Anda di halaman 1dari 25

Clinical Science Session

* Kepaniteraan Klinik Senior/Desember 2020


** Pembimbing:dr. Rozy Oneta, Sp.M

KERATITIS VIRUS

Oleh:
Fatma Aperta Daswat
G1A219086

Pembimbing:
dr. Rozy Oneta, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU MATA
RUMAH SAKIT UMUM RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020

1
LEMBAR PENGESAHAN
KERATITIS VIRUS

Oleh:
Fatma Aperta Daswat
G1A219086

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU MATA
RUMAH SAKIT UMUM RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020

Jambi, Desember 2020


Pembimbing

dr. Rozy Oneta, Sp.M

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan karunia yang telah dilimpahkan-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat dengan judul “Keratitis Virus”
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih
kepada dr. Rozy Oneta, Sp.M selaku pembimbing yang telah banyak membantu
dalam penyelesaian referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Jambi, Desember 2020

Penulis

3
BAB I
PENDAHULUAN

Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang merupakan bagian dari
media refraksi, kornea juga berfungsi sebagai superfic pelindung dan jendela yang
dilalui berkas cahaya menuju retina. Kornea terdiri atas 5 lapis yaitu epitel, superfic
bowman, stroma, superfic descemet, dan endotel. Endotel lebih penting daripada
epitel dalam mekanisme dehidrasi dan cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh
lebih berat daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan
edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya cedera pada epitel hanya
menyebabkan edema super sesaat pada stroma kornea yang akan menghilang bila sel-
sel epitel itu telah beregenerasi.1
Keratitis adalah suatu peradangan kornea yang disebabkan oleh bakteri, virus,
dan jamur. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lapis kornea yang terkena
seperti keratitis superficial dan profunda, atau berdasarkan penyebabnya. Keratitis
diklasifikasikan berdasarkan lapisan pada kornea yang  terkena, keratitis uperficial
dan keratitis profunda,  atau berdasarkan penyebabnya yaitu keratitis karena
berkurangnya sekresi air mata, keratitis karena keracunan obat, keratitis reaksi alergi,
infeksi, reaksi kekebalan, reaksi terhadap konjungtivitis menahun.1,2,3
Pada keratitis sering timbul rasa sakit yang berat oleh karena kornea
bergesekan dengan palpebra, karena kornea berfungsi sebagai media untuk refraksi
sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang yang masuk ke mata
maka lesi pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama apabila lesi
terletak sentral dari kornea. Fotofobia terutama disebabkan oleh iris yang meradang 
keratitis dapat memberikan gejala mata merah, rasa silau dan merasa ada yang
mengganjal atau kelilipan.4

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kornea
2.1.1 Anatomi Kornea
Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran
11-12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37.
Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total
58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada
difusi glukosa dari aqueus humordan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata.
Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea
adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak
dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva ( AAO,
2008). Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 550 μm, diameter horizontalnya
sekitar 11,75 mm dan vertikalnya 10,6 mm.1,2

Gambar 1.Anatomi Mata

5
2.1.2 Histologi Kornea
Secara histologis, lapisan sel kornea terdiri dari lima lapisan, yaitu lapisan
epitel, lapisan Bowman, stroma, membran Descemet, dan lapisan endotel. Permukaan
anterior kornea ditutupi epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk dan tanpa papil.
Di bawah epitel kornea terdapat membran limitans anterior(membran Bowman) yang
berasal dari stroma kornea (substansi propia). Stroma kornea terdiri atas berkas serat
kolagen paralel yang membentuk lamella tipis dan lapisan-lapisan fibroblas gepeng
dan bercabang. Permukaan posterior kornea ditutupi epitel kuboid rendah dan epitel
posterior yang juga merupakan endotel kornea. Membran Descemet merupakan
membran basal epitel kornea dan memiliki resistensi yang tinggi, tipis tetapi lentur
sekali.1,3

2.1.3 Perdarahan dan Persyarafan Kornea


Kornea mendapat nutrisi dari pembuluh-pembuluh darah limbus,
humoraqueous, dan air mata. Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari cabang pertama
(ophthalmichus) dan nervus kranialis trigeminus. Saraf trigeminus ini memberikan
sensitivitas tinggi terhadap nyeri bila kornea disentuh.3

2.1.4 Fisiologi Kornea


Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui
berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya
yang uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif
jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel dan oleh
fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih
penting daripada epitel. Kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak jauh
lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan
edema kornea dan hilangnya sifat transparan.4,5

6
Sebaliknya, kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea
lokal sesaat yang akan meghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air
dari lapisan air mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan pada lapisan air
mata tersebut. Hal inimungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma
kornea superfisial dan membantu mempertahankan keadaan dehidrasi.Penetrasi
kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat melalui epitel utuh
dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh. Agar dapat melalui kornea,
obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus.4,5,6
Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam
kornea. Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan membran
Bowman mudahterkena infeksi oleh berbagai macam organisme, seperti bakteri,
virus, amuba, dan jamur. Adapun faktor-faktor yang sering menyebabkan kelainan
pada kornea adalah:5,6
1) Dry eye. Kelainan ini muncul ketika lapisan air mata mengalami defisiensi
sehingga tidak dapat memenuhi batas-batas kecukupan, baik secara kuantitatif
maupun kualitatif, yang kemudian diikuti dengan keluhan subjektif.
Kekurangan cairan lubrikasi fisiologis merupakan faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya infeksi mikroba pada mata
2) Defisiensi vitamin A. Kelainan kornea oleh karena defisiensi vitamin A dapat
menyebabkan kekeringan yang menggambarkan bercak Bitot yang warnanya
seperti mutiara yang berbentuk segitiga dengan pangkal di daerah limbus.
Bercak Bitot seperti ada busa di atasnya. Bercak ini tidak dibasahi oleh air
mata dan akan terbentuk kembali bila dilakukan debridement. Terdapat
dugaan bahwa bentuk busa ini merupakan akibat kuman Corynebacterium
xerosis. Hipovitamin A ini juga dapat menyebabkan keratomalasia dan tukak
kornea dimana akan terlihat kornea nekrosis dengan vaskularisasi ke
dalamnya
3) Abnormalitas ukuran dan bentuk kornea. Abnormalitas ukuran dan bentuk
kornea yang terjadi adalah mikrokornea dan megalokornea. Mikrokornea

7
adalah suatu kondisi yang tidak diketahui penyebabnya, bisa berhubungan
dengan gangguan pertumbuhan kornea fetal pada bulan ke-5. Selain itu bisa
juga berhubungan dengan pertumbuhan yang berlebihan dari puncak anterior
optic cup yang meninggalkan sedikit ruang bagi kornea untuk berkembang.
Mikrokornea bisa berhubungan dengan autosomal dominan atau resesif
dengan prediksi seks yang sama, walaupun transmisi dominan lebih sering
ditemukan. Megalokornea adalah suatu pembesaran segmen anterior bola
mata. Penyebabnya bisa berhubungan dengan kegagalan optic cup untuk
tumbuh dan anterior tip menutup yang meninggalkan ruangan besar bagi
kornea untuk untuk diisi
4) Distrofi kornea. Deposit abnormal yang disertai oleh perubahan arsitektur
kornea, bilateral simetrik dan herediter, tanpa sebab yang diketahui. Proses
dimulai pada usia bayi 1-2 tahun dapat menetap atau berkembang lambat dan
bermanisfestasi pada usia 10-20 tahun. Pada kelainan ini tajam penglihatan
biasanya terganggu dan dapat disertai dengan erosi kornea
5) Trauma kornea Trauma kornea bisa disebabkan oleh trauma tumpul, luka
penetrasi atau perforasi benda asing. Kemungkinan kontaminasi jamur atau
bakteri harus diingat dengan kultur untuk bakteri dan jamur diambil pada saat
pemeriksaan pertama jika memungkinkan. Trauma tumpul kornea dapat
menimbulkan aberasi, edema, robeknya membran Descemetdan laserasi
korneoskleral di limbus. Trauma penetrasi merupakan keadaan yang gawat
untuk bola mata karena pada keadaan ini kuman akan mudah masuk ke dalam
bola mata selain dapat mengakibatkan kerusakan susunan anatomik dan
fungsional jaringan intraokular. Perforasi benda asing yang terdapat pada
kornea dapat menimbulkan gejala berupa rasa pedas dan sakit pada mata.
Keluhan ini mungkin terjadi akibat sudah terdapatnya keratitis atau tukak pada
mata tersebut.

8
2.2 Keratitis Virus
Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada
kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh. Akibat terjadinya kekeruhan
pada media kornea ini, maka tajam penglihatan akan menurun. Mata merah pada
keratitis terjadi akibat injeksi pembuluh darah perikorneal yang dalam atau injeksi
siliar. Keratitis disebabkan oleh berbagai etiologi yaitu Virus, Bakteri, Jamur,
Paparan sinar ultraviolet seperti sinar matahari, Iritasi dari penggunaan berlebihan
lensa kontak, Mata kering yang disebabkan oleh kelopak mata robek atau tidak
cukupnya pembentukan air mata, Adanya benda asing di mata, Reaksi terhadap obat
seperti neomisin, tobramisin, polusi, atau partikel udara seperti debu, serbuk sari.
Pada referat ini khusus membahas keratitis yang disebabkan oleh virus.7,8

2.2.1 Keratitis Herpes Simpleks


2.2.1.1 Definisi
Keratitis herpes simpleks merupakan salah satu infeksi kornea yang paling
sering ditemukan. Disebabkan oleh virus herpes simpleks, ditandai dengan adanya
infiltrasi sel radang & edema pada lapisan kornea manapun. Pada mata, virus herpes
simplek dapat diisolasi dari kerokan epitel kornea penderita keratitis herpes simpleks.
Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan cairan dan jaringan mata, rongga
hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung virus.8

2.2.1.2 Temuan Klinis


Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan
kambuhan. lnfeksi primer herpes simpleks primer pada mata jarang ditemukan
ditandai oleh adanya demam, malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis
folikutans, bleparitis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kira-kira 94-99% kasus
bersifat unilateral, walaupun pada 40% atau lebih dapat terjadi bilateral khususnya
pada pasien-pasien atopic.7,8

9
Bentuk ini umumnya dapat sembuh sendiri, tanpa menimbulkan kerusakan
pada mata yang berarti. Terapi antivirus topikal dapat dipakai untuk profilaksis agar
kornea tidak terkena dan sebagai terapi untuk penyakit kornea. Infeksi primer dapat
terjadi pada setiap umur, tetapi biasanya antara umur 6 bulan-5 tahun atau 16-25
tahun. Keratitis herpes simpleks didominir oleh kelompok laki-laki pada umur 40
tahun ke atas.7,8
Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi primer.
Dengan mekanisme yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron sensorik
atau ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior, ganglion
n.trigeminus, dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan virus. Namun akhir-
akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan sebagai tempat
berlindung virus herpes simpleks. Beberapa kondisi yang berperan terjadinya infeksi
kambuhan antara lain: demam, infeksi saluran nafas bagian atas, stres emosional, 
pemaparan  sinar matahari  atau  angin,  haid,  renjatan  anafilaksis,  dan kondisi
imunosupresi.1,2,3
Walaupun  diobati,  kira-kira  25%  pasien  akan  kambuh  pada  tahun 
pertama,  dan meningkat menjadi 33% pada tahun kedua. Peneliti lain bahkan
melaporkan angka yang lebih besar yaitu 46,57% keratitis herpes simpleks kambuh
dalam kurun waktu 4 bulan setelah infeksi primer. Penelitian di Yogyakarta
mendapatkan angka kekambuhan hanya 11,5% dalam kurun waktu  6  bulan 
pengamatan  setelah  penyembuhan.  Perbedaan  angka-angka  tersebut dimungkinkan
oleh perbedaan cara pengobatan. Kebanyakan infeksi HSV pada kornea disebabkan
HSV tipe 1 namun beberapa kasus pada bayi dan dewasa dilaporkan disebabkan HSV
tipe 2. Lesi kornea kedua jenis ini tidak dapat dibedakan.1,2

2.2.1.3 Gejala Klinis


Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian
pusat yang terkena terjadi sedikit gangguan penglihatan. Karena anestesi kornea
umumnya timbul pada awal infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien mungkin

10
tidak datang berobat. Sering ada riwayat lepuh – lepuh, demam atau infeksi herpes
lain, namun ulserasi kornea kadang – kadang merupakan satu – satunya gejala infeksi
herpes rekurens. Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya
lesi epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus
diwaspadai terhadap  keratitis  lain  yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya
pada: herpes zoster oftalmikus,keratitis akibat pemaparan dan mata kering, pengguna
lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik pada keratitis
herpes simpleks ringan adalah tidak adanya foto-fobia.3,4

2.2.1.4 Lesi
Keratitis herpes simplek juga dapat dibedakan atas bentuk superfisial dan
profunda. Lesi superfisial:
1) Dendritik
Keratitis  dendritika merupakan proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang
diakibatkan oleh perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulkañ
kematian sel serta membentuk defek dengan gambaran bercabang. Lesi
bentuk dendritik merupakan gambaran yang khas pada kornea, memiliki
percabangan linear khas dengan tepian kabur, memiliki bulbus terminalis pada
ujungnya. Pemulasan fluoresein memudahkan melihat dendrit, namun
sayangnya keratitis herpes dapat juga menyerupai banyak infeksi kornea yang
lain.6
2) Geografik. 
Bentuk ulserasi geografik yaitu sebentuk penyakit dendritik menahun yang
lesi dendritiknya berbentuk lebih lebar hal ini terjadi akibat bentukan ulkus
bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan demikian
gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang
mengelilingi ulkus. Tepian ulkus tidak kabur. Sensasi kornea, seperti halnya
penyakit dendritik, menurun. Lesi epitel kornea lain yang dapat ditimbulkan
HSV adalah keratitis epitelial ”blotchy”, keratitis epitelial stelata, dan keratitis

11
filamentosa. Namun semua ini umumnya bersifat sementara dan sering
menjadi dendritik khas dalam satu dua hari.7

2.2.1.5 Patogenesa
Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal.
Kerusakan terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan sel
epitelial dan membentuk tukak kornea superfisial.Pada stromal terjadi reaksi
imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibodi yang
menarik sel radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik
untuk merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stroma disekitarnya. Hal ini
penting diketahui karena manajemen pengobatan pada yang epitelial ditujukan
terhadap virusnya sedangkan pada yang stromal ditujukan untuk menyerang virus dan
reaksi radangnya.1,3
Perjalanan klinik keratitis dapat berlangsung lama kaena stroma kornea
kurang vaskuler, sehingga menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke tempat lesi.
Infeksi okuler HSV pada hospes imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun
pada hospes yang secara imunologik tidak kompeten, perjalanannya mungkin
menahun dan dapat merusak. Infeksi virus herpes simpleks (HSV) banyak terjadi
pada manusia , hampir 100% dari mereka yang berusia lebih dari 60 tahun memiliki
HSV dalam ganglia trigeminal mereka pada saat otopsi. Telah diperkirakan bahwa
sepertiga dari populasi dunia menderita infeksi rekuren. Oleh karena itu, infeksi HSV
mewakili permasalahan kesehatan umum yang luas dan terjadi di seluruh dunia.1,3,6
            HSV tipe 1(HSV-1) dan tipe 2 (HSV-2) secara antigenik berhubungan dan
dapat menginfeksi silang saraf ganglia yang sama. HSV-1 lebih sering menyebabkan
infeksi di atas pinggang (infeksi orofasial dan okular), dan HSV-2 di bawah pinggang
(infeksi genital), namun kedua virus dapat menyebabkan penyakit pada lokasi
manapun. Dalam masyarakat industrialisasi, 40 – 80% dari dewasa memiliki antibodi

12
serum terhadap HSV-1, yang mewakili penurunan dalam infeksi dari dekade
sebelumnya, dan usia dari konversi serologis meningkat.6
HSV saat ini lebih sering terjadi pada masa remaja daripada masa anak –
anak. Infeksi HSV disebarkan oleh kontak langsung dengan lesi yang terinfeksi atau
sekresinya namun paling sering terjadi sebagai hasil dari pajanan terhadap virus yang
dilepaskan secara asimtomatis. HSV dapat ditransmisikan ke neonatus saat mereka
melewati jalan lahir dari seorang ibu dengan infeksi genital, dan pada bayi baru lahir,
dapat menyebabkan penyakit terbatas pada kulit dan membran mukosa maupun
infeksi sistemik meliputi ensefalitis. Pediatric Ophthalmology and Strabismus,
membahas infeksi herpes neonatal secara lebih rinci.2,3
            Infeksi HSV-1 primer dalam manusia paling sering terjadi pada kulit dan
permukaan mukosa yang diinercasi oleh saraf kranialis V (saraf trigeminal). Infeksi
primer sering bermanifestasi sebagai infeksi saluran pernafasan atas non spesifik dan
dikenali sebagai HSV kurang dari 5% dari waktu. HSV dapat menyebar melalui kulit
dan epitel mukosal yang terinfeksi melalui akson saraf sensorius untuk menghasilkan
infeksi laten dalam ganglia saraf sensorius yang berhubungan, termasuk ganglion
trigeminal. Infeksi laten dari ganglion trigeminal terjadi dalam keadaan tidak adanya
infeksi primer yang dikenali, dan reaktivasi dari virus dapat mengikuti dalam salah
satu dari 3 cabang CN V, selain penyakit primer pada daerah inervasi dari satu
cabang khusus. Sekitar 0,15% dari populasi Amerika Serikat memiliki riwayat untuk
infeksi HSV okular eksternal, dan dari mereka sekitar seperlima mengalami keratitis
stromal, gambaran infeksi yang membutakan yang paling sering. 2,3

2.2.1.6 Terapi
Bertujuan menghentikan replikasi virus didalam kornea, sambil memperkecil
efek merusak akibat respon radang. 2,3
a) Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial, karena
virus berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban antigenik

13
virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun epitel
terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator
berujung kapas khusus. Yodium atau eter topikal tidak banyak manfaat dan
dapat menimbulkan keratitis kimiawi. Obat siklopegik seperti atropi 1 % atau
homatropin5% diteteskan kedalam sakus konjugtiva, dan ditutup dengan
sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya
sampai defek korneanya sembuh umumny adalah 72 jam. Pengobatan
tambahan dengan anti virus topikal mempercepat pemulihan epitel. Terapi
obat topikal tanpa debridement epitel pada keratitis epitel memberi
keuntungan karena tidak perlu ditutup, namun ada kemungkinan pasien
menghadapi berbagai keracunan obat
b) Terapi obat
Agen anti virus topikal yang di pakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine,
trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Trifluridine dan acyclovir jauh lebih
efektif untuk penyakit stroma dari pada yang lain. Idoxuridine dan trifluridine
sering kali menimbulkan reaksi toxik. Acyclovir oral ada mamfaatnya untuk
pengobatan penyakit herpes mata berat, khususnya pada orang atopik yang
rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif (eczema herpeticum).
Study multicenter terhadap efektivitas acyclovir untuk pengobatan kerato
uveitis herpes simpleks dan pencegahan penyakit rekurens kini sedang
dilaksanakan ( herpes eye disease study).
Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada
epitel kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal.
Dalam hal ini penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan
berpotensi sangat merusak. Kortikosteroid topikal dapat juga mempermudah
perlunakan kornea, yang meningkatkan risiko perforasi kornea. Jika memang
perlu memakai kortikosteroid topikal karena hebatnya respon peradangan,
penting sekali ditambahkan obat anti virus secukupnya untuk mengendalikan
replikasi virus .

14
c) Bedah
Keratolasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi penglihatan
pasien yang mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya dilakukan
beberapa bulan setelah penyakit herpes non aktif. Pasca bedah, infeksi herpes
rekurens dapat timbul karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal yang
diperlukan untuk mencegah penolakan transplantasi kornea. Juga sulit
dibedakan penolakan transplantasi kornea dari penyakit stroma rekurens.
Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri atau
fungi mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan
sianokrilat dapat dipakai secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan graft
“petak” lamelar berhasil baik pada kasus tertentu. Keratoplasi lamelar
memiliki keuntungan dibanding keratoplasti penetrans karena lebih kecil
kemungkinan terjadi penolakan transparant. Lensa kontak lunak untuk terapi
atau tarsorafi mungkin diperlukan untuk pemulihan defek epitel yang terdapat
padakeratitis herpes simplek.
d) Pengendalian mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV
Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kira – kira sepertiga kasus
dalam 2 tahun serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme
pemicunya. Setelah denga teliti mewawancarai pasien. Begitu ditemukan,
pemicu itu dapat dihindari. Aspirin dapat dipakai untuk mencegah demam,
pajanan berlebihan terhadap sinar matahari atau sinar UV dapat dihindari.
Keadaan – keadaan yang dapat menimbulkan strea psikis dapat dikurangi.
Dan aspirin dapat diminum sebelum menstruasi

2.2.1.7 Prognosis
Prognosis akhirnya baik karena tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada
kornea. Bila tidak diobati, penyakit ini berlangsung 1-3 tahun dengan meninggalkan
gejala sisa. 2,3

15
2.2.2 Keratitis Virus Varisela Zoster
2.2.2.1 Latar Belakang
Herpes zoster oftalmikus adalah infeksi virus herpes zoster yang menyerang
bagian ganglion gasseri  yang menerima serabut saraf dari cabang oftalmikus saraf
trigeminus (N.V) yang ditandai dengan erupsi herpetik unilateral pada kulit. Insidensi
herpers zoster terjadi pada 20 % populasi dunia dan 10 % diantaranya adalah herpes
zoster oftalmikus. Penyakit ini cukup berbahaya karena dapat menimbulkan
penurunan visus.Virus Varicella zoster dapat laten pada sel syaraf tubuh dan pada
frekuensi yang kecil di sel non-neuronal satelit dari akar dorsal, berhubung dengan
saraf tengkorak dan saraf autonomic ganglion, tanpa menyebabkan gejala
apapun. Infeksi herpes zoster biasanya terjadi pada pasien usia tua dimana specific
cell mediated immunity pada umumnya menurun seiring dengan bertambahnya usia
atau pasien yang mengalami penurunan system imun seluler. Morbiditas kebanyakan
terjadi pada individu dengan imunosupresi (HIV/AIDS), pasien yang mendapat terapi
dengan imunosupresif dan pada usia tua.1,2,3
Herpes zoster oftalmik merupakan bentuk manifestasi lanjut setelah serangan
varicella.virus ini dapat menyerang saraf cranial V. Pada nervus trigeminus, bila yang
terserang antara pons dan ganglion gasseri, maka akan terjadi gangguan pada ketiga
cabang nervus V (cabang oftalmik, maksilar, mandibular) akan tetapi yang biasa
terkena adalah ganglion gasseri dan yang terganggu adalah cabang oftalmik.
Bila cabang oftalmik yang terkena, maka terjadi pembengkakan kulit di daerah dahi,
alis, dan kelopak mata disertai kemerahan yang dapat disertai vesikel, dapat
mengalami supurasi, yang bila pecah akan menimbulkan sikatriks. Bila cabang
nasosiliar yang terkena, kemungkinan komplikasi pada mata sekitar 76 %. Jika saraf
ini tidak terkena maka resiko komplikasi pada mata hanya sekitar 3,4%.4
Virus herpes zoster bisa dorman atau menetap (laten) pada ganglion N.V dan
reaktivasinya didahului oleh gejala prodormal seperti demam, malaise, sakit kepala
dan nyeri pada daerah saraf yang terkena tapi sebelumnya terbentuk lesi kulit. Kulit
kelopak mata dan sekitarnya berwarna merah dan bengkak diikuti terbentuknya

16
vesikel, kemudian menjadi pustule lalu pecah menjadi krusta. Jika krusta lepas akan
meninggalkan jaringan sikatrik.5
Manifestasi herpes zoster oftalmikus antara lain sakit mata, mata merah,
penurunan visus dan mata berair. Penegakan diagnosis sebagian besar dilihat dari
manifestasi nyeri dan gambaran ruam dermatom serta adanya riwayat menderita cacar
air. Penatalaksanaan infeksi akut herpes zoster oftalmikus yaitu antivirus,
kortikosteroid sistemik, antidepresan, dan analgesic yang adekuat. Jika terjadi
komplikasi mata seperti keratitis, iritis dan iridosiklitis dapat diberikan steroid topical
dan siklopegik. Pengobatan akan optimal bila dimulai dalam 72 jam dari onset ruam
kulit.2

2.2.2.2 Anatomi Nervus Trigeminus


Fungsi nervus Trigeminus dapat dinilai melalui pemeriksaan rasa suhu, nyeri
dan raba pada daerah inervasi N. V (daerah muka dan bagian ventral calvaria),
pemeriksaan refleks kornea, dan pemeriksaan fungsi otot-otot pengunyah. Fungsi otot
pengunyah dapat diperiksa, misalnya dengan menyuruh penderita menutup kedua
rahangnya dengan rapat, sehingga gigi-gigi pada rahang bawah menekan pada gigi-
gigi rahang atas, sementara m. Masseter dan m. Temporalis dapat dipalpasi dengan
mudah.
Pada kerusakan unilateral neuron motor atas, mm. Masticatores tidak
mngelami gangguan fungsi, oleh karena nucleus motorius N. V menerima fibrae
corticonucleares dari kedua belah cortex cerebri. Sebagai tambahan terhadap fungsi
cutaneus, cabang maxillaris dan mandibularis penting pada kedokteran gigi. Nervus
maxillaris memberikan inervasi sensorik ke gigi maxillaris, palatum, dan gingiva.
Cabang mandibularis memberikan persarafan sensorik ke gigi mandibularis, lidah,
dan gingiva. Variasi nervus yang memberikan persarafan ke gigi diteruskan ke
alveolaris, ke soket di mana gigi tersebut berasal nervus alveolaris superior ke gigi
maxillaris berasal dari cabang maxillaris nervus trigeminus. Nervus alveolaris inferior
ke gigi mandibularis berasal dari cabang mandibularis nervus trigeminus.6

17
Nervus trigeminus merupakan nervus cranial terbesar, sensorik pada leher dan
kepala serta merupakan nervus motorik pada otot-otot pengunyahan. Nervus
trigeminus muncul dari pons, dekat dengan batas sebelah atas dengan radiks motorik
kecil yang terletak di depan dan radiks sensorik besar yang terletak di medial.

Gambar 2. Nervus Trigeminus

Nervus trigeminus dinamai saraf tiga serangkai sebab terdiri atas tiga cabang
(rami) utama yang menyatu pada ganglion Gasseri. Ketiga cabang tersebut adalah:
1. Nervus oftalmikus, yang mensarafi dahi, mata, hidung, selaput otak, sinus
paranasalis dan sebagian dari selaput lendir hidung. Saraf ini memasuki
rongga tengkorak melalui fissura orbitalis superior. Nervus opthalmicus
merupakan divisi pertama dari trigeminus dan merupakan saraf sensorik.
Cabang-cabang n. opthalmicus menginervasi kornea, badan ciliaris dan iris,
glandula lacrimalis, conjunctiva, bagian membran mukosa cavum nasal, kulit
palpebra, alis, dahi dan hidung.
2. Nervus maksilaris, yang mensarafi rahang atas serta gigi-gigi rahang atas,
bibir atas, pipi, palatum durum, sinus maxillaries dan selaput lendir
hidung. Saraf ini memasuki rongga tengkorak melalui foramen rotundum.

18
Cabang-cabang – cabang-cabang n. maxillaris terbagi menjadi empat bagian
yang dipercabangkan di cranium, fossa pterygopalatina, canalis infraorbitalis
dan pada wajah.6
3. Nervus mandibularis, yang mensarafi rahang bawah, bibir bawah, mukosa
pipi, lidah, sebagian dari meatus accusticus externus, meatus accusticus
internus dan selaput otak. Saraf ini memasuki rongga tengkorak melalui
foramen ovale.Ketiga nervi (rami) ini bertemu di ganglion semilunare Gasseri.
Dalam ganglion semilunar Gasseri terdapat sel-sel ganglion unipolar.6

2.2.2.3 Definisi
Herpes zoster oftalmikus adalah infeksi virus herpes zoster yang menyerang
bagian ganglion gasseri  yang menerima serabut saraf dari cabang oftalmikus saraf
trigeminus (N.V) yang ditandai dengan erupsi herpetik unilateral pada kulit.1

2.2.2.4 Insidensi
Insidensi herpers zoster terjadi pada 20 % populasi dunia dan 10 %
diantaranya adalah herpes zoster oftalmikus.2  

2.2.2.5 Manifestasi Klinis


Biasanya penderita herpes zoster oftalmik pernah mengalami penyakit
varisela beberapa waktu sebelumnya. Dapat terjadi demam atau malaise dan rasa
nyeri yang biasanya berkurang setelah timbulnya erupsi kulit, tetapi rasa nyeri ini
kadang-kadang dapt berlangung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
Secara subyektif biasanya penderita datang dengan rasa nyeri serta edema
kulit yang tampak kemerahan pada daerah dahi, alis dan kelopak atas serta sudah
disertai dengan vesikel. Secara obyektif tampak erupsi kulit pada daerah yang
dipersarafi cabang oftalmik nervus  trigeminus. Erupsi ini unilateral dan tidak
melewati garis median. Rima palpebra tampak menyempit bila kelopak atas mata
mengalami pembengkakan. Bila cabang nasosiliar nervus trigeminus yang terkena ,

19
maka erupsi kulit terjadi pada daerah hidung dan rima palpebra biasanya tertutup
rapat. Bila kornea atau jaringan yang lebih dalam terkena maka timbul lakrimasi,
mata silau dan sakit dan penderita tampak kesakitan yang parah. Kelainan mata
berupa bercak-bercak atau bintik-bintik putih kecil yang tersebar di epitel kornea
yang dengan cepat sekalimelibatkan stroma. Bila infeksi mengenai jaringan mata
yang lebih dalam dapt menimbulkan iridosiklitis disertai sinekia iris serta
menimbulkan glaucoma sekunder. Komplikasi lain adalah paresis otot penggerak
mata serta neurirtis optic. 2,4,5

Gambar 3 Manifestasi Klinis herpes zoster oftalmik

2.2.2.6 Diagnosis Banding


Diagnosis banding herpes zoster oftalmikus antara lain bell’s palsy, luka
bakar, episkliritis, erosi kornea persisten pada herpes simpleks.2

2.2.2.7 Penegakan Diagnosa


Penegakan diagnosis sebagian besar dilihat dari adanya riwayat menderita
cacar air, manifestasi nyeri dan gambaran ruam kulit seperti vesikel dengan
karakteristik distribusi sesuai dermatom. Jika gambaran lesi kulit tidak begitu jelas
maka dibutuhkan pemeriksaan penunjang laboratorium. Tekhnik polymerase chain
reaction (PCR) adalah tekhnik pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik karena

20
dapat mendeteksi varicella-zoster virus DNA yang terdapat dalam cairan vesikel.
Kultur virus juga dapat dilakukan namun sensitifitasnya rendah. Pemeriksaan lain
yaitu direct immunofluorescence assay.7

2.2.2.8 Penatalaksanaan
Strategi pengobatan pada infeksi akut herpes zoster oftalmikus yaitu antivirus,
kortikosteroid sistemik, antidepresan, dan analgesic yang adekuat. Jika tidak diobati
dengan adekuat dapat terjadi kerusakan permanen pada mata termasuk inflamasi yang
kronik, nyeri yang mengganggu (neuralgia pasca herpes) dan hilangnya tajam
pengelihatan.7,8
Obat antivirus diindikasikan dalam pengobatan herpes zoster yang
akut.2,9Yang termasuk antivirus adalah famsiklovir, acyclovir. Obat ini signifikan
untuk menurunkan nyeri akut, menghentikan progresi virus dan pembentukan vesikel,
mengurangi insiden episkleritis rekuren, keratitis, iritis dan mengurangi neuralgia
pasca herpetic jika dimulai dalam 72 jam onset ruam. Yang sering digunakan adalah
asiklovir 5x800 mg perhari selama 7 hari diikuti 2-3 minggu kemudian.9,10,11 
Jika kondisi pasien berat dianjurkan dirawat dan diberikan terapi asiklovir 5-
10 mg/kgBB IV 8 jam selama 8-10 hari.Lesi kulit dapat diobati dengan kompres
hangat dan salep antibiotic. Terapi local untuk lesi pada mata seperti keratitis,
iridosiklitis, dan skleritis dapat digunakan steroid topical dan siklopegik. Untuk
mencegah infeksi sekunder dapat digunakan antibiotic tetes atau salep. Pemberian
kortikosteroid diberikan sebagai pencegahan komplikasi-komplikasi di mata. Pada
semua jenis herpes zoster diberikan kortikosteroid sistemik untuk mengurangi
neuralgia, juga neuralgia post herpetikum. Obat yang sering digunakan adalah
prednisone dengan dosis 20-60 mg per hari dalam dosis tebagi 2-4 selama 2-3
minggu dan dilakukan tapering off bila gejala berkurang terutama pada pasien dengan
umur lebih dari 60 tahun.2,5

21
Analgesik seperti asetaminopen, asam menefenamat, aspirin dan NSAID
untuk mengontrol rasa nyeri. Artifial tears untuk lubrikasi kornea dan konjungtiva
terutama pada neurotrodik keratopati dan defek epithelial persisten. Pada pasien
dengan sikatrik kornea yang luas mungkin diperlukan tindakan keratoplasti.2,5

2.2.2.9 Komplikasi
1) Myelitis. Merupakan komplikasi di luar mata yang pernah dilaporkan oleh
Gordon dan Tucker, demikian juga encephalitis dan hemiplegi walaupun
jarang ditemukan tetapi pernah dilaporkan. Hal ini diperkirakan karena
penjalaran virus ke otak.
2)  Conjunctiva. Pada mata komplikasi yang dapat timbul adalah chemosis yang
ada hubungannya dengan pembengkakan palpebra. Pada saat ini biasanya
disertai dengan penurunan sensibilitas cornea dan kadang-kadang oedema
cornea yang ringan. Dapat juga timbul vesikel-vesikel di conjunctiva tetapi
jarang terjadi ulserasi. Pernah dilaporkan adanya canaliculitis yang ada
hubungannya dengan zoster.
3) Cornea. Bila comea terkena maka akan timbul infiltrat yang berbentuk tidak
khas dengan batas yang tidak tegas , tetapi kadang-kadang infiltratnya dapat
menyerupaiherpes simplex. Proses yang terjadi pada dasamya berupa keratitis
profunda yang bersifat khronis dan dapat bertahan beberapa minggu setelah
kelainan kulit sembuh. Akibat kekeruhan comea yang terjadi maka visus akan
menurun.
4) Iris. Adanya laesi diujung hidung sangat penting untuk diperhatikan karena
kemungkinan besar iris akan ikut terkena mengingat n. nasociliaris merupakan
cabang dari n.ophthalmicus yang juga menginervasi daerah iris, corpus ciliaze
dan cornea. Iritis/iridocyclitis dapat merupakan penjalaran dari keratitis
ataupun berdiri sendiri. Iritis biasanya ringan,jarang menimbulkan eksudat,
pada yang berat kadang-kadang disertai dengan hypopion atau secundair
glaucoma. Akibat dari iritis ini sering timbul sequele berupa iris atropi yang

22
biasanya sektoral. Pada beberapa kasus dapat disertai massive iris atropi
dengan kerusakan sphincter pupillae.
5) Sclera. Scleritis merupakan komplikasi yang jarang ditemukan, biasanya
merupakan lanjutan dari iridocyclitis. Pada sclera akan terlihat nodulus
dengan injeksi lokal yang dapat timbul beberapa bulan sesudah sembuhnya
laesi di kulit. Nodulusnya bersifat khronis, dapat bertahan beberapa bulan, bila
sembuh akan meninggalkan sikatrik dengan hyperpigmentasi. Scleritis ini
dapat kambuh lagi.
6) Ocular palsy. Dapat timbul bila mengenai N III, N IV, N V1, N III dan N IV
dapat sekaligus terkena. Pernah pula dilaporkan timbulnya ophthalmoplegi
totalis dua bulan setelah menderita herpes zoster ophthalmicus. Paralyse dari
otot-otot extra-oculer ini mungkin karena perluasan peradangan dari N
Trigeminus di daerah sinus cavemosus. Timbulnya paralyse biasanya dua
sampai tiga minggu setelah gejala permulaan dari zoster dirasakan, walaupun
ada juga yang timbul sebelumnya. Prognosa otot-otot yang pazalyse pada
umumnya baik dan akan kembali normal kira-kira dua bulan kemudian.
7) Retina. Kelainan retina yang ada hubungannya dengan zoster jarang
ditemukan. Kelainan tersebut berupa choroiditis dan perdazahan retina, yang
umumnya disebabkan adanya retinal vasculitis.
8) Optic neuritis. Optic neuritis juga jazang ditemukan; tetapi bila ada dapat
menyebabkan kebutaan karena timbulnya atropi n. opticus. Gejalanya berupa
scotoma sentral yang dalam beberapa minggu akan terjadi penurunan visus
sampai menjadi buta. 3,8,10

2.2.2.10 Prognosis
Prognosis bonam bila ditatalaksana secara cepat dan adekuat.13

23
BAB III
KESIMPULAN

Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada


kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh. Akibat terjadinya kekeruhan
pada media kornea ini, maka tajam penglihatan akan menurun. Mata merah pada
keratitis terjadi akibat injeksi pembuluh darah perikorneal yang dalam atau injeksi
siliar. Keratitis disebabkan oleh berbagai etiologi yaitu Virus, Bakteri, Jamur,
Paparan sinar ultraviolet seperti sinar matahari, Iritasi dari penggunaan berlebihan
lensa kontak, Mata kering yang disebabkan oleh kelopak mata robek atau tidak
cukupnya pembentukan air mata, Adanya benda asing di mata, Reaksi terhadap obat
seperti neomisin, tobramisin, polusi, atau partikel udara seperti debu, serbuk sari.
Keratitis virus paling sering disebabkan oleh virus herpes simpleks dan virus
herpes zoster. Pada keratitis yang disebabkan oleh virus herpes simpleks ditandai
dengan adanya infiltrasi sel radang & edema pada lapisan kornea manapun. Pada
mata, virus herpes simplek dapat diisolasi dari kerokan epitel kornea penderita
keratitis herpes simpleks. Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan cairan dan
jaringan mata, rongga hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung virus.
Sedangkan pada keratitis yang disebabkan oleh virus herpes zoster adalah infeksi
virus herpes zoster yang menyerang bagian ganglion gasseri  yang menerima serabut
saraf dari cabang oftalmikus saraf trigeminus (N.V) yang ditandai dengan erupsi
herpetik unilateral pada kulit.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Roderick B. Kornea. In: Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum Edisi 17.
Jakarta : ECG.2009.p. 125-49

2. American Academy of Ophtalmology, Eksternal Eye Disease and Cornea San


Fransisco 2008-2009.p. 179-90

3. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata edisi-2, Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2002. P.
113-116

4. Siregar RS.Penyakit Virus. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi ke-
2. Jakarta: EGC, 2005;84-7.

5. Herpes zoster from http://www.emedicine.com/oph[disc257.htm,2006

6. Herpes zoster from www.optometry.co.uk

7. Ilyas, Sidarta. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia, 2000

8.  Khurana AK. Comprehensive Ophtalmology. Fourth edition, India;


2007:103-106

9. Trigeminal Nerve fromhttp://www.gudangmateri.com/2010/03/trigeminal-


nerve.html

10. Roxas M,ND.Herpes zoster and Post Herpetic Nauralgia: Diagnosis and
Therapeutic Consideration

11. Herpes Zoster Information from http://www.emedicinehealth.com/articles

12. Saad Shakh MD, Christopher NTAMD, Evaluation and Management of


Herpes Zoster Ophthalmicus from http://www.aafp.org/afp/contents.html

13. Herpes Zoster Ophthalmicus in handbook of Ocular Disease Management


from http://www.revotom.com/handbook/hbhome.html

25

Anda mungkin juga menyukai