucut dan sel batang retina. Bila degenerasi berlangsung lama, maka sel
pigmen akan bermigrasi ke dalam cairan sub retina dan ke dalam sel reseptor
kerucut dan batang.

Bila pada retina terdapat ruptur besar maka badan kaca akan masuk ke
dalam cairan sub retina. Apabila terjadi kontak langsung antara badan kaca dan
koroid maka akan terjadi degenerasi koroid. Apabila terjadi degenerasi sel
reseptor maka keadaan ini akan berlanjut ke dalam jaringan yang lebih dalam,
yang kemudian jaringan ini diganti dengan jaringan glia.

Apabila proses diatas belum terjadi dan ablasio retina ditemukan dini
dan kemudian kedudukan retina dikembalikan ke tempat asalnya, maka akan
terjadi pengembalian penglihatan yang sempurna (Sidarta Illyas, 2010).

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pada pemeriksaan Funduskopi terlihat retina yang terangkat berwarna


pucat dan adanya retina yang berwarna merah, sering ditemukan pada daerah
temporal superior. Bila bola mata bergerak terlihat robekan retina bergoyang,
terdapat defek aferen pupil tekanan bola mata rendah. Bila tekanan bila mata
meningkat maka terjadi glaukoma neomuskular pada Ablasi yang lama.
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada ablasio retina adalah pembedahan. Pada pembedahan
ablasio retina dapat dilakukan dengan cara :
 Scleral buckle
Metode ini paling banyak digunakan pada ablasio retina rematogenosa
terutama tanpa disertai komplikasi lainnya. Tujuan skleral buckling adalah
untuk melepaskan tarikan vitreous pada robekan retina, mengubah arus cairan
intraokuler, dan melekatkan kembali retina ke epitel pigmen retina. Prosedur
meliputi lokalisasi posisi robekan retina, menangani robekan dengan
cryoprobe, dan selanjutnya dengan skleral buckle (sabuk). Sabuk ini biasanya
terbuat dari spons silikon atau silikon padat. Ukuran dan bentuk sabuk yang
digunakan tergantung posisi lokasi dan jumlah robekan retina. Pertama – tama
dilakukan cryoprobe atau laser untuk memperkuat perlengketan antara retina
sekitar dan epitel pigmen retina. Sabuk dijahit mengelilingi sklera dengan
jahitan tipe matras pada sklera, sehingga terjadi tekanan pada robekan retina
sehingga terjadi penutupan pada robekan tersebut. Penutupan retina ini akan
menyebabkan cairan subretinal menghilang secara spontan dalam waktu 1-2
hari. Komplikasi dari skleral buckling meliputi myopia, iskemia okuler
anterior, diplopia, ptosis, ulitis sel orbital, perdarahan subretina, inkarserasi
retina (Khurana AK, 2007).
 Retinopeksi pneumatik
Retinopati pneumatik merupakan metode yang sering digunakan pada ablasio
retina regmatogenosa terutama jika terdapat robekan tunggal pada bagian
superior retina.Tujuan dari retinopeksi pneumatik adalah untuk menutup
kerusakan pada retina dengan gelembung gas intraokular dalam jangka waktu
yang cukup lama hingga cairan subretina direabsorbsi. Teknik pelaksanaan
prosedur ini adalah dengan menyuntikkan gelembung gas (SF6 atau C3F8) ke
dalam rongga vitreus. Gelembung gas ini akan menutupi robekan retina dan
mencegah pasase cairan lebih lanjut melalui robekan. Jika robekan dapat
ditutupi oleh gelembung gas, cairan subretinal biasanya akan hilang dalam 1-
2 hari. Robekan retina dapat juga dilekatkan dengan kriopeksi atau laser
sebelum gelembung disuntikkan. Parasentesis ruang anterior bisanya
dibutuhkan untuk menurunkan tekanan intraokuler yang dihasilkan oleh
injeksi gas. Pasien harus mempertahankan posisi kepala tertentu selama
beberapa hari untuk meyakinkan gelembung terus menutupi robekan retina.
Untuk pasien ablasio retina dengan durasi < 14 hari yang melibatkan makula,
prosedur retinopeksi traumatic lebih baik daripada skleral buckling.
Komplikasi dari prosedur ini meliputi migrasi gas ke subretina, migrasi gas
ke ruang anterior, endoftalmitis, katarak, dan ablasio retina rekurens dengan
terbentuknya kerusakan retina yang baru (American Academy of
Ophthalmology, 2011).

Gambar 6. Retinopeksi traumatik (American Academy of Ophthalmology,


2011).
 Vitrektomi
Merupakan cara yang paling banyak digunakan pada ablasio akibat diabetes,
dan juga pada ablasio regmatogenosa yang disertai traksi vitreus atau
perdarahan vitreus. Cara pelaksanaannya yaitu dengan membuat insisi kecil
pada dinding bola mata kemudian memasukkan instrumen pada ruang
vitreous melalui pars plana. Setelah itu dilakukan vitrektomi dengan vitreus
cutre untuk menghilangkan berkas badan kaca (vitreuos stands), membran,
dan perlengketan – perlengketan. Teknik dan instrumen yang digunakan
tergantung tipe dan penyebab ablasio. Lebih dari 90% lepasnya retina dapat
direkatkan kembali dengan teknik-teknik bedah mata modern, meskipun
kadang- kadang diperlukan lebih dari satu kali operasi (Cassidy L, Olver, J,
2005)
H. PROGNOSIS
Penatalaksanaan bedah berhasil pada 80% pasien ablasio retina. Hasil akhir
perbaikan pada penglihatan tergantung dari beberapa factor, misalnya keterlibatan
macula. Dalam keadaan di mana ablasio telah melibatkan makula, ketajaman
penglihatan jarang kembali normal. Lubang, robekan, atau tarikan baru mungkin
terjadi dan menyebabkan ablasio retina yang baru. Suatu penelitian telah
melaporkan bahkan setelah pemberian terapi preventif pada robekan retina, 5% -
9% pasien dapat mengalami robekan baru pada retina.
I. Asuhan Keperawatan
Suatu sistem dalam merencanakan pelayanan asuhan keperawatan yang
mempunyai empat tahapan yang terdiri dari pengkajian, perencanaan,
implementasi, dan evaluasi (Lismidar,1990).

1 Pengkajian
Merupakan tahap awal dari landasan proses keperawatan. Tahap
pengkajian terdiri dari tiga kegiatan yaitu, pengumpulan data, pengelompokan
data, dan perumusan diagnosis keperawatan (Lismidar, 1990).

a. Pengumpulan data
1) Identitas pasien
Meliputi nama, umur untuk mengetahui angka kejadian pada usia
keberapa, jenis kelamin untuk membandingkan angka kejadian antara laki-
laki dan perempuan, pekerjaan untuk mengetahui apakah penderita sering
menggunakan tenaga secara berlebihan atau tidak.

2) Riwayat penyakit sekarang


Pada pengkajian ini yang perlu dikaji adanya keluhan pada
penglihatan seperti penglihatan kabur, melihat kilatan–kilatan kecil,
adanya tirai hitam yang menutupi area penglihatan, adanya penurunan
tajam penglihatan.

3) Riwayat penyakit dahulu


Adakah riwayat penyakit dahulu yang diderita pasien yang
berhubungan dengan timbulnya ablasio retina yaitu adanya miopi tinggi,
retinopati, trauma pada mata.

4) Riwayat penyakit keluarga


Adakah anggota keluarga lain yang mengalami penyakit seperti
yang dialami pasien dan miopi tinggi.
5) Riwayat psikososial dan spiritual
Bagaimana hubungan pasien dengan anggota keluarga yang lain
dan lingkungan sekitar sebelum maupun sesudah sakit. Apakah pasien
mengalami kecemasan, rasa takut, kegelisahan karena penyakit yang
dideritanya dan bagaimana pasien menggunakan koping mekanisme untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapinya.

6) Pola-pola fungsi kesehatan


Masalah yang sering muncul pada pasien dengan post
ablasio retina apabila tidak terdapat komplikasi, adalah sebagai
berikut :

(a) Pola persepsi dan tata laksana hidup


Bagaimana persepsi pasien tentang hidup sehat, dan apakah
dalam melaksanakan talaksana hidup sehat penderita membutuhkan
bantuan orang lain atau tidak.

(b) Pola tidur dan istirahat


Dikaji berapa lama tidur, kebiasaan disaat tidur dan gangguan
selama tidur sebelum pelaksanaan operasi dan setelah palaksanaan
operasi. Juga dikaji bagaimana pola tidur dan istirahat selama masuk
rumah sakit.

(c) Pola aktifitas dan latihan


Apa saja kegiatan sehari-hari pasien sebelum masuk rumah
sakit. Juga ditanyakan aktifitas pasien selama di rumah sakit, sebelum
dan setelah pelaksanaan operasi.

(d) Pola hubungan dan peran


Bagaimana hubungan pasien dengan lingkungan sekitarnya.
Apakah peranan pasien dalam keluarga dan masyarakat. Juga
ditanyakan bagaimana hubungan pasien dengan pasien lain dirumah
sakit,sebelum dan setelah pelaksanaan operasi.

(e) Pola persepsi dan konsep diri


Bagaimana body image, harga diri, ideal diri, dan identitas diri
pasien. Apakah ada perasaan negatif terhadap dirinya. Juga
bagaimana pasien menyikapi kondisinya setelah palaksanaan operasi.

(f) Pola sensori dan kognitif


Bagaimana daya penginderaan pasien. Bagaimana cara
berpikir dan jalan pikiran pasien.
(g) Pola penanggulangan stress
Bagaimana pasien memecahkan masalah yang dihadapi dan
stressor yang paling sering muncul pada pasien.

7) Pemeriksaan
a) Status kesehatan umum
Bagaimana keadaan penyakit dan tanda-tanda vitalnya.

b) Pemeriksaan mata
Pemeriksaan pada mata dibagi berdasarkan segmen-segmen, yaitu :

Pemeriksaan segmen anterior :

(2) Adanya pembengkakan pada palpebrae atau tidak, biasanya pada


klien post operasi ablasio retina, palpebraenya akan bengkak.
(3) Keadaan lensa, bila tidak ada konplikasi lain, maka keadaan lensanya
adalah jernih.
(4) Bagaimana keadaan pupilnya, pupil pada klien ablasio retina yang
telah masuk rumah sakit akan melebar sebagai akibat dari pemberian
atropin.
(5) Kamera Okuli Anteriornya biasanya dalam.
(6) Bagaimana keadaan konjungtivanya, biasanya pasien post operasi
akan mengalami hiperemi pada konjungtivanya.
Pemeriksaan segmen posterior

(1) Corpus vitreum ada kelainan atau tidak.


(2) Ada atau tidak pupil syaraf optiknya.
Pemeriksaan diagnostik

(1) Visus, untuk mengetahui tajam penglihatan, adakah penurunan atau


tidak dan untuk mengetahui sisa penglihatan yang masih ada.
Pengujian ini dengan menggunakan kartu snelen yang dibuat
sedemikian rupa sehingga huruf tertentu yang dibaca dengan pusat
optik mata membentuk sudut 500 untuk jarak tertentu. Pada ablasio
retina didapatkan penurunan tajam penglihatan.
(2) Fundus kopi, untuk mengetahui bola mata seperti warna retina,
keadaan retina, reflek dan gambaran koroid.
b. Analisis data
Setelah pengumpulan data dilakukan, kemudian data tersebut
dikelompokkan dan dianalisis. Data tersebut dikelompokkan menjadi dua jenis.
Yang pertama adalah data subyektif, yaitu data yang diungkapkan oleh pasien
dan data obyektif, yaitu data yang didasarkan pada pengamatan penulis. Data
tersebut dikelompokkan berdasarkan peranannya dalam menunjang suatu
masalah, dimana masalah tersebut berfokus kepada pasien dan respon yang
tampak pada pasien.

c. Diagnosis keperawatan
Dari hasil analisis data diatas, dapat dirumuskan menjadi diagnosis
keperawatan sebagai berikut :

1) Gangguan rasa nyaman (nyeri) sehubungan dengan luka post operasi


ablasio retina.
2) Potensial terjadi infeksi sehubungan adanya luka operasi ablasio retina.
3) Gangguan aktifitas pemenuhan kebutuhan diri sehubungan dengan bed
rest total.
4) Adanya kecemasan sehubungan dengan ancaman kehilangan penglihatan.
5) Gangguan konsep diri (harga diri rendah) sehubungan dengan kerusakan
penglihatan.
6) Potensial terjadi kecelakaan sehubungan dengan penurunan tajam
penglihatan.

Diagnosis Keperawatan Pertama


Gangguan rasa nyaman (nyeri) sehubungan dengan luka post operasi ablasio
retina.
Tujuan
Rasa nyeri pasien hilang atau berkurang sehingga dapat meningkatkan
rasa kenyamanan pasien.
Kriteria Hasil
(1) Secara verbal pasien mengatakan rasa nyaman terpenuhi.
(2) Secara verbal pasien mengatakan rasa nyeri hilang atau berkurang.
Rencana Tindakan
(1) Kolaborasi dengan individu untuk menjelaskan metode apa yang
digunakan untuk menurunkan intensitas nyeri (relaksasi,distraksi)
(2) Kolaborasi dengan tim dokter untuk memberikan analgesik pada
penurunan rasa nyeri yang optimal.
(3) Pantau tekanan darah setiap 4 jam.
Rasional
(1) Untuk mengetahui keinginan pasien akan jenis tehnik penurun nyeri yang
diinginkan pasien.
(2) Tim dokter dapat menentukan menentukan jenis analgesik yang
diperlukan pasien.
(3) Rasa nyeri dapat menaikkan tekanan darah pasien.

Diagnosis Keperawatan Kedua


Potensial terjadi infeksi sehubungan dengan adanya luka operasi
Tujuan
Tidak terjadi infeksi pada luka post operasi ablasio retina.
Kriteria Hasil
(1) Pasien mampu melaporkan adanya tanda-tanda infeksi, seperti rasa nyeri,
bengkak, panas.
(2) Tidak didapatkan adanya tanda-tanda infeksi.
Rencana Tindakan
(1) Pantau adanya tanda-tanda infeksi seperti, kemerahan, bengkak, nyeri,
panas.
(2) Kaji status nutrisi pasien.
(3) Instruksikan pada pasien pada pasien dan keluarga pasien untuk
melakukan tindakan aseptik yang sesuai.
(4) Gunakan tehnik aseptik selama mengganti balutan.
(5) Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian antibiotik.
(6) Rawat luka setiap hari.
(7) Kaji lingkungan pasien yang dapat menimbulkan infeksi.
Rasional
(1) Infeksi yang lebih dini diketahui akan lebih mudah penanganannya.
(2) Pemberian asupan kalori dan protein yang sesuai dengan kebutuhan dapat
menunjang proses penyembuhan pasien .
(3) Untuk mencegah kontaminasi.
(4) Tehnik aseptik dapat mencegah terjadinya infeksi nosokomial.
(5) Tim dokter dapat menentukan jenis antibiotik yang sesuai dengan kondisi
pasien.
(6) Rawat luka setiap hari dapat mencegah masuknya kuman.
(7) Kondisi lingkungan pasien yang jelek dapat menimbulkan infeksi
nosokomial.

Diagnosis Keperawatan Ketiga


Gangguan aktifitas pemenuhan kebutuhan diri sehubungan dengan bed rest
total.
Tujuan
Pasien dapat memenuhi kebutuhan dirinya sesuai dengan kondisinya.
Kriteria Hasil
Secara verbal, pasien mengatakan dapat memenuhi kebutuhan diri yang
sesuai dengan kondisinya.
Rencana Tindakan
(1) Latih pasien untuk dapat melakukan latihan yang sesuai dengan
kondisinya.
(2) Orientasikan lingkungan sekitar kepada pasien.
Rasional
(1) Dengan latihan yang baik, pasien akan mampu memaksimalkan
kemampuannya untuk memenuhi kebutuhannya yang sesuai dengan
kondisinya.
(2) Pengenalan pada lingkungan akan membantu pasien dalam memenuhi
kebutuhan dirinya.

Diagnosis Keperawatan Keempat


Adanya kecemasan sehubungan dengan ancaman kehilangan penglihatan.
Tujuan
Cemas berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil
(1) Pasien mampu menggunakan koping yang efektif.
(2) Pasien tidak tampak murung.
(3) Pasien dapat tidur dengan tenang.
Rencana Tindakan
(1) Monitor tingkat kecemasan pasien melalui observasi respon fisiologis.
(2) Beri informasi yang jelas sesuai dengan tingkat pengetahuan pasien
tentang penyakit yang dideritanya.
Rasional
(1) Dengan monitor tingkat kecemasan dapat diketahui berapa besar stressor
yang dihadapi pasien.
(2) Pemberian informasi dapat mengurangi kecemasan pasien.

Diagnosis Keperawatan Kelima


Gangguan citra diri sehubungan dengan kerusakan penglihatan.
Tujuan
Pasien dapat mencapai kembali citra diri yang optimal.
Kriteria Hasil
(1) Pasien mampu mengekspresikan tentang perubahan dan perkembangan
kearah penerimaan.
(2) Pasien mampu menunjukkan rerspon yang adaptif terhadap perubahan
citra diri.
Rencana Tindakan
(1) Sediakan waktu bagi pasien untuk mengungkapkan perasaannya.
(2) Tingkatkan hubungan dan dorongan dari orang terdekat.
(3) Bantu pasien dalam diskusi dan penerimaan perubahan ketajaman
penglihatan.
(4) Dorong kemandirian yang ditoleransi.
Rasional
2) Hal ini dapat menumbuhkan perasaan pada pasien bahwa masih ada orang
yang menaruh perhatian pada pasien.
3) Orang terdekat mampu mengangkat kepercaayaan diri pasien.
4) Dari diskusi yang dilakukan diharapkan pasien dapat mengungkapkan
perasaannya dan dapat mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi.
5) Untuk menumbuhkan kepercayaan diri pasien.

Diagnosis Keperawatan Keenam


Potensial terjadi kecelakaan sehubungan dengan penurunan tajam penglihatan.
Tujuan
Tidak terjadi kecelakaan atau cedera pada pasien.
Kriteria Hasil
(1) Tidak terjadi perlukaan pada pasien.
(2) Pasien dapat mengetahui faktor yang dapat menyebabkan perlukaan.

Rencana Tindakan
(1) Periksa adanya perlukaan.
(2) Orientasikan pada pasien lingkungan sekitarnya.
(3) Hindari ketegangan pada pasien.
Rasional
(1) Dengan mengkaji perlukaan dapat mencegah terjadinya perlukaan yang
lebih parah.
(2) Diharapakan pasien dapat dapat mengenal lingkungannya sehingga akan
mengurangi resiko terjadinya kecelakaan.
(3) Ketegangan dapat menyebabkan kecelakaan.

2 Pelaksanaan
Tahap perencaan ini merupakan tindakan keperawatan yang nyata
kepada pasien yang merupakan perwujudan dari segala tindakan yang telah
direncanakan pada tahap perencanaan.

3 Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari suatu proses keperawatan yang
merupakan tindakan yang kontinu dan melibatkan seluruh tenaga kesehatan
yang terlibat dalam penanganan pasien, termasuk pasien itu sendiri. Pada tahap
ini akan kita ketahui sejauh mana keberhasilan asuhan keperawatan yang kita
laksanakan.
Sedangkan hasil yang kita harapkan adalah :
a. Rasa nyeri pasien berkurang atau hilang sehingga meningkatkan rasa
nyaman.
b. Tidak terjadi infeksi.
c. Pasien dapat memenuhi kebutuhan dirinya sesuai dengan kondisinya.
d. Rasa cemas pasien hilang atau berkurang.
e. Pasien dapat mencapai harga diri yang optimal.
f. Tidak terjadi pencederaan diri.
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Ablasio retina (retinal detachment) adalah suatu keadaan terpisahnya
sel kerucut dan sel batang retina dengan dari sel epitel pigmen retina. Pada
keadaan ini sel epitel pigmen masih melekat erat dengan membran Bruch.
Sesungguhnya antara sel kerucut dan sel batang retina tidak terdapat suatu
perlekatan struktural dengan koroid atau pigmen epitel, sehingga
merupakan titik lemah yang potensial untuk lepas secara embriologis.

4.2 Saran

1. Mahasiswa
Mahasiswa dapat mengerti tentang asuhan keperawatan Ablasio Retina
2. Keluarga pasien
Keluarga dapat memberikan dukungan kepada pasien terkait dengan
penyakit yang diderita seperti Ablasio Retina sehingga pasien lebih
cepat dalam proses penyembuhan.
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Ophthalmology. Retina and Vitreous: Section 12 2011-


2012. Singapore: LEO. 2011. p. 360-4
Carneiro J, Junqueira LC. Histologi Dasar Teks & Atlas. Edisi 10. Jakarta: EGC.
2007. Hal. 470-475
Cassidy L, Olver, J. Ophthalmology at a Glance. 2005. Blackwell Science: USA.
2005. p. 84-6.
C. Smeltzer, Suzanne (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (Brunner &
Suddart) . Edisi 8. Volume 3. EGC. jakarta
Hardy RA, Shetlar DJ. Retina. In: Riordan P, Whitcher JP. editors. Vaughan and
Asbury’s General Ophthalmology. 16th ed. New York: McGraw-Hill.2004.
p. 190, 200-201
Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Masa edisi ketiga. 2010. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta. p.1-10, 183-6
James, Bruce, dkk. Oftalmologi Lecture Notes. 2003. Erlangga: Jakarta. p. 117-22
Khurana AK. Diseases of The Retina. In: Comprehensive Ophthalmology. 4th
edition. New Age International Limited Publisher: India. 2007. p. 250-2,
275-9.
Lang, GK. Ophtalmology, A Pocket Textbook Atlas. 2nd Edition. 2006.Stuttgart:
Thieme. 2007. p. 305-322, 339- 344.
Larkin, L. Gregory. Retinal Detachment. 2010. [cited 21th Mei 2012]. Available
from : http//emedicine.medscape.com/article/1226426
Lismidar, H., dkk. ( 1990). Proses keperawatan. Jakarta: Penerbit UI.

Vaughan, Daniel Taylor Asbury. Oftalmologi Umum. Jilid II. Alih Bahasa Waliba
dan Bondan Hariono. Widya Medika, Jakarta.1995

Youngson, Robert. 1995. Penyakit Mata Terjemahan Illias E. Jakarta: Arcan.

Anda mungkin juga menyukai