Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

“BIOMEKANIKA KORNEA”

Disusun oleh:

Ahmad Fariq G4A021031

Pembimbing:

dr. Yulia Fitriani, Sp.M

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2022
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
“BIOMEKANIKA KORNEA”

Disusun oleh:

Ahmad Fariq G4A021031

Disusun dan diajukan dalam rangka memenuhi persyaratan untuk

mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Kesehatan Mata RSUD

Prof. Dr. Margono Soekarjo Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman

Purwokerto.

Telah disetujui dan disahkan

Pada, Juli 2022

Pembimbing,

dr. Yulia Fitriani, Sp.M


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dapat


menyelesaikan tugas Referat dengan judul “BIOMEKANIKA KORNEA”.
Terima kasih yang sebesar - besarnya juga penulis sampaikan kepada dr Yulia
Fitriani, Sp.M selaku pembimbing penulis. Ucapan terima kasih juga penulis
tujukan kepada para pengajar, fasilitator dan narasumber Departemen Ilmu
Kesehatan Mata.
Demikian penulis sampaikan, mohon maaf apabila terdapat kesalahan baik
dalam tutur kata maupun tulisan yang mungkin tidak berkenan. Penulis berharap
supaya presentasi kasus ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis yang sedang
menempuh pendidikan dan dapat dijadikan pelajaran bagi yang membacanya.

Purwokerto, Juli 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Bentuk kornea adalah penentu pembiasan okular, tetapi itu sendiri


ditentukan oleh sifat biomekanisnya. Kornea harus cukup lunak untuk menonjol
keluar berbentuk setengah bola, dan cukup kaku untuk mempertahankan
bentuknya serta menahan tekanan intraokular (IOP). Pada saat yang sama,
jaringan harus tetap transparan, yang membutuhkan interaksi kompleks antara
komponen matriks ekstraseluler (ECM). Khususnya, perlekatan proteoglikan dan
glikosaminoglikan dengan serat kolagen, organisasi struktur kolagen, tekanan
pembengkakan kornea dan produksi/degradasi komponen ECM telah
diidentifikasi sebagai faktor penting yang menentukan sifat material jaringan
kornea.
Biomekanik sering didefinisikan sebagai 'mekanika yang diterapkan pada
biologi'. Karena variasi dan kompleksitas perilaku struktur dan bahan biologis,
biomekanik lebih baik didefinisikan sebagai pengembangan, perluasan dan
penerapan mekanika untuk posisi fisiologi dan fisiopatologi yang lebih baik dan
akibatnya untuk diagnosis dan pengobatan penyakit dan cedera yang lebih baik.
Metode yang berbeda untuk karakterisasi biomekanik kornea ditinjau secara rinci,
termasuk yang saat ini tersedia secara komersial (Ocular Response Analyzer dan
CorVis ST). Penerapan klinis dari parameter yang disediakan oleh perangkat ini
dibahas, terutama di bidang glaukoma, deteksi gangguan ektatik dan
ortokeratologi. Demikian juga, metode lain juga ditinjau, seperti mikroskop
Brillouin atau tomografi koherensi optik dinamis dan lainnya dengan aplikasi
potensial untuk praktik klinis tetapi tidak divalidasi untuk pengukuran in vivo-
ments, seperti elastografi ultrasonik. Keuntungan dan kerugian dari semua teknik
ini dijelaskan. Akhirnya, konsep pemodelan biomekanik direvisi serta persyaratan
untuk mengembangkan model biomekanik, dengan penekanan khusus pada
pemodelan elemen hingga.
Perubahan minimal dalam bentuk kornea dapat menginduksi variasi yang
signifikan dalam sifat optik mata. Beberapa penyakit kornea, seperti gangguan
ektasia kornea serta teknik bedah dengan tujuan memodifikasi kelengkungan
kornea untuk mengkompensasi kesalahan bias, dapat mengubah struktur kornea
dan menghasilkan perubahan tidak hanya pada sifat optik kornea, tetapi juga
dalam ikatan mekanisnya yang tepat. Tantangan saat ini adalah untuk
mengkarakterisasi perubahan tersebut dan untuk mencapai prediksi evolusi
mereka dari waktu ke waktu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI KORNEA
Kornea merupakan jaringan transparan. Kornea pada dewasa
memiliki rerata ketebalan 550μm di bagian tengah meskipun setiap
individu berbeda. Diameter horizontal sekitar 11,7 mm dan vertical 10,6
mm (Vaughan, 2017). Kornea adalah selaput bening pada mata yang
tembus cahaya yang terdiri dari beberapa lapis dimulai dari lapisan paling
luar, yakni (Ilyas, 2018):
1. Epitel
Epitel pada kornea merupakan kumpulan dari sel basal, sel
polygonal, dan sel gepeng berlapis uang sangat tumpang tindih
dengan tebal 550 μm. Pada sel basal sering ditemukan mitosis
sel dan sel muda akan terdorong ke depan menjadi sel sayap
dan semakin maju kedepan sehinggap menjadi sel gepeng.
2. Membrana Bowman
Membrana bowman terletak di bawah sel basal epitel yang
tersusun atas kolagen tidak teratur seperti stroma. Lapisan ini
tidak memiliki daya regenerasi.
3. Stroma
Lapisan ini Menyusun 90% dari kornea yang tersusun atas
lamel dan keratosit. Lamel merupakan susunan anyaman
kolagen sedangkan keratosit merupakan fibroblast yang terletak
diantara anyaman serat kolagen stroma.
4. Membrana Descemet
Membrana descemet merupakan membrane aseluler yang
terletak pada batas belakang stroma kornea yang dihasilkan
oleh sel endotel. Lapisan ini bersifat sangat elastis dan
berkembang seumur hidup dengan ketebalan 40 μm.
5. Endotel
Lapisan terakhir paling bawah yang satu lapis berasal dari
sel mesotelium dengan bentuk heksagonal yang berukuran 20-
40 μm.

B. FISIOLOGI KORNEA
Kornea memiliki tiga fungsi utama, yaitu sebagai media refrakta,
media transmisi sinar (400-700 nm), dan sebagai fungsi protector. Fungsi
kornea transfaran sebagai meneruskan cahaya dari luar ke dalam bola mata
(Ramington, 2012).
1. EpiteL
Epitel dan air mata berperan dalam mempertahankan permukaan
kornea agar tetap licin. Sel epitel superfisial diselubungi oleh mikrivili
yang mengandung glikokaliks sehingga dapat berinteraksi dengan
lapisan musin dari tear film sehingga permukaan kornea tetap licin.
Permukaan kornea yang licin berperan penting dalam terangnya
penglihatan. Disamping itu, epitel kornea berfungsi sebagai barrier
terhadap benda-benda biologis dan kimiawi dari luar. Adanya
junctional complexes antara sel-sel epitel yang berdekatan sehingga
mencegah masuknya substansi kimiawi masuk kedalam lapisan
kornea.
2. Membrana Bowman
Lapisan ini merupakan lapisan superfisial pada stroma yang
berfungsi sebagai barrier terhadap stroma. Kepadatan lapisan bowman
menghalangi penyebaran ke dalam stroma yang lebih dalam.
3. Stroma
Stroma tersusun atas matriks ekstraselular seperti kolagen dan
proteoglikan. Matriks ekstraselular ini memegang peran penting dalam
struktur dan fungsi kornea. Stroma terdiri atas kolagen yang diproduksi
oleh keratosit dan lamella kolagen. Karena ukuran dan bentuknya
seragam sehingga menghasilkan keteraturan yang membuat kornea
menjadi transparan.
Glikosaminoglikan memiliki kemampuan untuk mengabsorbsi dan
menahan air dalam jumlah yang besar. Meskipun hidrasi kornea pada
dasarnya diatur oleh pompa endotel, akan tetapi juga dipengaruhi oleh
berier epitel, evaporasi permukaan, tekanan intraokuler, dan tekanan
pembengkakkan stroma.
Keratosit merupakan komponen seluler stroma kornea yang
predominan, dimana siklusnya setiap 2-3 tahun. Pada saat terjadi
kerusakan epitel yang persisten, maka keratosit diaktifkan dan terjadi
disolusi stroma dengan jalan meningkatkan sintesis dan sekresi
collagen-degrading enzymes (MMPs). Selain itu, keratosit juga
memperlihatkan aktivitas fagosit terhadap benda asing.
4. Membrana Descemet
Membrana Descemet bersifat elastis dan lebih resisten terhadap
trauma dan penyakit. Lapisan ini tersusun dari anterior banded zona
yang berkembang dalam uterus dan posterior banded zone yang
berkembang saat embrio.
5. Endotel
Fungsi endotel kornea yang paling penting adalah regulasi
kandungan air stroma kornea. Sel endotel memiliki system ion
transport yang menghalangi masuknya air ke dalam stroma. Gradien
osmotic natrium pada humor aqueous adalah 143 mEq/l dan pada
stroma adalah 134 mEq/l. Gradien ini menyebabkan keluarnya natrium
dari humor aqueous dan masuknya kalium dari arah yang berlawanan.
Na+ dan K+ dependent ATPase dan pertukaran Na+/H+ diekspresikan
pada membrane basolateral sel endotel kornea. Karbon dioksida juga
berdifusi ke dalam sitoplasma sel dan bersama dengan air,
menghasilkan carbonic acid dengan reaksi katalisasi oleh carbonic
anhydrase. Carbonic acid ini akan berdisosiasi ke bentuk hydrogen dan
ion bikarbonat. Ion bikarbonat ini berdifusi dan ditranspor ke dalam
humor aqueous. System inhibitor akan mengakibatkan edema kornea.
Dalam menjalankan fungsinya pompa endotel tergantung pada
oksigen, glukosa, metabolism karbohidrat dan adenosine
trphosphatase. Keseimbangan antara fungsi barrier dan pompa endotel
akan mempertahankan keadaan deturgesensi kornea (American
Academy of ophthalmology, 2012)
C. BIOMEKANIKA KORNEA
1. Konsep Biomekanika
Sejak perkembangan konsep biomekanik pada pertengahan
1960an, biomekanik telah berkontribusi secara signifikan untuk
memahami perilaku anatomi manusia yang dipengaruhi oleh penyakit atau
cedera serta responsnya terhadap pengobatan. Namun demikian,
biomekanik belum mencapai potensi penuhnya sebagai kontributor
signifikan terhadap peningkatan pemberian perawatan kesehatan.
Biomekanik sering didefinisikan sebagai 'mekanika yang diterapkan pada
biologi'. Karena variasi dan kompleksitas perilaku struktur dan bahan
biologis, istilah biomekanik lebih baik didefinisikan sebagai
pengembangan, perluasan dan penerapan mekanika untuk tujuan
memahami fisiologi dan fisiopatologi dengan lebih baik, serta diagnosis
dan pengobatan penyakit dan cedera.
Untungnya, postulat dasar mekanika (misalnya, kekekalan massa,
momentum dan energi) juga dapat diterapkan pada jaringan biologis serta
beberapa konsep dasar seperti stres, regangan dan elastisitas entropik. Tiga
prinsip umum mengatur hukum material konstitutif. Prinsip determinisme,
yang menegaskan bahwa semua kuantitas konstitutif suatu benda pada
waktu tertentu sepenuhnya ditentukan oleh riwayat gerak dan suhu tubuh
hingga dan termasuk waktu sekarang, prinsip tindakan lokal, yang
menegaskan bahwa tekanan saat ini pada suatu partikel ditentukan oleh
riwayat lingkungan kecil yang sewenang-wenang dari partikel itu dan
prinsip ketidakpedulian kerangka material (objektivitas), yang
menegaskan bahwa respons material adalah sama untuk semua pengamat.
Untuk jaringan biologis, diasumsikan bahwa tekanan pada titik
material tertentu tergantung pada deformasi pada titik itu, tidak hanya pada
waktu aktual 't' dipertimbangkan, tetapi juga pada semua waktu
sebelumnya. Perumusan model yang tepat untuk prediksi perilaku jaringan
harus mempertimbangkan respons sewenang-wenang dari jaringan
biologis di depan tekanan dan strain. Secara khusus, sebagian besar
jaringan biologis menunjukkan karakter non-linier, inelastik, heterogen
dan anisotropik yang bervariasi dari satu titik ke titik, dari waktu ke waktu
dan dari subjek ke subjek. Perilaku karakteristik kompleks yang
ditunjukkan oleh jaringan biologis mirip dengan yang diamati pada bahan
elastomer. Untuk alasan ini, banyak kemajuan dalam mekanika jaringan
biologis berasal dari kemajuan dalam studi elastisitas.
2. Pendekatan Biomekanika Kornea
kornea menghadirkan keseimbangan yang halus dan kopleks antara
kekakuan, kekuatan, ekstensibilitas, dan ketangguhan keseluruhan untuk
menanggung dan menahan kekuatan internal dan eksternal yang terus-
menerus menekannya, mendistorsinya membentuk, atau mengancam
integritasnya. Studi laboratorium menemukan kekakuan kornea yang lebih
tinggi mengikuti arah fibril kolagen (sumbu x- dan y memanjang) daripada
tegak lurus terhadapnya (geser, radial, atau sumbu z). Sementara
kontribusi epitel, membran Descemet, dan endotelium relatif lemah, dan
kontribusi dari lapisan Bowman masih kontroversial, stroma bertanggung
jawab atas sebagian besar kekuatan kornea. Selain itu, 40% anterior dari
stroma kornea adalah wilayah terkuat, sedangkan posterior 60% dari
stroma setidaknya 50% lebih lemah menurut studi kekuatan tarik pada
kornea donor manusia.
Kornea juga memiliki sifat viskoelastik yang memungkinkan
fungsinya sebagai mechanotransducer biologis stres. Perilaku viskoelastik
kompleks karena berarti respons jaringan tergantung pada laju regangan,
yang mempengaruhi deformasi dalam siklus bongkar muat. Sistem ini
mengalami peningkatan bertahap dalam regangan di bawah beban
berkelanjutan sehingga disipasi energi terkait dengan pergesera viskositas
fibril dan lamellae dalam matriks proteoglikan yang terhidrasi. Kornea,
bagaimanapun, bukanlah bahan elastis linier, dan beberapa konsep
biomekanik penting meningkatkan kompleksitas biomekanisnya. Pertama,
kornea bersifat viskoelastik, yang berarti perilakunya berbeda selama
bongkar muat, tetapi juga berarti respons terhadap gaya yang diterapkan
memiliki komponen yang bergantung pada waktu.
Biomekanik kornea muncul sebagai topik yang relevan untuk
penelitian dan pengembangan dalam oftalmologi modern karena
banyaknya aplikasi potensial. Di bidang glaukoma, relevansi sifat
biomekanis untuk pengukuran tekanan intraokular (IOP) diselidiki secara
ekstensif. Selain itu, sejak Studi Pengobatan Hipertensi Okular (OHTS),
parameter kornea termasuk (dan seterusnya) ketebalan kornea sentral
mewakili prediktor yang signifikan untuk pengembangan dan tingkat
keparahan neuropati optik glaukomatosa. Biomekanik kornea mungkin
selanjutnya menjadi faktor pembaur yang signifikan untuk pengukuran
IOP yang harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan klinis.
Pada subjek penyakit kornea ektatik, seperti keratoconus (KC), dan
degenerasi marjinal pellucid, pengetahuan tentang biomekanik kornea
menawarkan kontribusi dan relevansi yang signifikan untuk diagnosis,
presentasi, dan prognosis penyakit. Memahami perilaku biomekanis
kornea relevan untuk mendeteksi KC subklinis serta untuk mendeteksi
perkembangan ektasia, sementara perubahan topografi masih belum cukup
untuk memberikan bukti konklusif. Selain itu, penyelidikan biomekanis
telah menjadi signifikan dalam pengaturan operasi refraksi untuk
mengidentifikasi pasien yang berisiko lebih tinggi terkena ectasia
iatrogenik setelah koreksi penglihatan laser, bersama dengan
meningkatkan prediktabilitas dan kemanjuran prosedur elektif ini.
Ada peningkatan minat dalam mengkarakterisasi sifat biomekanik
kornea kornea dalam praktik klinis. Namun demikian, masih ada sejumlah
teknik yang dikembangkan dan diuji untuk karakterisasi biomekanik
kornea dan dengan potensi penerapan dalam praktik klinis. Dua perangkat
saat ini tersedia untuk mengkarakterisasi sifat biomekanis kornea dalam
pengaturan klinis: Ocular Response Analyzer (ORA) (Reichert, Buffalo,
New York, USA) berdasarkan tonometry applanation dua arah dan CorVis
ST (Oculus Optikgeräte GmbH, Wetzlar, Jerman) berdasarkan pengukuran
deformasi kornea menggunakan pencitraan Scheimpflug. Ada teknik lain
dengan potensi penerapan klinis yang masih diuji, seperti interferometri
pola bintik elektronik, elastografi ultrasonik, analisis ultrasonograf
frekuensi tinggi dari perubahan kornea dan mikroskop Brillouin.
3. PEMODELAN BIOMEKANIS
Tujuan dari model biomekanis adalah untuk menggambarkan respons
bahan biologis terhadap beban yang diterapkan dalam hal ekspresi
matematika, yang menghubungkan parameter input yang berbeda dengan
output (perilaku mekanis). Model ini secara logis tergantung pada
konstitusi internal materi. Karena tujuan pemodelan biomekanis jaringan
manusia adalah untuk memprediksi hasil atau efek dari perawatan atau
terapi bedah yang berbeda, jaringan tersebut harus dijelaskan oleh model
yang menggabungkan parameter terkait anatomi untuk memungkinkan
simulasi situasi patologis melalui modifikasi parameter ini.
Jelas, akurasi dan presisi data input mempengaruhi hasil model.
Teknik yang berbeda telah dijelaskan untuk mendapatkan berbagai macam
parameter anatomi yang dapat digunakan untuk analisis dengan model
biomekanik. Demikian juga, beberapa teknik khusus telah dijelaskan untuk
mengkarakterisasi perubahan parameter kornea sebagai akibat dari
beberapa jenis stres, seperti tonometri aproplikasi dua arah, tonometri
nonkontraksi Scheimpflug, interferometri pola bintik elektronik (ESPI),
elastografi ultrasonik, mikroskop Brillouin atau analisis ultrasonograf
frekuensi tinggi. Deskripsi komprehensif dari masing-masing teknik ini
disediakan dalam ulasan ini, termasuk metode in vivo dan ex vivo.
Teknik-teknik dengan aplikasi klinis nyata atau potensial dibahas secara
rinci karena beberapa di antaranya mungkin menjadi bagian dari rutinitas
pemeriksaan dokter mata, terutama bagi mereka yang berspesialisasi
dalam lensa kontak dan kornea.
4. Faktor-Faktor Yang Menentukan Sifat Biomekanis Kornea
a. Komponen matriks ekstraseluler (ECM)
Glycosaminoglycans (GAGs) dan proteoglikan (PGs)
memainkan peran penting dalam perakitan ECM dan
transparansinya. Secara umum dipahami bahwa proteoglikan
keratan sulfat mengatur diameter fibril kolagen, sedangkan
proteoglikan dermatan sulfat menentukan jarak interfibrillar dan
sifat adhesi pipih. GAGs mengganggu kolagen secara elektrostatis
saja dan oleh karena itu hampir tidak mempengaruhi nukleasi atau
pertumbuhan, tetapi GAGs diperlukan untuk sulfat protein inti PG.
Telah disarankan bahwa protein inti proteoglikan berulang kaya
leusin kecil yang kaya glikosilasi dapat memodulasi fibrillogenesis
kolagen dan dapat memainkan peran dalam beberapa gangguan
ektatik kornea: dalam kerattoconus, degenerasi marginal pellucid
dan distrofi kornea makula jumlah proteoglikan keratan sulfat yang
sangat sulfat berkurang atau tidak ada, masing-masing. Juga,
kornea keratosonik menunjukkan berkurangnya jumlah
proteoglikan kondroitin sulfat yang sangat tersulfasi (CS-PGs) dan
peningkatan rasio glukosaminoglikan: galaktososaminoglikan.
Jumlah BROS asam secara langsung berkorelasi dengan tingkat
organisasi serat kolagen di sepanjang stroma kornea manusia.
Perbedaan komposisi GAG dan PG bersamaan dengan
modifikasi fisiologis. Proporsi GAGs dan PGs sangat tergantung
pada jumlah oksigen yang tersedia. Studi tentang kornea dan tulang
rawan menyimpulkan bahwa KS, bukan CS, diproduksi dalam
kondisi kekurangan O2. Ini mungkin menjelaskan mengapa KS
mendominasi dalam stroma posterior. Juga, pada hewan besar
dengan ketebalan kornea tinggi – seperti sapi, babi atau manusia –
proporsi KS-GAG mencapai hingga 60-70%, sedangkan pada
hewan kecil, seperti tikus, KS sama sekali tidak ada. Selain itu,
modifikasi lingkungan – seperti keausan lensa kontak – berpotensi
meningkatkan proporsi proteoglikan keratan sulfat dengan biaya
proteoglikan kondroitin sulfat. Proteoglikan keratan sulfat
umumnya dipahami untuk menstabilkan fibril kolagen pada jarak
pendek, sementara proteoglikan kondroitin sulfat / dermatan sulfat
menstabilkan beberapa fibril sejauh lamellae. Oleh karena itu,
penurunan proteoglikan kondroitin sulfat berpotensi melemahkan
kornea dan memfasilitasi perkembangan ektoasia kornea.
b. Organisasi collagen lamellae
Orientasi fibril kolagen menentukan transparansi kornea,
serta sifat material yang bergantung pada arah, dan berkorelasi
dengan ketajaman visual lintas spesies. Studi kristalografi dalam
jaringan ex vivo menunjukkan bahwa serat kolagen manusia
berorientasi ortogonal di pusat dan secara melingkar ke arah
limbus. Orientasi ortogonal memberikan ketajaman visual tertinggi
dan diharapkan dapat mempertahankan bentuk kornea dengan
sebaik-baiknya, diikuti oleh orientasi vertikal (marmoset, kuda,
sapi) sebelum orientasi melingkar (babi, tikus kelinci). Telah
disarankan bahwa perbedaan dalam susunan kolagen stroma dapat
dihasilkan dari gerakan mata spesifik spesies, yang mengaktifkan
otot-otot rektus ekstraokular dengan cara tertentu dan
membangkitkan kekuatan penangkal yang selaras dengan serat
kolagen.
Pada kornea manusia, serat-seratnya lebih padat dikemas
dalam kornea peripupillary. Juga, mikroskop optik non-linier
menemukan sudut jalinan yang lebih kuat dan lebih curam dari
serat kolagen di anterior daripada di kornea posterior, yang
berkorelasi dengan peningkatan tegangan geser pada kornea
anterior jika dibandingkan dengan kornea posterior. Organisasi
kolagen terganggu dalam patologi degradasi tertentu seperti
keratoconus, menunjukkan pentingnya mereka untuk
mempertahankan bentuk kornea.
c. Hidrasi/tekanan osmotic
Tingkat hidrasi kornea tidak hanya mempengaruhi trans-
parensinya, tetapi juga modulus elastisnya: semakin terhidrasi
jaringan kornea, semakin rendah modulus elastisnya, yang
berpotensi muncul dari perlekatan kolagen yang diubah ke
proteoglikan an/atau glikosaminoglikan berdasarkan interaksi
ioniknya. Sifat pembengkakan jaringan kornea tidak murni
didorong oleh tekanan osmotik, tetapi juga muncul dari
pengecualian elektrolit karena volume fibril kolagen. Pada
ketebalan 666 m, kornea babi menunjukkan hidrasi 3,36
mgH2O/mgdry_weight dan tekanan pembengkakan 52 mmHg.
d. Lapisan kornea dan pentingnya mereka untuk sifat biomekanis.
Karena orientasi dan kepadatan kolagen yang berbeda,
setiap lapisan kornea berkontribusi pada tingkat yang lebih besar
atau lebih kecil terhadap resistensi biomekanis secara keseluruhan.
Epitel dan endotelium sebagai lapisan sel murni tidak secara
langsung berkontribusi pada kekakuan kornea. Elsheikh et al
menunjukkan di mata donor manusia bahwa kontribusi epitel
terhadap kekakuan kornea jauh lebih rendah daripada stroma dan
oleh karena itu kemungkinan besar dapat diabaikan. Lapisan sel ini
dapat, bagaimanapun, secara tidak langsung mempengaruhi
kekakuan kornea dengan mengatur hidrasi. Dalam membran
Bowman, lamellae kolagen paling padat, dan dianggap sangat
penting untuk stabilitas kornea setelah operasi ablatif laser.
Stroma mewakili bagian terbesar dari kornea dan oleh
karena itu lapisan tersebut terutama mendefinisikan sifat
biomekanis kornea. Dalam studi di mana kornea telah diasumsikan
sebagai bahan yang tidak berlapis, ini biasanya mengacu pada
stroma. Membran pra descemet, juga dikenal sebagai lapisan Dua,
baru-baru ini ditemukan. Karena kekuatan mekaniknya, telah
didalilkan untuk berkontribusi secara signifikan terhadap kekakuan
kornea. Namun, diperlukan lebih banyak bukti ilmiah.
e. Penyakit yang berhubungan dengan sifat biomekanis kornea
Beberapa penyakit sistemik diketahui dapat mengubah
kekakuan kornea. Pasien mellitus diabetik memiliki faktor
resistensi kornea yang lebih tinggi yang diukur oleh penganalisis
respons okular. Juga, diabetes memiliki efek perlindungan pada
tingkat kejadian dan tingkat keparahan penyakit kornea yang
terdegradasi seperti keratoconus. Diasumsikan bahwa keberadaan
produk akhir glikasi canggih dalam kornea diabetes menyebabkan
peningkatan ikatan silang non-enzimatik dari jaringan kornea yang
memberikan kekakuan tambahan. Sebaliknya, ECM kornea
keratosonik terdegradasi secara tidak proporsional yang
menyebabkan hilangnya orientasi fibril kolagen, melemahnya
biomekanik dan menonjolnya kornea menjadi bentuk kerucut.
Kerentanan terhadap keratoconus telah dilaporkan dengan Trisomi
21, amaurosis kongensial Leber, sindrom Ehler-Danlos dan
osteogenesis imperfecta. Dua penyakit terakhir secara langsung
mempengaruhi sintesis kolagen, dan ektasia kornea berpotensi
muncul dari jaringan kolagen yang tidak dapat diubah. Dalam
Trisomi 21 dan amaurosis bawaan Leber, asal usul degradasi
kornea namun masih belum jelas. Beberapa penelitian telah
menyarankan bahwa kecenderungan genetik dan faktor lingkungan
diperlukan untuk manifestasi keratoconus.
f. Fluktuasi hormone
Perubahan kekakuan kornea juga telah dikaitkan dengan
fluktuasi hormon: Peningkatan kadar estrogen selama siklus
menstruasi berkorelasi dengan peningkatan ketebalan kornea,
penurunan histeresis kornea dan penurunan faktor resistensi kornea
yang diukur dengan penganalisis respons okular. Juga, kehamilan
dan tingkat hormon tiroid yang berkurang secara patologis telah
dilaporkan dalam konteks dengan timbulnya atau perkembangan
ectasia kornea. Pemberian estrogen untuk eks vivo kornea
mengurangi kekakuan biomekanis sebesar 36%
g. Faktor lingkungan
Sedikit yang diketahui tentang pengaruh efek lingkungan
pada biomekanik kornea. Sementara menggosok mata telah
dikaitkan dengan keratoconus, penuaan dan merokok telah
dilaporkan untuk menegang jaringan kornea dan untuk mengurangi
kejadian keratoconus. Menggosok mata menginduksi trauma
okular dan dapat memicu peradangan yang meningkatkan
degradasi ECM. Sebaliknya, penuaan menyebabkan akumulasi
produk akhir glikasi dan asap rokok mengandung aldehida, yang
keduanya menginduksi hubungan silang non-enzimatik antara
molekul kolagen yang memberikan kekakuan tambahan.
5. Deskripsi mekanis tentang sifat kornea
Mirip dengan kebanyakan jaringan biologis, kornea memiliki sifat
viskoelastik. Di sini, elastisitas mengacu pada sifat statis suatu bahan dan
muncul dari karakteristik tarik dari struktur mikro kolagen. Viskositas
mengacu pada sifat dinamis (yaitu bergantung pada waktu) dan muncul
dari penataan ulang ECM yang tidak kovalen, seperti dari difusi air dan
interaksi elektrostatik antara GAGs dan kolagen.
a. Sifat elastis
Sifat elastis menggambarkan respons deformasi langsung
terhadap penerapan tekanan mekanis dan terutama dihasilkan dari
serat kolagen. Ketika menerapkan beban pada jaringan kornea yang
tidak mengalami tekanan, pada awalnya serat kolagen berkerut
sehingga menghasilkan daerah jari kaki dalam diagram tegangan-
regangan, lihat Gambar 1a. Hanya ketika serat menjadi lurus,
jaringan berubah bentuk secara elastis. Diasumsikan bahwa
keadaan fisiologis terletak di antara ujung daerah jari kaki dan awal
daerah elastis. Ketika beban yang lebih tinggi diterapkan dan
daerah elastis dilampaui, deformasi plastis permanen terjadi dan
akhirnya jaringan pecah.
Parameter elastis standar adalah modulus elastis statis, juga
dikenal sebagai modulus Young. Ini didefinisikan sebagai
kemiringan garis singgung dalam diagram tegangan-regangan.

Bahan elastis linier memiliki modulus elastis konstan,


sedangkan pada bahan elastis non-linier – seperti kornea – modulus
elastis adalah fungsi dari regangan. Namun, untuk deformasi yang
sangat kecil, bahkan bahan elastis non-linier pun berubah bentuk
secara linier. Pengukuran modulus elastis kornea berkisar antara
1,3 MPa49 – 5 MPa50,51 pada manusia dan dari 1,5 MPa49 – 3
MPa52 pada babi.

Gambar 2. Diagram Biomekanik


b. Sifat viskoelastik
Sifat material viskoelastik menggambarkan respons
deformasi dinamis. Sifat jaringan yang bergantung pada waktu
muncul dari penataan ulang molekuler, tetapi juga dari difusi
osmotik sebagai respons terhadap penerapan beban mekanis.
Deformasi viskoelastik sepenuhnya reversibel seiring waktu.
Dalam diagram tegangan-regangan histeresis (Gambar 1b) diamati
antara siklus bongkar muat, yang luasnya mewakili energi yang
hilang selama deformasi viskositas (misalnya panas).
Salah satu kemungkinan untuk mendefinisikan sifat
viskoelastik adalah dengan menggunakan modulus dinamis, yang
terdiri dari modulus kehilangan dan penyimpanan. Modulus
dinamis E* didasarkan pada fakta bahwa tegangan dan regangan
berada di luar fase dalam bahan viskoelastik, lihat Gambar 1d.
Oleh karena itu diperlukan pengujian pada fre- quencies yang
berbeda. Modulus E' penyimpanan (elastis) dan modulus
kehilangan (viskositas) E'' kemudian didefinisikan oleh fase lag d
antara tegangan r dan regangan :

Modulus dinamis kemudian dapat dihitung dengan: E* = E’


+ i . E′′ Karakterisasi viskoelastik semacam ini menunjukkan
bahwa pada kornea babicine modulus penyimpanan (2-8kPa)
dominan atas modulus kehilangan (0,3-1,2 kPa). Kemungkinan lain
untuk mendefinisikan sifat viskoelastik adalah dengan
menggunakan seri Prony n-elemen. Biasanya, tes relaksasi stres
dilakukan dan stres dipasang pada persamaan berikut:

di mana  adalah adalah stres yang tak terbatas dan i


adalah stres pada titik waktu tertentu i. Mengingat bahwa
regangan 0 dipertahankan konstan selama relaksasi tegangan,
moduli elastis pada titik waktu tertentu t dapat dengan mudah
dihitung dengan membagi  (t) dengan 0. Lihat juga Gambar 1c.
Definisi viskoelastik semacam ini telah diterapkan dalam sebuah
penelitian untuk mengambil parameter biomekanis dari deformasi
kepulan udara.
6. Pengukuran biomekanis kornea
a. Extensometry
Extensometry tegangan-regangan adalah metode standar
emas dalam rekayasa untuk mengukur sifat mekanik makroskopik
dalam pengaturan yang dinormalisasi. Sampel jaringan dengan
panjang dan lebar yang telah ditentukan ditetapkan dalam tanda
kurung. Kemudian, beban yang telah ditentukan telah ditentukan
diterapkan dan perpindahan yang sesuai diukur. Untuk pengujian
elastis, beban yang meningkat secara perlahan diterapkan (diagram
tegangan-regangan). Untuk pengujian viskoelastik, beban satu
langkah diterapkan dan dipertahankan konstan sampai akhir tes (uji
relaksasi tegangan), atau penempatan dis-langkah satu langkah
diterapkan dan dipertahankan konstan (uji creep).
Mengingat bahwa ekstensometri semacam ini tidak dapat
diterapkan secara in vivo atau di mata ex vivo yang utuh,
modifikasi prosedur pengujian telah diusulkan. Untuk pengukuran
ex vivo, pengaturan kancing kornea dan seluruh mata dirancang, di
mana perpindahan tetesan merkuri, serpihan grafit, puncak kornea
atau perubahan kelengkungan dicatat. Untuk pengukuran in vivo,
Pallikaris et al. mengembangkan protokol, di mana seluruh mata
meningkat selama operasi dan peningkatan IOP yang sesuai diukur
untuk menentukan kekakuan okular. Lam et al. menggunakan
silinder permukaan datar untuk melakukan pengukuran lekukan
dan perkiraan kekakuan kornea dari perpindahan ke dalam.
Masalah yang melekat pada pengukuran seluruh bola mata adalah
bahwa deformasi kornea tidak dapat dipisahkan dari deformasi
sklera dan kekakuan kornea makro-skopik rata-rata hanya dapat
diperkirakan secara kasar.
b. Mikroskop Brillouin
Mikroskop Brillouin menawarkan kemungkinan untuk
merekam peta kekakuan kornea yang diselesaikan secara spasial.
Pengukuran non-kontak makromolekul, kuasi-statis didasarkan
pada hamburan Brillouin, yang muncul dari interaksi non-linier
antara gelombang optik dan akustik, di mana bahan tersebut
dikompresi oleh medan elektromagnetik. Variasi kepadatan yang
dihasilkan memiliki efek kisi indeks yang sebagian memantulkan
cahaya insiden. Dengan mengukur pergeseran frekuensi cahaya
yang tersebar di belakang, informasi tentang sifat mekanik material
dapat diperoleh:

di mana M’ adalah modulus elastis, M′′ adalah modulus


viskositi,  adalah kerapatan massa,  adalah panjang gelombang
optik, Ω adalah pergeseran frekuensi DΩ adalah lebar garis dan n
adalah indeks bias. Modulus viskoelastik didefinisikan sebagai M*
= M’ + i . M′′, analog dengan modulus elastis dinamis E*. Namun
demikian, tidak diketahui bagaimana modulus Brillouin
dibandingkan dengan modulus elastis statis.
c. Tonometry kepulan udara dan sistem terkait
Awalnya, tonometer udara-puff telah dikembangkan untuk
mengukur tekanan intraokular (IOP) dengan noncontact. Tekanan
udara yang diperlukan untuk menilai kelengkungan kornea
dianggap setara dengan IOP. Penganalisis respons okular adalah
perangkat pertama yang mencoba menghubungkan respons
deformasi dinamis kornea dengan parameter biomekanis. Ini
mengukur perbedaan tekanan antara applanation ke dalam dan luar,
yang disebut histeresis kornea. Semakin tinggi tekanan untuk ke
dalam dan semakin rendah tekanan untuk applanation luar,
semakin tinggi komponen kental. Baru-baru ini, tonometry kepulan
udara dikombinasikan dengan pencitraan Scheimpflug dan OCT
berkecepatan tinggi, yang memungkinkan untuk pertama kalinya
menangkap profil deformasi temporal dan spasial lengkap kornea
selama peristiwa kepulan udara.
Sementara kedua sistem tersedia untuk penggunaan klinis,
parameter yang diukur hanya geometris dan tidak terkait langsung
dengan parameter biomekanik yang sebenarnya. Namun demikian,
beberapa simulasi telah disarankan untuk mengekstrak parameter
yang relevan secara biomekanis dari pengukuran ini. Sistem
kepulan udara telah digunakan untuk menganalisis perbedaan
antara hiperopia dan miopia, antara kornea keratokonik dan normal
dan pada kornea dengan pembengkakan yang diinduksi. Namun
dalam sebagian besar penelitian hanya perubahan kecil atau tidak
ada yang dapat dideteksi yang menunjukkan perlunya analisis yang
lebih rinci dari profil deformasi yang direkam.
d. Elastografi
Elastografi berbasis ultrasound konvensional sering
digunakan dalam pengobatan untuk diagnosis patologi yang terkait
dengan sifat bahan viskoelastik jaringan, seperti kanker payudara
atau fibrosis hati. Untuk aplikasi mata, pencitraan echographic
ultra cepat diperlukan karena struktur mata yang lebih halus dan
untuk memungkinkan akuisisi resolusi tinggi. Untuk pengukuran
jaringan kornea, kontak dengan cairan kopling diperlukan.
Gelombang geser ultrasonik 15 MHz biasanya digunakan untuk
menginduksi strain mikroskopis dalam jaringan. Gelombang geser
yang dihasilkan kemudian langsung direkam oleh pencitraan
ultrasonik. Pada organ besar di mana kondisi batas dapat
diabaikan, modulus elastis E dapat dihitung dengan:

di mana cs adalah kecepatan propagasi geser yang diinduksi


gelombang dan  kepadatan sekitar 1000 kg m3. Namun dalam
kornea situasinya lebih kompleks, karena refleksi yang kuat dan
konversi mode terjadi pada antarmuka (secara interior humor
berair, secara eksterior cairan kopling). Kecepatan fase c(w) dalam
konteks ini dapat diperkirakan oleh gelombang Lamb yang bocor:

di mana w adalah frekuensi sudut dan th ketebalan lokal


kornea. Elastisitas kornea yang diukur dengan teknik ini berada
pada kisaran 50-190 kPa, untuk IOP normal dan meningkat
menjadi 890 kPa setelah CXL. Kelemahan dari elastografi berbasis
USG adalah bahwa kontak diperlukan sehingga tidak nyaman bagi
pasien.
Oleh karena itu, baru-baru ini, elastografi non-kontak
berdasarkan pencitraan OCT telah dikembangkan. Karena cahaya
memiliki dampak yang lebih kecil pada jaringan kornea daripada
ultrasound, gelombang elastis amplitudo rendah perlu diinduksi
menggunakan sumber yang berbeda. Penelitian terbaru telah
menerapkan pulsa udara mikro untuk induksi gelombang elastis
amplitudo rendah (<1 lm). Moduli elastis yang ditentukan oleh
elastografi koherensi optik berada dalam kisaran 60 kPa untuk
sampel kornea babisin yang tidak diobati.
e. Enzymatic digestion
Meskipun bukan ukuran langsung dari kekakuan kornea,
enzim yang mendegradasi ECM mempengaruhi sifat biomekanis.
Oleh karena itu, kecepatan pencernaan sampel kornea dapat
digunakan untuk menyimpulkan tahap asli ikatan silang dan
memperkirakan kekakuan kornea. Tergantung pada enzim, ikatan
kimia tertentu akan terdegradasi lebih efisien daripada yang lain.
Pepsin adalah enzim yang agak tidak spesifik dan mendegradasi
banyak komponen ECM secara merata, yang sering menjadikannya
enzim pilihan untuk pencernaan kornea. Enzim lain yang telah
diterapkan dalam konteks ini adalah kolagen dan tripsin. Meskipun
menggunakan pencernaan enzimatik selektif akan memungkinkan
mempelajari dampak komponen ECM tertentu pada sifat
biomekanis yang dihasilkan, studi ini masih luar biasa.

7. Relevansi Klinis Biomekanik Kornea


a. Stabilitas kornea setelah operasi refraktif laser
Ablasi laser memiliki efek yang cukup besar pada
keseimbangan biomekanis kornea. Semakin tipis tempat tidur
stroma setelah operasi, semakin sedikit jaringan yang dapat
menahan IOP dan semakin tinggi risiko yang disebut ectasia pasca
operasi. Meskipun mata dengan gangguan ektatik pra-operasi yang
tidak terdiagnosis berada pada risiko tertinggi terkena ectasia pasca
operasi, mata yang sehat berisiko jika terlalu banyak jaringan
kornea di-ablasi atau flap tebal dibuat.
Sulit untuk memprediksi jumlah maksimal ablasi kornea
yang diperlukan untuk mencegah ectasia pasca operasi untuk
pasien tertentu, karena kekakuan dan ketebalan kornea bervariasi
antar individu. Saat ini, batas keamanan umum seperti tempat tidur
stroma minimal yang diperlukan 250 lm diterapkan, tetapi masih
tidak dapat sepenuhnya mencegah keratectasia. Namun, risiko yang
tersisa mungkin berpotensi dikurangi dengan menggabungkan
operasi ablasi laser dengan perawatan CXL. Terlepas dari
ketebalan kornea, stabilitas bias pasca operasi tergantung pada
proses penyembuhan luka, dan pada perilaku relaksasi yang
bergantung pada waktu dari kornea viskoelastik. Namun demikian,
telah ditunjukkan bahwa perubahan pasca-bedah terbesar dalam
parameter biomekanis terjadi dalam waktu 1 minggu setelah
operasi.
b. Ortokeratologi
Alih-alih koreksi bias langsung, tujuan lensa kontak
ortokeratologi (OK) adalah untuk menginduksi perubahan bentuk
sementara kornea, sehingga pada siang hari pembiasan kornea
diperbaiki, sedangkan pada malam hari, OK dipakai. OK memiliki
geometri terbalik dibandingkan dengan lensa kontak normal.
Prinsip kerja didasarkan pada sifat viskoelastik jaringan kornea,
yang memungkinkan mempertahankan deformasi untuk waktu
yang terbatas. Namun, alih-alih menekuk kornea, penipisan epitel
pusat dan penebalan stroma kornea perifer tengah diamati dengan
keausan OK. Dapat diasumsikan bahwa tekanan yang dipaksakan
oleh OK menginduksi gradien osmotik yang menghilangkan cairan
dari epitel pusat. Namun, karena perbedaan individu dalam
viskoelastisitas kornea, lensa OK lebih menantang untuk dipasang
daripada lensa kontak standar.
c. Ketebalan kornea dan sifat biomekanis
Ketebalan kornea dan sifat biomekanis terkait erat. Di satu
sisi, sifat biomekanis menentukan perpanjangan jaringan kornea di
bawah beban IOP, yang secara tidak langsung menentukan
ketebalan kornea. Di sisi lain, kornea yang lebih tebal dapat lebih
tahan terhadap beban IOP daripada yang lebih tipis dan oleh karena
itu sebagian dapat mengkompensasi kekakuan biomekanis yang
rendah. Ketebalan kornea memainkan peran penting dalam
pengukuran tergantung pada deformasi kornea, seperti pada
tonometri.
d. Tekanan intraokular dan sifat biomekanis
Pengukuran tekanan intraokular (IOP) yang akurat sangat
penting dalam diagnosis glaukoma. Karena aksesibilitas ruang
posterior yang terbatas, IOP biasanya diukur melalui kornea.
Sementara sistem kontak dan non-kontak yang berbeda ada, nilai
IOP yang diperoleh bias oleh ketebalan kornea dan sifat
biomekanisnya: Semakin tipis dan semakin lemah kornea, semakin
rendah nilai yang diperoleh. Ini merupakan masalah penting dalam
diagnosis glaukoma, terutama pada pasien setelah operasi bias
laser. Sementara nomogram telah dikembangkan untuk
memperbaiki pembacaan IOP untuk ketebalan kornea, koreksi
untuk biomekanik kornea lebih rumit dan saat ini tidak mungkin.
Selain itu, kelengkungan kornea juga berdampak pada pengukuran
tonometrik. Ketergantungan pada banyak faktor dapat menjelaskan
mengapa pengukuran kepulan udara memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang rendah untuk mendeteksi perbedaan antara kornea
tipis dan keratokonik.
8. Memperkuat Sifat Biomekanis Kornea
a. Perawatan cross-linking kornea (CXL)
Corneal cross-linking adalah metode fotodinamik yang didasarkan
pada generasi radikal oksigen melalui riboflavin dan iradiasi UV-A.
Sementara interaksi radikal oksigen dengan jaringan kornea belum
sepenuhnya dipahami, oksidasi ECM berpotensi mengarah pada
pembentukan ikatan silang tambahan. Studi eksperimental melaporkan
bahwa kekakuan kornea meningkat secara signifikan setelah CXL dan
studi klinis dapat menunjukkan bahwa perkembangan keratoconus
dapat dihentikan.
Pengobatan CXL menginduksi apoptosis keratosit pada kornea
anterior. Oleh karena itu, pertimbangan keamanan endotel saat ini
membatasi perawatan pada ketebalan kornea >400 lm dengan
pengaturan iradiasi saat ini yang digunakan dalam praktik klinis. Satu
hingga dua minggu pasca operasi garis demarkasi dapat diamati pada
kedalaman sekitar 300 lm, yang berpotensi muncul dari perubahan
indeks bias dan dapat mengindikasikan zona pengerasan kornea yang
efektif. CXL telah terbukti menstabilkan ectasia kornea dalam jangka
panjang. Dalam sebuah studi ex vivo, kekakuan kornea meningkat
sebesar 329% pada manusia dan sebesar 72% pada kornea babi setelah
perawatan CXL.
b. Perawatan proteoglikan
Proteoglikan adalah persyaratan penting untuk interaksi dan
pengikatan timbal balik komponen ECM. Decorin adalah elemen
pengatur penting dari perakitan fibril kolagen. Studi pada tikus
decorin-null menyajikan struktur dan organisasi fibril kolagen yang
terganggu terutama di kornea posterior. Analisis kristalografi sampel
kornea dengan mutasi dekorin terpotong mengkonfirmasi temuan ini.
Oleh karena itu, pemberian protein inti dekorin keratokonik mungkin
memiliki potensi untuk membangun kembali struktur kolagen
fisiologis dan menghentikan ectasia yang berkembang. Sebuah studi
eksperimental baru-baru ini menunjukkan bahwa aplikasi decorin
menginduksi pengerasan 92% pada mata babi. Dibandingkan dengan
CXL dengan 72% pengerasan pada mata babi, perawatan inti dekorin
tidak memerlukan de-epitelisasi atau iradiasi UV dan oleh karena itu
mungkin kurang invasif. Namun belum jelas berapa lama efek
pengerasan akan bertahan dan apakah hasil yang sama dapat diperoleh
secara in vivo.
c. SMILE lenticule implantation
Implantasi lenticule SMILE bertujuan untuk memperbaiki
hiperopia. Ini membutuhkan lenticule donor dari pasien yang
menjalani operasi SMILE rabun tinggi dioptre, yang kemudian
ditanamkan di kantong kornea yang dibuat sebelumnya dari mata
penerima. Penambahan jaringan pusat memungkinkan kemudian untuk
memperbaiki pembiasan. Sementara tujuan utama dari operasi ini jelas
bias, jaringan tambahan secara lokal juga memiliki efek biomekanis:
Peningkatan ketebalan kornea mengurangi stres longitudinal, yang
pada gilirannya mengarah pada perataan kelengkungan kornea.
Perataan yang tidak diinginkan ini bertindak bertentangan dengan
seduhan pusat yang diinginkan, dan mungkin menjelaskan mengapa
hanya 50% dari koreksi bias yang diharapkan yang dicapai setelah
implantasi lenticule SMILE.
d. Animal Model untuk biomekanik kornea
Sebagian besar spesies menyajikan kekakuan kornea yang lebih
rendah dan perilaku creep viskoelastik yang lebih tinggi daripada
manusia, yang mungkin dikaitkan dengan perbedaan dalam susunan
kolagen fibrillar.
Untuk percobaan ex vivo, kornea babicine yang baru dienukleasi
sering digunakan karena anatominya yang mirip dibandingkan dengan
kornea manusia. Mengingat perbedaan anatomi hanya membran
Bowman yang kurang berkembang atau tidak ada dan ketebalan kornea
yang lebih tinggi (666 lm secara terpusat) menjadi jelas di kornea
babicine. Namun, mengingat sifat biomekanis, kornea babi memiliki
sifat relaksasi stres yang berbeda dan kurang kaku daripada kornea
manusia. Namun demikian – mengingat ketersediaannya yang
melimpah – mata babi diterima secara luas sebagai model untuk studi
biomekanis kornea.
Untuk studi in vivo, kornea kelinci banyak digunakan karena
korneanya yang besar – dengan diameter 13,2 mm dan jari-jari kornea
7,3 mm. Mengingat sifat biomekanis, pada kornea kelinci IOP rendah
berubah bentuk secara non-linier, sementara kornea manusia tidak
berubah bentuk sama sekali – pada IOP yang lebih tinggi hubungan
tegangan-regangan lebih mirip dan linier pada kedua spesies. Baru-
baru ini, kelompok kami telah membentuk model biomekanik kornea
di mata tikus. Kami mengamati hubungan tegangan-regangan linier
yang mirip dengan kornea kelinci, yang dapat menjadikan tikus model
yang menarik untuk studi yang membahas asal molekul parameter
biomekanis.
9. PEMODELAN KOMPUTASI BIOMEKANIK KORNEA
Sebelum prediksi apa pun tentang memperkuat perawatan atau
intervensi bedah refraksi dapat dilakukan, penting untuk membangun
model yang representatif dari mata yang utuh. Sementara model analitis
kurang menuntut secara komputasi, mereka hanya menawarkan
fleksibilitas terbatas dan tidak cocok untuk pemodelan pasien individu.
Oleh karena itu, sebagian besar simulasi biomekanis dalam oftalmologi
menggunakan pendekatan numerik. Bergantung pada karakteristik yang
relevan dan tingkat akurasi yang diinginkan, model ini dapat
mempertimbangkan data input spesifik spesies seperti orientasi fibril
kolagen dan topografi spesifik pasien dan data pachymetry.
Untuk tujuan ini, orientasi fibril dapat didefinisikan dengan
menggunakan bahan anisotropik dan koordinat elevasi kornea dapat
langsung digunakan untuk menentukan simpul model elemen hingga.
Masalah yang lebih sulit adalah memperhitungkan IOP. Biasanya, model
ini didefinisikan untuk geometri bebas stres – yang bagaimanapun tidak
diketahui untuk kornea. Untuk mengatasi masalah ini, pemodelan terbalik
perlu dilakukan: Baik tegangan yang diinduksi IOP dihitung secara
bertahap sampai keadaan tegangan awal kornea ditentukan, atau deformasi
yang diprovokasi dihitung secara bertahap dan dikurangi dari geometri
yang ditekan untuk mendapatkan geometri bebas stress.
Untuk tujuan validasi akhir, model dapat diterapkan untuk
mensimulasikan eksperimen. Untuk eksperimen inflasi, perbandingan
prediksi model dan pengukuran eksperimental sebelumnya dapat
mengkonfirmasi kinerja yang baik.
a. Ectasia kornea dan Cross-linking kornea
Simulasi numerik mungkin merupakan alat yang berguna untuk
memprediksi tingkat keberhasilan individu CXL dalam menghentikan
perkembangan ektasia, tetapi juga untuk memprediksi pembentukan
kembali kornea terkait dan karenanya perubahan bias. Beberapa studi in
silico (komputasional) telah memprediksi profil melemahnya kornea yang
menyajikan keratectasia dan respons yang diharapkan terhadap pengobatan
CXL. Simulasi ini dapat mengkonfirmasi perataan topografi yang diamati
secara klinis setelah CXL, tetapi menunjukkan variabilitas antar-pasien
yang penting yang menunjukkan perlunya pemodelan khusus pasien.
Dalam upaya khusus untuk mengurangi astigmatisme, simulasi CXL
berpola telah menunjukkan efek yang menjanjikan
b. Operasi Refraktif
Salah satu kesulitan utama dalam operasi refraksi adalah
ketidakpastian berapa banyak jaringan yang dapat disambungkan dari
kornea pasien tanpa menginduksi ectasia pasca operasi. Beberapa tahun
yang lalu, model komputer membahas potensi koreksi rabun dan
astigmatis dengan operasi sayatan. Baru-baru ini, simulasi diterapkan
untuk memperkirakan dampak jangka panjang dari operasi ablatif laser:
Operasi PRK menunjukkan untuk meningkatkan stres kornea sekitar 25%,
sementara operasi LASIK diprediksi akan menyebabkan melemahnya
kornea 55%. Perbandingan antara LASIK dan operasi refraksi SmILE
menyimpulkan bahwa SmILE meningkatkan stres kornea ke jumlah yang
lebih rendah daripada LASIK, yang juga telah disarankan secara teoritis.
Simulasi lebih lanjut dapat menunjukkan bahwa hasil bias setelah LASIK
tergantung pada kekakuan kornea yang melekat – tidak hanya pada jumlah
jaringan yang diateateasikan, dan bahwa tonometri meremehkan IOP yang
sebenarnya setelah operasi PRK atau LASIK.
c. Implantasi segmen cincin intra-kornea (ICRS)
ICCRS berfungsi sebagai elemen pembentuk ulang dan homogenisasi
dalam permukaan kornea yang sangat terdistorsi. Mereka digunakan untuk
meningkatkan hasil visual, tetapi juga untuk membuat permukaan kornea
lebih cocok untuk keausan lensa kontak. Respons kornea terhadap
implantasi ICRS sebagian besar bersifat geometris dan sebagian kecil
mekanis: Panjang busur kornea berkurang yang mengarah ke
kelengkungan kornea yang lebih rata dan panjang aksial mata yang sedikit
lebih pendek. Daerah jaringan yang lebih lemah akan berubah bentuk lebih
kuat. Meskipun ada beberapa publikasi yang membahas simulasi
implantasi ICRS, kebanyakan dari mereka hanya memprediksi respons
rata-rata kornea dan tidak mengizinkan analisis khusus pasien: Semakin
tebal ICRS, semakin tinggi koreksi rabun. Hingga saat ini, hanya satu
penelitian yang mempresentasikan model ICRS spesifik pasien, yang
bagaimanapun menunjukkan perkiraan berlebihan yang konsisten
dibandingkan dengan hasil pasca-bedah yang sebenarnya.
DAFTAR PUSTAKA

Esporcatte, L.P.G., Salomão, M.Q., Lopes, B.T. et al. 2020. Biomechanical


diagnostics of the cornea. Eye and Vis. Vol7 (9) : 1 – 12.
Ilyas, S., Yulianti, S. 2018. Ilmu Penyakit Mata Edisi ke Lima. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia.
Kling, Sabine dan Fargad Hafezi. 2017. Corneal Biomechanics – a Review.
Opthalmic & Physiological Optics. Vol 37 (3) : 240 – 252.
Ma J, Wang Y, Wei P, Jhanji V. 2018 Biomechanics and Structure of the Cornea:
Implications and Association with Corneal Disorders. Survey of
Ophthalmology. Vol 63 (6) : 851 – 861.
Pinero, David P. dan Natividad Alcon. 2014. Corneal Biomechanics : a review.
Clinical and Experimental Optometry. Vol 98 (2) : 107 – 116.
Remington, LA. 2012. Clinical Anatomy and physiology of the visual system.
Edisi ke-3. Oregon: Elsevier; Halaman: 10-37.
Vaughan, D., & Asbury, T. 2017. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology.
New York. Lange Medical Books/McGraw-Hill

Anda mungkin juga menyukai