Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

ULKUS KORNEA

Dokter Pembimbing:

dr. R Sophia Marviani, Sp.M

Disusun Oleh:

Silvia Emy Raras Sakti

2017730112

KEPANITERAAN KLINIK STASE MATA

RSUD R. SYAMSUDIN, SH SUKABUMI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA


2021

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan tugas referat yang berjudul “Ulkus Kornea”.
Terima kasih kepada dr. Raden Sophia Marviana, Sp.M yang telah membimbing
penulis dalam pembuatan referat ini sehingga referat ini dapat terselesaikan
dengan baik.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam pembuatan referat ini masih


jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari semua pihak yang membaca referat ini, agar penulis
dapat mengkoreksi diri dan dapat membuat referat yang lebih baik di lain
kesempatan.

Demikianlah referat ini dibuat sebagai pemenuhan tugas dari kegiatan klinis
Stase Mata di RSUD R. SYAMSUDIN, SH Sukabumi, serta untuk menambah
pengetahuan bagi penulis dan khususnya bagi pembaca pada umumnya.

Sukabumi, Januari 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................2

BAB 1............................................................................................................................4

PENDAHULUAN.........................................................................................................4

1.1 Latar belakang.........................................................................................................4

BAB II...........................................................................................................................6

TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................6

2.1 Anatomi dan Fisiologi.............................................................................................6

2.2 Definisi dan Etiologi................................................................................................9

2.3 Patogenesis Ulkus Kornea...............................................................................12

2.4 Patofisiologi Ulkus Kornea...................................................................................15

2.5 Klasifikasi Ulkus Kornea................................................................................16

2.6 Manifestasi Klinis............................................................................................26

2.7 Diagnosis.........................................................................................................27

2.8 Tatalaksana Ulkus Kornea...............................................................................28


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kornea merupakan jaringan transparan pada mata yang berfungsi sebagai


membran pelindung dan “jendela” yang dilalui oleh berkas cahaya saat menuju
retina. Sifat transparan atau tembus cahaya dari kornea disebabkan oleh
strukturnya yang uniform, avaskular, dan sifat deturgesensi yaitu keadaan
dehidrasi relatif jaringan kornea untuk memelihara kejernihannya. Cahaya yang
masuk ke mata akan diterima pertama kali oleh kornea. Untuk terjadinya
pembentukan bayangan di retina, maka kornea harus dalam keadaan transparan
sehingga cahaya yang masuk dapat lewat dengan pembiasan yang sesuai.

Berbagai keluhan dapat terjadi pada kornea termasuk terbentuknya


ulkus/tukak kornea. Ulkus kornea tersebut bisa terdapat pada sentral dan
marginal atau perifer serta berpengaruh pada visus. Terbentuknya ulkus kornea
diakibatkan oleh adanya kolagenase yang dibentuk oleh sel epitel baru dan sel
radang. Ulkus kornea dapat terjadi dari berbagai kondisi seperti akibat terkena
benda asing seperti sepotong rumput, pasir, atau lumpur yang masuk ke dalam
mata, kekurangan produksi air mata dan kegagalan palpebra menutup sempurna
pada saat tidur. Selain itu, juga bisa disebabkan dari kondisi seperti infeksi,
alergi, autoimun dan reaksi toksik. Ulkus kornea dapat memberikan gejala mata
merah ringan hingga berat, fotofobia, penglihatan menurun, maupun disertai
sekret. Beratnya penyakit ditentukan oleh keadaan fisik pasien, besar dan
virulensi inokulum. Pada beberapa kasus ulkus kornea dapat menimbulkan gejala
sisa, misalnya terbentuknya jaringan parut yang mengganggu fungsi penglihatan.

Komplikasi yang ditimbulkan ulkus kornea seperti terbentuknya jaringan


parut menyebabkan penyakit ini perlu mendapatkan penanganan khusus dan
secepat mungkin. Semakin dalam ulkus yang terbentuk, maka gejala dan
komplikasinya semakin berat. Pengobatan yang diberikan disesuaikan dengan
penyebab terjadinya ulkus. Penyulit yang mungkin timbul antara lain infeksi di
bagian kornea yang lebih dalam, perforasi kornea (pembentukan lubang),
kelainan letak iris dan kerusakan mata. Diharapkan tinjauan pustaka ini dapat
menjadi bahan pertimbangan para klinisi untuk menetapkan langkah yang tepat
dalam menangani kasus ulkus kornea.

1.2 Epidemiologi

Ulkus kornea menjadi salah satu penyebab gangguan penglihatan tertinggi di


dunia dan menjadi perhtian khusus sebagai penyebab kebutaan di beberapa
negara berkembang. World Helath Organization (WHO) tahun 2019,
menyatakan bahwa kekeruhan kornea termasuk ulkus kornea berada di posisi
keempat sebai penyebab gangguan penglihatan dan kebutaan dengan total 4,2
juta kasus. Di beberapa negara berkembang, ulkus kornea merupakan penyebab
kedua kebutaan setelah katarak [ CITATION Hon16 \l 1033 ].

Insiden ulkus kornea sekitar 25.000 orang per tahun yang pada umumnya
diawali dengan keratitis. Angka kejadian ulkus kornea pada penderita yang
menggunakan lensa kontak sekitar 4 kejadian per 10.000 pengguna lensa kontak.
Ulkus kornea antara lain terjadi karena trauma, pemakaian lensa kontak, infeksi
dan kadang-kadang tidak diketahui penyebabnya. Berbagai mikroorganisme
dapat menimbulkan penyakit ini, diantaranya adalah bakteri, jamur, virus.
Penelitian di United Kingdom melaporkan beberapa faktor yang berkaitan
dengan meningkatnya resiko terjadinya invasi pada kornea, penggunaan lensa
kontak yang lama, laki-laki, merokok dan akhir musim sejuk (Maret-Juli).
Insiden terjadinya ulkus kornea meningkat sampai delapan kali lipat pada mereka
yang tidur sambil memakai lensa kontak dibanding dengan mereka yang
memakai lensa kontak hanya ketika waktu bekerja. Ulkus kornea dapat mengenai
semua umur. Kelompok pertama yang berusia di bawah 30 tahun adalah mereka
yang memakai lensa kontak dan atau dengan trauma okuler, dan kelompok kedua
yang berusia di atas 50 tahun adalah mereka yang mungkin menjalani
operasi[ CITATION Hon16 \l 1033 ].
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi

Kornea merupakan jaringan avaskular yang bening dan menutup bola


mata di sebelah depan. Pada anterior kornea berbatasan dengan lapisan film air
mata prekornea, sedangkan di posterior berbatasan dengan chamber of anterior.
Kornea memiliki ukuran diameter horizontal sebesar 11 – 12 mm dan ukuran
diameter vertikal 10 – 11 mm. Indeks bias dari kornea adalah 1,376 walaupun
indeks bias 1,3775 yang digunakan pada kalibrasi keratometer yang berfungsi
untuk menghitung kekuatan optik dari kurvatura anterior dan posterior dari
kornea. Kornea menyumbangkan 74% atau 43,25 D dari total 58,6 D kekuatan
yang dimiliki oleh mata normal. Kornea juga merupakan sumber astigmatisme
pada sistem optik. Sumber nutrisi kornea adalah pembuluh-pembuluh darah
konjungtiva, episklera, sklera di limbus, lapisan air mata dan humor akuos.
Lapisan air mata hanya mengandung sedikit glukosa dan tidak dapat memenuhi
kebutuhan epitel namun dapat memberikan oksigen yang berdifusi melalui air
mata tersebut. Pembuluh-pembuluh darah di limbus memenuhi sekitar 20% dari
kebutuhan nutrisi kornea. Humor akuos merupakan sumber utama bagi kornea
karena dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bagi seluruh lapisan kornea. Pada
epitel kornea terdapat glikogen sebagai cadangan energi terutama digunakan
setelah terjadi trauma.
Gambar 1 Anatomi Kornea

Komponen terdiri dari 5 lapisan dari luar ke dalam :

1. Epitel
Epitel memiliki ketebalan 50 µm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak
bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, 2-3 lapis sel
poligonal atau sel sayap dan 2 lapis sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat
mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan
semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan
sel poligonal didepannya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini
menghambat aliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier bagi
retina. Waktu yang diperlukan pada proses sel basal hingga menjadi sel
gepeng adalah 7 hari. Pada lapisan sel basal ditemukan sel melanoblast
inaktif, makrofag dan limfosit. Jika terjadi gangguan pada membran basal
dapat menyebabkan erosi rekuren dan kerusakan epitel. Selain itu, permukaan
anterior lapisan sel epitel banyak dijumpai mikrovili dan mikroplika yang
permukaannya dilapisi oleh musin dan bergua untuk menstabilkan lapisan air
mata.
2. Membran Bowman
Membran bowman terletak dibawah membran basal epitel kornea dan
merupakan jaringan aseluler dengan tebal 8-14 µm. Lapisan ini terdiri dari
serabut-serabut kolagen yang tersusun tidak teratur dan berasal dari bagian
depan stroma. Lapisan Bowman relatif resisten terhadap infeksi, namun
lapisan ini tidak bisa pulih kembali setelah trauma, melainkan akan digantikan
oleh jaringan parut.

3. Stroma
Stroma memiliki ketebalan 0,50 mm yang menyusun 90% dari ketebalan
kornea. Stroma kornea terutama tersusun atas jalinan lamella serat-serat
kolagen. Lamella berjalan sejajar dengan permukaan kornea, dan karena
ukuran dan kerapatannya membuat kornea menjadi lapisan jernih dan dapat
dilalui cahaya. Komponen penyusun stroma lainnya adalah keratosit,
proteoglikan, garam, dan glikoprotein. Air, kolagen, proteoglikan, dan
keratosit bekerja sama untuk mempertahankan transparansi kornea, sekaligus
mempertahankan integritas struktur kornea. Pembentukan kembali kolagen
memakan waktu 12 bulan atau lebih. Keratosit merupakan sel fibroblast dan
terletak di antara serabut-serabut kolagen. Selama fase embriogenesis dan
pasca-trauma keratosit diduga sebagai pembentuk bahan dasar serabut
kolagen.

4. Membran Descemet
Membran Descemet merupakan suatu membran aseluler yang menutupi
permukaan posterior stroma dan mempunyai ketebalan 10-12 µm. Membran
ini dihasilkan oleh sel endotel yang bersifat sangat elastis. Membran
Descemet sangat resisten terhadap trauma dan enzim proteolitik, serta dapat
beregenerasi. Tebal membran Descemet saat lahir sekitar 3 µm, diproduksi
terus menerus dan menebal selama hidup hingga mencapai ketebalan 10-12
µm.
5. Endotel
Endotel terdiri dari satu lapis sel tetapi jumlah selnya mencapai hampir
500.000, selnya berbentuk heksagonal yang mengandung organel-organel
yang berperan dalan transpor aktif (pompa aktif) untuk menjaga hidrasi
kornea. Pada orang dewasa kemampuan mitosis sel ini sangat terbatas pada
orang dewasa sehingga jumlahnya semakin berkurang seiring bertambahnya
usia. Lapisan endotel tidak memiliki daya regenerasi. Jika ada sel yang mati,
maka lesi yang ditinggalkannya akan diisi oleh sel yang berdekatan dengan
cara memperbesar ukurannya. Keadaan ini disebut polimegetisme.

Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf
siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid,
masuk ke stroma kornea, menembus membran Bowman melepaskan selubung
Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan
tanpa ada akhir saraf. Untuk terjadinya pembentukan bayangan di retina, kornea
harus dalam keadaaan transparan. Kondisi transparan pada kornea disebabkan
oleh struktur epitel, stroma, dan endotel yang tersusun teratur, avaskularitas dan
deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif dari jaringan kornea
yang di lakukan oleh pompa bikarbonat aktif endotel dan integritas anatomis
endotel dan epitel. Dalam mekanisme dehidrasi ini kerusakan endotel memiliki
dampak yang lebih buruk daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel
endotel dapat mengakibatkan pembengkakan kornea yang terlihat jelas dan
keadaan kornea tidak lagi transparan. Sebaliknya kerusakan epitel hanya
menimbulkan pembengkakan stroma setempat yang ringan dan akan kembali
transparan jika sel-sel epitel mengalami regenerasi.
2.2 Definisi dan Etiologi
Ulkus kornea merupakan suatu kondisi patologis berupa lesi yang
disebabkan oleh hilangnya diskontinuitas jaringan disertai adanya infiltrat, yang
dapat terjadi pada kornea mata, mulai dari epitel hingga stroma. Terbentuknya
ulkus pada kornea mungkin banyak ditemukan oleh adanya kolagenase yang
dibentuk oleh sel epitel baru dan sel radang. Dikenal 2 bentuk ulkus pada kornea
yaitu sentral dan marginal atau perifer. Ulkus kornea perifer dapat disebabkan
oleh reaksi toksik, alergi, autoimun dan infeksi. Infeksi pada kornea perifer
biasanya oleh kuman stafilokokus aureus, H.influenza dan M.lacunata. Beratnya
penyakit juga ditentukan oleh keadaan fisik pasien, besar dan virulensi inoculum.
Selain radang dan infeksi, penyebab ulkus kornea ialah defisiensi vitamin A,
lagoftalmus akibat parese saraf ke VIII, lesi saraf ke III atau neurotropik dan
ulkus Mooren[ CITATION Sid \l 1033 ].

Ulkus kornea dapat dibedakan menjadi lesi infeksius dan lesi non infeksius.
Ulkus kornea terbentuk oleh karena adanya infiltrat yaitu proses respon imun
yang menyebabkan akumulasi sel-sel atau cairan di bagian kornea. Faktor yang
dapat menyebabkan ulkus kornea secara umum antara lain :

a. Infeksi berdasarkan etiologi nya : (bakteri, virus, jamur dan parasit)


 Infeksi Bakteri
Bakteri yang sering mengakibatkan ulkus kornea adalah
Streptokokus alfa hemolitik, Stafilokokus aureus, Moraxella likuefasiens,
Pseudomonas aeruginosa, Nocardia asteroids, Alcaligenes sp.,
Streptokokus anerobik, Streptokokus betahemolitik, Enterobakter hafniae,
Proteus sp, Stafilokokus epidermidis, Infeksi campuran aerogenes dan
Moraxella sp.
P. aeruginosa, Streptococcus pneumonia dan spesies Moraxella
merupakan penyebab paling sering. Hampir semua ulkus berbentuk
sentral. Gejala klinis yang khas tidak dijumpai, hanya sekret yang keluar
bersifat mukopurulen yang bersifat khas menunjukkan infeksi P
aeruginosa.
 Virus
Ulkus kornea oleh virus herpes Zooster dan Herpes simplex cukup
sering dijumpai. Bentuk khas dendrit dapat diikuti oleh vesikel-vesikel
kecil dilapisan epitel yang bila pecah akan menimbulkan ulkus. Ulkus
dapat juga terjadi pada bentuk disiform bila mengalami nekrosis di bagian
sentral. Infeksi virus lainnya varicella-zoster, variola, vacinia (jarang)
 Jamur : disebabkan oleh Candida albican, Fusarium solani,
Aspergillus, Cephalosporium, dan spesies mikosis fungoides.
 Parasit
Acanthamoeba adalah protozoa hidup bebas yang terdapat
didalam air yang tercemar yang mengandung bakteri dan materi organik.
Infeksi kornea oleh acanthamoeba adalah komplikasi yang semakin
dikenal pada pengguna lensa kontak lunak, khususnya bila memakai
larutan garam buatan sendiri. Infeksi juga biasanya ditemukan pada bukan
pemakai lensa kontak yang terpapar air atau tanah yang tercemar.

b. Non-Infeksi
 Faktor eksternal
Luka pada kornea (erosio kornea), karena trauma, penggunaan lensa
kontak, luka bakar pada daerah wajah, bahan kimia bersifat asam atau basa
tergantung pH. Bahan asam yang dapat merusak mata terutama bahan
anorganik, organik dan organik anhidrat. Bila bahan asam mengenai mata
maka akan terjadi pengendapan protein permukaan sehingga bila
konsentrasinya tidak tinggi maka tidak bersifat destruktif. Biasanya
kerusakan hanya bersifat superfisial saja. Pada bahan alkali antara lain
amonia, cairan pembersih yang mengandung kalium/natrium hidroksida
dan kalium karbonat akan terjadi penghancuran kolagen kornea.
 Kelainan sistemik, Sindrom Sjorgen dan autoimun.
Pada sindrom Sjorgen salah satunya ditandai keratokonjungtivitis
sicca yang merupakan suatu keadan mata kering yang dapat disebabkan
defisiensi unsur film air mata (aquos, musin atau lipid), kelainan permukan
palpebra atau kelainan epitel yang menyebabkan timbulnya bintik-bintik
kering pada kornea. Pada keadaan lebih lanjut dapat timbul ulkus pada
kornea dan defek pada epitel kornea terpulas dengan flurosein.

 Defisiensi vitamin A
Ulkus kornea akibat defisiensi vitamin A terjadi karena kekurangan
vitamin A dari makanan atau gangguan absorbsi di saluran cerna dan
gangguan pemanfaatan oleh tubuh
 Edema kornea kronik, exposure-keratitis (pada lagophtalmus, bius umum,
koma) dan keratitis akibat defisiensi vitamin A.
 Obat-obatan yang menurunkan mekaniseme imun seperti kortikosteroid,
IUD (Iodo 2 dioxyuridine), anesteti lokal dan golongan imunosupresif.
c. Sistem Imun (Reaksi Hipersensitivitas)
 Grnulomatosa wagener
 Rheumatoid arthritis

Pada ulkus kornea yang disebabkan jamur dan bakteri akan terdapat defek epitel
yang dikelilingi leukosit polimorfonuklear. Bila infeksi disebabkan virus, terlihat
reaksi hipersensitivitas disekitarnya. Bentuk ulkus marginal dapat fokal,
multifocal atau difus yang disertai dengan masuknya pembuluh darah
kedalamnya[ CITATION Sid \l 1033 ].

2.3 Patogenesis Ulkus Kornea


Perjalanan penyakit ulkus kornea dapat progresif, regresi atau membentuk
jaringan parut. Kondisi kornea yang telah mengalami kerusakan atau cedera pada
epithelium akibat dimasuki oleh agen-agen asing, akan terjadi sekuel perubahan
patologik yang muncul saat perkembangan ulkus kornea dan proses ini dapat
dideskripsikan dalam empat stadium, yaitu infiltrasi, ulkus aktif, regresi, dan
sikatrik [ CITATION Sid \l 1033 ].

A. Stadium infiltrasi progresif


Pada proses kornea yang progresif dapat terlihat infiltrasi sel leukosit dan
dan limfosit ke lapisan epitelium melalui sirkulasi perifer kornea yang
memakan bakteri atau jaringan nekrotik yang terbentuk. Pembentukan
jaringan parut terdapat epitel, jaringan kolagen baru dan fibroblas. Nekrosis
pada jaringan dapat terjadi, tergantung pada virulensi agen dan daya tahan
tubuh pasien.

Gambar 2 Ulkus Kornea Stadium Infiltrasi Progresif


B. Stadium ulkus aktif
Ulkus aktif adalah suatu hasil dari nekrosis dan pelepasan epithelium. Lesi
telah mencapai lapisan Bowman dan Stroma. Dinding dari ulkus aktif
membengkak pada lamella dengan menginhibisi cairan dan sel-sel leukosit
yang ada diantara lapisan bowman dan stroma. Zona infiltrasi memberikan
jarak antara jaringan sekitar dan tepi ulkus. Pada stadium ini, sisi dan dasar
ulkus tampak infiltrasi keabu-abuan dan pengelupasan.
Gambaran yang terjadi pada stadium ini yaitu:
 Hiperemia pada circumcorneal vessels atau pembuluh darah siliar dan
konjungtiva (mix injection) yang menimbulkan eksudat purulen pada
kornea.
 Timbulnya koongesti vaskular pada iris dan badan siliar dan terjadi
iritis yang disebabkan oleh absorbsi toksin dari ulkus. Eksudat masuk
ke dalam anterior chamber melalui pembuluh darah iris dan badan
siliar dan minumbulkan gambaran hipopion.
 Ulserasi dapat berkembang lebih lanjut yang mengakibatkan
superfisial difus atau berkembang dengan penetrasi infeksi yang lebih
dalam hingga terbentuk Descemetocele formation dan kemungkinan
terjadi perforasi kornea.

Gambar 3 Ulkus Kornea Stadium Ulkus Aktif

C. Stadium regresi
Suatu keadaan dimana ulkus mulai membaik dan epitel mulai tumbuh yang
dipengaruhi oleh produksi antibodi humoral dan pertahanan imun serta hasil
atau respon setelah diberikan tatalaksana pengobatan. Garis demarkasi
terbentuk disekeliling ulkus, yang terdiri dari leukosit yang menetralisir dan
phagosit yang menghambat organisme dan debris sel nekrotik. Proses ini
didukung oleh vaskularisasi superfisial yang meningkatkan respon imun
humoral dan seluler. Ulkus pada stadium ini mulai membaik dan epithelium
mulai tumbuh pada sekeliling ulkus.

Gambar 4 Ulkus Kornea Stadium Regresi


D. Stadium Sikatrisasi
Terjadinya proses epitelialisasi progresif dan penebalan stroma, bila ulkus
sangat superfisial dan hanya mengenai epitelium, maka tidak akan
meninggalkan sikatriks, dan bila mengenai membran bowman dan lamela
stroma maka akan meninggalkan sikatriks.

Gambar 5 Ulkus Kornea Stadium Sikatrisasi

Hasil akhir dari ulkus kornea tergantung pada virulensi agen infektif,
mekanisme daya tahan tubuh, dan terapi yang diberikan. Apabila bergantung
pada tiga faktor tersebut, maka kondisi ulkus kornea dapat terbagi dalam 3
gambaran yaitu, ulkus yang terlokalisir dan sembuh, penetrasi lebih dalam
sampai dapat terjadi perforasi, atau menyebar secara cepat pada seluruh kornea
dalam bentuk ulkus kornea.

2.4 Patofisiologi Ulkus Kornea

Kornea adalah jaringan yang avaskuler, hal ini menyebabkan pertahanan


pada waktu peradangan tak dapat segera datang seperti pada jaringan lain yang
mengandung banyak vaskularisasi. Dengan adanya defek atau trauma pada
kornea, maka badan kornea, wandering cells, dan sel-sel lain yang terdapat pada
stroma kornea segera bekerja sebagai makrofag, kemudian disusul dengan
dilatasi pembuluh darah yang terdapat di limbus dan tampak sebagai injeksi di
perikornea. Proses selanjutnya adalah terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuklear,
sel plasma, leukosit polimorfonuklear, yang mengakibatkan timbulnya infiltrat
yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas tak jelas dan
permukaan tidak licin. Kemudian dapat terjadi kerusakan epitel, infiltrasi,
peradangan dan terjadilah ulkus kornea.

Ulkus kornea dapat menyebar ke permukaan atau masuk ke dalam stroma.


Kalau terjadi peradangan yang hebat, tetapi belum ada perforasi ulkus, maka
toksin dari peradangan kornea dapat sampai ke iris dan badan siliar dengan
melalui membrana Descemet, endotel kornea dan akhirnya ke camera oculi
anterior (COA). Dengan demikian iris dan badan siliar meradang dan timbullah
kekeruhan di cairan COA disusul dengan terbentuknya hipopion (pus di dalam
COA). Hipopion ini steril, tidak mengandung kuman. Karena kornea pada ulkus
menipis, tekanan intra okuler dapat menonjol ke luar dan disebut keratektasi. Bila
peradangan terus mendalam, tetapi tidak mengenai membrana Descemet dapat
timbul tonjolan pada membrana tersebut yang disebut Descemetocele atau mata
lalat. Bila peradangan hanya di permukaan saja, dengan pengobatan yang baik
dapat sembuh dengan tidak meninggalakan sikatrik.

Pada peradangan yang dalam penyembuhan berakhir dengan terbentuknya


sikatrik, yang dapat berbentuk nebula yaitu bercak seperti awan yang hanya
dapat dilihat di kamar gelap dengan cahaya buatan, makula yaitu bercak putih
yang tampak jelas di kamar terang, dan leukoma yaitu bercak putih seperti
porselen yang tampak dari jarak jauh. Bila ulkus lebih dalam lagi bisa
mengakibatkan terjadinya perforasi. Adanya perforasi membahayakan mata oleh
karena timbul hubungan langsung dari bagian dalam mata dengan dunia luar
sehingga kuman dapat masuk ke dalam mata dan menyebabkan timbulnya
endoftalmitis, panoftalmitis dan berakhir dengan ptisis bulbi. Dengan terjadinya
perforasi cairan COA dapat mengalir ke luar dan iris mengikuti gerakan ini ke
depan sehingga iris melekat pada luka kornea yang perforasi dan disebut sinekia
anterior atau iris dapat menonjol ke luar melalui lubang perforasi tersebut dan
disebut iris prolaps yang menyumbat fistel.
2.5 Klasifikasi Ulkus Kornea

Berdasarkan lokasi, terbagi menjadi 2 :

1. Ulkus Kornea Sentral


a. Ulkus kornea bakterialis
b. Ulus kornea fungi
c. Ulkus kornea virus
d. Ulkus kornea acanthamoeba
2. Ulkus Kornea Perifer
a. Ulkus marginal
b. Ulkus mooren
c. Ulkus cincin (ring ulcer)

2.5.1 Ulkus Sentral

Ulkus sentral biasanya merupakan ulkus infeksi akibat kerusakan


pada epitel. Lesi terletak di sentral, jauh dari limbus vaskuler. Ulkus
dikatakan sentral apabila berada dalam radius 6 mm dari apex kornea.
Hipopion biasanya (tidak selalu menyertai ulkus). Hipopion adalah
pengumpulan sel-sel radang yang tampak sebagai lapis pucat dibagian
bawah kamera anterior dan khas untuk ulkus kornea bakteri dan jamur.
Etiologi ulkus kornea sentral biasanya bakteri (Pseudomonas,
pneumokokkus, moraxela liquefaciens, streptokokkus beta hemolitik),
virus (herpes simpleks, herpes zoster), jamur (Candida albicans, fusarium,
sefalosporium dan aspergilus).

Mikroorganisme ini tidak mudah masuk ke dalam kornea dengan


epitel yang sehat. Terdapat factor predisposisi untuk terjadinya ulkus
kornea seperti erosi pada kornea, keratitis neurotropik, pemakai
kortikosteroid / imunosupresif, obat local anestetika, pasien diabetes
melitus dan penyakit tua.
a. Ulkus Bakterialis
- Ulkus Streptokokus

Khas sebagai ulkus yang menjalar dari tepi ke arah tengah kornea
(serpinginous). Ulkus bewarna kuning keabu-abuan berbentuk
cakram dengan tepi ulkus yang menggaung. Ulkus cepat
menjalar ke dalam dan menyebabkan perforasi kornea, karena
eksotoksin yang dihasilkan oleh streptokok pneumonia.

- Ulkus Stafilokokus
Pada awalnya berupa ulkus yang bewarna putih kekuningan
disertai infiltrat berbatas tegas tepat dibawah defek epitel. Apabila
tidak diobati secara adekuat, akan terjadi abses kornea yang
disertai edema stroma dan infiltrasi sel leukosit. Walaupun
terdapat hipopion ulkus seringkali indolen yaitu reaksi radangnya
minimal.

- Ulkus Pseudomonas

Infeksi pseudomonas merupakan infeksi yang paling sering terjadi


dan paling berat dari infeksi kuman patogen gram negatif pada
kornea. Kuman ini mengeluarkan endotoksin dan sejumlah enzim
ekstraselular. Ulkus terlihat gambaran infiltrat kelabu atau kuning
pada epitel kornea. Virulensi pseudomonas pada kornea
berhubungan erat dengan produksi intraselular calcium activated
protease yang mampu membuat kerusakan besar pada stroma
kornea. Dahulu zat ini diduga kologenase, akan tetapi sekarang
disebut sebagai enzim proteoglycanolytic. Lesi ulkus yang
disebabkan pseudomonas mulai di daerah sentral kornea menyebar
ke samping dan ke dalam kornea karena pengaruh enzim
proteolitik yang dihasilkan organisme ini. Meskipun pada awalnya
superficial, ulkus ini dapat mengenai seluruh kornea. Umumnya
terdapat hipopion besar yang cenderung membesar dengan
berkembangnya ulkus. Infiltrat dan eksudat mungkin berwana
hijau kebiruan. Ini akibat pigmen yang dihasilkan pseudomonas
aerugenosa. Ulkus ini sering dikaitkan dengan pemakaian kontakk
lens. Tatalaksana dapat diberikan pengobatan ciprofloxacin,
tobramycin atau gentamicin.

Gambar 6 Ulkus Kornea pseudomonas aeruginosa

- Ulkus Pneumokokkus

Ulkus kornea pneumokokkus biasanya muncul 24-28 jam setelah


inokulasi pada kornea yang lecet. Infeksi ini secara khas
menimbulkan sebuah ulkus berbatas tegas warna kelabu yang
cenderung menyebar secara tak teratur dari tempat infeksi ke
sentral kornea. Lapisan superficial kornea adalah yang pertama
terlihat, kemudian parenkim bagian dalam. Kornea sekitar ulkus
sering bening. Biasanya ada hipopion.
Gambar 7 Ulkus Kornea pada Bakteri dengan hipopion

b. Ulkus Kornea Fungi


- Keratomikosis

Keratomikosis adalah suatu infeksi kornea yang disebabkan oleh


jamur biasanya dimulai dengan suatu paparan pada kornea oleh
ranting pohon, daun dan bagian tumbuh-tumbuhan. Setelah 5 hari
paparan atau 3 minggu kemudian pasien akan merasa sakit hebat
pada mata dan silau. Ulkus terlihat menonjol di tengah kornea dan
bercabang-cabang dengan endotelium plaque. Pada kornea
terdapat gambaran satelit dan descemet disertai hipopion. Ulkus
fungi banyak disebabkan organism oportunis seperti Candida,
Fusarium, Aspergillus, Penicillium, Cephalosporin, dan lain-lain.
Kerokan dari ulkus korneafungi, kecuali disebabkan Candida,
mengandungi unsur-unsur hifa; kerokan dari ulkus Candida
umumnya mengandungi pseudohifa atau bentuk ragi, yang
menampakkan kuncup-kuncup khas. Keratomikosis diobati
dengan antimikosis seperti: Polynes (amfoterisin, nistatin), azole
(clotri mazole, ketokonazole, mikonazole). Bila tidak terlihat efek
obat mata dapat dilakukan keratoplasti.

Gambar 8 Keratomikosis

c. Ulkus Kornea Virus


- Ulkus Kornea Herpes Zoster

Biasanya diawali rasa sakit pada kulit dengan perasaan lesu.


Gejala ini timbul 1-3 hari sebelum timbulnya gejala kulit. Pada
mata ditemukan vesikel kulit dan edem palpebra, konjungtiva
hiperemis, kornea keruh akibat terdapatnya infiltrat subepitel dan
stroma. Infiltrat dapat berbentuk dendrit yang bentuknya berbeda
dengan dendrit herpes simplex. Dendrit herpes zoster berwarna
abu-abu kotor dengan fluoresin yang lemah. Kornea hipestesi
tetapi dengan rasa sakit keadaan yang berat pada kornea biasanya
disertai dengan infeksi sekunder.

- Keratitis Herpes Simpleks

Bentuk epitelialnya adalah padanan dari herpes labialis, yang


memiliki ciri-ciri imunologik dan patologik sama, juga perjalanan
penyakitnya. Perbedaan satu-satunya adalah perjalanan klinik
keratitis dapat berlangsung lama karena kornea kurang vaskuler,
sehingga menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke lesi.
Infeksi okuler HSV pada hospes imunokompeten biasanya
sembuh sendiri, namun pada hospes yang secara imunologik tidak
kompeten, termasuk pasien yang diobati dengan kortikosteroid
topikal, perjalanannya mungkin menahun dan dapat merusak.
Penyakit stroma dan endotel tadinya diduga hanyalah respons
imunologik terhadap partikel virus atau perubahan seluler akibat
virus, namun sekarang makin banyak bukti yang menunjukkan
bahwa infeksi virus aktif dapat timbul di dalam stroma dan
mungkin juga sel-sel endotel, selain di jaringan lain dalam segmen
anterior, seperti iris dan endotel trabekel. Ini mengharuskan
penilaian kemungkinan peran relatif replikasi virus dan respons
imun hospes sebelum dan selama pengobatan terhadap penyakit
herpes. Kortikosteroid topikal dapat mengendalikan respons
peradangan yang merusak namun memberi peluang terjadinya
replikasi virus. Jadi setiap kali menggunakan kortikosteroid
topikal, harus ditambahkan obat anti-virus. Setiap pasien yang
memakai kortikosteroid topikal selama pengobatan penyakit mata
akibat herpes harus dalam pengawasan seorang oftalmologi. (3,4)
Kerokan dari lesi epitel pada keratitis HSV dan cairan dari lesi
kulit mengandung sel-sel raksasa multinuklear. Virus ini dapat
dibiakkan pada membran korio-allantois embrio telur ayam dan
banyak jenis sel jaringan lain, misalnya sel HeLa dan terbentuk
plak-plak khas. Namun pada kebanyakan kasus, diagnosis dapat
ditegakkan secara klinik berdasarkan ulkus dendritik atau
geografik khas dan sensasi kornea yang sangat menurun, bahkan
sampai hilang sama sekali.

Gambar 9 Keratitis Herpes Simpleks

d. Ulkus Kornea Achantamoeba

Awal dirasakan sakit yang tidak sebanding dengan temuan


kliniknya, kemerahan dan fotofobia. Tanda klinik khas adalah ulkus
kornea indolen, cincin stroma, dan infiltrat perineural
Gambar 10 Ulkus Kornea Acanthamoeba

2.5.2 Ulkus Perifer


a. Ulkus Marginal

Ulkus marginalis merupakan peradangan kornea bagian perifer


berbentuk khas yang biasanya terdapat daerah jernih antara limbus
kornea dengan tempat kelainannya. Ulkus dikatakan sentral apabila
dalam radius 6mm diluar radius apex kornea. Sumbu memanjang daerah
peradangan biasanya sejajar dengan limbus kornea. Diduga 50% dasar
kelainannya ialah suatu reaksi hipersensitivitas terhadap eksotoksin
stafilokokus. Ulkus yang terdapat terutama di bagian perifer kornea,
yang biasanya terjadi akibat alergi, toksik, infeksi dan penyakit kolagen
vaskular. Pada beberapa keadaan berhubungan dengan alergik terhadap
makanan. Perjalanan penyakit dapat berubah-ubah, dapat sembuh cepat
dapat pula timbul atau kambuh dalam waktu singkat.

Ulkus marginal merupakan ulkus kornea yang didapatkan pada orang


tua yang sering dihubungkan dengan reumatik dan debilitas, dapat juga
terjadi bersama-sama dengan radang konjungtiva yang disebabkan oleh
Moraxella dan Proteus vulgaris. Pada kerokan dan biakan yang diambil
dari ulkus biasanya terdapat bakteri bersifat rekuren, dengan
kemungkinan terdapatnya Streptococcus pneumoniae, Hemophilus
aegepty, Moraxella lacunata, dan Esrichia.
Gambar 11 Ulkus Marginal dengan descemetocele formation

Infiltrat dan ulkus yang terlihat diduga merupakan timbunan kompleks


antigen-antibodi. Secara histopatologik, terlihat sebagai ulkus atau abses
yang epitelial atau subepitelial.

Penglihatan pasien dengan ulkus merginal akan menurun disertai


dengan rasa sakit, fotofobia, lakrimasi, terdapat pada satu mata
blefarospasme, injeksi konjungtiva, infiltrat atau ulkus yang
memanjang, dan dangkal.

Tatalaksana ulkus marginal adalah antibiotik dengan steroid lokal dapat


diberikan setelah kemungkinan infeksi virus herpes simpleks di
singkirkan. Pemberian steroid sebaiknya dalam waktu singkat disertai
dengan pemberian vitamin B dan C dosis tinggi.

b. Ulkus Mooren

Albert Mooren adalah seorang dokter Jerman pada tahun 1828-1899


yang menguraikan ulkus serpinginosa kronik yang terdapat pada lansia.
Ulkus mooren adalah suatu ulkus menahun superfisial yang dimulai dari
tepi kornea dengan bagian tepinya bergaung dan berjalan progresif tanpa
kecenderungan perforasi ataupun hipopion. Lambat laun ulkus ini
mengenai seluruh kornea.

Penyebab Ulkus Mooren sendiri masih belum diketahui, akan tetapi


terdapat beberapa hal yang dapat menjadi faktor pencetus untuk
terjadinya ulkus mooren, seperti trauma, operasi, atau terkena infeksi
parasit. Penyakit ini merupakan ulkus kornea idiopatik unilateral
ataupun bilateral. Tukak ini menghancurkan membran Bowman dan
stroma kornea. Neovaskularisasi tidak terlihat pada bagian yang sedang
aktif, bila kronik akan terlihat jaringan parut dengan jaringan
vaskularisasi. Pasien terlihat sakit berat dan 25% mengalami bilateral.
Proses yang terjadi mungkin kematian sel yang disusul dengan
pengeluaran kolagenase. Gejala dari ulkus mooren sendiri ialah nyeri
yang dapat menjadi hebat, adanya fotofobia, buram dan mata berair.

Dikenal dalam 2 bentuk :

1. Pasien tua terutama laki-laki, 75% unilateral dengan rasa sakit yang
tidak berat, prognosis sedang dan jarang perforasi
2. Pasien muda laki-laki, 75% binocular, dengan rasa sakit dan
berjalan progresif. Prognosis buruk, 1/3 kasus terjadi perforasi
kornea.

Banyak pengobatan tetapi belum memberikan hasil yang memuaskan


seperti steroid topical, antibiotika, anti virus, anti jamur, kolagenase
inhibitor, heparin dan pembedahan keratektomi, lameler keratoplasty
dan eksisi konjungtiva.

Gambar 12 Ulkus Mooren

c. Ulkus Ulcer

Terlihat injeksi perikorneal sekitar limbus. Dikornea terdapat ulkus yang


berbentuk melingkar dipinggir kornea, didalam limbus, bisa dangkal
atau dalam, kadang-kadang timbul perforasi. Ulkus marginal yang
banyak kadang-kadang dapat menjadi satu menyerupai ring ulcer. Tetapi
pada ring ulcer yang sebetulnya tak ada hubungan dengan konjungtivitis
kataral. Perjalanan penyakitnya menahun.

Gambar 13 Ulkus Ulcer

2.6 Manifestasi Klinis

Gejala klinis ulkus kornea secara umum antara lain :

Gejala Subjektif

‐ Eritema pada kelopak mata dan konjungtiva


‐ Sekret mukopurulen
‐ Merasa ada benda asing di mata
‐ Pandangan kabur
‐ Mata berair
‐ Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi ulkus
‐ Silau
‐ Nyeri

Infiltat yang steril dapat menimbulkan sedikit nyeri, jika ulkus terdapat pada
perifer kornea dan tidak disertai dengan robekan lapisan epitel kornea.

Gejala Objektif

‐ Injeksi siliar.
‐ Hilangnya sebagian jaringan kornea, dan adanya infiltrat.
‐ Hipopion.

2.7 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan klinis dengan menggunakan slit lamp dan pemeriksaan
laboratorium. Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea, sering dapat
diungkapkan adanya riwayat trauma, benda asing, abrasi, adanya riwayat
penyakit kornea yang bermanfaat, misalnya keratitis akibat infeksi virus
herpes simplek yang sering kambuh. Hendaknya pula ditanyakan riwayat
pemakaian obat topikal oleh pasien seperti kortikosteroid yang merupakan
predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, virus terutama keratitis herpes
simplek. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit sistemik seperti
diabetes, AIDS, keganasan, selain oleh terapi imunosupresi khusus.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan gejala obyektif berupa adanya injeksi


siliar, kornea edema, terdapat infiltrat, hilangnya jaringan kornea. Pada kasus
berat dapat terjadi iritis yang disertai dengan hipopion.

Selain itu diperlukan juga pemeriksaan diagnostik seperti :

- Ketajaman pengelihatan

- Tes refraksi

- Tes air mata

- Pemeriksaan slit-lamp
- Keratometri (pengukuran kornea)

- Respon reflek pupil

- Pewarnaan kornea dengan zat fluoresensi

Gambar 14 Ulkus Kornea dengan fluoresensi

- Goresan ulkus untuk analisa atau kultur (pulasan gram, giemsa atau
KOH) Pada jamur dilakukan pemeriksaan kerokan kornea dengan spatula
kimura dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop dilakukan
pewarnaan KOH, gram atau Giemsa. Lebih baik lagi dengan biopsi
jaringan kornea dan diwarnai dengan periodic acid Schiff. Selanjutnya
dilakukan kultur dengan agar sabouraud atau agar ekstrak maltosa

Gambar 15 Pewarnaan gram ulkus kornea fungi

2.8 Tatalaksana Ulkus Kornea

Pengobatan umumnya untuk ulkus kornea adalah dengan siklopegik,


antibiotika yang sesuai topical dan subkonjungtiva, dan pasien dirawat bila
mengancam perforasi, pasien tidak dapat memberi obat sendiri, tidak terdapat
reaksi obat, dan perlunya obat sistemik. Pengobatan ulkus kornea bertujuan
menghalangi hidpunya bakteri dengan antibiotika dan mengurangi reaksi
radang dengan steroid. Secara umum, ulkus diobati sebagai berikut :

a. Tidak boleh dibebat, karena akan menaikkan suhu sehingga akan


berfungsi sebagai indicator
b. Secret yang terbentuk dibersihkan 4 kali satu hari
c. Kemungkinan terjadinya glaucoma sekunder
d. Debridement sangat membantu penyembuhan
e. Antibiotika yang sesuai dengan kausa. Biasanya diberi local kecuali
keadaan berat.

Ulkus kornea adalah keadan darurat yang harus segera ditangani oleh
spesialis mata agar tidak terjadi cedera yang lebih parah pada kornea.
Pengobatan pada ulkus kornea tergantung penyebabnya, diberikan obat tetes
mata yang mengandung antibiotik, anti virus, anti jamur, sikloplegik dan
mengurangi reaksi peradangan dengan steroid. Pasien dirawat bila
mengancam perforasi, pasien tidak dapat memberi obat sendiri, tidak
terdapat reaksi obat dan perlunya obat sistemik.

a. Penatalaksanaan ulkus kornea di rumah

1. Jika memakai lensa kontak, secepatnya untuk melepaskannya

2. Jangan memegang atau menggosok-gosok mata yang meradang

3. Mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan sesering


mungkin dan mengeringkannya dengan handuk atau kain yang bersih

4. Berikan analgetik jika nyeri

b. Penatalaksanaan Medis

1. Pengobatan Konstitusi
Oleh karena ulkus biasannya timbul pada orang dengan keadaan
umum yang kurang dari normal, maka keadaan umumnya harus
diperbaiki dengan makanan yang bergizi, udara yang baik,
lingkungan yang sehat, pemberian roboransia yang mengandung
vitamin A, vitamin B kompleks dan vitamin C. Pada ulkus-ulkus
yang disebabkan kuman yang virulen, yang tidak sembuh dengan
pengobatan biasa, dapat diberikan vaksin tifoid 0,1 cc atau 10 cc susu
steril yang disuntikkan intravena dan hasilnya cukup baik. Dengan
penyuntikan ini suhu badan akan naik, tetapi jangan sampai melebihi
39,5°C. Akibat kenaikan suhu tubuh ini diharapkan bertambahnya
antibodi dalam badan dan menjadi lekas sembuh.

2. Pengobatan Lokal

Benda asing dan bahan yang merangsang harus segera dihilangkan.


Lesi kornea sekecil apapun harus diperhatikan dan diobati sebaik-
baiknya. Konjungtuvitis, dakriosistitis harus diobati dengan baik.
Infeksi lokal pada hidung, telinga, tenggorok, gigi atau tempat lain
harus segera dihilangkan.
Infeksi pada mata harus diberikan :
 Sulfas atropine sebagai salap atau larutan,
Kebanyakan dipakai sulfas atropine karena bekerja
lama 1-2 minggu. Efek kerja sulfas atropine :
- Sedatif, menghilangkan rasa sakit.
- Dekongestif, menurunkan tanda-tanda radang.
- Menyebabkan paralysis M. siliaris dan M. konstriktor pupil.

Dengan lumpuhnya M.siliaris mata tidak mempunyai daya


akomodsi sehingga mata dalan keadaan istirahat. Dengan
lumpuhnya M. konstriktor pupil, terjadi midriasis sehingga
sinekia posterior yang telah ada dapat dilepas dan mencegah
pembentukkan sinekia posterior yang baru.

 Skopolamin sebagai midriatika

 Analgetik

Untuk menghilangkan rasa sakit , dapat diberi tetes pantokain


atau tetrakain tetapi jangan sering-sering.

 Antibiotik

Antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab atau yang


berspektrum luas diberikan sebgaai salep, tetes atau injeksi
subkonjungtiva. Pada pengobatan ulkus sebaiknya tidak
diberikan salep mata karena dapat memperlambat penyembuhan
dan juga dapat menimbulkan erosi kornea kembali.

 Anti jamur

Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya


preparat komersial yang tersedia berdasarkan jenis keratomitosis
yang dihadapi bisa dibagi :

1. Jenis jamur yang belum teridentifikasi penyebabnya : topikal


amphotericin B 1,2,5 mg/ml, Thiomerosol 10 mg/ml,
Natamycin > 10 mg/ml, golongan imidazole.

2. Jamur berfilamen : topikal amphotericin B, Natamicin,


imidazol

3. Actinomyces yang bukan jamur sejati : golongan sulfa

 Anti virus

Untuk herpes zoster pengobatan bersifat simptomatik diberikan


steroid lokal untuk mengurangi gejala, sikloplegik, antibiotik
spektrum luas untuk infeksi sekunder, analgetik bila terdapat
indikasi.
Untuk herpes simpleks diberikan pengobatan IDU- AAR-A PAA,
interferon inducer.

Untuk menghindari penjalaran ulkus dapat dilakukan :

1. Kauterisasi

a. Dengan zat kimia : iodine, larutan murni asam karbolik,


larutan murni trikloralasetas

b. Dengan panas (heat cauterisasion) : memakai elektrokauter


atau termophore. Dengan instrumen ini dengan ujung alatnya
yang mengandung panas disentuhkan pada pinggir ulkus
sampai berwarna keputuh-putihan.

2. Pengerokan epitel yang sakit

Parasentesa dilakukan kalau pengobatan dengan obat-obatan


tidak menunjukkan perbaikan dengan maksud mengganti cairan
COA yang lama dengan yang baru yang banyak mengandung
antibodi dengan harapan luka cepat sembuh. Penutupan ulkus
dengan flap konjungtiva, dengan melepaskan konjungtiva
sekitar limbus yang sehat kemudian ditarik menutupi ulkus
dengan tujuan memberikan perlindungan dan nutrisi pada ulkus
untuk mempercepat penyembuhan. Kalau sudah sembuh flap
konjungtiva ini dapat dilepaksan kembali.

Bila seseorang dengan ulkus korena mengalami perforasi


spontan berikan sulfas atropine, antibiotik dan balut yang kuat.
Segera berbaring dan jangan melakukan gerakkan- gerakan.
Bila perforasinya disertai prolaps iris dan terjadinya baru saja,
maka dapat dilakukan:

‐ Iridektomi dari iris yang prolaps

‐ Iris reposisi
‐ Kornea dijahit dan ditutu dengan flap konjungtiva

‐ Beri sulfas atropine, antibiotik dan balut dengan kuat

Bila terjadi perforasi dengan prolaps iris yang telah berlangsung


lama, kita obati seperti ulkus biasa tetapi prolaps irisnya
dibiarkan saja, sampai akhirnya sembuh menjadi leukoma
adherens. Antibiotik diberikan juga secara sistemik.

3. Keratoplasti

Keratoplasi adalahn jalan terakhir jika urutan penatalaksanaan


diatas tidak berhasil. Indikasi keratoplasti terjadi jaringan parut
yang mengaggu penglihatan, kekeruhan kornea yang
menyebabkan kemunduran tajam pengelihatan, serta memenuhi
beberapa kriteria yaitu :

1. Kemunduran visus yang cukup menggangu penderita

2. Kelainan kornea yang menggangu mental penderita

3. Kelainan kornea yang tidak disertai amblyopia

2.9 Komplikasi dan Prognosis

a. Komplikasi

Komplikasi yang sering timbul berupa :


‐ Kebutaan parsial atau komplit dalam waktu sangat singkat
‐ Kornea perforasi dapat berlanjut menjadi endoptalmitis dan
panoptalmitis
‐ Prolapse iris
‐ Sikatrik kornea
‐ Katarak
‐ Glaucoma sekunder
b. Prognosis

Prognosis ulkus kornea tergantung pada tingkat keparahan dan cepat


lambatnya mendapat pertolongan, jenis mikroorganisme penyebabnya,
dan ada tidaknya komplikasi yang timbul. Ulkus kornea yang luas
memerlukan waktu penyembuhan yang lama, karena jaringan kornea
bersifat avaskular. Semakin tinggi tingkat keparahan dan lambatnya
mendapat pertolongan serta timbulnya komplikasi, maka prognosisnya
menjadi lebih buruk. Penyembuhan yang lama mungkin juga
dipengaruhi ketaatan penggunaan obat. Dalam hal ini, apabila tidak ada
ketaatan penggunaan obat terjadi pada penggunaan antibiotika maka
dapat menimbulkan resistensi.

Ulkus kornea harus membaik setiap harinya dan harus disembuhkan


dengan pemberian terapi yang tepat. Ulkus kornea dapat sembuh dengan
dua metode; migrasi sekeliling sel epitel yang dilanjutkan dengan mitosis
sel dan pembentukan pembuluh darah dari konjungtiva. Ulkus superfisial
yang kecil dapat sembuh dengan cepat melalui metode yang pertama,
tetapi pada ulkus yang besar, perlu adanya suplai darah agar leukosit dan
fibroblas dapat membentuk jaringan granulasi dan kemudian sikatrik.

c.
DAFTAR PUSTAKA

Paul, R.-E., & Whitcher, J. P. (2010). Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum (17
ed.). (R.-E. Paul, & J. P. Whitcher, Penyunt.) Jakarta: EGC.

Sidarta, l., & Sri, R. (t.thn.). Ilmu Penyakit Mata (4 ed.). (l. Sidarta, & R. Sri,
Penyunt.) Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Hongyok, T. &. (2016). Corneal ulcer leading to evisceration or enucleation in a


tertiary eye care center in Thailand: Clinical and microbiological
characteristics. Journal of the Medical Association of Thailand, 99(3), S116-
122.

S Sitorous, Rita. Sitompul, Ratna. Widyawati, Syska. P Bani, Anna. Buku Ajar
Oftalmologi. Edisi Pertama. Jakarta: UI Publishing, 2020.

Khurana AK. Comprehensive Ophthalmology Fourth Edition. 2007. New


Delhi: New Age International (P) Ltd., Publishers. ISBN (13) : 978-81-
224-2480-5

FK UI. 2020. Buku Ajar Oftalmologi. 1st Ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas

Indonesia.

Vaughan D, Asbury J. Oftalmologi Umum. Edisi ke-17. Jakarta: EGC; 2013.

Anda mungkin juga menyukai