Oleh :
Preseptor :
Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah, dan
Seiring rasa syukur atas terselesaikannya refarat ini, dengan rasa hormat
Rumah Sakit umum daerah Cut Meutia, yang telah membantu dalam
Sebagai manusia yang tidak lepas dari kekurangan, saya menyadari bahwa
dalam penyusunan refarat ini masih jauh dari sempurna. Saya sangat
refarat ini. Semoga refarat ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
2. 1 Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva palpebralis
melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi
superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks
superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva
bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbital di forniks dan
melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata
bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik (Vaughan, 2010).
vi. Komplikasi
Blefaritis marginal kronik sering menyertai konjungtivitis bateri, kecuali
pada pasien yang sangat muda yang bukan sasaran blefaritis. Parut di konjungtiva
paling sering terjadi dan dapat merusak kelenjar lakrimal aksesorius dan
menghilangkan duktulus kelenjar lakrimal. Hal ini dapat mengurangi komponen
akueosa dalam film air mata prakornea secara drastis dan juga komponen mukosa
karena kehilangan sebagian sel goblet. Luka parut juga dapat mengubah bentuk
palpebra superior dan menyebabkan trikiasis dan entropion sehingga bulu mata
dapat menggesek kornea dan menyebabkan ulserasi, infeksi dan parut pada kornea
(Vaughan, 2010).
vii. Penatalaksanaan
Terapi spesifik konjungtivitis bakteri tergantung pada temuan agen
mikrobiologiknya. Terapi dapat dimulai dengan antimikroba topikal spektrum
luas. Konjungtivitis purulen yang dicurigai disebabkan oleh diplokokus gram-
negatif harus segera dimulai terapi topical dan sistemik . Konjungtivitis purulen
dan mukopurulen, sakus konjungtivalis harus dibilas dengan larutan saline untuk
menghilangkan sekret konjungtiva (Ilyas, 2015).
2. Konjungtivitis Virus
i. Definisi
Konjungtivitis virus adalah penyakit umum yang dapat disebabkan oleh
berbagai jenis virus, dan berkisar antara penyakit berat yang dapat menimbulkan
cacat hingga infeksi ringan yang dapat sembuh sendiri dan dapat berlangsung
lebih lama daripada konjungtivitis bakteri (Vaughan, 2010).
v. Diagnosis
Diagnosis pada konjungtivitis virus bervariasi tergantung etiologinya,
karena itu diagnosisnya difokuskan pada gejala-gejala yang membedakan tipe-tipe
menurut penyebabnya. Dibutuhkan informasi mengenai, durasi dan gejala-gejala
sistemik maupun ocular, keparahan dan frekuensi gejala, faktor-faktor resiko dan
keadaan lingkungan sekitar untuk menetapkan diagnosis konjungtivitis virus
(AOA, 2010). Pada anamnesis penting juga untuk ditanyakan onset, dan juga
apakah hanya sebelah mata atau kedua mata yang terinfeksi (Gleadle, 2007).
Konjungtivitis virus sulit untuk dibedakan dengan konjungtivitis bakteri
berdasarkan gejala klinisnya dan untuk itu harus dilakukan pemeriksaan lanjutan,
tetapi pemeriksaan lanjutan jarang dilakukan karena menghabiskan waktu dan
biaya (Hurwitz, 2009).
vi. Komplikasi
Konjungtivitis virus bisa berkembang menjadi kronis, seperti
blefarokonjungtivitis. Komplikasi lainnya bisa berupa timbulnya pseudomembran,
dan timbul parut linear halus atau parut datar, dan keterlibatan kornea serta timbul
vesikel pada kulit (Vaughan, 2010).
vii. Penatalaksanaan
Konjungtivitis virus yang terjadi pada anak di atas 1 tahun atau pada orang
dewasa umumnya sembuh sendiri dan mungkin tidak diperlukan terapi, namun
antivirus topikal atau sistemik harus diberikan untuk mencegah terkenanya kornea
(Scott, 2010). Pasien konjungtivitis juga diberikan instruksi hygiene untuk
meminimalkan penyebaran infeksi (James, 2005).
3. Konjungtivitis Alergi
i. Definisi
Konjungtivitis alergi adalah bentuk alergi pada mata yang paing sering dan
disebabkan oleh reaksi inflamasi pada konjungtiva yang diperantarai oleh sistem
imun (Cuvillo et al, 2009). Reaksi hipersensitivitas yang paling sering terlibat
pada alergi di konjungtiva adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1 (Majmudar, 2010).
Gambar 2.6. Konjungtivitis Alergi
4. Konjungtivitis jamur
Konjungtivitis jamur paling sering disebabkan oleh Candida albicans dan
merupakan infeksi yang jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan adanya bercak
putih dan dapat timbul pada pasien diabetes dan pasien dengan keadaan sistem
imun yang terganggu. Selain Candida sp, penyakit ini juga dapat disebabkan oleh
Sporothrix schenckii, Rhinosporidium serberi, dan Coccidioides immitis walaupun
jarang (Vaughan, 2010).
5. Konjungtivitis parasit
Konjungtivitis parasit dapat disebabkan oleh infeksi Thelazia
californiensis, Loa loa, Ascaris lumbricoides, Trichinella spiralis, Schistosoma
haematobium, Taenia solium dan Pthirus pubis walaupun jarang (Vaughan,
2010).
6. Konjungtivitis kimia atau iritatif
Konjungtivitis kimia-iritatif adalah konjungtivitis yang terjadi oleh
pemajanan substansi iritan yang masuk ke sakus konjungtivalis. Substansi-
substansi iritan yang masuk ke sakus konjungtivalis dan dapat menyebabkan
konjungtivitis, seperti asam, alkali, asap dan angin, dapat menimbulkan gejala-
gejala berupa nyeri, pelebaran pembuluh darah, fotofobia, dan blefarospasme.
Selain itu penyakit ini dapat juga disebabkan oleh pemberian obat topikal
jangka panjang seperti dipivefrin, miotik, neomycin, dan obat-obat lain dengan
bahan pengawet yang toksik atau menimbulkan iritasi. Konjungtivitis ini dapat
diatasi dengan penghentian substansi penyebab dan pemakaian tetesan ringan
(Vaughan, 2010).
7. Konjungtivitis lain
Selain disebabkan oleh bakteri, virus, alergi, jamur dan parasit,
konjungtivitis juga dapat disebabkan oleh penyakit sistemik dan penyakit
autoimun seperti penyakit tiroid, gout dan karsinoid. Terapi pada konjungtivitis
yang disebabkan oleh penyakit sistemik tersebut diarahkan pada pengendalian
penyakit utama atau penyebabnya (Vaughan, 2010). Konjungtivitis juga bisa
terjadi sebagai komplikasi dari acne rosacea dan dermatitis herpetiformis ataupun
masalah kulit lainnya pada daerah wajah (AOA, 2008).
d. Penularan
Sumber penularan konjungtivitis secara umum adalah cairan yang keluar
dari mata yang sakit yang mengandung bakteri atau virus. Salah satu media
penularannya yaitu tangan yang terkontaminasi cairan infeksi, misalnya melalui
jabatan tangan. Bisa pula melalui cara tidak langsung, misalnya tangan yang
terkontaminasi memegang benda yang kemudian terpegang oleh orang lain,
penggunaan handuk secara bersama-sama, penggunaan sapu tangan atau tisu
secara bergantian, dan penggunaan bantal atau sarung bantal secara bersama-sama
(Ilyas, 2015; Chaerani, 2006; Indriana, 2012).
e. Pencegahan
Konjungtivitis dapat dicegah yaitu dengan tidak menyentuh mata yang
sehat sesudah mengenai mata yang sakit, tidak menggunakan handuk dan lap
secara bersama-sama dengan orang lain, serta bagi perawat dapat memberikan
edukasi kepada pasien tentang kebersihan kelopak mata (Hapsari & Isgiantoro,
2014).
Selain itu pencegahan konjungtivitis diantaranya sebelum dan sesudah
membersihkan atau mengoleskan obat, pasien konjungtivitis harus mencuci
tangannya agar tidak menular pada orang lain, menggunakan lensa kontak sesuai
dengan petunjuk dari dokter dan pabrik pembuatnya, mengganti sarung bantal dan
handuk yang kotor dengan yang bersih setiap hari, menghindari penggunaan
bantal, handuk dan sapu tangan bersama, menghindari mengucek-ngucek mata,
dan pada pasien yang menderita konjungtivitis, hendaknya segera membuang tissu
atau sejenisnya setelah membersihkan kotoran mata (Ramadhanisa, 2014).
2.5.3 Pterigium
a. Definisi
Pterigium adalah kelainan pada konjungtiva bulbi, pertumbuhan
fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini
biasanya terdapat pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva
yang meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di
bagian sentral atau di daerah kornea (Voughan, 2010).
b. Epidemiologi
Prevalensi kejadian pterigium akan meningkat dengan umur, terutama
dekade ke 2 dan 3 kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20-49 tahun.
Pterigium rekuren sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan umur tua.
Laki-laki 4 kali lebih berisiko daripada perempuan dan berhubungan dengan
merokok, pendidikan rendah dan riwayat paparan lingkungan di luar rumah
(Laszuarni, 2009).
c. Etiologi
Etiologi pasti pterigium masih belum diketahui secara pasti. Beberapa
faktor resiko pterigium antara lain adalah paparan ultraviolet, mikro trauma kronis
pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa kondisi kekurangan
fungsi lakrimal film baik secara kuantitas maupun kualitas, konjungtivitis kronis
dan defisiensi vitamin A juga berpotensi timbulnya pterigium (Liang, 2012 dan
Voughan, 2010).
Penyebab pterigium lain yaitu fenomena iritatif akibat pengeringan dan
lingkungan banyak angin sering terdapat pada orang yang sebagian besar
hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan
berpasir. Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan
pterigium dan berdasarkan penelitian menunjukkan riwayat keluarga dengan
pterigium, kemungkinan diturunkan autosom dominan (Suhardjo, 2005;
Laszuarni, 2009).
d. Patofisiologi
Terjadinya pterigium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar
matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan
paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan faktor
mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel basal di
limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF-β dan VEGF (vascular
endothelial growth factor) menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel, dan
angiogenesis (Lestari dkk, 2017).
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan
subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi
elastoid (degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di
bawah epitel yaitu substansi propia yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan
kornea terdapat pada lapisan membran Bowman yang disebabkan oleh
pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan.
Kerusakan membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan
untuk pertumbuhan pterigium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang
terjadi displasia (Lestari dkk, 2017).
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea.
Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan
jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan oleh karena itu
banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi
dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Pterigium
ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler
yang ditutupi oleh epitel (Lestari dkk, 2017)
e. Klasifikasi
Berdasarkan stadium pterigium dibagi menjadi 4 derajat yaitu: (Ilyas, 2015
& Efstathios, 2009)
1. Derajat I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
2. Derajat II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum mencapai
pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
3. Derajat III : jika pterigium sudah melebihi derajat II tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar
3-4 mm).
4. Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.
Gambar 2.8. Stadium Pterigium
g. Diagnosis
Penegakan diagnosis pada pterigium umumnya pada anamnnesis
didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal, mata sering berair,
ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata merah
berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan
sinar mathari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya
(Efstathios, 2009).
Pemeriksaan fisik mata, inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan
fibrovaskular pada permukaan konjungtiva. Pterigium dapat memberikan
gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskuler dan
flat. Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke
kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterigium pada daerah temporal.
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah topografi
kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmatisme ireguler
yang disebabkan oleh pterigium (Efstathios, 2009).
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
pterigium adalah topografi kornea, yang untuk menilai seberapa besar komplikasi
berupa astigmatisma irregular yang disebabkan oleh pterigium (Fisher, 2013).
h. Diagnosa Banding
Diagnosis banding pterigium adalah pinguekula dan pseudopterigium.
Pinguekula merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan pada
orangtua, terutama yang matanya sering mendapatkan rangsangan sinar matahari,
debu, dan angin panas. Perbedaan pterigium dengan pinguekula adalah bentuk
nodul, terdiri atas jaringan hyaline dan jaringan elastic kuning, jarang bertumbuh
besar, tetapi sering meradang. Pseudopterigium merupakan perlekatan
konjungtiva dengan kornea yang cacat. Sering pseudopterigium ini terjadi pada
proses penyembuhan tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea.
Pseudopterigium juga sering dilaporkan sebagai dampak sekunder penyakit
peradangan pada kornea.Pseudopterigium dapat ditemukan dibagian apapun pada
kornea dan biasanya berbentuk obliq, sedangkan pterigium ditemukan secara
horizontal pada posisi jam 3 atau jam 9 (Ilyas, 2015).
2. Simple closure : tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika
hanya defek konjungtiva sangat kecil).
3. Sliding flaps : suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap
konjungtiva digeser untuk menutupi defek.
4. Rotational flap : insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk lidah
konjungtiva yang dirotasi pada tempatnya.
j. Komplikasi
Fisher (2013), komplikasi pterigium antara lain :
2. Mata merah
3. Iritasi
5. Pada pasien yang belum eksisi,scarpada otot rectus medial yang dapat
menyebabkan diplopia .
3. Kekambuhan berulang
1. Penipisan kornea atau sklera dapat terjadi bahkan puluhan tahun setelah
operasi. Penatalaksanaan kasus ini sangat sulit.
k. Prognosis
Penglihatan dan kosmetik setelah dieksisi adalah baik (Zaki, 2011). Rasa
tidak nyaman pada hari pertama setelah operasi dapat ditoleransi, kebanyakan
pasien setelah 48 jam setelah operasi dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan
pterigium berulang dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva
autograft atau transplantasi membran amnion. Sebaiknya dilakukan penyinaran
dengan strontium yang mengeluarkan sinar beta, dan apabila residif maka dapat
dilakukan pembedahan untuk mencegah kekambuhan pterigium (sekitar 50-80%).
Beberapa kasus pterigium dapat berkembang menjadi degenerasi ke arah
keganasan jaringan epitel (Solomon,2006).
l. Pencegahan
b. Epidemiologi
Perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi di semua kelompok umur, namun hal ini dapat
meningkat kejadiannya sesuai dengan pertambahan umur (Graham, 2009) . Penelitian
epidemiologi di Kongo rata-rata usia yang mengalami perdarahan subkonjungtiva adalah usia 30
tahun (Kaimbo, 2012). Perdarahan subkonjungtiva sebagian besar terjadi unilateral (90%).
Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan tidak ditemukan hubungan yang jelas dengan
suatu kondisi keadaan tertentu (64.3%). Kondisi hipertensi memiliki hubungan yang cukup
tinggi dengan angka terjadinya perdarahan subkonjungtiva (14,3%). Kondisi lainnya namun
jarang adalah muntah, bersin,malaria, penyakit sickle cell dan melahirkan.
c. Gejala klinis
Sebagian besar tidak ada gejala simptomatis yang berhubungan dengan perdarahan
subkonjungtiva selain terlihat darah pada bagian sklera (American Academy. 2009)
a. Sangat jarang mengalami nyeri ketika terjadi perdarahan subkonjungtiva pada
permulaan. Ketika perdarahan terjadi pertama kali, akan terasa tidak nyaman, terasa ada
yang mengganjal dan penuh di mata.
b. Tampak adanya perdarahan di sklera dengan warna merah terang (tipis) atau merah tua
(tebal).
c. Tidak ada tanda peradangan atau biasanya peradangan yang ringan.
d. Perdarahan akan terlihat meluas dalam 24 jam pertama setelah itu berkurang perlahan
ukurannya karena diabsorpsi
d. Patofisiologi
Konjungtiva adalah selaput tipis transparan yang melapisi bagian putih dari bola mata
(sklera) dan bagian dalam kelopak mata. Konjungtiva merupakan lapisan pelindung terluar dari
bola mata. Konjungtiva mengandung serabut saraf dan sejumlah besar pembuluh darah yang
halus. Pembuluh-pembuluh darah ini umumnya tidak terlihat secara kasat mata kecuali bila mata
mengalami peradangan. Pembuluh-pembuluh darah di konjungtiva cukup rapuh dan dindingnya
mudah pecah sehingga mengakibatkan terjadinya perdarahan subkonjungtiva. Perdarahan
subkonjungtiva tampak berupa bercak berwarna merah terang di sklera.
Struktur konjungtiva halus, sedikit darah dapat menyebar secara difus di jaringan ikat
subkonjungtiva dan menyebabkan eritema difus, yang biasanya memiliki intensitas yang sama
dan menyembunyikan pembuluh darah. Konjungtiva yang lebih rendah lebih sering terkena
daripada bagian atas. Pendarahan berkembang secara akut, dan biasanya menyebabkan
kekhawatiran, meskipun sebenarnya tidak berbahaya. Apabila tidak ada kondisi trauma mata
terkait, ketajaman visual tidak berubah karena perdarahan terjadi murni secara ekstraokulaer, dan
tidak disertai rasa sakit (Graham, 2009).
Secara klinis, perdarahan subkonjungtiva tampak sebagai perdarahan yang datar,
berwarna merah, di bawah konjungtiva dan dapat menjadi cukup berat sehingga menyebabkan
kemotik kantung darah yang berat dan menonjol di atas tepi kelopak mata. Perdarahan
subkonjungtiva dapat terjadi secara spontan, akibat trauma, ataupun infeksi. Perdarahan dapat
berasal dari pembuluh darah konjungtiva atau episklera yang bermuara ke ruang subkonjungtiva.
Berdasarkan mekanismenya, perdarahan subkonjungtiva dibagi menjadi dua,yaitu :
1. Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan
Terjadi secara tiba-tiba (spontan), perdarahan tipe ini diakibatkan oleh menurunnya
fungsi endotel sehingga pembuluh darah rapuh dan mudah pecah. Keadaan yang dapat
menyebabkan pembuluh darah menjadi rapuh adalah umur, hipertensi, arterisklerosis,
konjungtivitis hemoragik, anemia, pemakaian antikoagulan dan batuk rejan. Perdarahan
subkonjungtiva tipe spontan ini biasanya terjadi unilateral. Namun pada keadaan
tertentu dapat menjadi bilateral atau kambuh kembali; untuk kasus seperti ini
kemungkinan diskrasia darah (gangguan hemolitik) harus disingkirkan terlebih dahulu.
e. Etiologi
1. Idiopatik
2. Manuver Valsalva (seperti batuk, tegang, muntah-muntah, bersin)
3. Traumatik (terpisah atau berhubungan dengan perdarahan retrobulbar atau ruptur bola
mata)
4. Hipertensi
5. Gangguan perdarahan (jika terjadi berulang pada pasien usia muda tanpa adanya
riwayat trauma atau infeksi), termasuk penyakit hati atau hematologik, diabetes, SLE,
parasit dan defisisensi vitamin C.
6. Berbagai antibiotik, obat NSAID, steroid, kontrasepsi dan vitamin A dan D yang telah
mempunyai hubungan dengan terjadinya perdarahan subkonjungtiva, penggunaan
warfarin
7. Sequele normal pada operasi mata sekalipun tidak terdapat insisi padakonjungtiva.
8. Beberapa infeksi sistemik febril dapat menyebabkan perdarahan subkonjungtiva,
termasuk septikemia meningokok, demam scarlet, demamtifoid, kolera, riketsia,
malaria, dan virus (influenza, smallpox, measles, yellow fever, sandfly fever).
9. Perdarahan subkonjungtiva telah dilaporkan merupakan akibat emboli dari patahan
tulang panjang, kompresi dada, angiografi jantung, operasi bedah jantung.
10. Penggunaan lensa kontak, faktor resiko mayor perdarahan subkonjungtiva yang
diinduksi oleh penggunaan lensa kontak adalah konjungtiva khalasis dan pigeucula.
11. Konjungtivo khalasis merupakan salah satu faktor resiko yang memainkan peranan
penting pada patomekanisme terjadinya perdarahan subkonjungtiva.
f. Diagnosis
Diagnosis dibuat secara klinis dan anamnesis tentang riwayat adanya trauma, trauma
dari bola mata atau orbita harus disingkirkan. Apabila perdarahan subkonjungtiva idiopatik
terjadi untuk pertama kalinya, langkah-langkah diagnostik lebih lanjut biasanya tidak diperlukan.
Dalam kejadian kekambuhan, hipertensi arteri dan kelainan koagulasi harus disingkirkan
Pemeriksaan fisik bisa dilakukan dengan memberi tetes mata proparacaine (topikal
anestesi) jika pasien tidak dapat membuka mata karena sakit dan curiga etiologi lain jika nyeri
terasa berat atau terdapat fotofobia (Chern, 2002).
Memeriksa ketajaman visual juga diperlukan, terutama pada perdarahan subkonjungtiva
traumatik. Salah satu studi mengenai perdarahan subkonjungtiva traumatik dan hubungannya
dengan luka / injuri lainnya oleh Lima dan Morales dirumah sakit Juarez Meksiko tahun 1996-
2000 menyimpulkan bahwa sejumlah pasien dengan perdarahan subkonjungtiva disertai dengan
trauma lainnya (selain pada konjungtiva), ketajaman visus < 6/6 meningkat dengan adanya
kerusakan pada selain konjungtiva. Maka dari itu pemeriksaan ketajaman visus merupakan hal
yang wajib pada setiap trauma di mata sekalipun hanya didapat perdarahan subkonjungtiva tanpa
ada trauma organ mata lainnya (Graham, 2009).
Selanjutnya, periksa reaktivitas pupil dan mencari apakah ada defek pupil, lakukan
pemeriksaan dengan slit lamp. Curigai ruptur bola mata jikaperdarahan subkonjungtiva terjadi
penuh pada 360°. Jika pasien memiliki riwayat perdarahan subkonjungtiva berulang,
pertimbangkan untuk memeriksa waktu pendarahan, waktu prothrombin, parsial tromboplastin,
dan hitung darah lengkapdengan jumlah trombosit (Chern, 2002).
g. Diagnosa banding
1. Konjungtivitis, hal ini dikarenakan memiliki kesamaan pada klinisnya yaitu mata
merah.
2. Konjungtivitis hemoragik akut.
3. Sarcoma kaposi
h. Penatalaksanaan
Perdarahan subkonjungtiva biasanya tidak memerlukan pengobatan. Pengobatan dini
pada perdarahan subkonjungtiva ialah dengan kompres dingin. Perdarahan subkonjungtiva akan
hilang atau diabsorpsi dalam 1- 2 minggu tanpa diobati (Ilyas, 2015)
Pada bentuk-bentuk berat yang menyebabkan kelainan dari kornea, dapat dilakukan
sayatan dari konjungtiva untuk drainase dari perdarahan. Pemberian airmata buatan juga dapat
membantu pada pasien yang simtomatis. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dicari penyebab
utamanya, kemudian terapi dilakukan sesuai dengan penyebabnya. Tetapi untuk mencegah
perdarahan yang semakin meluas beberapa dokter memberikan vasacon (vasokonstriktor) dan
multivitamin. Air mata buatan untuk iritasi ringan dan mengobati faktor risikonya untuk
mencegah risikoperdarahan berulang (Rifki, 2010).
Perdarahan subkonjungtiva harus segera dirujuk ke spesialis mata jikaditemukan kondisi
berikut ini :
1. Nyeri yang berhubungan dengan perdarahan.
2. Terdapat perubahan penglihatan (pandangan kabur, ganda atau kesulitan untuk melihat)
3. Terdapat riwayat gangguan perdarahan
4. Riwayat hipertensi
5. Riwayat trauma pada mata
i. Komplikasi
Perdarahan subkonjungtiva akan diabsorpsi sendiri oleh tubuh dalam waktu 1-2
minggu, sehingga tidak ada komplikasi serius yang terjadi. Namun adanya perdarahan
subkonjungtiva harus segera dirujuk ke dokter spesialis mata jika ditemuiberbagai hal seperti
yang telah disebutkan diatas (Ilyas, 2015).
Perdarahan subkonjungtiva yang sifatnya menetap atau berulang (kambuhan) harus
dipikirkan keadaan lain. Penelitian yang dilakukan oleh Hicks D dan Mick A mengenai
perdarahan subkonjungtiva yang menetap atau mengalamikekambuhan didapatkan kesimpulan
bahwa perdarahan subkonjungtiva yang menetapmerupakan gejala awal dari limfoma adneksa
okuler (Graham, 2009).
j. Prognosis
Secara umum prognosis dari perdarahan subkonjungtiva adalah baik. Karena sifatnya
yang dapat diabsorpsi sendiri oleh tubuh. Namun untuk keadaan tertentu seperti sering
mengalami kekambuhan, persisten atau disertai gangguan pandangan maka dianjurkan untuk
dievaluasi lebih lanjut lagi (Ilyas, 2015 & Graham, 2009).
c. Etiologi
Banyak diantara penyebab sindrom mata kering mempengaruhi lebih dari
satu komponen film air mata atau berakibat perubahan permukaan mata yang
secara sekunder menyebabkan film air mata menjadi tidak stabil. Ciri
histopatologik termasuk timbulnya bintik-bintik kering pada kornea dan epitel
konjungtiva, pembentukan filamen, hilangnya sel goblet konjungtiva, pembesaran
abnormal sel epitel non-goblet, peningkatan stratifikasi sel, dan penambahan
keratinasi (Vaughan, 2010 & Skuta, 2011).
d. Faktor risiko
Faktor-faktor yang dapat memicu terhadap resiko terjadinya dry eye baik
pada wanita maupun pria dan beberapa diantaranya tidak dapat dihindari adalah
(Asyari Fatma, 2007) :
1. Usia lanjut, Dry eye dialami oleh hampir semua penderita usia lanjut, 75%
di atas 65 tahun baik laki maupun perempuan.
2. Hormonal yang lebih sering dialami oleh wanita seperti saat kehamilan,
menyusui, pemakaian obat kontrasepsi, dan menopause.
3. Beberapa penyakit seringkali dihubungkan dengan dry eye seperti: artritis
rematik, diabetes, kelainan tiroid, asma, lupus erythematosus, pemphigus,
Stevens-johnsons syndrome, Sjogren syndrome, scleroderma, polyarteritis
nodosa, sarcoidosis, Mickulick.s syndrome.
4. Obat-obatan dapat menurunkan produksi air mata seperti antidepresan,
dekongestan, antihistamin, antihipertensi, kontrasepsi oral, diuretik, obat-
obat tukak lambung, tranquilizers, beta bloker, antimuskarinik, anestesi
umum.
5. Pemakai lensa kontak mata terutama lensa kontak lunak yang mengandung
kadar air tinggi akan menyerap air mata sehingga mata terasa perih, iritasi,
nyeri, menimbulkan rasa tidak nyaman/intoleransi saat menggunakan lensa
kontak, dan menimbulkan deposit protein.
6. Faktor lingkungan seperti, udara panas dan kering, asap, polusi udara,
angin, berada diruang ber-AC terus menerus akan meningkatkan evaporasi
air mata.
7. Mata yang menatap secara terus menerus sehingga lupa berkedip seperti
saat membaca, menjahit, menatap monitor TV, komputer, ponsel
8. Pasien yang telah menjalani operasi refraktif seperti Photorefractive
keratectomy (PRK), laser-assited in situ keratomileusis (LASIK) akan
mengalami dry eye untuk sementara waktu.
e. Klasifikasi
Gambar 2.12. Klasifikasi Dry Eye Berdasarkan National Eye Institute /Industry
Workshop (Lemp et al., 2007)
f. Gejala klinis
Pasien dengan mata kering paling sering mengeluh tentang sensasi gatal
atau berpasir (benda asing). Gejala umum lainnya adalah gatal, sekresi mukus
berlebihan, tidak mampu menghasilkan air mata, sensasi terbakar, fotosensitivitas,
merah, sakit, dan sulit menggerakkan palpebra (Skuta, 2011). Pada kebanyakan
pasien, ciri paling luar biasa pada pemeriksaan mata adalah tampilan yang nyata-
nyata normal. Ciri yang paling khas pada pemeriksaan slitlamp adalah terputus
atau tiadanya meniskus air mata di tepian palpebra inferior. Benang-benang
mucus kental kekuning-kuningan kadang-kadang terlihat dalam fornix
konjungtiva inferior. Pada konjungtiva bulbi tidak tampak kilauan yang normal
dan mungkin menebal, beredema dan hiperemik (Vaughan, 2010)
Epitel kornea terlihat bertitik halus pada fissura interpalpebra. Sel-sel
epitel konjungtiva dan kornea yang rusak dapat dilihat dengan bengal rose 1% dan
defek pada epitel kornea dapat dilihat dengan fluorescein. Pada tahap lanjut Dry
Eye Syndrome tampak filamen-filamen dimana satu ujung setiap filamen melekat
pada epitel kornea dan ujung lain bergerak bebas. Pada pasien dengan sindrom
sjorgen, kerokan dari konjungtiva menunjukkan peningkatan jumlah sel goblet.
Pembesaran kelenjar lakrimal kadang-kadang terjadi pada sindrom sjorgen.
g. Diagnosis
Dry eye syndrome didiagnosis dengan gejala klinis, anamnesis yang
lengkap tentang keluhan pasien, usia, pekerjaan, penyakit serta pemakaian obat-
obatan yang mungkin dapat menjadi penyebab. Pemeriksaan klinis segmen
anterior mata termasuk kelopak, sistem lakrimal, konjungtiva, epitel kornea, serta
tekanan intraokuler. Pemeriksaan khusus lainnya penting dilakukan untuk menilai
fungsi air mata secara kualitas maupun kuantitas seperti (Asyari Fatma, 2007):
1. Tes Schirmer
Tes ini dilakukan dengan mengeringkan film air mata dan memasukkan
strip Schirmer (kertas saring Whatman No. 41) kedalam konjungtiva inferior pada
batas sepertiga tengah dan temporal dari palpebra inferior. Bagian basah yang
terpapar diukur 5 menit setelah dimasukkan. Panjang bagian basah kurang dari 10
mm tanpa anestesi dianggap abnormal.
Bila dilakukan tanpa anestesi, tes ini mengukur fungsi kelenjar lakrimal
utama, yang aktivitas sekresinya dirangsang oleh iritasi kertas saring itu. Tes
Schirmer yang dilakukan setelah anestesi topikal (tetracaine 0.5%) mengukur
fungsi kelenjar lakrimal tambahan (pensekresi basa). Kurang dari 5 mm dalam 5
menit adalah abnormal.
Tes Schirmer adalah tes saringan bagi penilaian produksi air mata.
Dijumpai hasil false positive dan false negative. Hasil rendah kadang-kadang
dijumpai pada orang normal, dan tes normal dijumpai pada mata kering terutama
yang sekunder terhadap defisiensi musin (Vaughan, 2010 & Plugfelder, 2014).
3. Sitologi Impresi
Sitologi impresi adalah cara menghitung densitas sel goblet pada
permukaan konjungtiva. Pada orang normal, populasi sel goblet paling tinggi di
kuadran infra-nasal. Hilangnya sel goblet ditemukan pada kasus
keratokonjungtivitis sicca, trachoma, pemphigoid mata sikatriks, sindrom stevens
johnson, dan avitaminosis A (Vaughan, 2010 & Plugfelder, 2014).
4. Pemulasan Flourescein
Menyentuh konjungtiva dengan secarik kertas kering berflourescein adalah
indikator baik untuk derajat basahnya mata, dan meniskus air mata mudah terlihat.
Flourescein akan memulas daerah-daerah tererosi dan terluka selain defek
mikroskopik pada epitel kornea (Vaughan, 2010 & Plugfelder, 2014).
Gambar 2.15. Pemulasan fluorescein
2.5.6 Pingeukula
a. Definisi
Pinguekula merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan
pada orang tua, terutama yang matanya sering mendapat rangsangan matahari,
debu, dan angin panas. Letak bercak ini pada celah kelopak mata terutama di
bagian nasal (Ilyas, 2015).
Pinguekula merupakan degenerasi hialin jaringan submukosa konjungtiva.
Pembuluh darah tidak masuk ke dalam pinguekula akan tetapi bila meradang akan
terjadi iritasi, maka akan terlihat pembuluh darah melebar. Pinguekula tidak perlu
diberikan pengobatan, akan tetapi bila terlihat adanta tanda radang (pinguekulitis),
dapat diberikan obat anti radang (Ilyas, 2015).
b. Epidemiologi
Pinguekula tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di
daerah iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah
berdebu dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat
ekuator, yakni daerah yang terletak kurang 37 o Lintang Utara dan Selatan
dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22% di daerah dekat ekuator dan
<2% pada daerah yang terletak diatas 40 o lintang. Insiden Pinguekula
cukup tinggi di Indonedia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%
(Chui & Coroneo, 2011). Pasien <15 tahun jarang terjadi Pinguekula.
Prevalensi Pinguekula meningkat dengan umur, terutama dekade ke -2
dan ke-3 dari kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49.
Kejadian berulang (rekuren) lebih sering pada um ur muda daripada
umur tua. Laki-laki 4 kali lebih beresiko dari perempuan dan
berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah , riwayat terpapar
lingkungan di luar rumah (Raju & Chandra, 2008; Chui & Coroneo, 2011)
c. Etiologi dan faktor risiko
Penyebab pasti terjadinya pinguekula tidak diketahui. Namun
terdapat beberapa faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya pinguekula. Faktor
risiko yang mempengaruhi pinguekula adalah lingkungan yakni radiasi
unltraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor
herediter (Chui & Coroneo, 2011)
i. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya
pinguekula adalah terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsrobsi
kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel. Letak lintang, waktu
di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga merupakan faktor
penting (Sharma, Wali & Pandita, 2004; Jharmarlawa & Jhaveri, 2008).
ii. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan
pinguekula dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan
riwayat keluarga dengan pinguekula, kemungkinan diturunkan
autosom dominan.
iii. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya
limbal defisiensi dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari
pinguekula. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan
partikel tertentu , dry eye juga dapat menyebabkan pinguekula (Ilyas,
2015; Raju & Chandra, 2008)
d. Patofisiologi
Lesi degeneratif dari konjungtiva bulbar ini terjadi sebag ai hasil
dari radiasi sinar ultraviolet (UV), namun sering juga dihubungkan
dengan iritasi benda iritan seperti debu. Sel epithelium yang melapisi
pinguekula dapat saja normal, menipis, atau menebal. Sementara kalsifikasi jarang
terjadi (Jharmarlawa & Jhaveri, 2008).
Pinguekula biasanya terjadi secara bilateral, karena kedua mata
mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu
dan kekeringan (Jharmarlawa & Jhaveri, 2008). Daerah nasal konjungtiva relatif
mendapat sinar ultra violet yang lebih banyak dibandingkan dengan konjungtiva
yang lain, karena disamping kontak langsung, juga dari pantulan hidung. Hal ini
mengakibatkan pinguekula lebih sering terjadi pada daerah nasal konjungtiva
(Jharmarlawa & Jhaveri, 2008; Raju & Chandra, 2008)
Pinguekula dianggap terjadi akibat degenerasi atau degradasi serat kolagen
dalam konjungtiva. Degenerasi konjungtiva menciptakan deposit
dan pembengkakan jaringan yang biasanya akan datar. Pinguekula lebih umum
terjadi pada orang paruh baya atau lebih tua.Hal ini karena seiring
bertambahnya usia, kelenjar lakrimalis mulai menurun fungsinya untuk
membasahi mata sehingga mata cenderung kering dan tidak terlindungi.
Namun, mereka bisa muncul lebih awal jika seseorang di bawah sinar
matahari sangat sering. Pinguekula mungkin bertambah parah dari waktu ke
waktu dan tumbuh lebih besar terutama jika perlindungan terhadap matahari tidak
digunakan.
e. Gejala klinis
Pinguekula sering bermanifestasi di dekat limbus pada zona interpapebral,
paling sering daerah nasal, berupa penonjolan putih kekuningan, deposit
subepithelial yang amorf. Pinguekula dapat membesar secara bertahap
dalam periode waktu yang lama. Inflamasi berulang dan iritasi okuli mungkin
dijumpai.
f. Diagnosa
Diagnosa pinguekula dapat dilakukan dengan obser vasi eksternal,
secara umum menggunkan instrumen yang disebut slit lamp. Slit lamp adalah
sebuah mikroskop dengan sumber cahaya dan dapat memperjelas
struktur mata bagi pemeriksa. Pinguekula dapat saja terlihat seperti
pertumbuhan jaringan mata yang serius.
Secara histopatologi, jaringan kolagen subepitelial menjadi berfragmen,
bergelombang, dan lebih basofilik dengan pewarnaan hematoksilin-eosin.
Jaringan juga diwarnai dengan pewarna jaringan elastis dan bukan jaringan yang
tidak elastis. Jaringan ini biasanya tidak elastik terhadap terapi dengan elastase
yang tidak mencegah pewarnaan positif untuk elastin. Jenis degenerasi kolagen
ini, sebagaimana karakteristik pewarnaan pada jaringan elastis disebut elastoid
atau degenerasi elastotik atau secara sederhan a, elastosis.
g. Tatalaksana
Terapi lubrikasi untuk mencegah iritasi sering digunakan secara
klinis. Eksisi jaringan pinguekula hanya diindikasikan ketika
pinguekula mengganggu tampilan kosmetik atau lebih jauh pinguekula
tersebut menjadi meradang secara kronik. Penggunaan dari steriod
topikal dapat juga dipertimbangkan pada pasien dengan inflamasi
kronik.
Proses penyembuhan pasca operasi pengangkatan jaringan
pinguekula, walaupun tidak sakit, biasanya membutuhkan waktu yang
lama. Biasanya juga terdapat angka kekambuhan yang tinggi (50-60%) di
beberapa daerah. Sehingga operasi biasanya dihindari jika masalah yang timbul
akibat pinguekula tidak begitu signifikan.
h. Komplikasi
Komplikasi pinguekula termasuk: merah, iritasi, skar kronis pada
konjungtiva dan kornea, pada pasien yang belum eksisi, distorsi dan
penglihatan sentral berkurang, skar pada otot rektus medial yang dapat
menyebabkan diplopia.
Komplikasi sewaktu operasi antara lain perforasi korneosklera, graft
oedem, graft hemorrhage, graft retraksi, jahitan longgar, korneoskleral dellen,
granuloma konjungtiva, epithelial inclusion cysts, skar konjungtiva, skar kornea
dan astigmatisma, disinsersi ototrektus. Komplikasi yang terbanyak adalah
rekuren pinguekula post operasi.
Beberapa metode telah digunakan untuk mengurangi kekambuhan pasca
operasi. Satu metode yang dapat dipetimbangkan adalah radiasi beta. Walaupun
metode ini efektif pada pertumbuhan ulang pnguekula yang lambat, metode ini
dapat menimbulkan katark. Metode yang aman digunakan adalah penggunaan
agen antikanker topikal yakni mitomycin-C.
i. Prognosis
Biasanya pinguekula tumbuh secara lambat dan jarang sekali
menyebabkan kerusakan yang signifikan sehingga prognosis terbilang baik.