Anda di halaman 1dari 36

SMF Bagian Ilmu Penyakit Mata Referat

RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang 9 Januari 2019


Fakultas Kedokteran
Universitas Nusa Cendana

KERATITIS

Disusun Oleh

Putri Intan Atasoge, S.Ked


(1408010027)

Pembimbing :

dr. Eunike Cahyaningsih, Sp.M


dr. Indriani Kartika Dewi, Sp.M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA
RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES
KUPANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Referat ini diajukan oleh :


Nama : Putri Intan Atasoge
NIM : 1408010029
Judul : Keratitis

Telah berhasil dibacakan dan dipertahankan di hadapan para pembimbing klinik sebagai
bagian persyaratan yang diperlukan untuk mengikuti ujian komprehensif di bagian Ilmu
Penyakit Mata RSUD. Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang

Kupang. Januari 2019


Mengetahui

Pembimbing Pembimbing

dr. Eunike Cahyaningsih, Sp. M dr. Indriani Kartika Dewi, Sp.M


BAB I
PENDAHULUAN

Kornea merupakan salah satu media refraksi mata yang dilalui cahaya, dalam
perjalanan pembentukan bayangan di retina dan proses pembiasan sinar. Kelainan yang bisa
merusak bentuk dan kejernihan kornea dapat menimbulkan gangguan penglihatan, yang bila
kelainan tersebut tidak diobati maka dapat menyebabkan kebutaan.
Keratitis adalah peradangan pada kornea(1). Infiltrasi sel radang pada kornea akan
mengakibatkan kornea menjadi keruh. Kekeruhan ini akan menimbulkan gejala mata merah
dan tajam penglihatan akan menurun.
Keratitis merupakan penyebab utama terjadinya gangguan penglihatan dan kebutaan
yang terjadi di negara-negara berkembang(2). Sedangkan di negara maju, kekeruhan kornea,
yang sebagian besar disebabkan oleh keratitis adalah penyebab utama keempat kebutaan dan
bertanggung jawab atas 10% penurunan tajam penglihatan yang seharusnya dapat
dihindari.(3,4)
Di Amerika Serikat, keratitis sering dikaitkan dengan pemakaian lensa kontak(5),
tetapi dalam negara berkembang lebih sering disebabkan oleh trauma okuli yang tidak
ditangani dengan tepat(6). Insiden tahunan keratitis di negara maju telah meningkat karena
tingkat penggunaan lensa kontak yang tinggi, sekitar 2 - 11 per 100.000 penduduk per tahun.
Sebuah studi dari Hong Kong menemukan kejadian tahunan 0,63 per 10.000 penduduk dan
3,4 per 10.000 pada pemakai lensa kontak.(7)
Keratitis dapat diakibatkan oleh berbagai organisme bakteri,virus, jamur, atau
parasit.. Meskipun jarang, keratitis ini juga dapat timbul setelah cedera akibat pemakaian
lensa kontak. Berdasarkan lokasinya, keratitis secara garis besar dapat dibagi menjadi
keratitis pungtata, keratitis marginal dan keratitis interstitial.
Gambaran klinik masing-masing keratitis berbeda-beda tergantung dari jenis
penyebab dan lokasi kedalaman di kornea, Jika keratitis tidak ditangani dengan benar maka
penyakit ini akan berkembang menjadi suatu ulkus yang dapat merusak kornea secara
permanen sehingga akan menyebabkan gangguan penglihatan bahkan dapat sampai
menyebabkan kebutaan. Sehingga pengobatan keratitis haruslah cepat dan tepat agar tidak
menimbulkan komplikasi yang merugikan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Kornea dalam bahasa latin “cornum” artinya seperti tanduk, merupakan selaput
bening mata, bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya, merupakan lapis dari jaringan
yang menutup bola mata sebelah depan, dari anterior ke posterior,

Kornea adalah bagian selaput mata yang tembus cahaya, bersifat avaskular dan
transparan, yang menutupi bola mata bagian depan. Kornea menempati 1/6 dari jaringan
fibrosa bagian depan dari bola mata. Bagian anterior dari kornea berbentuk elips dengan
diameter rata-rata 12 mm horizontal dan 11.5 mm vertikal. Ketebalannya adalah 540 μm
dibagian sentral, dan lebih tebal hingga ke perifer. Ketebalan sentral kornea bervariasi setiap
individu dan merupakan penentu utama tekanan intraokular (IOP) diukur dengan teknik
konvensional. (8)
Kornea merupakan lensa cembung dengan kekuatan refraksi sebesar + 43 dioptri.
Batas antara sclera dan kornea disebut limbus kornea. Sifat kornea yang dapat ditembus
cahaya ini disebabkan oleh struktur kornea yang uniform, avaskuler dan diturgesens.
Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa”
bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel.(9) Kornea memiliki
indeks refraksi1,37. Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri
(D)dari total 58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Kornea bersifat avaskuler, maka sumber-
sumber nutrisi kornea berasal dari pembuluh-pembuluh darah limbus, humor aquaeus dan air
mata. Kornea adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf
terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva. (10)
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama
dari percabangan pertama (oftalmika) dari nervus kranialis V (trigeminus) yang berjalan
supra koroid, masuk kedalam stroma kornea, menembus membran bowman dan melepaskan
selubung schwannya. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan didaerah limbus.
Kornea terdiri atas lima lapisan dari anterior ke posterior yaitu: lapisan epitel (yang
bersambung dengan lapisan epitel konjungtiva bulbaris), membran bowman, stroma,
membran descemet dan lapisan endotel.(1)

1. Epitel(1)
- Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel “stratified squamous” tidak bertanduk
yang saling tumpang tindih yang terdiri dari satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel
gepeng. Sel bersifat fat soluble substance.
- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal
berkaitan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui
desmosom dan makula okluden.Ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan
glukosa yang merupakan barrier.
- Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi
gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
- Ujung saraf kornea berakhir di epitel, oleh karena itu kelainan pada epitel akan
menyebabkan gangguan sensibilitas korena serta rasa sakit dan mengganjal. Daya
regenerasi epitel juga cukup besar.
- Epitel berasal dari ektoderm permukaan.

2. Membran Bowman(1)
- Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
- Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.
- Kerusakan pada lapisan ini akan berakhir dengan terbentuknya jaringan parut.

3. Stroma(1)
- Stroma merupakan lapisan yang paling tebal dari kornea, mencakup sekitar 90% dari
ketebalan kornea. Bersifat water soluble substance. Terdiri atas jaringan kolagen
yang tersusun atas lamel-lamel yang sejajar satu dengan yang lainnya, pada
permukaannya terlihat anyaman yang teratur sedang dibagian perifer serat kolagen
bercabang. terbentuknya serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang
sampai 15 bulan.
- Stroma bersifat higroskopis yang menarik air, kadar air diatur oleh fungsi pompa sel
endotel dan penguapan oleh sel epitel.
- Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast terletak di antara
serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen
dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
4. Membran Descemet(1)
- Merupakan membran aselular yang tipis, kenyal, kuat dan bening, terletak dibawah
stroma dan pelindung atau barrier infeksi dan masuknya pembuluh darah.
- Merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan
membran basalnya. Membran ini sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup,
mempunyai tebal 40m.

5. Endotel(1)
Merupakan lapisan kornea yang penting untuk mempertahankan kejernihan kornea,
mengatur cairan didalam stroma kornea dan tidak mempunyai daya regenerasi, sehingga
endotel mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh endotel
dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi dapat menjaga
keseimbangan cairan akibat gangguan sistem pompa endotel, maka stroma akan bengkak
karena kelebihan cairan (edema kornea) dan hilangnya transparansi (kekeruhan) akan terjadi.
Endotel dapat rusak atau terganggu fungsinya akibat trauma bedah, penyakit intraokuler dan
usia lanjut. Lapisan endotel berasal dari mesotalium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk
heksagonal dengan tebal 20-40m. Endotel melekat pada membran descmet melalui hemi
desmosom dan zonula okluden.

Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus,
saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma
kornea, menembus membran Bowman melepaskan selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel
dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk
sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah
limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan
mengakibatkan sistem pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi
edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi. Pembiasan sinar terkuat dilakukan
oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk dilakukan oleh
kornea.(1)
2.2 FISIOLOGI KORNEA (9)
Kornea mempunyai dua fungsi utama yaitu sebagai medium refraksi dan untuk
memproteksi lensa intraokular. Kornea menjalankan dua fungsi utama ini dengan cara
mempertahankan sifat transparansi kornea dan pergantian dari jaringannya. Transparansi
kornea dimungkinkan oleh sifatnya yang avaskuler, memiliki struktur yang uniform yang
sifat deturgescence – nya. Sifat deturgescence (keadaan dehidrasi) di jaga dengan pompa
bikarbonat aktif dari endotel dan fungsi barrier dari epitel dan endotel. Dalam mekanisme
dehidrasi ini, endotel jauh lebih penting daripada epitel. Kerusakan kimiawi atau fisis pada
endotel berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel
endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, kerusakan
pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang akan meghilang bila
sel-sel epitel telah beregenerasi. Kornea di jaga agar tetap berada pada keadaan “basah”
dengan kadar air sebanyak 78%. Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya
mikroorganisme kedalam kornea. Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan
membran Bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai macam organisme, seperti bakteri,
virus, parasit, dan jamur
Peran kornea dalam proses refraksi cahaya bagi penglihatan seseorang sangatlah penting.
Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 43,25 dioptri dari total 58,6 kekuatan
dioptri mata normal manusia, atau sekitar 74% dari seluruh kekuatan dioptri mata normal.
Hal ini mengakibatkan gangguan pada kornea dapat memberikan pengaruh yang cukup
signifikan dalam fungsi visus seseorang. Kornea merupakan struktur vital dari mata dan oleh
karenanya kornea sangat sensitif. Saraf – saraf kornea masuk dari stroma kornea melalui
membran bowman dan berakhir secara bebas diantara sel – sel epithelial serta tidak memiliki
selebung myelin lagi sekitar 2 – 3 mm dari limbus ke sentral kornea, sehingga menyebabkan
sensitifitas yang tinggi pada kornea.
Kornea menerima suplai sensoris dari bagian oftalmik nervus trigeminus. Sensasi taktil
yang terkecil pun dapat menyebabkan refleks penutupan mata. Setiap kerusakan pada kornea
(erosi, penetrasi benda asing atau keratokonjungtivitis ultraviolet) mengekspose ujung saraf
sensorik dan menyebabkan nyeri yang intens disertai dengan refleks lakrimasi dan penutupan
bola mata involunter. Trias yang terdiri atas penutupan mata involunter (blepharospasme),
refleks lakrimasi (epiphora) dan nyeri selalu mengarahkan kepada kemungkinan adanya
cedera kornea.
Seperti halnya lensa, sklera dan badan vitreous, kornea merupakan struktur jaringan yang
braditrofik, metabolismenya lambat dimana ini berarti penyembuhannya juga lambat.
Metabolisme kornea (asam amino dan glukosa) diperoleh dari 3 sumber, yaitu :
 Difusi dari kapiler – kapiler disekitarnya
 Difusi dari humor aquous
 Difusi dari film air mata
Tiga lapisan tear film prekornea memastikan bahwa kornea tetap lembut dan membantu
nutrisi kornea. Tanpa tear film, permukaan epitel akan kasar dan pasien akan melihat
gambaran yang kabur. Enzim lisosom yang terdapat pada tear film juga melindungi mata
dari infeksi.

Adapun faktor-faktor yang sering menyebabkan kelainan pada kornea adalah:


1. Dry eye
Kelainan ini muncul ketika lapisan air mata mengalami defisiensi sehingga tidak dapat
memenuhi batas-batas kecukupan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, yang kemudian
diikuti dengan keluhan subjektif. Kekurangan cairan lubrikasi fisiologis merupakan faktor
yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi mikroba pada mata.

2. Defisiensi vitamin A
Kelainan kornea oleh karena defisiensi vitamin A dapat menyebabkan kekeringan yang
menggambarkan Bitot Spot’s yang warnanya seperti mutiara yang berbentuk segitiga dengan
pangkal di daerah limbus. Bitot Spot’s seperti ada busa di atasnya. Bercak ini tidak dibasahi
oleh air mata dan akan terbentuk kembali bila dilakukan debridement. Terdapat dugaan
bahwa bentuk busa ini merupakan akibat kuman Corynebacterium xerosis. Hipovitamin A ini
juga dapat menyebabkan keratomalasia dan tukak kornea dimana akan terlihat kornea
nekrosis dengan vaskularisasi ke dalamnya.

3. Abnormalitas ukuran dan bentuk kornea


Abnormalitas ukuran dan bentuk kornea yang terjadi adalah mikrokornea dan megalokornea.
Mikrokornea adalah suatu kondisi yang tidak diketahui penyebabnya, bisa berhubungan
dengan gangguan pertumbuhan kornea fetal pada bulan ke-5. Selain itu bisa juga
berhubungan dengan pertumbuhan yang berlebihan dari puncak anterior optic cup yang
meninggalkan sedikit ruang bagi kornea untuk berkembang. Mikrokornea bisa berhubungan
dengan autosomal dominan atau resesif dengan prediksi seks yang sama, walaupun transmisi
dominan lebih sering ditemukan. Megalokornea adalah suatu pembesaran segmen anterior
bola mata. Penyebabnya bisa berhubungan dengan kegagalan optic cup untuk tumbuh dan
anterior tip menutup yang meninggalkan ruangan besar bagi kornea untuk untuk diisi.

4. Distrofi kornea
Deposit abnormal yang disertai oleh perubahan arsitektur kornea, bilateral simetrik dan
herediter, tanpa sebab yang diketahui. Proses dimulai pada usia bayi 1-2 tahun dapat menetap
atau berkembang lambat dan bermanisfestasi pada usia 10-20 tahun. Pada kelainan ini tajam
penglihatan biasanya terganggu dan dapat disertai dengan erosi kornea.

5. Trauma kornea
Trauma kornea bisa disebabkan oleh trauma tumpul, luka penetrasi atau perforasi benda
asing. Kemungkinan kontaminasi jamur atau bakteri harus diingat dengan kultur untuk
bakteri dan jamur diambil pada saat pemeriksaan pertama jika memungkinkan. Trauma
tumpul kornea dapat menimbulkan aberasi, edema, robeknya membran Descemet dan laserasi
korneoskleral di limbus. Trauma penetrasi merupakan keadaan yang gawat untuk bola mata
karena pada keadaan ini kuman akan mudah masuk ke dalam bola mata selain dapat
mengakibatkan kerusakan susunan anatomik dan fungsional jaringan intraokular Perforasi
benda asing yang terdapat pada kornea dapat menimbulkan gejala berupa rasa perih dan sakit
pada mata. Keluhan ini mungkin terjadi akibat sudah terdapatnya keratitis atau tukak pada
mata tersebut.

2.3 Definisi(9)
Keratitis adalah peradangan pada kornea yang ditandai dengan adanya infiltrasi sel radang
yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh sehingga tajam penglihatan menurun. Mata
merah pada keratitis terjadi akibat injeksi pembuluh darah perikorneal yang dalam atau
injeksi siliar. Infeksi pada kornea bisa mengenai lapisan superficial yaitu pada lapisan epitel
atau membran bowman dan lapisan profunda jika sudah mengenai lapisan stroma.

2.4 Epidemiologi
Keratitis atau peradangan pada kornea adalah permasalahan mata yang cukup sering
dijumpai mengingat lapisan kornea merupakan lapisan yang berhubungan langsung dengan
lingkungan luar sehingga rentan terjadinya trauma ataupun infeksi. Insidensi dari keratitis di
negara berkembang lebih tinggi dibandingkan negara maju, berkisar antara5,9-20,7 per
100.000 orang tiap tahun. Frekuensi keratitis di Amerika Serikat sebesar 5% di antara seluruh
kasuskelainan mata. Di Nepal diperkirakan mencapai 799 per 100.000 orang per tahun.
Insidensi keratitis pada tahun 2017 adalah 5,3 per 100.000 penduduk di Indonesia.
Perbandingan laki-laki dan perempuan tidak begitu bermakna pada angka kejadian keratitis.
Sedangkan predisposisi terjadinya keratitis antara lain terjadi karena trauma, pemakaian lensa
kontak dan perawatan lensa kontak yang buruk, penggunaan lensa kontakyang berlebihan,
Herpes genital atau infeksi virus lain, kekebalan tubuh yangmenurun karena penyakit lain,
serta higienis dan nutrisi yang tidak baik.

2.5 Etiologi(1)
Keratitis dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya:
 Bakteri
 Virus.
 Jamur.
 Parasit
 Paparan sinar ultraviolet seperti sinar matahari.
 Iritasi dari penggunaan berlebihan lensa kontak.
 Mata kering yang disebabkan oleh kelopak mata robek atau tidak cukupnya
pembentukan air mata.
 Reaksi alergi atau mata yang terlalu sensitif terhadap kosmetik mata, debu,
polusi atau bahan iritatif lain
 Adanya benda asing di mata.

2.6 Patofisiologi
Terdapat beberapa kondisi yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya inflamasi
pada kornea seperti blefaritis, perubahan pada barrier epitel kornea (dry eyes), penggunaan
lensa kontak, lagopthalmos, trauma dan penggunaan preparat imunosupresif topical maupun
sistemik. Kornea mendapatkan pemaparan konstan dari mikroba dan pengaruhlingkungan,
oleh sebab itu untuk melindunginya kornea memiliki beberapamekanisme pertahanan.
Mekanisme pertahanan tersebut termasuk refleks berkedip, fungsi antimikroba film air
mata (lisosim), epitel hidrofobik yang membentuk barrier terhadap difusi serta kemampuan
epitel untuk beregenerasi secara cepat dan lengkap.
Epitel adalah barrier yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam
kornea.Pada saat epitel mengalami trauma, struma yang avaskuler dan lapisan bowman
menjadi mudah untuk mengalami infeksi dengan organismeyang bervariasi, termasuk bakteri,
parasit dan jamur. Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan
tidaksegera datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Maka
badan kornea,wandering cell dan sel-sel lain yangterdapat dalam stroma kornea, segera
bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang
terdapat dilimbus dan tampaks ebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi
dari sel-selmononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yangmengakibatkan
timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas
tak jelas dan permukaan tidak licin. Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion (umumnya
berupa pus yangakan berakumulasi pada lantai dari bilik mata depan) dan selanjutnya
agen pathogen akan menginvasi seluruh kornea. Hasilnya stroma akan mengalamiatropi dan
melekat pada membarana descement yang relatif kuat dan akanmenghasilkan descematocele
yang dimana hanya membarana descement yang intak. Ketika penyakit semakin progresif,
perforasi dari membrane descement terjadi dan humor aquos akan keluar. Hal ini disebut
ulkus kornea perforate danmerupakan indikasi bagi intervensi bedah secepatnya. Pasien akan
menunjukkan gejala penurunan visus progresif dan bola mata akan menjadi lunak.
Ketika patogen telah menginvasi jaringan kornea melalui lesi kornea superfisial, beberapa
rantai kejadian tipikal akan terjadi, yaitu:
 Lesi pada kornea
 Patogen akan menginvasi dan mengkolonisasi struma kornea
 Antibodi akan menginfiltrasi lokasi invasi patogen
 Hasilnya akan tampak gambaran opasitas pada kornea dan titik invasi pathogen akan
membuka lebih luas dan memberikan gambaran infiltrasi kornea
 Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion (umumnya berupa pus yang akan
berakumulasi pada lantai dari bilik mata depan)
 Patogen akan menginvasi seluruh kornea.
 Hasilnya stroma akan mengalami atropi dan melekat pada membarana descement
yang relatif kuat dan akan menghasilkan descematocele dimana hanya membaran
descement yang intak.
 Ketika penyakit semakin progresif, perforasi dari membrane descement terjadi dan
humor aquos akan keluar. Hal ini disebut ulkus kornea perforata dan merupakan
indikasi bagi intervensi bedah secepatnya. Pasien akan menunjukkan gejala
penurunan visus progresif dan bola mata akan menjadi lunak.

2.7 Proses Penyembuhan Luka Pada Kornea


Penyembuhan luka merupakan proses fisiologis yang terdiri atas rentetan kejadian yang rumit
pada jaringan ikat. Tujuan penyembuhan luka adalah untuk mengembalikan anatomi dan
fungsi organ atau jaringan secepat dan sesempurna mungkin. Penyembuhan dapat
memerlukan waktu tahunan, dan dapat menyebabkan scar dengan tingkatan yang beragam.
Beberapa tahapan reaksi mengikuti luka, fase inflamasi akut, regenerasi/penyembuhan, dan
kontraksi.
 Fase inflamasi akut, dapat terjadi pada beberapa menit sampai jam. Bekuan darah
terbentuk sebagai respon pada jaringan aktivator. Neutrofil dan cairan masuk ke
ekstraselusar space. Makrofag memakan debris jairngan yang rusak, pembuluh
darah baru mulai terbentuk, dan fibroblast mulai memproduksi kolagen.
 Regenerasi adalah proses penggantian jaringan yang hilang, proses initerjadi hanya
pada jaringan yang terdiri atas sel-sel yang berkembang (e.gepitelium) yang selalu
membelah seumur hidup. Penyembuhan adalah proses restrukturisasi jaringan
oleh jaringan granulasi yang matur menjadi jaringan sikatrik.
 Akhirnya, kontraksi menyebabkan jairngan yang mengalami penyembuhan menyusut
sehingga sikatrik semakin kecil daripada jaringan yang sehat disekitarnya
Penyembuhan stroma kornea terjadi secara avaskular. Tidak seperti jaringan yang lain,
penyembuhan pada kornea terjadi karena jaringan fibrous. Setelah terjadinya luka pada
sentral kornea, neutrofil dibawa ke daerah luka oleh airmata, dan tepi luka mulai
membengkak. Faktor penyembuhan yang berasal dari pembuluh darah tidak
ditemukan. Matrik glicosaminoglikan, yaitu keratan sulfate dan konroitin sulfat, merusak
pinggiran luka. Fibroblas dari stroma mulai diaktivasi, akhirnya migrasi melewati luka,
menimbun kolagendan fibronektin. Kedua epitel dan endotelium sangat baik pada
penyembuhan luka disentral. Jika epitel tidak menutupi luka dalam beberapa hari,
proses penyembuhan stroma sangat terbatas dan lemah. Growth faktor dari epitelium
menstimulasi dan melanjutkan penyembuhan. Sel endotel akan menyilang melewati kornea
posterior. Sebagian sel digantikan selama proses mitosis.Endotelium membentuk lapisan baru
di bawah membran descement. Bila jarak luka tidak ditutupi membran descement, fibroblas
struma akan terus membelah hingga bilik mata depan, atau luka di posterior dapat tetap
terbuka secara permanen. Jaringan fibrin kolagen akan digantikan kolagen yang lebih kuat
pada beberapa bulan kemudian.

2.8. Klasifikasi Keratitis


Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal. Berdasarkan lapisan yang

terkena, keratitis dibagi menjadi(1):

1. Keratitis Pungtata (Keratitis Pungtata Superfisial dan Keratitis Pungtata Subepitel)


Keratitis pungtata adalah keratitis dengan infiltrat halus pada kornea yang dapat terletak
superfisial dan subepitel. Keratitis pungtata terkumpul di daerah Bowman, dengan
infiltrat berbentuk bercak-bercak halus. Keratitis pungtata superfisial memberikan
gambaran seperti infiltrat halus bertitik-titik pada permukaan kornea. Merupakan cacat
halus kornea superfisial dan hijau bila diwarnai fluoresein. Sedangkan keratitis pungtata
subepitel adalah keratitis yang terkumpul di daerah membran Bowman.

Keratitis pungatata superficial dengan fluorescein

Etiologi
Keratitis Pungtata ini disebabkan oleh hal yang tidak spesifik dan dapat terjadi pada
Moluskum kontangiosum, Akne rosasea, Herpes simpleks, Herpes zoster, Blefaritis
neuroparalitik, infeksi virus, vaksinisia, trakoma, trauma radiasi, dry eye, keratitis
lagoftalmos, keracunan obat seperti neomisin, tobramisin dan bahaya pengawet lainnya.

Gejala klinis
Dapat berupa rasa sakit, silau, mata merah, dan merasa kelilipan, epifora, bhlepharospasm,
konjungtivitis, penurunan visus dan pembengkakan kelopak mata atas.
Pemeriksaan
Penyakit ini ditandai kekerutan epitel yang meninggi berbentuk lonjong dan jelas yang
menampakkan bintik-bintik pada pemulasan dengan fluoresein, terutama di daerah pupil. Uji
fluoresein merupakan sebuah tes untuk mengetahui terdapatnya kerusakan epitel kornea.
Dasar dari uji ini adalah bahwa zat warna fluoresein akan berubah berwarna hijau pada media
alkali. Zat warna fluoresein bila menempel pada epitel kornea maka bagian yang terdapat
defek akan memberikan warna hijau karena jaringan epitel yang rusak bersifat lebih basa.
Kekeruhan subepitelial dibawah lesi epitel sering terlihat semasa penyembuhan epitel ini, uji
sensibilitas kornea juga diperiksa untuk mengetahui fungsi dari saraf trigeminus dan fasial.
Pada umumnya sensibilitas kornea juga akan menurun.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada keratitis pungtata superfisial pada prinsipnya adalah diberikan sesuai
dengan etiologi. Untuk virus dapat diberikan idoxuridin, trifluridin atau asiklovir. Untuk
bakteri gram positif pilihan pertama adalah cafazolin, penisilin G atau vancomisin dan bakteri
gram negatif dapat diberikan tobramisin, gentamisin atau polimixin B. Pemberian antibiotik
juga diindikasikan jika terdapat sekret mukopurulen yang menunjukkan adanya infeksi
campuran dengan bakteri. Untuk jamur pilihan terapi yaitu natamisin, amfoterisin atau
fluconazol. Selain terapi berdasarkan etiologi, pada keratitis pungtata superfisial ini
sebaiknya juga diberikan terapi simptomatisnya agar dapat memberikan rasa nyaman seperti
artificial tears, sikloplegik dan kortikosteroid.

2. Keratitis Marginal
Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan limbus. Penyakit infeksi
lokal konjungtiva dapat menyebabkan keratitis kataral atau keratitis marginal ini. Keratitis
marginal kataral biasanya terdapat pada pasien setengah umur dengan adanya
blefarokonjungtivitis. Bila tidak diobati dengan baik, maka dapat mengakibatkan ulkus
kornea dan biasanya bersifat rekuren.

Etiologi
Strepcoccus pneumonie, Hemophilus aegepty, Moraxella lacunata dan Esrichia.
Gejala klinis
Penderita akan mengeluhkan sakit, seperti kelilipan, lakrimasi, disertai fotofobia berat. Pada
mata akan terlihat blefarospasme pada satu mata, injeksi konjungtiva, infiltrat atau ulkus yang
memanjang, dangkal unilateral dapat tunggal ataupun multipel, sering disertai
neovaskularisasi dari arah limbus.
Pemeriksaan
Pemeriksaan kerokan kornea yang dipulas dengan pewarnaan Gram maupun Giemsa dapat
mengidentifikasi organisme, khususnya bakteri.

Penatalaksanaan
Pengobatan yang diberikan adalah antibiotika yang sesuai dengan penyebab infeksi lokalnya
dan steroid dosis ringan. Pada pasien dapat diberikan vitamin B dan C dosis tinggi.

3. Keratitis Interstisial

Adalah keratitis yang ditemukan pada jaringan kornea yang lebih dalam. Keratitis
interstitial merupakan kondisi serius dimana masuknya pembuluh darah ke dalam kornea dan
dapat menyebabkan hilangnya transparansi kornea. Keratitis interstitial dapat berlanjut
menjadi kebutaan.. Keratitis insterstisial biasa juga dikenal dengan keratitis nonsupuratif
profunda yang disertai neovaskularisasi. Atau juga disebut sebagai keratitis parenkimatosa.
Sifilis adalah penyebab paling sering dari keratitis interstitial (Hollwich, 1993).

Etiologi
Keratitis Interstisial dapat terjadi akibat alergi atau infeksi spiroket ke dalam stroma kornea
dan akibat tuberkulosis.

Gejala klinis
Biasanya akan memberikan gejala fotofobia, lakrimasi, radang kelopak mata, nyeri dan
menurunnya visus. Pada keratitis interstisial maka keluhan bertahan seumur hidup. Seluruh
kornea keruh sehinggairis sukar dilihat. Permukaan kornea nampak seperti permukaan kaca.
Terdapat injeksi siliar dengan serbukan pembuluh darah sehingga memberikan ga,baran
merah kusam atau disebut dengan “salmon patch”. Seluruh kornea dapat berwarna merah
cerah. Biasanya bilateral. Menurut Hollwich (1993) keratitis yang disebabkan oleh sifilis
kongenital biasanya ditemukan trias Hutchinson (mata: keratitis interstisial, telinga: tuli
labirin, gigi: gigi seri berbentuk obeng), sadlenose, dan pemeriksaan serologis yang positif
terhadap sifilis. Pada keratitis yang disebabkan oleh tuberkulosis terdapat gejala tuberkulosis
lainnya (Ilyas, 2004)

Pemeriksaan
Pemeriksaan kerokan kornea yang dipulas dengan pewarnaan gram maupun Giemsa dapat
mengidentifikasi organisme, khususnya bakteri.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaannya tergantung penyebab yaitu antibiotika, antijamur, dan antivirus.
Diberikan sulfat atropin tetes mat untuk mencegah sinekia akibat uveitis dan kortikosteroid
tetes mata

Klasifikasi keratitis berdasarkan penyebabnya, yaitu :


A. Keratitis Bakteri
Infeksi bakteri pada mata adalah kondisi umum dapat yang mengancam penglihatan. Jika
tidak diobati, maka sering menyebabkan kerusakan jaringan progresif dengan kornea
perforasi atau perluasan infeksi ke jaringan yang berdekatan. Keratitis bakteri adalah sering
dikaitkan dengan faktor risiko yang mengganggu integritas epitel kornea. Faktor-faktor
predisposisi yang umum termasuk pemakaian lensa kontak, trauma, dan kontaminasi obat
tetes mata. (10)
Patogen tersering yang menyebabkan keratitis bakterial meliputi(11):
• Pseudomonas aeruginosa adalah Gram-negatif dengan bentuk bacillus (batang) komensal
saluran pencernaan. Infeksi biasanya agresif dan menyumbang 60% keratitis akibat
pemakaian lensa kontak.
• Staphylococcus aureus adalah Gram-positif yang merupakn bakteri komensal dari nares,
kulit dan konjungtiva. Keratitis biasanya fokal dan berupa infiltrat putih atau kuning-putih
yang terlihat jelas.
• Streptokokus. S. pyogenes adalah Gram-positif yang komensal pada tenggorokan dan
vagina. S. Pneumoniae (pneumococcus) adalah komensal Gram-positif dari saluran
pernafasan atas. Infeksi dengan streptokokus sering terjadi agresif. (8)

Keratitis Bakterial Pseudomonas Keratitis

Gejala (1)
Pada keratitis bakteri biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri pada mata yang terinfeksi,
penglihatan silau, adanya sekret dan penglihatan berkurang, serta kelopak mata lengket setiap
bangun pagi (mucopurulent or purulent discharge). Pada pemeriksaan bola mata eksternal
ditemukan hiperemis perikornea, blefarospasme, edema kornea, infiltrasi kornea.

Pemeriksaan (8)
Dilakukan pemeriksaan kerokan kornea untuk apusan dan kultur bakteri. Pemeriksaan kultur
bakteri dilakukan dengan menggores ulkus kornea dan bagian tepinya dengan menggunakan
spatula steril kemudian ditanam di media cokelat (untuk Neisseria, Haemophillus dan
Moraxella sp), agar darah (untuk kebanyakan jamur, dan bakteri kecuali Neisseria) dan agar
Sabouraud (untuk jamur, media ini diinkubasi pada suhu kamar). Kemudian dilakukan
pewarnaan Gram

Pemeriksaan slit lamp: menggunakan floresoresin untuk menentukan apakah ada defek epitel
kornea, ukuran, kedalaman, dan lokasi infiltrat pada kornea; menilai bilik anterior dan
melihat hypopyon; dan mengukur TIO

Terapi(8)
Mata diirigasi dengan larutan warm saline 2 hingga 3 kali sehari. Berguna untuk
menghilangkan discharge dan jaringan nekrotik bersamaan dengan mikroorganisme dan
racunnya. Warm saline digunakan mencegah stasis pembuluh darah dan mendorong aliran
antibodi.(12.) Dapat diberikan inisial antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil kultur
bakteri. Berikut tabel pengobatan inisial antibiotik yang dapat diberikan:
B. Keratitis Jamur
Keratitis lebih jarang terjadi dibandingkan keratitis bakterial. Biasanya dimulai
dengan adanya trauma pada kornea oleh ranting pohon, daun, dan bagian tumbuh-
tumbuhan(1). Aspergillus fumigatus, Candida albicans, Fusarium, Cephalosporium dan
beberapa spesies dermatofit yang dapat menyebabkan keratitis jamur.
Keratitis jamur jarang terjadi di negara-negara beriklim sedang namun sebaliknya
negara-negara tropis dan berkembang.(8).Keratitis jamur dapat menimbulkan respon inflamasi
yang parah dan perforasi kornea sering terjadi. Dua jenis utama jamur menyebabkan
keratitis(8):
• Ragi (mis. Genus Candida), merupakan organisme uniseluler ovoid yang memiliki
pseudohifa dan tunas, bertanggung jawab untuk sebagian besar kasus keratitis jamur di
daerah beriklim sedang.
• Jamur berfilamen (mis. Genera Fusarium dan Aspergillus), organisme multiseluler yang
menghasilkan hifa.

Gejala (11)
Pasien akan mengeluh nyeri mata hebat, mata merah, berair, penglihatan menurun, silau dan
sekret purulen. Pada mata akan terlihat infiltrat kelabu, disertai hipopion, peradangan,
ulserasi superfisial dan lesi satelit bila terletak didalam stroma. Biasanya disertai
dengan cincin endotel denga plak tampak bercabang-cabang,gambaran satelit pada kornea,
dan lipatan descemet. Sebagai tambahan, reaksi injeksi konjungtiva dapat terjadi cukup
parah. Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut :
 Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama
 Lesi satelit
 Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti
hifa di bawah endotel utuh
 Plak endotel
 Hypopyon, kadang-kadang rekuren
 Formasi cincin sekeliling ulku
 Lesi kornea yang indolen

Pemeriksaan (12)
Diagnosis pasti dibuat dengan pemeriksaan mikroskopik dengan KOH10% terhadap kerokan
kornea yang menunjukkan adanya hifa. Kerokan yang diwarnai dengan Giemsa mungkin
menunjukkan jamur berfilamen, sedangkan pewarnaan Gram mungkin mengidentifikasi
bentuk ragi Candida.

Terapi
Hal yang utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis yang
dihadapi, dapat dibagi:
 Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.
Topikal amphotericin B 1,02,5 mg/ml, thiomerosal (10 mg/ml), natamycin > 10 mg/ml,
golongan imidazole.
 Jamur berfilamen.
Topikal amphotericin B, thiomerosal, natamycin (obat terpilih), imidazole (obat terpilih).
 Ragi (yeast).
Amphoterisin B, natamycin, imidazole
 Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.
Golongan sulfa, berbagai jenis antibiotik.
Natamycin susp (5%) digunakan untuk keratomikosis yang disebabkan oleh jamur
berfilamen. Sedangkan Amfoterisin-B sistemik dan topikal (0,15% tetes mata) digunakan
untuk spektrum luas (especially Candida). Flukonazol, itraconazole, ketoconazole,
natamycin dan voriconazole sering digunakan juga sebagai agen antijamur. Ketokonazole
200-600 mg/hai dapat diberikan.(12)

C. Keratitis Virus
Virus yang mengakibatkan infeksi korea termasuk infeksi virus pada saluran nafas seperti
adenovirus dan semua yang menyebabkan demam. Virus herpes zooster dan herpes simpleks
dapat menyebabkan keratitis. Kelainan pada kornea didaptkan sebagai keratitis pungtata
superfisial yang memberikan gambaran seperti infiltrat halus bertitik-titik pada dataran depan
kornea. Keratitis virus biasay terkumpul di daerah membran bowman(1). Pada keratitis ini
biasaya terdapat bilateral dan berjalan kronis tanpa terlihatnya gejala kelainan konjungtiva,
ataupun tanda akut.

Etiologi
Herpes Simpleks Virus (HSV) merupakan salah satu infeksi virus tersering pada
kornea. Virus herpes simpleks menempati manusia sebagai host, merupakan parasit
intraselular obligat, dapat ditemukan pada mukosa, rongga hidung, rongga mulut, vagina dan
mata. Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan cairan dan jaringan mata, rongga
hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung virus. Keratitis herpes simpleks dibagi dalam
2 bentuk(1):
 Pada epitelial : kerusakan terjadi akibat pembiakan virus intraepitelial
mengakibatkan kerusakan sel epitel dan membentuk tukak kornea superfisial.
 Pada stromal : terjadi reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang
yaitu reaksi antigen-antibodi yang menarik sel radang ke dalam stroma. Sel radang
ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan merusak
stroma di sekitarnya.
Gejala (11)
Pasien dengan HSV keratitis mengeluh nyeri, fotofobia, penglihatan kabur, mata berair, mata
merah, tajam penglihatan turun terutama jika bagian pusat yang terkena.Lesi herpes simpleks
yang paling khas adalah ulkus dendritik yang disebabkan oleh multiplikasi virus tanpa
infiltrasi seluler. Lesi tersusun atas vesikel bening di epitel dalam pola dendritik atau bintang.
Terminal ujung-ujung dendritik biasanya menonjol.

Infeksi primer herpes simpleks pada mata biasanya berupa konjungtivitis folikularis akut
disertai blefaritis vesikuler yang ulseratif, serta pembengkakan kelenjar limfe regional.
Kebanyakan penderita juga disertai keratitis epitelial dan dapat mengenai stroma tetapi
jarang. Pada dasarnya infeksi primer ini dapat sembuh sendiri, akan tetapi pada keadaan
tertentu di mana daya tahan tubuh sangat lemah akan menjadi parah dan menyerang stroma.
Infeksi berulang: Selama infeksi primer, herpes virus mencapai ganglion trigeminal virus
herpes dorman selama bertahun-tahun. Reaktivasi virus terjadi jika daya tahan tubuh yang
buruk (penyakit, stres, trauma, serangan flu, penggunaan kortikosteroid dan agen
imunosupresif lainnya). Virus berjalan melalui saraf trigeminal hingga sampai ke mata.
infeksi berulang keratitis herpes biasanya terjadi unilateral. Lesi superfisial disebabkan oleh
replikasi virus, sementara lesi profunda diakibatkan respon imun hots. Lesi — Lesi yang
paling khas dari herpes virus adalah dendritik yang terjadi pada epitel kornea, memiliki ciri
khas bercabang, pola linier dengan tepi berbulu, dan memiliki terminal di ujungnya. Dengan
pewarnaan fluorescein membuat dendrite mudah diidentifikasi. (12)

Gambar 7. Keratitis Virus Herpes Simpleks

Pemeriksaan
Kerokan dari lesi epitel dan cairan dari lesi di kulit dilanjutkan dengan pewarnaan Giemsa
dapat menunjukkan sel-sel raksasa, yang dihasilkan dari perpaduan dari sel-sel epitel kornea
yang terinfeksi dan virus intranuclear inklusi
Terapi(9)
Pengobatan keratitis HSV harus diarahkan untuk menghilangkan replikasi virus di dalam
kornea sambil meminimalkan efek merusak dari respon inflamasi.

 Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epithelial, karena
virus berlokasi didalam epithelial. Debridement juga mengurangi beban antigenic
virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea namun epitel
yang terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator
berujung kapas khusus. Obat siklopegik seperti atropine 1% atau homatropin 5%
diteteskan kedalam sakus konjungtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien
harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya
sembuh umumnya dalam 72 jam. Terapi ajuvan dengan antivirus topikal dapat
mempercepat penyembuhan epitel

 Terapi Obat (1)


IDU merupakan obat antiviral yang bekerja dengan menghambat sintesis DNA
virus da manusia sehingga bersifat toksik untuk epitel normal dan tidak boleh
digunakan lebih dari 2 minggu.
 IDU (Idoxuridine) analog pirimidin (terdapat dalam larutan 1% dan
diberikan setiap jam, salep 0,5% diberikan setiap 4 jam)
 Vibrabin: sama dengan IDU tetapi hanya terdapat dalam bentuk salep
 Trifluorotimetidin (TFT): sama dengan IDU, diberikan 1% setiap 4 jam
 Asiklovir bersifat selektif terhadap sintesis DNA virus (salep 3%),
diberikan setiap 4 jam.
 Terapi Bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk rehabilitasi penglihatan
pasien yang mempunyai jaringan parut kornea yang berat, namun hendaknya
dilakukan beberapa bulan setelah penyakit herpes non aktif.

D. Keratitis Alergi(1)

1) Keratokonjungtivitis Flikten
Merupakan radang kornea dan konjungtiva yang merupakan Reaksi
hipersensitivitas yang mengenai kedua mata yang mungkin sel mediated pada
jaringan yang sudah sensitif terhadap antigen. Untuk mengetahui penyebab
sebaiknya dicari etiologi alerginya. Pada benjolan akan terjadi penimbnan sel
limfoid. Secara histopatologi ditemukan sel eosinophil. Terdapat daerah yang
berwarna keputihan yang merupakan degenerasi hialin. Terjadi pengelupasan lapis
sel tanduk epitel kornea.
Mata akan memberikan gejala lakrimasi dan fotofobia disertai rasa sakit.
Bentuk keratitis dengan gambaran yang bermacam-macam, dengan ditemukannya
infiltrate dan neovaskularisasi pada kornea. Gambaran karakteristiknya adalah
dengan terbentuknya papul atau pustule pada kornea atau konjungiva. Pada mata
terdapat flikten pada kornea berupa benjolan berbatas tegasberwarna putih
keabuan, dengan atau tanpa neovaskularisasi yang menuju ke arah benjolan
tersebut. Biasanya bilateral dan terjadi di daerah limbus.
Gambaran klinisnya akan terlihat suatu keadan sebagai hyperemia
konjungtiva, kekurangan air mata, menebalnya epitel kornea, perasaan panas
disertai gatal dan tajam pengelihatan yang berkurang. Limbus tampak benjolan
putih kemerahan dikelilingi daerah konjungtiva yang hyperemia. Bila terjadi
penyembuhan akan terjadi jaringan parut dengan neovaskularisasi pada kornea.
Pengobatannya dengan steroid dapat diberikan dengan berhati-hati, ada
anak-anak keratitis flikten disertai gizi buruk dapat berkembang menjadi tukak
kornea karena infeksi sekunder.
2) Keratitis Fasikularis
Keratitis dengan pembentukan pita pembuluh darah yang menjalar dari
limbus ke arah kornea. Berupa tukak kornea akibat flikten yang menjalar ke
daerah sentral disertai fasikulasi pembuluh darah.
3) Keratokonjungtivitis Vernal
Merupakan peradangan tarsus dan konjungtiva yang bersifat rekuren dan
bilateral. Penyebabnya tidak diketahui, tetapi sering muncul pada musim panas,
sering mengenai anak sebelum usia 14 tahun dan laki laki lebih sering terkena
dibanding perempuan. Gejalanya adalah gatal, disertai riwayat alergi,
blefarospasme, fotofobia, penglihatan buram, dan kotoran mata serat-
serat.Hipertrofi papil kadang berbentuk cobble stone pada kelopak atas dan
konjungtiva daerah limbus. Pengobatan: obat topikal antihistamin dan kompres
dingin.

E. . Keratitis Acanthamoeba
Keratitis Acanthamoeba harus dicurigai pada pasien dengan riwayat pemakaian
lensa kontak, kebersihan lensa kontak yang tidak dijaga (mis., menggunakan keran air untuk
membersihkan lensa, jarang desinfeksi), atau aktivitas berenang, memancing, menggunakan
bak mandi air panas, atau trauma saat memakai lensa kontak(11). Acanthamoeba spp. adalah
protozoa yang hidup bebas, umumnya ditemukan di tanah, air dan saluran pernapasan bagian
atas. Pada kondisi lingkungan yang sesuai, kista achantamoeba berubah menjadi trofozoit,
lalu melakukan penetrasi dan destruksi jaringan.

Etiologi(12)
Keratitis yang berhubungan dengan infeksi Acanthamoeba yang biasanya disertai dengan
penggunaan lensa kontak

Gejala klinis(11)
Rasa sakit yang tidak sebanding dengan temuan kliniknya yaitu mata merah dan fotofobia.
Tanda klinik khas adalah ulkus kornea indolen, cincin stroma, dan infiltrat perineural.
Bentuk-bentuk awal pada penyakit ini, dengan perubahan-perubahan hanya terbatas pada
epitel kornea semakin banyak ditemukan. Keratitis Acanthamoeba sering disalah
diagnosiskan sebagai keratitis herpes.

Pemeriksaan laboratorium (11)


Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan kerokan dan biakan di atas media khusus. Biopsi
kornea mungkin diperlukan. Sediaan histopatologik menampakkan bentuk-bentuk amuba
(kista atau trofozoit). Larutan dan kontak lensa dapat dikultur. Sering kali bentuk amuba
dapat ditemukan pada larutan kotak penyimpan lensa kontak.

Penatalaksanaan(11)
Terapi dengan obat umumnya dimulai dengan isetionat, propamidin topikal (larutan 1%)
secara intensif dan tetes mata neomisin. Polyhexamethylene biguanide (PHMB) 0,02% dan
chlorhexidine (0,02%) membunuh trofozoit dan bersifat sistisida.
Agen lain yang mungkin berguna adalah paromomisin dan berbagai imidazol topikal dan oral
seperti ketokonazol, mikonazol, itrakonazol. Terapi juga dihambat oleh kemampuan
organisme membentuk kista didalam stroma kornea, sehingga memerlukan waktu yang lama.
Jika organisme ini sampai ke sklera, terapi obat dan bedah tidak berguna (Biswell, 2010).

Klasifikasi keratitis berdasarkan bentuk klinisnya, yaitu:

A. Keratitis Flikten/Skrofulosa/Eksemtosa(1)

Flikten merupakan benjolan berdiameter 1-3 mm berwarna abu-abu pada lapisan


superfisial kornea. Epitel diatasnya mudah pecah dan membentuk ulkus. Ulkus ini dapat
sembuh atau tanpa meninggalkan sikatrik. Adapula ulkus yang menjalar dari pinggir ke
tengah, dengan pinggir meninggalkan sikatrik sedangkan bagian tengah nya masih aktif,
yang disebut wander phlyctaen. Keadaan ini merupakan proses yang mudah sembuh,
tetapi kemudian kambuh lagi di tempat lain bila penyebabnya masih ada dan dapat
menyebabkan kelainan kornea berbentuk bercak-bercak sikatrik, menyerupai pulau-pulau
yang disertai ‘geographic pattern’.

B. Keratitis Sika(13)
Merupakan peradangan konjungtiva dan kornea akibat keringnya permukaan kornea
dan konjungtiva. Penyebab keringnya permukaan konjungtiva dan kornea, yaitu:
 Berkurangnya komponen lemak tear film, seperti pada blefaritis
 Berkurangnya airmata akibat defisiensi kelenjar air mata, seperti pada syndrome
syrogen, setelah memakai obat diuretik, atropin atau dijumpai pada usia tua.
 Berkurangnya komponen musin, dijumpai pada keadaan defisiensi A, penyakit-
penyakit yang menyebabkan cacatnya konjungtiva, trauma kimia, dan, Sindrom
Steven Johnson
 Penguapan yang berlebihan seperti pada kehidupan gurun pasir, keratitis lagoftalmus,
keratitis neuroparalitika.
 Adanya sikatrik pada kornea.
Gejala klinis yang sering timbul yaitu mengeluh mata terasa gatal, terasa seperti ada
pasir,fotopobi,visus menurun, secret lengket, mata terasa kering. Dari hasil pemeriksaan
didapatkan sekret mukus berlebihan. Sukar menggerakkan kelopak mata dan mata kering
akibat erosi kornea. Terdapat infiltrat-infiltrat kecil,letak epiteleal,tes fluoresen (+). Pada
pemeriksaan didapatkan miniskus air mata pada tepi kelopak mata bawah hilang, edena
konjungtiva bulbi, dan terdapat juga benang-benang (filamen) yang sebenarnya sekret yang
menempel di kornea, sehingga, disebut juga keratitis filamentosa.

C. Keratitis Numularis(13)
Keratitis numularis atau keratitis dimmer. adalah peradangan pada kornea dengan
gambaran infiltrat sub epitel yang bundar dan berkelompok dengan tepi berbatas tegas
dimana tengahnya lebih jernih, disebut halo (diduga terjadi karena resorpsi dari infiltrat
yang dimulai di tengah). Organisme penyebabnya diduga virus yang masuk ke dalam
epitel kornea melalui luka kecil setelah terjadinya trauma ringan pada mata. Replikasi
virus pada sel epitel diikuti penyebaran toksin pada stroma kornea menimbulkan
kekeruhan/infiltrat yang khas berbentuk bulat seperti mata uang (coin lession). Keratitis
ini berjalan lambat, sering unilateral dan banyak ditemukan pada orang dengan pekerjaan
sebagai petani.
Pasien dengan keratitis numularis mengeluh perasaan adanya benda asing dan
fotofobi. Khas pada keratitis ini adalah tidak didahului konjungtivitis sebelumnya. Pada
pemeriksaan mata luar tidak terdapat hiperemi konjungtiva maupun hiperemi kornea. Tes
fluoresin (-). Pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk melihat bercak putih adalah dengan
pemeriksaan retroiluminasi yang memperlihatkan gammbaran bercak putih bulat di
bawah epitel kornea baik di sentral maupun perifer dengan ukuran 0,5-1,5 mm. Epitel
diatas lesi sering mengalami elevasi dan tampak irreguler.
Kortikostreoid topikal, misal deksametason diberikan 3-4 kali sehari akan memgurangi
keluhan penderita, diberikan sampai 5-7 hari dan pemberian dapat diulang sampai 4-6
minggu untuk mencegah timbulnya keluhan berulang.12
2.9 Gejala Klinis (1)
Pasien dengan keratitis biasanya datang dengan keluhan iritasi ringan, adanya sensasi
benda asing, mata merah, mata berair, penglihatan yang sedikit kabur, dan silau (fotofobia)
serta sulit membuka mata (blepharospasme). Penderita akan mengeluh sakit pada mata karena
kornea memiliki banyak serabut nyeri, sehingga amat sensitif. Kebanyakan lesi kornea
superfisialis maupun yang sudah dalam menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit
diperberat oleh karena kornea bergesekan dengan palpebra. Karena kornea berfungsi sebagai
media untuk refraksi sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang masuk ke
mata maka lesi pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama apabila lesi
terletak sentral pada kornea. Fotofobia yang terjadi biasanya terutama disebabkan oleh
kontraksi iris yang meradang. Dilatasi pembuluh darah iris adalah fenomena refleks yang
disebabkan iritasi pada ujung serabut saraf pada kornea. Pasien biasanya juga berair mata
namun tidak selalu disertai dengan pembentukan kotoran mata yang banyak kecuali pada
ulkus kornea yang purulen.

2.10 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, gejala klinik dan hasil
pemeriksaan mata. Dari hasil anamnesis sering diungkapkan riwayat trauma, adanya riwayat
penyakit kornea, misalnya pada keratitis herpetic akibat infeksi herpes simpleks sering
kambuh. Anamnesis mengenai pemakaian obat lokal oleh pasien, karena mungkin telah
memakai kortikosteroid, yang dapat merupakan predisposisi bagi bakteri, fungi, atau virus.
Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit-penyakit sistemik, seperti diabetes, AIDS,
dan penyakit ganas, selain oleh terapi imunosupresi khusus.
Dalam mengevaluasi peradangan kornea penting untuk membedakan apakah tanda
yang ditemukan merupakan proses yang masih aktif atau merupakan kerusakan dari struktur
kornea hasil dari proses di waktu yang lampau. Sejumlah tanda dan pemeriksaan sangat
membantu dalam mendiagnosis dan menentukan penyebab dari suatu peradangan kornea
seperti: pemeriksaan sensasi kornea, lokasi dan morfologi kelainan, pewarnaan dengan
fluoresin, neovaskularisasi, derajat defek pada epithel, lokasi dari infiltrat pada kornea,
edema kornea, keratik presipitat, dan keadaan di bilik mata depan. Tanda-tanda
yang ditemukan ini juga berguna dalam mengawasi perkembangan penyakit dan respon
terhadap pengobatan.
Sangat penting untuk melaksanakan penegakan diagnosis morfologis pada pasien
yang dicurigai dengan lesi kornea. Letak lesi di kornea dapat diperkirakan dengan melihat
tanda – tanda yang terdapat pada kornea. Pada keratitis epithelial, perubahan epitel bervariasi
secara luas mulai dari edema ringan dan vakuolasi hingga erosi, pembentukan filament
maupun keratinisasi partial. Pada keratitis stromal, respon struma kornea dapat berupa
infiltrasi sel radang, edema yang bermanifestasi kepada edema kornea yang awalnya bermula
dari stroma lalu ke epitel kornea. Pemeriksaan fisik pada keluhan yang mengarahkan
kecurigaan kepada keratitis dilakukan melalui inspeksi dengan pencahayaan adekuat. Larutan
flouresent dapat menggambarkan lesi epitel superfisial yang mungkin tidak dapat terlihat
dengan inspeksi biasa. Pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) esensial dalam pemeriksaan
kornea, apabila tidak terdapat alat tersebut dapat digunakan sebuah loup dan iluminasi yang
terang. Pemeriksaan harus melihat jalannya refleksi cahaya sementara memindahkan cahaya
dengan hati – hati ke seluruh kornea.

2.11 Pemeriksaan Penunjang (11)


Pemeriksaan laboratorium dengan melakukan kultur dari flora kornea dilakukan
selama terjadi inflamasi aktif dapat membantu menegakkan diagnosis guna mencari etiologi
dan menentukan terapi. Pemeriksaan pencitraan dengan menggunakan fotografi slit lamp
untuk mendokumentasikan inflamasi aktif dan periode inaktivitas dapat dilakukan untuk
penegakan diagnosis maupun penanganan penyakit.

2.12 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan keratitis adalah mengeradikasi penyebab keratitis, menekan
reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada kornea, mempercepat
penyembuhan defek epitel, mengatasi komplikasi, serta memperbaiki ketajaman penglihatan.
Ada beberapa hal yang perlu dinilai dalam mengevaluasi keadaan klinis keratitis meliputi:
rasa sakit, fotofobia, lakrimasi, rasa mengganjal, ukuran ulkus dan luasnya infiltrat. Sebagian
besar pakar menganjurkan melakukan debridement sebelumnya.Debridement epitel kornea
selain berperan untuk pengambilan spesimen diagnostik, juga untuk menghilangkan sawar
epitelial sehingga obat lebih mudah menembus. Diharapkan debridement juga mampu
mengurangi kandungan virus epithelial jika penyebabnya virus, sehingga reaksi radang akan
cepat berkurang.

Penatalaksanaan pada ketratitis pada prinsipnya adalah diberikan sesuai dengan


etiologi. Untuk virus dapat diberikan idoxuridine, trifluridin atau acyclovir. Untuk bakteri
gram positif pilihan pertama adalah cafazolin, penisilin G atau vancomisin dan bakteri gram
negatif dapat diberikan tobramisin, gentamisin atau polimixin B. Pemberian antibiotik juga
diindikasikan jika terdapat secret mukopurulen, menunjukkan adanya infeksi campuran
dengan bakteri. Untuk jamur pilihan terapi yaitu: natamisin, amfoterisin B atau fluconazol.
Selain itu obat yang dapat membantu epitelisasi dapat diberikan. Namun selain terapi
berdasarkan etiologi, pada keratitis ini sebaiknya juga diberikan terapi simptomatisnya agar
dapat memberikan rasa nyaman dan mengatasi keluhan-keluhan pasien. Pasien dapat diberi
air mata buatan, sikloplegik dan kortikosteroid. Pemberian air mata buatan yang mengandung
metilselulosa dan gelatin yang dipakai sebagai pelumas oftalmik, meningkatkan viskositas,
dan memperpanjang waktu kontak kornea dengan lingkungan luar. Pemberian tetes
kortikosteroid pada KPS (Keratitis Pungtata Superfisial) ini bertujuan untuk mempercepat
penyembuhan dan mencegah terbentuknya jaringan parut pada kornea, dan juga
menghilangkan keluhan subjektif seperti fotobia namun pada umumnya pada pemberian
steroid dapat menyebabkan kekambuhan karena steroid juga dapat memperpanjang infeksi
dari virus jika memang etiologi dari keratitis tersebut adalah virus.
Namun pemberian kortikosteroid topikal pada keratitis ini harus terus diawasi dan
terkontrol karena pemakaian kortikosteroid untuk waktu lama dapat memperpanjang
perjalanan penyakit hingga bertahun-tahun dan berakibat timbulnya katarak dan glaukoma
terinduksi steroid, menambah kemungkinan infeksi jamur, menambah berat radang akibat
infeksi bakteri juga steroid ini dapat menyembunyikan gejala penyakit lain. Penggunaan
kortikosteroid pada keratitis menurut beberapa jurnal dapat dipertimbangkan untuk diganti
dengan NSAID. Dari penelitian-penelitian tersebut telah menunjukan bahwa NSAID dapat
mengurangi keluhan subjektif pasien dan juga mengatasi peradangannya seperti halnya
kortikostroid namun lebih aman dari steroid itu sendiri karena tidak akan menyebabkan
katarak ataupun glaukoma yang terinduksi steroid.
Pada keratitis yang telah mengalami penipisan stroma dapat ditambahkan lem
cyanoacrylate untuk menghentikan luluhnya stroma. Bila tindakan tersebut gagal, harus
dilakukan flap konjungtiva; bahkan bila perlu dilakukan keratoplasti. Flap konjungtiva hanya
dianjurkan bila masih ada sisa stroma kornea, bila sudah terjadi descemetocele flap
konjungtiva tidak perlu; tetapi dianjurkan dengan keratoplastik lamellar.
Selain terapi medikamentosa sebaiknya diberikan pula edukasi pada pasien keratitis.
Pasien diberikan pengertian bahwa penyakit ini dapat berlangsung kronik dan juga dapat
terjadi kekambuhan. Pasien juga sebaiknya dianjurkan agar tidak terlalu sering terpapar sinar
matahari ataupun debu karena keratitis ini dapat juga terjadi pada konjungtivitis vernal yang
biasanya tercetus karena paparan sinar matahari, udara panas, dan debu, terutama jika pasien
tersebut memang telah memiliki riwayat atopi sebelumnya. Pasien pun harus dilarang
mengucek matanya karena dapat memperberat lesi yang telah ada.Pada keratitis dengan
etiologi bakteri, virus, maupun jamur sebaiknya kita menyarankan pasien untuk mencegah
transmisi penyakitnya dengan menjaga kebersihan diri dengan mencuci tangan,
membersihkan lap atau handuk, sapu tangan, dan tissue.
2.12 Komplikasi
Bila peradangan hanya di permukaan saja, dengan pengobatan yang baik dapat
sembuh tanpa jaringan parut. Bila peradangan dalam, penyembuhan berakhir dengan
pembentukan jaringan parut yang dapat berupa nebula, makula, leukoma, leukoma adherens
dan stafiloma kornea.

Nebula : bentuk parut kornea berupa kekeruhan yang sangat tipis dan hanya dapat dilihat
dengan menggunakan kaca pembesar atau menggunakan slit lamp.
Makula : parut yang lebih tebal berupa kekeruhan padat yang dapat dilihat tanpa
menggunakan kaca pembesar.
Leukoma : kekeruhan seluruh ketebalan kornea yang mudah sekali terlihat dari jarak yang
agak jauh sekalipun.
Leukoma adherens : keadaan dimana selain adanya kekeruhan seluruh ketebalan kornea,
terdapat penempelan iris pada bagian belakang kornea (sinekia
anterior).
Stafiloma kornea : bila seluruh permukaan kornea mengalami ulkus disertai perforasi, maka
pada penyembuhan akan terjadi penonjolan keluar parut kornea yang
disertai dengan sinekia anterior.

Komplikasi yang paling ditakuti dari keratitis adalah penipisan kornea dan akhirnya
dapat terjadi perforasi. Adanya perforasi dapat membahayakan mata, oleh karena timbulnya
hubungan langsung dari bagian dalam mata dengan dunia luar, sehingga kuman dapat masuk
ke dalam mata dan menyebabkan endoftalmitis atau panoftalmitis. Dengan adanya perforasi,
iris dapat menonjol keluar melalui perforasi dan terjadi prolaps iris.
Beberapa komplikasi yang lain diantaranya:
 Gangguan refraksi
 Jaringan parut permanent
 Ulkus kornea
 Perforasi kornea
 Glaukoma sekunder
2.13 Prognosis
Keratitis dapat sembuh dengan baik jika ditangani dengan tepat dan jika tidak diobati
dengan baik dapat menimbulkan ulkus yang akan menjadi sikatriks dan dapat mengakibatkan
hilang penglihatan.
Prognosis visual tergantung pada beberapa faktor, tergantung dari:
 Virulensi organisme
 Luas dan lokasi keratitis
 Hasil vaskularisasi dan atau deposisi kolagen
BAB III
KESIMPULAN

Keratitis adalah peradangan pada kornea yang ditandai dengan adanya infiltrat di
lapisan kornea. Keratitis dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa. Keratitis dapat
memberikan gejala mata merah, rasa silau, epifora, nyeri, perasaan benda asing dan
penurunan tajam penglihatan. Berdasarkan tempatnya keratitis secara garis besar dapat dibagi
menjadi keratitis pungtata, keratitis marginal dan keratitis interstitial. Berdasarkan
penyebabnya keratitis digolongkan menjadi keratitis bakterialis, keratitis fungal, keratitis
viral dan keratitis akibat alergi. Kemudian berdasarkan bentuk klinisnya dapat dibagi menjadi
keratitis sika, keratitis flikten, dan keratitis numularis.

Setiap etiologi menunjukan gejala yang berbeda – beda tergantung dari jenis pathogen
dan lapisan kornea yang terkena. Jika keratitis tidak ditangani dengan benar maka penyakit
ini akan berkembang menjadi suatu ulkus yang dapat merusak kornea secara permanen
sehingga akan menyebabkan gangguan penglihatan bahkan dapat sampai menyebabkan
kebutaan.
Prognosis pada setiap kasus tergantung pada beberapa faktor, termasuk luasnya dan
kedalaman lapisan kornea yang terlibat, ada atau tidak nya perluasan ke jaringan orbita lain,
status kesehatan pasien (contohnya immunocompromised), virulensi patogen, ada atau
tidaknya vaskularisasi dan deposit kolagen pada jaringan tersebut, waktu penegakkan
diagnosis klinis yang dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang lainnya seperti
kultur pathogen, dan diagnosis serta pengobatan yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Balai Penerbit FKUI Jakarta.2005. hal 147-
158
2. Whitcher JP, Srinivasan M, Upadhyay MP. Corneal blindness: a global perspective.
Bull World Health Organ. 2001;79:214-221.
3. Pascolini D, Mariotti SP. Global estimates of visual impairment: 2010. Br J
Ophthalmol. 2012;96:614-618.
4. World Health Organization. Causes of blindness and visual impairment. Available at:
http://www.who.int/blindness/causes/en.
5. Green M, Apel A, Stapleton F. Risk factors and causative organisms in microbial
keratitis. Cornea. 2008;27:22-27.
6. Sheng XL, Li HP, Liu QX, et al. Prevalence and associated factors of corneal
blindness in Ningxia in northwest China. Int J Ophthalmol. 2014;7:557-562.
7. Lam DS, Houang E, Fan DS, et al. Hong Kong Microbial Keratitis Study Group.
Incidence and risk factors for microbial keratitis in Hong Kong: comparison with
Europe and North America. Eye. 2002;16:608-618
8. Kanski's Clinical Ophthalmology A Systematic Approach 8th Edition. Hal 168,175)
9. Roderick B. Kornea. In: Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta :
EGC. 2009. p. 120
10. American Academy of Ophthalmology, 2016. External Disease and Cornea. Basic
and Clinical Science Course.
11. Williams L. The Wills Eye Manual: Offi ce and Emergency Room Diagnosis and
Treatment of Eye Disease. 6th edition. United States.
12. Nema HV, Nema N. A Textbook of Clinical Ophthalmology: disease of the cornea.
6th edition. India: Jaypee Brothers Medical Publishers
13. Reed, KK. 2007. Thygeson's SPK photos. Nova Southeastern University College of
Optometry 3200 South University Drive Ft. Lauderdale, Florida. Available at:
http://www.fechter.com/Thygesons.htm

Anda mungkin juga menyukai