Anda di halaman 1dari 55

Laporan Kasus

Konjungtivitis

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Departemen Ilmu Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Malikussaleh – RSUCM

Oleh :

Yeni Saputri, S.Ked


NIM: 130611004

Preseptor :

dr. Syarifah Rohaya Sp.M

DEPARTEMEN ILMU MATA RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
ACEH UTARA
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah, dan

kesempatan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan Laporan Kasus ini dengan

judul "Konjungtivitis". Penyusunan Laporan Kasus ini merupakan pemenuhan

syarat untuk menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik senior di Departemen Ilmu

Mata di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia.

Seiring rasa syukur atas terselesaikannya Laporan Kasus ini, dengan rasa

hormat dan rendah hati saya sampaikan terimakasih kepada:

1. Pembimbing, dr. Syarifah Rohaya, Sp.M atas arahan dan bimbingannya

dalam penyusunan Laporan Kasus ini.

2. Sahabat-sahabat kepaniteraan klinik senior di Departemen Ilmu Mata

Rumah Sakit umum daerah Cut Meutia, yang telah membantu dalam

bentuk motivasi dan dukungan semangat.

Sebagai manusia yang tidak lepas dari kekurangan, saya menyadari bahwa

dalam penyusunan Laporan Kasus ini masih jauh dari sempurna. Saya sangat

mengharapkan banyak kritik dan saran yang membangun dalam penyempurnaan

Laporan Kasus ini. Semoga Laporan Kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Amin.

Lhokseumawe, Oktober 2018

Yeni Saputri, S.Ked

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................ 1
BAB 2 LAPORAN KASUS ......................................................................... 3
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 7
3.1 Konjungtiva ............................................................................... 7
3.1.1 Anatomi konjungtiva ........................................................ 7
3.1.2 Histologi konjungtiva ....................................................... 8
3.1.3 Perdarahan dan persarafan konjungtiva ............................ 9
3.1.4 Mekanisme perlindungan mata......................................... 9
3.1.5 Patogenesis infeksi mata ................................................... 10
3.2 Konjungtivitis ............................................................................ 10
3.3 Pembagian Konjungtivitis ........................................................ 12
3.3.1 Konjungtivitis bakteri ....................................................... 12
3.3.2 Konjungtivitis gonoroe dan oftalmia neonatorum ............ 15
3.3.3 Konjungtivitis viral nonspesifik ....................................... 20
3.3.4 Konjungtivitis jamur ......................................................... 29
3.3.5 Konjungtivitis parasit ....................................................... 29
3.3.6 Trakoma ............................................................................ 29
3.3.7 Konjungtivitis vernal ........................................................ 34
3.3.8 Konjungtivitis fliktenuralis ............................................... 37
3.3.9 Konjungtivitis sicca .......................................................... 38
3.4 Chalazion ................................................................................... 41
BAB 4 PEMBAHASAN .............................................................................. 44
BAB 5 KESIMPULAN ............................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 49

BAB 1
PENDAHULUAN
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Karena lokasinya, konjungtiva
terpajan oleh banyak mikroorganisme dan substansi-substansi dari lingkungan
luar yang mengganggu (Vaughan, 2010).
Peradangan pada konjungtiva disebut konjungtivitis, penyakit ini
bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis
berat dengan sekret purulen (Vaughan, 2010). Konjungtivitis umumnya
disebabkan oleh reaksi alergi, infeksi bakteri dan virus, serta dapat bersifat akut
atau menahun (Ilyas, 2009). Penelitian yang dilakukan di Belanda menunjukkan
penyakit ini tidak hanya mengenai satu mata saja, tetapi bisa mengenai kedua
mata, dengan rasio 2,96 pada satu mata dan 14,99 pada kedua mata (Majmudar,
2010).
Konjungtivitis dapat dijumpai di seluruh dunia, pada berbagai ras, usia,
jenis kelamin dan strata sosial. Walaupun tidak ada data yang akurat mengenai
insidensi konjungtivitis, penyakit ini diestimasi sebagai salah satu penyakit mata
yang paling umum (American Academy of Opthalmology, 2010). Pada 3%
kunjungan di departemen penyakit mata di Amerika serikat, 30% adalah keluhan
konjungtivitis akibat bakteri dan virus, dan 15% adalah keluhan konjungtivitis
alergi (Marlin, 2009). Pada konjungtivitis bakteri, patogen yang umum adalah
Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, dan
Neisseria meningitidis (Marlin, 2009).
Penelitian yang dilakukan di Filadelfia menunjukkan insidensi
konjungtivitis bakteri sebesar 54% dari semua kasus di departemen mata pada
tahun 2005 hingga 2006 (Patel, 2007). Penelitian di Kentucky pada tahun 1997
hingga 1998 menunjukkan pada 250 kasus konjungtivitis bakteri, 70% disebabkan
oleh infeksi Haemophilus influenzae (Weissman, 2008). Di Indonesia dari
135.749 kunjungan ke departemen mata, total kasus konjungtivitis dan gangguan
lain pada konjungtiva sebanyak 99.195 kasus dengan jumlah 46.380 kasus pada
laki-laki dan 52.815 kasus pada perempuan. Konjungtivitis termasuk dalam 10
besar penyakit rawat jalan terbanyak pada tahun 2009, tetapi belum ada data
statistik mengenai jenis konjungtivitis yang paling banyak yang akurat (Ditjen
Yanmed, Kemkes RI, 2010).

BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : LK
Jenis Kelamin : Wanita
Umur : 2 tahun
Alamat : Ara AB, Lhoksukon
Agama : Islam
MRS : 18/09/2018
Rekam Medis : 47.70.05
2.2 Anamnesis
a. Keluhan utama : Mata merah
b. Keluhan tambahan : Demam, kotoran mata, mata berair
c. RPS : Pasien datang bersama ibunya ke poli mata karena mata merah ±1
minggu, mata sering berair dan adanya kotoran mata yang sering timbul
pada pagi hari saat bangun tidur pasien susah membuka mata. Kotoran
mata bersifat lengket pada kelompak mata dan berwarna kuning. Keluhan
lain yaitu demam yang timbul ±1 minggu. Tidak ada keluhan penglihatan
kabur. Riwayat masuk benda asing ke dalam mata disangkal. Pasien juga
pernah berobat ke poli mata 1 bulan yang lalu dengan keluhan adanya
benjolan pada kelopak mata dan saat ini benjolan tersebut juga masih
tampak pada kelopak mata pasien.
d. RPD : Pasien berobat ke poli mata 1 bulan yang lalu dan di diagnosa
dengan Chalazion OS.
e. RPO : Cefixime 3x500mg dan Xitrol 6 dd gtt 1 OS
f. RPK : Disangkal

2.3 Pemeriksaan Fisik


a. Status generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan penyakit : Sakit ringan
HR : 112x/i
RR : 21 x/1
T : 36,8oC
 Kepala
Bentuk Normocephali, pembesaran KGB leher (-), deviasi trakea (-)
epistaksis (-), sekret telinga (-).
 Paru
Inspeksi : normochest, simetris (+)/(+), retraksi dinding dada (-)

Palpasi : stem fremitus kiri = kanan, nyeri tekan (-).


Perkusi : sonor kiri = kanan
Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikuler (+)/(+)
Bunyi tambahan: ronkhi (-)/(-), wheezing (-)/(-)
 Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V midclavicularis (S)
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Atas : ICS III, linea parasternalis sinistra
Bawah : ICS V, linea sternalis sinistra
Kiri : linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : S1/S2 reguler,murmur (-), gallop (-)
 Abdomen
Inspeksi : bentuk normal, distensi (-)
Auskultasi : peristaltik usus 5 kali/menit
Palpasi : soepel (+), nyeri tekan (-), hepar/lien tidak membesar
Perkusi : timpani (+)

b. Status Lokalis
Pemeriksaa
OD OS
n
Visus 6/6 6/6
Posisi Ortoforia Ortoforia
Palpebra Edema (-), hiperemis (-) Edema (+), Benjolan putih (+)
superior
Palpebra Edema (-), hiperemis (-) Edema (+), hiperemis (-)
inferior
Conj. Papil (-), Hiperemis (-) Papil (-), Hiperemis (+)
Tarsalis
superior
Conj. Papil (-), Hiperemis (-) Papil (-), Hiperemis (+)
Tarsalis
inferior
Sekret (-), injeksi konjungtiva Sekret (+), injeksi konjungtiva
Conj. Bulbi
(-), injeksi siliar (-) (+), injeksi siliar (-)
Jernih, infiltrat (-) Jernih, inflitrat (-),benjolan
Cornea
putih (+)
COA Normal Normal
Isokor, ukuran 3 mm, RL (+), Isokor, ukuran 3 mm, RL (+),
Pupil
RCTL (+) RCTL (+)
Iris Kripti normal Kripti normal
Lensa Jernih Jernih
Corpus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
vitreus
Fundus oculi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Gambar

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan mikroskopik kerokan konjungtiva yang di pulas dengan
pewarnaan Gram atau Giemsa.
2.5 Diagnosa Banding
 Konjungtivitis OS
 Keratitis OS
 Chalazion OS
 Blefaritis OS
 Keratokonjungtivitis OS
2.6 Diagnosa Kerja
Konjungtivitis OS + Chalazion OS
2.7 Anjuran Terapi
 Kompres dingin pada mata yang sakit
 Artificial tears (Lyteers) 4-8x 1 tetes
 Antibiotik topikal spektrum luas (levofloxacin topikal) untuk mencegah
infeksi sekunder.
 Jika terdapat membran/psuedomembran , boleh dilakukan pengelupasan.
2.8 Komplikasi
 Blefaritits marginal kronik
 Parut konjungtiva
 Ulserasi kornea dan perforasi
 Iritis toksik
2.9 Prognosis
 Ad vitam : Bonam
 Ad sanactionam : Bonam
 Ad Fungsionam : Bonam
2.10 Edukasi
 Penderita diminta untuk tidak menyentuh atau mengucek mata
 Tidak boleh berbagi handuk dengan penderita
 Cuci tangan
 Memperhatikan higiene perorangan secara khusus.
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Konjungtiva
3.1.1 Anatomi konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris) (Vaughan, 2010). Konjungtiva
dibagi tiga bagian yaitu konjungtiva palpebra, konjungtiva bulbar dan forniks.
Konjungtiva palpebra melapisi bagian dalam palpebra, dibagi lagi menjadi tiga
bagian yaitu marginal, tarsal dan orbital. Bagian marginal terletak di tepi palpebra
hingga 2mm ke dalam palpebra, bagian tarsal melekat di tarsal plate, sedangkan
bagian orbital terletak di antara konjungtiva tarsal dan forniks. Di konjungtiva
palpebra terdapat kelenjar henle dan sel goblet yang memproduksi musin (Cantor
et all, 2014 & Thai et all, 2011).
Konjungtiva bulbar melapisi bagian anterior bola mata dan dipisahkan
dengan sklera anterior oleh jaringan episklera. Konjungtiva yang berbatasan
dengan kornea disebut limbal conjunctiva. Di konjungtiva bulbar terdapat kelenjar
manz dan sel goblet. Konjungtiva forniks merupakan penghubung konjungtiva
palpebra dengan konjungtiva bulbar. Daerah tersebut memiliki kelenjar lakrimal
aksesoris yaitu kelenjar krause dan wolfring yang menghasilkan komponen aquos
air mata (Cantor et all, 2014 & Thai et all, 2011).

Gambar 3.1 Anatomi Konjungtiva


3.1.2 Histologi konjungtiva
Konjungtiva terdiri atas tiga lapisan yang secara histologi berbeda, yaitu
lapisan epitelium, adenoid, dan fibrosa. Lapisan epitelium merupakan lapisan
terluar konjungtiva dengan struktur yang bervariasi di setiap regio. Epitel
konjungtiva marginal terdiri atas lima lapis epitel gepeng berlapis dan pada
konjungtiva tarsal terdiri atas dua lapis epitel silindris dan gepeng. Konjungtiva
forniks dan bulbar terdiri atas tiga lapis epitel yaitu sel silindris, sel polihedral,
dan sel kuboid, sedangkan konjungtiva limbal terdiri atas berlapis-lapis sel gepeng
(Thai et all, 2011 & Khurana, 2007).
Lapisan adenoid merupakan lapisan limfoid yang berfungsi dalam respons
imun di permukaan mata. Lapisan itu disebut conjunctiva-associated lymphoid
tissue (CALT); terdiri atas limfosit dan leukosit yang dapat berinteraksi dengan
mukosa sel epitel melalui sinyal resiprokal yang dimediasi oleh growth factor,
sitokin dan neuropeptida (Thai et all, 2011 & Khurana, 2007).
Lapisan fibrosa terdiri atas jaringan kolagen dan fibrosa serta pembuluh
darah dan konjungtiva. Konjungtiva palpebra diperdarahi oleh pembuluh darah
palpebra, sedangkan konjungtiva bulbar memperoleh darah dari arteri siliaris
anterior. Persarafan sensorik konjungtiva berasal dari cabang nervus kranialis V
(Cantor et all, 2014).

Gambar 3.2 Histologi Konjungtiva: (A) Lapisan Konjungtiva, (B) Bagian


Konjungtiva
3.1.3 Perdarahan dan Persarafan
Perdarahan konjungtiva berasal dari arteria siliaris anterior dan arteria
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama dengan
banyak vena konjungtiva membentuk jaringan vaskular konjungtiva yang sangat
banyak (Vaughan, 2010).
Vaskularisasi pada konjungtiva yaitu:
1. Arteri konjungtiva posterior, memperdarahi konjungtiva bulbi.
2. Arteri siliaris anterior atau episklera yang memberikan cabang :
a. Arteri episklera masuk ke dalam bola mata dan dengan arteri siliar
posterior longus bergabung membentuk arteri sirkular mayor atau
pleksus siliaris, yang akan memperdarahi iris dan badan siliar.
b. Arteri perikornea, yang memperdarahi kornea.
c. Arteri episklera yang terletak diatas sklera, merupakan bagian
arteri siliaris anterior yang memberikan perdarahan ke dalam bola
mata.
Bila terjadi pelebaran pembuluh darah diatas maka akan terjadi mata
merah, atau akibat pecahnya salah satu atau kedua pembuluh darah diatas dan
darah tertimbun di bawah jaringan konjungtiva menyebabkan timbul perdarahan
subkonjungtiva (Ilyas, 2015). Konjungtiva juga menerima persarafan dari
percabangan pertama nervus V dengan serabut nyeri yang relatif sedikit (Tortora,
2009).
3.1.4 Mekanisme perlindungan mata
Mata tersusun dari jaringan penyokong yang salah satu fungsinya adalah
melawan infeksi secara mekanik. Orbita, kelopak mata, bulu mata, kelenjar
lakrimal dan kelenjar meibom berperan dalam produksi, penyaluran dan drainase
air mata. Jaringan ikat di sekitar mata dan tulang orbita berfungsi sebagai bantalan
yang melindungi mukosa okular. Kelopak mata berkedip 10-15 kali per menit
untuk proses pertukaran dan produksi air mata, serta mengurangi waktu kontak
mikroba dan iritan ke permukaan mata (Cantor et all, 2014).
Mata memiliki jaringan limfoid, kelenjar lakrimal dan saluran lakrimal
yang berperan dalam sistem imunitas didapat. Makromolekul yang terkandung
dalam air mata memiliki efek antimikroba seperti lisozim, laktoferin, IgA, dan
sitokin lainnya (Cantor et all, 2014).
Epitel konjungtiva yang tidak terinfeksi menghasilkan CD8 sitotoksik dan
sel langerhans, sedangkan substansia propia konjungtiva memiliki sel T CD4 dan
CD8, sel natural killer, sel mast, limfosit B, makrofag dan sel polimorfonuklear.
Pembuluh darah dan limfe berperan sebagai media transpor komponen imunitas
dari dan ke mata. Pada inflamasi, berbagai mediator menyebabkan dilatasi
vaskular, peningkatan permeabilitas dan diapedesis sel inflamasi dari pembuluh
darah yang mengakibatkan mata menjadi merah (Cantor et all, 2014).
3.1.5 Patogenesis infeksi mata
Mikroorganisme masuk ke dalam tubuh dengan cara adhesi, evasi dan
invasi. Adhesi adalah penempelan molekul mikroorganisme ke epitel mata yang
dimediasi oleh protein permukaan mikroorganisme. Evasi adalah upaya
mikroorganisme untuk menembus pertahanan sistem imun (Cantor et all, 2014).
Hampir semua mikroorganisme hanya menginvasi bila terdapat kerusakan
epitel kecuali beberapa bakteri seperti Neissseria gonorhoeae dan Shigella spp.
Pada infeksi virus, adhesi sekaligus memfasilitasi proses invasi melalui interaksi
molekul virus dengan sel hospes seperti interaksi kapsul adenovirus dengan
integrin sel hospes yang menyebabkan proses endositosis virus oleh sel.
Mikroorganisme juga dapat bertahan melewati sistem pertahanan tubuh dan
bereplikasi seperti pada infeksi HSV, virus varisela serta herpes zoster namun
sebagian besar infeksi lainnya dapat dieradikasi oleh sistem imun tubuh (Cantor et
all, 2014).
3.2 Konjungtivitis
3.2.1 Definisi
Konjungtivitis adalah inflamasi jaringan konjungtiva yang dapat
disebabkan oleh invasi mikroorganisme, reaksi hipersensitivitas atau perubahan
degeneratif di konjungtiva. Pasien biasanya mengeluh mata merah, edema
konjungtiva dan keluar sekret berlebih. Gejala tersebut terjadi akibat dilatasi
vaskular, infiltrasi selular dan eksudasi (Azari & Barney, 2013).
3.2.2 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, konjungtivitis dibagi menjadi konjungtivitis
infeksi dan non-infeksi. Pada konjungtivitis infeksi, penyebab tersering adalah
virus dan bakteri, sedangkan pada kelompok non-infeksi disebabkan oleh alergi,
reaksi toksik, dan inflamasi sekunder lainnya. Konjungtivitis juga dapat
dikelompokkan berdasarkan waktu yaitu akut dan kronik. Pada kondisi akut,
gejala terjadi hingga empat minggu, sedangkan pada konjungtivitis kronik, gejala
lebih dari empat minggu. Konjungtivitis sering terjadi bersama atau sesudah
infeksi saluran napas dan umumnya terdapat riwayat kontak dengan pasien
konjungtivitis viral. Penyebaran virus umumnya terjadi melalui tangan, peralatan
mandi yang digunakan bersama, bantal kepala yang digunakan bersama atau
kontak dengan alat pemeriksaan mata yang terkontaminasi (Azari & Barney, 2013
& Cantor et all, 2014).
Klasifikasi konjungtivitis berdasarkan penyebab:
1. Konjungtivitis infeksi
 Konjungtivitis bakterialis
 Konjungtivitis gonorea dan oftalmia neonatorum
 Konjungtivitis viral nonspesifik
 Konjungtivitis herpes simpleks
 Konjungtivitis fungal
 Konjungtivitis parasitik (loaiasis, askariasis, ftiriasis, taeniasis,
skistosomiasis, trikinosis dan myiasis)
 Trakoma
2. Konjungtivitis noninfeksi
 Konjungtivitis vernal
 Konjungtivitis fliktenuralis
 Konjungtivitis sicca
3.3 Pembagian Konjungtivitis
3.3.1 Konjungtivitis bakteri
a. Definisi
Konjungtivitis Bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang disebabkan oleh
bakteri. Pada konjungtivitis ini biasanya pasien datang dengan keluhan mata
merah, sekret pada mata dan iritasi mata (James, 2005).
b. Etiologi
Konjungtivitis bakteri dibagi berdasarkan onset dan keparahannya menjadi
empat bentuk, yaitu hiperakut, akut, subakut dan kronik. Konjungtivitis bakteri
hiperakut biasanya disebabkan oleh N.gonnorhoeae, Neisseria kochii dan
N.meningitidis. Bentuk yang akut terjadi <3 minggu biasanya disebabkan oleh
Streptococcus pneumonia dan Haemophilus aegyptyus. Penyebab yang paling
sering pada bentuk konjungtivitis bakteri subakut adalah H influenza dan
Escherichia coli, sedangkan bentuk kronik paling sering terjadi pada
konjungtivitis sekunder atau pada pasien dengan obstruksi duktus nasolakrimalis
(Jatla, 2009). Konjungtivitis bakteri kronis tanda dan gejala timbul >3 minggu dan
sering terjadi kekambuhan. Hiperemi dan sekret yang timbul biasanya ringan
sampai sedang (Rubenstein, J., B., 1999).
Neisseria gonorrhoeae merupakan penyebab utama konjungtivitis bakteri
hiperakut yang biasanya mengenai neonatus dan orang dewasa yang aktif
berhubungan seksual. Konjungtivitis bakteri hiperakut ditandai dengan onset yang
mendadak, sekret yang profus kental dan berwana kuning kehijauan, hiperemi
konjungtiva yang hebat dan kemosis. Jika tidak ditangani secara tepat maka
konjungtivitis bakteri hiperakut ini dapat menyebabkan kekeruhan kornea,
perforasi kornea dan endoftalmitis (Høvding., G., 2008).
Konjungtivitis bakterial biasanya mulai pada satu mata kemudian
mengenai mata yang sebelah melalui tangan dan dapat menyebar ke orang lain.
Penyakit ini biasanya terjadi pada orang yang terlalu sering kontak dengan
penderita, sinusitis dan keadaan imunodefisiensi (Marlin, 2009).
c. Patofisiologi
Jaringan pada permukaan mata dikolonisasi oleh flora normal seperti
streptococci, staphylococci dan jenis Corynebacterium. Perubahan pada
mekanisme pertahanan tubuh ataupun pada jumlah koloni flora normal tersebut
dapat menyebabkan infeksi klinis. Perubahan pada flora normal dapat terjadi
karena adanya kontaminasi eksternal, penyebaran dari organ sekitar ataupun
melalui aliran darah (Rapuano, 2008).
Penggunaan antibiotik topikal jangka panjang merupakan salah satu
penyebab perubahan flora normal pada jaringan mata, serta resistensi terhadap
antibiotik (Visscher, 2009). Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi adalah
lapisan epitel yang meliputi konjungtiva sedangkan mekanisme pertahanan
sekundernya adalah sistem imun yang berasal dari perdarahan konjungtiva,
lisozim dan imunoglobulin yang terdapat pada lapisan air mata, mekanisme
pembersihan oleh lakrimasi dan berkedip. Adanya gangguan atau kerusakan pada
mekanisme pertahanan ini dapat menyebabkan infeksi pada konjungtiva (Amadi,
2009).
d. Gejala klinis
Gejala-gejala yang timbul pada konjungtivitis bakteri biasanya dijumpai
injeksi konjungtiva baik segmental ataupun menyeluruh. Selain itu sekret pada
kongjungtivitis bakteri biasanya lebih purulen daripada konjungtivitis jenis lain,
dan pada kasus yang ringan sering dijumpai edema pada kelopak mata (AOA,
2010).
Ketajaman penglihatan biasanya tidak mengalami gangguan pada
konjungtivitis bakteri namun mungkin sedikit kabur karena adanya sekret dan
debris pada lapisan air mata, sedangkan reaksi pupil masih normal. Gejala yang
paling khas adalah kelopak mata yang saling melekat pada pagi hari sewaktu
bangun tidur (James, 2005).
e. Diagnosis
Anamnesis yang perlu ditanyakan meliputi usia, karena mungkin saja
penyakit berhubungan dengan mekanisme pertahanan tubuh pada pasien yang
lebih tua. Pada pasien yang aktif secara seksual, perlu dipertimbangkan penyakit
menular seksual dan riwayat penyakit pada pasangan seksual.
Durasi lamanya penyakit, riwayat penyakit yang sama sebelumnya,
riwayat penyakit sistemik, obat-obatan, penggunaan obat-obat kemoterapi,
riwayat pekerjaan yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit, riwayat
alergi dan alergi terhadap obat-obatan, dan riwayat penggunaan lensa-kontak
(Marlin, 2009).
Pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan mikroskopik kerokan
konjungtiva yang di pulas dengan pewarnaan Gram atau Giemsa (Vaughan,
2010).
f. Komplikasi
Konjungtivitis bakteri akut dapat menimbulkan komplikasi jika tidak
ditangani secara tepat. Komplikasi yang dapat timbul seperti keratitis, ulkus
kornea dan uveitis yang dapat menyebabkan kebutaan. Ulserasi kornea dapat
terjadi pada infeksi N. kochii, N.meningitides, H. aegyptius, S. aureus, dan M.
catarrhalis. Bahkan pada kasus konjungtivitis meninges dapat berakhir menjadi
sepsis dan meningitis yang mengancam jiwa karena konjungtiva merupakan
gerbang masuk meningokokus ke dalam darah dan meninges (Vaughan, D. dan
Asbury, T., 2015).
Blefaritis marginal kronik sering menyertai konjungtivitis bateri, kecuali
pada pasien yang sangat muda yang bukan sasaran blefaritis. Parut di konjungtiva
paling sering terjadi dan dapat merusak kelenjar lakrimal aksesorius dan
menghilangkan duktulus kelenjar lakrimal. Hal ini dapat mengurangi komponen
aqueosa dalam film air mata prakornea secara drastis dan juga komponen mukosa
karena kehilangan sebagian sel goblet. Luka parut juga dapat mengubah bentuk
palpebra superior dan menyebabkan trikiasis dan entropion sehingga bulu mata
dapat menggesek kornea dan menyebabkan ulserasi, infeksi dan parut pada kornea
(Vaughan, 2010).
g. Tatalaksana
Terapi spesifik konjungtivitis tergantung pada temuan antigen
mikrobiologisnya. Dokter dapat memulai terapi dengan antibiotika topikal
spectrum luas, sambil menunggu hasil laboratorium. (misal polymixin-
trimethoprim). Pada sekret yang purulent selain pemberian terapi farmakologis,
saccus konjungtiva harus dibilas dengan larutan saline agar dapat menghilangkan
sekret konjungtiva (Vaughan, D. dan Asbury, T., 2015).
h. Prognosis
Konjungtivitis bakteri akut hampir selalu sembuh sendiri. Tanpa diobati,
infeksi dapat berlangsung selama 10-14 hari, sedangkan jika diobati memadai
berlangsung 1-3 hari, kecuali konjungtivitis stafilokokus (yang dapat berlanjut
menjadi blefarokonjungtivitis dan memasuki fase kronis) (Vaughan, D. dan
Asbury, T., 2015).
3.3.2 Konjungtivitis gonoroe dan oftalmia neonatorum
a. Definisi
Konjungtivitis gonoroe adalah radang konjungtiva akut hebat yang disertai
dengan sekret purulen. Gonokok merupakan kuman yang sangat patogen, virulen
dan bersifat invasif sehingga reaksi radang terhadap kuman ini sangat berat (Ilyas,
2015).
Oftalmia neonatorum (ON) adalah radang konjungtiva yang terjadi pada
neonatus dengan onset munculnya manifestasi dalam 28 hari pertama kehidupan
Infeksi ini umumnya diperoleh oleh neonatus selama perjalanan melalui jalan
lahir yang terinfeksi. Kondisi ini juga dikenal sebagai konjungtivitis neonatal
yang dapat mengakibatkan berbagai macam komplikasi visual (Rini & Yusran,
2017).
b. Epidemiologi
Kejadian ON yaitu 0,3% hingga 10% tiap tahun. Prevalensi infeksi
menular seksual mempengaruhi kejadian ON. Tidak adanya profilaksis yang
memadai meningkatkan 30% hingga 40% ON dengan persalinan per vaginam
oleh ibu yang terinfeksi (Matejeek & Goldman, 2013).
Insiden oftalmia neonatorum tinggi di daerah yang tinggi angka kejadian
penyakit menular seksual. Insiden bervariasi antara 0,1% pada negara berkembang
sampai 10% pada daerah di Afrika Timur.
c. Etiologi
Penyebab dari oftalmia neonatorum yang paling berbahaya adalah bakteri
Neisseria gonorrhoeae yang merupakan bakteri diplokokus intraselular gram
negatif. Onsetnya bersifat hiperakut dan dapat menimbulkan gejala klinis berupa
kemosis berat, sekret mata yang purulen, keterlibatan kornea berupa ulkus dan
perforasi bola mata.
Konjungtivitis gonore mengenai bayi yang ditularkan oleh ibunya dimana
infeksi terjadi pada saat bayi melewati jalan lahir. Infeksi juga dapat terjadi secara
tidak langsung, yaitu dapat melalui tangan, sapu tangan, handuk atau sebagai auto
infeksi pada orang-orang yang menderita uretritis atau servisitis gonoroika. Pada
orang dewasa penyakit ini ditularkan melalui penyakit kelamin sendiri.
d. Patofisiologi
Patofisiologi konjungtivitis neonatus dipengaruhi oleh anatomi jaringan
konjungtiva pada bayi baru lahir. Inflamasi pada konjungtiva dapat menyebabkan
dilatasi pembuluh darah, kemosis, dan sekresi berlebihan. Infeksi yang terjadi
cenderung lebih berat pada neonatus karena kurangnya imunitas, tidak adanya
jaringan limfoid pada konjungtiva dan tidak adanya air mata saat lahir.
Bakteri gonokokus merusak membran yang melapisi selaput lendir
terutama kanalis endoserviks dan uretra. Infeksi ekstragenital di faring, anus, dan
rektum dapat dijumpai pada kedua jenis kelamin. Penularan terjadi melalui kontak
langsung antara mukosa ke mukosa. Risiko penularan laki-laki kepada perempuan
lebih tinggi daripada penularan perempuan kepada laki-laki terutama karena lebih
luasnya selaput lendir yang terpajan dan eksudat yang berdiam lama di vagina.
Infeksi gonokokus dapat menyebar melalui aliran darah, menimbulkan
bakteremia. Bakteremia dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan.
Perempuan berisiko paling tinggi mengalami penyebaran infeksi pada saat haid
karena terjadinya peningkatan pH diatas 4,5 saat menstruasi. Penularan perinatal
kepada bayi saat lahir, melalui ostium serviks yang terinfeksi, dapat menyebabkan
konjungtivitis dan akhirnya kebutaan pada bayi apabila tidak didiagnosis dan
diobati.
e. Gejala klinis
Oftalmia neonatorum biasanya menyerang kedua mata secara serentak,
atau menyerang satu mata kemudian menjalar ke mata yang lainnya. Pada
umumnya akan terlihat akumulasi pus, kelopak mata bayi bengkak dan lengket
akibat akumulasi pus di bawahnya, dan konjungtiva hiperemi dan kemosis.
Durasi konjungtivitis dapat mengarahkan dugaan bakteri penyebab.
Neisseria gonorrhoeae menyebabkan konjungtivitis hiperakut yang terjadi kurang
dari 12 jam. Bakteri lain yang menyebabkan konjungtivitis hiperakut antara lain
Neisseria kochii dan Neisseria meningitidis. Onset konjungtivitis neonatorum
muncul saat bayi berumur 3-4 hari kehidupan namun dapat juga saat berumur 3
minggu.
Pada dewasa terdapat 3 stadium:
1. Stadium Infiltratif
Berlangsung 1-3 hari. Ditandai dengan palpebra bengkak, hiperemi,
tegang, blefarospasme. Konjungtiva palpebra hiperemi, bengkak,
infiltrative, mungkin terdapat pseudomembran di atasnya. Pada
konjungtiva bulbi terdapat injeksi konjungtival yang hebat, kemotik.
Terdapat sekret, serous, terkadang berdarah.
2. Stadium Supuratif atau Purulen
Berlangsung 2-3 minggu. Gejala tak begitu hebat. Palpebra masih
bengkak, hiperemis, tetapi tidak begitu tegang. Blefarospasme masih ada.
Sekret bercampur darah, keluar terus menerus. Kalau palpebra dibuka,
yang khas adalah sekret akan keluar dengan mendadak, oleh karenanya
harus hati-hati bila membuka palpebra, jangan sampai mengenai mata
pemeriksa.
3. Stadium Konvalesen (penyembuhan), atau hipertrofi papil
Berlangsung 2-3 minggu. Gejala tidak begitu hebat lagi. Palpebra sedikit
bengkak, konjungtiva palpebra hiperemi, tidak infiltrative. Konjungtiva
bulbi: injeksi konjungtiva masih nyata, tidak kemotik. Sekret jauh
berkurang.
Gejala khas konjungtivitis gonore adalah reaksi inflamasi berat disertai
nyeri hebat, sekret sangat banyak dan berwarna kehijauan, edema palpebra,
hiperemi, kemosis konjungtiva serta pembesaran kelenjar limfe preaurikular. Pada
kasus berat, kornea menjadi keruh dan edema. Jika proses berlanjut dapat terjadi
nekrosis sentral, ulkus bahkan perforasi kornea yang mengakibatkan kebutaan.
Neiserria gonorrhoeae mengeluarkan enzim protease yang dapat melisiskan
kornea utuh tanpa didahului defek epitel.
f. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah dengan pemeriksaan
sekret mata dengan pewarnaan metilen biru, di mana akan didapatkan adanya
diplokok di dalam leukosit. Kemudian dengan pemeriksaan Gram, akan terdapat
sel intraselular atau ekstraselular dengan sifat Gram negatif.
Pemeriksaan gram yang dilakukan tidak dapat membedakan antara
neisseria gonorrhoeae dengan neisseria meningitidis. Diagnosis definitif yang
dapat dikerjakan adalah kultur sekret mata. Bayi yang terinfeksi konjungtivitis
gonore sebaiknya diperiksakan infeksi concomitan lainnya seperti HIV, klamidia
dan sifilis
g. Diagnosis banding
Konjungtivitis purulen pada bayi sebaiknya dibedakan dengan oftalmia
neonatorum lainnya seperti klamidia konjungtivitis (inclusion blenore), infeksi
bakteri lain, virus dan jamur. Gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium akan
memberikan gambaran yang khusus untuk jenis infeksi, yang akan
memperlihatkan tanda-tanda infeksi virus, jamur dan bakteri pada pemeriksaan
sitologik.
h. Komplikasi
Penyulit yang dapat terjadi adalah ulkus kornea marginal terutama bagian
atas. Ulkus ini mudah perforasi akibat adanya daya lisis kuman gonokok. Pada
anak-anak sering terjadi keratitis ataupun ulkus kornea sehingga sering terjadi
perforasi kornea. Perforasi kornea dapat mengakibatkan endoftalmitis dan
panoftalmitis sehingga terjadi kebutaan total.
Komplikasi tersering dari N. Gonorrhoeae yang paling sering adalah di
kornea namun kadang kadang dapat juga timbul iridosiklitis. Komplikasi sistemik
meskipun jarang dapat berupa artritis gonorea, endokarditis, meningitis dan
septikemia.
i. Tatalaksana
Bayi baru lahir yang menderita konjungtivitis gonore harus dirawat dan
diisolasi di rumah sakit. Terapinya adalah Ceftriaxon 25-50 mg/kg/BB secara
intramuskular atau intravena dengan maksimum 125 mg dosis tunggal. Ceftriaxon
kontraindikasi pada neonatus dengan hiperbilirubinemia. Terapi lainnya
Cefotaksim 100 mg/kgBB intramuskular atau intravena. Antibiotika topikal
berspektrum luas berupa salep mata seperti Gentamisin, Kuinolon, Kanamisin,
Tetrasiklin dan Kloramphenikol dapat diberikan sebagai terapi tambahan. Terapi
antibiotika topikal diindikasikan bila ada keterlibatan kornea.
Pengobatan suportif adalah membersihkan sekret mata secara rutin setiap
5 menit menggunakan lidi kapas basah dan irigasi mata dengan NaCl steril dua
kali sehari. Pembersihan sekret mutlak dilakukan karena sekret mengandung
enzim protease yang dapat melisiskan kornea. Untuk mengurangi iritis diberikan
sulfas atropin 1% topikal 1-2 kali sehari. Pengobatan diberhentikan bila pada
pemeriksaan mikroskopik yang dibuat setiap hari menghasilkan 3 kali berturut-
turut negatif.
Pemberian profilaksis selalu lebih baik daripada pengobatan kuratif.
Postnatal: langkah-langkahnya meliputi: penggunaan Tetrasiklin topikal 1% atau
Eritromisin topikal 0,5% atau Perak Nitrat 1% (metode Crede 's) ke dalam mata
bayi segera setelah kelahiran.
j. Prognosis
Prognosis pada konjungtivitis neonatus pada umumnya baik bila diberikan
penanganan yang tepat. Antibiotik telah mempengaruhi prognosis secara
signifikan pada konjungtivitis neonatus, terutama pada infeksi Neisseria
gonorrhoeae.
k. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara membersihkan mata bayi segera
setelah lahir dengan larutan garam fisiologik dan memberikan salep eritromisin
atau tetracyclin.
l. Edukasi
Penting untuk mengedukasi orang tua atau keluarga pasien untuk menjaga
kebersihan tangan secara rutin, ini bertujuan untuk mencegah transmisi oftalmia
neonatus. Juga penting untuk mengedukasi ibu hamil mengenai pentingnya
pemeriksaan reguler untuk mendeteksi infeksi menular seksual seperti herpes
simplex, gonorrhea, dan chlamydia untuk menurunkan insiden oftalmia neonatus.
3.3.3 Konjungtivitis Viral Nonspesifik
a. Definisi
Konjungtivitis viral adalah penyakit umum yang dapat disebabkan oleh
berbagai jenis virus, dan berkisar antara penyakit berat yang dapat menimbulkan
cacat hingga infeksi ringan yang dapat sembuh sendiri dan dapat berlangsung
lebih lama daripada konjungtivitis bakteri (Vaughan, 2010).
b. Etiologi
Penyebab tersering konjungtivitis akut adalah virus. Infeksi virus tertentu
cenderung mengenai konjungtiva misalnya pharyngoconjunctival fever sedangkan
virus lainnya lebih sering menginfeksi kornea misalnya virus herpes simpleks.
Konjungtivitis virus meliputi konjungtivitis adenovirus, konjungtivitis herpes
simpleks, konjungtivitis herpes-zooster, konjungtivitis pox virus, konjungtivitis
miksovirus, konjungtivitis paramiksovirus, dan konjungtivitis arbovirus (Cantor et
all, 2014 & Azari & Barney, 2013).
c. Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan mata yang teliti untuk menentukan tata
laksana gangguan mata termasuk konjungtivitis. Infeksi virus biasanya menyerang
satu mata lalu ke mata lain beberapa hari kemudian disertai pembesaran kelenjar
limfe dan edema palpebra. Tajam penglihatan secara intermiten dapat terganggu
karena sekret mata. Jenis sekret mata dan gejala okular dapat memberi petunjuk
penyebab konjungtivitis. Sekret mata berair merupakan ciri konjungtivitis viral
dan sekret mata kental berwarna kuning kehijauan biasanya disebabkan oleh
bakteri. Konjungtivitis viral jarang disertai fotofobia, sedangkan rasa gatal pada
mata biasanya berhubungan dengan konjungtivitis alergi (Chrisyanti, et all, 2011
& Leibowitz, 2000).
Pemeriksaan laboratorium untuk menunjang diagnosis konjungtivitis viral
memiliki sensitivitas 89% dan spesifisitas 94% untuk adenovirus. Tes tersebut
dapat mendeteksi virus penyebab konjungtivitis dan mencegah pemberian
antibiotik yang tidak diperlukan. Deteksi antigen dapat mencegah lebih dari satu
juta kasus penyalahgunaan antibiotik dan menghemat sampai 429 USD setiap
tahunnya. Akurasi diagnosis konjungtivitis viral tanpa pemeriksaan laboratorium
kurang dari 50% dan banyak terjadi salah diagnosis sebagai konjungtivitis bakteri.
Meskipun demikian pemeriksaan laboratorium sangat jarang dilakukan karena
deteksi antigen belum tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Sementara
itu, kultur dari sekret konjungtiva memerlukan waktu 3 hari sehingga menunda
terapi (Khurana, 2007; Lambert, 2017; Sendrowski et all, 2016).
Pendekatan algoritmik menggunakan riwayat perjalanan penyakit dan
pemeriksaan sederhana dengan penlight dan loupe dapat untuk mengarahkan
diagnosis dan memilih terapi. Konjungtivitis dan penyakit mata lain dapat
menyebabkan mata merah, sehingga diferensial diagnosis dan karakteristik tiap
penyakit penting untuk diketahui (Christopher et all, 2015). Penamaan diagnosis
konjungtivitis virus bervariasi, tetapi umumnya menggambarkan gejala klinis
khas lain yang menyertai konjungtivitis dan dari gambaran klinis khas tersebut
dapat diduga virus penyebabnya.
d. Gejala klinis
Konjungtivitis akibat virus dapat menimbulkan manifestasi klinis akut dan
kronik. Manifestasi akut berupa konjungtivitis serosa akut, konjungtivitis
hemoragik akut dan konjungtivitis folikular akut sedangkan manifestasi kronik
berupa blefarokonjungtivitis, blefarokonjungtivitis varisella-zoster,
keratokonjungtivitis morbili.
i. Konjungtivitis viral akut
 Konjungtivitis serosa akut
Konjungtivitis serosa akut disebabkan oleh infeksi virus yang
sifatnya ringan dan tidak menimbulkan respons folikular (Khurana,
2007). Konjungtivitis viral biasanya mengenai satu mata
sedangkan konjungtivitis bakteri dan konjungtivitis alergi biasanya
mengenai kedua mata.
Konjungtivitis viral ditandai dengan dilatasi pembuluh darah
konjungtiva superfisial sehingga timbul hiperemi dan edema
konjungtiva, folikel, serta sekret yang sifatnya bervariasi. Sekret
penting dinilai untuk membantu mengidentifikasi penyebab
konjungtivitis. Sekret serosa biasanya disebabkan infeksi virus akut
atau alergi akut dan sekret mukoid dijumpai pada alergi kronik atau
keratokonjungtivitis sikka (dry eye syndrome). Sekret mukopurulen
biasanya pada infeksi bakteri akut dan klamidia sedangkan sekret
hiperpurulen disebabkan oleh infeksi gonokokus (Tsai et all, 2011
& Gilani et all, 2017).
Konjungtivitis virus akut mudah sekali menular terutama melalui
kontak dengan sekret mata atau droplet saluran napas. Infeksi
dapat terjadi sporadik atau epidemik di daerah dengan komunitas
padat dan higiene buruk (Khurana, 2007).
 Konjungtivitis Hemoragik Akut
Konjungtivitis hemoragik akut adalah proses inflamasi di
konjungtiva yang disertai perdarahan konjungtiva multipel,
konjungtiva hiperemis, dan hiperplasia folikular ringan.
Konjungtivitis hemoragik akut umumnya disebabkan oleh picorna
virus, sering terjadi di Afrika dan Inggris sehingga disebut juga
Epidemic Haemorhagic Conjunctivitis (EHC) (Gilani et all, 2017;
Christopher et all, 2015).
Masa inkubasi EHC sangat singkat, sekitar 24- 48 jam. Gejalanya
adalah mata seperti kelilipan, nyeri periorbita, merah, berair,
fotofobia, pandangan kabur, edema palpebra, kongesti konjungtiva,
kemosis, serta limfadenopati pre-aurikular. Tanda penting adalah
perdarahan subkonjungtiva yang awalnya dapat ditandai oleh
petekie. Di konjungtiva tarsal terdapat hipertrofi folikuler dan
keratitis epitelial yang akan membaik dalam 3-4 hari (Gilani et all,
2017; Christopher et all, 2015).
Virus ditularkan melalui kontak erat dari individu ke individu dan
barang-barang yang tercemar seperti seprei, handuk, alat-alat optik,
dan air. Belum ada pengobatan definitif namun penyembuhan
terjadi sekitar 5-7 hari (Gilani et all, 2017; Christopher et all,
2015).
 Konjungtivitis Folikular
Konjungtivitis folikular adalah inflamasi konjungtiva dengan
karakteristik pembentukan folikel, hiperemi konjungtiva dan sekret
mata. Folikel terbentuk dari agregasi limfosit di konjungtiva.
Folikel berbentuk bulat kecil dengan diameter 1-2 mm, berwarna
putih keabuan dan transparan. Konjungtivitis folikular disebabkan
oleh adenovirus, virus new castle, dan virus herpes (Gilani et all,
2017; Ilyas, 2015). Sekitar 65- 90% kasus konjungtivitis viral
disebabkan oleh adenovirus yang menyebabkan dua manifestasi
klinis tersering yaitu demam faringokonjungtiva dan
keratokonjungtivitis epidemik. Virus new castle dan virus herpes
menyebabkan konjungtivitis new castle dan konjungtivitis herpetik
dengan jumlah kasus yang jauh lebih sedikit (Khurana, 2007;
Christopher et all, 2015).
 Pharyngoconjunctival Fever
Konjungtivitis pharyngoconjunctival fever disebabkan oleh infeksi
adenovirus subtipe 3 dan kadang-kadang oleh tipe 4, dan 7 lebih
sering mengenai anak dibandingkan orang dewasa. Penularan
melalui droplet atau air kolam renang, meskipun demikian virus
sulit menular di kolam renang yang mengandung klor (Khurana,
2007 & Christopher et all, 2015).
Gejala konjungtivitis pharyngoconjunctival fever adalah demam
tinggi mendadak (38,3-40oC), faringitis, konjungtivitis bilateral,
dan pembesaran kelenjar limfe periaurikular. Gejalanya adalah
sekret serosa, folikel di konjungtiva, konjungtiva hiperemi, edema
palpebra, dan keratitis epitel superfisial (Khurana, 2007 &
Christopher et all, 2015).
Virus dapat dibiak dalam sel HeLa dan dapat didiagnosis secara
serologi dengan meningkatnya titer antibodi netralisasi virus.
Kerokan konjungtiva terutama mengandung sel mononuklear dan
tidak ada bakteri yang tumbuh dalam biakan. Tidak ada
pengobatan spesifik karena konjungtivitis dapat sembuh sendiri
sekitar 10 hari (Khurana, 2007 & Christopher et all, 2015).
 Keratokonjungtivitis Epidemika
Keratokonjungtivitis epidemika adalah konjungtivitis folikular akut
yang diikuti dengan keratitis superfisial. Terdapat 3 fase
berdasarkan gejala klinisnya. Fase pertama adalah konjungtivitis
serosa akut dengan karakteristik konjungtiva hiperemi, kemosis,
dan lakrimasi. Gejala tersebut diikuti fase kedua yaitu
konjungtivitis folikular akut dengan karakteristik pembentukan
folikel di kelopak mata bawah. Fase ketiga adalah konjungtivitis
pseudomembran akut yang ditandai dengan pseudomembran di
permukaan konjungtiva. Kornea dapat terinfeksi satu minggu
setelah onset penyakit. Pada keratokonjungtivitis epidemika sering
dijumpai limfadenopati preaurikular ipsilateral (Khurana, 2007;
Ilyas, 2015; Azari & Barney, 2013).
Keratokonjungtivitis epidemika umumnya bilateral, namun pada
awalnya sering pada satu mata, biasanya mata pertama lebih parah.
Pasien mengeluh nyeri sedang, mata berair, dan dalam waktu 5-14
hari timbul fotofobia, keratitis epitel, serta kekeruhan subepitel
berbentuk bulat. Fase akut ditandai dengan edema palpebra,
kemosis, dan hiperemi konjungtiva dengan tanda khas nyeri tekan
di nodus preaurikuler. Perdarahan konjungtiva dan folikel biasanya
timbul dalam 48 jam. Pembentukan pseudomembran diikuti parut
datar atau simblefaron. Konjungtivitis berlangsung paling lama 3-4
minggu. Kekeruhan subepitel terutama di pusat kornea dan
menetap berbulan-bulan namun sembuh tanpa meninggalkan parut.
Keratokonjungtivitis epidemika pada orang dewasa terbatas di
bagian luar mata namun, pada anak-anak dapat timbul gejala
sistemik seperti demam, nyeri tenggorokan, otitis media, dan diare.
Keratokonjungtivitis epidemika disebabkan oleh adenovirus tipe 8,
19, 29, dan 37. Penularan nosokomial dapat terjadi melalui alat
pemeriksaan mata, jari tangan dokter atau pemakaian larutan yang
tercemar virus. Virus dapat bertahan dalam larutan tersebut dan
menjadi sumber penularan. Belum ada terapi spesifik
keratokonjungtivitis epidemika, namun kompres dingin dapat
mengurangi gejala. Penggunaan kortikosteroid perlu dihindari pada
konjungtivitis akut. Jika terjadi superinfeksi bakteri perlu diberikan
antibiotik (Scherer et all, 2015; Ilyas, 2015).
 Konjungtivitis Newcastle
Konjungtivitis newcastle disebabkan oleh virus new castle. Gejala
klinisnya sama dengan demam faringokonjungtiva namun biasanya
menyerang pekerja peternakan unggas yang tertular virus new
castle dari unggas.
Gejala konjungtivitis newcastle adalah demam ringan, nyeri
kepala, nyeri sendi, nyeri mata, gatal, mata berair, penglihatan
kabur, dan fotofobia. Dapat timbul edema palpebra ringan,
kemosis, sedikit sekret dan folikel di konjungtiva tarsal serta
keratitis epitelial atau keratitis subepitel di kornea (Khurana, 2007
& Christopher et all, 2015).
 Konjungtivitis Herpetik Akut
Konjungtivitis herpetik merupakan manifestasi herpes primer yang
dapat berlangsung selama 2-3 minggu. Gejalanya berupa infeksi
unilateral, iritasi, sekret mukosa, nyeri dan fotofobia ringan disertai
keratitis herpes simpleks dengan vesikel di kornea atau infiltrat
kornea yang membentuk gambaran dendritik. Di palpebra dapat
terlihat vesikel dan edema hebat serta pembesaran kelenjar
preaurikular yang nyeri tekan (tanda khas) (Tsai et all, 2011;
Christopher et all, 2015). Diagnosis ditegakkan dengan
menemukan sel raksasa pada pewarnaan giemsa, kultur virus, dan
sel inklusi intranuklear (Khurana, 2007; Sendrowski et all, 2016;
Christopher et all, 2015)
Konjungtivitis terjadi pada anak berumur lebih dari satu tahun atau
pada orang dewasa, penyakit ini umumnya sembuh sendiri dan
tidak perlu terapi. Meskipun demikian, antivirus lokal atau sistemik
perlu diberikan jika terjadi infeksi kornea. Pada ulkus kornea
mungkin diperlukan debridemen kornea dengan mengusap ulkus
menggunakan kapas kering, meneteskan obat antivirus. Antivirus
topikal diberikan selama 7-10 hari (Trifluridin diberikan setiap dua
jam atau salep Vidarabin lima kali sehari, atau Idoksuridin 0,1%
satu tetes setiap jam dan satu tetes setiap dua jam pada waktu
malam).
Kortikosteroid merupakan kontraindikasi karena akan
memperburuk infeksi herpes simpleks dan mengkonversi penyakit
dari proses sembuh sendiri yang singkat menjadi infeksi yang lama
dan berat (Scherer et all, 2015).
ii. Konjungtivitis Viral Menahun
 Blefarokonjungtivitis: Molluskum Kontagiosum
Nodul moluskum di tepi atau kulit palpebra dan alis mata dapat
menimbulkan konjungtivitis folikuler menahun unilateral, keratitis
superior, pannus superior, atau mungkin menyerupai trakhoma.
Ciri khas moluskum kontagiosum adalah lesi bulat, berombak,
putih mutiara, dan non-radang di bagian pusat. Histopatologi
menunjukkan inklusi sitoplasma eosinofilik yang memenuhi
seluruh sitoplasma sel yang membesar dan mendesak inti ke satu
sisi. Terapi dengan cara eksisi atau krioterapi (Tsai et all, 2011;
Khurana, 2007).
 Blefarokonjungtivitis Varisela-Zoster
Ciri khas herpes zoster adalah hiperemia, konjungtivitis, dan erupsi
vesikuler sepanjang dermatom nervus trigeminus cabang
oftalmika. Konjungtivitis biasanya berbentuk papiler, namun dapat
ditemukan folikel, pseudomembran, dan vesikel temporer yang
kemudian mengalami ulserasi. Terdapat limfonodus preaurikuler
yang nyeri tekan pada awal penyakit. Sekuele berupa jaringan pa-
rut di palpebra, entropion, dan bulu mata tumbuh salah arah.
Pada herpes zoster dan varisela, kerokan vesikel palpebra
mengandung sel raksasa dan leukosit polimorfonuklear sedangkan
kerokan konjungtiva mengandung sel raksasa dan monosit. Virus
dapat diperoleh dari biakan jaringan sel embrio manusia.
Terapi Blefarokonjungtivitis varisella-zoster adalah menggunakan
Asiklovir oral dosis tinggi (800mg oral 5 kali sehari selama 10
hari). Jika pengobatan diberikan pada awal perjalanan penyakit
dapat mengurangi dan menghambat penyakit (Tsai et all, 2011;
Khurana, 2007; (Azari & Barney, 2013).
e. Komplikasi
Konjungtivitis virus bisa berkembang menjadi kronis, seperti
blefarokonjungtivitis. Komplikasi lainnya bisa berupa timbulnya pseudomembran,
dan timbul parut linear halus atau parut datar, dan keterlibatan kornea serta timbul
vesikel pada kulit (Vaughan, 2010).
f. Tatalaksana
Konjungtivitis virus biasanya akan sembuh dengan sendirinya, namun
pemberian kompres dingin, air mata artifisial atau antihistamin topikal bermanfaat
untuk meredakan gejala. Terapi antiviral tidak diperlukan kecuali untuk
konjungtivitis herpetik yaitu Asiklovir oral 400mg/hari untuk virus herpes
simpleks dan 800mg/hari untuk herpes zoster selama 7-10 hari (Leibowitz, 2000
& Scherer et all, 2015).
Tatalaksana suportif konjungtivitis virus dapat dibantu dengan pemberian
air mata buatan (tetes mata) dan kompres dingin. Antibiotik dapat
dipertimbangkan jika konjungtivitis tidak sembuh setelah 10 hari dan diduga
terdapat superinfeksi bakteri (Tsai et all, 2011 & Leibowitz, 2000). Penggunaan
Deksametason 0,1% topikal membantu mengurangi peradangan konjungtiva
(Pinto et all, 2014 &Asena et all, 2017).
g. Prognosis
Prognosis konjungtivitis virus adalah baik karena akan sembuh dengan
sendirinya. Meskipun demikian untuk mencegah penularan perlu diperhatikan
kebersihan diri dan lingkungan. Bila gejala belum reda dalam 7-10 hari dan terjadi
komplikasi pada kornea sebaiknya pasien dirujuk ke dokter spesialis mata.1,6,8
(Gilani et all, 2017; Leibowitz,2000; Azari & Barney, 2013).
h. Pencegahan
Konjungtivitis virus sangat menular dengan risiko transmisi sekitar 10%-
50%. Virus menyebar melalui jari tangan yang tercemar, peralatan medis, air
kolam renang, atau barang-barang pribadi. Berdasarkan tingginya angka
penularan, maka perlu dibiasakan cuci tangan, desinfeksi peralatan medis, dan
isolasi penderita. Pasien tidak boleh saling bertukar barang pribadi dengan orang
lain dan harus menghindari kontak langsung atau tidak langsung (seperti di kolam
renang) selama dua minggu Azari & Barney, 2013 ; Leibowitz, 2000).
Pencegahan paling efektif adalah meningkatkan daya tahan tubuh,
menghindari bersentuhan dengan sekret atau air mata pasien, mencuci tangan
setelah menyentuh mata pasien sebelum dan sesudah menggunakan obat tetes
mata. Selain itu, hindari penggunaan tetes mata dari botol yang telah digunakan
pasien konjungtivitis virus, hindari penggunaan alat mandi dan bantal kepala yang
sama. Penggunaan kaca mata hitam bertujuan mengurangi fotofobia, namun tidak
bermanfaat mencegah penularan.
3.3.4 Konjungtivitis Jamur
Konjungtivitis jamur paling sering disebabkan oleh Candida albicans dan
merupakan infeksi yang jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan adanya bercak
putih dan dapat timbul pada pasien diabetes dan pasien dengan keadaan sistem
imun yang terganggu. Selain Candida sp, penyakit ini juga dapat disebabkan oleh
Sporothrix schenckii, Rhinosporidium serberi, dan Coccidioides immitis walaupun
jarang (Vaughan, 2010).
3.3.5 Konjungtivitis Parasit
Konjungtivitis parasit dapat disebabkan oleh infeksi Thelazia
californiensis, Loa loa, Ascaris lumbricoides, Trichinella spiralis, Schistosoma
haematobium, Taenia solium dan Pthirus pubis walaupun jarang (Vaughan,
2010).
3.3.6 Trakoma
a. Definisi
Trakhoma adalah keradangan konjungtiva yang akut, sub akut atau kronis
yang disebabkan oleh Chlamidia Trachomatis (Terry, 2004). Trakhoma
berkembang di berbagai negara Eropa, Amerika Utara dan Asia, terutama di
daerah-daerah kering (Bailey et all, 2001).
b. Etiologi
Trakhoma biasanya menginfeksi kedua mata, pada semua usia terutama
anak-anak, dengan masa inkubasi berkisar antara 5 sampai 14 hari dengan rata-
rata 7 hari. Pada bayi dan anak dapat sembuh sendiri atau dengan penyulit yang
minimal, pada orang dewasa biasanya disertai penyulit (Terry, 2004). Penyebaran
trakhoma terjadi secara kontak langsung maupun tidak langsung dan erat
hubungannya dengan faktor lingkungan dan higiene sanitasi (Schachter et all,
2002).
c. Patofisiologi
Adanya kontak langsung dengan Chlamydia Trachomatis pada keadaan
tertentu akan menyebabkan suatu peradangan konjungtiva yang disebut Trakhoma
(Frick et all, 2006). Infeksi pada stadium dini memberikan manifestasi yang
sangat bervariasi yang biasanya mirip dengan konjungtivitis kronis pada umum-
nya, yaitu mata merah, gatal, terjadi eksudasi dan sembab pada kelopak mata.
Pada tarsus bagian atas didapatkan folikel dan hipertrofi papiler. Pada perjalanan
penyakit selanjutnya, folikel akan pecah (folikel pada Trakhoma mempunyai sifat
mudah pecah) dan menimbulkan jaringan parut. Hal ini akan mengakibatkan
deformitas pada kelopak mata yang berupa enteropion, trichiasis dan dapat juga
terjadi simblepharon. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya penyulit-
penyulit dari yang ringan sampai berat (Mecaskey et all, 2003).
Faktor lingkungan yang mempengaruhi penyebaran penyakit Trachoma,
dikelompokkan menjadi tiga kelompok (3D) yaitu: (Emerson, 2004; Vaughan,
2010; Foster, 1990)
i. Lingkungan umum.
Yaitu keadaan lingkungan yang kering (dry). Misalnya kurangnya sarana
air bersih, termasuk air untuk berwudhu.
ii. Lingkungan rumah (tempat tinggal).
Yaitu lingkungan rumah atau tempat tinggal yang kotor (dirty). Keadaan
ini akan mengundang banyak lalat yang merupakan salah satu vektor
penyebaran Chlamydia Trachomatis.
iii. Lingkungan perorangan (kebersihan perorangan).
Kebersihan perorangan yang jelek, misalnya wajah yang jarang
dibersihkan dengan air bersih akan menyebabkan wajah menjadi kotor dan
terda-pat sekret (kotoran) yang infeksius pada mata dan hidung
(discharge).
Secara garis besar penyebaran penyakit Trachoma dari individu yang
terinfeksi ke individu yang lain dapat melaui faktor faktor (3 F) antara lain:
(Emerson, 2004 & Foster, 1990)
i. Lalat (flies).
Lalat akan tertarik pada kotoran mata dan hidung sehingga akan hinggap
di wajah penederita Trachoma kemudian lalat akan hinggap di wajah
individu lain dan terjadilah penyebaran Chlamydia Trachomatis. Disini
faktor kepadatan penduduk ikut mempermudah penyebaran.
ii. Fomites
Yaitu baju, handuk, sapu tangan, dan sebagainya yang sering
dipergunakan secara bersama sama untuk membersihkan wajah, sehingga
kotoran mata dan hidung akan berpindah dari satu induvidu ke individu
yang lain.
iii. Jari tangan (finger)
Jari tangan yang dipergunakan untuk menggosok mata yang ter-infeksi
kemudian memegang mata individu yang lain. Juga bisa jari tangan yang
telah terkontaminasi, kemudian dipakai untuk menggosok mata sendiri,
sehingga terjadilah penyebaran Chlamydia Trachomatis.
d. Gejala klinis
Pada pemeriksaan klinis didapatkan folikel dan hipertrofi papiler pada
tarsus bagian atas, pannus, Herbert’s pits, entropion, trichiasis ataupun sikatrik
pada tarsus bagian atas. Mac Callan, mengklasifikasikan trakhoma berdasar
gambaran klinisnya, menjadi 4 stadium yaitu (Terry, 2004).
i. Stadium I
Disebut sebagai stadium insipien atau stadium permulaaan. Pada tarsus
superior terlihat hipertrofi papil dan folikel folikel yang belum masak.
ii. Stadium II
Stadium ini disebut stadium established atau stadium nyata. Didapat-kan
folikel folikel dan papil pada tarsus superior. Stadium ini dibagi lagi
menjadi dua yaitu IIA dan IIB.
iii. Stadium IIA
Pada tarsus superior terdapat hipertrofi papil dan folikel folikel yang sudah
mature.
iv. Stadium IIB
Pada tarsus superior terlihat lebih banyak hipertrofi papil dan menu-tupi
folikel folikel.
v. Stadium III
Disini mulai terbentuk jaringan parut atau sikatrik pada konjungtiva tarsal
superior yang berupa garis putih halus. Pada stadium ini masih dijum-pai
adanya folikel pada konjungtiva tarsal superior dan tampak pannus yang
masih aktif.
vi. Stadium IV
Disebut juga trakhoma sembuh. Pada stadium ini pada konjungtiva tarsal
superior tidak ditemukan lagi folikel, yang ada hanya sikatrik dan pannus
yang tidak aktif lagi. Pada stadium ini mungkin juga ditemukan penyulit
penyulit dari trakhoma.
Klasifikasi lain Trachoma, yaitu dari World Health Organization (WHO)
(Emerson, 2004 & Foster, 1990):
i. Trachomatous inflamation follicular (TF) : tampak adanya lima atau lebih
follikel pada konjungtiva tarsal superior. Follikel follikel menonjol bulat
dan tampak lebih pucat dari konjungtiva sekitarnya.
ii. Trachomatous inflamation intense (TI) : terjadi penebalan konjungtiva
tarsal akibat proses keradangan. Konjungtiva tarsal tampak lebih merah,
kasar dan menebal serta banyak terdapat follikel.
iii. Trachomatous scarring (TS) : tampak adanya jaringan parut (sikatrik pada
konjungtiva tarsal).
iv. Trachomatous Trichiasis (TT) : minimal terdapat satu bulu mata yang
menggores bola mata.
v. Corneal opacitiy (CO) : kekeruhan kornea yang sangat jelas sampai
mencapai pupil.
e. Diagnosa
Diagnosa Trakhoma dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis,
pemeriksaan mikrobiologis dapat menunjang diagnosa klinis, namun pemeriksaan
untuk mendeteksi Chlamydia Trachomatis memerlukan teknik khusus (Bailey et
all, 2001 & WHO, 2004).
Pemeriksaan khusus untuk mendeteksi Chlamydia Trachomatis antara lain
pembiakan bahan pemeriksaan sel jaringan hidup, yaitu pada Mac Coy Cell yang
diolah dengan Cyclohexamide, ataupun dengan cara imunofluoresensi langsung.
Hasil pemeriksaan dengan kultur jaringan baru diperoleh setelah 5 sampai 15 hari.
Cara imunoluoresensi memberikan hasil dalam waktu 1 jam dengan sensitifitas
dan spesifisitas yang tinggi karena menggunakan antibodi monoklonal. Suatu cara
pewarnaan sitologi memakai zat warna Giemsa dapat dipergunakan untuk mende-
teksi bahan bahan sitoplasma (elementary bodies) dari Chlamydia Trachomatis
didalam sel mukosa konjungtiva (Frick et all, 2006).
Diagnosa Trakhoma ditegakkan berdasarkan diagnodsa klinis, yaitu
apabila ditemukan sedikitnya dua tanda dari empat tanda berikut (Frick et all,
2006; Terry, 2004; Emerson, 2004).
i. Adanya follikel pada konjungtiva tarsalis superior, limbal follikel atau
sikatriknya (Herbert's pits).
ii. Adanya keratitis yang sebagian besar terdapat pada sepertiga bagian atas
kornea.
iii. Pannus pada limbus superior.
iv. Sikatrik konjungtiva dengan bentuknya yang khas.
f. Diagnosa banding
Diagnosa banding Trakoma adalah Konjungtivitis Vernalis adalah suatu
keradangan konjungtiva, yang bersifat bilateral, dan seringkali dipengaruhi oleh
musim. Penyakit ini sering didapat pada anak-anak, terutama laki-laki dan jarang
pada orang dewasa. Penyebab pasti belum diketahui, diduga faktor alergi.
Keluhan yang paling menonjol adalah rasa gatal (Schachter et all, 2002).
Diagnosa ditegakkan berdasar anamnesa, pemeriksaan klinik dan labora-
torium. Anamnesa adanya keluhan gatal, mata merah dan kecoklatan (kotor). Pada
pemeriksaan klinis, pada palpebra didapatkan hipertrofi papils, couble stone dan
giant’s papillae. Pada konjungtiva bulbi terdapat warna merah keco-klatan dan
kotor, terutama di daerah fissura interpalpebralis. Pada limbus dapat kita jumpai
horner trantos dots. Pada pemeriksaan laboratorium kerokan konjungtiva atau
getah mata didapatkan sel-sel eosinophil dan eosinophil granul (Schachter et all,
2002 & Bailey et all, 2001).
g. Tatalaksana
Pengobatan terhadap penyakit trakhoma diberikan sesuai dengan
gradasinya, yaitu (Emerson, 2004 & Vaughan, 2010):
Pada stadium trachomatous folikularis dan trachomatous intense kita
berikan:
i. Lokal : Tetrasiklin 1% salep mta atau sulfonamid 15% tetes mata atau
salep mata selama 6 minggu.
ii. Sistemik : Tetrasiklin 4x250 mg sehari selama 3-4 minggu atau
Eritromisin 4x250 mg setiap hari selama 3-4 minggu.
Stadium trachomatous trichiasis kita lakukan epilasi terhadap penyulit
trichiasis, dan bila terdapat entropion kita lakukan tarsotomi. Pada program
pemberantasan penyakit trachoma, apabila komunitas dengan ancaman kebutaan
terhadap trakhoma telah kita identifikasi, maka dapat kita susun suatu strategi
pemberantasan.
i. Pertama : menurunkan atau menekan keradangan (pada stadium
trachomatous folikularis dan trachomatous intense).
ii. Kedua : mencegah kebutaan akibat adanya penyulit trichiasis dan
enteropion.
Penurunan keradangan dengan :
i. Memperbaiki keadaan lingkungan : menyediakan air bersih yang cukup &
memperbaiki higiene sanitasi.
ii. Memperbaiki kebiasaan, sering membasuh muka dengan air bersih.
iii. Khemoterapi : Lokal: Tetrasiklin 1% salep mata, atau Sulfonamide 15%
tetes atau salep mata. Sistemik : Tetrasiklin 4 x 250 mg, atau Eritromisin
4x250 mg selama 3-4 minggu.
3.3.7 Konjungtivitis Vernal
a. Definisi
Konjungtivitis vernal adalah suatu keradangan bilateral konjungtiva yang
berulang menurut musim, sebagai akibat reaksi hipersensitif tipe I dengan
gambaran spesifik hipertropi papil di kanal tarsus dan limbus. Terdapat dua tipe
konjungtivitis vernal yaitu tipe palpebral dan tipe limbal (Vaughan, 2010).
b. Epidemiologi
Konjungtivitis vernal merupakan salah satu bentuk konjungtivitis allergi
yang berulang khas musiman, bersifat bilateral, sering pada orang dengan riwayat
alergi pada keluarga, sering ditemukan pada anak laki yang berusia kurang dari 10
tahun, diperkirakan diseluruh dunia insiden konjungtivitis vernal berkisar antara
0,1 % – 0,5 % dan cenderung lebih tinggi di negara berkembang (De Smedt et all,
2011; Kateralis, 2011; Vaughan, 2010). Pada bumi belahan utara lebih sering pada
musim panas dan musim semi, sedang pada bumi belahan selatan lebih sering
pada musim gugur dan musim dingin (De Smedt et all, 2011).
c. Etiologi
Penyebab utama konjungtivitis vernal adalah reaksi alergi, hal ini
didasarkan pada beberapa pemikiran :
i. Konjungtivitis yang kambuh secara musiman.
ii. Pada pemeriksaan kerakan getah mata didapatkan eosinofil.
iii. Lebih sering diderita oleh anak dan usia muda.
Perubahan struktur konjungtiva erat kaitannya dengan timbulnya radang
interstisial terutama oleh reaksi hipersensitif tipe I. Tahap awal konjutngtivitis
vernalis ditandai oleh fase prehipertrofi dalam fase ini terjadi pembentukan
neovaskularisasi dan pembentukan papil yang ditutup oleh satu lapis sel epithel
dengan degenerasi hyalin serta pseudo membran milky white .
d. Patofisiologi
Konjungtivitis vernal adalah suatu keradangan bilateral konjungtiva yang
berulang menurut musim, sebagai akibat reaksi hipersensitif tipe I dengan
gambaran spesifik hipertropi papil di canaltarsus dan limbus (Kateralis, 2011 &
Vaughan, 2010).
Terdapat dua tipe konjungtivitis vernal yaitu tipe palpebral dan tipe limbal:
i. Tipe Palpebral
Terutama mengenai konjungtiva palpebra superior yaitu terdapat
pertumbuhan papil yang besar yang disebut cobble stone. Pada beberapa
tempat akan mengalami hiperlpasi dan diberbagai tempat terjadi atrofi,
perubahan mendasar terdapat di substansia propia, dimana substanti propia
ini mengalami infiltrasi oleh sel-sel limfosit plasma dan eosinafil.
Pada stadium yang lanjut jumlah sel-sel lapisan plasma dan eosinafil akan
semakin meningkat sehingga terbentuk tonjolan-tonjolan jaringan di
daerah tarsus dengan disertai pembentukan pembuluh darah baru kapiler
ditengahnya (Vaughan, 2010 ; Wade et all, 2012).
ii. Tipe Limbal
Terjadi perubahan yang serupa sebagaimana yang terjadi pada tipe
palpebral. Pada bentuk limbal ini terjadi hipertrofi limbal yang membentuk
jaringan hiperplastik gelatine. Hipertrofi limbus ini disertai bintik-bintik
yang sedikit menonjol, keputihan, yang dikenal sebagai Horner-Trantas
dots yang merupakan degenerasi epithel kornea, atau eosinafil dengan
bagian epithel limbus kornea (Vaughan, 2010 ; Wade et all, 2012).
Pembentukan papil ini berhubungan dengan infiltrasi stroma oleh sel-sel
PMN, eosinafil, basofil dan sel mast.4,5 Tahap lanjut akan dijumpai sel-sel
mononuclear serta limfosit, makrofag. Sel mast dan eosinafil terdapat
dalam jumlah besar dan terletak superfisial, sebagian besar sel mast dalam
kondisi terdegranulasi. Fase vaskuler dan seluler akan segera diikuti oleh
deposisi kolagen, dan peningkatan vaskularisasi, hiperplasi jaringan ikat
terus meluas membentuk giant papil (Vaughan, 2010 ; Wade et all, 2012;
Leonardi et all, 1997).
e. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa pemeriksaan klinis dan
laboratorium.
i. Pemeriksaan klinis didapatkan anamnesis keluhan utamanya adalah mata
merah kecoklatan/kotor.
ii. Pemeriksaan pada palpebra didapatkan hipertrofi papiler, cobble stone,
giant’s papilae. Pada konjungtiva bulbi warna merah kecoklatan dan kotor
pada fissura interpalpebralis. Pada limbus didapatkan Horner-Trantas
dots.
iii. Hasil pemeriksaan laboratorium atau kerakan konjungtiva atau getah mata
didapatkan sel-sel eosinofil dan eosinofil granul (Vaghan, 2010; Wade et
all, 2012; Reyes et all, 2010).
f. Diagnosis banding
Diagnosis banding konjungtivitis vernal adalah Trachoma dan Hay fever
conjungtivitis.
g. Tatalaksana
Tatalaksana konjungtivitis vernal adalah (Leonardi et all, 1997; Dhiman et
all, 2010; Ohashi et all, 2010; Taddio et all, 2011; Gokhale et all, 2012) yaitu:
i. Pada fase akut dapat diberikan kortikosteroid mata tiap 2 jam selama 4
hari. Obat lain : Sodium cromaglycate 2 % : 4-6 x 1 tetes/hari, Iodoxamide
tromethamie 0,1%, Levocabastin, Cyclosporin.
ii. Pada kasus berat dapat juga diberikan anti histamin dan steroid oral.

Perlu disampaikan agar penderita (Ohashi et all, 2010 & (Gokhale et all,
2012) yaitu:
i. Tidak menggunakan obat tetes mata steroid secara terus menerus.
ii. Obat harus dengan indikasi dokter.
iii. Pemakaian steroid dapat terjadi infeksi bakteri, jamur, glaukoma dan
sebagainya.
3.3.8 Konjungtivitis Fliktenuralis
a. Definisi
Konjungtivitis flikten merupakan konjungtivitis nodularis yang disebabkan
oleh alergi terhadap bakteri atau antigen tertentu (Ilyas, 2015).
b. Etiologi
Disebabkan oleh alergi (hipersensitivitas tipe IV) terhadap
tuberkuloprotein, stafilokok, limfogranuloma venerea, leismaniasis, infeksi parasit
dan infeksi di tempat lain di dalam tubuh. Sering dijumpai pada anak-anak
didaerah padat, yang biasanya dengan gizi kurang atau sering mendapat radang
saluran napas (Ilyas, 2015).
c. Gejala klinis
Gejala konjungtivitis flikten adalah mata berair, iritasi dengan rasa sakit,
fotofobia dapat ringan hingga berat. Bila kornea ikut terkena selain daripada rasa
sakit, pasien juga akan merasa silau disertai blefarospasme (Ilyas, 2015).
d. Diagnosis
Biasanya terlihat unilateral dan kadang-kadang mengenai kedua mata.
Pada konjungtivitis flikten terlihat sebagai bintik putih yang dikelilingi daerah
hiperemi. Pada pasien akan terlihat kumpulan pembuluh darah yang mengelilingi
suatu tonjolan bulat dengan warna kuning kelabu seperti suatu mikroabses yang
terletak didekat limbus. Biasanya abses menjalar ke arah sentral atau kornea dan
lebih dari satu (Ilyas, 2015).
e. Diagnosis banding
Diagnosis banding konjungtivitis flikten adalah pinguekula iritan
(lokalisasi pada fisura palpebra), ulkus kornea, okular rosazea dan keratitis herpes
simpleks (Ilyas, 2015).
f. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan adalah menyebarnya flikten ke dalam
kornea atau terjadinya infeksi sekunder sehingga timbul abses (Ilyas, 2015).
g. Tatalaksana
Tatalaksana konjungtivitis flikten adalah dengan diberi steroid topikal,
midriatrik bila terjadi penyulit pada kornea, diberi kacamata hitam karena adanya
rasa silau yang sakit. Perhatikan higiene mata dan diberi antibiotik salep mata
waktu tidur dan air mata buatan. Sebaiknya cari penyebab seperti adanya
tuberkulosis, blefaritis stafilokokus kronik dan lainnya (Ilyas, 2015).
h. Prognosis
Prognosis konjungtivitis flikten dapat sembuh sendiri dalam 2 minggu,
dengan kemungkinan terjadi kekambuhan. Keadaan akan lebih berat bila terkena
kornea (Ilyas, 2015).
i. Pencegahan
Karena sering terdapat pada anak dengan gizi kurang maka sebaiknya
diberikan vitamin dan makanan tambahan (Ilyas, 2015).
3.3.8 Konjungtivitis Sicca
a. Definisi
Penyakit mata kering atau (keratokonjungtivitis sicca) merupakan penyakit
multifaktorial pada air mata dan permukaan mata yang menimbulkan gejala tidak
nyaman, gangguan penglihatan, dan ketidakstabilan tear film dengan potensial
merusak permukaan mata. Keadaan ini bisa diikuti dengan peningkatan
osmolaritas tear film dan inflamasi permukaan mata (Report of the international
dry eye syndrome, 2007).
b. Epidemiologi
Angka kejadian penyakit mata kering masih bervariasi karena definisi dan
kriteria diagnosis untuk penelitian masih beragam (Phadatare et all, 2015).
Berdasarkan data DEWS 2007, 5-30% penduduk usia di atas 50 tahun menderita
mata kering.1 Penelitian Women’s Health Study dan Physician’s Health Study
melaporkan angka kejadian mata kering pada perempuan lebih tinggi (3,2 juta)
dibandingkan dengan laki-laki (1,6 juta) usia di atas 50 tahun (Report of the
international dry eye syndrome, 2007). Penyakit mata kering terjadi akibat
penurunan produksi aqueous atau peningkatan evaporasi air mata, paling sering
disebabkan oleh evaporasi air mata akibat disfungsi kelenjar meibomian
(Stapleton et all, 2015).
c. Gejala klinis
Gejala utama mata kering adalah kering dan rasa berpasir pada mata.
Gejala tambahan seperti rasa panas atau gatal, sensasi benda asing, air mata
berlebihan, nyeri dan mata kemerahan, dan fotofobia. Dapat diikuti dengan
gangguan penglihatan dan memburuk saat kelembapan rendah dan suhu tinggi
(Phadatare et all, 2015).
d. Klasifikasi
Mata kering dapat terjadi sendiri atau bersamaan dengan kelainan lain
(Report of the international dry eye syndrome, 2007). Berdasarkan etiopatologi,
mata kering dikelompokkan menjadi dua, yaitu mata kering defisiensi aqueous
(ADDE) dan mata kering evaporasi (EDE):
i. Mata Kering Defisiensi Aqueous (MKDA)
Disebabkan oleh kegagalan sekresi air mata lakrimal akibat disfungsi
kelenjar lakrimal asinar atau penurunan volume sekresi air mata. Keadaan
ini menyebabkan hiperosmolaritas karena evaporasi tetap berlangsung
normal. kelenjar lakrimal akibat trakoma juga berperan dalam MKBSS.
Pada Beave Dam study ditemukan angka kejadian mata kering pasien DM
18,1% dibandingkan dengan pasien non-DM (14,1%) (Report of the
international dry eye syndrome, 2007).
ii. Mata Kering Evaporasi (MKE)
MKE terjadi akibat kehilangan air mata di permukaan mata, sedangkan
kelenjar lakrimasi berfungsi normal. Keadaan ini dapat dipengaruhi oleh
faktor intrinsik (struktur kelopak mata) dan ekstrinsik (penyakit
permukaan mata atau pengaruh obat topikal), keterkaitan kedua faktor
masih sulit dibedakan (Report of the international dry eye syndrome,
2007).
e. Diagnosis
Urutan pemeriksaan mata kering antara lain (Report of the international
dry eye syndrome, 2007), yaitu:
i. Riwayat pasien dengan kuesioner
ii. Tear film break-up time dengan fluoresein
iii. Pewarnaan permukaan mata menggunakan fluoresein atau lissamine green
iv. Tes Schirmer I dengan atau tanpa anestesi/tes Schirmer II dengan stimulasi
nasal.
v. Pemeriksaan kelopak mata dan kelenjar meibomian

Diagnosis penyakit mata kering dapat ditegakkan dengan kombinasi gejala


dan penurunan hasil Tear Film Breakup Time (TBUT) (Messmer, 2015) Informasi
gejala, riwayat tindakan operasi mata, penggunaan obat topikal atau sistemik, dan
penyakit penyerta (blefaritis atau alergi) (Phadatare et all, 2015).
f. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul yaitu ulkus kornea, infeksi sekunder oleh
bakteri dan parut kornea serta neovaskularisasi kornea (Ilyas, 2015).
g. Tatalaksana
Penggunaan obat mata topikal disarankan bebas zat pengawet, hipotonik,
atau isotonik, dan mengandung elektrolit, pH netral atau sedikit basa, dan
osmolaritas 181-354 mOsm/L, serta biasanya dalam sediaan dosis tunggal yang
lebih mahal. Zat pengawet Benzalkonium Klorida (BAK) dapat merusak epitel
kornea dan konjungtiva (Report of the international dry eye syndrome, 2007).
Air mata artifisial dapat digunakan empat kali sehari atau pada keadaan
lebih parah bisa hingga 10-12 kali sehari. Tersedia berbagai macam produk
dengan komposisi, indikasi, dan zat pengawet yang berbeda (Phadatare et all,
2015).
3.4 Chalazion
3.4.1 Definisi
Chalazion adalah peradangan granulomatosa kronik yang steril dan
idiopatik pada kelenjar meibom yang tersumbat, ditandai dengan dengan
pembengkakan setempat yang tidak terasa sakit dan berkembang dalam beberapa
minggu (Vaughan, 2010).
3.4.2 Etiologi
Chalazion juga disebabkan sebagai lipogranulomatosa kelenjar Meibom.
Chalazion mungkin timbul spontan disebabkan oleh sumbatan pada saluran
kelenjar atau sekunder dari hordeolum internum. Chalazion dihubungkan dengan
seborrhea, chronic blepharitis, dan acne rosacea (Vaughan, 2010).
3.4.3 Gejala klinis
Chalazion memberikan gejala yaitu adanya benjolan pada kelompak mata,
tidak hiperemi, tidak ada nyeri tekan dan adanya pseudoptosis. Kelenjar preurikel
tidak membesar, kadang mengakibatkan perubahan bentuk bola mata akibat
tekanannya sehingga terjadi kelainan refraksi pada mata tersebut (Ilyas, 2015).
3.4.4 Patofisiologi
Chalazion merupakan radang granulomatosa kelenjar Meibom. Nodul
terlihat atas sel imun yang responsif terhadap steroid termasuk jaringan ikat
makrofag seperti histiosit, sel raksasa multinucleate plasma, sepolimorfonuklear,
leukosit dan eosinofil. Kerusakan lipid yang mengakibatkan tertahannya sekresi
kelenjar, kemungkinan karena enzim dari bakteri, membentuk jaringan granulasi
dan mengakibatkan inflamasi. Proses granulomatous ini yang membedakan antara
Chalazion dengan Hordeolum internal atau eksternal (terutama proses piogenik
yang menimbulkan pustul), walaupun Chalazion dapat menyebabkan Hordeolum,
begitupun sebaliknya. Secara klinik, nodul tunggal (jarang multipel) yang agak
keras berlokasi jauh di dalam palpebra atau pada tarsal. Eversi palpebra mungkin
menampakkan kelenjar meibom yang berdilatasi (Vaughan, 2010).
3.4.5 Diagnosis
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan kelopak
mata. Kadang saluran kelenjar Meibom bisa tersumbat oleh suatu kanker kulit,
untuk memastikan hal ini maka perlu dilakukan pemeriksaan biopsi (Vaughan,
2010).
3.4.6 Diagnosa banding
Diagnosa banding dari Chalazion adalah Hordeoulum, Dermoid Cyst dan
Tear Gland Adenom (Vaughan, 2010).
3.4.7 Komplikasi
Rusaknya sistem drainase pada Chalazion dapat menyebabkan Trichiasis,
dan kehilangan bulu mata. Chalazion yang rekuren atau tampat atipik perlu
dibiopsi untuk menyingkirkan adanya keganasan. Astigmatisma dapat terjadi jika
massa pada palpebra sudah mengubah kontur kornea. Chalazion yang drainasenya
hanya sebagian dapat menyebabkan massa jaringan granulasi prolapsus diatas
konjungtiva atau kulit (Vaughan, 2010).
3.4.8 Tatalaksana
Pengobatan Chalazion adalah dengan memberikan kompres hangat,
antibiotik setempat dan sistemik. Untuk mengurangkan gejala dilakukan
ekskokleasi isi abses dari dalamnya atau dilakukan ekstirpasi Chalazion tersebut.
Insisi dilakukan seperti insisi pada Hordeolum interna (Ilyas, 2015).
 Farmakologi
Jenis antibiotik yang dapat diberikan:
Antibiotik topikal : Bacitracin atau Tobramicin salep mata diberikan tiap 4
jam selama 7-10 hari. Antibiotik sistemik : Chalazion kasus sedang-berat
diberikan Cephalexin atau Dicloxacilin 500mg/oral 4 kali sehari selama 7 hari.
Bila laergi Penisilin atau Cephalosporin maka diberikan Clindamycin 300mg/oral
2 kali sehari selama 7 hari.
 Non-farmakologi
Kompres hangat selama10-15 menit , minimal 4 kali sehari untuk membantu
drainase serta jangan menekan/menusuk Chalazion karena akan menimbulkan
infeksi
 Pembedahan (Ekskokleasi Chalazion)
Terlebih dahulu diberikan anestesia topikal dengan pantokain tetes mata.
Dilakukan anestesia filtrasi dengan prokain atau lidokain di daerah Chalazion dan
dilakukan insisi. Dibuat insisi pada daerah fluktuasi pus, tegak lurus pada margo
palpebra. Setelah dilakukan insisi dilakukan ekskokleasi/kuretase seluruh isi
jaringan meradang didalam kantongnya dan kemudian diberikan salep antibiotik
(Ilyas, 2015).
3.4.9 Prognosis
Prognosis Chalazion kadang-kadang dapat sembuh atau hilang dengan
sendirinya akibat diabsorpsi (Ilyas, 2015).
BAB 4
PEMBAHASAN

Seorang pasien wanita an. LK, usia 2 tahun datang bersama ibunya ke Poli
Mata RSU Cut Meutia dengan keluhan mata merah yang sudah dialami pasien
sejak ±1 minggu ini. Selain itu ibu pasien mengatakan bahwa pasien sering
terlihat mata yang berair (epifora) dan adanya kotoran (sekret) mata yang sering
timbul pada pagi hari saat bangun tidur pasien susah membuka mata. Kotoran
mata bersifat lengket pada kelompak mata dan berwarna kuning. Keluhan lain
yaitu demam yang timbul ±1 minggu. Tidak ada keluhan penglihatan kabur.
Riwayat masuk benda asing ke dalam mata disangkal. Pasien juga pernah berobat
ke poli mata RSU Cut Meutia 1 bulan yang lalu dengan keluhan adanya benjolan
pada kelopak mata kiri yang di diagnosa dengan Chalazion OS. Riwayat
pemakaian obat sebelumnya yaitu Cefixime 3x500mg dan Xitrol 6 dd gtt 1 OS.
Riwayat penyakit keluarga dengan keluhan mata merah dan benjolan pada
kelopak mata disangkal.
Pada pemeriksaan fisik untuk status generalis didapatkan keadaan umum
baik, kesadaran pasien compos mentis dengan keadaan penyakit sakit ringan,
tekanan darah tidak diperiksa, nadi 112 x/menit, pernapasan 21 x/menit,
temperatur 36,8oC. Pada pemeriksaan fisik secara umum regio kepala, paru,
jantung dan abdomen dalam batas normal.
Pemeriksaan status oftalmologi didapatkan visus OD & OS masing-
masing adalah 6/6, posisi OD & OS ortoforia, palpebra superior OS edema (+)
dan benjolan putih (+), palpebra inferior OS edema (+), konjungtiva tarsalis
superior dan inferior OS hiperemis (+), konjungtiva bulbi OS sekret (+), injeksi
konjungtiva (+), kornea OS terdapat benjolan putih (+), camera oculi anterior OD
& OS normal, pupil OD & OS isokor, ukuran 3 mm, RL (+), RCTL (+), iris OD &
OS kripti normal, lensa OD & OS jernih, Corpus vitreus dan Fundus oculi tidak
dilakukan pemeriksaan.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan status oftalmologi pasien
didiagnosa dengan Konjungtivitis OS + Chalazion OS. Anjuran terapi yang dapat
diberikan yaitu kompres dingin pada mata yang sakit, Artificial tears (Lyteers) 4-
8x 1 tetes dan Antibiotik topikal spektrum luas (levofloxacin topikal) untuk
mencegah infeksi sekunder. Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu penderita
diminta untuk tidak menyentuh atau mengucek mata, tidak boleh berbagi handuk
dengan penderita, cuci tangan setelah terkena sekret mata dan memperhatikan
higiene perorangan secara khusus.
Konjungtivitis adalah proses inflamasi akibat infeksi pada konjungtiva
yang ditandai dengan dilatasi vaskular, infiltrasi seluler, dan eksudasi (Vaughan,
2010). Konjungtivitis adalah penyakit mata paling umum di dunia dan bervariasi
dari hiperemia ringan dengan mata berair hingga konjungtivitis berat dengan
sekret purulen kental. Konjungtivitis dapat menyerang seluruh kelompok umur,
akut maupun kronis, serta disebabkan oleh berbagai faktor baik eksogen maupun
endogen. Faktor eksogen meliputi bakteri, virus, jamur, maupun zat kimiawi
irritatif, seperti asam, basa, asap, angin, sinar ultraviolet hingga iatrogenik. Faktor
endogen penyebab konjungtivitis berupa reaksi hipersensitivitas, baik humoral
maupun selular, serta reaksi autoimun (Garcia-Ferrer et all, 2008).
Keluhan pasien pada kasus ini berupa mata merah ±1 minggu, mata berair,
dan mengeluarkan sekret yang sesuai dengan gejala konjungtivitis bakteri akut.
Pada pasien ini konjungtivitis bakteri akut belum mengakibatkan komplikasi ke
kornea, ditandai tidak didapatkan penurunan visus serta keluhan mata berair
(epifora) dan blepharospasme yang merupakan gejala khas dari keratitis.
Penatalaksanaan medikamentosa pada pasien ini diberikan antibiotik spektrum
luas.
Konjungtivitis bakteri akut merupakan keluhan mata yang sangat umum di
temui pada 1% dari seluruh kunjungan di pelayanan kesehatan primer (Hovding,
2008). Data epidemiologi berdasarkan penelitian dari 160 kasus diketahui bahwa
136 kasus konjungtivitis suspek bakteri atau virus, Berdasarkan jenis kelamin
diketahui bahwa 85 pasien (53,125%) adalah laki-laki dan 75 pasien (46,875%)
adalah wanita. Berdasarkan usia terbanyak pada usia 31-40 tahun (18,75%) dan
usia 0-10 tahun (18,125%). Berdasarkan gejala dan tanda klinis diketahui bahwa
160 pasien (100%) mengeluhkan mata merah (Insani et all, 2017).
Penelitian Alloyna mengenai prevalensi konjungtivitis di Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik Sumatera Utara pada tahun 2009 dan 2010 yang
menunjukkan bahwa pasien konjungtivitis terbanyak adalah perempuan, yaitu
sebanyak 154 pasien (54%) dari total 285 pasien (Alloyna, 2011). Referensi lain
menyatakan bahwa konjungtivitis dapat mengenai seluruh jenis kelamin, strata
sosial dan kelompok umur sehingga tampak bahwa jenis kelamin tidak
berpengaruh signifikan terhadap risiko konjungtivitis (Garratt & Soberano, 2013).
Berdasarkan gejala dan tanda klinis diketahui yang paling banyak
ditemukan adalah mata merah yaitu pada seluruh pasien (100%). Penelitian di
Rumah Sakit Umum Raden Mattaher Jambi juga menyatakan bahwa tanda klinis
terbanyak adalah mata merah dan berair yaitu sebanyak 74 pasien (100%) dari
total 74 pasien konjungtivitis (Shakira et all, 2012). Literatur juga menjelaskan
bahwa mata merah merupakan tanda klinis konjungtivitis yang predominan
(Garcia-Ferrer et all, 2008). Gejala dan tanda klinis lain seperti sekret atau eksudat
merupakan ciri konjungtivitis akut, dimana sekret berlapis dan amorf ditemukan
pada konjungtivitis bakteri dan berserabut pada konjungtivitis alergi (Garcia-
Ferrer et all, 2008).
Dalam penegakan diagnosis, konjungtivitis bakteri dan virus sulit
dibedakan karena tidak jarang pasien datang dengan keluhan yang saling tumpang
tindih serta tidak dilakukannya pemeriksaan kultur. Sebagian besar kasus
konjungtivitis bakteri dan virus ditangani dengan pemberian antibiotik spektrum
luas (Cronau et all, 2010). Konjungtivitis virus merupakan self-limiting disease
dan sejauh ini belum terdapat bukti pendukung mengenai efektivitas penggunaan
antivirus sehingga mayoritas pasien ditangani dengan terapi suportif seperti
kompres dingin, dekongestan dan air mata buatan (artificial tears). Pasien dengan
risiko tinggi infeksi sekunder diberikan antibiotik (Haq et all, 2013).
Anjuran terapi diketahui bahwa 85 pasien (54%) mendapat terapi
farmakologi dalam bentuk tetes mata saja. Belum ada penelitian mengenai
manajemen konjungtivitis di Indonesia, sehingga hasil penelitian ini belum dapat
dibandingkan (Insani et all, 2017). Jenis tetes mata yang paling sering digunakan
adalah lubrikan dan antibiotik. Lubrikan digunakan karena dapat membantu
mengurangi rasa tidak nyaman pada mata serta menjaga permukaan mata dengan
kandungan elektrolit yang terkandung di dalamnya. Tetes mata lubrikan sangat
sering digunakan, baik dalam kasus konjungtivitis bakteri, virus, maupun alergi
(Sahoo & Haq, 2011). Manajemen konjungtivitis, antibiotik biasanya digunakan
untuk eradikasi kuman penyebab maupun pencegahan infeksi sekunder. Tetes
mata antibiotik diberikan pada pasien konjungtivitis suspek bakteri atau virus
maupun konjungtivitis iritatif (Haq et all, 2013).
Tetes mata antibiotik (single) yang biasanya digunakan adalah golongan
kuinolon, seperti ofloxacin dan levofloxacin. Jenis tetes mata kombinasi antibiotik
dengan antibiotik biasanya menggunakan kombinasi golongan polipeptida seperti
polimiksin dengan aminoglikosida. Kortikosteroid yang biasanya digunakan
dalam kombinasi adalah dexamethasone. Hal ini sesuai dengan referensi yang
menyatakan bahwa pada kasus konjungtivitis bakteri ringan-sedang dapat
diberikan polimiksin B, eritromisin atau azitromisin. Pada kasus sedang hingga
berat dapat diberikan flourokuinolon seperti ofloxacin, ciprofloxacin, dan
levofloxacin (Haq et all, 2013). Literatur lain juga menyatakan bahwa antibiotik
golongan flourokuinolon, aminoglikosida, dan polimiksin dapat digunakan dalam
penanganan kasus konjungtivitis bakteri (Tarabishi & Jeng, 2008).
BAB 5
KESIMPULAN

Konjungtivitis adalah inflamasi jaringan konjungtiva yang dapat


disebabkan oleh invasi mikroorganisme, reaksi hipersensitivitas atau perubahan
degeneratif di konjungtiva. Konjungtivitis dapat mengenai seluruh jenis kelamin,
strata sosial dan kelompok umur sehingga tampak bahwa jenis kelamin tidak
berpengaruh signifikan terhadap risiko konjungtivitis. Konjungtivitis bakteri akut
merupakan keluhan mata yang sangat umum di temui pada 1% dari seluruh
kunjungan di pelayanan kesehatan primer. Pada kasus ini pasien wanita usia 2
tahun datang dengan keluhan mata merah ±1 minggu, keluhan lain yaitu dijumpai
adanya epifora (mata berair) dan sekret purulen, pada pemeriksaan status
oftalmologi didapatkan visus OD & OS normal 6/6 menandakan belum ada
komplikasi terhadap kornea, serta dijumpai adanya injeksi konjungtiva bulbi pada
mata yang sakit. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menentukan
jenis bakteri penyebab adalah dengan pemeriksaan mikroskopik kerokan
konjungtiva yang di pulas dengan pewarnaan Gram atau Giemsa.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi maka di diagnosa
dengan Konjungtivitis bakteri akut. Anjuran terapi yang dapat diberikan yaitu
kompres dingin pada mata yang sakit, tetes mata/artificial tears (Lyteers) 4-8x 1
tetes dan antibiotik topikal spektrum luas (levofloxacin topikal) untuk mencegah
infeksi sekunder. Prognosis konjungtivitis adalah dubia ad bonam. Komplikasi
yang dapat timbul yaitu blefaritits marginal kronik, parut konjungtiva, ulserasi
kornea dan perforasi dan Iritis toksik. Pencegahan yang dapat dilakukan adalah
penderita diminta untuk tidak menyentuh atau mengucek mata, tidak boleh
berbagi handuk dengan penderita, cuci tangan setelah terkena sekret mata dan
memperhatikan higiene perorangan secara khusus.
DAFTAR PUSTAKA
Azari AA, Barney NP. Conjunctivitis:a systemic review of diagnosis and
treatment. JAMA.2013;310(6):1721-9.
American Academy of Opthalmology. (2010). Conjunctiva. Available from :
http://www.aao.org/preferred-practice-pattern/conjunctivitis-ppp--2013.
Diakses tanggal 17 September 2018.
Amadi, A. 2009. Common Ocular Problems in Aba Metropolis of Albia State,
Eastern Nigeria. Federal Medical Center Owerri.
American Academy Of Ophthalmology: Pediatric Ophthalmology and Strabismus
in Basic and Clinical Science Course, Section 6, 2012-2013, page 186-189.
American Academy Of Ophthalmology: external disease and cornea in Basic and
Clinical Science Course, Section 8, 2009-2010, page 169-174.
Alloyna D. Prevalensi Konjungtivitis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam
Malik Tahun 2009 dan 2010. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara;
2011.
Bailey RL, arrulendran P, Whittle HC, Mabey DCW. Randomised control
azitromisin in treatment of trachoma. Lancet.2001;353:1401-3.
Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. External disease and cornea. Italia: American
Academy of Ophtalmology; 2014.
Chrisyanti LS, Galani IE, Pararas MV, Giannopoulou KP, Tsakris A. Treatment
of viral conjunctivitis with antiviral drugs. Drugs. 2011;71(3):331-47.
Christopher K, Stear BA, Andrews CA, Stein JD. Seasonal trends and
demographic variation of viral conjunctivitis across the US. IOVS.
2015;56(7):1877-9.
Cronau H, Kankanala RR, Mauger T. Diagnosis and Management of Red Eye in
Primary Care. Am Fam Physician. 2010; 81(2): 137-139.
Dart, J., K., G. (1986). Eye Disease at a Community Health Centre. Br MedJ 293:
1477–1480.
De Smedt, Nkurikiye J, Fonteyne Y, Hogewoning A, Van Esbroeck M, De
Bacquer D, Tuft S, Gilbert C, Delange J, Kestelyn P. Vernal
Keratoconjungtivitis in School children in Rwanda and its association with
socio economic status : A Population Based Survey. Am J Trop Med Hyg.
2011. 85(4) : 711 – 717.
Dhiman KS, Sharma G, Singh S. A clinical study to assess the efficacy of
Triyushnadi Anjana in Kapajha Abish vernal keratoconjunctivitis. An
International Quarterly Journal of Research in Ayuverda 2010. 31(4) : 466 –
472.
Emerson PM, Lindsay SW, Alexander N, Bah M, Dibba SM, et al. Role Of Lies
And Provision Of Latrines In Trachoma A Control: Cluster - Randomised
Controlled Trial. Lancet. 2004; 363:1093-1098.
Foster A. Trachoma Control. Medicine Digest Asia. 1990 : 8 : 4-9.
Frick KD, Hanson CL, Jacobson GA. Global Burden Of Trachoma And Economic
Of The Disease. Am J Trop Med Hyg, 2006; 69:1-10.
Garcia-Ferrer FJ, Schwab IR, Shetlar DJ. Konjungtiva. Dalam: Vaughan &
Asbury. Oftalmologi Umum. Edisi ke-17. Jakarta: EGC, 2008. h. 97-124.
Garratt S, Soberano S. Conjunctivitis. American Academy of Ophtalmology
Corneal/External Disease Panel 2013 [diakses 28 September 2018].
Diunduh dari: URL: http://www.one.aao.org/ppp.
Gilani CJ, Yang A, Yonkers M, Boysen-Osborn M. Differentiating urgent and
emergent causes of acute red eye for the emergency physician. West J
Emerg Med. 2017; article in press.
Gokhale NS, Samant R, Sharma V. Oral cyclosporine therapy for refractory
severe vernal kerato conjungtivitis. Indian J Ophthalmol. 2012. 60 (30) :
220 – 223.
Haq A, Wardak H, dan Kraskian N. Infective Conjunctivitis. InTech. 2013: 21-42.
Hoyt Creig S and Taylor David: Pediatric Ophthalmology and Strabismus, fourth
edition, section 3 chapter 12 , 2013, page 85-88
Høvding., G. (2008). Acute Bacterial Counjunctivitis. Acta Ophthalmol (Copenh)
86: 5–17.
Hovding G. Acute bacterial conjunctivitis. Acta Ophthalmol. 2008; 86(1): 5-17.
Ilyas Sidarta . Ilmu Penyakit Mata edisi kelima. 2015. Jakarta: FK UI.
Ilyas, S., Yulianti, S. (2014). Ilmu Penyakit Mata. Edisi 5. Jakarta : FKUI.
Insani ML, Adioka IGM, Artini IGA & Mahendra AN, 2017. Karakteristik Dan
Manajemen Konjungtivitis Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit Indera
Denpasar Periode Januari-April 2014. E-Jurnal Medika,Vol 6 No 7,Juli
2017.
Jatla, K.K., 2009. Neonatal Conjunctivitis. University of Colorado Denver Health
Science Center.
James, Brus, dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Erlangga. Jakarta. 2005.
Katelaris CH. Ocular allergy in the Asia Pacific region. Asia Pac Allergy. 2011.
1(3) : 108 -111.
Khurana AK. Comprehensive ophthalmology. Edisi ke-4. New Delhi: New Age
International; 2007.
Lambert L. Diagnosing red eye: an allergy or an infection. S Afr Pharm J.
2017;84(1):24-30.
Lang, Gerhard. (2000). A Short Textbook of Ophtalmology. Thieme Stuttgart:
New York.
Leibowitz HM. The red eye. Eng J Med. 2000;343:345-51.
Leonardi , Borghesan F, Avorello A, Plefari M, Secehi Ab Effect of Loxodamide
and disodium chromoglycate on tear Eosinophil cationic protein in
Vernalkeratokonjungtivitis. British Journal of Ophthalmology. 1997 (81) :
23-26.
Majmudar, P.A., 2010. Allergic Conjunctivitis. Rush-Presbyterian-St Luke’s
Medical Center
Marlin, D.S. 2009. Bacterial Conjunctivitis. Penn State College of Medicine.
[http://emedicine.medscape.com/article/1191370].
Matejeek A, Goldman RD. Treatment and prevention of ophthalmia neonatorum.
Canadian Family Physician. 2013; 59(2):21-5.
Mecaskey JW, Knirsch CA, Kumaresan JA, Cook JA. The Possibility Of
Eliminating Blinding Trachoma. Lancet Infect Dis, 2003; 3:728-734.
Messmer EM. The pathophysiology, diagnosis and treatment of dry eye disease.
Dtsch Arztebl Int. 2015;112:71-82.
McDonnell, P., J. (1988). How Do General Practitioners Manage Eye Disease in
The Community?, Br J Ophthalmol 72: 733–736.
McCourt, Emiliy; Dahl, Andrew. (2017). Neonatal Conjunctivitis (Ophthalmia
Neonatorum). Diakses di: http://emedicine.medscape.com/article/.
Nurhayati, S., Hamzah, A., Tika, A., (2014). Hubungan antara Perilaku Pasien
dengan kejadian Konjungtivitis di Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes; 4 (2): 95-100.
Ohashi Y, Ebihara N, Fujishima H, Fukushima A, KumagaiN, NakagawaY,
Namba K, OkamotoS, Shoji J, Takamura E, Hayashi K. Arandomized,
Placebo Controlled Clinical Trial of Tacrolimus Ophthalmic Suspension 0,1
% in severe Allergic Conjunctivitis. J Ocul Pharmacol Ther. 2010. 26(2) :
165 – 173.
Phadatare SP, Momin M, Nighojkar P, Askarkar S, Singh KK. A comprehensive
review on dry eye disease: Diagnosis, medical management, recent
developments, and future challenges. Advances in Pharmaceutics 2015;1-
13.
Price SA, Wilson LMC. (2002). Pathophysiology Clinical Concept of Disease
Processes. Edisi 6.
Rapuano, C.J., et al., 2008. Conjunctivitis. American Academy of
Ophthalmology.
Reyes NJ, Mayhew E, Chen PW, Niederkorn JY. NKT cells are necessary for
maximal expression of allergic conjunctivitis. Int Immunol. 2010, 22(8) :
627 – 636.
Rini AS & Yusran M.Oftalmia Neonatorum Et Causa Infeksi Gonokokal
Majority. Volume 6. Nomor 3. Juli 2017.
Rubenstein, J., B. (1999). Disorders of The Conjunctiva and Limbus. In: Yanoff
M & Du- ker JS (eds) Ophthalmology. St Louis: Mosby, 12–18.
Sahoo S, Haq A. Management of Conjunctivitis in General Practice. Intech. 2011;
10: 95-108.
Sendrowski, David P, Maher J. Claim victory over viral conjunctivitis: adenovirus
and herpes virus are highly contagious pathogens, but you can put a stop to
them if you diagnose them quickly and manage them appropriately. Review
of Optometry. 2016;1:78-80.
Sitompul, Ratna. (2016). Panduan Pemberian Antibiotik Untuk Terapi Infeksi
Mata. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Scherer LD, Finan C, Simancek D, Finkelstein JI, Tarini BA. Effect of “pink eye”
label on parents’ intent to use antibiotics and perceived contagiousness.
Sage journals. 2015;55(6):542-8.
Schachter J, west SK, Mabey DH, Dawson CR, Bobo L, Bailey R. Trachoma.
Lancet. 2002;354:630-5.
Shakira IG, Azhar MB, Zainul S. Karakteristik Klinis dan Demografi Pasien yang
Berobat. Skripsi. Jambi: Universitas Jambi; 2012.
Stapleton F, Garrett Q, Chan C, Craig JP. The epidemiology of dry eye disease.
In: Chan C, editor. Dry eye: A practical approach, essentials in
ophthalmology. Berlin: Springer-Verlag; 2015.
Taddio A, Cimaz R, Caputo R, de Libero C, Di Grande L, Simonini G. Childhood
chronic anterior uveitis associated with vernal keratoconjunctivitis with
topical tacrolimus. Case series. Pediatr Rheumatol Online J. 2011. 9 : 34.
Tarabishi AB, Jeng BH. Bacterial Conjunctivitis: A Review for Internists. Cleve
Clin J Med. 2008; 75(7): 507-512.
Terry JE. Ocular Disease Detection, Diagnosis and treatment. Butterworths,
Boston London 2004, p. 411 - 413 and 673 - 677.
Tear Film & Ocular Surface Society. 2007 Report of the international dry eye
syndrome. Ocular Surface 2007;5(2):59-200.
Tsai JC, Denniston AKO, Murray PI, Huang JJ, Aldad TS. Oxford American
handbook of ophthalmology. New York: Oxford University Press; 2011.
Tortora, G.J., Derrickson, B.H., 2009. The Special Senses. In : Tortora, Gerard J.,
Derrickson, Bryan H. (eds). Principles of Anatomy and Physiology. 12 th
edition. New York: John Wiley & Sons, Inc, 605-611.
Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum.Edisi Ke-17. Jakarta : EGC. 2010.
Vaughan, D., Asbury, T. (2015). Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Visscher, K.L., et al., 2009. Evidence-based Treatment of Acute Infective
Conjunctivitis. Canadian Family Physician.
Wade PD, Iwuora AN, Lopez L. Allergic Conjunctivitis at Sheikh Zayed Regional
Eye Care Center Gambia. J Ophtalmic Vis Res. 2012. 7(1) : 24 – 28.
World health organization. Report of the eighth meeting of the who alliance for
the global elimination of trachoma. Geneva : World health organization,
2004.

Anda mungkin juga menyukai