Anda di halaman 1dari 56

Referat

Konjungtiva dan Kelainannya


Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Departemen Ilmu Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Malikussaleh – RSUCM

Oleh :

Yeni Saputri, S.Ked


NIM: 130611004

Preseptor :

dr. Halimatussakdiah Sp.M

DEPARTEMEN ILMU MATA RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
ACEH UTARA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah, dan

kesempatan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan refarat ini dengan judul

"Konjungtiva dan Kelainannya". Penyusunan refarat ini merupakan pemenuhan

syarat untuk menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik senior di Departemen Ilmu

Mata di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia.

Seiring rasa syukur atas terselesaikannya refarat ini, dengan rasa hormat

dan rendah hati saya sampaikan terimakasih kepada:

1. Pembimbing, dr. Halimatussakdiah, Sp.M atas arahan dan bimbingannya

dalam penyusunan refarat ini.

2. Sahabat-sahabat kepaniteraan klinik senior di Departemen Ilmu Mata

Rumah Sakit umum daerah Cut Meutia, yang telah membantu dalam

bentuk motivasi dan dukungan semangat.

Sebagai manusia yang tidak lepas dari kekurangan, saya menyadari bahwa

dalam penyusunan refarat ini masih jauh dari sempurna. Saya sangat

mengharapkan banyak kritik dan saran yang membangun dalam penyempurnaan

refarat ini. Semoga refarat ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Aceh Utara, September 2018

Yeni Saputri, S.Ked


DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................... 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 2
2.1 Anatomi Konjungtiva ..................................................................... 2
2.2 Histologi Konjungtiva .................................................................... 3
2.3 Perdarahan, Limfatik dan Persarafan Konjungtiva ................... 4
2.4 Reaksi pada Konjungtiva ............................................................... 5
2.5 Kelainan pada Konjungtiva ........................................................... 7
2.5.1 Benda asing konjungtiva ........................................................ 7
2.5.2 Konjungtivitis.......................................................................... 9
2.5.3 Pterigium ................................................................................. 18
2.5.4 Perdarahan Subkonjungtiva ................................................. 27
2.5.5 Dry Eye Sindrom .................................................................... 32
2.5.6 Pingeukula ............................................................................... 40
2.5.7 Oftalmia Neonatorum ............................................................ 44
BAB 3 KESIMPULAN ............................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 49
BAB 1
PENDAHULUAN

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang


membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Karena lokasinya, konjungtiva
terpajan oleh banyak mikroorganisme dan substansi-substansi dari lingkungan
luar yang mengganggu (Vaughan, 2010).
Peradangan pada konjungtiva disebut konjungtivitis, penyakit ini
bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis
berat dengan sekret purulen (Vaughan, 2010). Konjungtivitis umumnya
disebabkan oleh reaksi alergi, infeksi bakteri dan virus, serta dapat bersifat akut
atau menahun (Ilyas, 2015). Penelitian yang dilakukan di Belanda menunjukkan
penyakit ini tidak hanya mengenai satu mata saja, tetapi bisa mengenai kedua
mata, dengan rasio 2,96 pada satu mata dan 14,99 pada kedua mata (Majmudar,
2010).
Konjungtivitis dapat dijumpai di seluruh dunia, pada berbagai ras, usia,
jenis kelamin dan strata sosial. Walaupun tidak ada data yang akurat mengenai
insidensi konjungtivitis, penyakit ini diestimasi sebagai salah satu penyakit mata
yang paling umum (American Academy of Opthalmology, 2010).
Kelainan lain yang dapat terjadi yaitu kelainan degeneratif yaitu
Pinguekula dan pterigium, kelainan infeksi lainnya yaitu Oftalmia Neonatorum,
akibat trauma terjadi perdarahan subkonjugtiva dan adanya benda asing
menyebabkan terjadi benda asing di konjungtiva.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva palpebralis
melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi
superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks
superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva
bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbital di forniks dan
melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata
bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik (Vaughan, 2010).

Gambar 2.1. Anatomi konjugtiva

Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet


yang berfungsi membasahi bola mata terutama kornea. Bermacam-macam obat
mata dapat diserap melalui konjungtiva ini. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian
yaitu:
1. Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, sukar digerakkan dari tarsus.
2. Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di
bawahnya.
3. Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat
peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan
jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah digerakkan (Ilyas, 2015).

2.2 Histologi Konjungtiva


Lapisan epitel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan sel epitel
silindris bertingkat, superfisial dan basal (Junqueira, 2007). Lapisan epitel
konjungtiva di dekat limbus, diatas caruncula, dan di dekat persambungan
mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel skuamosa bertingkat.
Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang
mensekresi mukus yang diperlukan untuk dispersi air mata. Sel-sel epitel basal
berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan dapat mengandung
pigmen (Vaughan, 2010).
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisialis) dan
satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid
dan tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Lapisan
fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus dan
tersusun longgar pada mata (Vaughan, 2010).
Kelenjar lakrimasi aksesoris (kelenjar Krause dan Wolfring) yang struktur
dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam Stroma. Sebagian besar
kelenjar Krause berada di forniks atas, sisanya ada di forniks bawah. Kelenjar
Wolfring terletak di tepi atas tarsus atas (Vaughan, 2010).
Gambar 2.2. Histologi Konjungtiva

2.3 Perdarahan, Limfatik dan Persarafan Konjungtiva


Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteria siliaris anterior dan arteria
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama dengan
banyak vena konjungtiva membentuk jaringan vaskular konjungtiva yang sangat
banyak (Vaughan, 2010).
Vaskularisasi pada konjungtiva yaitu:
1. Arteri konjungtiva posterior, memperdarahi konjungtiva bulbi.
2. Arteri siliaris anterior atau episklera yang memberikan cabang :
a. Arteri episklera masuk ke dalam bola mata dan dengan arteri siliar
posterior longus bergabung membentuk arteri sirkular mayor atau
pleksus siliaris, yang akan memperdarahi iris dan badan siliar.
b. Arteri perikornea, yang memperdarahi kornea.
c. Arteri episklera yang terletak diatas sklera, merupakan bagian
arteri siliaris anterior yang memberikan perdarahan ke dalam bola
mata.
Bila terjadi pelebaran pembuluh darah diatas maka akan terjadi mata
merah, atau akibat pecahnya salah satu atau kedua pembuluh darah diatas dan
darah tertimbun di bawah jaringan konjungtiva menyebabkan timbul perdarahan
subkonjungtiva (Ilyas, 2015).
Pembuluh limfe konjungtiva tersusun di dalam lapisan superfisial dan
profundus dan bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus
limfatikus yang kaya. Konjungtiva juga menerima persarafan dari percabangan
pertama nervus V dengan serabut nyeri yang relatif sedikit (Tortora, 2009).

2.4 Reaksi pada Konjungtiva


Reaksi yang dapat terjadi pada konjungtiva yaitu (Ilyas, 2015):
1. Folikel cobble stone, penimbunan cairan dan sel limfoid di bawah
konjungtiva. Terlihat sebagai benjolan yang besarnya kira-kira 1 mm.
Folikel terlihat banyak di daerah forniks.
2. Membran, sel radang di depan mukosa konjungtiva yang bila diangkat
akan berdarah. Merupakan massa yang menutupi konjungtiva tarsal atau
konjungtiva bulbi.
3. Papil, timbunan sel radang subkonjungtiva warna merah dengan pembuluh
darah ditengahnya.
4. Papil raksasa, berbentuk poligonal dan tersusun berdekatan, permukaan
datar, terdapat pada konjungtivitis vernal.
5. Pseudomembran, membran yang bila diangkat tidak akan berdarah,
terdapat pada pemfigoid okular dan sindrom Steven Johnson.
6. Sikatriks, pada trakoma arah sikatriks sejajar dengan margo palpebra
(garis Artl).
7. Simblefaron, melekatnya konjungtiva tarsal, bulbi dan kornea. Terdapat
pada trauma kimia, dan sindrom Steven Johnson.
8. Injeksi konjungtiva, melebarnya pembuluh darah arteri konjungtiva
posterior terjadi akibat pengaruh mekanis, alergi atau infeksi.
Sifat:
a. Mudah digerakkan dari dasarnya karena arteri konjungtiva
posterior melekat secara longgar pada konjungtiva bulbi yang
mudah di lepas dari dasar sklera.
b. Pada radang konjungtiva pembuluh darah ini terutama didapatkan
di daerah forniks.
c. Ukuran pembuluh darah makin besar ke bagian perifer, karena
asalnya dari bagian perifer atau arteri siliar anterior.
d. Berwarna merah yang segar
e. Dengan tetes adrenalin 1:1000 injeksi akan lenyap sementara.
f. Gatal
g. Fotofobia (-)
h. Pupil ukuran normal dengan reaksi normal.
9. Injeksi siliar, melebarnya pembuluh darah perikornea (a. Siliar anterior)
atau injeksi perikornea terjadi akibat radang kornea, benda asing kornea,
radang jaringan uvea, glaukoma, endoftalmitis atau panoftalmitis.
Sifat:
a. Berwarna lebih ungu dibanding dengan pelebaran pembuluh darah
konjungtiva.
b. Pembuluh darah tidak tampak
c. Tidak ikut serta dengan pergerakan konjungtiva bila digerakkan,
karena menempel erat dengan jaringan perikornea.
d. Ukuran sangat halus terletak disekitar kornea, paling padat sekitar
kornea, dan berkurang ke arah forniks.
e. Pembuluh darah perikornea tidak menciut bila di beri epinefrin
atau adrenalin 1:1000
f. Hanya lakrimasi
g. Fotofobia
h. Sakit pada penekanan sekitar kornea
i. Pupil ireguler kecil (iritis) dan lebar (glaukoma).
Tabel 2.1 Diagnosa Banding Melebarnya (injeksi) Pembuluh Darah
Injeksi Injeksi Injeksi episklera
konjungtiva siliar/perikorneal
A.Konjungtiva
Asal A.Siliar A.Siliar longus
posterior
Kornea segmen
Memperdarahi Konjungtiva bulbi Intraokular
anterior
Warna Merah Ungu Merah gelap
Aliran darah Ke perifer Ke sentral Ke perifer
Konjungtiva
Ikut bergerak Tidak bergerak Tidak ikut
digerakkan
Dengan epinefrin Menciut Tidak menciut Tidak menciut
Kelainan Konjungtiva Kornea/iris Galaukoma/Endoftalmitis
Sekret + - -
Penglihatan Normal Menurun Sangat menurun

2.5 Kelainan pada Konjungtiva


2.5.1 Benda asing konjungtiva
a. Definisi
Benda asing (corpus alienum) yang bisa masuk ke dalam mata terbagi
dalam beberapa kategori:
1. Benda logam
i. benda magnetic, contohnya: besi, seng
ii. benda non magnetic, contohnya: emas, perak
2. Benda non logam, contohnya: batu, kaca, poreslin, karbon, tumbuhan,
bahan pakaian, dan bulu mata.

Gambar 2.3. Benda asing konjungtiva

Selain pembagian tersebut juga terdapat pembagian menjadi:


1. Benda inert
Benda inert adalah benda yang tidak menimbulkan rekasi jaringan mata
ataupun kalau ada raksi tidak mengganggu fungsi mata. Contoh: emas, perak,
platina, batu, kaca, porselin, dan beberapa jenis plastik. Kadang benda inert ini
memberikan rekasi mekanik yang mungkin dapat mengganggu fungsi mata.
2. Benda reaktif
Benda reaktif adalah benda yang menimbulkan reaksi jaringan mata
sehingga mengganggu fungsi mata. Contoh: timah hitam, zeng, nikel, aluminium,
tembaga, kuningan, besi, tumbuh-tumbuhan, bahan pakaian, dan bulu ulat.
b. Gejala Klinis
Benda asing pada konjungtiva adalah salah satu hal yang umum terjadi.
Gejala yang muncul adalah keluhan subjektif. Biasanya seseorang
mengungkapkan bahwa terdapat benda yang terasa mengiritasi akan tetapi tidak
bisa menunjuk lokasi benda tersebut atau dimana benda tersebut sebenarnya
berada.
c. Pemeriksaan
Pemeriksaan berfungsi untuk melihat ada tidaknya benda asing dan
dimana lokasinya, bisa menggunakan lampu wood atau slitlamp sebagai
penerangan.
d. Terapi
Terapi yang perlu dilakukan adalah bertujuan untuk mengambil benda
asing dan jika diperlukan bisa diberikan obat anti bakteri.
Pengambilan benda asing pada konjungtiva:
i. Pastikan penyebab gejala adalah benda asing yang di konjungtiva
ii. Ketajaman mata pada kedua mata dinilai.
iii. Benda asing di konjungtiva bisa menurunkan visus ataupun tidak.
iv. Sebelum dilakukan penekanan pada mata atau kelopak perlu dipastikan
bahwa tidak terjadi cedera yang telah menembus bola mata.
v. Jika terdapat sesuatu pada bulbar tapi tidak bisa dilepas dengan kapas
(cotton swab) bisa diduga bahwa benda asing tersebut adalah lesi tembus
atau merupakan lesi berpigmen pada konjungtiva.
vi. Pemberian anestesi digunakan adalah 2 tetes proparacaine 0,5%.
vii. Benda asing diambil dengan menggunakan kapas yang dibasahi dengan
salin, jika tidak berhasil bisa dilakukan irigasi menggunakan salin.
Sebelumnya konjungtiva dibuka terlebih dahulu.
viii. Anestesi lokal akan hilang dalam waktu 30 menit.
ix. Perlu dilakukan pemeriksaan flouresensi untuk mengetahui apakah ada
keruskan kornea atau tidak.
2.5.2 Konjungtivitis
a. Definisi
Konjungtivitis merupakan radang konjungtiva atau radang selaput lendir
yang menutupi belakang kelopak dan bola mata, dalam bentuk akut atau kronis
(Ilyas, 2015). Konjungtiva sering terpajan oleh banyak mikroorganisme dan
faktor-faktor lingkungan lain yang mengganggu (Vaughan, 2010). Penyakit ini
bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis
berat dengan banyak sekret purulen kental (Hurwitz, 2009).
b. Etiologi
Penyebab dari konjungtivitis bermacam-macam yaitu bisa disebabkan
karena bakteri, virus, infeksi klamidia, konjungtivitis alergi. Konjungtivitis bakteri
biasanya disebabkan oleh Staphylococcus, Streptococcus, Pneumococcus, dan
Haemophillus. Sedangkan, konjungtivitis virus paling sering disebabkan oleh
adenovirus dan penyebab yang lain yaitu organisme Coxsackie dan Pikornavirus
namun sangat jarang. Penyebab konjungtivis lainnya yaitu infeksi klamidia, yang
disebabkan oleh organisme Chlamydia trachomatis (James dkk, 2005).
Konjungtivitis yang disebabkan oleh alergi diperantai oleh IgE terhadap alergen
yang umumnya disebabkan oleh bahan kimia (Ilyas, 2015).
c. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya konjungtivitis dibagi menjadi empat yaitu
konjungtivitis yang diakibatkan karena bakteri, virus, allergen dan jamur (Ilyas,
2015).
1. Konjungtivitis bakteri
i. Definisi
Konjungtivitis Bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang disebabkan oleh
bakteri. Pada konjungtivitis ini biasanya pasien datang dengan keluhan mata
merah, sekret pada mata dan iritasi mata (James, 2005).

Gambar 2.4. Konjungtivitis Bakteri

ii. Etiologi dan Faktor Resiko


Konjungtivitis bakteri dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu hiperakut,
akut, subakut dan kronik. Konjungtivitis bakteri hiperakut biasanya disebabkan
oleh N gonnorhoeae, Neisseria kochii dan N meningitidis. Bentuk yang akut
biasanya disebabkan oleh Streptococcus pneumonia dan Haemophilus aegyptyus.
Penyebab yang paling sering pada bentuk konjungtivitis bakteri subakut adalah H
influenza dan Escherichia coli, sedangkan bentuk kronik paling sering terjadi
pada konjungtivitis sekunder atau pada pasien dengan obstruksi duktus
nasolakrimalis (Jatla, 2009). Konjungtivitis bakterial biasanya mulai pada satu
mata kemudian mengenai mata yang sebelah melalui tangan dan dapat menyebar
ke orang lain. Penyakit ini biasanya terjadi pada orang yang terlalu sering kontak
dengan penderita, sinusitis dan keadaan imunodefisiensi (Marlin, 2009).
iii. Patofisiologi
Jaringan pada permukaan mata dikolonisasi oleh flora normal seperti
streptococci, staphylococci dan jenis Corynebacterium. Perubahan pada
mekanisme pertahanan tubuh ataupun pada jumlah koloni flora normal tersebut
dapat menyebabkan infeksi klinis. Perubahan pada flora normal dapat terjadi
karena adanya kontaminasi eksternal, penyebaran dari organ sekitar ataupun
melalui aliran darah (Rapuano, 2008).
Penggunaan antibiotik topikal jangka panjang merupakan salah satu
penyebab perubahan flora normal pada jaringan mata, serta resistensi terhadap
antibiotik (Visscher, 2009). Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi adalah
lapisan epitel yang meliputi konjungtiva sedangkan mekanisme pertahanan
sekundernya adalah sistem imun yang berasal dari perdarahan konjungtiva,
lisozim dan imunoglobulin yang terdapat pada lapisan air mata, mekanisme
pembersihan oleh lakrimasi dan berkedip. Adanya gangguan atau kerusakan pada
mekanisme pertahanan ini dapat menyebabkan infeksi pada konjungtiva (Amadi,
2009).
iv. Gejala klinis
Gejala yang timbul pada konjungtivitis bakteri biasanya dijumpai injeksi
konjungtiva baik segmental atau menyeluruh. Sekret pada kongjungtivitis bakteri
biasanya lebih purulen daripada konjungtivitis jenis lain, pada kasus yang ringan
sering dijumpai edema pada kelopak mata (AOA, 2010).
Ketajaman penglihatan biasanya tidak mengalami gangguan pada
konjungtivitis bakteri namun mungkin sedikit kabur karena adanya sekret dan
debris pada lapisan air mata, sedangkan reaksi pupil masih normal. Gejala yang
paling khas adalah kelopak mata yang saling melekat pada pagi hari sewaktu
bangun tidur (James, 2005).
v. Diagnosis
Anamnesis tanyakan tentang usia, karena mungkin berhubungan dengan
mekanisme pertahanan tubuh pada pasien yang lebih tua. Pasien yang aktif secara
seksual, perlu dipertimbangkan penyakit menular seksual dan riwayat penyakit
pada pasangan seksual. Durasi lamanya penyakit, riwayat penyakit yang sama
sebelumnya, riwayat penyakit sistemik, obat-obatan, penggunaan obat-obat
kemoterapi, riwayat pekerjaan yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit,
riwayat alergi dan alergi terhadap obat-obatan, dan riwayat penggunaan lensa-
kontak (Marlin, 2009).

vi. Komplikasi
Blefaritis marginal kronik sering menyertai konjungtivitis bateri, kecuali
pada pasien yang sangat muda yang bukan sasaran blefaritis. Parut di konjungtiva
paling sering terjadi dan dapat merusak kelenjar lakrimal aksesorius dan
menghilangkan duktulus kelenjar lakrimal. Hal ini dapat mengurangi komponen
akueosa dalam film air mata prakornea secara drastis dan juga komponen mukosa
karena kehilangan sebagian sel goblet. Luka parut juga dapat mengubah bentuk
palpebra superior dan menyebabkan trikiasis dan entropion sehingga bulu mata
dapat menggesek kornea dan menyebabkan ulserasi, infeksi dan parut pada kornea
(Vaughan, 2010).
vii. Penatalaksanaan
Terapi spesifik konjungtivitis bakteri tergantung pada temuan agen
mikrobiologiknya. Terapi dapat dimulai dengan antimikroba topikal spektrum
luas. Konjungtivitis purulen yang dicurigai disebabkan oleh diplokokus gram-
negatif harus segera dimulai terapi topical dan sistemik . Konjungtivitis purulen
dan mukopurulen, sakus konjungtivalis harus dibilas dengan larutan saline untuk
menghilangkan sekret konjungtiva (Ilyas, 2015).

2. Konjungtivitis Virus
i. Definisi
Konjungtivitis virus adalah penyakit umum yang dapat disebabkan oleh
berbagai jenis virus, dan berkisar antara penyakit berat yang dapat menimbulkan
cacat hingga infeksi ringan yang dapat sembuh sendiri dan dapat berlangsung
lebih lama daripada konjungtivitis bakteri (Vaughan, 2010).

Gambar 2.5. Konjungtivitis Virus

ii. Etiologi dan Faktor Resiko


Konjungtivitis virus dapat disebabkan berbagai jenis virus, tetapi
adenovirus adalah virus yang paling banyak menyebabkan penyakit ini, dan
herpes simplex virus yang paling membahayakan. Selain itu penyakit ini juga
dapat disebabkan oleh virus Varicella zoster, picornavirus (enterovirus 70,
Coxsackie A24), poxvirus, dan human immunodeficiency virus (Scott, 2010).
Penyakit ini sering terjadi pada orang yang sering kontak dengan penderita
dan dapat menular melalui di droplet pernafasan, kontak dengan benda-benda
yang menyebarkan virus (fomites) dan berada di kolam renang yang
terkontaminasi (Ilyas, 2015).
iii. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya konjungtivitis virus ini berbeda-beda pada setiap
jenis konjungtivitis ataupun mikroorganisme penyebabnya (Hurwitz, 2009).
Mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit ini dijelaskan pada etiologi.
iv. Gejala klinis
Gejala klinis pada konjungtivitis virus berbeda-beda sesuai dengan
etiologinya. Pada keratokonjungtivitis epidemik yang disebabkan oleh adenovirus
biasanya dijumpai demam dan mata seperti kelilipan, mata berair berat dan
kadang dijumpai pseudomembran. Selain itu dijumpai infiltrat subepitel kornea
atau keratitis setelah terjadi konjungtivitis dan bertahan selama lebih dari 2 bulan
(Vaughan, 2010). Pada konjungtivitis ini biasanya pasien juga mengeluhkan
gejala pada saluran pernafasan atas dan gejala infeksi umum lainnya seperti sakit
kepala dan demam (Senaratne & Gilbert, 2005).
Pada konjungtivitis herpetic yang disebabkan oleh virus Herpes Simpleks
(HSV) yang biasanya mengenai anak kecil dijumpai injeksi unilateral, iritasi,
sekret mukoid, nyeri, fotofobia ringan dan sering disertai keratitis herpes.
Konjungtivitis hemoragika akut yang biasanya disebabkan oleh
enterovirus dan coxsackie virus memiliki gejala klinis nyeri, fotofobia, sensasi
benda asing, hipersekresi airmata, kemerahan, edema palpebra dan perdarahan
subkonjungtiva dan kadang-kadang dapat terjadi kimosis (Scott, 2010).

v. Diagnosis
Diagnosis pada konjungtivitis virus bervariasi tergantung etiologinya,
karena itu diagnosisnya difokuskan pada gejala-gejala yang membedakan tipe-tipe
menurut penyebabnya. Dibutuhkan informasi mengenai, durasi dan gejala-gejala
sistemik maupun ocular, keparahan dan frekuensi gejala, faktor-faktor resiko dan
keadaan lingkungan sekitar untuk menetapkan diagnosis konjungtivitis virus
(AOA, 2010). Pada anamnesis penting juga untuk ditanyakan onset, dan juga
apakah hanya sebelah mata atau kedua mata yang terinfeksi (Gleadle, 2007).
Konjungtivitis virus sulit untuk dibedakan dengan konjungtivitis bakteri
berdasarkan gejala klinisnya dan untuk itu harus dilakukan pemeriksaan lanjutan,
tetapi pemeriksaan lanjutan jarang dilakukan karena menghabiskan waktu dan
biaya (Hurwitz, 2009).
vi. Komplikasi
Konjungtivitis virus bisa berkembang menjadi kronis, seperti
blefarokonjungtivitis. Komplikasi lainnya bisa berupa timbulnya pseudomembran,
dan timbul parut linear halus atau parut datar, dan keterlibatan kornea serta timbul
vesikel pada kulit (Vaughan, 2010).

vii. Penatalaksanaan
Konjungtivitis virus yang terjadi pada anak di atas 1 tahun atau pada orang
dewasa umumnya sembuh sendiri dan mungkin tidak diperlukan terapi, namun
antivirus topikal atau sistemik harus diberikan untuk mencegah terkenanya kornea
(Scott, 2010). Pasien konjungtivitis juga diberikan instruksi hygiene untuk
meminimalkan penyebaran infeksi (James, 2005).

3. Konjungtivitis Alergi
i. Definisi
Konjungtivitis alergi adalah bentuk alergi pada mata yang paing sering dan
disebabkan oleh reaksi inflamasi pada konjungtiva yang diperantarai oleh sistem
imun (Cuvillo et al, 2009). Reaksi hipersensitivitas yang paling sering terlibat
pada alergi di konjungtiva adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1 (Majmudar, 2010).
Gambar 2.6. Konjungtivitis Alergi

ii. Etiologi dan faktor risiko


Konjungtivitis alergi dibedakan atas lima subkategori, yaitu konjungtivitis
alergi musiman dan konjungtivitis alergi tumbuh-tumbuhan yang biasanya
dikelompokkan dalam satu grup, keratokonjungtivitis vernal, keratokonjungtivitis
atopik dan konjungtivitis papilar raksasa (Vaughan, 2010).
Etiologi dan faktor resiko pada konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai
dengan subkategorinya. Misalnya konjungtivitis alergi musiman dan tumbuh-
tumbuhan biasanya disebabkan oleh alergi tepung sari, rumput, bulu hewan, dan
disertai dengan rinitis alergi serta timbul pada waktu-waktu tertentu. Vernal
konjungtivitis sering disertai dengan riwayat asma, eksema dan rinitis alergi
musiman. Konjungtivitis atopik terjadi pada pasien dengan riwayat dermatitis
atopic, sedangkan konjungtivitis papilar rak pada pengguna lensa-kontak atau
mata buatan dari plastik (Asokan, 2007).
iii. Gejala klinis
Gejala klinis konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan sub-
kategorinya. Konjungtivitis alergi musiman dan alergi tumbuh-tumbuhan keluhan
utama adalah gatal, kemerahan, air mata, injeksi ringan konjungtiva, dan sering
ditemukan kemosis berat. Pasien dengan keratokonjungtivitis vernal sering
mengeluhkan mata sangat gatal dengan kotoran mata yang berserat, konjungtiva
tampak putih susu dan banyak papila halus di konjungtiva tarsalis inferior.
Sensasi terbakar, pengeluaran sekret mukoid, merah, dan fotofobia
merupakan keluhan yang paling sering pada keratokonjungtivitis atopik.
Ditemukan jupa tepian palpebra yang eritematosa dan konjungtiva tampak putih
susu. Pada kasus yang berat ketajaman penglihatan menurun, sedangkan pada
konjungtiviitis papilar raksasa dijumpai tanda dan gejala yang mirip konjungtivitis
vernal (Vaughan, 2010).
iv. Diagnosis
Diperlukan riwayat alergi baik pada pasien maupun keluarga pasien serta
observasi pada gejala klinis untuk menegakkan diagnosis konjungtivitis alergi.
Gejala yang paling penting untuk mendiagnosis penyakit ini adalah rasa gatal
pada mata, yang mungkin saja disertai mata berair, kemerahan dan fotofobia
(Weissman, 2010).
v. Komplikasi
Komplikasi pada penyakit ini yang paling sering adalah ulkus pada kornea
dan infeksi sekunder (Jatla, 2009).
vi. Penatalaksanaan
Penyakit ini dapat diterapi dengan tetesan vasokonstriktor-antihistamin
topikal dan kompres dingin untuk mengatasi gatal-gatal dan steroid topikal jangka
pendek untuk meredakan gejala lainnya (Vaughan, 2010).

4. Konjungtivitis jamur
Konjungtivitis jamur paling sering disebabkan oleh Candida albicans dan
merupakan infeksi yang jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan adanya bercak
putih dan dapat timbul pada pasien diabetes dan pasien dengan keadaan sistem
imun yang terganggu. Selain Candida sp, penyakit ini juga dapat disebabkan oleh
Sporothrix schenckii, Rhinosporidium serberi, dan Coccidioides immitis walaupun
jarang (Vaughan, 2010).
5. Konjungtivitis parasit
Konjungtivitis parasit dapat disebabkan oleh infeksi Thelazia
californiensis, Loa loa, Ascaris lumbricoides, Trichinella spiralis, Schistosoma
haematobium, Taenia solium dan Pthirus pubis walaupun jarang (Vaughan,
2010).
6. Konjungtivitis kimia atau iritatif
Konjungtivitis kimia-iritatif adalah konjungtivitis yang terjadi oleh
pemajanan substansi iritan yang masuk ke sakus konjungtivalis. Substansi-
substansi iritan yang masuk ke sakus konjungtivalis dan dapat menyebabkan
konjungtivitis, seperti asam, alkali, asap dan angin, dapat menimbulkan gejala-
gejala berupa nyeri, pelebaran pembuluh darah, fotofobia, dan blefarospasme.
Selain itu penyakit ini dapat juga disebabkan oleh pemberian obat topikal
jangka panjang seperti dipivefrin, miotik, neomycin, dan obat-obat lain dengan
bahan pengawet yang toksik atau menimbulkan iritasi. Konjungtivitis ini dapat
diatasi dengan penghentian substansi penyebab dan pemakaian tetesan ringan
(Vaughan, 2010).
7. Konjungtivitis lain
Selain disebabkan oleh bakteri, virus, alergi, jamur dan parasit,
konjungtivitis juga dapat disebabkan oleh penyakit sistemik dan penyakit
autoimun seperti penyakit tiroid, gout dan karsinoid. Terapi pada konjungtivitis
yang disebabkan oleh penyakit sistemik tersebut diarahkan pada pengendalian
penyakit utama atau penyebabnya (Vaughan, 2010). Konjungtivitis juga bisa
terjadi sebagai komplikasi dari acne rosacea dan dermatitis herpetiformis ataupun
masalah kulit lainnya pada daerah wajah (AOA, 2008).
d. Penularan
Sumber penularan konjungtivitis secara umum adalah cairan yang keluar
dari mata yang sakit yang mengandung bakteri atau virus. Salah satu media
penularannya yaitu tangan yang terkontaminasi cairan infeksi, misalnya melalui
jabatan tangan. Bisa pula melalui cara tidak langsung, misalnya tangan yang
terkontaminasi memegang benda yang kemudian terpegang oleh orang lain,
penggunaan handuk secara bersama-sama, penggunaan sapu tangan atau tisu
secara bergantian, dan penggunaan bantal atau sarung bantal secara bersama-sama
(Ilyas, 2015; Chaerani, 2006; Indriana, 2012).
e. Pencegahan
Konjungtivitis dapat dicegah yaitu dengan tidak menyentuh mata yang
sehat sesudah mengenai mata yang sakit, tidak menggunakan handuk dan lap
secara bersama-sama dengan orang lain, serta bagi perawat dapat memberikan
edukasi kepada pasien tentang kebersihan kelopak mata (Hapsari & Isgiantoro,
2014).
Selain itu pencegahan konjungtivitis diantaranya sebelum dan sesudah
membersihkan atau mengoleskan obat, pasien konjungtivitis harus mencuci
tangannya agar tidak menular pada orang lain, menggunakan lensa kontak sesuai
dengan petunjuk dari dokter dan pabrik pembuatnya, mengganti sarung bantal dan
handuk yang kotor dengan yang bersih setiap hari, menghindari penggunaan
bantal, handuk dan sapu tangan bersama, menghindari mengucek-ngucek mata,
dan pada pasien yang menderita konjungtivitis, hendaknya segera membuang tissu
atau sejenisnya setelah membersihkan kotoran mata (Ramadhanisa, 2014).

2.5.3 Pterigium
a. Definisi
Pterigium adalah kelainan pada konjungtiva bulbi, pertumbuhan
fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini
biasanya terdapat pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva
yang meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di
bagian sentral atau di daerah kornea (Voughan, 2010).

Gambar 2.7. Pterigium

b. Epidemiologi
Prevalensi kejadian pterigium akan meningkat dengan umur, terutama
dekade ke 2 dan 3 kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20-49 tahun.
Pterigium rekuren sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan umur tua.
Laki-laki 4 kali lebih berisiko daripada perempuan dan berhubungan dengan
merokok, pendidikan rendah dan riwayat paparan lingkungan di luar rumah
(Laszuarni, 2009).
c. Etiologi
Etiologi pasti pterigium masih belum diketahui secara pasti. Beberapa
faktor resiko pterigium antara lain adalah paparan ultraviolet, mikro trauma kronis
pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa kondisi kekurangan
fungsi lakrimal film baik secara kuantitas maupun kualitas, konjungtivitis kronis
dan defisiensi vitamin A juga berpotensi timbulnya pterigium (Liang, 2012 dan
Voughan, 2010).
Penyebab pterigium lain yaitu fenomena iritatif akibat pengeringan dan
lingkungan banyak angin sering terdapat pada orang yang sebagian besar
hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan
berpasir. Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan
pterigium dan berdasarkan penelitian menunjukkan riwayat keluarga dengan
pterigium, kemungkinan diturunkan autosom dominan (Suhardjo, 2005;
Laszuarni, 2009).

d. Patofisiologi
Terjadinya pterigium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar
matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan
paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan faktor
mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel basal di
limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF-β dan VEGF (vascular
endothelial growth factor) menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel, dan
angiogenesis (Lestari dkk, 2017).
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan
subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi
elastoid (degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di
bawah epitel yaitu substansi propia yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan
kornea terdapat pada lapisan membran Bowman yang disebabkan oleh
pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan.
Kerusakan membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan
untuk pertumbuhan pterigium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang
terjadi displasia (Lestari dkk, 2017).
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea.
Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan
jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan oleh karena itu
banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi
dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Pterigium
ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler
yang ditutupi oleh epitel (Lestari dkk, 2017)
e. Klasifikasi
Berdasarkan stadium pterigium dibagi menjadi 4 derajat yaitu: (Ilyas, 2015
& Efstathios, 2009)
1. Derajat I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
2. Derajat II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum mencapai
pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
3. Derajat III : jika pterigium sudah melebihi derajat II tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar
3-4 mm).
4. Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.
Gambar 2.8. Stadium Pterigium

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi yaitu:


(Ilyas, 2015 & Efstathios, 2009)
1. Pterigium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di
kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium).
2. Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk
membran, tetapi tidak pernah hilang.

Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus


diperiksa dengan slit lamp pterigium dibagi 3 yaitu (Ilyas, 2015 & Efstathios,
2009):
1. T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat.
2. T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat.
3. T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.
f. Gejala klinis
Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan
sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata sering
berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing, dapat timbul
astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterigium lanjut stadium 3 dan 4 dapat
menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun (Ilyas,
2015).
Pterigium memiliki tiga bagian (Ilyas, 2015):
1. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada
kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan
menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron
line/Stocker’s line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini juga
merupakan area kornea yang kering.
2. Bagian whitish.Terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah lapisan
vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala.
3. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat bergerak),
lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan merupakan
area paling ujung. Badan ini menjadi tanda khas yang paling penting untuk
dilakukannya koreksi pembedahan.

g. Diagnosis
Penegakan diagnosis pada pterigium umumnya pada anamnnesis
didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal, mata sering berair,
ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata merah
berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan
sinar mathari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya
(Efstathios, 2009).
Pemeriksaan fisik mata, inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan
fibrovaskular pada permukaan konjungtiva. Pterigium dapat memberikan
gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskuler dan
flat. Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke
kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterigium pada daerah temporal.
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah topografi
kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmatisme ireguler
yang disebabkan oleh pterigium (Efstathios, 2009).
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
pterigium adalah topografi kornea, yang untuk menilai seberapa besar komplikasi
berupa astigmatisma irregular yang disebabkan oleh pterigium (Fisher, 2013).

h. Diagnosa Banding
Diagnosis banding pterigium adalah pinguekula dan pseudopterigium.
Pinguekula merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan pada
orangtua, terutama yang matanya sering mendapatkan rangsangan sinar matahari,
debu, dan angin panas. Perbedaan pterigium dengan pinguekula adalah bentuk
nodul, terdiri atas jaringan hyaline dan jaringan elastic kuning, jarang bertumbuh
besar, tetapi sering meradang. Pseudopterigium merupakan perlekatan
konjungtiva dengan kornea yang cacat. Sering pseudopterigium ini terjadi pada
proses penyembuhan tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea.
Pseudopterigium juga sering dilaporkan sebagai dampak sekunder penyakit
peradangan pada kornea.Pseudopterigium dapat ditemukan dibagian apapun pada
kornea dan biasanya berbentuk obliq, sedangkan pterigium ditemukan secara
horizontal pada posisi jam 3 atau jam 9 (Ilyas, 2015).

Gambar 2.9. Pingeukula

Gambar 2.10. Pseudopterigium


i. Tatalaksana
1. Konservatif
Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat
diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7
hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada
penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea
(Ilyas, 2015).
2. Operasi
Pterigium derajat 3 dan 4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium, bagian konjungtiva bekas
pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari
konjungtiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama
pengangkatan pterigium adalah memberikan hasil yang baik secara kosmetik,
mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, angka kekambuhan yang rendah
(Ilyas, 2015).
Indikasi Operasi pterigium yaitu (Jerome, 2011):
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus,
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil.
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau
karena astigmatismus.
4. Kosmetika terutama untuk penderita wanita.

Eksisi pterygium bertujuan untuk mencapai gambaran permukaan mata


yang licin. Suatu tehnik yang sering digunakan untuk mengangkat pterygium
dengan menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterygium kearah
limbus. Memisahkan pterygium kearah bawah pada limbus lebih disukai, kadang-
kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma jaringan sekitar otot. Setelah
eksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol perdarahan. Beberapa tehnik
operasi yang dapat menjadi pilihan yaitu :
1. Bare sclera : tidak ada jahitan atau jahitan, benang absorbable digunakan
untuk melekatkan konjungtiva ke sklera di depan insersi tendon rektus.
Meninggalkan suatu daerah sklera yang terbuka.

2. Simple closure : tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika
hanya defek konjungtiva sangat kecil).

3. Sliding flaps : suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap
konjungtiva digeser untuk menutupi defek.

4. Rotational flap : insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk lidah
konjungtiva yang dirotasi pada tempatnya.

5. Conjunctival graft : suatu free graft biasanya dari konjungtiva superior,


dieksisi sesuai dengan besar luka dan kemudian dipindahkan dan dijahit.

6. Amnion membrane transplantation : mengurangi frekuensi rekuren pterygium,


mengurangi fibrosis atau skar pada permukaan bola mata dan penelitian baru
mengungkapkan menekan TGF-β pada konjungtiva dan fibroblast pterygium.
Pemberian mytomicin C dan beta irradiation dapat diberikan untuk
mengurangi rekuren tetapi jarang digunakan.
7. Lamellar keratoplasty, excimer laser phototherapeutic keratectomy dan terapi
baru dengan menggunakan gabungan angiostatik dan steroid.

j. Komplikasi
Fisher (2013), komplikasi pterigium antara lain :

1. Distrorsi dan penglihatan sentral berkurang

2. Mata merah

3. Iritasi

4. Scar (parut) kronis pada konjungtiva dan kornea

5. Pada pasien yang belum eksisi,scarpada otot rectus medial yang dapat
menyebabkan diplopia .

Komplikasi setelah eksisi pterigium adalah:

1. Infeksi,reaksi bahan jahitan (benang),diplopia,scar kornea,konjungtiva


graft longgar,dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata,
vitreous hemmorage atau retinal detachment.

2. Penggunaan mytomicin C setelah operasi dapat menyebabkan ektasis pada


sklera dan kornea.

3. Kekambuhan berulang

Komplikasi jangka panjang setelah operasi pterigium, yaitu:

1. Penipisan kornea atau sklera dapat terjadi bahkan puluhan tahun setelah
operasi. Penatalaksanaan kasus ini sangat sulit.

2. Beberapa kasus ,penggunaan mitomycin C (MMC topikal) sebagai terapi


tambahan dan setelah operasi pterigium menyebabkan kelainan seperti
mencairnya sklera dan atau kornea.

Komplikasi yang paling umum dari pterigium adalah kekambuhan setelah


operasi. Eksisi bedah sederhana memiliki tingkat kekambuhan tinggi sekitar 50-
80%. Tingkat kekambuhan telah dikurangi menjadi sekitar 5-15% dengan
penggunaan autograf konjungtiva atau lumbal atau transplantasi membran pada
saat eksisi.

k. Prognosis

Penglihatan dan kosmetik setelah dieksisi adalah baik (Zaki, 2011). Rasa
tidak nyaman pada hari pertama setelah operasi dapat ditoleransi, kebanyakan
pasien setelah 48 jam setelah operasi dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan
pterigium berulang dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva
autograft atau transplantasi membran amnion. Sebaiknya dilakukan penyinaran
dengan strontium yang mengeluarkan sinar beta, dan apabila residif maka dapat
dilakukan pembedahan untuk mencegah kekambuhan pterigium (sekitar 50-80%).
Beberapa kasus pterigium dapat berkembang menjadi degenerasi ke arah
keganasan jaringan epitel (Solomon,2006).

l. Pencegahan

Pasien dengan risiko tinggi timbulnya pterigium seperti riwayat keluarga


mengalami pterigium atau penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah
seperti petani yang banyak kontak dengan debu dan UV disarankan memakai topi
yang memiliki pinggiran, dan menggunakan kacamata sunblock dan mengurangi
terpapar dengan sinar matahari (Zaki, 2011).

2.5.4 Perdarahan subkonjungtiva


a. Definisi
Perdarahan subkonjungtiva adalah perdarahan akibat rapuhnya pembuluh darah
konjungtiva. Darah terdapat di antara konjungtiva dan sklera, sehingga mata akan mendadak
terlihat merah dan biasanya mengkhawatirkan bagi pasien (Vaughan, 2010).

Gambar 2.11. Perdarahan Subkonjungtiva

b. Epidemiologi
Perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi di semua kelompok umur, namun hal ini dapat
meningkat kejadiannya sesuai dengan pertambahan umur (Graham, 2009) . Penelitian
epidemiologi di Kongo rata-rata usia yang mengalami perdarahan subkonjungtiva adalah usia 30
tahun (Kaimbo, 2012). Perdarahan subkonjungtiva sebagian besar terjadi unilateral (90%).
Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan tidak ditemukan hubungan yang jelas dengan
suatu kondisi keadaan tertentu (64.3%). Kondisi hipertensi memiliki hubungan yang cukup
tinggi dengan angka terjadinya perdarahan subkonjungtiva (14,3%). Kondisi lainnya namun
jarang adalah muntah, bersin,malaria, penyakit sickle cell dan melahirkan.
c. Gejala klinis
Sebagian besar tidak ada gejala simptomatis yang berhubungan dengan perdarahan
subkonjungtiva selain terlihat darah pada bagian sklera (American Academy. 2009)
a. Sangat jarang mengalami nyeri ketika terjadi perdarahan subkonjungtiva pada
permulaan. Ketika perdarahan terjadi pertama kali, akan terasa tidak nyaman, terasa ada
yang mengganjal dan penuh di mata.
b. Tampak adanya perdarahan di sklera dengan warna merah terang (tipis) atau merah tua
(tebal).
c. Tidak ada tanda peradangan atau biasanya peradangan yang ringan.
d. Perdarahan akan terlihat meluas dalam 24 jam pertama setelah itu berkurang perlahan
ukurannya karena diabsorpsi

d. Patofisiologi
Konjungtiva adalah selaput tipis transparan yang melapisi bagian putih dari bola mata
(sklera) dan bagian dalam kelopak mata. Konjungtiva merupakan lapisan pelindung terluar dari
bola mata. Konjungtiva mengandung serabut saraf dan sejumlah besar pembuluh darah yang
halus. Pembuluh-pembuluh darah ini umumnya tidak terlihat secara kasat mata kecuali bila mata
mengalami peradangan. Pembuluh-pembuluh darah di konjungtiva cukup rapuh dan dindingnya
mudah pecah sehingga mengakibatkan terjadinya perdarahan subkonjungtiva. Perdarahan
subkonjungtiva tampak berupa bercak berwarna merah terang di sklera.
Struktur konjungtiva halus, sedikit darah dapat menyebar secara difus di jaringan ikat
subkonjungtiva dan menyebabkan eritema difus, yang biasanya memiliki intensitas yang sama
dan menyembunyikan pembuluh darah. Konjungtiva yang lebih rendah lebih sering terkena
daripada bagian atas. Pendarahan berkembang secara akut, dan biasanya menyebabkan
kekhawatiran, meskipun sebenarnya tidak berbahaya. Apabila tidak ada kondisi trauma mata
terkait, ketajaman visual tidak berubah karena perdarahan terjadi murni secara ekstraokulaer, dan
tidak disertai rasa sakit (Graham, 2009).
Secara klinis, perdarahan subkonjungtiva tampak sebagai perdarahan yang datar,
berwarna merah, di bawah konjungtiva dan dapat menjadi cukup berat sehingga menyebabkan
kemotik kantung darah yang berat dan menonjol di atas tepi kelopak mata. Perdarahan
subkonjungtiva dapat terjadi secara spontan, akibat trauma, ataupun infeksi. Perdarahan dapat
berasal dari pembuluh darah konjungtiva atau episklera yang bermuara ke ruang subkonjungtiva.
Berdasarkan mekanismenya, perdarahan subkonjungtiva dibagi menjadi dua,yaitu :
1. Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan
Terjadi secara tiba-tiba (spontan), perdarahan tipe ini diakibatkan oleh menurunnya
fungsi endotel sehingga pembuluh darah rapuh dan mudah pecah. Keadaan yang dapat
menyebabkan pembuluh darah menjadi rapuh adalah umur, hipertensi, arterisklerosis,
konjungtivitis hemoragik, anemia, pemakaian antikoagulan dan batuk rejan. Perdarahan
subkonjungtiva tipe spontan ini biasanya terjadi unilateral. Namun pada keadaan
tertentu dapat menjadi bilateral atau kambuh kembali; untuk kasus seperti ini
kemungkinan diskrasia darah (gangguan hemolitik) harus disingkirkan terlebih dahulu.

2. Perdarahan subkonjungtiva tipe traumatik


Pasien sebelumnya mengalami trauma di mata langsung atau tidak langsung yang
mengenai kepala daerah orbita. Perdarahan yang terjadi kadang-kadang menutupi
perforasi jaringan bola mata yang terjadi.

e. Etiologi
1. Idiopatik
2. Manuver Valsalva (seperti batuk, tegang, muntah-muntah, bersin)
3. Traumatik (terpisah atau berhubungan dengan perdarahan retrobulbar atau ruptur bola
mata)
4. Hipertensi
5. Gangguan perdarahan (jika terjadi berulang pada pasien usia muda tanpa adanya
riwayat trauma atau infeksi), termasuk penyakit hati atau hematologik, diabetes, SLE,
parasit dan defisisensi vitamin C.
6. Berbagai antibiotik, obat NSAID, steroid, kontrasepsi dan vitamin A dan D yang telah
mempunyai hubungan dengan terjadinya perdarahan subkonjungtiva, penggunaan
warfarin
7. Sequele normal pada operasi mata sekalipun tidak terdapat insisi padakonjungtiva.
8. Beberapa infeksi sistemik febril dapat menyebabkan perdarahan subkonjungtiva,
termasuk septikemia meningokok, demam scarlet, demamtifoid, kolera, riketsia,
malaria, dan virus (influenza, smallpox, measles, yellow fever, sandfly fever).
9. Perdarahan subkonjungtiva telah dilaporkan merupakan akibat emboli dari patahan
tulang panjang, kompresi dada, angiografi jantung, operasi bedah jantung.
10. Penggunaan lensa kontak, faktor resiko mayor perdarahan subkonjungtiva yang
diinduksi oleh penggunaan lensa kontak adalah konjungtiva khalasis dan pigeucula.
11. Konjungtivo khalasis merupakan salah satu faktor resiko yang memainkan peranan
penting pada patomekanisme terjadinya perdarahan subkonjungtiva.

f. Diagnosis
Diagnosis dibuat secara klinis dan anamnesis tentang riwayat adanya trauma, trauma
dari bola mata atau orbita harus disingkirkan. Apabila perdarahan subkonjungtiva idiopatik
terjadi untuk pertama kalinya, langkah-langkah diagnostik lebih lanjut biasanya tidak diperlukan.
Dalam kejadian kekambuhan, hipertensi arteri dan kelainan koagulasi harus disingkirkan
Pemeriksaan fisik bisa dilakukan dengan memberi tetes mata proparacaine (topikal
anestesi) jika pasien tidak dapat membuka mata karena sakit dan curiga etiologi lain jika nyeri
terasa berat atau terdapat fotofobia (Chern, 2002).
Memeriksa ketajaman visual juga diperlukan, terutama pada perdarahan subkonjungtiva
traumatik. Salah satu studi mengenai perdarahan subkonjungtiva traumatik dan hubungannya
dengan luka / injuri lainnya oleh Lima dan Morales dirumah sakit Juarez Meksiko tahun 1996-
2000 menyimpulkan bahwa sejumlah pasien dengan perdarahan subkonjungtiva disertai dengan
trauma lainnya (selain pada konjungtiva), ketajaman visus < 6/6 meningkat dengan adanya
kerusakan pada selain konjungtiva. Maka dari itu pemeriksaan ketajaman visus merupakan hal
yang wajib pada setiap trauma di mata sekalipun hanya didapat perdarahan subkonjungtiva tanpa
ada trauma organ mata lainnya (Graham, 2009).
Selanjutnya, periksa reaktivitas pupil dan mencari apakah ada defek pupil, lakukan
pemeriksaan dengan slit lamp. Curigai ruptur bola mata jikaperdarahan subkonjungtiva terjadi
penuh pada 360°. Jika pasien memiliki riwayat perdarahan subkonjungtiva berulang,
pertimbangkan untuk memeriksa waktu pendarahan, waktu prothrombin, parsial tromboplastin,
dan hitung darah lengkapdengan jumlah trombosit (Chern, 2002).
g. Diagnosa banding
1. Konjungtivitis, hal ini dikarenakan memiliki kesamaan pada klinisnya yaitu mata
merah.
2. Konjungtivitis hemoragik akut.
3. Sarcoma kaposi
h. Penatalaksanaan
Perdarahan subkonjungtiva biasanya tidak memerlukan pengobatan. Pengobatan dini
pada perdarahan subkonjungtiva ialah dengan kompres dingin. Perdarahan subkonjungtiva akan
hilang atau diabsorpsi dalam 1- 2 minggu tanpa diobati (Ilyas, 2015)
Pada bentuk-bentuk berat yang menyebabkan kelainan dari kornea, dapat dilakukan
sayatan dari konjungtiva untuk drainase dari perdarahan. Pemberian airmata buatan juga dapat
membantu pada pasien yang simtomatis. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dicari penyebab
utamanya, kemudian terapi dilakukan sesuai dengan penyebabnya. Tetapi untuk mencegah
perdarahan yang semakin meluas beberapa dokter memberikan vasacon (vasokonstriktor) dan
multivitamin. Air mata buatan untuk iritasi ringan dan mengobati faktor risikonya untuk
mencegah risikoperdarahan berulang (Rifki, 2010).
Perdarahan subkonjungtiva harus segera dirujuk ke spesialis mata jikaditemukan kondisi
berikut ini :
1. Nyeri yang berhubungan dengan perdarahan.
2. Terdapat perubahan penglihatan (pandangan kabur, ganda atau kesulitan untuk melihat)
3. Terdapat riwayat gangguan perdarahan
4. Riwayat hipertensi
5. Riwayat trauma pada mata

i. Komplikasi
Perdarahan subkonjungtiva akan diabsorpsi sendiri oleh tubuh dalam waktu 1-2
minggu, sehingga tidak ada komplikasi serius yang terjadi. Namun adanya perdarahan
subkonjungtiva harus segera dirujuk ke dokter spesialis mata jika ditemuiberbagai hal seperti
yang telah disebutkan diatas (Ilyas, 2015).
Perdarahan subkonjungtiva yang sifatnya menetap atau berulang (kambuhan) harus
dipikirkan keadaan lain. Penelitian yang dilakukan oleh Hicks D dan Mick A mengenai
perdarahan subkonjungtiva yang menetap atau mengalamikekambuhan didapatkan kesimpulan
bahwa perdarahan subkonjungtiva yang menetapmerupakan gejala awal dari limfoma adneksa
okuler (Graham, 2009).

j. Prognosis
Secara umum prognosis dari perdarahan subkonjungtiva adalah baik. Karena sifatnya
yang dapat diabsorpsi sendiri oleh tubuh. Namun untuk keadaan tertentu seperti sering
mengalami kekambuhan, persisten atau disertai gangguan pandangan maka dianjurkan untuk
dievaluasi lebih lanjut lagi (Ilyas, 2015 & Graham, 2009).

2.5.5 Dry Eye Syndrom (Keratokonjungtivitis Sicca)


a. Definisi
Dry Eye Syndrome (Keratoconjunctivitis sicca) dari bahasa Latin yang
berarti "kekeringan kornea dan konjungtiva" adalah penyakit mata dimana jumlah
atau kualitas produksi air mata berkurang atau penguapan air mata film meningkat
(Vaughan, 2010). Dry Eye Syndrome sebagai penyakit multifaktorial pada lapisan
air mata dan permukaan mata dengan gejala ketidaknyamanan, gangguan
ketajaman mata, dan ketidakstabilan lapisan air mata dengan kerusakan potensial
pada permukaan mata. Kondisi tersebut disertai dengan hiperosmolaritas pada
lapisan air mata dan inflamasi pada permukaan mata (Perry, 2008).
b. Epidemiologi
Mata kering merupakan salah satu gangguan yang sering pada mata,
presentase insidensinya sekitar 10-30% dari populasi, terutama pada orang yang
usianya lebih dari 40 tahun dan 90% terjadi pada wanita. Frekuensi insidensi
sindrom mata kering lebih banyak terjadi pada ras Hispanic dan Asia
dibandingkan dengan ras kaukasius (Ilyas, 2015).

c. Etiologi
Banyak diantara penyebab sindrom mata kering mempengaruhi lebih dari
satu komponen film air mata atau berakibat perubahan permukaan mata yang
secara sekunder menyebabkan film air mata menjadi tidak stabil. Ciri
histopatologik termasuk timbulnya bintik-bintik kering pada kornea dan epitel
konjungtiva, pembentukan filamen, hilangnya sel goblet konjungtiva, pembesaran
abnormal sel epitel non-goblet, peningkatan stratifikasi sel, dan penambahan
keratinasi (Vaughan, 2010 & Skuta, 2011).
d. Faktor risiko
Faktor-faktor yang dapat memicu terhadap resiko terjadinya dry eye baik
pada wanita maupun pria dan beberapa diantaranya tidak dapat dihindari adalah
(Asyari Fatma, 2007) :
1. Usia lanjut, Dry eye dialami oleh hampir semua penderita usia lanjut, 75%
di atas 65 tahun baik laki maupun perempuan.
2. Hormonal yang lebih sering dialami oleh wanita seperti saat kehamilan,
menyusui, pemakaian obat kontrasepsi, dan menopause.
3. Beberapa penyakit seringkali dihubungkan dengan dry eye seperti: artritis
rematik, diabetes, kelainan tiroid, asma, lupus erythematosus, pemphigus,
Stevens-johnsons syndrome, Sjogren syndrome, scleroderma, polyarteritis
nodosa, sarcoidosis, Mickulick.s syndrome.
4. Obat-obatan dapat menurunkan produksi air mata seperti antidepresan,
dekongestan, antihistamin, antihipertensi, kontrasepsi oral, diuretik, obat-
obat tukak lambung, tranquilizers, beta bloker, antimuskarinik, anestesi
umum.
5. Pemakai lensa kontak mata terutama lensa kontak lunak yang mengandung
kadar air tinggi akan menyerap air mata sehingga mata terasa perih, iritasi,
nyeri, menimbulkan rasa tidak nyaman/intoleransi saat menggunakan lensa
kontak, dan menimbulkan deposit protein.
6. Faktor lingkungan seperti, udara panas dan kering, asap, polusi udara,
angin, berada diruang ber-AC terus menerus akan meningkatkan evaporasi
air mata.
7. Mata yang menatap secara terus menerus sehingga lupa berkedip seperti
saat membaca, menjahit, menatap monitor TV, komputer, ponsel
8. Pasien yang telah menjalani operasi refraktif seperti Photorefractive
keratectomy (PRK), laser-assited in situ keratomileusis (LASIK) akan
mengalami dry eye untuk sementara waktu.
e. Klasifikasi

Gambar 2.12. Klasifikasi Dry Eye Berdasarkan National Eye Institute /Industry
Workshop (Lemp et al., 2007)

Berdasarkan National Eye Institute / Industry Workshop pada tahun 1995


dry eye syndrome diklasifikasikan menjadi dua yaitu Aqueous Deficient Dry Eye
(ADDE) dan Evaporative Dry Eye (EDE). Pada ADDE terjadi gangguan fungsi
lakrimal sehingga mengakibatkan suatu pengurangan arus dan volume cairan
mata. Pada kondisi ini air mata memiliki komposisi tertentu sehingga
menyebabkan terjadi penguapan dengan cepat. Pada pasien dry eye syndrome
hanya ditemukan 10% yang mengalami ADDE, 35% mengalami EDE sedangkan
sisanya adalah campuran atau termasuk golongan yang tidak dikenali (Lemp et
al., 2012).

f. Gejala klinis
Pasien dengan mata kering paling sering mengeluh tentang sensasi gatal
atau berpasir (benda asing). Gejala umum lainnya adalah gatal, sekresi mukus
berlebihan, tidak mampu menghasilkan air mata, sensasi terbakar, fotosensitivitas,
merah, sakit, dan sulit menggerakkan palpebra (Skuta, 2011). Pada kebanyakan
pasien, ciri paling luar biasa pada pemeriksaan mata adalah tampilan yang nyata-
nyata normal. Ciri yang paling khas pada pemeriksaan slitlamp adalah terputus
atau tiadanya meniskus air mata di tepian palpebra inferior. Benang-benang
mucus kental kekuning-kuningan kadang-kadang terlihat dalam fornix
konjungtiva inferior. Pada konjungtiva bulbi tidak tampak kilauan yang normal
dan mungkin menebal, beredema dan hiperemik (Vaughan, 2010)
Epitel kornea terlihat bertitik halus pada fissura interpalpebra. Sel-sel
epitel konjungtiva dan kornea yang rusak dapat dilihat dengan bengal rose 1% dan
defek pada epitel kornea dapat dilihat dengan fluorescein. Pada tahap lanjut Dry
Eye Syndrome tampak filamen-filamen dimana satu ujung setiap filamen melekat
pada epitel kornea dan ujung lain bergerak bebas. Pada pasien dengan sindrom
sjorgen, kerokan dari konjungtiva menunjukkan peningkatan jumlah sel goblet.
Pembesaran kelenjar lakrimal kadang-kadang terjadi pada sindrom sjorgen.
g. Diagnosis
Dry eye syndrome didiagnosis dengan gejala klinis, anamnesis yang
lengkap tentang keluhan pasien, usia, pekerjaan, penyakit serta pemakaian obat-
obatan yang mungkin dapat menjadi penyebab. Pemeriksaan klinis segmen
anterior mata termasuk kelopak, sistem lakrimal, konjungtiva, epitel kornea, serta
tekanan intraokuler. Pemeriksaan khusus lainnya penting dilakukan untuk menilai
fungsi air mata secara kualitas maupun kuantitas seperti (Asyari Fatma, 2007):
1. Tes Schirmer
Tes ini dilakukan dengan mengeringkan film air mata dan memasukkan
strip Schirmer (kertas saring Whatman No. 41) kedalam konjungtiva inferior pada
batas sepertiga tengah dan temporal dari palpebra inferior. Bagian basah yang
terpapar diukur 5 menit setelah dimasukkan. Panjang bagian basah kurang dari 10
mm tanpa anestesi dianggap abnormal.
Bila dilakukan tanpa anestesi, tes ini mengukur fungsi kelenjar lakrimal
utama, yang aktivitas sekresinya dirangsang oleh iritasi kertas saring itu. Tes
Schirmer yang dilakukan setelah anestesi topikal (tetracaine 0.5%) mengukur
fungsi kelenjar lakrimal tambahan (pensekresi basa). Kurang dari 5 mm dalam 5
menit adalah abnormal.
Tes Schirmer adalah tes saringan bagi penilaian produksi air mata.
Dijumpai hasil false positive dan false negative. Hasil rendah kadang-kadang
dijumpai pada orang normal, dan tes normal dijumpai pada mata kering terutama
yang sekunder terhadap defisiensi musin (Vaughan, 2010 & Plugfelder, 2014).

Gambar 2.13. Test schirmer

2. Tear film break-up time


Pengukuran tear film break-up time kadang-kadang berguna untuk
memperkirakan kandungan musin dalam cairan air mata. Kekurangan musin
mungkin tidak mempengaruhi tes Schirmer namun dapat berakibat tidak stabilnya
film air mata. Ini yang menyebabkan lapisan itu mudah pecah. Bintik-bintik
kering terbentuk dalam film air mata, sehingga memaparkan epitel kornea atau
konjungtiva. Proses ini pada akhirnya merusak sel-sel epitel, yang dapat dipulas
dengan bengal rose. Sel-sel epitel yang rusak dilepaskan kornea, meninggalkan
daerah-daerah kecil yang dapat dipulas, bila permukaan kornea dibasahi
flourescein.
Tear film break-up time dapat diukur dengan meletakkan secarik keras
berflourescein pada konjungtiva bulbi dan meminta pasien berkedip. Film air
mata kemudian diperiksa dengan bantuan saringan cobalt pada slitlamp,
sementara pasien diminta agar tidak berkedip. Waktu sampai munculnya titik-titik
kering yang pertama dalam lapisan flourescein kornea adalah tear film break-up
time. Biasanya waktu ini lebih dari 15 detik, namun akan berkurang nyata oleh
anestetika lokal, memanipulasi mata, atau dengan menahan palpebra agar tetap
terbuka. Waktu ini lebih pendek pada mata dengan defisiensi air pada air mata dan
selalu lebih pendek dari normalnya pada mata dengan defisiensi musin (Vaughan,
2010 & Plugfelder, 2014).

Gambar 2.14. Indeks perlindungan okular

3. Sitologi Impresi
Sitologi impresi adalah cara menghitung densitas sel goblet pada
permukaan konjungtiva. Pada orang normal, populasi sel goblet paling tinggi di
kuadran infra-nasal. Hilangnya sel goblet ditemukan pada kasus
keratokonjungtivitis sicca, trachoma, pemphigoid mata sikatriks, sindrom stevens
johnson, dan avitaminosis A (Vaughan, 2010 & Plugfelder, 2014).

4. Pemulasan Flourescein
Menyentuh konjungtiva dengan secarik kertas kering berflourescein adalah
indikator baik untuk derajat basahnya mata, dan meniskus air mata mudah terlihat.
Flourescein akan memulas daerah-daerah tererosi dan terluka selain defek
mikroskopik pada epitel kornea (Vaughan, 2010 & Plugfelder, 2014).
Gambar 2.15. Pemulasan fluorescein

Pewarnaan fluoresein dari kornea dibagi menjadi tingkat 0 sampai 3


berdasarkan densitas pewarnaan fluoresein. Untuk grading yang lebih spesifik,
konea dapat dibagi menjadi lima area dan grading dilakukan untuk setiap area
(Chou, 2013).
h. Tatalaksana
Tabel 2.1. Kategori terapi dry eye syndrome berdasarkan International Dry Eye
(Coleman et al., 2013)
Macam terapi Perlakuan
-Edukasi dan modifikasi lingkungan
Lingkungan/eksogen -Mengeliminasi efek pengobatan topikal atau sistemik

-Air mata buatan (artificial tears), gel/salep


-Antiinflamasi (siklosporin dan kortikosteroid topikal)
Pengobatan topical -Agen mukolitik
-Serum autologous

-Asam lemak omega 3 (dapat meningkatkan resiko kanker prostat pada


laki-laki)
Pengobatan sistemik -Tetrasiklin (untuk disfungsi kelenjarmeimomian, rosacea)
-Antiinflamasi sistemik
-Secretagogues
-Pemasangan sumbat punktum
-Pemasangan sumbat punktum secara permanen
Pembedahan -Penjahitan sepertiga kelopak mata (tarsorafi)
-Perbaikan posisi kelopak mata
-Selaput lendir, kelenjar saliva dan pencangkokan selaput amniotic
-Terapi pada kelopak mata (kompres air hangat)
Lainnya -Kontak lensa
-Kacamata moisture chamber
Tabel 2.2 Terapi dry eye sindrom :

Tindakan bedah pada mata kering adalah pemasangan sumbatan pada


punktum yang bersifat temporer (kolagen) atau untuk waktu lebih lama (silikon),
untuk menahan sekret air mata. Penutupan puncta dan kanalikuli secara permanen
dapat dilakukan dengn terapi themal (panas), kauter listrik atau dengan laser
(Vaughan, 2010 & Skuta, 2011). Cara kedua yaitu dengan menggunakan salivary
gland autotransplantation atau transplantasi kelenjar saliva, yaitu dengan cara
memindahkan kelenjar saliva yang berada pada bibir bawah dan menanamnya di
dekat mata, kelenjar saliva akan berfungsi sebagai pengganti air mata (Chou,
2013).
i. Prognosis
Secara umum, prognosis untuk ketajaman visual pada pasien dengan
sindrom mata kering baik (Vaughan, 2010).
j. Komplikasi
Pada awal perjalanan dry eye, penglihatan sedikit terganggu. Pada kasus
lanjut, dapat timbul ulkus kornea, penipisan kornea, dan perforasi. Kadang-
kadang terjadi infeksi bakteri sekunder, dan berakibat parut dan vaskularisasi pada
kornea, yang dapat menurunkan penglihatan. Terapi dini dapat mencegah
komplikasi-komplikasi ini (Vaughan, 2010; Skuta 2011 & Paulsen, 2014).

2.5.6 Pingeukula
a. Definisi
Pinguekula merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan
pada orang tua, terutama yang matanya sering mendapat rangsangan matahari,
debu, dan angin panas. Letak bercak ini pada celah kelopak mata terutama di
bagian nasal (Ilyas, 2015).
Pinguekula merupakan degenerasi hialin jaringan submukosa konjungtiva.
Pembuluh darah tidak masuk ke dalam pinguekula akan tetapi bila meradang akan
terjadi iritasi, maka akan terlihat pembuluh darah melebar. Pinguekula tidak perlu
diberikan pengobatan, akan tetapi bila terlihat adanta tanda radang (pinguekulitis),
dapat diberikan obat anti radang (Ilyas, 2015).

Gambar 2.16. Pingeukula

b. Epidemiologi
Pinguekula tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di
daerah iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah
berdebu dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat
ekuator, yakni daerah yang terletak kurang 37 o Lintang Utara dan Selatan
dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22% di daerah dekat ekuator dan
<2% pada daerah yang terletak diatas 40 o lintang. Insiden Pinguekula
cukup tinggi di Indonedia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%
(Chui & Coroneo, 2011). Pasien <15 tahun jarang terjadi Pinguekula.
Prevalensi Pinguekula meningkat dengan umur, terutama dekade ke -2
dan ke-3 dari kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49.
Kejadian berulang (rekuren) lebih sering pada um ur muda daripada
umur tua. Laki-laki 4 kali lebih beresiko dari perempuan dan
berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah , riwayat terpapar
lingkungan di luar rumah (Raju & Chandra, 2008; Chui & Coroneo, 2011)
c. Etiologi dan faktor risiko
Penyebab pasti terjadinya pinguekula tidak diketahui. Namun
terdapat beberapa faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya pinguekula. Faktor
risiko yang mempengaruhi pinguekula adalah lingkungan yakni radiasi
unltraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor
herediter (Chui & Coroneo, 2011)
i. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya
pinguekula adalah terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsrobsi
kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel. Letak lintang, waktu
di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga merupakan faktor
penting (Sharma, Wali & Pandita, 2004; Jharmarlawa & Jhaveri, 2008).
ii. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan
pinguekula dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan
riwayat keluarga dengan pinguekula, kemungkinan diturunkan
autosom dominan.
iii. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya
limbal defisiensi dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari
pinguekula. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan
partikel tertentu , dry eye juga dapat menyebabkan pinguekula (Ilyas,
2015; Raju & Chandra, 2008)
d. Patofisiologi
Lesi degeneratif dari konjungtiva bulbar ini terjadi sebag ai hasil
dari radiasi sinar ultraviolet (UV), namun sering juga dihubungkan
dengan iritasi benda iritan seperti debu. Sel epithelium yang melapisi
pinguekula dapat saja normal, menipis, atau menebal. Sementara kalsifikasi jarang
terjadi (Jharmarlawa & Jhaveri, 2008).
Pinguekula biasanya terjadi secara bilateral, karena kedua mata
mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu
dan kekeringan (Jharmarlawa & Jhaveri, 2008). Daerah nasal konjungtiva relatif
mendapat sinar ultra violet yang lebih banyak dibandingkan dengan konjungtiva
yang lain, karena disamping kontak langsung, juga dari pantulan hidung. Hal ini
mengakibatkan pinguekula lebih sering terjadi pada daerah nasal konjungtiva
(Jharmarlawa & Jhaveri, 2008; Raju & Chandra, 2008)
Pinguekula dianggap terjadi akibat degenerasi atau degradasi serat kolagen
dalam konjungtiva. Degenerasi konjungtiva menciptakan deposit
dan pembengkakan jaringan yang biasanya akan datar. Pinguekula lebih umum
terjadi pada orang paruh baya atau lebih tua.Hal ini karena seiring
bertambahnya usia, kelenjar lakrimalis mulai menurun fungsinya untuk
membasahi mata sehingga mata cenderung kering dan tidak terlindungi.
Namun, mereka bisa muncul lebih awal jika seseorang di bawah sinar
matahari sangat sering. Pinguekula mungkin bertambah parah dari waktu ke
waktu dan tumbuh lebih besar terutama jika perlindungan terhadap matahari tidak
digunakan.
e. Gejala klinis
Pinguekula sering bermanifestasi di dekat limbus pada zona interpapebral,
paling sering daerah nasal, berupa penonjolan putih kekuningan, deposit
subepithelial yang amorf. Pinguekula dapat membesar secara bertahap
dalam periode waktu yang lama. Inflamasi berulang dan iritasi okuli mungkin
dijumpai.
f. Diagnosa
Diagnosa pinguekula dapat dilakukan dengan obser vasi eksternal,
secara umum menggunkan instrumen yang disebut slit lamp. Slit lamp adalah
sebuah mikroskop dengan sumber cahaya dan dapat memperjelas
struktur mata bagi pemeriksa. Pinguekula dapat saja terlihat seperti
pertumbuhan jaringan mata yang serius.
Secara histopatologi, jaringan kolagen subepitelial menjadi berfragmen,
bergelombang, dan lebih basofilik dengan pewarnaan hematoksilin-eosin.
Jaringan juga diwarnai dengan pewarna jaringan elastis dan bukan jaringan yang
tidak elastis. Jaringan ini biasanya tidak elastik terhadap terapi dengan elastase
yang tidak mencegah pewarnaan positif untuk elastin. Jenis degenerasi kolagen
ini, sebagaimana karakteristik pewarnaan pada jaringan elastis disebut elastoid
atau degenerasi elastotik atau secara sederhan a, elastosis.
g. Tatalaksana
Terapi lubrikasi untuk mencegah iritasi sering digunakan secara
klinis. Eksisi jaringan pinguekula hanya diindikasikan ketika
pinguekula mengganggu tampilan kosmetik atau lebih jauh pinguekula
tersebut menjadi meradang secara kronik. Penggunaan dari steriod
topikal dapat juga dipertimbangkan pada pasien dengan inflamasi
kronik.
Proses penyembuhan pasca operasi pengangkatan jaringan
pinguekula, walaupun tidak sakit, biasanya membutuhkan waktu yang
lama. Biasanya juga terdapat angka kekambuhan yang tinggi (50-60%) di
beberapa daerah. Sehingga operasi biasanya dihindari jika masalah yang timbul
akibat pinguekula tidak begitu signifikan.
h. Komplikasi
Komplikasi pinguekula termasuk: merah, iritasi, skar kronis pada
konjungtiva dan kornea, pada pasien yang belum eksisi, distorsi dan
penglihatan sentral berkurang, skar pada otot rektus medial yang dapat
menyebabkan diplopia.
Komplikasi sewaktu operasi antara lain perforasi korneosklera, graft
oedem, graft hemorrhage, graft retraksi, jahitan longgar, korneoskleral dellen,
granuloma konjungtiva, epithelial inclusion cysts, skar konjungtiva, skar kornea
dan astigmatisma, disinsersi ototrektus. Komplikasi yang terbanyak adalah
rekuren pinguekula post operasi.
Beberapa metode telah digunakan untuk mengurangi kekambuhan pasca
operasi. Satu metode yang dapat dipetimbangkan adalah radiasi beta. Walaupun
metode ini efektif pada pertumbuhan ulang pnguekula yang lambat, metode ini
dapat menimbulkan katark. Metode yang aman digunakan adalah penggunaan
agen antikanker topikal yakni mitomycin-C.
i. Prognosis
Biasanya pinguekula tumbuh secara lambat dan jarang sekali
menyebabkan kerusakan yang signifikan sehingga prognosis terbilang baik.

2.5.7 Oftalmia Neonatorum


a. Definisi
Oftalmia neonatorum (ON) atau konjungtivitis gonokokal neonatal adalah
infeksi konjungtiva akibat Neisseria gonorrhoeae yang terjadi akut pada 4 minggu
pertama kehidupan (Matejeek, 2013).
b. Epidemiologi
Kejadian konjungtivitis gonokokal neonatal yaitu 0,3% hingga 10% tiap
tahun. Prevalensi infeksi menular seksual mempengaruhi kejadian konjungtivitis
gonokokal neonatal. Tidak adanya profilaksis yang memadai meningkatkan 30%
hingga 40% ON gonokokal dengan persalinan per vaginam oleh ibu yang
terinfeksi (Matejeek, 2013).
Di seluruh dunia, insidensi oftalmia neonatorum tinggi di daerah-daerah
dengan kejadian penyakit menular seksual yang juga tinggi. Insiden berkisar dari
0,1% di negara-negara yang maju dengan perawatan prenatal yang efektif,
sedangkan berkisar 10% di daerah seperti Afrika Timur. Pada abad ke-19 kejadian
ofthalmia neonatorum telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan di bangsal
bersalin tidak hanya dari Eropa, tetapi juga di Kanada. Dampak paling buruk yaitu
kebutaan dari infeksi mata karena penyakit ini. Tingkat oftalmia neonatorum
bervariasi di berbagai belahan dunia. Dalam satu rumah sakit di Pakistan, kejadian
oftalmia neonatorum di laporkan sekitar 17%. Insiden oftalmia neonatorum di
Amerika berkisar antara 1-2%, tergantung pada karakter sosial ekonomi daerah.
Epidemiologi oftalmia neonatorum berubah ketika larutan AgNO3 diperkenalkan
pada tahun 1800-an untuk mencegah oftalmia gonokokal (American Academy of
Opthalmology, 2011 & Milot, 2008).
c. Etiologi
Klamidia adalah agen infeksi yang paling umum yang menyebabkan
oftalmia neonatorum di Amerika Serikat (40% oftalmia neonatorum disebabkan
oleh klamidia). Sebaliknya, kejadian oftalmia neonatorum oleh agen gonokokal
telah berkurang drastis dan menyebabkan kurang dari 1% kasus konjungtivitis
neonatal. Seperti di Amerika Serikat, kejadian oftalmia neonatorum di banyak
negara lain menurun setelah larutan AgNO3 mulai dipakai (McCourt, 2014).
Organisme biasanya menginfeksi bayi melalui kontak langsung selama
proses kelahiran. Infeksi diketahui naik ke uterus sehingga bayi yang dilahirkan
melalui seksio sesar juga dapat terinfeksi. Kemungkinan ini diperkuat oleh
kejadian ketuban pecah dini pada persalinan yang lama (American Academy of
Opthalmology, 2011).
Bentuk yang paling serius dari oftalmia neonatorum disebabkan oleh
Neisseria gonorrhoeae. Ciri khas dari bakteri ini dari pewarnaan gram adalah
bakteri diplokokus gram negatif, tidak bergerak, dengan diameter kira-kira 0,8
μm. Pada keadaan tidak berpasangan kokus bakteri berbentuk seperti ginjal, bila
berpasangan bagian yang datar atau cekung saling berdekatan (Brooks et all,
2010).
d. Gejala klinis
Pasien mengalami beberapa gejala seperti: mata merah, terdapat kotoran
mata kekuningan yang kental, kedua mata sulit membuka dan kelopak mata
bengkak. Selama kehamilan, ibu pasien mengalami keputihan terus menerus,
sedangkan ayah pasien pernah mengalami keluhan keluarnya cairan dari kelamin
dan sudah mendapat pengobatan. Pada oftalmia neonatorum akibat infeksi
gonokokal umumnya terjadi transmisi pada saat kelahiran dari ibu yang terinfeksi
oleh gonokokal. Hal tersebut mengakibatkan infeksi pada neonatal umumnya
mengenai bagian mata yang bermanifestasi keluarnya sekret kekuningan terus
menerus sehingga kelopak mata sulit dibuka (Rini & Yusran, 2017).
e. Patofisiologi
Oftalmia neonatorum terjadi akibat penyakit menular seksual yang dapat
ditularkan secara langsung dari transmisi genital-mata, kontak genital-tangan-
mata, atau tansmisi ibu-neonatus selama persalinan
Infeksi dapat terjadi dalam tiga cara, yaitu sebelum kelahiran, selama
kelahiran atau setelah lahir. Infeksi sangat jarang terjadi sebelum kelahiran.
Infeksi sebelum kelahiran dapat terjadi melalui cairan amnion pada ibu yang
mengalami rupture membran. Cara infeksi yang paling umum terjadi selama
kelahiran adalah infeksi dari jalan lahir yang terinfeksi, terutama ketika anak lahir
dengan presentasi wajah atau dengan bantuan forceps. Infeksi dapat terjadi
setelah kelahiran, yaitu Ketika bayi baru lahir terkena kotoran dari pakaian kotor
pasca persalinan atau terkena jari dengan lokia yang terinfeksi (Khurana, 2007).
Kejadian oftalmia neonatorum dapat disebabkan oleh agen infeksius
maupun non-infeksius. Penyebab infeksius seperti bakteri, klamidia dan virus,
sedangkan penyebab non-infeksius adalah bahan kimia yang biasanya diberikan
sebagai profilaksis mata pada bayi baru lahir (Gul, 2010).
f. Diagnosis
Studi laboratorium untuk konjungtivitis neonatal sangat penting untuk
penegakan diagnosis dan pengelolaan yang baik. Pemeriksaan kultur awal pada
agar coklat atau agar Thayer-Martin untuk Neisseria gonorrhoeae harus dilakukan,
serta kultur agar darah untuk bakteri lain. Pada Neisseria gonorrhoeae dalam 24
jam kultur akan didapat koloni mukoid cembung, mengkilat dan menonjol dengan
diameter 1-5 mm. Koloni dapat transaparan atau opak, tidak berpigmen dan tidak
hemolitik. Bila pada anak didapatkan gonokok (+), maka kedua orang tua harus
diperiksa. Jika pada orang tuanya ditemukan gonokok, maka harus segera diobati
(Brooks et all, 2010 & ).
g. Tatalaksana
Penatalaksanaan pada kasus oftalmia nenonatorum lebih difokuskan pada
pemberian profilaksis selalu lebih baik daripada pengobatan kuratif. Postnatal:
langkah-langkah nya meliputi: Penggunaan tetrasiklin topikal 1% atau eritromisin
topikal 0,5% atau perak nitrat 1% (metode Crede 's) ke dalam mata bayi segera
setelah kelahiran. Suntikan tunggal ceftriaxone 50 mg / kg IM atau IV (tidak
melebihi 125 mg) harus diberikan kepada bayi yang lahir dari ibu yang tidak
diobati (Khurana, 2007 & Lubis, 2010).
Pengobatan kuratif sebaiknya diberikan bila ada pemeriksaan sitologi dari
epitel konjungtiva ataupun kultur dari sekret konjungtiva sebelum memulai
perawatan. Oftalmia neonatorum yang disebabkan gonokokus membutuhan
pengobatan yang tepat untuk mencegah komplikasi. Terapi topikal harus
mencakup pemberian irigasi dengan larutan garam salin tiap jam sampai eksudat
dari konjungtiva bersih. Salep mata Bacitracin 4 kali / hari. Karena strain ini
resisten terhadap penisilin, terapi topikal dengan golongan ini tidak dapat
diandalkan. Jika terjadi keterlibatan kornea maka salep atropin sulfat harus
diberikan (Lubis, 2010).
Terapi sistemik pada neonatus dengan oftalmia gonokokal harus dirawat
selama 7 hari dengan pemberian antibiotik Ceftriaxone 75-100 mg / kg / hari
melalui intravena atau intramuskular, dibagi dalam 4 dosis. Atau Cefotaxime
100-150 mg / kg / hari melalui intravena atau intramuskular diberikan setiap 12
jam. Ciprofloxacin 10-20 mg / kg / hari atau Norfloxacin 10 mg/kg/hari diberikan
secara intravena. Jika isolat gonokokal yang terbukti rentan terhadap penisilin,
kristal benzyl penisilin G 50.000 unit untuk bayi cukup bulan dengan berat badan
normal dan 20.000 unit untuk bayi prematur atau bayi berat badan rendah harus
diberikan secara intramuskuler Dua kali sehari selama 3 hari (Lubis, 2010).
Sekret dibersihkan dengan kapas yang dibasahi air bersih (direbus) atau
dengan garam fisiologik setiap 15 menit. Pengobatan dihentikan bila pada
pemeriksaan mikroskopik yang dibuat setiap hari selama 3 kali berturut-turut ada
lah negatif (McAnenna, 2015).
h. Pencegahan
Pencegahan timbulnya oftalmia neonatorum yaitu dengan dilakukan
skrining dan terapi pada perempuan hamil dengan penyakit menular seksual
dengan pemberian silver nitrat 1%, 0,5% eritromisin salep, atau tetrasiklin 1%
pada bayi baru lahir (McAnenna, 2015).
BAB 3
KESIMPULAN

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang


membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Karena lokasinya, konjungtiva
terpajan oleh banyak mikroorganisme dan substansi-substansi dari lingkungan
luar yang mengganggu.
Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteria siliaris anterior dan arteria
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama dengan
banyak vena konjungtiva membentuk jaringan vaskular konjungtiva yang sangat
Banyak. Kelainan yang dapat terjadi pada konjungtiva yaitu apabila terjadi
pelebaran pembuluh darah diatas maka akan terjadi mata merah dapat ditemukan
injeksi konjungtiva atau injeksi siliar atau akibat pecahnya salah satu atau kedua
pembuluh darah diatas dan darah tertimbun di bawah jaringan konjungtiva
menyebabkan timbul perdarahan subkonjungtiva. Peradangan pada konjungtiva
disebut konjungtivitis. Konjungtivitis umumnya disebabkan oleh reaksi alergi,
infeksi bakteri dan virus, serta dapat bersifat akut atau menahun, serta penyakit
degeneratif yaitu pterigium atau pinguekula.
DAFTAR PUSTAKA
American Academy. 2009. Subconjunctival Haemorrhages . Amerika
Asyari Fatma. 2007. Dry Eye Syndrome (Sindroma Mata Kering). Volume 20
Number 4. Indonesia. Dexa Media. p. 162 – 166
American Academy of Opthalmology. Infectious and allergic ocular disease. San
fransisco: american academy of ophthalmology. Edisi ke-6. 2011. hlm.186-
7
Amadi, A. 2009. Common Ocular Problems in Aba Metropolis of Albia State,
Eastern Nigeria. Federal Medical Center Owerri.
American Academy of Ophthalmology. Retina and Vitreous, 2009-2010. Basic
and Clinical Science Course, San Fransisco. 207-9
American Academy of Opthalmology. (2010). Conjunctiva. Available from :
http://www.aao.org/preferred-practice-pattern/conjunctivitis-ppp--2013.
Diakses tanggal 17 September 2018
Asokan, N., 2007. Asthma and Immunology Care. Diplomate of American Board
of Allergy & Immunology and American Board of Pediatrics.
Asep Setya Rini & Muhammad Yusran.Oftalmia Neonatorum Et Causa Infeksi
Gonokokal Majority. Volume 6. Nomor 3. Juli 2017
Brooks GF, Carrol KC, Butel JS, Morse AS, Mietzener AT, editor. Mikrobiologi
kedokteran. Jakarta: EGC. 2010. hlm.280-82, 340-45, 412-3.
Chaerani Dian. (2006). Mata Merah Tidak Hanya Mengganggu Secara Pisik.
Available from: http://www.rumahzakat.org/english/detail.php?id=1954&
kd= A. Diakses tanggal 17 September 2018.
Chern, K. C. Emergency Ophthalmology: A Rapid Treatment Guide. 1st ed.2002.
McGraw-Hill, Massachusetts
Chou P, et al. (2013) Prevelence of dry eye among an elderly Chinese population
in Taiwan: the Shihpai Eye study. Opthalmology 110 : 1096-1101.
Chui J, Coroneo Tm, Et Al. Ophthalmic Pterigium A stem Cell Disorder With
Premalignant Features. The American Journal Of Pathology. 2011;178 (2):
817-27.
Cuvillo, A. 2009. Allergic Conjunctivitis and H1 Antihistamines. J investing
Allergol Clin Immunol 2009; Vol. 19. Suppl. 1: 11-18.
Efstathios T. Pathogenetic Mechanism and Treatment Options for Ophthalmic
Pterygium: Trends and Perspectives (Review). International Journal of
Melecular Medicine. 2009;13(2):1-10
Epidemiology of traumatic and spontaneous subconjunctival haemorrhages in
Congo/943iure.
Fisher JP. Pterygium.Follow Up. Diakses dari
http;//emedicine.medscape.com.2013:1-4
Graham, R. K. Subconjuntival Hemorrhage. 1st Edition. 2009. Medscape’s Continually
Updated Clinical Reference. Diakses tanggal 15 September 2018 ,dari
http://emedicine.medscape.com/article/1192122-overview
Gul SS. Ophtalmia neonatorum. Pakistan: Journal of the College of Physicians
and Surgeons. 2010; 20(1):25-8.
Gleadle, J., 2007. Sistem Penglihatan Dalam: Gleadle, J. (ed). Anamnesis dan
Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Hapsari, A ; Isgiantoro. (2014). Pemberian Pendidikan Kesehatan Mencuci
Tangan pada Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional
Vol. 8, No.8. Mei 2014. Available from:http://jurnalkesmas.
ui.ac.id/index.php/kesmas/article/view/406. Diakses tanggal 17 September
2018.
Hurwitz, S.A. 2009. Antibiotics Versus Placebo for Acute Bacterial
Conjunctivitis. The Cochrane Collaboration.
Ilyas Sidarta . Ilmu Penyakit Mata edisi kelima. 2015. Jakarta: FK UI.
Indriana N. Istiqomah, (2012). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Mata.
Jakarta : EGC.
Jerome PF. Pterygium. E-medicine Journal. 2011;12(4):1-3.
Junqueira LC, Carneiro J. 2007. Histologi Dasar. Edisi 10. Jakarta : EGC.
James, Brus, dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Erlangga. Jakarta. 2005.
Jatla, K.K., 2009. Neonatal Conjunctivitis. University of Colorado Denver Health
Science Center.
Kaimbo D, Kaimbo Wa. Epidemiology of traumatic and spontaneoussubconjunctival
haemorrhages in Congo. Congo. 2008. Diakses pada tanggal 15 September 2018, dari
http//pubmed.com/ .
Khurana AK. Disease of conjunctiva in comprehensive ophthalmology. Edisi ke-
4. New Delhi: New Age International Limited Publisher. 2007.hlm.71-3.
Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat [Tesis]. Medan;
Universitas Sumatera Utara; 2009
Liang QF, XuL, Jin XY, You QS, Yang XH, Cui TT. Epidemiology of Pterygium
in Aged Rural Populat ion of Beijing, China. Chinese Medical Journal.2012;
14(4):2-5.
Lestari D.J.T, Sari D.R, Mahdi P.D & Himayani R. Pterigium Derajat IV pada
Pasien Geriatri. Majority. Volume 7 Nomor 1. November 2017
Lemp Michael A., Baudouin Christophe, Baum Jules, Dogru Murat, Foulks Gary
N., Kinoshita Shigeru, Laibson Peter, McCulley James, Murube Juan,
Pflugfelder Stephen C., Rolando Mauriz io, Toda Ikuko. 2007. The
Definition and Classification of Dre Eye Disease: Report of the Definition
and Classification Subcommittee of the International Dry Eye Workshop
(2007). Volume 5 No. 2. Washington. Ethis Communications, Inc. The
Ocular Surface ISSN: 1542-0124 www.theocularsurface.com. p. 75 – 88.
Lubis CP. Infeksi nosokomial pada neonatus. Medan: Bagian Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2010.
Majmudar, P.A., 2010. Allergic Conjunctivitis. Rush-Presbyterian-St Luke’s
Medical Center
Marlin, D.S. 2009. Bacterial Conjunctivitis. Penn State College of Medicine.
[http://emedicine.medscape.com/article/1191370]
Matejeek A, Goldman RD. Treatment and prevention of ophthalmia neonatorum.
Canadian Family Physician. 2013; 59(2):21-5.
Milot J. Ophthalmia neonatorum of the newborn and its treatments. Canada:
Canadian medical publications; 2008.
McCourt EA. Neonatal Conjunctivitis. USA; 2014 [disitasi tanggal 11 September
2018]. Tersedia dari http://www.MedScape.co.id
McAnenna L, Knowles SJ. Prevalence of gonococcal conjunctivitis in adults and
neonates. USA: Eye. 2015; 20: 875-80
Paulsen AJ, Cruickshanks, et al. (2014) dry eye in the beaver dam study :
prevalence risk factors, and health related quality of life. Opthalmol
157:799-806.
Perry Henry D. 2008. Dry Eye Disease: Pathophysiology, Classification, and
Diagnosis. Volume 14 Number 3. USA. The American Journal of Managed
Care. p. 79 – 85
Plugfelder, Stephen C et al. Dry Eye and Ocular Surface Disorders. New york :
2014. Marcell Decker .
Rifki, M. 2010.Perdarahan Subkonjungtiva.Jakarta Diakses pada tanggal 14 September
2018 /www.medicastore/ Perdarahan Subkonjungtiva.3ii04308azs.
Raju Kv, Chandra A. Doctor R. Management Of Pterigium-A Brief Review.
Kerala Journal Of Ophthalmology. 2008; 1094):63-5.
Rapuano, C.J., et al., 2008. Conjunctivitis. American Academy of
Ophthalmology.
Ramadhanisa A. (2014). Conjungtivitis Bakterial Treatment in Kota Karang
Village. Faculty of Medicine, Universitas Lampung. Available from
:http://juke. kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/view/446/447.
Diakses tanggal : 17 September 2018.
Sharma Ka, Wali V, Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto Grafting In Pterigium
Surgery. Postgraduate Department Of Opthalmology.Govt Medical Collage,
Jammu. 2004: 6(3): 149-52
Suhardjo, Hartono. Ilmu Kesehatan Mata.Edisi Pertama. Bagian Ilmi Penyakit
Mata FK UGM: Yogyakarta.2005.
Skuta, Gregory L et al. American Academy of Ophtalmology : Orbit Eyelids and
Lacrimal System . San Fransisco: 2011 . American Academi of
Ophtalmology.
Scott, I.U., 2010. Viral Conjunctivitis. Departement of Opthalmology and Public
Health Sciences:
Senaratne, T., Gilbert, C., 2005. Conjunctivitis Primary Eye Care. Community
Eye Health Journal.
Solomon, A.S., 2006.Pterygium–Can We Provide Medical and Not Surgical
Cure?Brit ish Journal of Opthalmology 091413. 90: 665-666.
The epidemiology of dry eye disease: report of the epidemiology subcomitte of
the International dry eye workshop. Ocul surf 5:93-107
The College of Optometrists. Clinical management guidelines ophtalmia
neonatorum; 2012.
Tortora, G.J., Derrickson, B.H., 2009. The Special Senses. In : Tortora, Gerard J.,
Derrickson, Bryan H. (eds). Principles of Anatomy and Physiology. 12 th
edition. New York: John Wiley & Sons, Inc, 605-611.
Visscher, K.L., et al., 2009. Evidence-based Treatment of Acute Infective
Conjunctivitis. Canadian Family Physician
Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum.Edisi Ke-17. Jakarta : EGC. 2010.
Weissman, B.A., 2008. Giant Papillary Conjunctivitis. University of California at
Los Angeles.
Zaki, A. Emerah,S, Ramzy .M, Labib .M. 2011. Management of Recurrent
Pterygia. Jour nalof American Science 7(1): 230-234

Anda mungkin juga menyukai