Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Keratitis herpes simpleks atau keratitis dendritik merupakan salah satu


infeksi kornea yang disebabkan oleh virus herpes simpleks, ditandai dengan
adanya infiltrasi sel radang dan edema pada lapisan kornea.1 Keratitis dendritik
merupakan penyebab ulkus kornea paling umum di Amerika. 2 menurut penelitian
epidemiologi secara global, insidens terjadinya keratitis dendritik sebesar
1.500.000 dan terdapat 400.000 kasus penurunan tajam penglihatan yang
mengarah ke kebutaan.3
Keratitis dendritika merupakan proses kelanjutan dari keratitis pungtata
yang diakibatkan oleh perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulkan
kematian sel serta membentuk defek dengan gambaran bercabang. 2
Keratitis dendritik dapat menimbulkan gejala pada mata umumnya iritasi,
fotofobia, dan mata berair. Bila kornea bagian pusat yang terkena terjadi sedikit
gangguan penglihatan. Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding
dengan luasnya lesi epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. 2
Pengobatan pada keratitis bertujuan menghentikan replikasi virus didalam
kornea, sambil memperkecil efek merusak akibat respon radang. Pengobatan
dapat berupa debridement, medikamentosa atau pembedahan. Kontrol rutin ke
dokter mata dapat membantu mengetahui perbaikan dari keadaan mata, hal ini
disertai dengan diagnosis dini dan pengobatan yang adekuat memberikan
prognosis yang baik. Prognosis pada keratitis dendritik baik apabila tidak
ditemukan vaskularisasi atau jaringan parut pada kornea. 2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN HISTOLOGI KORNEA


Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran
11-12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37.
Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari
total 58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Kornea juga merupakan sumber
astigmatisme pada sistem optik. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi
glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata.
Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea
adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak
dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva. Kornea
dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus,
saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus yang berjalan suprakoroid, masuk
ke dalam stroma kornea, menembus membran Bowman melepas selubung
Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan.
Sensasi dingin oleh Bulbus Krause ditemukan pada daerah limbus.1,2
Kornea dalam bahasa latin “cornum” artinya seperti tanduk, merupakan
selaput bening mata, bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya, merupakan
lapis dari jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas :
1. Epitel
Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis sel
epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng.
Tebal lapisan epitel kira-kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea.
Epitel dan film air mata merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal
berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya
melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air,
elektrolit dan glukosa melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal
yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan

2
erosi rekuren. Sedangkan epitel berasal dari ektoderem permukaan. Epitel
memiliki daya regenerasi.1
2. Membran bowman
Membran yang jernih dan aselular, Terletak di bawah membran basal dari
epitel. Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan
berasal dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya
generasi.1
3. Stroma
Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan
lapisan tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen
dengan lebar sekitar 1 µm yang saling menjalin yang hampir mencakup seluruh
diameter kornea, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian
perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan
waktu lama, dan kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea
yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau
sesudah trauma.1
4. Membran Descemet
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea yang dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih yang
tampak amorf pada pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini berkembang
terus seumur hidup dan mempunyai tebal + 40 mm. Lebih kompak dan elastis
daripada membran Bowman. Juga lebih resisten terhadap trauma dan proses
patologik lainnya dibandingkan dengan bagian-bagian kornea yang lain.1
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal,
tebal antara 20-40 mm melekat erat pada membran descemet melalui taut. Endotel
dari kornea ini dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan endotel berbeda dengan
lapisan epitel karena tidak mempunyai daya regenerasi, sebaliknya endotel
mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh endotel
dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi dapat
menjaga keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan sistem pompa endotel,

3
stroma bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan kemudian hilangnya
transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh
epitel dan endotel yang merupakan membrane semipermeabel, kedua lapisan ini
mempertahankan kejernihan daripada kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan
ini maka akan terjadi edema kornea dan kekeruhan pada kornea.1

Gambar 1. Anatomi dan histologi kornea

4
2.2 FISIOLOGI KORNEA
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui
berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya
yang uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi
relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel
dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel
jauh lebih penting daripada epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel
berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel
endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya,
kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang
akan meghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan
air mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan lapisan air mata tersebut,
yang mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma kornea
superfisial dan membantu mempertahankan keadaan dehidrasi.2
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak
dapat melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh.
Karenanya agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air
sekaligus. Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme
kedalam kornea. Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan
membran bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai macam organisme, seperti
bakteri, virus, amuba, dan jamur.2
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya,
dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan
sel dan seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama
terjadi di permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan
kornea, segera mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh
karenanya kelainan sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan
penglihatan yang hebat terutama bila letaknya di daerah pupil.2

2.3 KERATITIS
2.3.1 Definisi

5
Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan
menurut lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal
lapisan epitel atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut
juga keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma.1

2.3.2 Etiologi dan faktor pencetus


Penyebab keratitis bermacam-macam yaitu bakteri, virus dan jamur. Selain
itu penyebab lain yang merupakan faktor predisposes adalah kekeringan pada
mata, pajanan terhadap cahaya yang sangat terang, benda asing yang masuk ke
mata, reaksi alergi atau mata yang terlalu sensitif terhadap kosmetik mata, debu,
polusi atau bahan iritatif lain, trauma dan penggunaan lensa kontak yang kurang
baik .4

2.3.3 Tanda dan Gejala Umum


Tanda patognomik dari keratitis ialah terdapatnya infiltrat di kornea.
Infiltrat dapat ada di seluruh lapisan kornea, dan menetapkan diagnosis dan
pengobatan keratitis. Pada peradangan yang dalam, penyembuhan berakhir
dengan pembentukan jaringan parut (sikatrik), yang dapat berupa nebula, makula,
dan leukoma.
Adapun gejala umum adalah1,4:
 Keluar air mata yang berlebihan
 Nyeri
 Penurunan tajam penglihatan
 Radang pada kelopak mata (bengkak, merah)
 Mata merah
 Sensitif terhadap cahaya

2.3.4 Klasifikasi
Keratitis biasanya diklasifikasikan berdasarkan lapisan kornea yang
terkena: yaitu keratitis superfisialis apabila mengenai lapisan epitel dan bowman
dan keratitis profunda apabila mengenai lapisan stroma.

Bentuk-bentuk klinik keratitis superfisialis antara lain adalah1:


1. Keratitis punctata superfisialis

6
Berupa bintik-bintik putih pada permukaan kornea yang dapat disebabkan oleh
sindrom dry eye, blefaritis, keratopati logaftalmus, keracunan obat topical,
sinar ultraviolet, trauma kimia ringan dan pemakaian lensa kontak.
2. Keratitis flikten
Benjolan putih yang yang bermula di limbus tetapi mempunyai kecenderungan
untuk menyerang kornea.
3. Keratitis sika
Suatu bentuk keratitis yang disebabkan oleh kurangnya sekresi kelenjar
lakrimale atau sel goblet yang berada di konjungtiva.
4. Keratitis lepra
Suatu bentuk keratitis yang diakibatkan oleh gangguan trofik saraf, disebut
juga keratitis neuroparalitik.
5. Keratitis nummularis
Bercak putih berbentuk bulat pada permukaan kornea biasanya multiple dan
banyak didapatkan pada petani.

Bentuk-bentuk klinik keratitis profunda antara lain adalah :


1. Keratitis interstisialis luetik atau keratitis sifilis congenital
2. Keratitis sklerotikans.

2.3.4 Patofisiologi Gejala


Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak
segera datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi.
Maka badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma
kornea, segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi
pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea.
Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit
polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak
sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan
permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbulah ulkus
kornea.2

7
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada
kornea baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan
fotofobia. Rasa sakit juga diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama
palbebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat
progresif, regresi iris, yang meradang dapat menimbulkan fotofobia, sedangkan
iritasi yang terjadi pada ujung saraf kornea merupakan fenomena reflek yang
berhubungan dengan timbulnya dilatasi pada pembuluh iris. Fotofobia, yang
berat pada kebanyakan penyakit kornea, minimal pada keratitis herpes karena
hipestesi terjadi pada penyakit ini, yang juga merupakan tanda diagnostik
berharga. Meskipun berair mata dan fotofobia umumnya menyertai penyakit
kornea, umumnya tidak ada tahi mata kecuali pada ulkus bakteri purulen.2
Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan
berkas cahaya, lesi kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan, terutama
kalau letaknya di pusat.2

2.3.5 Diagnosa Keratitis


Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea. Sering dapat
diungkapkan adanya trauma, benda asing dan abrasi merupakan dua lesi yang
umum pada kornea. Adanya riwayat penyakit kornea juga bermanfaat. Keratitis
akibat infeksi herpes simpleks sering kambuh, namun karena erosi kambuh sangat
sakit dan keratitis herpetik tidak, penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari
gejalanya. Hendaknya pula ditanyakan pemakaian obat lokal oleh pasien, karena
mungkin telah memakai kortikosteroid, yang dapat merupakan predisposisi bagi
penyakit bakteri, fungi, atau oleh virus, terutama keratitis herpes simpleks. Juga
mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit-penyakit sistemik, seperti diabetes,
AIDS, dan penyakit ganas, selain oleh terapi imunosupresi khusus.2
Dokter memeriksa di bawah cahaya yang memadai. Pemeriksaan sering
lebih mudah dengan meneteskan anestesi lokal. Pemberian fluorescein dapat
memperjelas lesi epitel superfisialis yang tidak mungkin tidak telihat bila tidak
dipulas. Pemakaian biomikroskop (slitlamp) penting untuk pemeriksaan kornea
dengan benar; jika tidak tersedia, dapat dipakai kaca pembesar dan pencahayaan
terang. Harus diperhatikan perjalanan pantulan cahaya saat menggerakkan cahaya

8
di atas kornea. Daerah kasar yang menandakan defek pada epitel terlihat dengan
cara ini.2

2.4 KERATITIS DENDRITIK (KERATITIS HERPES SIMPLEKS)


2.4.1 Definisi
Keratitis herpes simpleks atau keratitis dendritik merupakan salah satu
infeksi kornea yang disebabkan oleh virus herpes simpleks, ditandai dengan
adanya infiltrasi sel radang dan edema pada lapisan kornea. 1 Keratitis dendritika
merupakan proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang diakibatkan oleh
perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulkan kematian sel serta
membentuk defek dengan gambaran bercabang. 2

2.4.2 Etiologi
Keratitis herpes simpleks merupakan salah satu infeksi kornea yang paling
sering ditemukan dalam praktek. Disebabkan oleh virus herpes simpleks, ditandai
dengan adanya infiltrasi sel radang & edema pada lapisan kornea manapun. Pada
mata, virus herpes simplek dapat diisolasi dari kerokan epitel kornea penderita
keratitis herpes simpleks. Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan cairan
dan jaringan mata, rongga hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung virus.2

2.4.3 Epidemiologi
Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan
kambuhan. Infeksi primer dapat terjadi pada setiap umur, tetapi biasanya antara
umur 6 bulan-5 tahun atau 16-25 tahun. Keratitis herpes simpleks didominir oleh
kelompok laki-laki pada umur 40 tahun ke atas.4
Walaupun diobati, kira-kira 25% pasien akan kambuh pada tahun
pertama, dan meningkat menjadi 33% pada tahun kedua. Peneliti lain bahkan
melaporkan angka yang lebih besar yaitu 46,57% keratitis herpes simpleks
kambuh dalam kurun waktu 4 bulan setelah infeksi primer. Penelitian di
Yogyakarta mendapatkan angka kekambuhan hanya 11,5% dalam kurun waktu 6
bulan pengamatan setelah penyembuhan. Perbedaan angka-angka tersebut
dimungkinkan oleh perbedaan cara pengobatan.2

9
Kebanyakan infeksi HSV pada kornea disebabkan HSV tipe 1 namun
beberapa kasus pada bayi dan dewasa dilaporkan disebabkan HSV tipe 2. Lesi
kornea kedua jenis ini tidak dapat dibedakan.4

2.4.4 Patogenesis
Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan
kambuhan. lnfeksi primer herpes simplek primer pada mata jarang ditemukan
ditandai oleh adanya demam, malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis
folikutans, bleparitis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kira-kira 94-99%
kasus bersifat unilateral, walaupun pada 40% atau lebih dapat terjadi bilateral
khususnya pada pasien-pasien atopik. Bentuk ini umumnya dapat sembuh sendiri,
tanpa menimbulkan kerusakan pada mata yang berarti. Terapi antivirus topikal
dapat dipakai untuk profilaksis agar kornea tidak terkena dan sebagai terapi untuk
penyakit kornea.4
Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi
primer. Dengan mekanisme yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron
sensorik atau ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior,
ganglion n.trigeminus, dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan virus.
Namun akhir-akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan sebagai
tempat berlindung virus herpes simpleks. Beberapa kondisi yang berperan
terjadinya infeksi kambuhan antara lain: demam, infeksi saluran nafas bagian atas,
stres emosional, pemaparan sinar matahari atau angin, haid, renjatan
anafilaksis, dan kondisi imunosupresi.2
Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal
Kerusakan terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan
sel epitelial dan membentuk tukak kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi
reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen
antibodi yang menarik sel radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan
bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stroma
disekitarnya. Hal ini penting diketahui karena manajemen pengobatan pada yang
epitelial ditujukan terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk
menyerang virus dan reaksi radangnya. Perjalanan klinik keratitis dapat

10
berlangsung lama karna stroma kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat
migrasi limfosit dan makrofag ke tempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes
imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun pada hospes yang secara
imunologik tidak kompeten, perjalanannya mungkin menahun dan dapat
merusak.2

2.4.5 Diagnosa
A. Gejala Klinis
Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian
pusat yang terkena terjadi sedikit gangguan penglihatan. Karena anestesi kornea
umumnya timbul pada awal infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien mungkin
tidak datang berobat. Sering ada riwayat lepuh – lepuh, demam atau infeksi herpes
lain, namun ulserasi kornea kadang – kadang merupakan satu – satunya gejala
infeksi herpes rekurens.2
Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi
epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus
diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya
pada: herpes zoster oftalmikus,keratitis akibat pemaparan dan mata kering,
pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik
pada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak adanya foto-fobia.1

B. Lesi
Keratitis herpes simplek juga dapat dibedakan atas bentuk superfisial,
profunda, dan bersamaan dengan uveitis atau kerato uveitis. Keratitis superfisial
dapat berupa pungtata, dendritik, dan geografik. Keratitis dendritika
merupakan proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang diakibatkan oleh
perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulkañ kematian sel serta
membentuk defek dengan gambaran bercabang. Lesi bentuk dendritik merupakan
gambaran yang khas pada kornea, memiliki percabangan linear khas dengan
tepian kabur, memiliki bulbus terminalis pada ujungnya. Pemulasan fluoresein
memudahkan melihat dendrit, namun sayangnya keratitis herpes dapat juga
menyerupai banyak infeksi kornea yang lain dan harus dimasukkan dalam
diagnosis diferensial.2

11
Ada juga bentuk lain yaitu bentuk ulserasi geografik yaitu sebentuk
penyakit dendritik menahun yang lesi dendritiknya berbentuk lebih lebar hat ini
terjadi akibat bentukan ulkus bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi
ovoid. Dengan demikian gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan
kaki cabang mengelilingi ulkus. Tepian ulkus tidak kabur. Sensasi kornea, seperti
halnya penyakit dendritik, menurun. Lesi epitel kornea lain yang dapat
ditimbulkan HSV adalah keratitis epitelial ”blotchy”, keratitis epitelial stelata, dan
keratitis filamentosa. Namun semua ini umumnya bersifat sementara dan sering
menjadi dendritik khas dalam satu dua hari.2

Gambar 2. Lesi dendritik Gambar 3. Lesi geografik

Keratitis diskiformis adalah bentuk penyakit stroma paling umum pada


infeksi HSV. Stroma didaerah pusat yang edema berbentuk cakram, tanpa
infiltrasi berarti, dan umumnya tanpa vaskularisasi. Edemanya mungkin cukup
berat untuk membentuk lipatan-lipatan dimembran descement. Mungkin terdapat
endapan keratik tepat dibawah lesi diskiformis itu, namun dapat pula diseluruh
endotel karena sering bersamaan dengan uveitis anterior. Seperti kebanyakan lesi
herpes pada orang imunokompeten, keratitis disciformis normalnya sembuh
sendiri, setelah berlangsung beberapa minggu sampai bulan. Edema adalah tanda
terpenting, dan penyembuhan dapat terjadi dengan parut dan vaskularisasi
minimal.2
Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal yang sering
disertai vaskularisasi, agaknya terutama disebabkan replikasi virus. Kadang-
kadang dijumpai adanya infiltrat marginal atau lebih dikenal sebagai Wessely
ring, diduga sebagai infiltrat polimorfonuklear disertai reaksi antigen antibodi
virus herpes simpleks. Penipisan dan perforasi kornea dapat terjadi dengan cepat,
apalagi jika dipakai kortikosteroid topikal. Jika terdapat penyakit stroma dengan
ulkus epitel, akan sulit dibedakan superinfeksi bakteri atau fungi pada penyakit

12
herpes. Pada penyakit epitelial harus diteliti benar adanya tanda – tanda khas
herpes, namun unsur bakteri atau fungi dapat saja ada dan dapat pula disebabkan
oleh reaksi imun akut, yang sekali lagi harus mempertimbangkan adanya penyakit
virus aktif. Mungkin terlihat hipopion dengan nekrosis, selain infeksi bakteri atau
fungi sekunder.2

Gambar 4. Wessely Ring Gambar 5. Lesi dengan Wessely Ring

2.4.6

Terapi
Gambar 6. Keratitis Diskiformis Gambar 7. Hipopion
Bertujuan menghentikan replikasi virus didalam kornea, sambil
memperkecil efek merusak akibat respon radang.
1. Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial,
karena virus berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban
antigenik virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun
epitel terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator
berujung kapas khusus. Yodium atau eter topikal tidak banyak manfaat dan dapat
menimbulkan keratitis kimiawi. Obat siklopegik seperti atropi 1 % atau
homatropin5% diteteskan kedalam sakus konjugtiva, dan ditutup dengan sedikit
tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek
korneanya sembuh umumny adalah 72 jam. Pengobatan tambahan dengan anti

13
virus topikal mempercepat pemulihan epitel. Terapi obat topikal tanpa
debridement epitel pada keratitis epitel memberi keuntungan karena tidak perlu
ditutup, namun ada kemungkinan pasien menghadapi berbagai keracunan obat.4

2. Terapi obat
Agen anti virus topikal yang di pakai pada keratitis herpes adalah
idoxuridine, trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Trifluridine dan acyclovir jauh
lebih efektif untuk penyakit stroma dari pada yang lain. Idoxuridine dan
trifluridine sering kali menimbulkan reaksi toxik. Acyclovir oral ada mamfaatnya
untuk pengobatan penyakit herpes mata berat, khususnya pada orang atopik yang
rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif (eczema herpeticum).
Study multicenter terhadap efektivitas acyclovir untuk pengobatan kerato uveitis
herpes simpleks dan pencegahan penyakit rekurens kini sedang dilaksanakan (
herpes eye disease study).4 Pada kasus herpes zoster pasien dewasa, acyclovir
diberikan dengan dosis 800 mg, 5 kali sehari selama 7 hingga 10 hari. Pada
pasien immunocompromised, seperti pasien dengan HIV, pemberian sediaan
acyclovir intravena dapat dipertimbangkan dengan dosis 10 mg/Kg
BB/pemberian, 3 kali sehari, selama 7 hari.
Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas
pada epitel kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal.
Dalam hal ini penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpotensi
sangat merusak. Kortikosteroid topikal dapat juga mempermudah perlunakan
kornea, yang meningkatkan risiko perforasi kornea. Jika memang perlu memakai
kortikosteroid topikal karena hebatnya respon peradangan, penting sekali
ditambahkan obat anti virus secukupnya untuk mengendalikan replikasi virus.4,5

3. Bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi
penglihatan pasien yang mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya
dilakukan beberapa bulan setelah penyakit herpes non aktif. Pasca bedah, infeksi
herpes rekurens dapat timbul karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal yang

14
diperlukan untuk mencegah penolakan transplantasi kornea. Juga sulit dibedakan
penolakan transplantasi kornea dari penyakit stroma rekurens.4,5
Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri
atau fungi mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan
sianokrilat dapat dipakai secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan graft
“petak” lamelar berhasil baik pada kasus tertentu. Keratoplasi lamelar memiliki
keuntungan dibanding keratoplasti penetrans karena lebih kecil kemungkinan
terjadi penolakan transparant. Lensa kontak lunak untuk terapi atau tarsorafi
mungkin diperlukan untuk pemulihan defek epitel yang terdapat padakeratitis
herpes simplek.4,5

4. Pengendalian mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi


HSV
Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kira – kira sepertiga
kasus dalam 2 tahun serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme
pemicunya. Setelah dengan teliti mewawancarai pasien. Begitu ditemukan,
pemicu itu dapat dihindari. Aspirin dapat dipakai untuk mencegah demam,
pajanan berlebihan terhadap sinar matahari atau sinar UV dapat dihindari.
Keadaan – keadaan yang dapat menimbulkan stres psikis dapat dikurangi. Dan
aspirin dapat diminum sebelum menstruasi.4,5

2.4.7 Diagnosa Banding


Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis
herpes zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel
yang dikelilingi mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil.1

2.4.7.1 Keratitis Herpes Zoster (Pseudodentrit)


Infeksi virus varicella zoster terjadi dalam 2 bentuk: primer (varicella) dan
rekuren (zoster). Manifestasi pada mata jarang terjadi pada varicella namun sering
pada zoster ophthalmic. Pada varicella, lesi mata umumnya pada kelopak dan
tepian kelopak. Jarang ada keratitis (khas lesi stroma perifer dengan
vaskularisasi), dan lebih jarang lagi keratitis epithelial dengan atau tanpa

15
pseudodendrite. Pernah dilaporkan keratitis disciformis, dengan uveitis yang
lamanya bervariasi.2
Berbeda dari lesi kornea varicella, yang jarang dan jinak, zoster
ophthalmic relatif banyak dijumpa, kerap kali disertai keratouveitis yang
bervariasi beratnya sesuai dengan status kekebalan pasien. Komplikasi kornea
pada zoster ophthalmic dapat diperkirakan timbul jika terdapat erupsi kulit di
daerah yang dipersarafi cabang-cabang Nervus Nasosiliaris.2

Gambar 8. Keratitis Herpes Zoster pada cabang N Nasosiliaris

Berbeda dari keratitis HSV rekuren, yang umumnya hanya mengenai


epithel, keratitis VZV mengenai stroma dan uvea anterior pada awalnya. Lesi
epitelnya keruh dan amorf, kecuali kadang-kadang pada pseudodendrite linear
yang sedikit mirip dendrite pada keratitis HSV. Keluhan stroma disebabkan oleh
edema dan sedikit infiltrate sel yang pada awalnya hanya subepitel. Keadaan ini
dapat diikuti penyakit stroma dalam dengan nekrosis dan vaskularisasi. Kadang-
kadang timbul keratitis disciformis dan mirip keratitis disciformis HSV.
Kehilangan sensasi kornea selalu merupakan ciri mencolok dan sering
berlangsung berbulan-bulan setelah lesi kornea tampak sudah sembuh. Uveitis
yang timbul cenderung menetap beberapa minggu sampai bulan, namun akhirnya
sembuh. Skleritis dapat menjadi masalah berat pada penyakit VZV mata.2

16
Gambar 9. Lesi Pseudodendritik pada VZV

Acyclovir intravena dan oral telah dipakai dengan hasil baik untuk
mengobati herpes zoster ophthalmic, khususnya pada pasien yang kekebalannya
terganggu. Dosis oralnya adalah 800mg, 5 kali sehari untuk 10-14 hari. Terapi
hendaknya dimulai 72 jam setelah timbulnya kemerahan. Peranan antivirus
topikal kurang meyakinkan. Kortikosteroid topikal mungkin diperlukan untuk
mengobati keratitis berat, uveitis, dan glaukoma sekunder. Penggunaan
kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Terapi ini mungkin diindikasikan
untuk mengurangi insidensi dan hebatnya neuralgia paska herpes. Namun
demikian keadaan ini sembuh sendiri.2

2.4.8 Prognosis
Prognosis akhirnya baik karena tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada
kornea. Bila tidak diobati, penyakit ini berlangsung 1-3 tahun dengan
meninggalkan gejala sisa.5

BAB III
KESIMPULAN
Keratitis herpes simpleks merupakan infeksi kornea yang disebabkan oleh
virus herpes simpleks, ditandai dengan adanya infiltrasi sel radang dan edema
pada lapisan kornea. Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat
primer dan kambuhan.

17
Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian
pusat yang terkena terjadi sedikit gangguan penglihatan. Sering ada riwayat lepuh
– lepuh, demam atau infeksi herpes lain, namun ulserasi kornea kadang – kadang
merupakan satu – satunya gejala infeksi herpes rekurens. Berat ringannya gejala-
gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel, karena terjadi hipestesi
atau insensibilitas kornea.
Berdasarkan hasil uji flourosensnya, keratitis herpes simplek dibedakan
atas bentuk superfisial, profunda, dan bersamaan dengan uveitis atau kerato
uveitis. Keratitis superfisial dapat berupa pungtata, dendritik, dan geografik.
Keratitis dendritika merupakan proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang
diakibatkan oleh perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulkan kematian
sel serta membentuk defek dengan gambaran bercabang. Keratitis herpes simpleks
bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis herpes zoster
Terapi bertujuan menghentikan replikasi virus didalam kornea, sambil
memperkecil efek merusak akibat respon radang. Agen anti virus topikal yang di
pakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine, trifluridine, vidarabine, dan
acyclovir. Acyclovir oral bermanfaat untuk pengobatan penyakit herpes mata
berat. Prognosis baik apabila tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada kornea.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-lima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ;
2014.
2. Vaughhan, Ashabury. Oftalmology Umum. Edisi 17. Jakarta : EGC ; 2015.

18
3. Farooq AV, Shukla D. Herpes simplex epithelial and stromal keratitis: an
epidemiologic update. Surv Ophthalmol 2012.;57(5):448-62.
4. Lang GK. Cornea. In : Warner P, Lang GK. Ophthalmology A Pocket
Textbook Atlas. Stuttgart ; thieme ; 2016. p. 115-60
5. Basak SK. Essentials of ophthalmology, 6th edition. New Delhi:Jaypee
Brothers Medical Publishers;2016

19

Anda mungkin juga menyukai