Konjungtivitis
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Departemen Ilmu Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Malikussaleh – RSUCM
Oleh :
Preseptor :
Seiring rasa syukur atas terselesaikannya Laporan Kasus ini, dengan rasa
Rumah Sakit umum daerah Cut Meutia, yang telah membantu dalam
Sebagai manusia yang tidak lepas dari kekurangan, saya menyadari bahwa
dalam penyusunan Laporan Kasus ini masih jauh dari sempurna. Saya sangat
Laporan Kasus ini. Semoga Laporan Kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Amin.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................ 1
BAB 2 LAPORAN KASUS ......................................................................... 3
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 7
3.1 Konjungtiva ............................................................................... 7
3.1.1 Anatomi konjungtiva ........................................................ 7
3.1.2 Histologi konjungtiva ....................................................... 8
3.1.3 Perdarahan dan persarafan konjungtiva ............................ 9
3.1.4 Mekanisme perlindungan mata......................................... 9
3.1.5 Patogenesis infeksi mata ................................................... 10
3.2 Konjungtivitis ............................................................................ 10
3.3 Pembagian Konjungtivitis ........................................................ 12
3.3.1 Konjungtivitis bakteri ....................................................... 12
3.3.2 Konjungtivitis gonoroe dan oftalmia neonatorum ............ 15
3.3.3 Konjungtivitis viral nonspesifik ....................................... 20
3.3.4 Konjungtivitis jamur ......................................................... 29
3.3.5 Konjungtivitis parasit ....................................................... 29
3.3.6 Trakoma ............................................................................ 29
3.3.7 Konjungtivitis vernal ........................................................ 34
3.3.8 Konjungtivitis fliktenuralis ............................................... 37
3.3.9 Konjungtivitis sicca .......................................................... 38
3.4 Chalazion ................................................................................... 41
BAB 4 PEMBAHASAN .............................................................................. 44
BAB 5 KESIMPULAN ............................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 49
BAB 1
PENDAHULUAN
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Karena lokasinya, konjungtiva
terpajan oleh banyak mikroorganisme dan substansi-substansi dari lingkungan
luar yang mengganggu (Vaughan, 2010).
Peradangan pada konjungtiva disebut konjungtivitis, penyakit ini
bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis
berat dengan sekret purulen (Vaughan, 2010). Konjungtivitis umumnya
disebabkan oleh reaksi alergi, infeksi bakteri dan virus, serta dapat bersifat akut
atau menahun (Ilyas, 2009). Penelitian yang dilakukan di Belanda menunjukkan
penyakit ini tidak hanya mengenai satu mata saja, tetapi bisa mengenai kedua
mata, dengan rasio 2,96 pada satu mata dan 14,99 pada kedua mata (Majmudar,
2010).
Konjungtivitis dapat dijumpai di seluruh dunia, pada berbagai ras, usia,
jenis kelamin dan strata sosial. Walaupun tidak ada data yang akurat mengenai
insidensi konjungtivitis, penyakit ini diestimasi sebagai salah satu penyakit mata
yang paling umum (American Academy of Opthalmology, 2010). Pada 3%
kunjungan di departemen penyakit mata di Amerika serikat, 30% adalah keluhan
konjungtivitis akibat bakteri dan virus, dan 15% adalah keluhan konjungtivitis
alergi (Marlin, 2009). Pada konjungtivitis bakteri, patogen yang umum adalah
Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, dan
Neisseria meningitidis (Marlin, 2009).
Penelitian yang dilakukan di Filadelfia menunjukkan insidensi
konjungtivitis bakteri sebesar 54% dari semua kasus di departemen mata pada
tahun 2005 hingga 2006 (Patel, 2007). Penelitian di Kentucky pada tahun 1997
hingga 1998 menunjukkan pada 250 kasus konjungtivitis bakteri, 70% disebabkan
oleh infeksi Haemophilus influenzae (Weissman, 2008). Di Indonesia dari
135.749 kunjungan ke departemen mata, total kasus konjungtivitis dan gangguan
lain pada konjungtiva sebanyak 99.195 kasus dengan jumlah 46.380 kasus pada
laki-laki dan 52.815 kasus pada perempuan. Konjungtivitis termasuk dalam 10
besar penyakit rawat jalan terbanyak pada tahun 2009, tetapi belum ada data
statistik mengenai jenis konjungtivitis yang paling banyak yang akurat (Ditjen
Yanmed, Kemkes RI, 2010).
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : LK
Jenis Kelamin : Wanita
Umur : 2 tahun
Alamat : Ara AB, Lhoksukon
Agama : Islam
MRS : 18/09/2018
Rekam Medis : 47.70.05
2.2 Anamnesis
a. Keluhan utama : Mata merah
b. Keluhan tambahan : Demam, kotoran mata, mata berair
c. RPS : Pasien datang bersama ibunya ke poli mata karena mata merah ±1
minggu, mata sering berair dan adanya kotoran mata yang sering timbul
pada pagi hari saat bangun tidur pasien susah membuka mata. Kotoran
mata bersifat lengket pada kelompak mata dan berwarna kuning. Keluhan
lain yaitu demam yang timbul ±1 minggu. Tidak ada keluhan penglihatan
kabur. Riwayat masuk benda asing ke dalam mata disangkal. Pasien juga
pernah berobat ke poli mata 1 bulan yang lalu dengan keluhan adanya
benjolan pada kelopak mata dan saat ini benjolan tersebut juga masih
tampak pada kelopak mata pasien.
d. RPD : Pasien berobat ke poli mata 1 bulan yang lalu dan di diagnosa
dengan Chalazion OS.
e. RPO : Cefixime 3x500mg dan Xitrol 6 dd gtt 1 OS
f. RPK : Disangkal
b. Status Lokalis
Pemeriksaa
OD OS
n
Visus 6/6 6/6
Posisi Ortoforia Ortoforia
Palpebra Edema (-), hiperemis (-) Edema (+), Benjolan putih (+)
superior
Palpebra Edema (-), hiperemis (-) Edema (+), hiperemis (-)
inferior
Conj. Papil (-), Hiperemis (-) Papil (-), Hiperemis (+)
Tarsalis
superior
Conj. Papil (-), Hiperemis (-) Papil (-), Hiperemis (+)
Tarsalis
inferior
Sekret (-), injeksi konjungtiva Sekret (+), injeksi konjungtiva
Conj. Bulbi
(-), injeksi siliar (-) (+), injeksi siliar (-)
Jernih, infiltrat (-) Jernih, inflitrat (-),benjolan
Cornea
putih (+)
COA Normal Normal
Isokor, ukuran 3 mm, RL (+), Isokor, ukuran 3 mm, RL (+),
Pupil
RCTL (+) RCTL (+)
Iris Kripti normal Kripti normal
Lensa Jernih Jernih
Corpus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
vitreus
Fundus oculi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Gambar
3.1 Konjungtiva
3.1.1 Anatomi konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris) (Vaughan, 2010). Konjungtiva
dibagi tiga bagian yaitu konjungtiva palpebra, konjungtiva bulbar dan forniks.
Konjungtiva palpebra melapisi bagian dalam palpebra, dibagi lagi menjadi tiga
bagian yaitu marginal, tarsal dan orbital. Bagian marginal terletak di tepi palpebra
hingga 2mm ke dalam palpebra, bagian tarsal melekat di tarsal plate, sedangkan
bagian orbital terletak di antara konjungtiva tarsal dan forniks. Di konjungtiva
palpebra terdapat kelenjar henle dan sel goblet yang memproduksi musin (Cantor
et all, 2014 & Thai et all, 2011).
Konjungtiva bulbar melapisi bagian anterior bola mata dan dipisahkan
dengan sklera anterior oleh jaringan episklera. Konjungtiva yang berbatasan
dengan kornea disebut limbal conjunctiva. Di konjungtiva bulbar terdapat kelenjar
manz dan sel goblet. Konjungtiva forniks merupakan penghubung konjungtiva
palpebra dengan konjungtiva bulbar. Daerah tersebut memiliki kelenjar lakrimal
aksesoris yaitu kelenjar krause dan wolfring yang menghasilkan komponen aquos
air mata (Cantor et all, 2014 & Thai et all, 2011).
Perlu disampaikan agar penderita (Ohashi et all, 2010 & (Gokhale et all,
2012) yaitu:
i. Tidak menggunakan obat tetes mata steroid secara terus menerus.
ii. Obat harus dengan indikasi dokter.
iii. Pemakaian steroid dapat terjadi infeksi bakteri, jamur, glaukoma dan
sebagainya.
3.3.8 Konjungtivitis Fliktenuralis
a. Definisi
Konjungtivitis flikten merupakan konjungtivitis nodularis yang disebabkan
oleh alergi terhadap bakteri atau antigen tertentu (Ilyas, 2015).
b. Etiologi
Disebabkan oleh alergi (hipersensitivitas tipe IV) terhadap
tuberkuloprotein, stafilokok, limfogranuloma venerea, leismaniasis, infeksi parasit
dan infeksi di tempat lain di dalam tubuh. Sering dijumpai pada anak-anak
didaerah padat, yang biasanya dengan gizi kurang atau sering mendapat radang
saluran napas (Ilyas, 2015).
c. Gejala klinis
Gejala konjungtivitis flikten adalah mata berair, iritasi dengan rasa sakit,
fotofobia dapat ringan hingga berat. Bila kornea ikut terkena selain daripada rasa
sakit, pasien juga akan merasa silau disertai blefarospasme (Ilyas, 2015).
d. Diagnosis
Biasanya terlihat unilateral dan kadang-kadang mengenai kedua mata.
Pada konjungtivitis flikten terlihat sebagai bintik putih yang dikelilingi daerah
hiperemi. Pada pasien akan terlihat kumpulan pembuluh darah yang mengelilingi
suatu tonjolan bulat dengan warna kuning kelabu seperti suatu mikroabses yang
terletak didekat limbus. Biasanya abses menjalar ke arah sentral atau kornea dan
lebih dari satu (Ilyas, 2015).
e. Diagnosis banding
Diagnosis banding konjungtivitis flikten adalah pinguekula iritan
(lokalisasi pada fisura palpebra), ulkus kornea, okular rosazea dan keratitis herpes
simpleks (Ilyas, 2015).
f. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan adalah menyebarnya flikten ke dalam
kornea atau terjadinya infeksi sekunder sehingga timbul abses (Ilyas, 2015).
g. Tatalaksana
Tatalaksana konjungtivitis flikten adalah dengan diberi steroid topikal,
midriatrik bila terjadi penyulit pada kornea, diberi kacamata hitam karena adanya
rasa silau yang sakit. Perhatikan higiene mata dan diberi antibiotik salep mata
waktu tidur dan air mata buatan. Sebaiknya cari penyebab seperti adanya
tuberkulosis, blefaritis stafilokokus kronik dan lainnya (Ilyas, 2015).
h. Prognosis
Prognosis konjungtivitis flikten dapat sembuh sendiri dalam 2 minggu,
dengan kemungkinan terjadi kekambuhan. Keadaan akan lebih berat bila terkena
kornea (Ilyas, 2015).
i. Pencegahan
Karena sering terdapat pada anak dengan gizi kurang maka sebaiknya
diberikan vitamin dan makanan tambahan (Ilyas, 2015).
3.3.8 Konjungtivitis Sicca
a. Definisi
Penyakit mata kering atau (keratokonjungtivitis sicca) merupakan penyakit
multifaktorial pada air mata dan permukaan mata yang menimbulkan gejala tidak
nyaman, gangguan penglihatan, dan ketidakstabilan tear film dengan potensial
merusak permukaan mata. Keadaan ini bisa diikuti dengan peningkatan
osmolaritas tear film dan inflamasi permukaan mata (Report of the international
dry eye syndrome, 2007).
b. Epidemiologi
Angka kejadian penyakit mata kering masih bervariasi karena definisi dan
kriteria diagnosis untuk penelitian masih beragam (Phadatare et all, 2015).
Berdasarkan data DEWS 2007, 5-30% penduduk usia di atas 50 tahun menderita
mata kering.1 Penelitian Women’s Health Study dan Physician’s Health Study
melaporkan angka kejadian mata kering pada perempuan lebih tinggi (3,2 juta)
dibandingkan dengan laki-laki (1,6 juta) usia di atas 50 tahun (Report of the
international dry eye syndrome, 2007). Penyakit mata kering terjadi akibat
penurunan produksi aqueous atau peningkatan evaporasi air mata, paling sering
disebabkan oleh evaporasi air mata akibat disfungsi kelenjar meibomian
(Stapleton et all, 2015).
c. Gejala klinis
Gejala utama mata kering adalah kering dan rasa berpasir pada mata.
Gejala tambahan seperti rasa panas atau gatal, sensasi benda asing, air mata
berlebihan, nyeri dan mata kemerahan, dan fotofobia. Dapat diikuti dengan
gangguan penglihatan dan memburuk saat kelembapan rendah dan suhu tinggi
(Phadatare et all, 2015).
d. Klasifikasi
Mata kering dapat terjadi sendiri atau bersamaan dengan kelainan lain
(Report of the international dry eye syndrome, 2007). Berdasarkan etiopatologi,
mata kering dikelompokkan menjadi dua, yaitu mata kering defisiensi aqueous
(ADDE) dan mata kering evaporasi (EDE):
i. Mata Kering Defisiensi Aqueous (MKDA)
Disebabkan oleh kegagalan sekresi air mata lakrimal akibat disfungsi
kelenjar lakrimal asinar atau penurunan volume sekresi air mata. Keadaan
ini menyebabkan hiperosmolaritas karena evaporasi tetap berlangsung
normal. kelenjar lakrimal akibat trakoma juga berperan dalam MKBSS.
Pada Beave Dam study ditemukan angka kejadian mata kering pasien DM
18,1% dibandingkan dengan pasien non-DM (14,1%) (Report of the
international dry eye syndrome, 2007).
ii. Mata Kering Evaporasi (MKE)
MKE terjadi akibat kehilangan air mata di permukaan mata, sedangkan
kelenjar lakrimasi berfungsi normal. Keadaan ini dapat dipengaruhi oleh
faktor intrinsik (struktur kelopak mata) dan ekstrinsik (penyakit
permukaan mata atau pengaruh obat topikal), keterkaitan kedua faktor
masih sulit dibedakan (Report of the international dry eye syndrome,
2007).
e. Diagnosis
Urutan pemeriksaan mata kering antara lain (Report of the international
dry eye syndrome, 2007), yaitu:
i. Riwayat pasien dengan kuesioner
ii. Tear film break-up time dengan fluoresein
iii. Pewarnaan permukaan mata menggunakan fluoresein atau lissamine green
iv. Tes Schirmer I dengan atau tanpa anestesi/tes Schirmer II dengan stimulasi
nasal.
v. Pemeriksaan kelopak mata dan kelenjar meibomian
Seorang pasien wanita an. LK, usia 2 tahun datang bersama ibunya ke Poli
Mata RSU Cut Meutia dengan keluhan mata merah yang sudah dialami pasien
sejak ±1 minggu ini. Selain itu ibu pasien mengatakan bahwa pasien sering
terlihat mata yang berair (epifora) dan adanya kotoran (sekret) mata yang sering
timbul pada pagi hari saat bangun tidur pasien susah membuka mata. Kotoran
mata bersifat lengket pada kelompak mata dan berwarna kuning. Keluhan lain
yaitu demam yang timbul ±1 minggu. Tidak ada keluhan penglihatan kabur.
Riwayat masuk benda asing ke dalam mata disangkal. Pasien juga pernah berobat
ke poli mata RSU Cut Meutia 1 bulan yang lalu dengan keluhan adanya benjolan
pada kelopak mata kiri yang di diagnosa dengan Chalazion OS. Riwayat
pemakaian obat sebelumnya yaitu Cefixime 3x500mg dan Xitrol 6 dd gtt 1 OS.
Riwayat penyakit keluarga dengan keluhan mata merah dan benjolan pada
kelopak mata disangkal.
Pada pemeriksaan fisik untuk status generalis didapatkan keadaan umum
baik, kesadaran pasien compos mentis dengan keadaan penyakit sakit ringan,
tekanan darah tidak diperiksa, nadi 112 x/menit, pernapasan 21 x/menit,
temperatur 36,8oC. Pada pemeriksaan fisik secara umum regio kepala, paru,
jantung dan abdomen dalam batas normal.
Pemeriksaan status oftalmologi didapatkan visus OD & OS masing-
masing adalah 6/6, posisi OD & OS ortoforia, palpebra superior OS edema (+)
dan benjolan putih (+), palpebra inferior OS edema (+), konjungtiva tarsalis
superior dan inferior OS hiperemis (+), konjungtiva bulbi OS sekret (+), injeksi
konjungtiva (+), kornea OS terdapat benjolan putih (+), camera oculi anterior OD
& OS normal, pupil OD & OS isokor, ukuran 3 mm, RL (+), RCTL (+), iris OD &
OS kripti normal, lensa OD & OS jernih, Corpus vitreus dan Fundus oculi tidak
dilakukan pemeriksaan.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan status oftalmologi pasien
didiagnosa dengan Konjungtivitis OS + Chalazion OS. Anjuran terapi yang dapat
diberikan yaitu kompres dingin pada mata yang sakit, Artificial tears (Lyteers) 4-
8x 1 tetes dan Antibiotik topikal spektrum luas (levofloxacin topikal) untuk
mencegah infeksi sekunder. Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu penderita
diminta untuk tidak menyentuh atau mengucek mata, tidak boleh berbagi handuk
dengan penderita, cuci tangan setelah terkena sekret mata dan memperhatikan
higiene perorangan secara khusus.
Konjungtivitis adalah proses inflamasi akibat infeksi pada konjungtiva
yang ditandai dengan dilatasi vaskular, infiltrasi seluler, dan eksudasi (Vaughan,
2010). Konjungtivitis adalah penyakit mata paling umum di dunia dan bervariasi
dari hiperemia ringan dengan mata berair hingga konjungtivitis berat dengan
sekret purulen kental. Konjungtivitis dapat menyerang seluruh kelompok umur,
akut maupun kronis, serta disebabkan oleh berbagai faktor baik eksogen maupun
endogen. Faktor eksogen meliputi bakteri, virus, jamur, maupun zat kimiawi
irritatif, seperti asam, basa, asap, angin, sinar ultraviolet hingga iatrogenik. Faktor
endogen penyebab konjungtivitis berupa reaksi hipersensitivitas, baik humoral
maupun selular, serta reaksi autoimun (Garcia-Ferrer et all, 2008).
Keluhan pasien pada kasus ini berupa mata merah ±1 minggu, mata berair,
dan mengeluarkan sekret yang sesuai dengan gejala konjungtivitis bakteri akut.
Pada pasien ini konjungtivitis bakteri akut belum mengakibatkan komplikasi ke
kornea, ditandai tidak didapatkan penurunan visus serta keluhan mata berair
(epifora) dan blepharospasme yang merupakan gejala khas dari keratitis.
Penatalaksanaan medikamentosa pada pasien ini diberikan antibiotik spektrum
luas.
Konjungtivitis bakteri akut merupakan keluhan mata yang sangat umum di
temui pada 1% dari seluruh kunjungan di pelayanan kesehatan primer (Hovding,
2008). Data epidemiologi berdasarkan penelitian dari 160 kasus diketahui bahwa
136 kasus konjungtivitis suspek bakteri atau virus, Berdasarkan jenis kelamin
diketahui bahwa 85 pasien (53,125%) adalah laki-laki dan 75 pasien (46,875%)
adalah wanita. Berdasarkan usia terbanyak pada usia 31-40 tahun (18,75%) dan
usia 0-10 tahun (18,125%). Berdasarkan gejala dan tanda klinis diketahui bahwa
160 pasien (100%) mengeluhkan mata merah (Insani et all, 2017).
Penelitian Alloyna mengenai prevalensi konjungtivitis di Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik Sumatera Utara pada tahun 2009 dan 2010 yang
menunjukkan bahwa pasien konjungtivitis terbanyak adalah perempuan, yaitu
sebanyak 154 pasien (54%) dari total 285 pasien (Alloyna, 2011). Referensi lain
menyatakan bahwa konjungtivitis dapat mengenai seluruh jenis kelamin, strata
sosial dan kelompok umur sehingga tampak bahwa jenis kelamin tidak
berpengaruh signifikan terhadap risiko konjungtivitis (Garratt & Soberano, 2013).
Berdasarkan gejala dan tanda klinis diketahui yang paling banyak
ditemukan adalah mata merah yaitu pada seluruh pasien (100%). Penelitian di
Rumah Sakit Umum Raden Mattaher Jambi juga menyatakan bahwa tanda klinis
terbanyak adalah mata merah dan berair yaitu sebanyak 74 pasien (100%) dari
total 74 pasien konjungtivitis (Shakira et all, 2012). Literatur juga menjelaskan
bahwa mata merah merupakan tanda klinis konjungtivitis yang predominan
(Garcia-Ferrer et all, 2008). Gejala dan tanda klinis lain seperti sekret atau eksudat
merupakan ciri konjungtivitis akut, dimana sekret berlapis dan amorf ditemukan
pada konjungtivitis bakteri dan berserabut pada konjungtivitis alergi (Garcia-
Ferrer et all, 2008).
Dalam penegakan diagnosis, konjungtivitis bakteri dan virus sulit
dibedakan karena tidak jarang pasien datang dengan keluhan yang saling tumpang
tindih serta tidak dilakukannya pemeriksaan kultur. Sebagian besar kasus
konjungtivitis bakteri dan virus ditangani dengan pemberian antibiotik spektrum
luas (Cronau et all, 2010). Konjungtivitis virus merupakan self-limiting disease
dan sejauh ini belum terdapat bukti pendukung mengenai efektivitas penggunaan
antivirus sehingga mayoritas pasien ditangani dengan terapi suportif seperti
kompres dingin, dekongestan dan air mata buatan (artificial tears). Pasien dengan
risiko tinggi infeksi sekunder diberikan antibiotik (Haq et all, 2013).
Anjuran terapi diketahui bahwa 85 pasien (54%) mendapat terapi
farmakologi dalam bentuk tetes mata saja. Belum ada penelitian mengenai
manajemen konjungtivitis di Indonesia, sehingga hasil penelitian ini belum dapat
dibandingkan (Insani et all, 2017). Jenis tetes mata yang paling sering digunakan
adalah lubrikan dan antibiotik. Lubrikan digunakan karena dapat membantu
mengurangi rasa tidak nyaman pada mata serta menjaga permukaan mata dengan
kandungan elektrolit yang terkandung di dalamnya. Tetes mata lubrikan sangat
sering digunakan, baik dalam kasus konjungtivitis bakteri, virus, maupun alergi
(Sahoo & Haq, 2011). Manajemen konjungtivitis, antibiotik biasanya digunakan
untuk eradikasi kuman penyebab maupun pencegahan infeksi sekunder. Tetes
mata antibiotik diberikan pada pasien konjungtivitis suspek bakteri atau virus
maupun konjungtivitis iritatif (Haq et all, 2013).
Tetes mata antibiotik (single) yang biasanya digunakan adalah golongan
kuinolon, seperti ofloxacin dan levofloxacin. Jenis tetes mata kombinasi antibiotik
dengan antibiotik biasanya menggunakan kombinasi golongan polipeptida seperti
polimiksin dengan aminoglikosida. Kortikosteroid yang biasanya digunakan
dalam kombinasi adalah dexamethasone. Hal ini sesuai dengan referensi yang
menyatakan bahwa pada kasus konjungtivitis bakteri ringan-sedang dapat
diberikan polimiksin B, eritromisin atau azitromisin. Pada kasus sedang hingga
berat dapat diberikan flourokuinolon seperti ofloxacin, ciprofloxacin, dan
levofloxacin (Haq et all, 2013). Literatur lain juga menyatakan bahwa antibiotik
golongan flourokuinolon, aminoglikosida, dan polimiksin dapat digunakan dalam
penanganan kasus konjungtivitis bakteri (Tarabishi & Jeng, 2008).
BAB 5
KESIMPULAN