Anda di halaman 1dari 34

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN MATA Referat

FAKULTAS KEDOKTERAN Februari 2019

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

KERATITIS

Disusun Oleh :

Nurul Annisa Muthahara, S.Ked. (10542 0512 13)

Pembimbing :

dr. Mitahul Akhyar Latief, Ph.D, Sp.M, M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2019
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Nurul Annisa Muthahara, S.Ked

NIM : 10542 0512 13

Judul Referat : Keratitis

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Kedokteran Mata Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Februari 2019

Pembimbing

dr. Mitahul Akhyar Latief, Ph.D, Sp.M, M.Kes


KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena segala limpahan rahmat dan
hidayah-Nya serta segala kemudahan yang diberikan dalam setiap kesulitan
hamba-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan referat dengan judul Keratitis.
Tugas ini ditulis sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik di Bagian Ilmu Kedokteran Mata.

Berbagai hambatan dialami dalam penyusunan tugas referat. Namun


berkat bantuan saran, kritikan, dan motivasi dari pembimbing serta teman-teman
sehingga tugas ini dapat terselesaikan. Penulis sampaikan terima kasih banyak
kepada dr. Mitahul Akhyar Latief, Ph.D, Sp.M, M.Kes, selaku pembimbing
yang telah banyak meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam
membimbing, memberikan arahan dan koreksi selama proses penyusunan tugas
ini hingga selesai.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari yang diharapkan oleh
karena itu dengan kerendahan hati penulis akan senang menerima kritik dan saran
demi perbaikan dan kesempurnaan tugas ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat
bagi pembaca umumnya dan penulis secara khusus.

Makassar, Februari 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Kornea adalah salah satu media refrakta sehingga manusia dapat


melihat. Seorang ahli mata dapat melihat struktur dalam mata karena kornea
bersifat jernih dan memiliki daya bias sebesar 43D. Kornea memiliki mekanisme
protektif terhadap lingkungan maupun paparan patogen (virus, amuba, bakteri dan
jamur). Ketika patogen berhasil masuk dan membuat defek epitelial di kornea,
maka jaringan braditropik kornea akan merespon patogen spesifik dengan
peradangan pada kornea (keratitis).(1)

Keratitis diklasifiikasikan berdasarkan lesi kornea yang terkena, seperti


keratitis epitelial, keratitis subepitel, keratitis stromal, dan keratitis endothelial.
Berdasarkan penyebabnya keratitis digolongkan menjadi keratitis bakterialis,
keratitis fungal, keratitis viral, keratitis acanthamoeba, dan keratitis akibat
alergi.2,3

Gejala umum keratitis adalah visus turun perlahan, mata merah, rasa silau,
dan merasa kelilipan. Gejala khususnya tergantung dari jenis-jenis keratitis yang
diderita oleh pasien. Gambaran klinik masing-masing keratitis pun berbeda-beda
tergantung dari jenis penyebab dan tingkat kedalaman yang terjadi di kornea, jika
keratitis tidak ditangani dengan benar maka penyakit ini akan berkembang
menjadi suatu ulkus yang dapat merusak kornea secara permanen. Pembentukan
parut akibat ulserasi kornea adalah penyebab utama kebutaan atau gangguan
penglihatan diseluruh dunia. Kebanyakan gangguan penglihatan ini dapat
dihindari dengan melakukan diagnosis dini dan pengobatan yang memadai segera,
tetapi juga dengan meminimalkan berbagai faktor risiko.2,3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Kornea


1. Embriologi Kornea
Mata berkembang dari tiga lapisan embrional primitif, yaitu
ektoderm, neuroektoderm dan mesoderm. Kornea dibentuk dari lapisan
nureal crest cell yang merupakan derivat dari ektoderm.4
Pada usia kehamilan 5-6 minggu, lapisan ektoderm memisahkan
vesikel lensa untuk membentuk epitel kornea. Pada usia kehamilan 7
minggu, kornea telah terdiri dari 3 lapis, yaitu lapisan epitel skuamosa
superfisial dengan sel basal yang berbentuk kubis, lapisan stroma dan
laisan set endotel. Pada bulan ke empat, lapisan Bowman dan descement
mulai terlihat. Saat lahir ukuran diameter kornea mencapai 10,00 mm dan
terus berkembang kemudian berhenti ketika telah berusia 1 tahun.5

Gambar 1. Gambar kornea dan bagian-bagian di sekitar kornea.6

2. Anatomi Kornea
Kornea adalah jaringan transparan dan avaskular terletak di bagian
sentral dari kutub anterior bola mata yang akan bergabung dengan sklera
dan konjungtiva. Kornea akan tampak berbentuk elips bili dilihat dari
bagian depan dengan ukuran diameter horisontal 11-12 mm dan diameter
vertikal 9-11 mm. Indeks refraksi kornea sebesar 1,376. Radius dari
kurvatura kornea sentral sekitar 7,8 mm (6,7-9,4 mm). Kekuatan dioptri
karena sebesar 43,25 dioptri atau sekitar 74% dari total kekuatan dioptri
mata manusia normal.7
Nutrisi kornea diperoleh dari difusi glukosan akuos humor dan
difusi oksigen melalui lapisan air mata. Bagian perifer kornea juga
mendapat oksigen dari sirkulasi limbal.7
Secara mikroskopis kornea terdiri dari 5 lapisan, yaitu:8
a. Epitel
Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5-7 lapis sel epitel tidak bertanduk
yang saling tumpang tindih, satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel
gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini
terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke
depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di
sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan
makula okluden, ikatan ini menghambat pengaliran air, eliktrolit, dan
glukosa yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membran
basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan
mengakibatkan erosi rekuren. Adanya ikatan yang kuat antara sel-sel
epitel superfisial mencegah terjadinya penetrasi cairan air mata ke
dalam stroma. 8
b. Lapisan Bowman
Lapisan Bowman adalah lapisan yang terkuat dan terbentuk dari
lapisan fibril kolagen yang tersusun secara random. Ketebalan lapisan
ini sekitar 8-14 mikro meter. Bila terjadi luka yang mengenai bagian
ini maka akan digantikan dengan jaringan parut karena tidak memiliki
daya regenerasi. 8
c. Stroma
Stroma merupakan 90% dari seluruh ketebalan kornea dan
dibentuk oleh keratosit yang memproduksi kolagen. Jenis kolagen
yang dibentuk adalah tipe I, III dan VI. Terdiri atas lamel yang
merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada
permukaan terlihat anyaman yang teratur sadangkan dibagian perifer
serat kolagen ini bercabang, terbentuknya kembali serat kolagen
memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit
merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di
antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar
dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
Transparansi kornea juga ditentukan dengan menjaga kandungan air di
stroma sebesar 78%.8
d. Dua’s Layer
Dulunya dianggap sebagai bagian dari membran descement (pre
descement) yang ternyata merupakan lapisan tersendiri, lapisan yang
terletak antara stoma dan membran descement, berbentuk acelular,
ketebalan 15 microns.8,9
e. Membran Descemet
Membrana descemet adalah suatu lamina basalis yang tebal dan
longgar pada stroma. Merupakan membran aselular dan merupakan
batas belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan
membran basalnya. Bersifat sangat elastis dan berkembang terus
seumur hidup, mempunyai tebal 40 μm. 8
f. Endotel kornea
Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar
20-40 μm. Endotel melekat pada membran descemet melalui hemi
desmosom dan zonula okluden. Sel endotel mempunyai fungsi
transport aktif air dan ion yang menyebabkan stroma menjadi relatif
dehidrasi sehingga terut menjaga kejernihan kornea. 8
Gambar 2. Penampang melintang kornea.
3. Fisiologi Kornea
Fungsi utama kornea adalah sebagai membran protektif dan sebuah
“jendela” yang dilalui cahaya untuk mencapai retina. Transparansi kornea
dimungkinkan oleh sifatnya yang avaskuler, memiliki struktur yang
bersifat deturgescence. Deturgescence, atau keadaan dehidrasi relatif
jaringan kornea, dipertahankan oleh pompa aktif bikarbonat dari
endothelium dan fungsi penghalang dari epitel dan endotel. Endotelium
lebih penting daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi dan kimia atau
kerusakan fisik pada endotelium ini jauh lebih serius daripada kerusakan
epitel. Penghancuran sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan
hilangnya transparansi. Di sisi lain, kerusakan epitel hanya bersifat
sementara, edema lokal dari stroma kornea yang membersihkan ketika sel-
sel epitel beregenerasi. Penguapan air dari film air mata precorneal
menghasilkan hipertonisitas film, bahwa proses dan penguapan langsung
adalah faktor-faktor yang menarik air dari stroma kornea superfisial untuk
mempertahankan keadaan dehidrasi (8)
Penetrasi kornea utuh oleh obat adalah bifasik. zat yang larut dalam
lemak dapat melewati epitel utuh dan zat larut dalam air dapat melewati
stroma utuh. Untuk melewati kornea, obat harus memiliki kemampuan
larut dalam lemak dan larut dalam air.(5)
Seperti halnya lensa, sklera dan badan vitreous, kornea merupakan
struktur jaringan yang braditrofik, metabolismenya lambat dimana ini
berarti penyembuhannya juga lambat. Metabolisme kornea (asam amino
dan glukosa) diperoleh dari 3 sumber, difusi dari kapiler – kapiler
disekitarnya, difusi dari humor aquous, dan difusi dari film air mata.(1)
Tiga lapisan film air mata prekornea memastikan bahwa kornea tetap
lembut dan membantu nutrisi kornea. Tanpa film air mata, permukaan
epitel akan kasar dan pasien akan melihat gambaran yang kabur. Enzim
lisosom yang terdapat pada film air mata juga melindungi mata dari
infeksi.(1)
Kornea menerima suplai sensoris dari bagian oftalmik nervus
trigeminus. Sensasi taktil yang terkecil pun dapat menyebabkan refleks
penutupan mata. Setiap kerusakan pada kornea (erosi, penetrasi benda
asing atau keratokonjungtivitis ultraviolet) mengekspose ujung saraf
sensorik dan menyebabkan nyeri yang intens disertai dengan refleks
lakrimasi dan penutupan bola mata involunter. Trias yang terdiri atas
penutupan mata involunter (blepharospasme), refleks lakrimasi (epiphora)
dan nyeri selalu mengarahkan kepada kemungkinan adanya cedera
kornea.(1)

B. Definisi
Keratitis adalah radang pada kornea atau infiltrasi sel radang pada kornea
yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh sehingga tajam penglihatan
menurun. Infeksi pada kornea bisa mengenai lapisan superfisial yaitu pada
lapisan epitel atau membran bowman dan lapisan profunda jika sudah
mengenai lapisan stroma.2

C. Epidemiologi
Kejadiannya sangat bervariasi antara barat dan di negara berkembang, hal
ini berdasarkan fakta bahwa negara industry, secara signifikan lebih rendah
jumlah pengguna lensa kontak, maka lebih sedikit infeksi kontak terkait lensa
Misalnya, USA memiliki kejadian 11 per 100.000 orang untuk keratitis
mikroba dibandingkan dengan 799 per 100.000 orang-orang di Nepal.
Ormerod dkk, menjelaskan spesies staphylococcal, Pseudomonas aeruginosa
dan Streptococcus pneumoniae sebagai bakteri utama pada keratitis mikroba
di Amerika Utara. Di Swedia, Neuman dan Sjostrand menemukan
Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis adalah Bakteri gram
positif yang paling umum pada keratitis mikroba sedangkan Pseudomonas
aeruginosa adalah bakteri Gram-negatif yang paling umum.9
Faktor - faktor yang mempengaruhi etiologi dan patogenesis keratitis
bakteri bervariasi. Meliputi : penggunaan lensa kontak, penyakit permukaan
okular, trauma kornea, penggunaan obat imunosupresif dan operasi
postocular terutama corneal graft. Kontak lensa yang terkait ulkus kornea
pada umumnya populasinya meningkat dari hampir 0% di tahun 1960 sampai
52% di tahun 1990an. Erie dkk. di Minnesota, Amerika Serikat, Insiden
kejadian keratitis ulseratif yaitu 5,3 per 100.000 orang per tahun,
menunjukkan peningkatan insiden 435% dari tahun 1950 sampai 1980an.
Studi Erie mengungkapkan penggunaan lensa kontak, merupakan faktor
risiko penting dan paling banyak kejadiannya. Epidemiologi, tentang lensa
kontak sebagai faktor risiko yang paling signifikan untuk infeksi oleh karena
bakteri. Kejadian keratitis ulseratif pada pemakai lensa kontak adalah 4-21
per 10.000 pemakaian sehari-hari. Tingkat keratitis ulseratif adalah 1 dari
2.500 penggunaan lensa kontak sehari-hari dibandingkan dengan 1 dalam 500
yang memakai lensa kontak per tahun.9

D. Etiologi
Keratitis dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya: 2,3
a. Virus
b. Bakteri
c. Jamur
d. Paparan sinar ultraviolet seperti sinar matahari atau sunlamps.
e. Iritasi dari penggunaan berlebihan lensa kontak.
f. Mata kering yang disebabkan oleh kelopak mata robek atau tidak
cukupnya pembentukan air mata.
g. Adanya benda asing di mata
h. Reaksi terhadap obat tetes mata, kosmetik, polusi, atau partikel udara
seperti debu, serbuk sari, jamur, atau ragi.
i. Adanya penyakit-penyakit sistemik (Diabetes melitus, AIDS, dan
keganasan) yang immunosuppresif.2,3

E. Patofisiologi
Terdapat beberapa kondisi yang dapat menjadi predisposisi terjadinya
inflamasi pada kornea seperti blefaritis, perubahan pada barrier epitel kornea
(dry eyes), penggunaan lensa kontak, lagoftalmus, gangguan paralitik, trauma
dan penggunaan preparat imunosupresif topical maupun sistemik.4
Kornea mendapatkan pemaparan konstan dari mikroba dan pengaruh
lingkungan, oleh sebab itu untuk melindunginya kornea memiliki beberapa
mekanisme pertahanan. Mekanisme pertahanan tersebut termasuk refleks
berkedip, fungsi antimikroba film air mata (lisosim), epitel hidrofobik yang
membentuk barrier terhadap difusi serta kemampuan epitel untuk
beregenerasi secara cepat dan lengkap.4
Epitel merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme
ke dalam kornea. Pada saat epitel mengalami trauma, stroma yang avaskuler
dan lapisan bowman menjadi mudah untuk mengalami infeksi dengan
organisme yang bervariasi, termasuk bakteri, amoeba dan jamur.
Streptococcus pneumoniae merupakan bakteri patogen kornea, patogen-
patogen yang lain membutuhkan inokulasi yang berat atau pada host yang
immunokompromis untuk dapat menghasilkan sebuah infeksi di kornea.5
Ketika patogen telah menginvasi jaringan kornea melalui lesi kornea
superfisial, beberapa rantai kejadian tipikal akan terjadi, mulai dari lesi pada
kornea yang selanjutnya agen patogen akan menginvasi dan mengkolonisasi
pada daerah struma kornea respon tubuh berupa pelepasan antibodi yang akan
menginfiltrasi lokasi invasi agen pathogen. Hasilnya, akan tampak gambaran
opasitas pada kornea dan titik invasi pathogen akan membuka lebih luas dan
memberikan gambaran infiltrasi kornea. Iritasi dari bilik mata depan dengan
hipopion (umumnya berupa pus yang akan berakumulasi pada lantai dari bilik
mata depan) dan selanjutnya agen pathogen akan menginvasi seluruh kornea.
Hasilnya stroma akan mengalami atropi dan melekat pada membarana
descement yang relatif kuat dan akan menghasilkan descematocele yang
dimana hanya membarana descement yang intak. Ketika penyakit semakin
progresif, perforasi dari membrana descement terjadi dan humor aquos akan
keluar. Hal ini disebut ulkus kornea perforata dan merupakan indikasi bagi
intervensi bedah secepatnya. Pasien akan menunjukkan gejala penurunan
visus progresif dan bola mata akan menjadi lunak.5

F. Klasifikasi
 Klasifikasi keratitis berdasarkan penyebabnya, yaitu :
a. Keratitis Bakteri
Etiologi

Faktor Resiko
Setiap faktor atau agen yang menciptakan kerusakan pada epitel
kornea adalah potensi penyebab atau faktor risiko bakteri keratitis,
beberapa faktor risiko terjadinya keratitis bakteri diantaranya: 1,2
1) Penggunaan lensa kontak
2) Trauma, dapat berupa operasi refraksi (terutama Laser Assisted in
Situ keratomileusis/LASIK) telah dikaitkan dengan infeksi bakteri,
termasuk mycobacteria atipikal.
3) Penyakit permukaan okular seperti keratitis herpetik,
keratopatibulosa, mata kering, blepharitis kronis, trichiasis
danentropion, paparan, penyakit mata alergi parah dan
korneaanestesi.
4) Faktor lain termasuk imunosupresi lokal atau sistemik,diabetes dan
kekurangan vitamin A.1,2
Manifestasi Klinis
Dapat berupa nyeri, photopobia, penglihatan kabur dan
discharge mucopurulent atau purulent yang berlebihan. Gambaran
klinis dari infeksi pseudomonas, berupa ulkus kornea adalah adanya
infiltrasi, edema dan hypopyon. Ulkus kornea berkembang dengan
cepat dan progresif, terbukti dalam beberapa jam. Sebaliknya, infeksi
gram positif menyebabkan infiltrasi lokal yang berlangsung relatif
lambat. Ulkus kornea stafilokokus biasanya terjadi dipinggiran
kornea.2,10

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 1. (a) keratitis bakteri. (b) tanda awal keratitis pseudomonas,
dengan kemerahan limbal, peningkatan lakrimasi, dan kelopak mata
bengkak dan tampak white ulcer, (c) infiltrat fokal putih yang padat,
bulat hingga oval dengan margin yang jelas adalah karakteristik infeksi
streptococcus. (d) keratitis karena penggunaan lensa kontak.13,14,15

Gambar 2. (a) ulkus pseudomonas dengan 24 jam pemakaian lensa


kontak, (b) gambaran fluoresence tampak defect epithelial.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan kultur untuk mikroorganisme merupakan standar
baku emas untuk menegakkan diagnosis. Dilakukan dengan menggores
ulkus kornea dan bagian tepinya dengan menggunakan spatula steril
kemudian ditanam di media cokelat, darah dan agar Sabouraud,
kemudian dilakukan pengecatan dengan Gram. 2
Selain itu tes diagnostik yang lebih baru termasuk penggunaan
pewarna fluorescent, polymerase chain reaction (PCR), mungkin bisa
membantu dalam kasus tertentu. PCR telah dilaporkan dapat
mendeteksi mikroba DNA pada sebagian besar ulkus kornea bakteri dan
jamur. PCR mengidentifikasi organisme berpotensi patogen dalam
proporsi tinggi kasus bakteri gram negatif. 2
Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus dan
Streptococcus pneumonae bakteri ini umum menyebabkan keratitis
infektif. Dalam sebuah penelitian terbaru Enterococcus Keratitis
faecalis telah dilaporkan pada pasien dengan kelainan permukaan
kornea dan pemakaian kontak lensa.11
Kultur Bakteri biasanya dilakukan pada semua kasus pada
kunjungan pertama. Kultur untuk jamur, acanthamoeba, atau virus
dapat dikerjakan bila gambaran klinisnya khas atau bila tidak ada
respons terhadap terapi infeksi bakteri. Terapi yang tepat segera
diberikan setelah spesimen yang dibutuhkan diambil. Terapi tidak boleh
ditunda hanya karena organisme tidak teridentifikasi pada pemeriksaan
mikroskopik kerokan kornea. walaupun terapi hanya akan bersifat
empiris berdasarkan gambaran klinis yang terlihat.2
Terapi

Tabel 2 : Terapi antibiotik untuk Keratitis Bakteri7

Antibiotik sistematik jarang dibutuhkan, namun dapat


dipertimbangkan pada kasus yang parah, misalnya proses infeksi telah
menyebar kejaringan yang berdekatan (misalnya sklera) atau
didapatkan adanya ancaman perforasi pada pasien. Terapi sistemik
diperlukan dalam kasus gonococcal keratitis.10
Penipisan kornea parah dengan ancaman atau aktual perforasi
membutuhkan: Ciprofloxacin untuk aktivitas antibakterinya. Tetrasiklin
(misalnya doksisiklin 100 mg dua kali sehari) untuk efek
anticollagenase. Keterlibatan sklera dapat berespon dengan pemberian
oral ataupun intravena.1
Midriatik (siklopentolat 1%, hematropin 2% atau atropin 1%)
digunakan untuk mencegah pembentukan synechia dan untuk
mengurangi rasa sakit.1
b. Keratitis Jamur (fungi)
Keratitis jamur lebih jarang dibandingkan keratitis bacterial.
Dimulai dengan suatu trauma pada kornea oleh ranting pohon, daun dan
bagian tumbuh-tumbuhan. Ulkus kornea jamur, yang pernah banyak
dijumpai pada pekerja pertanian kini makin banyak dijumpai di antara
penduduk perkotaan sejak mulai dipakainya obat kortikosteroid dalam
pengobatan mata. Kebanyakan ulkus jamur disebabkan oleh organism
oportunis, seperti candida, fusarium, aspergillus, penicillium,
cephalosporium, dan lain-lain. Tidak ada ciri khas yang membedakan
macam-macam ulkus jamur ini.2,3
Gejala klinis
Keluhan baru timbul setelah 5 hari rudapaksa atau 3 minggu
kemudian. Pasien akan mengeluh sakit mata yang hebat, berair dan
silau. Pada mata akan terlihat infiltrate kelabu, seperti hipopion,
peradangan, ulserasi superfisial dan satelit bila terlihat didalam stroma.3
Pemeriksaan penunjang
Diagnosis pasti dibuat dengan pemeriksaan mikroskop dengan
KOH 10% kerokan kornea yang menunjukkan adanya hifa. Namun
kerokan dari dari ulkus candida, umumnya mengandung pseudohifa
atau bentuk ragi, yang menampakkan kuncup-kuncup khas.2,3
Terapi
Obat topical antifungi dapat menggunakan natamisin 5%
(keratitis jamur folamentosa, fusarium species) amphotesrisin B 0,15%-
0,30 % (keratitis yeast, aspergillus species). Diberikan pengobatan
sistemik ketoconazole (200-600 mg/hari) dan siklopegik. Bila disertai
peningkatan tekanan intraocular diberikan obat oral anti glaucoma.
Keratoplasti dilakukan jika tidak ada perbaikan. Penyulit yang dapat
terjadi adalah endoftalmitis.3

Gambar 3 :Lesi satelit pada Keratitis jamur.1

(a) (b)

Gambar 4. A. Usarium keratitis pada pasien laki-laki 45 tahun


didapatkan lesi satelit, hipopion di anterior dan posterior chamber. B.
Aspergillus flavus keratitis.

c. Keratitis Virus
Etiologi
Keratitis herpetic disebabkan oleh herpes simpleks dan herpes
zoster. Yang disebabkan herpes simpleks dibagi dalam 2 bentuk yaitu
epithelial dan stromal. Perbedaan ini akibat mekanisme kerusakannya
berbeda.3
Infeksi ocular Herpes Simplex Virus (HSV) pada pejamu
imunokompeten biasanya sembuh sendiri; pada pejamu yang lemah
imun, termasuk pasien yang diobati dengan kortikosteroid topikal,
perjalanannya dapat kronik dan merusak. Penyakit stroma dan endotel
tadinya diduga hanyalah sebagai respons imunologik terhadap partikel
virus atau perubahan selular akibat virus. Namun sekarang makin
banyak bukti yang menunjukkan bahwa infeksi virus aktif dapat timbul
didalam stroma dan mungkin juga dalam sel-sel endotel, selain di
jaringan-jaringan lain dalam segmen anterior, seperti iris dan endotel
trabekula. Ini menekankan pada kebutuhan untuk menilai peranan
relatif replikasi virus dan respons imun hospes sebelum dan selama
pengobatan penyakit herpes. Kebanyakan infeksi HSV pada kornea
disebabkan oleh HSV tipe 1 (penyebab herpes labialis), tetapi beberapa
kasus pada bayi dan dewasa dilaporkan disebabkan oleh HSV tipe 2
(penyebab herpes genitalis) Lesi kornea yang ditimbulkan oleh kedua
jenis ini tidak dapat dibedakan.2
Herpes Simpleks Virus (HSV) merupakan salah satu infeksi
virus tersering pada kornea. Virus herpes simpleks menempati manusia
sebagai host, merupakan parasit intraselular obligat, dapat ditemukan
pada mukosa, rongga hidung, rongga mulut, vagina dan mata.
Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan cairan dan jaringan mata,
rongga hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung virus.2,3
Virus herpes zoster dapat memberikan infeksi pada ganglion
gaseri saraf Trigeminus. Bila yang terkena saraf ofthalmik maka akan
terlihat gejala-gejala herpes zoster pada mata.3
Patofisiologi
Patofisiologi keratitis herpes simpleks dibagi dalam 2 bentuk : 2,3

1) Pada epitelial: kerusakan terjadi akibat pembiakan virus


intraepitelial mengakibatkan kerusakan sel epitel dan membentuk
tukak kornea superfisial.
2) Pada stromal: terjadi reaksi imunologik tubuh pasien sendiri
terhadap virus yang menyerang. Antigen (virus) dan antibodi
(pasien) bereaksi didalam stroma kornea dan menarik sel leukosit
dan sel radang. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik
untuk merusak antigen (virus) yang juga akan merusak stroma di
sekitarnya. Hal ini sangat berkaitan dengan pengobatan dimana
pada yang epithelial dilakukan terhadap virus dan pembelahan
dirinya sedang pada keratitis stromal dilakukan pengobatan
menyerang virus dan reaksi radang2,3

Manifestasi Klinis
Pasien dengan HSV keratitis mengeluh nyeri, fotofobia,
penglihatan kabur, mata berair, mata merah, tajam penglihatan turun
terutama jika bagian pusat yang terkena.
Gejala pertama infeksi HSV biasanya adalah iritasi, fotofobia,
dan berair-mata. Bila kornea bagian sentral terkena, juga terjadi sedikit
gangguan penglihatan. Karena anestesi kornea umumnya timbul pada
awal infeksi, gejalanya mungkin minimal dan pasien mungkin tidak
datang berobat. Sering ada riwayat lepuh-lepuh demam atau infeksi
herpes lain, tetapi ulkus kornea terkadang merupakan satu-satunya
gejala pada infeksi herpes rekurens.2
Gejala dari keratitis herpes zoster yang terlihat pada mata adalah
rasa sakit pada daerah yang terkena dan badan terasa hangat,
penglihatan berkurang dan merah. Pada kelopak mata akan terlihat
vesikel dan infiltrate pada kornea. Vesikel tersebar sesuai dengan
dermatom yang dipersarafi saraf Trigeminus yang dapat progresif
dengan terbentuknya jaringan parut. Daerah terkena tidak melewati
garis meridian.3

(a) (b)
Gambar 5. (a) keratitis virus herpes simpleks (b) keratitis virus
herpes zoster.1,3

Pemeriksaan Penunjang
Kerokan dari lesi epitel pada keratitis HSV dan cairan dari lesi
kulit mengandung sel-sel raksasa multinuklear. Virus ini dapat
dibiakkan pada membran korio-allantois embrio telur ayam dan pada
banyak jenis lapisan sel jaringan misalnya sel Hela, tempat
terbentuknya plak-plak khas. Namun, pada kebanyakan kasus,
diagnosis dapat ditegakkan secara klinis berdasarkan ulkus dendritik
atau geografik yang khas dan sensasi kornea yang sangat menurun atau
hilang sama sekali. Metode PCR digunakan untuk identifikasi HSV dari
jaringan dan cairan, juga dari sel-sel epitel kornea, secara akurat.2

Gambar 6. Lesi dendritik Gambar 7. Lesi geografik


Terapi
Pada keratitis herpes zoster, pengobatan biasanya tidak spesifik
dan simptomatis, pengobatan dengan memberikan asiklovir.3
Sedangkan pada keratitis herpes simpleks dapat berupa :
1) Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah
debridement epithelial, karena virus berlokasi didalam epithelial.
Debridement juga mengurangi beban antigenic virus pada stroma
kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea namun epitel yang
terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan
aplikator berujung kapas khusus. Obat siklopegik seperti atropine
1% atau homatropin 5% diteteskan kedalam sakus konjungtiva,
dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap
hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya sembuh
umumnya dalam 72 jam.
2) Terapi Obat2
a) IDU (Idoxuridine) analog pirimidin (terdapat dalam larutan 1%
dan diberikan setiap jam, salep 0,5% diberikan setiap 4 jam)
b) Vibrabin: sama dengan IDU tetapi hanya terdapat dalam
bentuk salep
c) Trifluorotimetidin (TFT): sama dengan IDU, diberikan 1%
setiap 4 jam
d) Asiklovir (salep 3%), diberikan setiap 4 jam.
e) Asiklovir oral dapat bermanfaat untuk herpes mata berat,
khususnya pada orang atopi yang rentan terhadap penyakit
herpes mata dan kulit agresif.2
3) Terapi Bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk
rehabilitasi penglihatan pasien yang mempunyai parut kornea yang
berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah penyakit
herpes non aktif.2
d. Keratitis Acanthamoeba
Etiologi
Acanthamoeba adalah protozoa hidup bebas yang terdapat di
dalam air tercemar yang mengandung bakteri dan materi organik.
Infeksi kornea oleh Acanthamoebn biasanya dihubungkan dengan
penggunaan lensa kontak lunak, termasuk lensa hidrogel silikoru atau
lensa kontak rigid (permeabel-gas) yang dipakai semalaman, untuk
memperbaiki kelainan refraksi (orthokeratologi). Infeksi ini juga
ditemukan pada individu bukan pemakai lensa kontak setelah terpapar
air atau tanah yang tercemar.2
Gejala Klinik
Gejala awal adalah rasa nyeri yang tidak sebanding dengan
temuan klinisnya, kemerahan, dan fotofobia. Tanda klinis yang khas
adalah ulkus kornea indolen, cincin stroma, dan infiltrat perineural,
tetapi sering kali hanyaditemukan perubahan-perubahan yang terbatas
pada epitel kornea.2
Pemeriksaan penunjang
Diagnosis ditegakkan dengan biakan di atas media khusus (agar
nonnutrien yang dilapisi E coli). Pengambilan bahan lebih baik
dilakukan dengan biopsi kornea daripada kerokan kornea karena
kemungkinan diperlukan pemeriksaan histopatologik untuk menemukan
bentuk-bentuk amuba (trofozoit atau kista). Sitologi impresi dan
confocal microscopy adalah teknik-teknik diagnostik yang lebih
modem. Larutan dan tempat lensa kontak harus dikultur.2
Terapi
Debridement epitel bisa bermanfaat pada tahap awal penyakit.
Terapi dengan obat umumnya dimulai dengan isethionate propamidine
topikal (larutan 1%) secara intensif dan salah satu dari
polyhexamethylene biguanide (larutan 0,01,-0,02%) dan tetes mata
neomycin Forte. Acanthamoeba spp mungkin menunjukkan sensitivitas
obat yang bervariasi dan dapat menjadi resisten terhadap obat. Terapi
juga terhambat oleh kesanggupan organisme membentuk kista di dalam
stroma kornea sehingga memerlukan terapi yang lama. Mungkin
diperlukan keratoplasti pada penyakit yang telah lanjut untuk
menghentikan progresivitas infeksi, atau setelah penyakit mengalami
resolusi dan terbentuk parut untuk memulihkan pengtihatan.
Transplantasi selaput amnion mungkin bermanfaat pada defek epitel
persisten. Begitu organisme ini mencapai sklera, terapi obat dan bedah
biasanya tidak berguna lagi.2

(a.) (b.)
Gambar 8 : (a.) Ring infiltrat pada keratitis acanthamoeba.(b.) Radial
perineuritis pada ulkus kornea acanthamoeba.9

Tabel 3. Treatment keratitis.4


 Klasifikasi keratitis berdasarkan lapisan kornea yang terkena, yaitu:
a. Keratitis epithelial
Epitel kornea terlibat pada sebagian besar jenis konjungtivitis
dan keratitis dan pada kasus tertentu mungkin merupakan satu-satunya
jaringan yang terkena (misalnya pada keratitis pungtata superficialis).
Perubahan pada epitel sangat bervariasi, dari edema biasa dan vakuolasi
sampai erosi-erosi kecil, pembentukan filamen, keratinisasi parsial,dll.
Lokasi lesi-lesi itu juga bervariasi pada komea. Semua variasi ini
mempunyai makna diagnostik yang penting dan pemeriksaan slitlamp
dengan dan tanpa pulasan fluorescein hendaknya merupakan bagian
dari setiap pemeriksaan luar mata.2
 Keratitis Pungtata Superfisialis
Keratitis pungtata superfisial memberikan gambaran seperti
infiltrat halus bertitik-titik pada permukaan kornea. Merupakan cacat
halus kornea superfisial dan hijau bila diwarnai fluoresence.
Sedangkan keratitis pungtata subepitel adalah keratitis yang
terkumpul di daerah membran Bowman. Keratitis pungtata
superficial dapat disebabkan sindrom dry eye, blefaritis, keratopati
lagoftalmus, kercunan obat topikal (neomisin, tobramisin, ataupun
obat lainnya), sinar ultraviolet, trauma kimia ringan, dan pemakaian
lensa kontak. Pasien akan mengeluh sakit, silau, mata merah dan rasa
kelilipan. Pengobatan dengan pemberian air mata buatan, tobramisin
tetes mata, dan siklopegik.3
Terapi kortikosteroid topikal diindikasikan pada kondisi
peradangan di segmen anterior bola mata. Contohnya adalah
konjungtivitis alergika, uveitis, episkleritis, skleritis, fliktenulosis,
keratitis punctata superfisiaf keratitis interstisial, dan konjungtivitis
vemalis. Efek samping terapi steroid lokal adalah eksaserbasi
keratitis herpes simpleks, keratitis jamur, pembentukan katarak
(tidak umum), dan glaukoma sudut terbuka (sering). Efek-efek ini
lebih ringan pada terapi steroid sistemik. Setiap pasien yang
menerima terapi kortikosteroid okular lokal atau terapi kortikosteroid
sistemik jangka-panjang harus dalam pengawasan seorang ahli
oftalmologi. Berikut ini disajikan sebagian daftar kortikosteroid
topikal untuk dipakai dalam oftalmologi: 2
(a.) Salep hidrokortison 0,5%, 0,12%, 0,125%, dan 1%.
(b.) Suspensi prednisolon asetat0,125% dan 1%.
(c.) Larutan prednisolon natrium fosfal 0,125% dan 1 %.
(d.) Suspensi deksametason natrium fosfat 0,1% salep 0,05%.
(e.) Suspensi medrysone 1%.
(f.) Suspensi fluorometolon 0,1% dan0,25%
(g.) Suspensi rimexalone 1%.

Gambar 9 : Keratitis pungtata Superfisialis.1

b. Keratitis Subepitelial
Ada beberapa jenis lesi subepitelial yang penting. Lesi-lesi ini
sering sekunder akibat keratitis epitelial (misalnya infiltrat subepitelial
pada keratokonjungtivitis epidemika, yang disebabkan oleh adenovirus 8
dan 19).2
c. Keratitis stromal
Respons stroma kornea terhadap penyakit, antara lain infiltrasi,
yang menunjukkan akumulasi sel-sel radang; edema tampak sebagai
penebalan kornea, pengeruhan, atau parut; "perlunakan" atau nekrosis,
yang dapat berakibat penipisan atau perforasi dan vaskularisasi.
Tampilan respons-respons tersebut kurang spesifik untuk menunjukkan
keberadaan penyakit jika dibandingkan dengan yangterlihat pada
keratitis epitelial, dan dokter sering harusmengandalkan pemeriksaan
laboratorium dan informasi klinis lain untuk menetapkan penyebabnya.2
d. Keratitis Endotelial
Disfungsi endotel kornea akan berakibat pada edema kornea,yang
mula-mula mengenai stroma dan kemudian epitel. Ini berbeda dari
edema kornea yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intraokular,
yang dimulai pada epitel dan diikuti stroma. Selama kornea tidak terlalu
sembab, kelainan morfologik endotel kornea sering masihdapat dilihat
dengan slitlamp. Sel-sel radang pada endotel (keratic precipitates, atau
KPs) tidak selalu menandakan adanya penyakit endotel karena sel
radang juga merupakan manifestasi dari uveitis anterior, yang bisa dan
bias juga tidak menyertai keratitis stromal.2

I. DIAGNOSIS
Kecurigaan akan adanya keratitis pada pasien dapat timbul pada pasien
yang datang dengan trias keluhan keratitis yaitu gejala mata merah, rasa silau
(fotofobia) dan merasa kelilipan (blefarospasma). Adapun radang kornea ini
biasanya diklasifikasikan dalam lapisan kornea yang terkena, seperti keratitis
superfisial dan interstisial atau profunda. Keratitis superfisial termasuk lesi
inflamasi dari epitel kornea dan membran bowman superfisial terkait.2
Fluoresein adalah pewarna khusus yang dipakai untuk memulas kornea
dan menonjolkan setiap ketidakteraturan pada permukaan epitelnya. Fluoresein
topikal merupakan larutan pewarna water-soluble yang non-toksik dantersedia
dalam berbagai bentuk, contohnya disertai dengan obat anestetik (benoxinate
or propracaine) atau dengan antiseptik (povidoneiodine). Secarik kertas steril
dengan fluoresein dibasahi dengan saline steril atau anestetik lokal dan
ditempelkan pada permukaan dalam palpebra inferior untuk memindahkan
pewarna kekuningan itu ke dalam lapis air mata.2
Flourenscein dapat melakukan penetrasi pada intraseluler kornea, namun
jika lapisan epitel kornea intak maka larutan flourensceins ini tidak bisa
menembus epitel. Larutan flourenscein ini lebih mudah diobservasi pada
kornea dibandingkan pada konjungtiva, maka pemeriksaan flourenscein ini
merupakan pemeriksaan yang dibutuhkan dalam mengevaluasi kelainan di
kornea. Larutan floresens diteteskan pada mata dan mata diperiksa dengan
menggunakan slit lamp ataupun dengan iluminasi terang dan melihat
menggunakan loup. Hal tersebut dapat memberikan gambaran defek epithelial.
Pola distribusi flouresensi yang spesifik dapat sebagai informasi yang berguna
dalam menegakkan kemungkinan etiologi dan keratitis pungtata superfisial.16
Pemeriksaan laboratorium dengan melakukan kultur dari flora kornea
dilakukan selama terjadi inflamasi aktif dapat membantu dalam penelitian
selanjutnya akan tetapi hal tersebut tidak begitu signifikan dalam penegakan
diagnosis dan penatalaksana penyakit keratitis pungtata superfisial.
Pemeriksaan pencitraan dengan menggunakan fotografi slit lamp untuk
mendokumentasikan inflamasi aktif dan periode inaktivitas dapat dilakukan
tapi hal tersebut juga tidak begitu penting dalam penegakan diagnosis maupun
penanganan penyakit.17

G. Differential Diagnosis
a.Uveitis Anterior
Uveitis anterior adalah peradangan mengenai iris dan jaringan
badan siliar (iridosiklitis) biasanya unilateral dengan onset akut. Penyebab
dari iritis tidak dapat diketahui dengan melihat gambaran klinisnya saja.
Iritis dan iridosiklitis dapat merupakan suatu manifestasi klinik reaksi
immunologi terlambat, dini atau sel mediated terhadap jaringan uvea
anterior. Pada kekambuhan atau rekuren terjadi reaksi immunologi
humoral. Bakterimia atau viremia dapat menimbulkan iritis ringan. Yang
bila kemudian terdapat antigen yang sama dalam tubuh akan dapat timbul
kekambuhan.3
Penyebab uveitis anterior akut dibedakan dalam bentuk
nongranulomatosa dan granulomatosa akut-kronis. Nongranulomatosa akut
disertai rasa nyeri, fotofobia, penglihatan buram keratik presipitat kecil,
pupil mengecil sering terjadi kekambuhan. Penyebab dapat oleh trauma,
diare kronis, penyakit reiter, herpes simpleks, sindrom Bechet, sindrom
Posner Schlosman, pascabedah, infeksi adenovirus, parotitis, influenza,
dan klamida. Nongranuomatosa kronis dapat disebabkan artritis
rheumatoid dan fuchs Heterokromik iridosiklitis.3
Granulomatosa akut tidak nyeri, fotofobia ringan. Buram, keratik
presipitat besar (mutton fat) benjolan Koeppe (penimbunan sel pada tepi
pupil) atau benjolan Busacca (penimbunan sel pada permukaan iris) terjadi
akibat sarkoiditis, sifilis, tuberculosis, virus, jamur (histoplasmosis) atau
parasite (toksoplasmosis). 3
Uveitis terjadi mendadak atau akut berupa mata merah dan sakit,
ataupun datang perlahan dengan mata merah dan sakit ringan dengan
penglihatan turun perlahan-lahan. Iridosiklitis kronis merupakan episode
rekuren dengan gejala akut yang ringan atau sedikit. Keluhan pasien pada
uveitis anterior akut mata sakit, merah, fotofobia, penglihatan turun ringan
dengan maat berair, dan mata merah. Keluhan sukar melihat dekat pada
pasien uveitis akibat ikut merdangnya otot-otot akomodasi. Perjalanan
penyakit uveitis adalah sangat khas yaitu penyakit berlangsung hanya 2-4
minggu, kadang-kadang penyakit ini memperlihatkan gejala-gejala
kekambuhan atau menjadi menahun. 3
Diperlukan pengobatan segera untuk mencegah kebutaan.
Pengobatan uveitis anterior adalah dengan steroid yang diberikan pada
siang hari bentuk tetes, dan malam hari bentuk salep. Steroid sistemik bila
perlu diberikan dosis tunggal seling sehari yang tinggi dan kemudian
diturunkan sampai dosis efektif. Steroid dapat juga diberikan
subkonjungtiva dan peribulbar. Pemberian steroid untuk jangka lama
dibagi dapat mengakibatkan timbulnya katarak, glaucoma dan midriasis
pada pupil. Siklopegik diberikan untuk mengurnangi rasa sakit, melepas
sinekia yang terjadi, memberi istirahat pada iris yang meradang.
Pengobatan spesifik diberikan bila kuman penyebaba diketahui. 3
Penyulit uveitis anaterior adalah terbentuknya sinekia posterior dan
sinekia anterior perifer yang akan mengakibatkan glaucoma sekunder.
Glaucoma sekunder sering terjadi pada uveitis akibat tertutupnya
trabekulum oleh sel radang atau sisa sel radang. Kelainan sudut dapat
dilihat dengan pemeriksaan goinioskopi. Bila terdapat glaucoma skeunder
adiberi asetazolamida. 3

Gambar 10 : Uveitis anterior.1


b. Konjungtivitis
Konjungtivitis merupakan radang konjungtiva atau radang selaput
lendir yang menutupi belakang kelopak dan bola mata, dalam bentuk akut
maupun kronis. Penyebab konjungtivitis anatara lain bakteri, klamidia,
alergi, virus toksik, berkaitan dnegan penyakit sistemik.3
Gambaran klinis yang terlihat pada konjungivitis dapat berupa
hiperemi konjungtiva bulbi (injeksio konjungtiva), lakrimasi, eksudat
dengan sekret yang lebih nyata di pagi hari, pseudoptosis akibat kelopak
membengkak, kemosis, hipertofi papil, folikel, membrane,
pseudomembran, granulasi, flikten, mata merasa seperti adanya benda
asing dan adenopati periaurikular. Biasanya sebagai reaksi konjungtivitis
akibat virus berupa terbentuknya folikel pada konjungtiva. Bilik mata dan
pupil dalam bentuk yang normal.3
Pengobatan kadang-kadang diberikan sebelum pemeriksaan
mikrobiologi dengan antibiotik tunggal seperti Neosporin, basitrasin,
gentamisin, kloramfenicol, tobromisin, eritromisin, dan sulfa. Bila
pengobatan tidak memebrikan hasil dengan antibiotik setelah 3-5 hari
maka pengobatan dihentikan dan ditungu hasil pemeriksaan
mikrobiologik. Bila terjadi penyulit pada kornea maka diberikan
siklopegik. Pada konjungtivitis bakteri sebaiknya dimintakan pemeriksaan
sediaan langsung dan bila ditemukan kumannya,maka pengobatan
disesuaikan. Apabila tidak ditemukan kuman dalam sediaan langsung,
maka diberikan antiiotik spectrum luas dalam bentuk tetes mata tiap jam
atau salep amat 4 sampai 5 kali sehari. Apabila dipakai tetes mata,
sebaiknya sebelum tidur, diberi salep mata (sufasetamid 10-15% atau
kloramfenicol). Apabila tidak sembuh dalam satu minggu bila mungkin
dilakukan pemeriksaan resistensi, kemungkinan, defesiensi air mata atau
kemungkinan obstruksi ductus nasolakrimalis.3

Gambar 11. Konjungtivitis

H. KOMPLIKASI
Komplikasi keratitis dapat berupa :12
1. Hipopion: sebagai proses perluasan pada kasus yang tidak diobati, jaringan
uveal anterior yang disusupi oleh limfosit, sel-sel plasma dan PMNLs
bermigrasi melalui iris ke kamera anterior.
2. Penyembuhan: membentuk jaringan parut atau sikatriks di lokasi
sebelumnya sekiranya jejas terjadi melebihi epitel, melewati stroma.
Sikatriks yang dapat dibagi menjadi 3 yaitu nebula di epitel, macula di
subepitel dan leukoma di stroma.
3. Ulkus kornea
4. Descemetocoele: membran descemet yang tahan terhadap collagenolysis
dan mengalami perbaikan dengan pertumbuhan epitel kearah anterior
membran kornea, Kondisi ini lebih umum sebagai sekuel keratitis virus
5. Perforasi
I. PROGNOSIS
Dengan pengobatan dini yang memadai, banyak jenis keratitis dapat
sembuh dengan sedikit atau tanpa bekas luka sama sekali, secara umum
prognosis dari keratitis superfisialkarena tidak terdapat jaringan parut ataupun
vaskularisasi dari kornea. Sesuai dengan metode penanganan yang
dilaksanakan prognosis dalam hal visus pada pasien dengan keratitis herpetika
sangat baik. Jika infeksi mengenai bagian mata yang lain, terapi tambahan
mesti dilakukan untuk menyingkirkan infeksi.2
BAB IV

KESIMPULAN

Keratitis adalah radang pada kornea atau infiltrasi sel radang pada kornea
yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh sehingga tajam penglihatan
menurun. Adapun trias keratitis berupa fotofobia, lakrimasi dan blefarospasme.
Keratitis merupakan suatu infeksi pada kornea yang ditandai dengan adanya
infiltrat yang disebabkan oleh beberapa faktor. Berdasarkan lapisan kornea yang
terkena berupa keratitis epithelial, keratitis subepitelial, keratitis stromal, dan
keratitis endothelial. Sedangkan berdasarkan penyebabnya keratitis digolongkan
menjadi keratitis bakterialis, keratitis fungal, keratitis viral, keratitis
acanthamoeba dan keratitis akibat alergi..
Gejala umum keratitis adalah visus turun mendadak, mata merah, rasa
silau, dan merasa ada benda asing di matanya. Gejala khususnya tergantung dari
jenis-jenis keratitis yang diderita oleh pasien. Gambaran klinik masing-masing
keratitis pun berbeda-beda tergantung dari jenis penyebab dan tingkat kedalaman
yang terjadi di kornea. Terapi keratitis berupa pemberian antibiotik spektrum luas
jika pada pemerikasan slit lamp dapat mengeleminasi keratitis akibat virus
maupun jamur, selanjutnya melakukan kultur untuk menentukan jenis antibiotik
yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bowling, B. Kanki’s Clinical Opthalmology. A systemic Approach, eighth


Edition. USA. 2016.
2. Roderick B. Kornea. In: Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum Edisi 17.
Jakarta : EGC. 2009.
3. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata edisi ke empat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2013.
4. Paul R, James J. Vaughan and Asbury’s General Ophthalmology 19th ed.
Lange. 2018.
5. Deepak M, Prashant B, MK Singh. Essential in Ophthalmology. India:
Elsevier. 2019.
6. Paulsen F, Waschke J. Sobotta atlas anatomi manusia 23 ed. Jakarta: EGC.
2013.
7. Louis B, Christopher J, George A. External Disease and Cornea. USA:
American Academy of Ophthalmology. 2018.
8. Lee Ann R. Clinical Anatomy and Physiology of the Visual System 3 ed.
USA: Elsevier. 2012.
9. Abdullah Al-Mujaini, Nadia Al-Kharusui, etc. Bacterial Keratitis:
Perspective on epidemiology, Clinico-Pathogenesis, Diagnosis and
Treatment, Vol. 9. Depertemen of Opthalmology. 2009.
10. Snell, S.R. Anatomi Klinis Berdasarkan system. Jakarta: EGC. 2012.
11. Arteaga, A.P., Sharma, A. Instant Clinical Diagnosis in Opthalmology,
Anterior Segment Disease. India: Chandigarh. 2010.
12. Lang GK. Cornea. Ophthalmology A Short Textbook Atlas. 2nd edition.
Stuttgart ; thieme. 2007.
13. Scott G, Hauswirth. Combating Bacterial Keratitis. Review of optometry.
2016. Sumber: http://www.reviewofoptometry.com. Diakses pada tanggal 28
Januari 2019.
14. Nathan E. Contact Lens Complication. Elsevier. 2012. Sumber:
http://www.sciencedirect.com. Diakses pada tanggal 28 Januari 2019.
15. Hadassah Janumala, Praveen Kumar Sehgal and Asit Baran Mandal.
Bacterial Keratitis: Causes, Symptoms and Treatment. India: Researchgate.
2012. Sumber: https://www.researchgate.net/publication/224830712. Diakses
pada tanggal 28 Januari 2019.
16. Pflugfelder, Stephen C. Beuerman, Roger W. Stren, Michael S. Dry Eye and
Ocular Surface Disorder. Marcell Dekker. 2008. p. 285-95
17. Lang GK. Cornea. In : Lang GK. Ophthalmology A Pocket Textbook Atlas.
2nd edition. Stuttgart ; thieme ; 2008. p. 115-60

Anda mungkin juga menyukai