Anda di halaman 1dari 25

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA REFERAT

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER DESEMBER 2023


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

KERATITIS

DISUSUN OLEH:
Muhammad Farhan Irawan
111 2021 2148

PEMBIMBING :
dr. Ruslinah, Sp. M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Muhammad Farhan Irawan

NIM : 111 2021 2148

Judul Referat : Keratitis

Adalah benar telah menyelesaikan Referat yang berjudul “Keratitis” dan


telah disetujui serta dibacakan dihadapan supervisor pembimbing dalam
rangka kepaniteraan klinik pada bagian Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Muslim Indonesia.

Mengetahui, Makassar, 04 Desember 2023


Dokter Pembimbing Klinik Mahasiswa

dr. Ruslinah, Sp.M Muhammad Farhan Irawan


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala

berkah dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

referat yang berjudul “Keratitis”. Penulisan referat ini dibuat sebagai salah

satu syarat untuk mengikuti ujian Program Studi Profesi Dokter di bagian

Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu Penyakit Mata.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini terdapat

banyak kekurangan, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dan

berbagai pihak dan dokter dan konsulen, akhirnya penyusunan referat ini

dapat terselesaikan dengan sebaik-baiknya. Untuk itu penulis

menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Ruslinah, Sp.M selaku

pembimbing dalam penyusunan referat ini dalam memberikan motivasi,

arahan, serta saran-saran yang berharga kepada penulis selama proses

penyusunan. Terima kasih pula yang sebesar-besarnya kepada semua

pihak yang secara langsung maupun tidak langsung turut membantu

penyusunan refarat ini.

Makassar, 04 Desember 2023

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kornea merupakan bagian anterior dari mata yang harus dilalui


cahaya, dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina. Kornea
merupakan media refraksi terbesar yang dalam pembiasan sinar, oleh
karena itu kornea harus tetap jernih dan permukaannya rata agar tidak
menghalangi proses tersebut. Kelainan yang bisa merusak bentuk dan
kejernihan kornea dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat,
terutama bila letaknya di sentral (daerah pupil), bila kelainan ini tidak
diobati maka dapat terjadi kebutaan.
Keratitis adalah peradangan pada salah satu dari kelima lapisan
kornea. Peradangan tersebut dapat terjadi di epitel, membran Bowman,
stroma, membran Descemet, ataupun endotel. Peradangan juga dapat
melibatkan lebih dari satu lapisan kornea. Pola keratitis dapat dibagi
menurut distribusi, kedalaman, lokasi, dan bentuk. Berdasarkan
distribusinya, keratitis dibagi menjadi keratitis difus, fokal, atau multifokal.
Berdasarkan kedalamannya, keratitis dibagi menjadi epitelial,
subepitelialm stromal, atau endotelial. Lokasi keratitis dapat berada di
bagian sentral atau perifer kornea, sedangkan berdasarkan bentuknya
terdapat keratitis dendritik, disciform, dan bentuk lainnya. Keratitis akan
memberikan gejala mata merah, rasa silau dan merasa kelilipan. Gejala
khususnya tergantung dari jenis-jenis keratitis yang diderita oleh pasien.
Gambaran klinik masing-masing keratitis berbeda-beda tergantung
dari jenis penyebab dan tingkat kedalaman yang terjadi di kornea, jika
keratitis tidak ditangani dengan benar maka penyakit ini akan
berkembang menjadi suatu ulkus yang dapat merusak kornea secara
permanen sehingga akan menyebabkan gangguan penglihatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Kornea

Gambar 1. Anatomi Mata

Kornea merupakan bagian anterior dari mata yang harus dilalui


cahaya, dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina. Kornea
merupakan media refraksi terbesar yang dalam pembiasan sinar, oleh
karena itu kornea harus tetap jernih dan permukaannya rata agar tidak
menghalangi proses tersebut. Kelainan yang bisa merusak bentuk dan
kejernihan kornea dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat,
terutama bila letaknya di sentral (daerah pupil).
Kornea juga merupakan jaringan yang memiliki serabut saraf
sensorik terbanyak (300-400 serabut saraf), yang berasal dari nervus
trigeminus. Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat
transparan, berukuran 11- 12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta
memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea memberikan kontribusi 74 % atau
setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60 kekuatan dioptri mata
manusia. Jika kornea oedem karena suatu sebab, maka kornea juga
bertindak sebagai prisma yang dapat menguraikan sinar sehingga
penderita akan melihat halo. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada
difusi glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui
lapisan air mata. Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari
sirkulasi limbus.
Kornea adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas
ujung-ujung saraf terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika
dibandingkan dengan konjungtiva. Secara histologi, struktur kornea terdiri
dari lima lapisan yaitu epitel, membrana bowman, stroma, membrana
descemet dan endotel. Epitel kornea memiliki ketebalan 50-60 µm atau
5% dari total ketebalan kornea, dan terdiri dari tiga lapisan yang berbeda
yaitu lapisan sel superfisial, lapisan sel sayap, dan lapisan sel basal.
Membran Bowman merupakan lapisan aseluler yang dibentuk oleh serat
kolagen dan merupakan modifikasi dari bagian anterior stroma dengan
ketebalan 8-14 µm. Lapisan ini tidak dapat mengalami regenerasi dan
akan digantikan oleh jaringan parut bila terjadi trauma. Stroma kornea
menyusun 90% dari seluruh ketebalan kornea. Stroma kornea tersusun
atas fibril kolagen dengan 8 ukuran yang seragam, meluas di seluruh
permukaan kornea dan membentuk kelompok yang disebut lamella; serta
tersusun atas sel-sel kornea (keratosit) dan matriks ekstraseluler yang
terdiri dari glikoprotein dan glikosaminoglikan. Membran Descemet
merupakan lamina basalis sel-sel endotel kornea. Membran ini terutama
tersusun dari kolagen tipe IV dan memiliki ketebalan 10-12 µm. Endotel
kornea merupakan lapisan paling dalam dari kornea. Lapisan ini terdiri
atas satu lapis sel berbentuk heksagonal yang sel-selnya tidak dapat
membelah. Endotel kornea mempunyai pengaruh yang besar dalam
mempertahankan transparansi kornea Dari anterior ke posterior kornea
mempunyai lima lapisan, yaitu:
1. Epitel
Tebal dari epitel ini adalah 50 µm. Epitel kornea mempunyai lima lapis
sel epitel tak bertanduk yang terdiri dari sel basal, sel poligonal, dan sel
gepeng.
2. Membran Bowman
Membran Bowman terletak di bawah membran basal epitel kornea
yang merupakan kolagen yang tersususn tidak teratur seperti stroma dan
berasal dari bagian depan stroma.
3. Stroma Stroma
kornea menyusun sekitar 90% ketebalan kornea. Stroma terdiri atas
lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan
lainnya. Pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian
perifer serta kolagen ini bercabang.
4. Membran Descemet
Membran Descemet merupakan membran aselular dan merupakan
batas belakang stroma kornea.
5. Endotel
Endotel berasal dari mesotelium, berlapis satu, berbentuk heksagonal,
dan tebalnya 20-40 µm. Lapisan ini berperan dalam mempertahankan
deturgesensi stroma kornea
2.2 Definisi
Keratitis adalah peradangan pada salah satu dari kelima lapisan
kornea. Peradangan tersebut dapat terjadi di epitel, membran Bowman,
stroma, membran Descemet, ataupun endotel. Peradangan juga dapat
melibatkan lebih dari satu lapisan kornea. Pola keratitis dapat dibagi
menurut distribusi, kedalaman, lokasi, dan bentuk. Berdasarkan
distribusinya, keratitis dibagi menjadi keratitis difus, fokal, atau multifokal.
Berdasarkan kedalamannya, keratitis dibagi menjadi epitelial, sub epitelial
stromal, atau endotelial. Lokasi keratitis dapat berada di bagian sentral
atau perifer kornea, sedangkan berdasarkan bentuknya terdapat keratitis
dendritik, disciform, dan bentuk lainnya. Keratitis akan memberikan gejala
mata merah, rasa silau dan merasa kelilipan.
2.3 Epidemiologi
Dalam sebuah studi epidemiologi di California, kejadian keratitis
ulseratif ditemukan 27,6/100.000 orang-tahun. Keratitis ulseratif secara
signifikan lebih tinggi di antara pemakai lensa kontak.
Sesuai penelitian yang dilakukan di India Selatan, pria paruh baya
lebih mungkin terkena ulkus kornea dibandingkan wanita. Petani berisiko
tinggi karena pekerjaan mereka. Ulkus kornea jamur sangat umum di
negara berkembang. Namun, HSV merupakan perhatian utama di negara
maju. Dalam studi epidemiologi di Rochester, Minnesota, kejadian
penyakit epitel adalah 15,6/100.000 orang-tahun, dan untuk keratitis
stroma, adalah 2,6/100.000 orang-tahun. Gangguan autoimun yang terkait
dengan keratitis menyumbang perkiraan kejadian 3 per juta per tahun.
2.4 Etiologi
- Infeksi virus merupakan penyebab utama. Virus yang sering
menginvasi ialah herpes zoster, adenovirus, epidemic
keratoconjunctivitis, pharyngo conjunctival fever dan herpes
simpleks.
- Infeksi chlamydia termasuk di dalamnya trachoma dan
konjungtivitis inklusi.
- Lesi toksik dapat berasal dari toksin staphylococcal yang
berhubungan dengan blepharokonjungtivitis.
- Lesi tropik seperti keratitis exposure keratitis dan neuroparalytic
keratitis.
- Lesi alergik seperti vernal keratokonjungtivitis.
- Lesi iritasi merupakan efek dari beberapa obat seperti idoxuridine.
- Gangguan kulit dan membran mukosa seperti acne rosacea dan
pemphigoid.
- Dry eye syndrome seperti keratoconjunctivitis sicca.
- Penyakit idiopatik seperti Thygeson superficial punctate keratitis
and Theodore's superior limbic keratoconjunctivitis.
- Photo-ophthalmitis.
2.5 Patofisiologi
Mata yang kaya akan pembuluh darah dapat dipandang sebagai
pertahanan imunologik yang alamiah. Pada proses radang, mula-mula
pembuluh darah mengalami dilatasi, kemudian terjadi kebocoran serum
dan elemen darah yang meningkat dan masuk ke dalam ruang
ekstraseluler. Elemen-elemen darah makrofag, leukosit polimorf nuklear,
limfosit, protein C-reaktif imunoglobulin pada permukaan jaringan yang
utuh membentuk garis pertahanan yang pertama. Karena tidak
mengandung vaskularisasi, mekanisme kornea dimodifikasi oleh
pengenalan antigen yang lemah, sehingga sel-sel proinflamasi tersebut
dapat merusak kornea. Rangsangan untuk vaskularisasi timbul oleh
adanya jaringan nekrosis yang dapat dipengaruhi adanya toksin, protease
atau mikroorganisme. Secara normal kornea yang avaskuler tidak
mempunyai pembuluh limfe. Bila terjadi vaskularisasi terjadi juga
pertumbuhan pembuluh limfe dilapisi sel. Sehingga kornea yang
seharusnya avaskuler menjadi tervaskularisasi dan menyebabkan kornea
tidak jernih serta menggangu dalam pembiasan cahaya. Pada keratitis
herpetika yang kronik dan disertai dengan neo-vaskularisasi akan timbul
limfosit yang sensitif terhadap jaringan kornea.

2.6 Klasifikasi
Keratitis dapat di bagi berdasarkan :
a. Lesi kornea
Keratitis epithelial
Epitel kornea terlibat pada kebanyakan jenis konjungtivitis
dan keratitis,dan pada kasus-kasus tertentu merupakan satu-
satunya jaringan yang terlibat (misalnya pada keratitis pungtata
superfisialis). Perubahan pada epitel sangat bervariasi, dari edema
biasa dan vakuolasi sampai erosi kecil-kecil, pembentukan filament,
keratinisasi parsial, dan lain-lain. Lesi-lesi itu juga bervariasi
lokasinya pada kornea. Semua variasi ini mempunyai makna
diagnostik yang penting dan pemeriksaan biomikroskopik dengan
dan tanpa pulasan fluorosein yang merupakan bagian dari setiap
pemeriksaan mata bagian luar.
Keratitis Stroma
Respon stroma kornea terhadap penyakit termasuk infiltrasi,
yang menunjukkan akumulasi sel – sel radang; edema muncul
sebagai penebalan kornea, pengkeruhan atau parut; penipisan dan
perlunakan, yang dapat berakibat perforasi, dan vaskulasrisasi.
Pada respon ini kurang spesifik bagi penyakit ini, tidak seperti pada
keratitis epithelial dan dokter sering harusmengandalkan informasi
klinik dan pemeriksaan laboratorium untuk menetapkan
penyebabnya.
Keratitis Endotelial
Disfungsi endothelium kornea akan berakibat edema kornea,
yang mula-mula mengenai stroma dan epitel. Ini berbeda dari
edema kornea yang disebabkan oleh peningkatan tekanan
intraokuler, yang mulai pada epitel kemudian stroma. Selama
kornea tidak terlalu sembab, sering masih mungkin dilihat kelainan
morfologik endotel kornea dengan slitlamp. Sel–sel radang pada
endotel (endapan keratik atau keratik precipitat) tidak selalu
menandakan adanya penyakit endotel karena sel radang juga
merupakan manifestasi dari uveitis anterior, yang dapat atau tidak
menyertai keratitis stroma.
Gambar 3. Lesi dari keratitis pungtat superfisial rekuren; (A dan B) Keratitis pungtat
epitelial; (C dan D) Keratitis pungtat subepitelial; (E dan F) Kombinasi keratitis pungtat
epitelial dan subepithelial; (G dan H) Keratitis filamentari.

b. Organisme Penyebab
Keratitis Bakterial
Lebih dari 90% inflamasi kornea disebabkan oleh bakteri.
Sejumlah bakteri yang dapat menginfeksi kornea yaitu
Staphylococcus epidermis, Staphylococcusaureus, Streptococcus
pnemoniae, koliformis, pseudomonas dan haemophilus.
Kebanyakan bakteri tidak dapat menetrasi kornea sepanjang epitel
kornea masih intak. Hanya bakteri gonococci dan difteri yang dapat
menetrasi epitel kornea yang intak. Gejala – gejalanya antara lain
yaitu nyeri, fotofobia, visus lemah, lakrimasi dan sekret purulen.
Sekret purulen khas untuk keratitis bakteri sedangkan keratitisvirus
mempunyai sekret yang berair. Terapi konservatif pada keratitis
bakteri adalah antibiotik topikal (ofloxacindan polymixin) yang
berspektrum luas untuk bakteri gram positif dan bakteri gram
negative sampai hasil kultur pathogen dan resistensi diketahui.
Immobilisasi badan siliar dan iris oleh terapi midriasis diindikasikan
jika ada iritasi intraocular. Keratitis bakteri dapat diterapi pertama
kalinya dengan tetes mata ataupun salep. Terapi pembedahan
berupa keratoplasti emergency dilakukan jika terdapat
descematocel atau ulkus kornea yang perforasi.
Gambar 4. Keratitis bakterial

Keratitis Viral
a) Keratitis Herpes Simplex
Terdapat dua bentuk keratitis herpes simplex yaitu primer
dan rekurens. Keratitis jenis ini merupakan penyebab ulkus
yang paling umum dan penyebab kebutaan kornea yang paling
umum. Gejalanya yaitu sangat nyeri, photophobia,
hiperlakrimasi, dan pembengkakan pada kelopak mata. Bentuk
keratitis virus herpes simpleks dibedakan berdasarkan lokasi
lesi pada lapisan kornea. Keratitis dendritic mempunyai khas
lesi epitel yang bercabang, sensitifitas kornea menurun dan
dapat berkembang menjadi keratitis stromal. Keratitis stromal
ini mempunyai epitel yang intak, pada pemeriksaan slitlamp
menunjukkan infiltrate kornea disirformis sentral. Sedangkan
keratitis endothelium terjadi karena virus herpes simpleks
terdapat pada humor aquos yang menyebabkan
pembengkakan sel endotel. Dan sindromnekrosis retinal akut
mengenai bola mata bagian posterior yang terlibat pada pasien
imunokompromis (AIDS). Pengobatan dapat diberikan
virustatika seperti IDU trifluoritimidin danasiklovir. Pemberian
streroid pada penderita herpes sangat berbahaya, karena
gejala akan sangat berkurang akan tetapi proses berjalan terus
karena daya tahan tubuh yang berkurang.
Gambar 5. Keratitis akibat infeksi Herpes simpleks

b) Keratitis Herpes Zooster


Keratitis herpes zoster merupakan manifestasi infeksi
virus herpes zoster pada cabang pertama saraf trigeminus,
termasuk puncak hidung dan demikian pula dengan kornea
atau konjungtiva. Bila terjadi kelainan saraf trigeminus ini,
maka akan memberikan keluhan pada daerah yang
dipersarafinya dan pada herpes zoster akan mengakibatkan
terdapatkan vesikel pada kulit. Pada mata akan terasa sakit
dengan perasaan yang berkurang (anastesia
dolorosa).Pengobatan adalah simtomatik seperti pemberian
analgetika, vitamin dan antibiotik topical atau umum untuk
mencegah infeksi sekunder.
c) Keratitis Jamur
Pathogen yang lebih sering adalah Aspergilus dan
Candida albicans. Mekanisme yang sering adalah trauma
terkena bahan - bahan organic yang mengandung jamur
seperti ranting pohon. Pasien pada umumnya mengeluhkan
gejala yang sedikit. Pada inspeksi didapatkan mata merah,
ulkus yang berbatas tegas dan dapat meluas menjadi ulkus
kornea serpiginuous. Pada pemeriksaan slit lamp
menunjukkan infiltrate stroma yang berwarna putih keabuan,
khususnya jika penyebabnya adalah candida albicans. Lesi
– lesi yang lebih kecil berkelompok mengililingi lesi yang
besar membentuk lesi satelit. Ulkus terjadi akibat organisme
yang memproduksi toksin yang menyebabkan nekrosis dan
pembentukan pus dijaringan kornea. Ulkus kornea biasanya
terbentuk akibat infeksi oleh bakteri (misalnya Stafilokokus,
Pseudomonas atau Pneumokokus), jamur, virus (misalnya
Herpes) atau Protozoa akantamuba. Pengguna lensa
kontak, terutamanya mereka yang memakainya waktu tidur,
bisa menyebabkan ulkus kornea. Keratitis herpes simpleks
merupakan infeksi viral yang serius. Ia bisa menyebabkan
serangan berulang yang dipicu oleh stress, paparan kepada
sinar matahari, atau keadaan yang menurunkan system
imun. Faktor resiko terjadinya ulkus kornea adalah mata
kering, alergi berat, riwayat kelainan inflamasi, penggunaan
lensa kontak, immunosuppresi, trauma dan infeksi umum.

Gambar 6. Keratitis Fungal


2.7 Gejala Klinis
Pada anamnesis pasien, bisa didapatkan beberapa gejala klinis
pada pasien yang terkait dengan perjalan penyakit keratitis pungtata
superfisial. Pasien dapat mengeluhkan adanya rasa nyeri, pengeluaran air
mata berlebihan, fotofobia, penurunan visus, sensasi benda asing, rasa
panas, iritasi okuler dan blefarospasme. Oleh karena korea memiliki
banyak serat-serat saraf, kebanyakan lesi kornea baik supervisial ataupun
profunda, dapat menyebabkan nyeri dan fotofobia. Nyeri pada keratitis di
perparah degan pergerakan dari palpebral (umunnya palpebral superior)
terhadap kornea dan biasanya menetap hingga terjadi penyembuhan
karena kornea bersifat sebagai jendela mata dan merefraksikan cahaya,
lesi kornea sering kali mengakibatkan penglihatan menjadi kabur,
terutama ketika lesinya berada dibagian Sentral.
Pada keratitis pungtata superfisial didapatkan lesi kornea berupa
lesi epithelial multiple sebanyak 1-50 lesi (rata-rata sekitar 20 lesi
didapatkan). Lesi epithelial yang didapatkan pada keratitis pungtata
superfisial berupa kumpulan bintik-bintik kelabuyang berbentuk oval atau
bulat dan cenderung berakumulasi di daerah pupil. Opasitas pada kornea
tersebut tidak tampak apabila di inspeksi secara langsung, tetapi dapat
dilihat dengan slit lamp ataupun loup setelah diberi flouresent.
Sensitifitas kornea umumnya normal atau hanya sedikit berkurang,
tapi tidak pernah menghilang sama sekali seperti pada keratitis herpes
simpleks. Walaupun umumnya respons konjungtiva tidak tampak pada
pasien akan tetapi reaksi minimal seperti injeksi konjungtiva bulbar dapat
dilihat pada pasien.
2.8 Diagnosis
Kecurigaan akan adanya keratitis dan ulkus kornea pada pasien
dapat timbul pada pasien yangdatang dengan trias keluhan keratitis yaitu
gejala mata merah, rasa silau (fotofobia) dan merasa kelilipan
(blefarospasme). Adapun radang kornea ini biasanya diklasifikasikan
dalam lapisan kornea yang terkena, seperti keratitis superfisial dan
interstisial atau profunda. Keratitis superfisial termasuk lesi inflamasi dari
epitel kornea dan membran bowman superfisial terkait.
a. Anamnesis
Dari riwayat anamnesis, didapatkan adanya gejala subjektif yang
dikeluhkan oleh pasien, dapat berupa mata nyeri, kemerahan, penglihatan
kabur, silau jika melihat cahaya, kelopak terasa berat atau merasa
mengganjal, bintik puith pada kornea , mata berair dan bisa juga ada
kotoran mata berlebih, yang juga harus digali ialah adanya riwayat trauma,
kemasukan benda asing, pemakaian lensa kontak, adanya penyakit
vaskulitis atau autoimun, dan penggunaan kortikosteroid jangka panjang.
b. Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan fisis didapatkan gejala objektif berupa adanya injeksi
siliar, kornea edema, hilangnya jaringan kornea dan pada kasus berat
dapat terjadi irtitis disertai dengan hipopion. Pemeriksaan visus
didapatkan adanya penurunan visus pada mata yang mengalami infeksi
oleh karena adanya defek pada kornea sehingga menghalangi refleksi
cahaya yang masuk ke dalam media refrakta. Slit lamp seringkali iris,
pupil, dan lensa sulit dinilai oleh karena adanya kekeruhan pada kornea.
Selain itu, didapatkan hiperemis didapatkan oleh karena adanya injeksi
konjungtiva ataupun perikornea. Tes sensitivitas kornea untuk menilai
ungsi nervus trigeminal pada kornea. Dilakukan dengan cara menyapukan
sehelai kapas secara mendadak dan cepat pada permukaan kornea dan
menanyakan pada pasien apakah terasa atau tidak.
c. Pemeriksaan Penunjang
Tes fluorescein
Cara melakukan tes fluroscein adalah pertama kertas fluoresein
yang dibasahi terlebih dahulu dengan garam fisiologik diletakkan pada
sakus konjungtiva inferior. Kemudian, penderita diminta untuk menutup
matanya selama 20 detik, beberapa saat kemudian kertas diangkat.
Ketiga, dilakukan irigasi konjugtiva dengan garam fisiologik. Keempat,
dilihat permukaan kornea bila terlihat hijau dengan sinar biru berarti ada
kerusakan epitel kornea misalnya terdapat pada keratitis superfisial
epithelial, ulkus kornea dan erosi kornea. Defek kornea akan terlihat
berwarna hijau, akibat pada setiap kornea, maka bagian tersebut akan
bersifat basa dan memberikan warna hijau pada kornea. Pada keadaan ini
disebut uji fluoresein positif. Pada ulkus kornea, didapatkan hilangnya
sebagian permukaan kornea. Untuk melihat adanya daerah yang defek
pada kornea. (warna hijau menunjukkan daerah yang defek pada kornea,
sedangkan warna biru menunjukkan daerah yang intak).

Gambar 7 . (1) Tetes fluorosein topikal; (2) Fluorosein mewarnai kornea - gambaran ulkus dendritik;
(3) Menggunakan fluoret untuk mengaplikasikan flurosein. Dengan menarik palpebra inferior ke
bawah kemudian meminta pasien melihat ke atas menjauhi fluoret, strip fluorosein kemudian
diletakkan ke dalam sakus konjungtiva sehingga fluorosein dilepaskan; (4) Aberasi kornea inferior
terwarnai dengan fluorosein.

Pewarnaan gram dan KOH :


Untuk menentukan mikroorganisme penyebab ulkus, oleh jamur
Kultur :
Kadang kala dibutuhkan untuk mengisolasi organisme kausatif pada
beberapa kasus.
2.9 Diagnosis Banding
Uveitis

Konjungtivitis
2.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada ketratitis atau pun ulkus kornea pada
prinsipnya adalah diberikan sesuai dengan etiologi. Untuk virus dapat
diberikan idoxuridine, trifluridin atau acyclovir. Untuk bakteri gram positif
pilihan pertama adalah cafazolin, penisilin G atau vancomisin dan bakteri
gram negatif dapat diberikan tobramisin, gentamisin atau polimixin B.
Pemberian antibiotik juga diindikasikan jika terdapat secret mukopurulen,
menunjukkan adanya infeksi campuran dengan bakteri. Untuk jamur
pilihan terapi yaitu : natamisin, amfoterisin atau fluconazol. Selain itu obat
yang dapat membantu epitelisasi dapat diberikan. Namun selain terapi
berdasarkan etiologi, pada keratitis pungtata superfisial dan ulkus kornea
sebaiknya juga diberikan terapi simptomatisnya agar dapat memberikan
rasa nyaman dan mengatasi keluhan-keluhan pasien. Pasien dapat diberi
air mata buatan, sikloplegik dan kortikosteroid. Pemberian air mata buatan
yang mengandung metilselulosa dan gelatin yang dipakai sebagai
pelumas oftalmik, meningkatkan viskositas, dan memperpanjang waktu
kontak kornea dengan lingkungan luar. Selain itu, pemberian vitamin C
dapat membantu reepitalisasi kornea dan mempercepat penyembuhan.
Pemberian tetes kortikosteroid pada keratitis dalam hal ini keratitis pungtat
superfisial ini bertujuan untuk mempercepat penyembuhan dan mencegah
terbentuknya jaringan parut pada kornea, dan juga menghilangkan
keluhan subjektif seperti fotobia namun pada umumnya pada pemberian
steroid dapat menyebabkan kekambuhan karena steroid juga dapat
memperpanjang infeksi dari virus jika memang etiologi dari KPS tersebut
adalah virus. Pemberian kortikosteroid pada ulkus kornea masih menjadi
kontraindikasi terutama pada kausa jamur karena dapat memperluas
infeksi dan semakin merusak kornea.
Pengobatan umum:
Benda asing dan bahan yang merangsang harus segera dihilangkan.
Lesi kornea sekecil apa pun harus diperhatikan dan diobati sebaik-
baiknya. Konjungtivitis, dakriosistitis harus diobati dengan baik. Infeksi
lokal pada hidung, telinga, tenggorok, gigi atau tempat lain harus segera
dihilangkan. Infeksi pada mata harus diberikan:
1) Sikloplegik : Sulfas atropin sebagai salep atau larutan.
Kebanyakan dipakai sulfas atropine karena lama kerjanya 1-2
minggu. Efek kerja sulfas atropine:
2) Sedatif, menghilangkan rasa sakit.
3) Dekongestif, menurunkan tanda-tanda radang. Menyebabkan
paralysis M. siliaris dan M. konstriktor pupil. Dengan
lumpuhnya M. siliaris mata tidak mempunyai daya akomodsi
sehingga mata dalan keadaan istirahat. Dengan lumpuhnya
M. konstriktor pupil, terjadi midriasis sehinggga sinekia
posterior yang telah ada dapat dilepas dan mencegah
pembentukan sinekia posterior yang baru.
4) Skopolamin(anti-muskarinik) sebagai midriatika.
5) Analgetik
6) Antibiotik : Diberikan antibiotik yang sesuai dengan kausanya.
Bila
penyebabnya belum diketahui dapat diberikan antibiotik
spektrum luas.
Biasanya diberi lokal kecuali keadaan berat. Diberikan dalam
bentuk salep, tetes atau injeksi subkonjungtiva. Pada
pengobatan ulkus sebaiknya tidak diberikan salep mata
karena dapat memperlambat penyembuhan dan juga dapat
menimbulkan erosi kornea kembali.
7) Verband : Verband tidak seharusnya dilakukan pada lesi
infeksi supuratif karena dapat menghalangi pengaliran sekret
infeksi tersebut dan memberikan media yang baik terhadap
perkembangbiakan kuman
penyebabnya. Verband memang diperlukan pada ulkus yang
bersih tanpa sekret guna mengurangi rangsangan.
8) Irigasi : Sekret yang terbentuk dibersihkan 4 kali sehari.
9) Debridment :Debridement sangat membantu penyembuhan.
Pengobatan khusus:
a. Antibiotik : Topical Basitrasin/sefalosporin & aminoglikosida
ditambah dengan subkonjuntiva Metilisin atau gentamisin tipa
24 jam selam 3 hari. Basil Gram Negatif diberikan suntikan
subkonjungtiva setiap 12 jam selama 3 hari.
b. Anti jamur : Terapi medika mentosa di Indonesia terhambat
oleh terbatasnya preparat komersial yang tersedia
berdasarkan jenis keratomitosis yang dihadapi bisa dibagi :
a) Jenis jamur yang belum diidentifikasi penyebabnya (stadium
awal) : topical amphotericin B , Thiomerosal , Natamycin dan
golongan Imidazole.
b) Jamur berfilamen : topikal amphotericin B, thiomerosal,
Natamicin, Imidazol
c) Yeast : amphotericin B, Natamicin, Imidazol.
d) Actinomyces yang bukan jamur sejati : golongan sulfa,
berbagai jenis antibiotik.
Bila terapi tidak efektif, dihentikan 24 jam dan specimen untuk
dilakukan kultur. Jika tidak merespon dengan obat anti-jamur disebabkan
infiltrasi kornea dan ulkus yang meluas dan timbul descemetokele atau
perforasi,maka dilakukan keratoplasti pada ulkus kornea tersebut.
c. Anti Viral : Untuk herpes zoster pengobatan bersifat
simtomatik diberikan streroid lokal untuk mengurangi gejala,
sikloplegik, antibiotik spektrum luas untuk infeksi sekunder
analgetik bila terdapat indikasi. Antivirus topikal yang biasa
dipakai adalah idoxuridine, trifluridin, vidarabin dan acyclovir.
Umumnya ulkus kornea virus sembuh sendiri dan
pembentukan parut minimal.
BAB III
KESIMPULAN
Keratitis merupakan kelainan akibat tejadinya infiltrasi sel radang
pada kornea yang akan mengakibatkan komea menjadi keruh. Keratitis
biasanya diklasifikasikan dalam lapis yang terkena seperti keratitis
superfisial dan profunda atau interstisial. Penyebab keratitis bermacam-
macam, seperti infeksi bakter, virus maupun jamur (virus herpes simpleks
merupakan penyebab tersering), kekeringan kornea, pajanan cahaya yang
terlalu terang, benda asing, reaksi alergi terhadap kosmetik, debu, polusi
atau bahan iritan lainnya, kekurangan vitamin A dan penggunaan lensa
kontak yang kurang baik. Penyebab keratitis 90% disebabkan oleh bakteri,
jenis bakteri seperti Staphylococcus, Streptococcus, Pseudomonas,
Atypical Mycobacteria dan Moraxella.
Kecurigaan akan adanya keratitis pada pasien dapat timbul pada
pasien yang datang dengan trias keluhan keratitis yaitu gejala mata
merah, rasa silau (fotofobia) dan merasa kelilipan (blefarospasma).
Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan kornea
dibawah slitlamp, jika tidak tersedia dapat digunakan kaca pembesar dan
pencahayaan yang terang. Pemulasan flouresent dapat memeprjelas lesi
epitel superfisial yang tidak mungkin terlihat bila tidak dipulas.
Pemeriksaan penunjang berupa biakan dari apusan kornea untuk
mengetahui jenis bakterinya guna terapi yang tepat dan adekuat.
Penatalaksaan keratitis harus dilakukan segera untuk mencegah
komplikasi yang tidak diinginkan. Faktor risiko sebisa mungkin
disingkirkan, pemberian antibiotik sesuai jenis bakteri penyebabnya,
pemberian artificial tears, sikloplegik, kortikosteroid, dan pembedahan jika
sudah tejadi perforasi. Prognosisnya tergantung pada beberapa hal,
diantaranya virulensi mikroorganisme, luas dan letak defek, dan hasil
vaskularisasi dan/atau deposit kolagen.
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology. External Eye Disease and Cornea.


San Fransisco 2008-2009. p. 179-9
2. Roderick B. Kornea. In: Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum Edisi 17.
Jakarta : EGC. 2009. p. 125-49
3. Buku Ajar Bagian Ilmu Kesehatan Mata. (2017). Fakultas Kedokteran
Universitas Muslim Indonesia
4. Singh P, Gupta A, Tripathy K. Keratitis. [Diperbarui 2023 Feb 22]. Di
dalam: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): Penerbitan StatPearls;
2023 Jan-. Tersedia dari:
https://www-ncbi-nlm-nih-gov.translate.goog/books/NBK559014/?
_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=sc
5. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata Edisi-2 Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2010

Anda mungkin juga menyukai