Anda di halaman 1dari 20

REFERENSI ARTIKEL

Keratitis Jamur

DISUSUN OLEH:

Quinita Maria Jose N. G992102103

Periode:

PEMBIMBING:

dr. Arya Pradipta Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DOKTER MOEWARDI
SURAKARTA
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Referensi Artikel ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran UNS / RSUD Dokter Moewardi. Referensi
Artikel dengan judul:
Keratitis Jamur

Hari, tanggal: Rabu, 03 Oktober 2021

Oleh:

Quinita Maria Jose N. G992102103

Mengetahui dan menyetujui,

Pembimbing Referensi Artikel

dr. Arya Pradipta Sp.M


BAB I

PENDAHULUAN

Kornea merupakan jaringan transparan dan salah satu media refrakta pada
mata. Kornea merupakan bagian anterior dari mata yang harus dilalui cahaya, dalam
perjalanan pembentukan bayangan di retina. Karena itu, kornea harus tetap jernih dan
permukaanya rata agar tidak menghalangi proses pembiasan sinar. 1 Kornea memiliki
mekanisme protektif terhadap lingkungan maupun paparan patogen (virus, amuba,
bakteri dan jamur). Ketika patogen berhasil masuk dan membuat defek epitelial di
kornea, maka jaringan braditropik kornea akan merespon patogen spesifik dengan
peradangan pada kornea (keratitis).2

Di Indonesia kekeruhan kornea masih menjadi masalah kesehatan mata,


kelainan ini menempati urutan kedua dalam penyebab utama kebutaan. Gangguan
kekeruhan dan peradangan pada kornea terutama disebabkan oleh infeksi
mikroorganisme berupa bakteri, jamur dan virus bila terlambat di diagnosis atau
diterapi secara tidak tepat akan mengakibatkan kerusakan stroma dan meninggalkan
jaringan parut yang luas.. Menurut hasil RISKESDAS tahun 2013 prevalensi
kekeruhan kornea nasional adalah 5,5% dan semakin meningkat dengan
bertambahnya umur. Prevalensi kekeruhan kornea yang tinggi ditemukan pada
kelompok pekerjaan petani/nelayan/buruh yaitu 9,7% yang mungkin berkaitan
dengan riwayat trauma mekanik atau kecelakaan kerja pada mata. Penduduk yang
tinggal di pedesaan mempunyai prevalensi kekeruhan yang lebih besar dibandingkan
penduduk di perkotaan.3

Keratomikosis adalah suatu infeksi kornea oleh jamur, Keratomikosis disebut


juga keratitis fungi yang merupakan infeksi jamur yang menyerang kornea, pada
bagian anterior dari pupil.2 Infeksi jamur pada kornea atau keratomikosis merupakan
masalah tersendiri secara oftalmologik, karena sulit menegakkan diagnosis
keratomikosis, padahal keratomikosis cukup tinggi kemungkinan kejadiannya sesuai
dengan lingkungan masyarakat Indonesia yang agraris dan iklim kita yang tropis
dengan kelembaban tinggi.4,3

Keratomikosis diakui di seluruh dunia sebagai infeksi kornea yang


mengancam daya penglihatan. Keterlambatan diagnosis klinis, virulensi organisme
jamur dan terbatasnya agen anti jamur yang efektif sering menyebabkan hasil visual
yang buruk. Keratomikosis biasanya dimanifestasikan oleh peradangan yang parah,
pembentukan ulkus kornea, dan hipopion, dengan kehadiran hifa jamur dalam stroma
kornea.5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Keratitis adalah reaksi inflamasi kornea atau suatu peradangan pada
kornea. Keratomikosis disebut juga keratitis jamur yang merupakan
infeksi jamur yang menyerang kornea, pada bagian anterior dari pupil. 6
Berdasarkan sejumlah laporan, keratitis jamur menjadi penyebab keratitis
ulseratif hingga 5-6%. Lebih dari 70 spesies jamur telah ditemukan
sebagai penyebab keratitis.7
B. Anatomi Kornea
Kornea merupakan jaringan transparan yang melapisi mata, kornea
berfungsi sebagai membran proteksi yang dilalui berkas cahaya menuju
retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya yang uniform,
avaskuler, dan deturgesensi. Kornea disisipkan ke sklera di limbus, lekuk
melingkar pada persambungan ini disebut sulkus skleralis.1
Permukaan kornea dibentuk oleh epitel skuamosa non keratin yang
dapat meregenerasi dengan cepat bila terjadi kerusakan. Kerusakan yang
terjadi pada epitel dapat cepat tertutup dengan migrasi sel dan pembelahan
sel yang cepat. Epitel pada kornea berfungsi melindungi bagian dalamnya
terhadap infeksi, kerusakan pada epitel akan memudahkan pathogen untuk
masuk ke mata.8
Diameter kornea memiliki diameter horizontal 11-12 mm dan
berkurang menjadi 9 – 11 mm secara vertical oleh adanya limbus. Kornea
memberikan kontribusi 74% atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total
58,60 kekuatan dioptric mata manusia.1 Oleh karena itu kornea merupakan
media refraktor terpenting dalam struktur mata. Kornea memiliki tiga
fungsi utama :1,8
1. Sebagai media refraksi cahaya terutama antara udara dengan laisan air
mata prekornea.
2. Transmisi cahaya dengan minimal distorsi, penghamburan, dan
absorbsi.
3. Sebagai struktur penyokong dan proteksi bola mata tanpa mengganggu
penampilan optikal.

Kornea memiliki 5 lapisan yang terdiri dari epitel, membran bowman,


stroma, membrane Descemet, endotel kornea. Kornea dipersarafi oleh
banyak saraf sensorik terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf
nasosiliar, dan saraf V. Saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke
stroma kornea, menembus membrana bowman melepaskan slubung
schwan. Seluruh epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa
ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan didaerah
limbus. Kornea bersifat avaskuler , mendapat nutrisi secara difus dari
humor aquos dan dari tepi kapiler. Bagian sentral dari kornea menerima
oksigen secara tidak langsung dari udara, melalui oksigen yang larus
dalam lapisan air mata sedangkan bagian perifer, menerima oksigen secara
difus pembuluh darah siliaris anterior.9

C. Epidemiologi
Keratitis jamur dapat menyebabkan infeksi jamur yang serius pada
kornea. Berdasarkan sejumlah laporan, keratitis jamur telah menyebabkan
6%-53% kasus berkembang menjadi keratitis ulseratif. Lebih dari 70
spesies jamur telah dilaporkan menyebabkan keratitis jamur.4
Insidensi keratitis jamur bervariasi sesuai dengan lokasi geografis.
Spesies Fusarium adalah penyebab paling umum infeksi keratitis jamur di
Amerika Serikat bagian selatan (45-76% dari keratitis jamur), sementara
spesies seperti Candida dan Aspergillus lebih umum dinegara negara-
negara bagian utara.2
Selama 2,5 tahun, singapura melaporkan dari 112 kasus ulkus kornea,
22 kasus diantaranya beretiologi jamur.
Dalam beberapa penelitian menyebutkan bahwa keratitis jamur banyak
ditemukan dilingkungan tropis dan sub tropis serta lebih sering terjadi di
negara negara berkembang dibandingkan di negara maju.6
D. Etiologi dan Faktor Predisposisi
Keratitis dapat disebabkan oleh berbagai macam hal seperti bakteri,
virus, dan jamur. Selain itu penyebab lain adalah kekeringan pada mata,
pajanan terhadap cahaya yang sangat terang, benda asing yang masuk ke
mata, reaksi alergi atau mata terlalu sensitif terhadap kosmetik mata, debu,
polusi atau bahan iritatif lain, kekurangan vitamin A dan penggunaan
lensa kontak yang kurang baik.10
Penyebab jamur pada keratitis jamur dibedakan sebagai berikut :4,10
1. Jamur berfilamen (filamentous fungi) : bersifat multiselluler dengan
cabang-cabang hifa
a. Jamur berfilamen : Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp,
Cladosporium sp, Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora
sp, Curvalaria sp, Altenaria sp.
b. Jamur tidak bersepta : Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp
2. Jamur ragi (yeast)
Jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas : Candida albicans,
Cryptococcus sp, Rodotolura sp.
3. Jamur difasik
Pada jaringan hidup membentuk ragi, sedangkan pada media
pembiakan membentuk miselium : Blasomices sp, Coccidodidies sp,
Histoplastoma sp, Sporothrix sp.
Keratitis jamur lebih jarang dibanding keratitis bakteri. Trauma
dikarenakan bahan-bahan dari tanaman atau tumbuhan menjadi faktor
risiko yang penting dari keratitis jamur. Predisposisi utama adalah para
petani yang menggunakan alat pemotong rumput atau sejenisnya yang
menggunakan peralatan mesin dilapangan berumput tanpa memakai
pelindung mata. Trauma dihubungkan dengan penggunaan kontak lensa
yang merupakan faktor risiko umum yang lain untuk terjadinya keratitis
jamur. Kortikosteroid topikal juga dapat meenjadi faktor risiko mayor
lainnya, kortikosteroid topical mengaktivasi dan meningkatkan virulensi
jamur dengan mengurangi resistensi kornea terhadap infeksi. Selain itu,
penggunaan kortikosteroid sistemik dapat mensupresi respon imun,
sehingga dapat menjadi predisposisi terjadinya keratitis jamur. Faktor
risiko lainnya adalah operasi kornea (contohnya keratoplasti, keratotomi
radial), dan keratitis kronis (contohnya herpes simpleks, herpes zoster).6
Faktor pridisposisi lokal termasuk trauma, lensa kontak dan
pemakaian steroid topikal.7
1. Trauma
Luka pada kornea dapat menyebabkan keratitis jamur, 55%-60%
trauma kornea akibat benda hidup mapun material organik dideteksi
sebagai keratitis jamur.
2. Lensa kontak
Beberapa kasus terbaru dilaporkan pemakaian lensa kontak merupakan
faktor risiko keratitis jamur (29%)
3. Pemakaian steroid topikal
Steroid topikal merupakan faktor risiko yang meningkatkan
pertumbuhan jamur di mata. kortikosteroid topical mengaktivasi dan
meningkatkan virulensi jamur dengan mengurangi resistensi kornea
terhadap infeksi.
4. Faktor lainnya
Gangguan lainnya, termasuk kerusakan permukaan kornea, mata
kering, keratopati bulosa, dan keratitis eksposur, dihubungkan dengan
keratitis supuratif.
E. Patofisiologis
Keratomikosis dapat terjadi setelah terjadi paparan bahan tanaman
kedalam mata, biasanya Aspergillus fusarium dan spesies
Cephalosporium.10 Pada pasien lemah atau pasien imunosupresi, infeksi
jamur cenderung lebih disebabkan oleh Candida dan ragi lainnya.4
Organisme saprofit dan telah dilaporkan sebagai penyebab infeksi
pada literature ophtalmologi. Jamur yang di isolasi telah dapat
diklasifikasikan kedalam grup: Moniliaceae (jamur berfilamen tidak
berpigmen,termasuk didalamnya spesies Fusarium dan Aspergillus),
Dematiaceae (Jamur berfilamen berpigmen, termasuk didalamnya spesies
Curvularia dan Lasiodiplodia), dan yeasts (termasuk didalamnya spesies
Candida).4
Jamur mencapai kedalam stroma kornea melalui kerusakan pada
epithelium, kemudian memperbanyak diri dan menyebabkan nekrosis
pada jaringan dan menyebabkan reaksi inflamasi. Kerusakan pada
epitelium biasanya disebabkan dari trauma (contohnya, penggunaan
kontak lensa, benda asing,operasi kornea). Organisme dapat menembus
kedalam membran descment yang intak dan mencapai bagian anterior atau
segmen posterior. Mikotoksin dan enzim proteolitik menambah kerusakan
jaringan yang ada.6
Keratitis jamur juga dapat terjadi sekunder dari endophthalmitis
fungal. Pada kasus ini, organisme jamur dari segmen posterior menembus
membrane Descemet dan masuk kedalam stroma kornea. Akumulasi ini
dapat dilihat dalam bentuk klinis dan dapat ditemukan pus atau
pembentukan abses. Organisme danr espon host berkontribusi terhadap
kerusakan kornea, termasuk ulserasi.11
F. Gejala Klinis
Tanda patognomik dari keratitis ialah terdapatnya infiltrat di kornea.
Infiltrat dapat ada di seluruh lapisan kornea, dan menetapkan diagnosis
dan pengobatan keratitis. Pada peradagan yang dalam, penyembuhan
berakhir dengan pembentukan jaringan parut (sikatrik), yang dapat beurpa
nebula, macula, dan leukoma. Adapun gejala umumnya adalah keluhan air
mata yang berlebihan, nyeri mata yang hebat, penurunan tajam
penglihatan silau kadang pasien memiliki riwayat trauma kornea,
biasanyadari bahan organik. Termasuk dalam resiko tinggi adalah trauma
(benda asing,lensa kontak), penggunaan imunosupresan sistemik atau pada
mata, juga pada penyakit atau terapi dengan immunosupresan
(transplantasi organ) atau penggunaan terapi topikal steroid, dan
penggunaan antibiotik dalam jangka lama. Infeksi jamur juga sangat
sering ditemukan pada daerah pertanian dan lingkungan tropis.5
Pasien dengan keratitis jamur cenderung memiliki tanda dan gejala
inflamasi sepanjang permulaan periode dibanding dengan keratitis
bakterial dan bisa terdapat sedikit atau tidak injeksio konjungtiva
sepanjang awal presentasi. Keratitis fungal filemantous sering
bermanifestasi sebagai warna putih keabu-abuan, penampakan infiltrat
kering sebagai bulu yang irreguler atau tepi filamentous.7 Lesi-lesi
superfisial tampak putih keabu-abuan diatas permukaan kornea, kering,
kasar, dan tekstur yang berpasir dapat dideteksi dengan mengosok kornea.
Kadang-kadang, multifokal atau infiltrat satelit dapat ditemukan,walaupun
jarang dilaporkan.2

Jamur berfilamen (Fusarium, Jamur tidak berfilamen (Candida)


Aspergillus, Curvularia)
- Infiltrasi stroma berwarna - Infiltrasi stroma berwarna
putih keabuan dengan kuning keputihan
batas halus putih - Defek epitel atau ulkus
- Lesi satelit kornea
- Defek epitel atau ulkus - +/- Hipopion
kornea
- Reaksi bilik mata depan
- Hipopion cincin inflamasi

Untuk menegakkan diagnosis klinis dapat dipakai pedoman berikut :

a. Riwayat trauma klinik tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama


b. Lesi satelit
c. Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi ireguler dan tonjolan
seperti hifa dibawah endotel utuh
d. Plak endotel
e. Hipopion, kadang kadang rekuren
f. Formasi cicin sekeliling ulkus
g. Lesi kornea indiolen
G. Diagnosis
Diagnosis keratitis jamur ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.6
1. Anamnesis
Dari riwayat anamnesis, didapatkan adanya gejala subjektif yang
dikeluhkan oleh pasien, dapat berupa mata nyeri, kemerahan,
penglihatan kabur, silau jika melihat cahaya, kelopak terasa berat.
Yang juga harus ditanyakan ialah adanya riwayat trauma,kemasukan
benda asing, pemakaian lensa kontak, adanya penyakit vaskulitis atau
autoimun, dan penggunaan kortikosteroid jangka panjang.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Visus
Didapatkan adanya penurunan visus pada mata yang mengalami
infeksi oleh karena adanya defek pada kornea sehingga
menghalangi refleksi cahaya yang masuk ke dalam media refrakta.
b. Slit lamp
Seringkali iris, pupil, dan lensa sulit dinilai oleh karena adanya
kekeruhan pada kornea. Hiperemis didapatkan oleh karena adanya
injeksi konjungtiva ataupun perikornea. Tanda yang umum pada
pemeriksaan slit lamp yang tidak spesifik, termasuk didalamnya:
 Injeksio konjungtiva Kerusakan epitel kornea
 Supurasi
 Infiltrasi stroma
 Reaksi pada bilik depan
 Hipopion
3. Pemeriksaan penunjang
a. Tes Fluoresein
Pada ulkus kornea, didapatkan hilangnya sebagian permukaan
kornea.Untuk melihat adanya daerah yang defek pada kornea.
(warna hijau menunjukkan daerah yang defek pada kornea,
sedangkan warna biru menunjukkan daerah yang intak).
b. Pewarnaan gram, KOH, dan kultur
Untuk menentukan mikroorganisme penyebab ulkus, oleh jamur
yang utama adalah melakukan pemeriksaan kerokan kornea
(sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus
dengan biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram,
Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan angka keberhasilan
masing-masing ± 20-30%, 50-60%, 60-75% dan 80%. Lebih baik
lagi melakukan biopsi jaringan kornea dan diwarnai dengan
Periodic Acid Schiff atau Methenamine Silver, tapi memerlukan
biaya yang besar. Akhir-akhir ini dikembangkan Nomarski
differential interference contrast microscope untuk melihat
morfologi jamur dari kerokan kornea (metode Nomarski) yang
dilaporkan cukup memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur
dengan agar Sabouraud atau agar ekstrak maltose.7
c. Gambaran Histopatologi
Pada pemeriksaan histopatologik dengan memeriksa apusan
kornea ditemukan adanya jamur pada 75% pasien. Hifa jamur
berjalan parallel pada permukaan kornea. Adanya komponen jamur
yang mencapai stroma menunjukkan tingkat virulensi kuman
sangat tinggi dan biasanya berhubungan dengan infeksi yang
progresif.
H. Diagnosis Banding
1. Keratitis Bakterialis
Gejala klinis keratitis bakterialis berupa nyeri yang onsetnya
sangat cepat disertai dengan injeksi konjungtiva, fotofobia, dan
penurunan visus pada pasien dengan ulkus kornea bacterial, inflamasi
endotel, tanda reaksi bilik mata depan, dan hipopion. Penyebab infeksi
tumbuh lambat, organisme seperti mikrobakteri atau bakteri anaerob
infiltratnya tidak bersifat supuratif dan lapisan epitel utuh. Faktor
predisposisi terjadinya keratitis bakterialis adalah penggunaan
kortikosteroid, kontak lensa, graf kornea yang telah terinfeksi.10
2. Keratitis Viral
Dapat disebabkan oleh virus herpes simplex, varicella-herpes
zoster atau adenovirus. Pasien keratitis akibat infeksi herpes simpleks
sering datang dengan keluhan nyeri berat dan gambaran seperti
infiltrat yang bercabang-cabang (keratitis dendritik). Tes sensitivitas
pun menurun, pada keratitis akibat infeksi herpes zoster bisa sesitivitas
dapat hilang sama sekali.10
3. Endoftalmitis
Didiagnosa bila inflamasi melibatkan kedua bilik mata depan
dan belakang. Tanda klasik pada endoftalmitis adalah penurunan
visus, hiperemis konjungtiva, dan edema kornea dapat ditemukan.
Penyebab terjadinya endoftalmitis bisa secara eksogen (mis. Pasca
operasi) atau endogen (penyebaran secara hematogen; mis. Sepsis).6
I. Penatalaksanaan
Terapi keratomikosis sangat penting untuk mengetahui jenis
keratomikosis yang dihadapi; bisa dibagi:12
a. Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.
b. Jamur berfilamen.
c. Ragi(yeast)
d. Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.
 Untuk golongan I: Topikal Amphotericin B, Thiomerosal,
Natamycin (obatterpilih), Imidazole (obat terpilih).
 Untuk golongan II: Topikal Amphotericin B, Thiomerosal,
Natamycin (obatterpilih), Imidazole (obat terpilih).
 Untuk golongan III: Amphotericin B, Natamycin, Imidazole.
 Untuk golongan IV: Golongan Sulfa, berbagai jenis antibitotik.

Diberikan juga obat siklopegik (atropin) guna mencegah sinekia posterior


untuk mengurangi uveitis anterior.6

Agen anti jamur dibagi kepada beberapa kelompok:

1. Polyene (Natamycin, Nystatin dan Amphotericin B)


Berfungsi sebagai antijamur dengan mengikat pada dinding sel fungi
dan mengganggu permeabilitas membran jamur sehingga terjadi
ketidakseimbanganintraseluler. Polyene dengan molekul kecil seperti
Natamycin menyebabkan lisis permanen pada membran dibanding
perubahan reversibel oleh molekul besar seperti Nystatin.
Amphotericin B tidak larut dalam air dan tidak stabil pada oksigen,
cahaya, air, dan panas. Golongan ini mempunyai daya antifungi
spectrum luas tapi tidak efektif terhadap Actinomyces dan Nocardia.
Golongan ini efektif terhadap infeksi jamur tipe filamentosa dan yis.12
2. Azole (imidazole dan triazole) termasuk ketaconazole,
miconazole,fluconazole, itraconazole, econazole, dan klotrimazole.
Golongan Imidazol,dan ketokonazole dilaporkan efektif terhadap
Aspergillus, Fusarium, dan Candida.1,3 Tersedia secara komersial
dalam bentuk tablet. Ketoconazoleoral (200-600 mg/hari) dapat
dipertimbangkan sebagai terapi adjuntiva pada keratomikosis
filamentosa berat, dan fluconazole oral (200-400 mg/hari)untuk
keratitis yeast berat. Itraconazole oral (200 mg/hari) mempunyai
kesanspektrum-luas terhadap semua Aspergillus sp dan Candida tetapi
kerja yang bervariasi terhadap Fusarium. Voriconazole oral dan topical
dilaporkan bermanfaat untuk keratomikosis yang tidak berespon
terhadap pengobatanyang telah disebutkan sebelumnya.12
a. Azole menghambat sintesa ergosterol pada konsentrasi rendah dan
pada konsentrasi tinggi bekerja merusak dinding sel.
b. Fluconazole dan ketoconazole oral di absorbsi secara sistemik dan
terdapatdalam kadar yang bagus di bilik mata depan dan kornea,
maka pemberiannya harus dipertimbangkan sebagai penanganan
keratomikosis yang lebih lanjut
Antimikotik sistemik diberikan pada kasus keratitis berat atau
endoftalmitis. Apabila terjadi perburukan atau semakin bertambahnya
infeksi pada kornea walaupun telah mendapatkan pengobatan anti fungi
yang maksimum maka perlu dilakukan operasi. Operasi dilakukan
tergantung dari keadaan saat itu, luas lesi dan tingkat kerusakan dari
kornea.

Tidakan operasi yang dapat dilakukan sebagai tatalaksana keratomikosis


berat dan ulkus kornea karena jamur adalah : 6

a. Corneal Scrapping : Dilakukan pada ulkus superficial, dimana pada


ulkus tersebut dapat ditangani dengan menggunakan metode ini,
dimana penyembuhannya cepat dan tidak menimbulkan scar.
b. Keratectomy : Teknik ini dilakukan apabila ulkusnya lebih dalam atau
deep injury dimana kerusakan kornea menimbulkan terbentuknya
jaringan ikat sehingga menimbulkan kekeruhan pada kornea, dimana
akanmenghalangi cahaya yang menuju ke retina. Operasi dilakukan
dengancara membelah kornea untuk menggapai area yang mengalami
scar kemudian membersihkan daerah yang opak dan daerah
yangmengalami infeksi dengan menggunakan mikroskop.
c. Cornea transpalant (penetrating keratoplasty) : Apabila infeksi
menyebabkan kornea tidak dapat diperbaiki lagi,dimana telah terjadi
kekeruhan maka tindakan keratoplasty dapat dilakukan, dimana
operasi dilakukan dengan mengangkat bagian sentral dari kornea yang
keruh kemudian menggantinya dengan donated clear cornea.

Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi; kriteria


penyembuhan antara lain adalah adanya penumpulan (blunting atau
rounding-up)dari lesi-lesi ireguler pada tepi ulkus, menghilangnya lesi
satelit dan berkurangnya infiltrasi di stroma di sentral dan juga daerah
sekitar tepi ulkus. Perbaikan klinik biasanya tidak secepat ulkus bakteri
atau virus.

J. Komplikasi
Keratitis jamur dapat berperan utama untuk infeksi berat yang
melibatkan setiap struktur intraokular dan dapat membuat hilangnya
penglihatan atau kehilangan mata. Perforasi kornea jarang terjadi, dan
endophthalmitis sekunder telah dilaporkan.
Ulkus kornea merupakan salah satu komplikasi dari keratitis jamur dan
berhubungan dengan terjadinya perforasi kornea walaupun jarang. Hal ini
dikarenakan lapisan kornea semakin tipis disbanding dengan normal
sehingga peningkatan tekanan intraokuler dapat mencetuskan terjadinya
ulkus kornea. Pembentukan jaringan parut kornea menghasilkan
kehilangan penglihatan parsial maupun kompleks. Terjadinya
neovaskularisasi dan astigmatisme ireguler, penipisan kornea, sinekia
anterior, sinekia posterior,glaucoma, dan katarak juga bisa terjadi.10
K. Prognosis
Prognosis tergantung pada beberapa faktor, termasuk luasnya kornea
yang terlibat, status kesehatan pasien (contohnya immunocompromised),
dan waktu penegakkan diagnosis klinis yang dikonfirmasi dengan kultur
dilaboratorium.Pasien dengan infeksi ringan dan diagnosis mikrobiologi
yang lebih awal memiliki prognosis yang baik; bagaimana pun, kontrol
dan eradikasi infeksi yang meluas didalam sklera atau struktur intraokular
sangat sulit.6 Keratitis jamur biasanya mendapat perbaikan setiap harinya
dan sembuh dengan terapi yang sesuai. Jika penyembuhan tidak terjadi
atau ulkus bertambah berat, diagnosis dan terapi alternative harus
dipertimbangkan.5
BAB III

KESIMPULAN

Kornea merupakan jaringan transparan yang melapisi mata, kornea berfungsi


sebagai membran proteksi yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Keratitis adalah
reaksi inflamasi kornea atau suatu peradangan pada kornea. Keratomikosis disebut
juga keratitis jamur yang merupakan infeksi jamur yang menyerang kornea, pada
bagian anterior dari pupil. Dalam beberapa penelitian menyebutkan bahwa keratitis
jamur banyak ditemukan dilingkungan tropis dan sub tropis serta lebih sering terjadi
di negara negara berkembang dibandingkan di negara maju.
Predisposisi utama keratitis jamur adalah para petani yang menggunakan alat
pemotong rumput atau sejenisnya yang menggunakan peralatan mesin dilapangan
berumput tanpa memakai pelindung mata. Trauma dihubungkan dengan penggunaan
kontak lensa yang merupakan faktor risiko umum yang lain untuk terjadinya keratitis
jamur. Kortikosteroid topikal juga dapat meenjadi faktor risiko mayor lainnya,
kortikosteroid topical mengaktivasi dan meningkatkan virulensi jamur dengan
mengurangi resistensi kornea terhadap infeksi.
Jamur mencapai kedalam stroma kornea melalui kerusakan pada epithelium,
kemudian memperbanyak diri dan menyebabkan nekrosis pada jaringan dan
menyebabkan reaksi inflamasi. Keratitis fungal filemantous sering bermanifestasi
sebagai warna putih keabu-abuan, penampakan infiltrat kering sebagai bulu yang
irreguler atau tepi filamentous. Lesi-lesi superfisial tampak putih keabu-abuan diatas
permukaan kornea, kering, kasar, dan tekstur yang berpasir dapat dideteksi dengan
mengosok kornea.
Dasar penegakkan diagnosis keratitis jamur dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
untuk menegakkan diagnosis adalah kerokan KOH, tes flurosein, dan gambaran
histologis. Penatalaksanaan keratitis jamur dapat diberikan anti jamur topikal
golongan polyene dan azole. Anti jamur sistemik dapat diberikan pada keadaan
keratitis berat atau endoftalmitis. Tidakan operasi juga dapat dilakukan sebagai
tatalaksana keratomikosis berat dan ulkus kornea.
Prognosis keratitis jamur dipengaruhi beberapa faktor, termasuk luasnya
kornea yang terlibat, status kesehatan pasien (contohnya immunocompromised), dan
waktu penegakkan diagnosis klinis yang dikonfirmasi dengan kultur dilaboratorium.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan HJ. Anatomy and function of the eye. Chem Immunol Allergy.
2007;92:4–10.

2. Kredics L, Narendran V, Shobana CS, Vágvölgyi C, Manikandan P, Varga J,


et al. Filamentous fungal infections of the cornea: A global overview of
epidemiology and drug sensitivity. Mycoses. 2015;58(4):243–60.

3. Kementrian Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2018. 2018.

4. Universitesi MK, Mustafa H, Universitesi K, Yasemin AU, Universitesi EO.


Demographic , Epidemiological and Etiological Characteristics of Fungal
Keratitis Cases in Southern Anatolia Tertiary Eye Care Center. 2021;1–13.

5. Galarreta DJ, Tuft SJ, Ramsay A, Dart JKG. Fungal keratitis in London:
Microbiological and clinical evaluation. Cornea. 2007;26(9):1082–6.

6. Castano G, Elnahry A. Fungal Keratitis. StatPearls - NCBI Bookshelf. 2021;

7. Garg P, Gopinathan U, Choudhary K, Rao GN. Keratomycosis: Clinical and


microbiologic experience with dematiaceous fungi. Ophthalmology.
2000;107(3):574–80.

8. Willoughby CE, Ponzin D, Ferrari S, Lobo A, Landau K, Omidi Y. Anatomy


and physiology of the human eye: Effects of mucopolysaccharidoses disease
on structure and function - a review. Clin Exp Ophthalmol. 2010;38(SUPPL.
1):2–11.

9. Galloway NR, Amoaku WMK, Galloway PH, Browning AC. Common eye
diseases and their management, fourth edition. Common Eye Dis their Manag
Fourth Ed. 2016;1–270.

10. Sharma Y. Keratomycosis: Etiology, Risk Factors and Differential Diagnosis-


A Mini Review on Trichophyton spp. J Clin Diagnostic Res. 2014;8(1):1–2.
11. Matsumoto T, Soejima N. Keratomycosis. Mycoses. 1976;19(7):217–22.

12. O’Day DM, Head WS. Advances in the management of keratomycosis and
Acanthamoeba keratitis. Cornea. 2000;19(5):681–7.

Anda mungkin juga menyukai