Disusun Oleh :
Talitha Melinda Utami
19 777 041
Pembimbing Klinik :
dr. Santy Kusumawaty, Sp.M., M.Kes
i
HALAMAN PENGESAHAN
Pembimbing Mahasiswa
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................5
A. Anatomi...............................................................................................5
B. Fisiologi...............................................................................................8
C. Histologi..............................................................................................9
D. Definisi................................................................................................10
E. Epidemiologi.......................................................................................11
F. Etiologi................................................................................................11
G. Faktor Resiko.......................................................................................12
H. Patofisiologi.........................................................................................13
I. Klasifikasi............................................................................................14
J. Diagnosis.............................................................................................15
K. Penatalaksanaan...................................................................................16
L. Komplikasi..........................................................................................16
M. Prognosis.............................................................................................17
BAB III LAPORAN KASUS ..........................................................................18
BAB IV DISKUSI.............................................................................................23
BAB V KESIMPULAN .................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................26
iii
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI
Anatomi Lensa Mata
5
(Gambar 2. Zona pada Lensa)
Selapis epitel subkapsular tampak di depan (Gambar 2.1). Nukleus lensa lebih
keras daripada korteksnya. Seiring dengan bertambahnya usia, serat-serat lamelar
subepitel terus diproduksi sehingga lensa perlahan-lahan menjadi lebih besar dan
kurang elastik. Nukleus dan korteks terbentuk dari lamelar konsentris yang
panjang. Garis-garis persambungan (suture line) yang terbentuk dari
penyambungan tepi-tepi serat lamelar tampak seperti huruf Y dengan slitlamp
(Gambar 2). Huruf Y ini tampak tegak di anterior dan terbalik di posterior .Setiap
serat lamelar mengandung sebuah inti. Pada pemeriksaan mikroskop, inti tampak
dibagian perifer lensa dan berbatasan dengan lapisan epitel subkapsular. Lensa
ditahan di tempatnya oleh ligamentum suspensorium yang dikenal sebagai zonula
(zonula Zinnii), yang tersusun atas banyak fibril; fibril-fibril ini berasal dari
permukaan corpus ciliare dan menyisip ke dalam ekuator lensa. 14
B. Fisiologi
Lensa terdiri atas 65% air dan sekitar 35% protein (kandungan proteinnya
tertinggi di antara jaringan-jaringan tubuh). Selain itu, terdapat sedikit sekali
mineral seperti yang biasa ada di jaringan tubuh lainnya. Kandungan kalium
lebih tinggi di lensa daripada di kebanyakan jaringan lain. Asam askorbat dan
glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. 14 Mata dapat
mengubah fokusnya dari objek jarak jauh ke jarak dekat karena kemampuan
lensa untuk mengubah bentuknya, suatu fenomena yang dikenal sebagai
akomodasi. Lensa memiliki elastisitas yang alami sehingga memungkinkan untuk
menjadi lebih atau kurang bulat, tergantung besarnya tegangan serat-serat zonula
pada kapsul lensa. Aktivitas musculus ciliaris mengendalikan tegangan zonula.
Muskulus siliaris yang berkontraksi akan mengendurkan tegangan zonula.
Dengan demikian lensa menjadi lebih bulat dan dihasilkan daya dioptri yang
lebih kuat untuk memfokuskan objek-objek yang lebih dekat. Relaksasi
6
muskulus siliaris akan membuat lensa mendatar dan memungkinkan objek-objek
jauh terfokus. 14
C. Histologi
Secara histologis, lensa memiliki tiga komponen utama :
a) Kapsul Lensa
Lensa dibungkus oleh simpai tebal (10-20 μm), homogen, refraktil, dan kaya
akan karbohidrat, yang meliputi permukaan luar sel-sel epithel. Kapsul ini
merupakan suatu membran basal yang sangat tebal dan terutama terdiri atas
kolagen tipe IV dan glikoprotein. Kapsul lensa paling tebal berada di ekuator
(14 μm) dan paling tipis pada kutub posterior (3 μm). Kapsul lensa bersifat
semipermeabel, artinya sebagian zat dapat melewati lensa dan sebagian lagi
tidak.
b) Epitel Subkapsular
Epitel subkapsular terdiri atas sel epitel kuboid yang hanya terdapat pada
permukaan anterior lensa. Epitel subkapsular yang berbentuk kuboid akan
berubah menjadi kolumnar di bagian ekuator dan akan terus memanjang dan
membentuk serat lensa. Lensa bertambah besar dan tumbuh seumur hidup
dengan terbentuknya serat lensa baru dari sel-sel yang terdapat di ekuator
lensa. Sel-sel epitel ini memiliki banyak interdigitasi dengan serat - serat
lensa.
c) Serat Lensa
Serat lensa tersusun memanjang dan tampak sebagai struktur tipis dan gepeng.
Serat ini merupakan sel-sel yang sangat terdiferensiasi dan berasal dari sel-sel
subkapsular. Serat lensa akhirnya kehilangan inti serta organelnya dan
menjadi sangat panjang. Sel-sel ini berisikan sekelompok protein yang disebut
kristalin.
d) Komposisi Lensa
7
Enam puluh lima persen lensa terdiri atas air, protein sebanyak 35%
(kandungan protein tertinggi di antara jaringanjaringan tubuh). Selain itu,
terdapat sedikit sekali mineral seperti yang biasa ada di jaringan tubuh
lainnya. Kandungan kalium lebih tinggi di lensa daripada dikebanyakan
jaringan lain. Asam askorbat dan glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi
maupun tereduksi. Tidak ada serat nyeri, pembuluh darah atau saraf dilensa. 18
e) Metabolisme Lensa
Tujuan utama dari metabolisme lensa adalah mempertahankan ketransparanan
lensa. Lensa mendapatkan energi terutama melalui metabolisme glukosa
anaerobik.
D. Definisi Katarak
Katarak adalah proses degeneratif berupa kekeruhan di lensa bola mata
sehingga menyebabkan menurunnya kemampuan penglihatan sampai kebutaan.
Kekeruhan ini disebabkan oleh terjadinya reaksi biokimia yang menyebabkan
koagulasi protein lensa. 10
E. Epidemiologi
Berdasarkan data WHO (World Health Organization), secara global katarak
merupakan penyebab kebutaan sebanyak 33%. Di negara Asia, menyatakan
bahwa katarak dan kelainan refraksi yang tidak terkoreksi merupakan penyebab
kebutaan terbanyak. Walaupun prevalensi katarak masih sulit disimpulkan akibat
definisi dan teknik pemeriksaan yang belum distandarisasi, survei dari Tanjong
Pagar di Singapore, melaporkan bahwa prevalensi katarak sebanyak 35% dialami
oleh orang Cina di usia 40 tahun atau lebih dan sebanyak 20-30% orang di usia
65 sampai 74 tahun akan mengalami kekeruhan lensa. Data survei National
Heatlh and Nutrition di United State, penurunan visus < 6/9 sebanyak 14,7%
dialami oleh usia 45 sampai 74 tahun.
8
F. Etiologi
Etiologi Katarak adalah:
1. Trauma Mata
Trauma mata mengakibatkan terjadinya erosi epitel pada lensa, pada
keadaan ini dapat terjadi hidrasi korteks hingga lensa mencembung dan
mengeruh.
2. Umur
Proses penuaan menyebabkan lensa mata menjadi keras dan keruh,
umumnya terjadi pada umur diatas 50 tahun.
3. Genetika
Kelainan kromosom mampu memengaruhi kualitas lensa mata sehingga
dapat memicu katarak.
4. Diabetes Melitus
Diabetes melitus menyebabkan kadar sorbitol berlebih (gula yang
terbentuk dari glukosa) yang menumpuk dalam lensa dan akhirnya
membentuk kekeruhan lensa.
5. Hipertensi
Hipertensi menyebabkan konformasi struktur perubahan protein dalam
kapsul lensa sehingga dapat menyebabkan katarak.
6. Merokok
Merokok dapat mengubah sel-sel lensa melalui oksidasi dan menyebabkan
akumulasi logam berat seperti cadmium dalam lensa sehingga dapat
memicu katarak.
7. Alkohol
Alkohol dapat mengganggu homeostasis kalsium dalam lensa sehingga
menyebabkan kerusakan membran dan dapat memicu katarak.Poltekkes
Kemenkes Yogyakarta
8. Radiasi Ultraviolet
9
Sinar ultraviolet mampu merusak jaringan mata, saraf pusat penglihatan,
dan dapat merusak bagian kornea dan lensa sehingga dapat menyebabkan
katarak. 17
G. Factor resiko
Beberapa faktor risiko katarak dapat dibedakan menjadi faktor individu,
lingkungan, dan faktor protektif. Faktor individu terdiri atas usia, jenis kelamin,
ras, serta faktor genetik.3,15 Faktor lingkungan termasuk kebiasaan merokok,
paparan sinar ultraviolet, status sosioekonomi, tingkat pendidikan, diabetes
mellitus, hipertensi, penggunaan steroid, dan obat-obat penyakit gout. 12,13,15
Faktor protektif meliputi penggunaan aspirin dan terapi pengganti hormon pada
wanita.
H. Patofisiologi
Proses penuaan seseorang akan menyebabkan mulainya pembentukan katarak
terkait usia. Pada usia lebih dari 40 tahun perubahan lensa akan mulai terjadi.
Katarak biasanya ditandai dengan ciri biokimia utamanya adalah penurunan
kadar protein total, asam amino dan kalium yang terkait dengan peningkatan
konsentrasi natrium dan kalsium serta hidrasi lensa kemudian diikuti oleh
koagulasi protein.1
10
Patofisiologi Katarak Sumber
Selama hidup, lensa akan terus berkembang dan menghasilkan serabutserabut
lensa yang baru. Serabut lensa tua akan mengalami degenerasi dan dipadatkan
menuju nukleus. Di dalamnya perubahan degeneratif yang biasa terjadi adalah
intensifikasi sklerosis nuklear terkait dengan dehidrasi dan pemadatan nukleus
yang mengakibatkan katarak keras. Ini disertai dengan 22 peningkatan yang
signifikan pada protein yang tidak larut dalam air. Namun, kandungan protein
total dan distribusi kation tetap normal. Mungkin ada atau mungkin tidak terkait
deposisi pigmen urokrom dan/atau melanin yang berasal dari asam amino di
lensa.1
I. Klasifikasi Katarak
Secara umum, klasifikasi katarak dapat dibagi berdasarkan maturitas, onset,
dan morfologi. Katarak kongenital terjadi akibat terbentuknya serat lensa yang
keruh. Katarak senilis dapat terjadi akibat proses degeneratif, sehingga
mengakibatkan serat lensa yang normal menjadi keruh. Secara klinis, kekeruhan
pada lensa disesuaikan dengan tingkat keparahan dari penurunan tajam
penglihatan yang dirasakan berangsur. Katarak juga dapat diklasifikasikan
berdasarkan morfologi anatomi lensa, yaitu katarak kapsular, subkapsular,
kortikal, supranuklear, nuklear, dan polaris.
A. Katarak Kongenital
11
Sepertiga kasus katarak kongenital adalah diturunkan, sepertiga
berkaitan dengan penyakit sistemik, dan sisanya idiopatik. 2 Separuh
katarak kongenital disertai anomali mata lainnya, seperti PHPV (Primary
Hyperplastic Posterior Vitreous), aniridia, koloboma, mikroftalmos, dan
buftalmos (pada glaukoma infantil).
B. Katarak Senilis
Seiring berjalannya usia, lensa mengalami kekeruhan, penebalan, serta
penurunan daya akomodasi, kondisi ini dinamakan katarak senilis.
Katarak senilis merupakan 90% dari semua jenis katarak.2 Terdapat tiga
jenis katarak senilis berdasarkan lokasi kekeruhannya. 3,15 yaitu :
(1) Katarak nuklearis
Katarak nuklearis ditandai dengan kekeruhan sentral dan perubahan
warna lensa menjadi kuning atau cokelat secara progresif perlahan-
lahan yang mengakibatkan turunnya tajam penglihatan. Derajat
kekeruhan lensa dapat dinilai menggunakan slitlamp. Katarak jenis ini
biasanya terjadi bilateral, namun dapat juga asimetris. Perubahan
warna mengakibatkan penderita sulit untuk membedakan corak warna.
Katarak nuklearis secara khas lebih mengganggu gangguan
penglihatan jauh daripada penglihatan dekat. Nukleus lensa
mengalami pengerasan progresif yang menyebabkan naiknya indeks
refraksi, dinamai miopisasi. Miopisasi menyebabkan penderita
presbiopia dapat membaca dekat tanpa harus mengenakan kacamata,
kondisi ini disebut sebagai second sight. 3,15
(2) Katarak kortikal
Katarak kortikal berhubungan dengan proses oksidasi dan presipitasi
protein pada sel-sel serat lensa. Katarak jenis ini biasanya bilateral,
asimetris, dan menimbulkan gejala silau jika melihat ke arah sumber
cahaya. Tahap penurunan penglihatan bervariasi dari lambat hingga
cepat. Pemeriksaan slitlamp berfungsi untuk melihat ada tidaknya
12
vakuola degenerasi hidropik yang merupakan degenerasi epitel
posterior, dan menyebabkan lensa mengalami elongasi ke anterior
dengan gambaran seperti embun. 3
(3) Katarak subkapsuler
Katarak ini dapat terjadi di subkapsuler anterior dan posterior.
Pemeriksaannya menggunakan slitlamp dan dapat ditemukan
kekeruhan seperti plak di korteks subkapsuler posterior. Gejalanya
adalah silau, penglihatan buruk pada tempat terang, dan penglihatan
dekat lebih terganggu daripada penglihatan jauh. 3
Maturitas Katarak
(1) Iminens/insipiens
Pada stadium ini, lensa bengkak karena termasuki air, kekeruhan lensa
masih ringan, visus biasanya > 6/60. Pada pemeriksaan dapat
ditemukan iris normal, bilik mata depan normal, sudut bilik mata
normal, serta shadow test negatif. 3,15
(2) Imatur
Pada tahap berikutnya, opasitas lensa bertambah dan visus mulai
menurun menjadi 5/60 sampai 1/60. Cairan lensa bertambah akibatnya
iris terdorong dan bilik mata depan menjadi dangkal, sudut bilik mata
sempit, dan sering terjadi glaukoma. Pada pemeriksaan didapatkan
shadow test positif. 3,15
(3) Matur
Jika katarak dibiarkan, lensa akan menjadi keruh seluruhnya dan visus
menurun drastis menjadi 1/300 atau hanya dapat melihat lambaian
tangan dalam jarak 1 meter. Pada pemeriksaan didapatkan shadow test
negatif. 3,15
(4) Hipermatur Pada tahap akhir, korteks mencair sehingga nukleus jatuh
dan lensa jadi turun dari kapsulnya (Morgagni). Lensa terlihat keruh
13
seluruhnya, visus sudah sangat menurun hingga bisa mencapai 0, dan
dapat terjadi komplikasi berupa uveitis dan glaukoma. Pada
pemeriksaan didapatkan iris tremulans, bilik mata depan dalam, sudut
bilik mata terbuka, serta shadow test positif palsu. 3,15
K. Penatalaksanaan
Dalam menentukan penatalaksanaan katarak diperlukan pemeriksaan secara
menyeluruh pada bagian anterior dan posterior mata, salah satunya yaitu dengan
menentukan derajat kekeruhan katarak. Penentuan derajat kekeruhan pada
katarak secara gold standar dapat ditentukan dengan menggunakan klasifikasi
Lens Opacity Classification System III (LOCS III) yaitu dengan melihat
gambaran pada saat pemeriksaan slit-lamp dan menggunakan pencahayaan
retroiluminasi.8
Penatalaksanaan pada katarak secara ideal yaitu dilakukan tindakan operatif.
Indikasi dilakukannya operasi yaitu bergantung pada penurunan tajam
penglihatan berat yang mengganggu aktifitas sehari-hari. Pada keadaan fakolitik
14
atau fakomorfik glaukoma, tindakan operasi merupakan terapi utama untuk
mengevaluasi bagian fundus mata. 3,9
a. Tindakan Operatif
Beberapa jenis tindakan operasi katarak yang dapat dilakukan, yaitu
ekstraksi katarak intrakapsular (ICCE), ekstraksi katarak ekstrakapsular
(ECCE), Manual small incision cataract surgery (SICS) dan teknik
fakoemulsifikasi.
b. Ekstraksi Katarak Intrakapsular (ICCE)
Tindakan ini dilakukan dengan cara mengeluarkan seluruh lensa bersama
kapsul dengan menggunakan cryoprobe dan dikeluarkan melalui insisi di
superior kornea yang lebar. Indikasi dilakukannya tindakan ICCE salah
satunya pada usia muda. Tindakan ICCE sangat menguntungkan pada
pasien dengan keadaan subluksasi lensa, lensa brunescent, dislokasi lensa,
atau katarak dengan eksfoliasi. Tindakan ICCE ini tidak diindikasikan pada
pasien dengan myopia tinggi, sindrom Marfan, katarak Morgagni, dan
adanya vitreus pada segmen anterior. 3,20
15
bergantung pada kebutuhan saat operasi. Tindakan SICS setara dengan
fakoemulsifikasi dalam hal kualitas bedah, astigmat lebih kecil, evaluasi
setelah operasi yang singkat, dan kenyamanan pasien.3,9 Tindakan
fakoemulsifikasi sekarang ini merupakan tindakan gold standar, yaitu
dengan mengeluarkan lensa menggunakan alat ultrasonik pada insisi yang
kecil di kornea, sehingga tidak memerlukan luka penjahitan. Tindakan ini
disebutkan dapat dilakukan pada semua kasus. Akan tetapi terdapat
kontraindikasi relatif yaitu pada keadaan pupil kecil yang sulit dilatasi,
nukleus yang sangat keras, subluksasi atau dislokasi lensa, serta edema berat
pada kornea. Teknik fakoemulsifikasi ini menghasilkan insidensi
komplikasi yang rendah, penyembuhan yang cepat dan rehabilitasi visual
yang singkat. 3,9
L. Komplikasi
1. Komplikasi Selama Operasi
a. Pendangkalan kamera okuli anterior
Pada saat operasi katarak, pendangkalan kamera okuli anterior (KOA)
dapat terjadi karena cairan yang masuk ke KOA tidak cukup, kebocoran
melalui insisi yang terlalu besar, tekanan dari luar bola mata, tekanan
vitreus positif, efusi suprakoroid, atau perdarahan suprakoroid. 15
b. Posterior Capsule Rupture (PCR)
PCR dengan atau tanpa vitreous loss adalah komplikasi intraoperatif
yang sering terjadi. Studi di Hawaii menyatakan bahwa 0,68% pasien
mengalami PCR dan vitreous loss selama prosedur fakoemulsifikasi. 4
c. Nucleus drop
Salah satu komplikasi teknik fakoemulsifikasi yang paling ditakutkan
adalah nucleus drop, yaitu jatuhnya seluruh atau bagian nukleus lensa ke
dalam rongga vitreus.16
2. Komplikasi Setelah Operasi
16
a. Edema kornea
Edema stromal atau epitelial dapat terjadi segera setelah operasi katarak.
Kombinasi dari trauma mekanik, waktu operasi yang lama, trauma
kimia, radang, atau peningkatantekanan intraokular (TIO), dapat
menyebabkan edema kornea. 3,15
b. Perdarahan Komplikasi
perdarahan pasca operasi katarak antara lain perdarahan retrobulbar,
perdarahan atau efusi suprakoroid, dan hifema. 3 Pada pasien-pasien
dengan terapi antikoagulan atau antiplatelet, risiko perdarahan
suprakoroid dan efusi suprakoroid tidak meningkat. 11
c. Glaukoma sekunder
Bahan viskoelastik hialuronat yang tertinggal di dalam KOA pasca
operasi katarak dapat meningkatkan tekanan intraokular (TIO),
peningkatan TIO ringan bisa terjadi 4 sampai 6 jam setelah operasi,
umumnya dapat hilang sendiri dan tidak memerlukan terapi anti
glaukoma, sebaliknya jika peningkatan TIO menetap, diperlukan terapi
antiglaukoma. 3
d. Uveitis kronik
Inflamasi normal akan menghilang setelah 3 sampai 4 minggu operasi
katarak dengan pemakaian steroid topikal. 3
e. Edema Makula Kistoid (EMK)
EMK ditandai dengan penurunan visus setelah operasi katarak,
gambaran karakteristik makula pada pemeriksaan oftalmoskopi atau
FFA, atau gambaran penebalan retina pada pemeriksaan OCT.
f. Ablasio retina
Ablasio retina terjadi pada 2-3% pasca EKIK, 0,5-2% pasca EKEK, dan
<1% pasca fakoemulsifikasi.
g. Endoftalmitis
17
Endoftalmitis termasuk komplikasi pasca operasi katarak yang jarang,
namun sangat berat.
h. Toxic Anterior Segment Syndrome
TASS merupakan inflamasi pasca operasi yang akut dan non-infeksius.
i. Posterior Capsule Opacification (PCO) / kekeruhan kapsul
posterior
PCO merupakan komplikasi pasca operasi katarak yang paling sering.3
Sebuah penelitian melaporkan PCO rata-rata terjadi pada 28% pasien
setelah lima tahun pasca operasi katarak. 9
j. Surgically Induced Astigmatism (SIA)
Operasi katarak, terutama teknik EKIK dan EKEK konvensional,
mengubah topografi kornea dan akibatnya timbul astigmatisma pasca
operasi.
k. Dislokasi LIO(Lensa Intra Okuler)
Angka kejadian dislokasi LIO dilaporkan sebesar 0,19-3,00%.20
Dislokasi LIO dapat terjadi di dalam kapsul (intrakapsuler) atau di luar
kapsul (ekstrakapsuler) Penyebab dislokasi LIO intrakapsuler adalah
satu atau kedua haptik terletak di sulkus, sedangkan beberapa penyebab
dislokasi LIO ekstrakapsuler mencakup pseudoeksfoliasi, gangguan
jaringan ikat, uveitis, retinitis pigmentosa, miopia tinggi, dan pasien
dengan riwayat operasi vitreoretina. Tatalaksana kasus ini adalah dengan
reposisi atau eksplantasi LIO. 20
M. Prognosis
Saat ini tindakan bedah ekstraksi katarak sebaiknya dilakukan sedini
mungkin bila terdapat indikasi, tanpa menunggu anak berusia 3 sampai 6
bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prognosis visus akan lebih baik
jika operasi dilakukan sebelum usia 10 minggu pada katarak bilateral dan
sebelum usia 4 – 6 minggu pada katarak unilateral.10
18
BAB III
LAPORAN KASUS
19
Pemeriksaan
Alamat : Dusun I Tovalo Pemeriksa : Talitha M.
DIAGNOSIS : OD Katarak Senil Matur OS IOL Dislokasi
I. ANAMNESIS
A.
B. Keluhan Utama : Bayang Hitam pada Mata Kiri
20
5 Bola Mata Intak Intak
6 Mekanisme Muscular
B PALPASI OD OS
1 Tensi Okular Tn Tn
2 Nyeri Tekan Tidak ada Tidak ada
3 Massa Tumor Tidak ada Tidak ada
Glandula Pre-
4 Pembesaran (-) Pembesaran (-)
Aurikuler
21
C TONOMETRI Tidak dilakukan Tidak dilakukan
D VISUS OD OS
Tajam penglihatan 6/60 6/60
Koreksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Addisi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Distansia pupil Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Kacamata lama Tidak dilakukan Tidak dilakukan
E CAMPUS VISUAL
Tidak dilakukan pemeriksaan
F COLOR SENSE
G LIGHT SENSE
Tidak dilakukan pemeriksaan
PENYINARAN
SINISTER DEKSTER
OPTIK
Konjungtiva Hiperemis (-) Hiperemis (+)
Kornea Agak keruh Agak keruh
BMD Normal Normal
Iris Warna Abu, kripte (+) Warna Abu, Kripte (+)
22
Pupil Bulat,Isokor,RCL(+) Bulat,Isokor,RCL(+)
H OFTALMOSKOPI
USG-B SCAN
SLIT LAMP
J
Tidak dilakukan pemeriksaan
K PEMERIKSAAN LAB
GDS :
SGOT :
SGPT :
Kalium :
Natrium :
Klorida :
SarCov2 : Negatif
23
L RESUME
Pasien laki-laki usia 60 tahun konsultasi pada dokter spesialis Mata dengan
mata kiri melihat seperti bayangan hitam dialami sejak 1 bulan yang lalu.
Pasien juga mengeluh rasa mengganjal pada bagian mata kiri. Rasa nyeri
(-), berair (-), gatal (-), pandangan tidak mengalami gangguan.
M DIAGNOSIS/DIAGNOSIS BANDING
24
BAB IV
DISKUSI
Katarak merupakan salah satu penyebab utama kebutaan di seluruh dunia dan
dapat terjadi pada semua usia. Katarak senilis disebabkan usia merupakan jenis
katarak paling sering terjadi. Berbagai faktor resiko dapat mempengaruhi
metabolisme biokimia lensa sehingga mengakibatkan katarak. Diagnosis katarak
berdasarkan hasil pemeriksaan klinis yang menyeluruh, sangat berpengaruh pada
tindakan operatif yang akan dilakukan.
Dari segi usia, perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi di semua kelompok umur,
namın hal ini dapat meningkat kejadiannya sesuai dengan pertambahan umur.
Penelitian epidemiologi di Kongo rata-rata usia yang mengalami perdarahan
subkonjungtiva adalah usia 30.7 tahun. Perdarahan subkonjungtiva sebagian besar
terjadi unilateral (90%), pada kasus ini pasien yang mengalami usianya 39 tahun dan
hanya unilateral yaitu mata kiri.
Penyebab perdarahan subkonjungtiva tidak selalu diketahui secara pasti. Namun,
pembuluh darah pada bagian ini memang cenderung lebih rapuh. Pada sebagian
penderita, pembuluh darah ini bisa pecah akibat aktivitas atau kondisi yang
meningkatkan tekanan di mata, misalnya: Muntah-muntah, Mengejan, Mengangkat
benda berat, Mengucek mata terlalu keras, Batuk atau bersin yang terlalu kuat. Pada
kasus tertentu, perdarahan subkonjungtiva juga bisa disebabkan oleh kondisi-kondisi
seperti: Cedera mata misalnya akibat mata terkena suatu benda, Operasi mata, Infeksi
yang menyebabkan demam, seperti influenza dan demam berdarah, dan Kekurangan
vitamin C, pada kasus ini pasien mengalami demam tinggi saat masuk rumah sakit.
Perdarahan subkonjungtiva biasanya tidak memerlukan pengobatan. Pengobatan
dini pada perdarahan subkonjungtiva ialah dengan kompres dingin. Perdarahan
subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1-2 minggu tanpa diobati. Pada
kasus ini saat pasien perawatan hari ke 6 warna merah di mata pasien mulai memudar
25
BAB V
KESIMPULAN
26
DAFTAR PUSTAKA
27
15. Suhardjo SU, Agni AN. Ilmu Kesehatan Mata. 2nd ed. Yogyakarta:
Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada; 2012.
16. Tajunisah I, Reddy SC. Dropped Nucleus Following Phacoemulsification
Cataract Surgery. Med J Malaysia. 2007;62(5):364-7.
17. Tamsuri, A. (2016). Klien Gangguan Mata dan Penglihatan. Jakarta: EGC.
18. Vaughan D, Asbury J. Oftalmologi Umum. Anatomi dan Embriologi Mata :
Glaukoma. Edisi ke-17. Jakarta: EGC. 2013:212-28.
19. Vasavada V. Principles of Preffered Practice in Cataract Surgery. Singapore:
AsiaPacifics Association of Cataract and Refractive Surgeon
(APACRS);2017. hlm. 4-6
20. Fernandez-Buenaga R, Alio J, Perez-Ardoy A, Larrosa-Quesada A, Pinilla-
Cortes L, Barraquer R, et al. Late in-the-bag intraocular lens dislocation
requiring explantation: risk factors and outcomes. Eye. 2013;27:795-802.
28