Anda di halaman 1dari 21

PROBLEM BASED LEARNING (PBL)

BENDA ASING PADA MATA

Oleh:
Camila Mutiara Safitri 011713143027
Ambarini Isa Pratiwi 011723143132
Perthdyatama Syifaq Budiono 011723143070
Fauza Fitriyah Lubis 011723143199

Pembimbing :

Ismi Zuhria, dr., Sp.M(K)

DEPARTEMEN / SMF ILMU KESEHATAN MATA

RSUD DR. SOETOMO SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Mata merupakan organ yang keberadaannya berhubungan langsung dengan
lingkungan luar sehingga sering menyebabkan mata terkena dampak dari posisi anatominya
tersebut. Mata sering terpapar dengan keadaan lingkungan sekitar seperti udara, debu, benda
asing dan suatu trauma yang dapat langsung mengenai mata (Ilyas, 2008).

Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan perlukaan
mata. Perlukaan yang ditimbulkan dapat ringan sampai berat atau menimbulkan kebutaan
bahkan kehilangan mata. Trauma mata merupakan penyebab umum kebutaan unilateral pada
anak dan dewasa muda, kelompok usia ini mengalami sebagian besar cedera mata yang
parah. Dewasa muda terutama pria merupakan kelompok yang paling mungkin mengalami
trauma tembus mata (Vaughan & Asbury, 2014). 

National Prevention of Blindness (WHO) memperkirakan bahwa 55 juta trauma mata


terjadi didunia setiap tahunnya, 750.000 di rawat di Rumah Sakit dan lebih kurang 200.000
adalah trauma terbuka bola mata. Insiden trauma mata mengalamai peningkatan secara terus-
menerus. Secara global, 1,6 juta masyarakat yang menjadi buta, 2,3 juta mengalami
penurunan penglihatan secara bilateral, dan 19 juta dengan kehilangan daya penglihatan
karena trauma mata (Biradar, 2011). 

Penelitian yang dilakukan di National University Hospital (NUH), Singapura pada


tahun 2005 menunjukkan bahwa penyebab tersering dari trauma mata adalah aktivitas
konstruksi dengan persentase 38,4%. Aktivitas tersebut terdiri dari penggerindaan,
pengelasan, penempaan logam, pengelasan, pemotongan logam, pengerjaan kayu, pemakuan.
Kecelakaan di rumah, kekerasan, ledakan, cedera akibat olah raga, kecelakaan lalu lintas juga
merupakan faktor yang paling sering menyebabkan trauma mata. (Woo & Sundar, 2006).

Selain menyebabkan penurunan penglihatan, trauma mata juga menyebabkan


penurunan kualitas hidup dan kerugian ekonomi karena kehilangan gaji dan pelayanan
kesehatan yang mahal. Pencegahan trauma mata juga dihalangi oleh kurangnya data
epidemiologi (Ko et al, 2000). 

2
Salah satu penyebab trauma pada mata adalah masuknya benda asing pada mata. Benda
asing atau corpus alienum adalah salah satu penyebab cedera mata yang paling sering
mengenai konjungtiva mata dan kornea. Masuknya benda asing dapat mengakibatkan
kelainan pada mata. Meskipun kebanyakan bersifat ringan, tetapi beberapa cedera yang
diakibatkan masuknya benda asing pada mata bisa berakibat serius. Apabila suatu benda
asing masuk ke dalam bola mata, dapat terjadi reaksi infeksi yang hebat dan kerusakan pada
mata. Karena itu perlu cepat mengenali benda asing tersebut dan menentukan lokasinya di
dalam bola mata untuk kemudian mengeluarkannya.

1.2. TUJUAN
Tujuan penulisan laporan ini adalah untuk melakukan diagnosis dan penatalaksanaan
kasus benda asing pada mata dengan benar.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI DAN FISIOLOGI KONJUNGTIVA DAN KORNEA

1. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran mukosa tipis yang membatasi permukaan
dalam dari kelopak mata dan melipat ke belakang membungkus permukaan depan
dari bola mata, kecuali bagian jernih di tengah-tengah mata (kornea). Membran
ini berisi banyak pembuluh darah dan berubah merah saat terjadi inflamasi.
Konjungtiva terdiri dari tiga bagian:

1. Konjungtiva palpebralis (menutupi permukaan posterior dari palpebra).

2. Konjungtiva bulbaris (menutupi sebagian permukaan anterior bola mata).

3. Forniks (bagian transisi yang membentuk hubungan antara bagian posterior


palpebra dan bola mata).

Meskipun konjungtiva agak tebal, konjungtiva bulbar sangat tipis.


Konjungtiva bulbar juga bersifat dapat digerakkan, mudah melipat ke belakang
dan ke depan. Pembuluh darah dengan mudah dapat dilihat di bawahnya. Di
dalam konjungtiva bulbar terdapat sel goblet yang mensekresi musin, suatu
komponen penting lapisan air mata pre-kornea yang memproteksi dan memberi
nutrisi bagi kornea (Ilyas, 2008).

Gambar 1. Anatomi Konjungtiva (sumber gambar: Netter, 2016)

4
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan epitel
silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat
limbus, di atas karunkula dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi
kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa. Sel-sel epitel superfisial
mengandung sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus
mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata
secara merata di seluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat
daripada sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen.
(Vaughan et al, 2010).

2.1.1.

2.1.2. Fisiologi Konjungtiva

Produksi musin oleh sel-sel goblet konjungtiva sangat penting untuk


membuat air mata melekat pada epitel kornea. Kegagalan produksi sekret kelenjar
lakrimalis atau produksi sel-sel goblet akan mengakibatkan mata kering, kalau
parah keadaan ini meyebabkan rasa nyeri dan merupakan predisposisi terjadinya
ulserasi serta kekeruhan kornea (Robbins & Cotran, 2008).

Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri


palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak
vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-
jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva
tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan bersambung dengan
pembuluh limfe kelopak mata hingga membentuk pleksus limfatikus yang kaya.
Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan (oftalmik) pertama nervus V.
Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri (Vaughan et al, 2010).

2.1.3. Anatomi Kornea

Kornea adalah jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran 11-


12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37.
Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari
total 58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Kornea dewasa rata-rata mempunyai

5
tebal 550 μm, diameter horizontalnya sekitar 11,75 mm dan vertikalnya 10,6 mm
(Riordan & Eva, 2012).

Sel kornea terdiri dari lima lapisan, yaitu lapisan epitel, lapisan Bowman,
stroma, membran Descemet, dan lapisan endotel (Riordan & Eva, 2012).
Permukaan anterior kornea ditutupi epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk
dan tanpa papil. Di bawah epitel kornea terdapat membran limitans anterior
(membran Bowman) yang berasal dari stroma kornea (substansi propia). Stroma
kornea terdiri atas berkas serat kolagen paralel yang membentuk lamella tipis dan
lapisan-lapisan fibroblas gepeng dan bercabang. Permukaan posterior kornea
ditutupi epitel kuboid rendah dan epitel posterior yang juga merupakan endotel
kornea. Membran Descemet merupakan membran basal epitel kornea yang
berkonsistensi tipis tetapi memiliki resistensi yang tinggi (Eroschenko, 2003).

Gambar 2. Anatomi Kornea (sumber gambar: American Academy of


Opthalmology, 2012)

Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus


humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai tambahan,
kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea adalah salah satu
organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak dan
sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva (American
Academy of Ophtalmology, 2012).

6
2.1.4. Fisiologi Kornea

Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui


berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh
strukturnya yang uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan
dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif
pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme
dehidrasi ini, endotel jauh lebih penting daripada epitel. Kerusakan kimiawi atau
fisis pada endotel berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel.
Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat
transparan. Sebaliknya, kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma
kornea lokal sesaat yang akan menghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi.
Penguapan air dari lapisan air mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan
pada lapisan air mata tersebut. Hal ini mungkin merupakan faktor lain dalam
menarik air dari stroma kornea superfisial dan membantu mempertahankan
keadaan dehidrasi. Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi
larut-lemak dapat melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma
yang utuh. Agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air
sekaligus.

Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme


kedalam kornea. Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan
membran Bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai macam organisme,
seperti bakteri, virus, amuba, dan jamur (Biswell, 2010).
Adapun faktor-faktor yang sering menyebabkan kelainan pada kornea
adalah:

1. Dry eye

Kelainan ini muncul ketika lapisan air mata mengalami defisiensi


sehingga tidak dapat memenuhi batas-batas kecukupan, baik secara kuantitatif
maupun kualitatif, yang kemudian diikuti dengan keluhan subjektif. Kekurangan
cairan lubrikasi fisiologis merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
infeksi mikroba pada mata (Bangun, 2009).

7
2. Defisiensi vitamin A

Kelainan kornea oleh karena defisiensi vitamin A dapat menyebabkan


kekeringan yang menggambarkan bercak Bitot yang warnanya seperti mutiara
yang berbentuk segitiga dengan pangkal di daerah limbus. Bercak Bitot seperti
ada busa di atasnya. Bercak ini tidak dibasahi oleh air mata dan akan terbentuk
kembali bila dilakukan debridement. Terdapat dugaan bahwa bentuk busa ini
merupakan akibat kuman Corynebacterium xerosis. Hipovitamin A ini juga dapat
menyebabkan keratomalasia dan tukak kornea dimana akan terlihat kornea
nekrosis dengan vaskularisasi ke dalamnya (Ilyas, 2008).

3. Abnormalitas ukuran dan bentuk kornea

Abnormalitas ukuran dan bentuk kornea yang terjadi adalah mikrokornea


dan megalokornea.Mikrokornea adalah suatu kondisi yang tidak diketahui
penyebabnya, bisa berhubungan dengan gangguan pertumbuhan kornea fetal pada
bulan ke-5. Selain itu bisa juga berhubungan dengan pertumbuhan yang
berlebihan dari puncak anterior optic cup yang meninggalkan sedikit ruang bagi
kornea untuk berkembang. Mikrokornea bisa berhubungan dengan autosomal
dominan atau resesif dengan prediksi seks yang sama, walaupun transmisi
dominan lebih sering ditemukan.

Megalokornea adalah suatu pembesaran segmen anterior bola mata.


Penyebabnya bisa berhubungan dengan kegagalan optic cup untuk tumbuh dan
anterior tip menutup yang meninggalkan ruangan besar bagi kornea untuk untuk
diisi (Bangun, 2009).

4. Distrofi kornea

Deposit abnormal yang disertai oleh perubahan arsitektur kornea, bilateral


simetrik dan herediter, tanpa sebab yang diketahui. Proses dimulai pada usia bayi
1-2 tahun dapat menetap atau berkembang lambat dan bermanisfestasi pada usia
10-20 tahun. Pada kelainan ini tajam penglihatan biasanya terganggu dan dapat
disertai dengan erosi kornea (Ilyas, 2008).

8
5. Trauma kornea

Trauma kornea bisa disebabkan oleh trauma tumpul, luka penetrasi atau
perforasi benda asing. Kemungkinan kontaminasi jamur atau bakteri harus diingat
dengan kultur untuk bakteri dan jamur diambil pada saat pemeriksaan pertama
jika memungkinkan. Trauma tumpul kornea dapat menimbulkan aberasi, edema,
robeknya membran Descemet dan laserasi korneoskleral di limbus (Bangun,
2009). Trauma penetrasi merupakan keadaan yang gawat untuk bola mata karena
pada keadaan ini kuman akan mudah masuk ke dalam bola mata selain dapat
mengakibatkan kerusakan susunan anatomik dan fungsional jaringan intraokular.
Perforasi benda asing yang terdapat pada kornea dapat menimbulkan gejala
berupa rasa pedas dan sakit pada mata. Keluhan ini mungkin terjadi akibat sudah
terdapatnya keratitis atau tukak pada mata tersebut (Ilyas, 2008).

2.2 BENDA ASING PADA MATA

2.2.1. Definisi dan Terminologi

Benda asing pada mata merupakan benda yang dalam keadaan normal
tidak berada di daerah mata, biasanya berupa logam (contoh, gram atau serpihan
metal), serpihan kaca, atau material organik. Benda asing pada mata termasuk
dalam trauma okuli mekanik. Kasus ini sering terjadi di tempat kerja
perindustrian dimana tidak dilengkapi dengan proteksi mata. Sebagian besar
merupakan logam dan menembus kornea yang cukup dalam sehingga dapat tetap
tertanam. Jika korpus alienum tersebut hanya menembus perifer kornea, maka
perubahan visual permanen biasanya tidak terjadi. Akan tetapi, apabila
menembus central kornea, pasien bisa mengalami penurunan visual permanen
yang disebabkan oleh bekas luka (Bashour, 2009).

Gambar 3. Benda asing pada kornea

9
Jenis benda asing pada mata yang umum ditemukan antara lain: (Khurana,
2007)
1. Pekerja di bidang industri: partikel partikel besi (terutama pada bagian
bubut dan palu-pahat), ampelas dan batu bara.

2. Pekerja di bidang pertanian: di bidang ini terutama kulit padi dan


sayap serangga.

3. Benda asing umum lainnya antara lain partikel debu, pasir, baja, kaca,
kayu dan serangga kecil (nyamuk).

Biasanya, partikel dari potongan atau logam yang rusak tertanam di


kornea dengan kekuatan yang signifikan. Partikel tersebut akan menetap di dalam
epitel atau stroma kornea, terutama bila diproyeksikan ke arah mata dengan
kekuatan yang cukup. Benda asing dapat merangsang timbulnya reaksi inflamasi,
mengakibatkan dilatasi pembuluh darah dan kemudian menyebabkan oedem pada
kelopak mata, konjungtiva, dan kornea. Sel darah putih juga dilepaskan, yang
kemudian mengakibatkan reaksi pada kamera okuli anterior dan terdapat infiltrate
kornea. Jika tidak dihilangkan, benda asing dapat menyebabkan infeksi dan
nekrosis jaringan (Bashour, 2009).
Secara umum, benda asing yang segera diambil setelah terjadi trauma,
tidak akan meninggalkan sequelae yang permanen. Akan tetapi, jaringan parut
pada kornea atau infeksi mungkin bisa terjadi. Semakin lama interval antara
terjadinya trauma dengan penanganan, maka kemungkinan terjadinya komplikasi
akan semakin besar. Jika benda asing sepenuhnya menembus kamera okuli
anterior atau posterior, maka disebut sebagai corpus alienum intraocular. Pada
kasus ini, morbiditas pada mata semakin besar. Kerusakan pada iris, lensa, dan
retina dapat terjadi dan bisa menyebabkan gangguan visual yang parah. Corpus
alienum intraocular dapat menyebabkan infeksi dan endophthalmitis yang
merupakan kondisi serius yang dapat menyebabkan seseorang kehilangan mata
(Yesar, 2009).

10
2.2.2. Klasifikasi Benda Asing pada Mata

Berdasarkan letaknya, benda asing pada mata dibagi menjadi: (Pandey,


2017)

1. Extra Ocular Foreign Body (EOFB): pada palpebral, sklera,


konjungtiva, dan kornea

2. Intra Ocular Foreign Body (IOFB): pada bilik mata depan, iris, lensa,
vitreous, retina, dan intraorbita

Namun menurut Shukla (2015), klasifikasi tersebut dinilai terlalu sederhana


sehingga ia mengajukan klasifikasi baru sesuai dengan lokasinya, yaitu:
1. Global Foreign Body (GFB)

a. Intraglobal Foreign Body (IGF): pada bilik mata depan (IGA),


iris (IGI), lensa (IGL), vitreous (IGV), choroid (IGC), atau retina
(IGR)

b. Extraglobal Foreign Body (EGF): pada permukaan kornea (EGC)


atau sklera (EGS)

c. Intramural Foreign Body (IMF): pada kornea (IMC) atau sklera


(IMS)

2. Adnexal Foreign Body (AFB)

a. Pada palpebral (APF): bisa pada permukaan palpebral (EPF) atau


pada jaringan palpebral (IPF)

b. Pada orbita (AOF): pada musculus (ICF) atau diluar daerah


perifer (ECF)

c. Pada saluran lakrimal (ALF): pada glans (ALG), saccus (ALS),


atau kanalis nasolakrimalis (ALC)

d. Pada konjungtiva (ACF): pada konjungtiva palpebralis (PCF),


konjungtiva bulbaris (PBC), atau fornix (FCF)

3. Mixed Foreign Body (MFB)

a. Mixed global-global (MGG)

11
b. Mixed adnexal-adnexal (MAA)

c. Mixed global-adnexal (MGA)

d. Mixed para-orbital (MPO)

Gambar 4. Klasifikasi Benda Asing pada Mata (Shukla, 2015)

2.2.3. Gejala Klinis

Benda asing yang masuk pada mata dapat menimbulkan perasaan tidak
nyaman seperti perasaan ber-“pasir” atau ngeres pada benda asing di kornea,

12
keluar air mata secara terus menerus dan kemerahan pada mata. Nyeri dan
fotofobia lebih sering dijumpai pada benda asing di kornea dibandingkan benda
asing pada konjungtiva. Penurunan visus terjadi terutama saat benda asing berada
di tengah kornea, sedangkan tidak didapatkan saat benda asing berada di
konjungtiva (Khurana, 2007).

2.2.4. Pemeriksaan

Pemeriksaan menggunakan lampu celah (slit-lamp) dilakukan untuk


menentukan posisi dan kedalaman dari benda asing. Pada kasus benda asing perlu
juga dicurigai adanya benda asing intraokuler; perlu juga dilakukan pemeriksaan
segmen posterior dan jika diperlukan, melakukan pencitraan menggunakan foto
polos sinar-X untuk menyingkirkan kemungkinan ini (Bowling, 2016).

Infiltrasi leukosit sering dijumpai di sekitar benda asing yang menempel.


Jika benda asing berupa logam besi, partikel besi dapat berkarat dalam beberapa
jam pada dasar abrasimembentuk cincing karat yang menyebabkan noda
berbentuk cincin dan berwarna kekuning – kuningan pada permukaan stroma
yang akan hilang dalam jangka waktu tertentu yang mengakibatkan terbentuknya
jaringan parut berwarna putih. Dapat pula terjadi uveitis sekunder yang ringan,
yang disertai dengan miosis iritatif, dan fotofobia (Bowling, 2016). Pada
pemeriksaan dapat pula terjadi blepharospasme dan kongesi konjungtiva.
(Khurana, 2007)

Gambar 5. Lingkaran merah menunjukkan benda asing berupa logam pada kornea
(sumber gambar: Kanski Clinical Ophthalmology 6th edition)

13
Gambar 6. Lingkaran merah menunjukkan benda asing telah dibuang. Telah
membentuk lingkaran karat dan abrasi (sumber gambar: Kanski Clinical
Ophthalmology 6th edition)

2.2.5. Komplikasi

Pada bilik mata depan, benda asing akan berada di bagian bawah dan bila
kecil hanya dapat dilihat dengan gonioskop. Apabila benda asing merobek iris,
maka dapat didapatkan eksudasi darah, hifema, dan iritis traumatika. Pada badan
silier, reaksi ini akan lebih hebat dan menyebabkan iridocyclitis traumatika
(Pandey, 2017).

Pada lensa, benda asing akan menetap di nukleus. Hal ini akan
menyebabkan opasitas lokal maupun opasitas pada seluruh lensa (Pandey, 2017).

Pada segmen yang lebih posterior, komplikasi yang lebih berat akan terjadi.
Pada jalan masuk benda asing dapat terjadi infeksi. Apabila melewati vitreous,
dapat terbentuk fibrosis. Apabila mengenai diskus optikus, dapat terbentuk
skotoma (Pandey, 2017).

Pada IOFB, komplikasi yang dapat terjadi antara lain: (AAO, 2017)

1. Opasitas kornea

2. Katarak

3. Endophthalmitis

14
4. Retinal tear/detachment

5. Proliferative Vitreoretinopathy

6. Vitreous hemorrhage

7. Optic neuropathy

8. Siderosis

9. Chalcosis

10. Phthisis

Untuk benda-benda asing yang bersifat inert dapat menghasilkan


komplikasi yang lebih berat tergantung jenisnya. Benda-benda inorganik ini akan
menghasilkan reaksi iritasi saat berinteraksi dengan jaringan mata. Pada segmen
anterior, benda-benda ini tidak menghasilkan reaksi iritasi. Pada segmen posterior
dapat terjadi opasifikasi, likuefaksi, dan shrinkage dari vitreous. Benda-benda
yang dapat menyebabkan reaksi tersebut antara lain: (Pandey, 2017)

1. Merkuri

Merkuri cenderung menmberikan reaksi inflamasi yang purulen dan


aktif baik pada segmen anterior maupun posterior. Reaksi ini serupa
dengan nekrosis.

2. Tembaga

Pada segmen anterior, tembaga akan menyebabkan iridosiklitis akut dan


hipopion. Pada segmen posterior, akan terjadi shrinkage vitreous,
ablasio dan degenerasi retina, toxic papilitis, dan rapid phthisis. Apabila
kadar tembaga sangat kecil, maka akan terjadi difusi bersamaan dengan
hilangnya partikel yang akan memberikan gambaran berupa chalcosis.
Penumpukan tembaga akan memberikan gambaran sebagai berikut:

a. Cincin biru kehijauan pada kornea perifer

b. Sunflower cataract

c. Iris kehijauan

15
Gambar 7. Kayser-Fleischer Ring: penumpukan tembaga pada
membran Descemet

3. Besi

Korpus alienum berupa besi biasanya lebih banyak menyebabkan


morbiditas dengan adanya besi itu sendiri. Besi tersebut teroksidasi dan
larut dalam cairan kornea dan mengendap pada jaringan yang
berdekatan. Dalam beberapa jam akan terbentuk “rust” ring, yang
terdapat dimembran bowman dan substansia propria. Untuk mencegah
berlanjutnya inflamasi okuli dan tertundanya penyembuhan, “rust” ring
ini harus di hilangkan (Yesar, 2009).

4. Material tanaman

Kayu menyebabkan komplikasi paling ringan dibandingakan material


inorganik lainnya. Benda asing kayu dapat menyebabkan jaringan parut
yang secara permanen mempengaruhi pengelihatan.

2.2.6. Tatalaksana

Prinsip penanganan benda asing adalah benda asing harus dikeluarkan


segera mungkin (Khurana, 2007).

Penatalaksanaan untuk benda asing pada konjungtiva, benda asing yang


terletak secara bebas pada fornix inferior, sulkus subtarsalis, atau pada canthus
dapat dilepaskan denganswab stick atau sapu tangan bersih bahkan tanpa
menggunakan anestesi. Benda asing yang tertancap pada konjungtiva bulbi dapat

16
dilepaskan dengan bantuan jarum hipodermis setelah pemberian anestesi lokal
terlebih dahulu (Khurana, 2007).

Sedangkan tahapan ekstraksi benda asing di kornea, mata yang terkena


benda asing diberi anestesi topikal dengan kandungan xylocaine 2-4% dan pasien
diminta untuk berbaring pada meja pemeriksaan. Kelopak mata dipisahkan
dengan spekulum mata, dan pasien diminta untuk melihat tepat ke depan dan
sinar difokuskan pada kornea. Pertama, dilakukan usaha untuk melepaskan benda
asing dari mata menggunakan lidi kapas basah. Jika gagal lakukan ekstraksi
benda asing menggunakan jarum. Jika benda asing berupa benda magnetik,
lakukan pengelepasan benda asing menggunakan magnet. Setelah pengeluaran
benda asing, kasa dan perban dengan salep antibiotik mata diberikan pada mata
tersebut selama 24 hingga 48 jam. Tetes mata antibiotik kemudian diberikan
sebanyak 3-4 kali sehari selama 1 minggu (Khurana, 2007).

Gambar 8. Cara mengeluarkan benda asing pada mata menggunakan jarum.


(Sumber gambar: Pavan-Langston Manual of Ocular Diagnosis and Therapy 6th
edition)

Jika terdapat benda asing multipel pada epitel kornea, contoh seperti pada
ledakan, pengeluaran benda setiap benda asing dapat mengakibatkan
terbentukanya jaringan parut pada kornea. Biasanya dilakukan pelepasan pada
epitel kornea dengan pemberian anestesi topikal dan melepas seluruh lapisan
epitel hingga 1-2 mm dari limbus menggunakan aplikator dengan ujung kapas
yang dibasahi dengan alkohol. Membran Bowman ditinggalkan untuk
memungkinkan regenerasi epitel. Kemudian, benda asing yang berada pada
limbus dilepaskan satu per satu (Pavan & Langston, 2008).

Sikloplegis dan obat anti-inflamasi non-steroid topikal dapat diberikan


untuk mengurangi nyeri (Pavan & Langston, 2008). Terapi yang
dikontraindikasikan yaitu pemberian anestesi topikal secara terus menerus pada

17
pasien dengan abrasi kornea akut atau benda asing pada kornea karena pemberian
anestesi topikal dapat menghambat penyembuhan, menyebabkan penghancuran
epitel, edema stroma, dan nyeri hebat (Pavan & Langston, 2008).

Setelah terapi, pekerja industri, agrikultur, pengendara sepeda dan sepeda


motor diharuskan menggunakan kacamata pelindung untuk mencegah
komplikasi. Edukasi kesehatan mata harus diberikan terutama pada pekerja
industri dan agrikultur (Khurana, 2007).

Jika benda asing pada kornea tidak dilepaskan, terdapat risiko yang besar
terjadinya infeksi sekunder dan ulkus kornea. Setiap sekret, infiltrat, ataupun
uveitis wajib meningkatkan kecurigaan dokter akan adanya infeksi bakteri
sekunder, dan harus dilakukan manajemen yang tepat seperti pada keratitis
bakteri; Pertikel logam diasosiasikan dengan risiko infeksi yang rendah
dibandingkan benda asing tersebut berupa materi organik dan batu. Konjungtivitis
akut bakteri dapat terjadi pada benda asing yang tercemar atau kebiasaan
menggosok mata menggunakan tangan yang terinfeksi (Khurana, 2007).
IOFB harus diambil kecuali bila proses pengambilan benda asing justru
dapat merusak pengelihatan. Pada bilik mata depan dilakukan insisi pada kornea
3 mm dari tepi limbus, dilakukan langsung pada kuadran letak benda asing.
Benda asing dapat diambil dengan menggunakan magnet atau forceps. Pada iris
dilakukan sector iridectomy. Pada lensa dilakukan ECCE dan pemasangan IOL
(Pandey, 2017).

18
BAB III
RINGKASAN

Benda asing pada mata adalah terdapatnya benda asing yang dalam keadaan normal
tidak dijumpai di kornea atau konjungtiva. Keluhan yang ditemukan pada pasien dengan
benda asing yang masuk ke mata adalah perasaan tidak nyaman di mata, keluar air mata
secara terus menerus dan kemerahan pada mata. Apabila benda asing dijumpai di kornea,
dapat dirasakan juga keluhan nyeri, fotofobia, dan penurunan visus. Pemeriksaan yang bisa
dilakukan adalah dengan menggunakan lampu celah (slit-lamp) untuk menentukan posisi dan
kedalaman dari benda asing. Prinsip terapi untuk benda asing pada mata adalah pengeluaran
benda asing sesegera mungkin. Setelah pengeluaran benda asing, kasa dan perban dengan
salep antibiotik mata diberikan pada mata tersebut selama 24 hingga 48 jam. Tetes mata
antibiotik kemudian diberikan sebanyak 3-4 kali sehari selama 1 minggu.

19
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Opthamology. 2012. External Disease and Cornea. San Fransisco:
AAO MD Association.

Bangun, C.Y.Y., 2009. Prevalensi Kebutaan Akibat Kelainan Kornea di Kabupaten


Langkat. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara RSUP. H. Adam Malik.

Bashour M., 2008. Corneal Foreign Body. Available on


http://emedicine.medscape.com/ article/ 1195581-overview (diakses 19 Desember
2017)

Biswell, R., 2010. Kornea. In: Vaughan, Asbury. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta:
EGC.

Biradar, Somashekar P. 2011. A Study on Industrial Eye Injuries. Journal of Clinical and
Diagnostic Research. 5(5): 1076-1081.

Bowling, Brad. 2016. Kanski's Clinical Opthalmology: a Systematic Approach eight


edition. Sydney: Elsevier.

Eroschenko, VP. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional. Edisi 9.
Jakarta: EGC.

Ilyas, S. 2008. Penuntun Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

20
Khurana A.K. 2007. Community Ophthalmologi, Fourth Edition. New Delhi: New Age
International Limited Publisher.

Ko, C., Chan, W., Tse, Raymond K.K. 2000. Ocular Tauma in Hong Kong: a prospective
survey of 1799 patients. Hong Kong: Journal of Ophthalmology. 6(1): p21-27.

Pandey, AN. 2017. Ocular Foreign Bodies: A Review. J Clin Exp Ophthalmol 8: 645.

Pavan PR, Langston D. 2008. Manual of ocular diagnosis and therapy, sixth edition.
Toronto: Little Brown and Company.

Riordan P, Eva. 2012. Optik dan Refraksi. Vaughan & Asbury’s General
Ophthalmology. McGraw-Hill Companies: New York. Chapter 20. P; 382-398

Robbins & Cotran. 2008. Buku saku Dasar Patologis Penyakit, edisi 7. Jakarta: EGC.

Shukla, B. 2015. New Classification of Ocular Foreign Bodies. Chinese Journal of


Traumatology 19:319-321

Vaughan, D. G., Asbury, T., Riordan-Eva, P. 2010. Oftalmologi Umum. Edisi ke-17,
cetakan ke-1. Jakarta: Widya Medika. p230-250.

Woo, Jyh-Haur., Sundar, Gangadhara. 2006. Eye Injuries in Singapore – Don’t Risk It.
Do More. A Prospective Study. Annals Academy of Medicine. 35: 706-718.

21

Anda mungkin juga menyukai