Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

CORNEAL CROSS-LINKING

DISUSUN OLEH :
Cut Fadmala Corry Amelia - 1361050169
Daisy Liadiniar Tri Wigati - 1461050127
Debela Okta Belita -1361050070
Martina Karolin Koromat - 1361050162
Nathania Bellamy Bonnyvena – 1461050180
Olivia Magdalena - 1461050215
Punam Razputri - 1461050097

Pembimbing
Dr. MED dr. Jannes F. Tan, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


PERIODE 6 MEI – 15 JUNI 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan pada ke hadirat Allah SWT karena penulis
telah diberi kesempatan untuk menyelesaikan tugas referat yang berjudul Corneal
Cross-linking. Adapun tujuan penulisan tugas referat ini adalah untuk
meningkatkan pengetahuan mahasiswa mengenai Corneal Cross-linking. Pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. MED dr. Jannes F. Tan, Sp.M selaku pembimbing yang telah
memberikan bimbingan yang baik selama penulisan tugas referat ini
maupun selama penulis mengikuti kepaniteraan klinik di Ilmu Penyakit
Mata di Rumah Sakit Umum Universitas Kristen Indonesia.
2. Para dokter spesialis mata, staf, dan perawat Departemen Ilmu Penyakit
Mata Rumah Sakit Umum Universitas Kristen Indonesia yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan tugas referat ini.
3. Keluarga dan teman-teman yang telah memberikan dukungan serta doa
kepada penulis sehingga penulisan tugas referat ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa tugas referat ini masih jauh dari kesempurnaan,
karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis. Untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak.

Jakarta

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
BAB I PENDAHULUAN
1.2. Latar Belakang
1.3. Anatomi Kornea
1.4. Fisiologi Kornea
1.5. Fisiologi Endotel Kornea
1.6. Patofisiologi Endotel Kornea
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Corneal Collagen Cross Linking
2.2 Indikasi Corneal Collagen Cross Linking
2.3 Teknik Corneal Collagen Cross Linking
2.4 Mekanisme Corneal Collagen Cross Linking
2.4.1 Ribovlafin
2.4.2 UVA
2.5 Hasil Corneal Collagen Cross Linking
2.6 Komplikasi Corneal Collagen Cross Linking
2.7 Keuntungan dan Kerugian Corneal Collagen Cross Linking
BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi mata


Gambar 2. Anatomi kornea
Gambar 3. Penyinaran dengan UVA pada mata yang telah diberikan riboflavin.

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan merupakan jaringan
transparan yang dilalui oleh berkas cahaya saat menuju retina. Sifat tembus
cahaya kornea disebabkan oleh strukturnya yang uniform, avaskular, dan
deturgenses. Epitel yang terdapat pada kornea ini adalah sawar yang efisien
terhadap masuknya mikroorganisme ke dalam kornea.1 Salah satu masalah yang
dapat terjadi pada mata ada keratokonus. Pada penyakit ini, Corneal Collagen
Cross-linking (CXL) merupakan terapi pertama yang dapat mengentikan
progresifitas dari keratokonus.9

1.2 Anatomi Kornea

Gambar 1. Anatomi Mata

Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran


11- 12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37.
Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari

1
total 58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Dalam nutrisinya, kornea bergantung
pada difusi glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan
air mata. Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus.
Kornea adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf
terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan
konjungtiva.2 Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 550 µm, diameter
horizontalnya sekitar 11,75 mm dan vertikalnya 10,6 mm.3

Gambar 2. Anatomi kornea.

Secara mikroskopis korna terdiri dari 5 lapisan, yaitu:1


A. Epitel
Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis selepitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih, satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal
sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel
sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat
berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya
melalui desmosom dan makula okluden, ikatan ini menghambat pengaliran air,
eliktrolit, dan glukosa yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membran
basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan

2
erosi rekuren. Adanya ikatan yang kuat antara sel-sel epitel superfisial mencegah
terjadinya penetrasi cairan air mata ke dalam stroma.
B. Lapisan Bowman
Lapisan Bowman adalah lapisan yang terkuat dan terbentuk dari lapisan
fibril kolagen yang tersusun secara random. Ketebalan lapisan ini sekitar 8-14
mikro meter. Bila terjadi luka yang mengenai bagian ini maka akan digantikan
dengan jaringan parut karena tidak memiliki daya regenerasi.
C. Stroma
Stroma merupakan 90% dari seluruh ketebalan kornea dan dibentuk oleh
keratosit yang memproduksi kolagen. Jenis kolagen yang dibentuk adalah tipe I,
III dan VI. Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sadangkan
dibagian perifer serat kolagen ini bercabang, terbentuknya kembali serat kolagen
memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan
sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen
stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam
perkembangan embrio atau sesudah trauma. Transparansi kornea juga ditentukan
dengan menjaga kandungan air di stroma sebesar 78%.
D. Membran Descement
Membrana descement adalah suatu lamina basalis yang tebal dan longgar
pada stroma. Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya. Bersifat sangat
elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40 μm.
E. Endotel
Berasal dari mesotelium, berlapis satu,bentuk heksagonal, besar 20-40 μm.
Endotel melekat pada membran descement melalui hemi desmosom dan zonula
okluden. Sel endotel mempunyai fungsi transport aktif air dan ion yang
menyebabkan stroma menjadi relatif dehidrasi sehingga terut menjaga kejernihan
kornea.

1.3 Fisiologi Kornea

3
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui
berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya
yang uniform, avaskuler dan deturgesensi. Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat
bifasik. Substansi larut-lemak dapat melalui epitel utuh dan substansi larut-air
dapat melalui stroma yang utuh. Agar dapat melalui kornea, obat harus larut-
lemak dan larut-air sekaligus. Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya
mikroorganisme kedalam kornea. Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang
avaskular dan membran Bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai macam
organisme, seperti bakteri, virus, amuba, dan jamur.1

1.4 Fisiologi Endotel Kornea


Endotel memiliki peranan yang sama-sama penting dengan epitel mata,
akan tetapi kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak jauh lebih parah
daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema
kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, kerusakan pada epitel hanya
menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang akan meghilang bila sel-sel
epitel telah beregenerasi. Selain itu, deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif
jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel dan
oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh
lebih penting daripada epitel.1

1.5 Patofisiologi Endotel Kornea


Adapun terdapat penyakit yang dapat timbul pada kornea dan lapisan
endotelnya.
1.5.1 Dry eye
Kelainan ini muncul ketika lapisan air mata mengalami defisiensi
sehingga tidak dapat memenuhi batas-batas kecukupan, baik secara kuantitatif
maupun kualitatif, yang kemudian diikuti dengan keluhan subjektif. Kekurangan
cairan lubrikasi fisiologis merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
infeksi mikroba pada mata.4
1.5.2 Defisiensi vitamin A
Kelainan kornea oleh karena defisiensi vitamin A dapat menyebabkan

4
kekeringan yang menggambarkan bercak Bitot yang warnanya seperti mutiara
yang berbentuk segitiga dengan pangkal di daerah limbus. Bercak Bitot seperti
ada busa di atasnya. Bercak ini tidak dibasahi oleh air mata dan akan terbentuk
kembali bila dilakukan debridement. Terdapat dugaan bahwa bentuk busa ini
merupakan akibat kuman Corynebacterium xerosis. Hipovitamin A ini juga dapat
menyebabkan keratomalasia dan tukak kornea dimana akan terlihat kornea
nekrosis dengan vaskularisasi ke dalamnya.5
1.5.3 Abnormalitas Ukuran dan Bentuk Kornea
Abnormalitas ukuran dan bentuk kornea yang terjadi adalah mikrokornea
dan megalokornea. Mikrokornea adalah suatu kondisi yang tidak diketahui
penyebabnya, bisa berhubungan dengan gangguan pertumbuhan kornea fetal pada
bulan ke-5. Selain itu bisa juga berhubungan dengan pertumbuhan yang
berlebihan dari puncak anterior optic cup yang meninggalkan sedikit ruang bagi
kornea untuk berkembang. Mikrokornea bisa berhubungan dengan autosomal
dominan atau resesif dengan prediksi seks yang sama, walaupun transmisi
dominan lebih sering ditemukan. Megalokornea adalah suatu pembesaran segmen
anterior bola mata. Penyebabnya bisa berhubungan dengan kegagalan optic cup
untuk tumbuh dan anterior tip menutup yang meninggalkan ruangan besar bagi
kornea untuk untuk diisi.4
1.5.4 Distrofi kornea
Deposit abnormal yang disertai oleh perubahan arsitektur kornea, bilateral
simetrik dan herediter, tanpa sebab yang diketahui. Proses dimulai pada usia bayi
1-2 tahun dapat menetap atau berkembang lambat dan bermanisfestasi pada usia
10-20 tahun. Pada kelainan ini tajam penglihatan biasanya terganggu dan dapat
disertai dengan erosi kornea.6
1.5.5 Trauma kornea
Trauma kornea bisa disebabkan oleh trauma tumpul, luka penetrasi atau
perforasi benda asing. Kemungkinan kontaminasi jamur atau bakteri harus diingat
dengan kultur untuk bakteri dan jamur diambil pada saat pemeriksaan pertama
jika memungkinkan. Trauma tumpul kornea dapat menimbulkan aberasi, edema,
robeknya membran Descemet dan laserasi korneoskleral di limbus.4

5
Trauma penetrasi merupakan keadaan yang gawat untuk bola mata karena
pada keadaan ini kuman akan mudah masuk ke dalam bola mata selain dapat
mengakibatkan kerusakan susunan anatomik dan fungsional jaringan intraokular.
Perforasi benda asing yang terdapat pada kornea dapat menimbulkan gejala
berupa rasa pedas dan sakit pada mata. Keluhan ini mungkin terjadi akibat sudah
terdapatnya keratitis atau tukak pada mata tersebut.5

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Corneal Collagen Cross-Linking


Cross-linking (X-linking, CXL) adalah prosedur bedah yang dirancang
untuk memperkuat struktur kornea dan menghentikan perkembangan
keratoconus.9 Metode ini diterapkan untuk pertama kalinya di Dresden University
of Technology (Jerman) pada tahun 1998. Efikasi dan keamanan dari prosedur
dikonfirmasi dalam berbagai uji klinis. Dari zaman “Dresden Protocol” sampai
sekarang, beberapa variasi teknik prosedur standar telah diperkenalkan dan
perbaikan yang konsisten masih sedang dicari.2

CXL dapat dibagi menjadi CXL epitel-off dan CXL epitel-on. CXL yang
pertama kali digunakan adalah CXL epitel-off. Dikarenakan terdapat komplikasi
dengan pengikisan kornea pada tindakan CXL epitel-off, CXL epitel-on mulai
sering digunakan. CXL epitel-on juga dapat disebut sebagai CXL transepitelial.7

Corneal Collagen Cross-linking (CXL) adalah teknik baru yang dapat


memperkuat jaringan pada kornea dengan memperkuat ikatan kimiawi antar serat
kolagen.15

2.2 Indikasi Corneal Collagen Cross-Linking

Corneal Collagen Cross-linking (CXL) digunakan untuk menghentikan


perkembangan dari keratoconus. Maka itu, kandidat terbaik untuk tindakan ini
adalah pasien-pasien yang menderita ektasia kornea progresif. Terdapat
beberapa parameter dalam menentukan perkembangan ektasia kornea, tetapi
dalam kebanyakan penelitian, perkembangan didefinisikan sebagai peningkatan
1.00 diopter (D) atau lebih curam pada pengkuran keratometri, peningkatan 1.00
atau lebih dalam manifest silinder, peningkatan 0,50 atau lebih dalam manifest

7
refraksi sferis dalam satu tahun, pengurangan ketebalan sentral kornea sebanyak
5% dalam tiga tomografi berturut-turut dalam 6 bulan. 1,3

Indikasi dari pemberian tindakan CXL (CXL epitel-off dan CXL epitel-on)
antara lain seperti perawatan pasca operasi ektasia kornea, keratopati bulosa,
distrofi kisi kornea ulserasi kornea infeksius (Photo Activated Chromophore for
Keratitis Cross-linking, PACK-CXL).9 18
Corneal Cross Linking (CXL)
tampaknya merupakan satu – satunya teknik yang mampu menghentikan
perkembangan keratoconus, dimana keratoconus memiliki alasan kedua tersering
untuk melakukan transplantasi kornea. CXL efektif untuk menghentikan
perkembangan keratoconus pada pasien anak di bawah 18 tahun.12 Perkembangan
ektasi kornea seperti keratoconus dapat diperlambat atau bahkan dihentikan. 15
Keratoconus ditandai sebagai ectasia kornea progresif bilateral, noninflamasi,
progresif. Hasilnya penipisan kornea dan tonjolan, miopia progresif, dan
astigmatisme tidak teratur. Meskipun hanya 26,8% pasien dengan keratoconus
berkembang menjadi yang membutuhkan transplantasi kornea untuk pemulihan
visual, keratoconus tetap menjadi indikasi paling umum untuk operasi
transplantasi kornea.14 Selain digunakan untuk menyembuhkan keratoconus yang
progresif, Indikasi CXL juga dilakukan juga untuk ekstasi kornea setelah
dilakukan prosedur LASIK.10

Riwayat operasi kornea, sensitivitas terhadap bahan-bahan yang digunakan


selama prosedur, corneal pachymetry kurang dari 400μ, riwayat penyakit kornea
seperti herpes simplex keratitis, ibu hamil dan menyusui dianggap kontraindikasi
untuk CXL.1

2.3 Teknik Corneal Collagen Cross- Linking


Prinsip riboflavin-UVA silang didasarkan pada efek fotokimia yang
pertama kali disampaikan oleh Spoerl et al. pada tahun 1998. Silang pertama kali
digunakan pada pasien di akhir 1990-an, sementara hasil klinis pertama
diterbitkan pada tahun 2003.3 Teknik CXL standar melibatkan pengangkatan

8
epitel kornea (Epitel-Off) untuk meningkatkan penetrasi riboflavin (vitamin B2),
karena epitel menjadi penghalang terjadinya difusi alami dari riboflavin. 9 Sebelum
dilakukan operasi, untuk mengurangi risiko kerusakan endotel, harus dipastikan
ketebalan kornea sentral lebih besar dari 400 mm.18

Teknik CXL epitel-off dilakukan setelah pemberian lidokain 4% untuk


anestesi topikal dan pilocarpine 1,0% untuk mengurangi risiko paparan sinar
ultraviolet. Epitel kornea setebal 9,0 mm kemudian dihilangkan secara mekanis.
Riboflavin diberikan secara topikal setiap 2 menit selama 30 menit selama
paparan UVA. Kornea kemudian diberikan penyinaran UVA 370 nm selama 30
menit dengan irradiasi 3,0 mW / cm2. Pada akhir prosedur, ofloksasin dan tetes
mata siklopentolat diberikan, dan lensa kontak terapeutik kemudian diberikan dan
dilepas 3 hari setelah operasi. Tobramycin topikal (empat kali sehari selama 1
minggu) dan deksametason fosfat 0,1% (empat kali sehari selama 2 minggu)
diresepkan. Tetes mata pelumas diresepkan untuk tiga bulan berikutnya. 8 Lensa
kontak lunak analgesik dan perban lunak dapat digunakan untuk manajemen
nyeri. Nyeri mata yang signifikan biasanya dialami selama 24-48 jam pertama
setelah pembedahan dan penglihatan kabur selama 1-2 minggu. Pemakaian lensa
kontak yang kaku dapat dilanjutkan kembali setelah epitel telah sepenuhnya pulih,
biasanya sekitar 2-3 minggu.18

Teknik asli yang digunakan untuk CXL dikenal hari ini sebagai standar,
epitel-off CXL dan melibatkan langkah-langkah berikut:
a) Pertama, epitel kornea sentral diangkat. Ini memungkinkan riboflavin
berdifusi ke dalam kornea.
b) Setelah gangguan epitel, riboflavin 0,1% tetes diberikan pada interval 1
hingga 5 menit selama 30 menit. Kehadiran riboflavin di ruang anterior dapat
dikonfirmasikan dengan pemeriksaan slit-lamp dengan menggunakan filter
biru.
c) Selain itu, pachymetry ultrasound dilakukan untuk memastikan bahwa
ketebalan kornea sentral (CCT) lebih besar dari 400 lm. Jika CCT lebih tipis
dari 400 lm, riboflavin hipotonik sering diberikan selama sesi 2 menit sampai
hasil pachymetry mengkonfirmasi bahwa stroma kornea telah membengkak
menjadi lebih dari 400 lm.

9
d) Setelah penyerapan riboflavin yang memadai telah terjadi, sinar UV-A pada
370 nm diaplikasikan pada kornea sentral selama 30 menit pada radiasi 3,0
mW / cm2.
e) Seringkali, riboflavin 0,1% tetes terus dioleskan ke kornea pada interval 1
hingga 4 menit selama 30 menit iradiasi untuk mempertahankan konsentrasi
riboflavin yang diperlukan.15
f) Obat pasca-CXL terdiri dari antibiotik tetes mata (Vigamox (moxifloxacin
hidroklorida); Alcon Nederland) dan tetes antiinflamasi nonsteroid (Nevanac
(nepafenac) 0,1%; Alcon Nederland) untuk 1 minggu, air mata tiruan bebas
pengawet selama 4 minggu, dan steroid topikal (fluorometholone 0,1% turun;
Allergan BV) tiga kali per hari selama 3 minggu mulai 1 minggu setelah CXL.
Sebuah lensa kontak (Purevision; Bausch & Lomb) sebelumnya digunakan
dan dilepas setelah 5 hari.10

Pada kelompok CXL epitel-on, epitel kornea tidak dihilangkan. Imbibasi


kornea diperoleh dengan 0,1% riboflavin-15% larutan dekstran yang ditambah
dengan Trishydroxymethylaminomethane dan sodium etylenediam inetetraacetic
acid diberikan setiap 5 menit selama 30 menit. Satu tetes pilocarpine 1% diberikan
30 menit sebelum tindakan radiasi untuk mengurangi risiko paparan UVA.
Sepuluh menit kemudian, dosis tunggal tetes mata lidokain 4% diberikan untuk
membius kornea.8 Dengan pasien dalam posisi terlentang dan spekulum
dimasukkan, satu tetes formulasi riboflavin transepitel eksklusif kemudian
diteteskan setiap 2 menit dengan spons steril ditempatkan pada kornea. Perangkat
spons steril memiliki bentuk, bahan yang unik, dan ukuran pori yang dirancang
untuk memaksimalkan kontak dari solusi riboflavin dengan kornea dan
meningkatkan penetrasi riboflavin ke dalam stroma kornea tanpa membuat cacat
epitel. Setelah 15 hingga 20 menit, pasien dievaluasi pada slitlamp dengan cahaya
biru putih dan kobalt, dan jumlahnya riboflavin dalam stroma kornea diperkirakan
dengan perbandingan foto standar yang telah dikalibrasi. Jika konsentrasi
riboflavin stroma tidak memadai (Ow15 mg / gm) atau saturasi tidak seragam,
saturasi waktu diperpanjang. Sebagian besar mata cukup jenuh dalam 15 menit,
dan lebih dari 95% jenuh dalam waktu kurang dari 30 menit. Mata dibilas
sebentar dengan larutan garam seimbang untuk menghilangkan riboflavin dari

10
permukaan kornea. Hidrasi kornea dipertahankan selama paparan sinar UV
dengan air mata buatan. Antibiotik fluoroquinolone dan prednisolon asetat 1%
diresepkan empat kali sehari selama 1 minggu pasca operasi. Ukuran hasil
pemeriksaan dilakukan pada 1 hari, 1 minggu, 1 bulan, dan 3, 6,12, dan 24 bulan
pasca operasi.11 Pasca tindakan, diresepkan tobramycin topikal (empat kali sehari
selama 1 minggu).8

a. Gabungan Keratektomi photorefractive (PRK) terpandu topografi dan


CXL
Teknik keratektomi photorefractive (PRK) terpandu topografi dapat
dilakukan dengan atau tanpa CXL. PRK dilakukan menggunakan laser kondisi
padat dengan panjang gelombang 213 nm (Pulzar Z1; CustomVis, Perth, WA).
Panjang gelombang dihasilkan menggunakan neodymium utama: sistem laser
aluminium yttriume aluminium 1064 nm, dan melalui kristal khusus
dibudidayakan, 213 nm akhirnya digunakan. Koreksi target mencapai hingga 33%
dari miopia refraksi dan 66% astigmatisme bias di zona ablasi 5,5 mm.
Kustomisasi tambahan koreksi dilakukan berdasarkan penyimpangan tingkat
tinggi kornea. Perangkat lunak sistem memungkinkan penggunaan persentase
penyesuaian dari 0% hingga 100%. Menggunakan 0% setara dengan perawatan
laser konvensional dan 100% sama dengan perawatan penuh yang disesuaikan.
Dengan menyesuaikan persentase ini dan upaya koreksi, kami dapat menurunkan
kedalaman maksimum jaringan yang dihapus untuk mempertahankan batas
keamanan ketebalan stroma 400 mm setelah tPRK dan sebelum CXL. Kedalaman
ablasi maksimum adalah 50 mm.16

b. Accelerated Cross- linking


Tujuan dari percepatan cross-linking adalah untuk mempersingkat waktu
iradiasi dengan mengintensifkan iradiasi UVA, berarti bahwa prosedur 70-min
sesuai dengan protokol Dresdner dapat dipersingkat, sehingga mengurangi beban
pasien dan menghemat sumber daya. Berbagai protokol selalu mematuhi jumlah
kepadatan yang sama energi (5,4 J / cm²) ditetapkan dalam protokol Dresdner.

11
Dengan demikian, tergantung pada kekuatan lampu UVA digunakan, waktu
iradiasi dapat bervariasi (misalnya, 10 menit iradiasi di 9 mW / cm ² power). Studi
klinis awal dipersingkat, iradiasi menunjukkan efek yang sama dengan protokol
Dresdner, meskipun pengurangan biasanya diamati pada kekuatan bias maksimal
kornea tampaknya kurang ditandai dengan iradiasi lebih pendek.3 Namun, belum
dijelaskan apakah jumlah yang sama ikatan kovalen dapat dicapai dalam waktu
kurang. Keberhasilan kemampuan oksigen dalam stroma kornea bisa menjadi
faktor batas di sini. Sebuah meta-analisis terbaru mengungkapkan protokol
Dresdner unggul dalam hal menghentikan perkembangan dibandingkan dipercepat
silang.2

Teknik CXL dipercepat dapat dilihat dari garis demarkasi mewakili zona
transisi antara stroma terkait silang anterior dan stroma posterior yang tidak
diobati. Hal ini dapat dicapai pada kedalaman sekitar 300 , paling cepat 2 minggu
pasca operasi. Karena luasnya garis demarkasi dianggap sebagai penanda
pengganti untuk kedalaman perawatan, hasil protokol standar dibandingkan
dengan pendekatan dipercepat dapat diasumsikan. Dengan total fluence lebih
besar 7,5 J / cm2 dan peningkatan riboflavin presoak, kedalaman yang sama
seperti CXL konvensional dicapai. Sementara membandingkan hasil protokol
dipercepat yang berbeda, garis demarkasi yang lebih dalam dan terdefinisi dengan
baik dicatat dalam kelompok 3 mW / cm2 dan 9 mW / cm2 dan tidak merata dan
dangkal dengan radiasi yang lebih tinggi. Karena serat stroma anterior dikaitkan
dengan sebagian besar kekuatan biomekanik, garis demarkasi yang lebih dangkal
mungkin masih terbukti memadai untuk mencegah perkembangan penyakit.17)

Accelerated CXL dikembangkan untuk mempersingkat waktu prosedur.


Accelerated CXL dikembangkan untuk mempersingkat waktu prosedur dengan
meningkatkan kekuatan cahaya UV-A.15

Kesimpulannya, cross-link yang dipercepat secara signifikan


mempersingkat waktu prosedural dan mengurangi ketidaknyamanan pasien.
Selain itu, karena waktu iradiasi UV-A secara signifikan lebih rendah dengan

12
protokol dipercepat, ia menghindari penipisan stroma yang berlebihan dan
kerusakan endotel berikutnya intraoperatif17

c. Pulsed Cross- linking


Sejumlah penelitian membandingkan hasil kontinyu versus denyut nadi
radiasi dalam protokol dipercepat. Garis demarkasi yang lebih dalam dan efek
apoptosis yang lebih tinggi dicatat dengan pendekatan berdenyut. Peyman et al.
menunjukkan garis demarkasi yang lebih dalam secara signifikan setelah
pendekatan berdenyut (1 detik pada 1 detik) dibandingkan dengan 4 menit iradiasi
terus menerus UV-A yang dipercepat, Hasil yang serupa ditunjukkan oleh
Moramarco et al. membandingkan hasilnya dalam enam puluh mata. Kedalaman
rata-rata garis demarkasi pada AS-OCT pada kelompok yang berdenyut adalah
213 ± 47,38  dibandingkan dengan 149,32 ± 36,03  pada kelompok yang
menerima iradiasi terus menerus. (17)
Meskipun hubungan silang berdenyut menunjukkan hasil yang
menjanjikan, durasi denyutan yang tepat adalah pertanyaan yang tetap tidak
terjawab. Laju penipisan oksigen dalam reaksi Tipe II adalah 15-20 detik. Di sisi
lain, kadar oksigen jaringan normal dipulihkan dalam 3-4 menit penghentian UV-
A. Oleh karena itu, studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan pendekatan
denyutan yang ideal. 17

d. Xtra laser in situ keratomileusis dengan CXL


Prosedur LASIK XTRA mensyaratkan administrasi cross-linking setengah
fluence dengan radiasi tinggi setelah koreksi bias. Konsentrasi riboflavin 0,25%
yang lebih tinggi diberikan pada lapisan stroma setelah ablasi laser excimer
dengan waktu rendam 90 detik. Antarmuka dicuci secara menyeluruh dan flap
diposisikan ulang. UV ‐ A radiasi disampaikan sebagai sinar homogen 30 mW /
cm2 selama 90 detik untuk menghasilkan fluence total 2,7J / cm2. Tujuan dari
cross-linking dalam format setengah fasih yang dipercepat ini adalah untuk
mengembalikan atau meningkatkan kekuatan kornea tanpa menyebabkan
perubahan bias. Riboflavin ditanamkan pada dasar stroma dan tidak melalui flap

13
karena hal ini meniadakan perlunya deepithelization untuk mempromosikan difusi
riboflavin. Flap itu sendiri tidak berkontribusi terhadap kekuatan biomekanik
residu, dan oleh karena itu, mengikat silang flap tidak akan memberikan
keuntungan. Selain itu, mengaitkan flap secara silang dapat menyebabkan
penyusutan berikutnya dengan konsekuensi yang tidak diinginkan. AS - OCT
adalah alat yang berguna untuk menunjukkan ketebalan flap dan kedalaman garis
demarkasi.(17)
Selama dekade terakhir, hubungan silang kolagen kornea telah menjadi
pengobatan utama untuk menghentikan perkembangan keratoconus. CXL telah
terbukti meningkatkan kekakuan kornea pada studi hewan dan praktik klinis.
Tampaknya intuitif untuk menggabungkan dua prosedur di mana LASIK
meningkatkan kualitas penglihatan tetapi mengurangi kekuatan biomekanik
kornea yang dapat dikompensasi sebagian atau seluruhnya oleh penguatan yang
diinduksi CXL.17
Namun, ada beberapa kekhawatiran tentang menggabungkan kedua teknik
tersebut. Hubungan silang kolagen selain meningkatkan kekakuan kornea juga
menyebabkan efek perataan. Hal ini dapat membatasi akurasi bias dengan
menginduksi perataan jangka panjang dan overcorrection yang terjadi atau
pergeseran hyperopic. Selain itu, pengembangan kabut stroma pasca-CXL dapat
semakin menurunkan kualitas visual.17

e. Cross- linking in Thin Corneas


Peningkatan waktu intraoperatif dan konsentrasi kolagen yang relatif lebih
rendah dalam stoma terhidrasi adalah beberapa keterbatasan teknik ini. Cross-
linking transepithelial diperkenalkan untuk mencegah efek buruk yang terkait
dengan debridemen epitel serta kemungkinan peran dalam kornea yang lebih tipis.
Namun, penelitian jangka panjang menunjukkan hasil yang tidak memuaskan
mungkin karena penetrasi riboflavin yang terbatas. Debridemen yang dipandu
pachymetry yang dipersonalisasi memerlukan pelestarian epitel di atas kerucut
paling tipis atau area penumpukan topografi maksimal. Namun, teknik ini
menunjukkan penetrasi terbatas dengan garis demarkasi pada 150. Jacob et al.

14
menggambarkan penggunaan lensa kontak perban yang dibasahi dengan
riboflavin untuk menambah ketebalan kornea sekitar 100. Namun, sifat
penyerapan lensa kontak berbeda dari stroma kornea. Selain itu, ketidakmampuan
untuk menyesuaikan ketebalan lensa kontak dan tekuk intraoperatif adalah
beberapa keterbatasan terkait. Hasil jangka panjang dari prosedur ini tidak
tersedia. Sachdev et al. menggambarkan augmentasi intraoperatif ketebalan
stroma, menggunakan lenticules refraktif yang diperoleh dari pasien yang
menjalani ekstraksi lenticule sayatan kecil untuk koreksi miopia. Dalam teknik
yang dimodifikasi ini, ketebalan stroma kornea meningkat dengan cara yang
paling fisiologis. Penempatan lenticule pusat di atas puncak kerucut
memungkinkan seseorang untuk menambah ketebalan kornea di mana diperlukan
sambil menyisakan stroma yang tersisa untuk dihubungkan secara normal. Selain
itu, permukaan stroma inang yang relatif kasar memungkinkan lenticule untuk
menyebar dengan mudah dan tekuk dihindari. 17
Selain itu, penggunaan hidroksipropil metilselulosa riboflavin mencegah
dehidrasi kornea yang disebabkan oleh dekstran dan lebih cocok untuk kornea
tipis. Prinsip penyesuaian UV-A radiasi dengan ketebalan stromal berkembang
sebagai teknik terbaru untuk kornea tipis (adapted fluence). Sebagai kesimpulan,
berbagai kemajuan dalam prosedur memungkinkan cross-linking yang aman
dalam ketebalan kornea suboptimal. 17

f. Transepithelial Cross-linking

Tujuan dari transepitelial silang adalah untuk membuang penghapusan


epitel kornea pada awal pengobatan. Hal ini akan mengurangi rasa sakit dan risiko
infeksi.2 Namun, karena riboflavin tidak dapat menyebar melalui epitel kornea
utuh karena persimpangan ketat, ada berbagai pendekatan untuk mencapai
penetrasi riboflavin ke dalam stroma (misalnya penambahan benzalkonium
chloride, iontophoresis).3

Hubungan silang konvensional memerlukan debridemen epitel untuk


mencapai penetrasi riboflavin yang lebih besar, yang sebaliknya terhambat oleh

15
persimpangan ketat epitel. Nyeri pasca operasi, peningkatan risiko kabut, dan
infeksi terkait keterbatasan. Aplikasi riboflavin transepitel dengan berbagai teknik
untuk memodifikasi permeabilitas epitel telah dijelaskan termasuk pembelahan
farmakologis persimpangan ketat dan aplikasi melalui kantong intrastromal.
Meskipun pendekatan transepitel menunjukkan lebih sedikit komplikasi,
kemanjuran lebih rendah dibandingkan dengan pengobatan konvensional
khususnya di menstabilkan atau meningkatkan keratometri. 17
Iontophoresis adalah teknik noninvasif yang memungkinkan penetrasi
riboflavin transepitel mengikuti penerapan arus listrik ringan. Riboflavin adalah
molekul bermuatan negatif, larut dalam air dengan berat molekul yang relatif
rendah sehingga cocok untuk iontophoresis. Sejumlah penelitian menunjukkan
stabilisasi proses penyakit mengikuti CXL (I-CXL) yang dibantu iontophoresis.
Namun, regresi keratometrik lebih rendah dibandingkan dengan epi-off cross-
linking konvensional. Hasil serupa dicatat dalam kasus keratoconus pediatrik
selama 15 bulan periode tindak lanjut. Kedalaman garis demarkasi yang dicatat
lebih rendah dibandingkan dengan standar cross-linking. Dalam sebuah studi oleh
Mastropasqua et al., I-CXL menunjukkan kejenuhan yang lebih dalam dari
riboflavin sehubungan dengan epi konvensional tetapi tidak mencapai konsentrasi
dengan epi-off standar. Meskipun pengiriman riboflavin berbantuan I-CXL lebih
rendah daripada pendekatan konvensional, konsentrasi efektif untuk
menghentikan proses penyakit belum ditetapkan. 17
I-CXL memiliki potensi untuk menjadi pengobatan alternatif yang valid
untuk keratoconus sekaligus mengurangi waktu perawatan, ketidaknyamanan
pasien pasca operasi, dan risiko infeksi. 17
Dalam transepitelial CXL, epitel kornea tetap utuh, dan berbagai zat
seperti dekstran ditanamkan dengan riboflavin untuk meningkatkan permeabilitas
epitel sebelum penyinaran UV. Modifikasi ini dikembangkan untuk mengurangi
ketidaknyamanan pasien dan mempersingkat waktu pemulihan.15

16
Gambar 3. Penyinaran dengan UVA pada mata yang telah diberikan
riboflavin.

2.4 Mekanisme Corneal Collagen Cross-Linking


Tindakan CXL dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi ketebalan dari
kornea. Keamanan prosedur CXL, terlepas dari dosis UVA yang diterapkan, juga
tergantung pada ketebalan kornea, yang tidak boleh lebih rendah dari 400 μm.
Ketebalan kornea seperti itu diketahui dapat mencegah kerusakan sel endotel
selama iradiasi UV. Efek dari prosedur CXL telah terbukti terbatas pada ketebalan
kornea 200-350 μm. Namun, harus diingat bahwa selama prosedur CXL,
ketebalan dapat kornea berkurang rata-rata 19%, karena dehidrasi. Proses ini juga
difasilitasi oleh penipisan stroma kornea setelah pengangkatan epitel.9
Pengurangan ketebalan kornea selama prosedur CXL diketahui terjadi
dalam dua tahap. Selama tahap pertama, yang melibatkan pemberian riboflavin
selama 30 menit, penipisan kornea bahkan bisa mencapai 15%. Pasien disarankan
untuk tetap menutup mata dan membukanya hanya untuk saat tetes jatuh.
Pendekatan semacam itu memungkinkan perubahan yang terdeteksi dalam
pachymetry menjadi berkurang dan bahkan dapat mengakibatkan peningkatan
yang tidak signifikan (sekitar 1%) dari ketebalan kornea. Tahap lain dan yang
lebih intens dari penipisan kornea melibatkan fase iradiasi UVA.9
Pada CXL, riboflavin (vitamin B2) diberikan bersamaan dengan
ultraviolet A (UVA, 365 nm). Interaksi riboflavin dan UVA mengarah pada
pembentukan spesies oksigen reaktif, yang mengarah pada pembentukan ikatan

17
kovalen tambahan antara molekul kolagen, dengan konsekuensi pengerasan
biomekanik kornea. 14

Terdapat beberapa hal yang menjadi faktor ekslusi dari tindakan CXL,
antara lain:9
a. Hasil keratometry sebelum tindakan ≤ 58 D.
Hasil keratometri tinggi berkorelasi positif dengan risiko perkembangan
keratoconus pasca operasi dan kabut stroma permanen. Dengan melakukan ekslusi
pada pasien tersebut dapat mengurangi risiko umum komplikasi prosedur menjadi
2,8%.
b. Usia > 35 tahun.
Risiko yang lebih rendah pada pasien usia muda yaitu sekitar 1.04%.
c. Ketebalan kornea paska abrasi kornea < 400 μm.
Ketebalan kornea yang lebih rendah dari 400 μm paska operasi secara
signifikan meningkatkan risiko kerusakan sel endotel.
d. Akuitas visual 20/25 atau kebih baik.
Ada risiko penurunan ketajaman penglihatan setelah prosedur.
Proses pemulihan pleksus saraf subepitel dimulai kira-kira. 1 bulan setelah
prosedur, sedangkan repopulasi keratosit 3-6 bulan setelah prosedur CXL. Serat
kolagen baru yang dibangun kembali dalam proses ini lebih tebal, lebih kaku dan
lebih tahan terhadap enzim matriks ekstraseluler. Perkembangan penyakit
meskipun prosedur CXL telah terbukti lebih sering terjadi pada pasien dengan
nilai Kmax awal di atas 58 D.9

2.4.1 Ribovlafin
Riboflavin memiliki efek perlindungan, karena hanya ketika stroma jenuh
dengan riboflavin, cahaya UVA berenergi tinggi akan cukup diserap di kornea,
sehingga mencegah kerusakan intraokular.2,3
Saturasi riboflavin (0.1% riboflavin-5-phosphate dan 20% dextran T-500)
dalam stroma kornea telah terbukti dapat meningkatkan penyerapan radiasi dari
lapisan kornea anterior, yang diketahui mencegah penetrasi UVA ke dalam
struktur mata yang terlalu dalam.9

18
Penetrasi riboflavin melalui epitel dapat ditingkatkan dengan strategi yang
berbeda, seperti mengubah sifat fisikokimia molekul riboflavin. Iontophoresis
adalah sistem noninvasif baru yang bertujuan untuk meningkatkan pengiriman
molekul bermuatan ke jaringan menggunakan arus listrik kecil. Riboflavin, dalam
formulasi yang digunakan untuk iontophoresis, bermuatan negatif. Selain itu,
penetrasi UV dalam prosedur ini dibatasi oleh epitel kornea riboflavin yang
diresapi utuh, sehingga lebih aman dibandingkan dengan epi-off.8
2.4.2 UVA
Radiasi ultraviolet-A (UVA) menyebabkan serangkaian reaksi fotokimia
yang menginduksi hubungan silang inter dan intrafibrillary dalam lamellae stroma
kornea. Dengan cara ini, kekuatan tarik kornea mencegah penipisan lebih lanjut
dan deformasi profil kornea dan penurunan penglihatan dan menawarkan
beberapa derajat peningkatan fungsional.8

2.5 Hasil Corneal Collagen Cross-Linking


Beberapa studi klinis telah dilakukan di seluruh dunia untuk menilai
efikasi CXL pada keratoconus (KCN). Studi klinis pertama di mata manusia
diterbitkan pada tahun 2003. Dalam studi percontohan non-acak ini, Wollensak
dan rekan menginvestigasi kemanjuran CXL di 23 mata. Hasil kerja mereka
menunjukkan stabilisasi perkembangan KCN dalam semua mata. Beberapa studi
klinis telah dilakukan setelah pekerjaan Wollensak. Di Siena lintas studi mata-
Italia, penelitian non-acak efektivitas CXL pada penghentian perkembangan KCN
dinilai. Hasil awal dari penelitian ini menunjukkan bahwa CXL meningkatkan
uncorrected ketajaman visual (UCVA) dan terbaik dikoreksi ketajaman visual
(BCVA) dari pasien yang diobati. Selain itu, penulis menunjukkan bahwa cross-
linking mampu meningkatkan nilai keratometric dan mengurangi penyimpangan
orde tinggi (HOAs) di mata keratoconic. Hasil jangka panjang dari studi lintas
mata Siena, menegaskan bahwa CXL berguna dalam mendorong stabilitas tahan
lama untuk KCN. Dalam studi kasus yang lebih besar, hasil CXL 142 mata
dilaporkan. Pasien diikuti selama 12 bulan. Hasil penelitian menunjukkan

19
stabilisasi dan peningkatan BCVA di 40,0% pasien setelah 12 bulan.1
Secara umum, prosedur CXL dipercepat (di modifikasi melibatkan 6
mW /cm2 UVA selama 15 menit) tampaknya relatif efektif untuk mencegah
perkembangan keratoconus setelah 2 tahun follow-up. Penelitian tidak
mengamati efek yang signifikan dari prosedur pada peningkatan parameter
fungsional dan topografi organ penglihatan. Pendataran kornea secara signifikan
tercatat di 18,7% pasien, dengan dasar nilai Sim lebih tinggimax (>50 D).
Perkembangan penyakit terjadi pada 1 pasien (6,25%) dengan nilai Sim yang
lebih rendahmax (<50 D). Tingkat komplikasi meningkat, dibandingkan dengan
prosedur standar, tercatat hanya dalam bentuk sub-epithelial kabut kornea.2
Semua studi diidentifikasi dan termasuk atas dasar pencarian literatur
menunjukkan efek statistik signifikan positif untuk cross-linking pada perubahan
daya bias kornea maximum (Kmax). Selain itu, beberapa studi juga menemukan
efek positif pada uncorrected atau dikoreksi ketajaman visual. Wittig-Silva et al,
yang menyertakan dan menindaklanjuti 100 mata dengan keratoconus pro-
progresif selama 3 tahun, ditemukan peningkatan daya bias maksimal kornea dari
1,75 ± 0,38 dpt pada kelompok kontrol, sedangkan mendatarkan -1,03 ± 0,19
dapat dilihat di kelompok silang (p <0,001). Selain itu, penurunan ketajaman
visual tidak dikoreksi dari + 0,1 ± 0,04 logMAR (logaritma dari sudut minimum
resolusi) diamati pada kelompok kontrol, sementara perbaikan ringan pada
ketajaman visual tidak dikoreksi dari -0,15 ± 0. 06 logMAR terlihat pada
kelompok silang (p = 0,009).3

Dari beberapa studi yang dilakukan pada tindakan CXL didapatkan


perbaikan visual akuitas dari pasien keratoconus. 9 Pada CXL epitel-on juga
didapatkan peningkatan pada visual akuitasa.7 CXL diketahui dapat mengurangi
nilai K max dan K min. Perubahan tersebut biasanya akan tampak pada tahun
pertama paska tindakan CXL.Beberapa studi mengatakan bahwa penndataran
kornea paska tindakan CXL berhubungan erat dengan derajat keparahan penyakit.
Pada derajat penyakit yang berat, ketebalan kornea akan secara perlahan kembali
pada nilai baseline dari ketebalan kornea sebelumnya.9

20
Perbandingan hasil dari metode tPRK dengan CXL dan CXL saja
diketahui bahwa dalam hal stabilitas topografi setelah perawatan, tidak dapat
diidentifikasi perbedaan antara mata yang diobati dengan CXL saja dan mata yang
diobati dengan prosedur gabungan. Dalam studi mikroskop confocal kornea,
ditenemukan depopulasi karakteristik nukleat keratosit dan pola hyperreflective
lacunar dari stroma anterior yang terakreditasi untuk meningkatkan visibilitas
sitoplasma dan edema keratosit. Repopulasi keratosit pada stroma anterior lebih
tertunda di kelompok tPRK dan CXL dari pada di kelompok CXL. Visibilitas
pleksus saraf subbasal juga buruk atau tampak terganggu, berbeda dengan
kelompok CXL, di mana pleksus saraf subbasal telah terlihat sejak 3 hingga 6
bulan setelah operasi. Hyperreflectance stroma anterior lebih menonjol pada
kelompok tPRK plus CXL. Selain itu, kami menemukan di stroma posterior 47%
dari tPRK plus mata CXL bahwa ada area dengan reflektansi tinggi yang ditandai
dengan struktur spindle dan linear. 16
Mengenai topografi kornea dan keratometri, kedua kelompok
menunjukkan perbaikan, tetapi pada kelompok perlakuan gabungan, perataan
lebih menonjol. Menariknya, pada kelompok CXL, ada tanda yang meningkat
pada bulan pertama pasca operasi yang dapat dikaitkan dengan hiperplasia epitel
atau edema setelah prosedur. Perataan yang sedang berlangsung yang ditandai
dalam pengobatan gabungan dari bulan pertama sampai keenam pasca operasi
dapat dikaitkan dengan regresi hiperplasia epitel. Ada manfaat yang signifikan
dalam hal perataan mata yang diobati dengan prosedur gabungan dibandingkan
dengan mata yang diobati dengan CXL yang sesuai dengan perbaikan ketajaman
visual.16
Hasil jangka pendek telah menjanjikan, namun masih harus dilihat
apakah teknik-teknik ini, yang dikenal sebagai transepitel CXL, akselerasi CXL,
dan transepitel iontophoresis CXL, akan memberikan hasil jangka panjang yang
serupa dengan CXL epitel-off standar.15

2.6 Komplikasi Corneal Collagen Cross-Linking

21
Secara keseluruhan, cross-linking adalah prosedur dengan profil efek
samping rendah. Namun, literatur melaporkan risiko komplikasi dari 1% -10%,
meskipun komplikasi yang sering terlihat adalah efek transien seperti gangguan
penyembuhan epitel. Kasus terisolasi dari komplikasi berat seperti melting kornea
atau perforasi kornea, telah dilaporkan. Sejak cross-linking sesuai dengan
protokol Dresdner melibatkan penghapusan awal kornea, sakit atau nyeri parah
terjadi selama pertama 1-3 hari setelah prosedur; ini umumnya perlu dikelola
dengan obat nyeri. Ada juga risiko infeksi selama periode ini, maka dari itu
pengobatan pencegahan dengan obat tetes mata antibiotik atau salep mata
diperlukan.3

Jika infiltrasi kornea terus berkembang, perbedaan perlu dibuat diantara


infiltrat steril (0% -8% dari kasus) dan infiltrat infeksius. Kedua skenario dapat
menyebabkan pembentukan jaringan parut kornea, yang dapat menyebabkan
gangguan penglihatan dalam jangka panjang (0% -3%). Terlepas dari ini, jaringan
parut persisten dilaporkan dalam 3% -9% kasus. Efek samping yang paling sering
diamati adalah yang disebut kabut atau haze, yang melibatkan kekaburan di
stroma kornea anterior, yang umumnya tidak berpengaruh pada penglihatan dan
akan pulih dalam beberapa bulan. Pada akhirnya, cross-linking tidak mampu
menstabilkan penyakit pada semua pasien. Sebagai contoh, perkembangan baru
dilaporkan dalam hingga 24% kasus dalam waktu 10 tahun setelah CXL pada
anak-anak.3

Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang menjalani tindakan CXL
dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu cepat dan lambat.(8,9)

a. Cepat
Nyeri kronik, photophobia, sensitivitas berlebih dari kornea terhadap
perubahan suhu, kabur, silau, edema kornea, dense mild stromal opacity,
hiperemia silier, sel inflamasi dalam aqueous humor, hepertik keratitis,
transientanisocoria.
b. Lama

22
Infiltrat kornea steril, keratitis infeksi, penyembuhan epitel yang
terhambat, keratitis berulang, opasitas kornea permanen, jaringan parut permanen
pada stroma kornea, degenerasi kornea, endoteliopati dengan edema kornea,
keratouveitis, infeksi keratopati kristaline, reaktivasi herpes simpleks, perforasi
kornea.

Komplikasi lain yang dapat ditemukan antara lain:

 Haze

Persistent kabut kornea adalah salah satu komplikasi yang paling sering
dilaporkan dari CXL yang dapat mempengaruhi ketajaman visual. Penting untuk
diingat bahwa kabut kornea setelah CXL berbeda dari kabut keratectomy
photorefractive (PRK). Kabut CXL terletak lebih dalam pada stroma dan memiliki
penampilan seperti debu, sedangkan kabut kornea setelah PRK ditemukan di
wilayah subepitel. Hal ini mendalilkan bahwa repopulasi dari keratosit diaktifkan
setelah hilangnya segera keratosit setelah CXL bertanggung jawab untuk
pembentukan kabut.1
Garis demarkasi yang diamati setelah mengobati kornea dengan CXL
standar dianggap mewakili kedalaman pengobatan CXL dan dengan demikian
menunjukkan dampak biomekanik efisien. kabut kornea diyakini terjadi pada
garis demarkasi.1
Kabut pertengahan-stroma terjadi pada sebagian besar mata, biasanya muncul
pada 2-6 minggu dan hilang pada 9-12 bulan. Ini adalah hasil dari peningkatan
kepadatan matriks ekstraseluler dan muncul pada kedalaman 300-350 mm. 18

Menurut penelitian mikroskopi confocal kornea, ada desersi keratosit segera


setelah CXL, diikuti oleh repopulasi oleh keratosit teraktivasi sedini 2 bulan pasca
operasi. Ada kemungkinan bahwa keratosit yang teraktivasi berkontribusi pada
pengembangan kabut kornea yang berhubungan dengan CXL. Faktor lain yang
dapat berkontribusi terhadap kabut kornea yang berhubungan dengan CXL
termasuk perubahan tekanan pembengkakan stroma, interaksi proteoglikan-

23
kolagen, dan hidrasi glikosaminoglika. Kabut kornea memiliki puncak pada 1
bulan setelah CXL, mencapai dataran tinggi antara 1 dan 3 bulan, mulai hilang 3-6
bulan setelah prosedur, dan terus menurun antara 6 bulan dan 1 tahun pasca-
CXL.13

 Infiltrat steril

Infiltrat steril dapat terjadi pada periode awal pasca operasi dan biasanya sembuh
dengan beberapa minggu dengan obat kortikosteroid topikal. Koller melaporkan
infiltrat steril di 8 mata (7,6%) dalam serangkaian 117 kasus. Infiltrat ini sembuh
dalam waktu 4 minggu dengan pengobatan deksametason topikal 0,1%. 18

 Keratitis Infeksius

Keratitis infeksius pasca CXL telah dilaporkan. Hal ini ditunjukkan dengan
debriding epitel kornea dapat mengekspos stroma kornea terhadap infeksi
mikroba. Kasus infeksi bakteri dengan Staphylococcal epidermidis, Escherichia
coli, Pseudomonas aerunginosa dan Coagulase negative Staphylococcus serta
Acanthamoeba semuanya telah dilaporkan.18

 Kegagalan endotel

Kegagalan endotel dilaporkan sangat jarang terjadi setelah CXL mengakibatkan


edema kornea pasca operasi. Sharma et al. dalam serangkaian retrospektif dari 350
pasien yang diobati dengan protokol 'epitel-off' standar di mata dengan ketebalan
kornea lebih dari 400 mm setelah pengangkatan epitel, melaporkan masalah
persisten pada 5 pasien (1,4%), 2 di antaranya (0,6%) diperlukan penetrasi
keratoplasti. Etiologi masalah tersebut belum sepenuhnya dijelaskan tetapi
kerusakan endotel setelah CXL dapat terjadi bahkan dalam kornea dengan
ketebalan yang memadai mungkin karena penipisan stroma parah intra-operatif
karena penggunaan solusi Riboflavin hiper-dan-osmolar Riboflavin dan / atau
kurangnya homogenisitas dengan hot spot di sinar UV yang terkait dengan
penggunaan dioda dan sistem pemfokusan / penjajaran terbatas.18

24
 Perkembangan dari ectasia

Meskipun sebagian besar mata distabilkan setelah CXL, kegagalan pengobatan


dengan perkembangan keratoectasia dapat terjadi. Penelitian oleh Raskup dalam
serangkaian 241 mata, dengan tindak lanjut lebih dari 6 bulan, melaporkan
stabilisasi pada 98% kasus dengan perkembangan yang diidentifikasi hanya dalam
2 mata. Penelitian oleh Koller pada 177 mata menggambarkan perkembangan
pada 8 mata (7,6%).18

2.7 Keuntungan dan Kerugian Corneal Collagen Cross-Lingking


CXL telah terbukti berkhasiat dalam menghentikan progres-sion dari KCN
secara jangka panjang. Raiskup dan Colliga mengevaluasi efikasi jangka panjang
dari CXL dalam studi intervensi retrospektif. Setelah 10 tahun, Kmax dan Kmin
menurun secara signifikan dan BCVA menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Mereka menyimpulkan bahwa CXL dapat mencapai stabilisasi jangka panjang
KCN.1
Keuntungan dari prosedur CXL adalah kemampuan mengurangi ketebelan
kornea pada pasien dengan keratoconus secara non-invasif.7,9 Dimana kerugian
dari CXL standar adalah durasi operasi yang memakan waktu lama (1 jam)
sehingga membatasi jumlah prosedur yang dapat dilakukan pada apsien. Selain itu
paska tindakan CXL standar akan terasa menyakitkan pada bagian mata yang baru
menjalani tindakan. Hal ini dikarenakan lapisan epitel memiliki waktu
8,9
penyembuhan yang cukup lama. Akan tetapi seiring dengan ditemukannya
prosedur CXL epitel-on komplikasi paska operasi seperti nyeri pada mata dapat
dikurangi, meski efektivitas dari CXL epitel-on sendiri masih terus diukur. Salah
satu kerugian dari CXL juga cepatnya epitel kornea kembali kepada ketebalannya
awalnya dalam waktu 6 bulan paska operasi.7

Epi-on CXL menyebabkan rasa sakit yang minimal diperkirakan


berlangsung kurang dari 24 jam. pereda nyeri topikal dan oral diperlukan selama
kurang dari 24 jam. Karena permukaan kornea tidak terganggu, visus berkurang
hanya dalam jumlah kecil dan hanya untuk 1 sampai 2 hari, memungkinkan

25
pasien untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari dan mengemudi dengan
aman dalam waktu sekitar 2 hari bahkan setelah CXL dilakukan bilateral secara
simultan. Jika perlu, penggunaan lensa kontak dapat dilanjutkan, dalam waktu
seminggu setelah epi-on CXL. Dengan kemampuan melakukan CXL tanpa
pengangkatan epitel membuatnya lebih aman daripada epi-off CXL, yaitu
mengurangi risiko infeksius keratitis, infiltrat steril, keterlambatan penyembuhan
epitel, jaringan parut kornea, dan kornea perforasi. Nyeri pasca operasi hanya
berlangsung selama 1 hari. Visual ketajaman kembali ke tingkat pra operasi dalam
2 hingga 3 hari; dan kontak pemakaian lensa dapat dilanjutkan dalam 1 minggu .
Metode epi-on CXL aman dan efektif menghentikan perkembangan ekstasia
kornea terbukti dengan peningkatan UDVA, peningkatan dalam CDVA,
penurunan Kmax, penurunan total HOA, dan pengurangan koma tanpa
pengobatan yang diamati terkait komplikasi. Peningkatan ketajaman visual terlihat
pada 3 bulan pasca operasi dan stabil untuk 2 tahun, tanpa regresi dari tahun 1 ke
tahun 2. peningkatan keamanan, peningkatan kenyamanan pasien, pengembalian
cepat ketajaman visual, kurangnya komplikasi, dan kemungkinan perawatan,
membuat teknik ini lebih disukai dibandingkan epi-off CXL untuk pengobatan
penyakit ektasia kornea.11

26
BAB III
KESIMPULAN

Cross-linking (CXL) merupakan prosedur bedah yang dirancang untuk


memperkuat struktur kornea dan menghentikan perkembangan keratoconus.
Indikasi dari pemberian tindakan CXL (CXL epitel-off dan CXL epitel-on) antara
lain seperti perawatan pasca operasi ektasia kornea, keratopati bulosa, distrofi kisi
kornea, dan ulserasi kornea infeksius. Teknik CXL standar melibatkan
pengangkatan epitel kornea (Epitel-Off) untuk meningkatkan penetrasi riboflavin
(vitamin B2), karena epitel menjadi penghalang terjadinya difusi alami dari
riboflavin. Keuntungan dari prosedur CXL adalah kemampuan mengurangi
ketebalan kornea pada pasien dengan keratoconus secara non-invasif. Dimana
kerugian dari CXL standar adalah durasi operasi yang memakan waktu lama (1
jam) dan nyeri mata paska tindakan.
Metode epi-on CXL aman dan efektif menghentikan perkembangan
kornea ektasia terbukti dengan peningkatan UDVA, peningkatan dalam CDVA,
penurunan Kmax, penurunan total HOA, dan pengurangan koma tanpa
pengobatan yang diamati terkait komplikasi. Peningkatan ketajaman visual
terlihat pada 3 bulan pasca operasi dan stabil untuk 2 tahun, tanpa regresi dari
tahun 1 ke tahun 2. peningkatan keamanan, peningkatan kenyamanan pasien,
pengembalian cepat ketajaman visual, kurangnya komplikasi, dan kemungkinan
perawatan, membuat teknik ini lebih disukai dibandingkan epi-off CXL untuk
pengobatan penyakit ektasia kornea.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Mohammadpour M, Masoumi A, Mirghobani. Updates on Corneal Collagen


Cross-linking : Indications, Techniques and Clinical Outcomes. Journal of Current
Ophtalmology. 2017;29: 235-247.

2. Waszczykowska, Arleta, and Piotr Jurowski. Two-year accelerated corneal


cross-linking outcome in patients with progressive keratoconus. BioMed research
international. 2015 (2015).

3. Maier P, Reinhard T, Markus K. Corneal Collagen Cross-Linking in the


Stabilization of Keratoconus. Department of Ophtalmology 2019;116: 184-90.

4. Jankov M R, Jovanovic V, Nikolic L, et al. Cornea/ Refractive Update Corneal


Collagen Cross-Linking. Middle East African Journal of Ophthalmology. 2010
January – March; 17(1): 21-8.

5. Xu K, Chan TCY, Vajpayee RB, Jhanji V. Corneal Collagen Cross-linking: A


Review of Clinical Applications. Asia-Pacific Journal of Ophthalmology. 2015
September/October; 4(5): 300-6.X

6. Toosi S, Khakshour H, Esmaily H, Daneshvar R. Long-Term Outcome of


Corneal Cross-Linking for the Treatment of Progressive Keratoconus.
International Journal of Medical Research & Health Sciences. 2017; 6(9): 45-9.

7. Cifariello F, Minicucci M, Di Renzo F, Di Taranto D, Coclite G, Zaccaria S, De


Turris S, Costagliola C. Epi-Off versus Epi-On Corneal Collagen Cross-Linking i
n Keratoconus Patients: A Comparative Study through 2-Year Follow-Up. Journal
of ophthalmology. 2018; 2018.

8. Zhang X, Zhao J, Li M, Tian M, Shen Y, Zhou X. Conventional and transepithe


lial corneal cross-linking for patients with keratoconus. PloS one. 2018 Apr 5;1
3(4):e0195105.

9. Waszczykowska Arleta. Corneal Cross-Linking Procedure in Progressive Kerat


oconus Treatment. Departement of Ophthalmology and Vision Rehabilitation. 201
8; 2018.

10. Randleman JB, Santhiago MR, Kymionis GD, Hafezi F. Corneal Cross-
Linking (CXL): standardizing terminology and protocol nomenclature. Journal of
refractive surgery. 2017 Nov 8;33(11):727-9.

28
11. Stulting, R. D., Trattler, W. B., Woolfson, J. M., & Rubinfeld, R. S. Corneal
crosslinking without epithelial removal. Journal of Cataract & Refractive
Surgery. 2018 July 8; 44(11), 1363-1370.

12. Henriquez MA, Villegas S, Rincon M, Maldonado C, Izquierdo Jr L. Long-


term efficacy and safety after corneal collagen crosslinking in pediatric patients:
Three-year follow-up. European journal of ophthalmology. 2018 Jul;28(4):415-8.

13. Peponis V, Kontomichos L, Chatziralli I, Kontadakis G, Parikakis E. Late


Onset Corneal Haze After Corneal Cross-Linking for Progressive Keratoconnus.
American Journal of Opthalmology Case Reports. 2019 Feb 26;10(14)64-66.

14. Kobashi H, Rong S. Review Article: Corneal Collagen Cross-Linking for


Keratoconus: Systematic Review. Hindawi BioMed Research International. 2017
June 11;8(7)1-8.

15. Keck KM, Stahl E. Collagen Cross-Linking in Children. Advances in


Ophthalmology and Optometry. 2018 May 18;10(4)1-12.

16. Kontadakis GA, Kankariya VP, Tsoulnaras K, Pallikaris AI, Plaka A,


Kymionis GD. Long-term comparison of simultaneous topography-guided
photorefractive keratectomy followed by corneal cross-linking versus corneal
cross-linking alone. Ophthalmology. 2016 May 1;123(5):974-83.

17. Sachdev GS, Sachdev M. Recent advances in corneal collagen cross-linking.


Indian journal of ophthalmology. 2017 Sep;65(9):787.

18. O’Brart DP. Corneal collagen cross-linking: a review. Journal of optometry.


2014 Jul 1;7(3):113-24.

19. O’Brart DP. Corneal collagen crosslinking for corneal ectasias: a review.
European journal of ophthalmology. 2017 May;27(3):253-69.

29
20. Bikbova G, Bikbov M. Transepithelial corneal collagen cross-linking by
iontophoresis of riboflavin. Acta ophthalmol. 2014: 92: e30-e34.

21. Ng AL, Chan TC, Cheng AC. Conventional versus accelerated corneal
collagen cross‐linking in the treatment of keratoconus. Clinical & experimental
ophthalmology. 2016 Jan;44(1):8-14.

30

Anda mungkin juga menyukai