Anda di halaman 1dari 32

ASUHAN KEPERAWATAN

ABLASIO RETINA

Disusun Oleh:

1. Erlina Rosida (PO.71.20.4.16.007)


2. Gusmila (PO.71.20.4.16.011)
3. Labibah Mamuda (PO.71.20.4.16.017)
4. Puspa Yunita (PO.71.20.4.16.021)
5. Rahma Ayu Fitria (PO.71.20.4.16.025)
6.Yuni Andriyani (PO.71.20.4.16.039)

Dosen Pembimbing:

Sukma Wicaturatmashudi., M.Kep., Sp.KMB

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG

D-IV KEPERAWATAN 2019


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunianya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini sebagaimana
mestinya makalah ini yang merupakan salah satu syarat mengikuti mata kuliah Keperawatan
Perioperatif. Dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan terima kasih yang
sebesar– besarnya kepada tim penulis, semua rekan-rekan yang ikut membantu demi
terwujudnya makalah ini.

Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan
khususnya bagi penulis sendiri. Saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan
penulisan ini sangat kami harapkan.

Palembang, Agustus 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................. i

DAFTAR ISI .............................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1

A. Latar Belakang................................................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 1

C. Tujuan .......................................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 3

A. Anatomi Fisiologi Retina ................................................................................................ 3

B. Definisi Ablasio Retina ................................................................................................... 5

C. Klasifikasi Ablasio retina ................................................................................................ 5

D. Gejala Klinis .................................................................................................................. 15

E. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang ................................................................................. 16

F. Penatalaksanaan ............................................................................................................. 17

G. Kompilkasi .................................................................................................................... 20

H. Patofisiologi ................................................................................................................... 21

BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN .................................................................. 23

A. Pengkajian ............................................................................................................... 23

B. Diagnosa Keperawatan .................................................................................................. 23

BAB IV PENUTUP ................................................................................................................. 27

A. Kesimpulan .................................................................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 28

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ablasio retina adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan batang retina dari sel
epitel pigmen retina. Ablasio retina dapat menyebabkan cacat penglihatan atau kebutaan
yang menetap.

Lepasnya retina atau sel kerucut dan batang dari koroid atau sel pigmen epitel akan
mengakibatkan gangguan nutrisi retina dari pembuluh darah koroid yang bila berlangsung
lama akan mengakibatkan gangguan fungsi yang menetap. Sesungguhnya antar kedua
lapisan ini tidak terdapat pelengketan sehingga merupakan titik lemah yang potensial.

Ablasio retina dapat terjadi melalui 3 mekanisme:

1. Penimbunan cairan subretina; sebagai akibat keluarnya cairan pembuluh darah retina
dan koroid (extra vasation)
2. Tarikan oleh jaringan fibrotik di dalam badan kaca
3. Pendorongan retina oleh badan kaca cair (fluid vireous) yang masuk melalui hole, yaitu
masuknya badan kaca cair melalui lobang pada retina ke rongga subretina sehingga
mengapungkan retina yang terlepas dari epitel pigmen.

B. Rumusan Masalah
1. Apa anatomi fisiologi retina ?
2. Apa definisi Ablasio Retina ?
3. Apa klasifikasi Ablasio retina ?
4. Bagaimana gejala klinis dari Ablasio Retina ?
5. Bagaimana pemeriksaan fisik dan penunjang dari Ablasio Retina ?
6. Apa saja penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Ablasio Retina ?
7. Apa saja komplikasi pada penderita Ablasio Retina ?
8. Bagaimana patofisiologi dari Ablasio Retina
9. Bagaimana asuhan keperawatan yang harus dilakukan pada penderita Ablasio Retina ?

C. Tujuan
1. Mengetahui anatomi fisiologi Retina
2. Mengetahui definisi Ablasio Retina
3. Dapat menjelaskan klasifikasi Ablasio Retina
1
4. Dapat memahami Bagaimana gejala klinis dari Ablasio Retina
5. Mampu menjelaskan pemeriksaan fisik dan penunjang pada penderita Ablasio Retina
6. Mengetahui apa saja penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita pasien
Ablasio Retina
7. Mampu menyebutkan komplikasi Ablasio Retina
8. Mampu menjelaskan patofisiologi Ablasio Retina
9. Dapat memahami dan mengaplikasikan asuhan keperawatan yang harus dilakukan pada
penderita Ablasio Retina

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Anatomi Fisiologi Retina
Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola mata di bagian depan
(kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga terdapat bentuk dengan 2
kelengkungan yang berbeda. Bola mata dibungkus oleh tiga jaringan yaitu sklera, jaringan
uvea, dan lapisan ketiga bola mata adalah retina yang terletak paling dalam dan mempunyai
susunan lapis sebanyak 10 lapis yang merupakan lapis membrane neurosensoris yang akan
merubah sinar menjadi ransangan pada saraf optic dan diteruskan ke otak. Terdapat rongga
yang potensial antara retina dan koroid sehingga retina dapat terlepas dari koroid yang
disebut ablasi retina.

Gambar 1. Anatomi Mata

Retina atau selaput jala merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang
menerima rangsang cahaya. Retina merupakan selembar tipis jaringan saraf yang
semitransparan, dan multilapis yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding
bola mata. Retina membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliaris, dan
akhirnya di tepi ora serrata. Pada orang dewasa, ora serrata berada sekitar 6,5 mm di
belakang garis Schwalbe pada sistem temporal dan 5,7 mm di belakang garis ini pada sisi
nasal. Permukaan luar retina sensorik bertumpuk dengan membrana Bruch, koroid, dan
sklera. Retina menpunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,23 mm pada kutub posterior.
Ditengah-tengah retina posterior terdapat makula. Di tengah makula terdapat fovea yang
secara klinis merupakan cekungan yang memberikan pantulan khusus bila dilihat dengan

3
oftalmoskop. Retina berbatas dengan koroid dengan sel epitel pigmen retina dan terdiri atas
lapisan:

1. Lapisan epitel pigmen

2. Lapisan fotoreseptor merupakan lesi terluar retina terdiri atas sel batang yang
mempunyai bentuk ramping, dan sel kerucut.

3. Membran limitan eksterna yang merupakan membrane ilusi.

4. Lapisan nucleus luar, merupakan susunan lapis nucleus sel kerucut dan batang.

5. Lapisan pleksiform luar merupakan lapis aselular dan merupakan tempat sinapsis sel
fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.

6. Lapis nucleus dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan sel Muller.

7. Lapisan pleksiform dalam, merupakan lapis aselular merupakan tempat sinaps sel
bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion.

8. Lapis sel ganglion yang merupakan lapis badan sel daripada neuron kedua,

9. Lapis serabut saraf, merupakan lapis akson sel ganglion menuju kearah saraf optik.

10. Membran limitan interna, merupakan membrane hialin antara retina dan badan kecil.

Retina mendapatkan suplai darah dari dua sumber yaitu koriokapiler yang berada tepat
di luar membrana Bruch, yang mensuplai sepertiga luar retina, termasuk lapisan
pleksiformis luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel pigmen retina, serta
cabang-cabang dari arteri retina sentralis yang mensuplai dua per tiga sebelah dalam

Gambar 2. Lapisan Pada Retina

4
Mata berfungsi sebagai suatu alat optis, sebagai suatu reseptor kompleks, dan sebagai
suatu transduser yang efektif. Sel-sel batang dan kerucut di lapisan fotoreseptor mampu
mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan
serat saraf retina melalui saraf optikus dan akhirnya ke korteks penglihatan ossipital.
Makula bertanggung jawab untuk ketajaman penglihatan yang terbaik dan untuk
penglihatan warna, dan sebagian besar selnya adalah sel kerucut. Di fovea sentralis, terdapat
hubungan hampir 1:1 antara fotoreseptor kerucut, sel ganglionnya, dan serat saraf yang
keluar, dan hal ini menjamin penglihatan yang paling tajam. Di retina perifer, banyak
fotoreseptor dihubungkan ke sel ganglion yang sama, dan diperlukan sistem pemancar yang
lebih kompleks. Akibat dari susunan seperti itu adalah bahwa makula terutama digunakan
untuk penglihatan sentral dan warna (penglihatan fototopik) sedangkan bagian retina
lainnya, yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor batang, digunakan terutama untuk
penglihatan perifer dan malam (skotopik).

B. Definisi Ablasio Retina


Ablasio berasal dari bahasa Latin yang artinya pembuangan atau terlepasnya salah satu
bagian badan. Ablasi retina adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan batang retina
dengan dari sel epitel retina. Pada keadaan ini sel epitel pigmen masih melekat erat dengan
membran Brunch. Sesungguhnya antara sel kerucut dan sel batang retina tidak terdapat
suatu perlekatan structural dengan koroid atau pigmen epitel, sehingga merupakan titik
lemah yang potensial untuk lepas secara embriologis. Lepasnya retina atau sel kerucut dan
batang koroid atau sel pigmen epitel akan mengakibatkan gangguan nutrisi retina dari
pembuluh darah koroid yang bila berlangsung lama akan mengakibatkan gangguan fungsi
yang menetap. Pada mata normal, retina sensorik yang utuh tertahan melekat ke epitel
pigmen oleh adanya tarika oleh epitel terhadap ruang kedap air diantara keduanya. Apabila
terdapat robekan retina, gerakan bola mata yang cepat dan rotasi bola mata mendadak dapat
menimbulkan gaya inersi yang cukup besar untuk menimbulkan pelepasan retina.

C. Klasifikasi Ablasio retina


Berdasakan penyebabnya ablasio retina dibagi menjadi:

1. Ablasio Retina Regmatogenosa

a. Definisi

Ablasio regmatogenosa berasal dari kata Yunani rhegma, yang berarti


diskontuinitas atau istirahat. Pada ablasi retina regmatogenosa dimana ablasi terjadi
adanya robekan pada retina sehingga cairan masuk ke belakang antara sel pigmen

5
epitel dengan retina. Terjadi pendorongan retina oleh badan kaca cair (fluid vitreus)
yang masuk melalui robekan atau lubang pada retina ke rongga subretina sehingga
mengapungkan retina dan terlepas dari lapis epitel pigmen koroid. Ablasio
regmantogenosa spontan biasanya didahului atau disertai oleh pelepasan korpus
vitreum posterior.

b. Klasifikasi

Ablasio retina regmatogenosa dapat diklasifikasikan berdasarkan patogenesis,


morfologi dan lokasi. Berdasarkan patogenesisnya, dibagi menjadi, (1) Tears,
disebabkan oleh traksi vitreoretina dinamik dan memiliki predileksi di superior dan
lebih sering di temporal daripada nasal, (2) Holes, disebabkan oleh atrofi kronik dari
lapisan sensori retina, dengan predileksi di daerah temporal dan lebih sering di
superior daripada inferior, dan lebih berbahaya dari tears.

Berdasarkan morfologi, dibagi menjadi, (1) U-tearsm, terdapat flap yang


menempel pada retina di bagian dasarnya, (2) incomplete U-tears, dapat berbentuk
L atau J, (3) operculated tears, seluruh flap robek dari retina, (4) dialyses: robekan
srtkumferensial sepanjang ora serata, (5) giant tears.

Gambar 3. Morfologi Robekan Pada Ablasio Retina Regmatogenosa

Berdasarkan lokasi, dibagi menjadi, (1) oral, berlokasi pada vitreous base, (2)
post oral, berlokasi di antara batas posterior dari vitreous base dan eguator, (3)
eguatorial, (4) post eguatorial: di belakang eguator (S5) macular, di fovea.

c. Patogenesis

Ablasio jenis ini terjadi akibat adanya rhegma atau robekan pada lapisan retina
sensorik (full thickness) sehingga cairan vitreus masuk ke dalam ruang subretina.
Pada tipe ini, gaya yang mencetuskan lepasnya perlekatan retina melebihi gaya yang
mempertahankan perlekatan retina. Tekanan yang mempertahankan perlekatan
retina, antara lain tekanan hidrostatik, tekanan onkotik, dan transpor aktif. Hal yang
mempertahankan perlekatan retina yaitu (1) Tekanan intraokuar memiliki tekanan
hidrostatk yang lebih tinggi pada vitreus dibandingkan koroid. (2) Koroid memiliki
tekanan onkotik yang lebih tinggi karena mengandung substansi yang lebih
6
dissolved dibandingkan vitreus. (3) Pompa pada sel epitel pigmen retina secara aktif
mentranspor larutan dari ruang subretina ke koroid. Robekan retina terjadi sebagai
akibat dari interaksi traksi dinamik vitreoretina dan adanya kelemahan di retina
perifer dengan faktor predisposisi nya yaitu degenerasi. synchysis, yaitu pada traksi
vitreoretina dinamik, terjadi likuefaksi dari badan vireus yang akan berkembang
menjadi lubang pada korteks vitreus posterior yang tipis pada fovea. Cairan
synchytic masuk melalu lubang ke ruang retrohialoid. Akibatnya terjadi pelepasan
permukaan vitreus posterior dari lapisan sensori retina. Badan vitreus akan menjadi
kolaps ke inferior dan ruang retrohialoid terisi oleh cairan synchitic. Proses ini
dinamakan acute rhegmatogenous PVD with collapse (acute PVD). Selain itu juga
dapat terjadi sebagai akibat dari komplikasi akut PVD (posterior vitreal
detachment). Robekan yang disebabkan oleh PVD biasanya berbentuk huruf U,
berlokasi di superior fundus dan sering berhubungan dengan perdarahan vitreus
sebagai hasil dari ruptur pembuluh darah retina perifer.

Gambar 4. Vitreous Syneresis

Kebanyakan robaekan terjadi di daerah perifer retina. Hal tersebut dapat


berhubungan dengan degenerasi retina perifer. Terdapat berbagai macam
degenerasi, antara lain:

 Degenerasi lattice

Biasa ditemukan pada pasien dengan sindrom Marfan, sindrom Stickler,


sindrom Ehler-Danlos. Ditandai dengan bentuk retina yang sha rply demarcated,
circumferentially orientated spindle shaped areas. Biasanya terdapat bilateral
dan lebih sering di daerah temporal dan superior.

 Degenerasi snailtrack

Degenerasi mi berbentuk snowflakes atau white frost like appearance.

7
 Degenerasi retinoschisis

Pada degenerasi ini terjadi pemisahan antara lapisan sensori retina menjadi 2
lapisan, yaitu lapisan koroidal dan lapisan vitreus. Kejadian ini banyak
berhubungan dengan hipermetrop.

 “White-with-pressure”, “White-without-pressure”.

Gambar 5. Degenerasi Vitreoretinal

d. Gejala Klinis

Gejala utama yang ditimbulkan adalah fotopsia akibat stimulasi mekanik pada
retina. Fotopsia muncul dalam kurun waktu 24-48 jam setelah terjadinya robekan
retina. Fotopsia dapat diinduksi oleh gerakan bola mata. Pasien akan merasa dapat
melihat lebih jelas pada malam hari. Biasanya fotopsia terdapat di bagian temporal
perifer dari lapangan penglihatan. Pada ablasio bagian supratemporal yang
menyebabkan terangkatnya macula, maka akan terjadi penurunan tajam penglihatan
yang mendadak. Keluhan lain yang khas adalah, Sloater, adanya bayangan gelap
pada vitreous akibat retina yang robek, darah dan sel epitel pigmen retina yang
masuk ke badan vitreus. Kekeruhan vitreus ini terbagi atas 3 tipe, yaitu, (1) Wess
ring, floater yang soliter terdri dari annulus yang terlepas dari vitreus. (2) Cobwebs,
disebabkan oleh kondensasi serat kolagen di korteks vitreus yang kolaps. (3)
Pancaran seketika berupa titik hitam atau merah yang biasanya mengindikasikan
perdarahan vitreus akibat robekan pembuluh darah retina. Black curtain, defek
lapang penglihatan dirasakan oleh pasien mulai dari perifer yang lama-lama hingga
ke sentral. Keluhan ini dapat saja tidak muncul di pagi hari karena cairan subretina
diabsorbsi secara spontan pada saat malam hari. Arah munculnya defek membantu
dalam menentukan lokasi dari robekan retina. Hilangnya penglihatan sentral
mungkin dikarenakan keterlibatan fovea. Selanjutnya melalui pemeriksaan
8
oftalmologis dapat ditemukan adanya Marcus Gunn pupil, tekanan intraokular yang
menurun, iritis ringan, adanya gambaran tobacco dust atau Schaffer sign, robekan
retina pada funduskopi. Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang
terangkat berwarna pucat dengan pembuluh darah di atasnya dan terlihat adanya
robekan retina berwarna merah. Bila bola mata bergerak akan terlihat retina yang
terlepas bergoyang.

Gambar 6. Tobacco Dust

e. Tatalaksana

Prinsip penatalaksanaan dari ablasio retina adalah untuk melepaskan traksi


vitreoretina serta dapat menutup robekan retina yang ada. Penutupan robekan
dilakukan dengan melakukan adhesi korioretinal di sekitar robekan melalui
diatermi, krioterapi, atau fotokoagulasi laser. Pembedahan yang sering dilakukan
adalah scleral buckling, pneumatic retinopexy dan intraocular silicone oil
tamponade. Kebanyakan praktisi lebih sering melakukan prosedur scleral buckling.
Penempatan implan diletakkan dalam kantung sklera yang sudah dreseksi yang akan
mengeratkan sclera dengan retina

f. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi terjadinya ablasio retina regmantosa antara lain:

 Usia. Kondisi ini paling sering terjadi pada umur 40 – 60 tahun. Namun, usia
tidak menjamin secara pasti karena masih banyak faktor yang mempengaruhi

 Jenis kelamin. Keadaan ini paling sering terjadi pada laki – laki dengan
perbandingan laki : perempuan adalah 3 : 2.

 Miopia. Sekitar 40 persen kasus ablasio retina regmatogenosa adalah seseorang


yang menderita rabun jauh.

9
 Afakia. Keadaan ini lebih sering terjadi pada orang yang afakia daripada yang
fakia.

 Trauma. Mungkin juga bertindak sebagai faktor predisposisi

 Senile posterior vitreous detachment (PVD). Hal ini terkait dengan ablasio
retina dalam banyak kasus.

 Retina yang memperlihatkan degenerasi di bagian perifer seperti Lattice


degeneration, Snail track degeneration, White-with-pressure and white-without
or occult pressure, acquired retinoschisis

Berbagai factor resiko akan menyebabkan terjadinya robekan pada retina, yang
menyebabkan cairan vitreous dapat masuk ke ruang subretina melalui robekan
tersebut dan akan memisahkan retina dari epitel pigmen retina.
Ablasi retina akan memberikan gejala prodromal berupa gangguan penglihatan
yang kadang–kadang terlihat sebagai adanya tabir yang menutupi di depan mata
(floaters) akibat dari degenerasi vitreous secara cepat dan terdapat riwayat fotopsia
(seperti melihat kilasan cahaya) pada lapangan penglihatan karena iritasi retina oleh
pergerakan vitreous.
Ablasi retina yang berlokalisasi di daerah superotemporal sangat berbahaya
karena dapat mengangkat makula. Penglihatan akan turun secara akut bila lepasnya
retina mengenai makula lutea. Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina
yang terangkat berwarna pucat dengan pembuluh darah diatasnya dan terlihat
adanya robekan retina berwarna merah. Bila bola mata bergerak akan terlihat retina
yang lepas (ablasi) bergoyang. Kadang – kadang terdapat pigmen didalam badan
kaca. Pada pupil terdapat adanya defek aferen pupil akibat penglihatan menurun.
Tekanan bola mata rendah dan dapat meninggi bila telah terjadi neovaskuler
glaucoma pada ablasi yang telah lama.

Gambar 7. Ablasio Retina Regmatogenosa

10
2. Ablasio Retina Non Regmatogenosa
a. Ablasio Retina Eksudatif
1) Definisi
Ablasio retina eksudatif terjadi akibat adanya penimbunan cairan
eksudat di bawah retina (subretina) dan mengangkat retina hingga terlepas.
Penimbunan cairan subretina terjadi akibat ekstravasasi cairan dari
pembuluh retina dan koroid. Penyebab ablasio retina eksudatif yaitu
penyakit sistemik yang meliputi Toksemia gravidarum, hipertensi renalis,
poliartritis nodos dan karena penyakit mata yang meliputi inflamasi (skleritis
posterior, selulitis orbita), penyakit vaskular (central serous retinophaty, and
exudative retinophaty of coats), neoplasma (melanoma maligna pada koroid
dan retinoblastoma), perforasi bola mata pada operasi intraokuler.
Ablasio retina eksudatif dapat dibedakan dengan ablasio retina
regmatogenosa dengan:
 Tidak adanya photopsia, lubang/sobekan, lipatan dan undulasi
 Ablasio retina eksudatif halus dan konveks. Bagian atasnya biasa bulat
dan bisa menunjukkan gangguan pigmentari
 Kadang-kadang, pola pembuluh darah retina mungkin terganggu akibat
adanya neovaskularisasi.
 Pergeseran cairan ditandai dengan perubahan posisi daerah terpisah
karena pengaruh gravitasi merupakan ciri khas yang dari ablasio retina
eksudatif.
 Pada tes transilluminasi, ablasio retina regmatogenosa nampak
transparan sedangkan ablasio retina eksudatif lebih opak.

Gambar 8. Ablasio Retina Eksudatif

11
2) Etiologi
Etiologi dari ablasio eksudatif yaitu dapat terjadi secara spontan, dengan
trauma, uveitis, tumor, skleritis, DM, koroiditis, idiopatik, CVD, Vogt-
Koyanagi-Harada syndrome, kongenital, ARMD, sifilis, reumatoid artritis,
atau kelainan vaskular. Ditandai dengan adalanya akumulasi cairan pada
ruang subretina dimana tidak terjadi robekan retina dan traksi. Asal cairan
ini dari pembuluh darah retina, atau koroid, atau keduanya. Hal ini dapat
terjadi pada penyakit vaskular, radang, atau neoplasma pada retina, epitel
berpigmen, dan koroid dimana cairan bocor keluar pembuluh darah dan
terakumulasi di bawah retina. Selama epitel berpigmen mampu memompa
cairan yang bocor ini ke sirkulasi koroid, tidak ada akumulasi dalam ruang
subretina dan tidak akan terjadi ablasio retina. Akan teteapi, jika proses
berlanjut dan aktivitas pompa epitel berpigmen normal terganggu, atau jika
aktivitas epitel berpigmen berkurang karena hilangnya epitel berpigmen atau
penurunan suplai metabolik (seperti iskemia), kemudian cairan mulai
berakumulasi dan terjadi ablasio retina. Tipe ablasio retina ini dapat juga
disebabkan oleh akumulasi darah pada ruang subretina (ablasio retina
hemoragika. Penyakit radang dapat menyebabkan ablasio retina serosa
termasuk skleritis posterior, oftalmia simatetik, penyakit Harada, pars
planitis, penyakit pembuluh darah vaskular. Penyakit vaskular adalah
hipertensi maligna, toksemia gravidarum, oklusi vena retina, penyakit Coat,
penyakit angiomatosa retina, dan pembentukan neovaskularisasi koroid.
3) Patogenesis
Terjadi akibat akumulasi cairan subretinal dengan tanpa adanya robekan
retina ataupun traks pada retina. Pada penyakit vaskular, radang, atau
neoplasma retina, epitel pigmen, dan koroid, maka dapat terjadi kebocoran
pembuluh darah sehingga berkumpul di bawah retina. Hal ini terjadi
terutama bila pompa epitel terganggu akibat berbagai hal.
4) Gejala Klinis
Fotopsia tidak ditemukan. Floater dapat ditemukan pada vitritis. Defek
lapang pandang terjadi cepat. Pada pemeriksaan oftalmologi, ablatio retinae
eksudatif memiliki bentukan yang konveks dengan permukaan yang halus
dan berombak. Retina yang terlepas bersifat mobile sehingga menimbulkan
fenomena shifting fluid. Leopard spots yaitu area subretinal yang mendatar
setelah terjadi ablatio retinae.
12
5) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dilakukan berdasarkan etiologi yang mendasarinya. Pada
kondisi yang disebabkan oleh inflamasi seperti pada penyakit Harada dan
Skleritis posterior maka pemberian kortikosteroid sistemik diperlukan. Jika
disebabkan oleh keganasan, maka terapi radasi dapat dilakukan. Pada
korioretinopati bulosa sentral serosa dapat dilakukan laser fotokoagulasi
argon. Pada infeksi diberikan antibiotik." Kelainan vaskular dapat diterapi
dengan laser, krioterapi, aviterktomi.
6) Komplikasi
Dapat terjadi glukoma neovaskular dengan ptisis bulbi.
b. Ablasio Retina Traksi
1) Definisi
Pada ablasio ini lepasnya jaringan retina terjadi akibat tarikan jaringan
parut. Pada badan kaca terdapat jaringan fibrosis yang dapat disebabkan
diabetes mellitus proliferative, trauma, dan perdarahan badan kaca akibat
bedah atau infeksi
Ablasio retina traksi dihubungkan dengan kondisi-kondisi seperti,
retraksi jaringan parut post trauma terutama akibat trauma penetrasi,
retinopati diabetik proliferatif, retinitis proliferans post hemoragik,
retinopati prematuritas, retinopati sel sabit.
Tipe ini juga dapat terjadi sebagai komplikasi dari ablasio retina
regmatogensa. Ablasio retina tipe regmatogenosa yang berlangsung lama
akan membuat retina semakin halus dan tipis sehingga dapat menyebabkan
terbentuknya proliferatif vitreotinopathy (PVR). Pada PVR juga dapat
terjadi kegagalan dalam penatalaksanaan ablasio retina regmatogenosa. Pada
PVR, epitel pigmen retina, sel glia, dan sel lainya yang berada di dalam
maupun di luar retina pada badan vitreus akan membentuk membran.
Kontraksi dari membran tersebut akan menyebabkan retina tertarik ataupun
menyusut, sehingga dapat mengakibatkan terdapatnya robekan baru atau
berkembang menjadi ablasio retina traksi.

13
Gambar 9. Ablasio Retina Traksi

2) Etiologi

Penyebab utama dari ablasio retina tipe traksi yaitu retinopati diabetes
proliferative, retinopathy of prematurity, proliferative sickle cell retinopathy.

3) Patogenesis

Terjadi pembentukan yang dapat berisi fibroblas, sel glia, atau sel epitel
pigmen retina. Awalnya terjadi penarikan retina sensorik menjauhi lapisan
epitel di sepanjang daerah vascular yang kemudian dapat menyebar ke bagian
retina midperifer dan makuh. Pada ablasio tipe ini permukaan retina akan
lebih konkaf dan sifatnya lebih terlokalisasi tidak mencapai ke ora serata.

Pada mata diabetes terjadi perlekatan yang kuat antara vitreus ke area
proliferasi fibrovaskular yang tidak sempurna. Selanjutnya terjadi kontraksi
progresif dari membran fibrovaskular di daerah perlekatan vitreoretina yang
apabila menyebabkan traksi pembuluh darah baru akan menimbulkan
perdarahan vitreus.

Traksi vitroretinal statis dibagi menjadi, (1) Traksi tangensial, disebabkan


oleh kontraksi membran fibrovaskular epiretina pada bagian retina dan
distorsi pembuluh darah retina. (2) Traksi anteroposterior, disebabkan oleh
kontraksi membran fibrovaskular yang memanjang dari retina bagian
posterior. (3) 'Traksi bridging disebabkan oleh kontraksi membran
fibrovaskular yang akan melepaskan retina posterior dengan bagian lainnya
atau arkade vaskular.

4) Gejala Klinis

Fotopsia dan floater sering kali tidak ditemukan. Sedangkan defek lapang
pandang biasanya timbul lambat. Melalui pemeriksaan oftalmologis akan
14
didapati bentukan yang konkaf dengan tanpa adanya robekan, dengan elevasi
retina tertinggi di daerah traksi vitreoretinal. Pompa oleh retina akan menurun
sehingga tidak terjadi turn over cairan.

5) Terapi

Pada vitrektomi pars plana dilakukan pengambilan agen penyebab traksi.


Selanjutnya dapat pula dilakukan tindakan retinotomi dengan penyuntikan
perfluorokarbon untuk meratakan permukaan retina.

3. Ablasio Retina Campuran antara Regamatogenosa dengan Traksional.

Tipe campuran ini merupakan hasil traksi retina yang kemudian menyebabkan
robekan. Traksi fokal pada daerah proliferasi jaringan ikat atau fibrovaskular dapat
mengakibatkan robekan retina dan menyebabkan kombinasi ablatio retinae
regmatogenosa-traksional.

D. Gejala Klinis
Pertimbangkan pasien yang khas mengalami ablasio retina, seperti pasien dengan
miopia tinggi dengan usia berkisar 50 tahun, baik laki-laki ataupun perempuan, yang tiba-
tiba mengalami gejala “flashes dan floaters”, yang biasanya terjadi secara spontan atau
sesaat setelah menggerakkan kepala. Lakukan penggalian secara lebih detail terhadap gejala
yang dialami.

1. Flashes (Photopsia)

Ketika ditanya, pasien biasanya menjawab gejala ini bisa terjadi sepanjang waktu, tetapi
paling jelas saat suasana gelap. Gejala ini cenderung terjadi terutama sebelum tidur
malam. Kilatan cahaya (flashes) biasanya terlihat pada lapangan pandang perifer. Gejala
ini harus dibedakan dengan yang biasanya muncul pada migrain, yang biasanya muncul
sebelum nyeri kepala. Kilatan cahaya pada migrain biasanya berupa garis zig-zag, pada
tengah lapangan pandang dan menghilang dalam waktu 10 menit. Pada pasien usia
lanjut dengan defek pada sirkulasi vertebrobasilar dapat mendeskripsikan tipe lain
fotopsia, yakni kilatan cahaya cenderung muncul hanya saat leher digerakkan setelah
membungkuk.

2. Floaters

Titik hitam yang melayang di depan lapangan pandang adalah gejala yang sering terjadi,
tetapi gejala ini bisa menjadi kurang jelas pada pasien gangguan cemas. Tetapi jika titik

15
hitamnya bertambah besar dan muncul tiba-tiba, maka ini menjadi tanda signifikan
suatu keadaan patologis. Untuk beberapa alasan, pasien sering menggambarkan gejala
ini seperti berudu atau bahkan sarang laba-laba. Ini mungkin karena adanya kombinasi
gejala ini dan kilatan cahaya. Kilatan cahaya dan floaters muncul karena vitreus telah
menarik retina, menghasilkan sensasi kilatan cahaya, dan sering ketika robekan terjadi
akan terjadi perdarahan ringan ke dalam vitreus yang menyebabkan munculnya
bayangan bintik hitam. Ketika kedua gejala ini muncul, maka mata harus diperiksa
secara detail dan lengkap hingga ditemukan dimana lokasi robekan retina. Terkadang,
robekan kecil dapat menyebabkan perdarahan vitreus yang luas yang menyebabkan
kebutaan mendadak.

3. Shadows

Saat robekan retina terjadi, pasien seharusnya segera mencari pengobatan medis dan
pengobatan efektif. Namun beberapa pasien tidak segera mencari pengobatan medis
atau bahkan malah mengabaikan gejala yang dialami. Memang dalam beberapa saat
gejala akan berkurang, tetapi dalam kurun waktu beberapa hari hingga tahunan akan
muncul bayangan hitam pada lapangan pandang perifer. Jika retina yang terlepas berada
pada bagian atas, maka bayangan akan terlihat pada lapangan pandang bagian bawah
dan dapat membaik secara spontan dengan tirah baring, terutama setelah tirah baring
pagi hari. Kehilangan penglihatan sentral atau pandangan kabur dapat muncul jika fovea
ikut terlibat.

4. Penurunan tajam penglihatan

Penderita mengeluh penglihatannya sebagian seperti tertutup tirai yang semakin lama
semakin luas. Pada keadaan yang tekah berlanjut, dapat terjadi penurunan tajam
penglihatan yang berat.

5. Ada semacam tirai tipis berbentuk parabola yang naik perlahan-lahan dari mulai bagian
bawah bola mata dan akhirnya menutup pandangan.

E. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Pemeriksaan menyeluruh diindikasikan pada kedua mata. Pemeriksaan pada mata yang
tidak bergejala dapat memberikan petunjuk mengenai penyebab dari ablasio retina pada
mata yang lainnya.

1. Lakukan pemeriksaan segmen luar untuk menilai tanda-tanda trauma

2. Periksa pupil dan tentukan ada atau tidaknya defek pupil aferen
16
3. Periksa ketajaman penglihatan

4. Periksa konfrontasi lapangan pandang

5. Periksa metamorfopsia dengan tes Amsler grid

6. Pemeriksaan slit lamp untuk melihat ada atau tidaknya pigmen pada vitreus (Shafer’s
sign)

7. Periksa tekanan bola mata

8. Lakukan pemeriksaan fundus dengan oftalmoskopi (pupil harus dalam keadaan dilatasi)

Pada oftalmoskopi, retina yang terlepas akan terlihat putih dan edema dan kehilangan
sifat transparansinya. Pada ablasio regmatogen, robekan retina berwarna merah terang dapat
terlihat. Biasanya muncul pada setengah bagian atas retina pada region degenerasi ekuator.
Pada ablasio tipe traksi, ablasio bullosa akan terlihat bersamaan dengan untaian retina
berwarna abu-abu. Pada tipe eksudatif akan terlihat adanya deposit lemak massif dan
biasanya disertai dengan perdarahan intraretina.

Pada pemeriksaan Ultrasound mata, jika retina tidak dapat tervisualisasi karena katarak
atau perdarahan, maka ultrasound A dan B-scan dapat membantu mendiagnosis ablasio
retina dan membedakannya dengan ablasio vitreus posterior. USG dapat membantu
membedakan regmatogen dari non regmatogen. Pemeriksaan ini sensitif dan spesifik untuk
ablasio retina tetapi tidak dapat membantu untuk menentukan lokasi robekan retina yang
tersembunyi.

F. Penatalaksanaan
Tujuan dari tatalaksana ablasio retina adalah mengembalikan kontak antara
neurosensorik retina yang terlepas dengan RPE dan eliminasi kekuatan traksi. Berbagai
metode operasi yang akan dilakukan bergantung dari lokasi robekan, usia pasien, gambaran
fundus, dan pengalaman ahli bedah.

Pembedahan dibagi ke dalam dua kategori, yakni:

1. Konvensional : melibatkan eksplan material ke rongga bola mata

2. Vitrektomi : pembuangan vitreus, menurunkan gaya traksi. Vitreus kemudian

digantikan dengan minyak silikon atau gas sebagai tamponade robekan.

17
a. Scleral Buckling

Pembedahan Scleral buckling adalah metode pendekatan ekstraokuler dengan membuat


lekukan pada dinding mata untuk mengembalikan kontak dengan retina yang terlepas.
Sebuah silikon dengan konfigurasi yang sesuai diposisikan dengan jahitan pada sklera
bagian luar di atas lekukan buckle dinding bola mata. Proses perlengketan kembali ini
dapat diperkuat oleh drainase cairan subretina, meskipun manuver ini tidak dibutuhkan
pada semua kasus. Robekan tunggal ditangani dengan cryotherapy atau terapi laser
untuk menjamin penutupan permanen. Angka keberhasilan scleral buckling untuk
melekatkan kembali retina dan memulihkan penglihatan terbilang tinggi. Penelitian
terbaru yang melibatkan 190 mata, angka keberhasilan metode ini mencapai 89% untuk
operasi tunggal. Komplikasi cryotherapy adalah vitreoretinopathy proliferative (PVR),
uveitis, cystoid edema makula, perdarahan intraokular, dan nekrosis chorioretinal.
Komplikasi operasi scleral buckling adalah iskemia (segmen anterior dan posterior),
infeksi, perforasi, strabismus, erosi atau ekstrusi eksplan, mengerutnya makula, katarak,
glaukoma, vitreoretinopathy proliferative (4%), dan kegagalan (5-10%). Scleral
buckling memiliki tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Prognosis visual akhir
tergantung pada keterlibatan makula. Prognosis lebih buruk jika makula terlepas.

Gambar 10. Scleral Buckling

Gambar a) menunjukkan tamponade di jahit pada permukaan luar sklera. Gambar b)


menunjukkan lubang retina yang kelihatan. Gambar c) menunjukkan tamponade pada
tempatnya. Pita silikon menekan spons silikon dibawahnya sehingga dapat
memposisikan lapisan sensorik dan RPE kembali menyatu.

18
Gambar 11. Prosedur Scleral Buckling

b. Pneumatic Retinopexy

Pada metode ini, gas inert atau udara diinjeksi ke dalam vitreus. Dengan cara ini, retina
akan terlekat kembali. Cryosurgery dilakukan sebelum atau sesudah injeksi gas atau
koagulasi laser dilakukan di sekitar defek retina setelah perlekatan retina. Metode ini
sangat cocok digunakan pada kondisi ablasio dengan satu robekan retina pada bagian
atas perifer fundus (arah jam 10 hingga jam 2).

Gambar 12. Pneumatic Retinopexy

c. Pars Plana Vitrektomi (PPV)

Dengan operasi menggunakan mikroskop, korpus vitreus dan semua traksi epiretina dan
subretina dapat disingkirkan. Retina kemudian dilekatkan kembali dengan
menggunakan cairan perfluorocarbon dan kemudain digantikan dengan minyak silikon
atau gas sebagai tamponade retina. Operasi kedua dibutuhkan untuk membuang minyak
silikon. Kelebihan dari teknik ini adalah mampu melokalisasi lubang retina secara tepat,
eliminasi kekeruhan media, dan terbukti dapat dikombinasikan dengan ekstraksi
katarak, penyembuhan langsung traksi vitreus, dan membuang serat-serat pada epiretina

19
dan subretina. Namun, teknik ini membutuhkan peralatan mahal dan tim yang
berpengalaman, membuat kekeruhan lensa secara perlahan, kemungkinan dilakukannya
operasi yang kedua untuk membuang minyak silikon, dan pemantauan segera setelah
operasi.

Gambar 13. Tiga Port Pars Plana Vitrektomi (Ppv)

Penanganan ablasio retina regmatogen dilakukan dengan tindakan pembedahan dengan


teknik scleral buckling atau pneumatic retinopexy. Pada kedua teknik ini dilakukan
cryotherapy atau laser terlebih dahulu untuk membentuk adhesi antara epitel pigmen
dan sensorik retina. Sedangkan penanganan utama untuk ablasio traksi adalah operasi
vitreoretina dan bisa melibatkan vitrektomi, pengangkatan membran, scleral buckling
dan injeksi gas atau minyak silikon intraokuler.

G. Kompilkasi
Penurunan ketajaman penglihatan dan kebutaan merupakan komplikasi yang paling
umum terjadi pada ablasio retina. Penurunan penglihatan terhadap gerakan tangan atau
persepsi cahaya adalah komplikasi yang sering dari ablasio retina yang melibatkan macula.

Jika retina tidak berhasil dilekatkan kembali dan pembedahan mengalami komplikasi,
maka dapat timbul perubahan fibrotik pada vitreous (vitreoretinopati proliferatif, PVR).
PVR dapat menyebabkan traksi pada retina dan ablasio retina lebih lanjut.”

Berdasarkan waktu maka :

1. Komplikasi awal setelah pembedahan:

a. Peningkatan TIO

b. Glaukoma

c. Infeksi

d. Ablasio koroid
20
e. Kegagalan pelekatan retina

f. Ablasio retina berulang

2. Komplikasi lanjut

a. Infeksi

b. Lepasnya bahan buckling melalui konjungtiva atau erosi melalui bola mata

c. Vitreo retinpati proliveratif (jaringan parut yang mengenai retina)

d. Diplopia

e. Kesalahan refraksi

f. Astigmatisme

H. Patofisiologi
Ruangan potensial antara neuroretina dan epitel pigmennya sesuai dengan rongga
vesikel optik embriogenik. Kedua jaringan ini melekat longgar, pada mata yang matur dapat
berpisah . Jika terjadi robekan pada retina, sehingga vitreus yang mengalami likuifikasi
dapat memasuki ruangan subretina dan menyebabkan ablasio progresif (ablasio
regmatogenosa).

Jika retina tertarik oleh serabut jaringan kontraktil pada permukaan retina, misalnya
seperti pada retinopati proliferatif pada diabetes mellitus (ablasio retina traksional).

Walaupun jarang terjadi, bila cairan berakumulasi dalam ruangan subretina akibat
proses eksudasi, yang dapat terjadi selama toksemia pada kehamilan (ablasio retina
eksudatif)

Ablasio retina idiopatik (regmatogen) terjadinya selalu karena adanya robekan retina
atau lubang retina. Sering terjadi pada miopia, pada usia lanjut, dan pada mata afakia.
Perubahan yang merupakan faktor prediposisi adalah degenerasi retina perifer (degenerasi
kisi-kisi/lattice degeration), pencairan sebagian badan kaca yang tetap melekat pada daerah
retina tertentu, cedera, dan sebagainya.

Perubahan degeneratif retina pada miopia dan usia lanjut juga terjadi di koroid.
Sklerosis dan sumbatan pembuluh darah koroid senil akan menyebabkan berkurangnya
perdarahan ke retina. Hal semacam ini juga bisa terjadi pada miopia karena teregangnya
dan menipisnya pembuluh darah retina. Perubahan ini terutama terjadi di daerah ekuator,
yaitu tempat terjadinya 90% robekan retina. Terjadinya degenerasi retina pada mata miopia
21
10 sampai 15 tahun lebih awal daripada mata emetropia. Ablasi retina delapan
kali lebih sering terjadi pada mata miopia daripada mata emetropia atau
hiperopia. Ablasi retina terjadi sampai 4% dari semua mata afakia, yang berarti
100 kali lebih sering daripada mata fakia.

Terjadinya sineresis dan pencairan badan kaca pada mata miopia satu
dasawarsa lebih awal daripada mata normal. Depolimerisasi menyebabkan
penurunan daya ikat air dari asam hialuron sehingga kerangka badan kaca
mengalami disintegrasi. Akan terjadi pencairan sebagian dan ablasi badan kaca
posterior. Oleh karenanya badan kaca kehilangan konsistensi dan struktur yang
mirip agar-agar, sehingga badan kaca tidak menekan retina pada epitel pigmen
lagi. Dengan gerakan mata yang cepat, badan kaca menarik perlekatan
vireoretina. Perlekatan badan kaca yang kuat biasanya terdapat di daerah
sekeliling radang atau daerah sklerosis degeneratif. Sesudah ekstraksi katarak
intrakapsular, gerakan badan kaca pada gerakan mata bahkan akan lebih kuat
lagi. Sekali terjadi robekan retina, cairan akan menyusup di bawah retina
sehingga neuroepitel akan terlepas dari epitel pigmen dan koroid.

22
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN

a. Data Subyektif

 Pasien mengeluh tiba-tiba melihat kilatan cahaya terang dan bintik-bintik hitam
yang beterbangan di ruang pandang.
 Pasien mengeluh melihat tirai yang menutupi lapang pandang.
 Pasien menyatkan takut dan cemas karena kehilangan fungsi penglihatan secara
tiba-tiba.

b. Data Obyektif

 Dengan pemeriksaan ophtalmoskop indirek terlihat gambaran gelembung abu-abu


atau lipatan-lipatan pada retina yang bergetar dan bergerak
 Aktifitas pasien terbatas
 Mata pasien tertutup dengan gaas
 Pasien mendapat obat tetes mata midryatil
 Wajah pasien tampak tegang dan cemas
 Pada pemeriksaan visus : OD 1/4 Os 2/60

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa Keperawatan yang mungkin ditemukan pada pasien Ablatio Retina

Pre Operatif

1. Gangguan persepsi sensori penglihatan


2. Cemas
3. Kurang perawatan diri

Post Operatif

1. Nyeri akut
2. Resiko infeksi
3. Kurang perawatan diri

23
C. INTERVENSI KEPERAWATAN PRE OP

1. Gangguan persepsi sensori penglihatan b.d lepasnya retina

Kriteria Hasil :

 Kooperatif dalam tindakan


 Menyadari hilangnya pengelihatan secara permanen

Intervensi :

 Kaji dan catat ketajaman pengelihatan Rasional: Menetukan kemampuan visual


 Kaji deskripsi fungsional apa yang dapat dilihat/tidak. Rasional: Memberikan
keakuratan thd pengelihatan dan perawatan.
 Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan pengelihatan. Rasional: Meningkatkan
self care dan mengurangi ketergantungan.
 Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang dapat diterima klien. Rasional :
Meningkatkan rangsangan pada waktu kemampuan pengelihatan menurun.

2. Cemas b.d kurang pengetahuan

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pengetahuan klien


bertambah

Kriteria Hasil :

1. Kien tidak gelisah


2. Klien tenang
3. Klien dapat mengatakan tentang proses penyakit,metode pencegahan dan
instruksi perawatan di rumah

Intervensi :

 Kaji tingkat kecemasan Rasional : Untuk mengetahui berat ringannya kecemasan


klien
 Berikan kesampatan Klien untuk mengungkapkan perasaannya Rasional : Agar
klien mempunyai semangat dan mau empati terhadap perawatan dan pengobatan
 Beri Support pada klien Rasional : Agar klien mempunyai semangat
 Berikan dorongan spiritual Rasional : Agar klien kembali menyerahkan
sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
 Berikan penkes Rasional : Agar klien mengerti sepenuhnya tentang penyakit yang
dialaminya

24
 Memberikan kepada pasien untuk menanyakan apa yang tidak diketahui tentang
penyakitnya. Rasional : Mengetahui sejauh mana ketidaktahuan pasien tentang
penyakitnya
 Kaji ulang proses penyakit dan harapan yang akan datang Rasional : Memberikan
pengetahuan dasar dimana pasien dapat menbuat pilihan berdasarkan informasi.

3. Kurang Perawatan diri b.d ketidak berdayaan

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan perawatan diri pasien


terpenuhi

Kriteria Hasil :

 Kien tidak kotor


 Klien tenang
 klien merasa nyaman

Intervensi :

 Bantu klien melakukan hygiene Rasional : memenuhi perawatan diri klien


 Berikan program perawatan dir pada klien Rasional : agar perawatan diri klien
teratur
 Kontrol hygiene klien dua kali sehari Rasional : mengetahui perawatan diri klien
 Berikan HE tentang personal hygiene Rasional : agar klien faham pentingnya
perawatan diri.

POST OP
1. Nyeri akut b.d luka post op

Tujuan : setelah di lakukan tidakan keperawatan selama 3X24 jam diharapkan nyeri
berkurang atau hilang.

Kriteria Hasil :

 klien mengatakan nyeri berkurang/hilang


 skala nyeri menurun
 klien tampak rileks

Intervensi:

 Kaji skala nyeri Rasional : mengetahui seberapa nyeri yang di alami klien
 Berikan posisi relaks pada pasien. Rasional : agar klien merasa nyaman
 Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi. Rasional : menurunkan nyeri klien
25
 Kolaborasi pemberian analgesic. Raional : analgesic menghilangkan nyeri

2. Resiko infeksi b.d insisi post op

Tujuan : setelah di lakukan tidakan keperawatan selama 3X24 jam diharapkan infeksi
tidak terjadi.

Kriteria Hasil :

 tidak ada tanda-tanda infeksi


 leukosit stabil

Intervensi:

 Pantau tanda-tanda infeksi Rasional : mengetahui tanda awal infeksi


 Lakukan rawat luka secara steril Rasional : mencegah terjadinya infeksi
 Oleskan alkohol di sekitar luka post op Rasional : mencegah terjadinya infeksi
 Berikan antibiotik sesuai advis dokter Rasional : antibiotik mencegah infeksi

3. Kurang Perawatan diri b.d ketidak berdayaan

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan perawatan diri pasien


terpenuhi

Kriteria Hasil :

 Kien tidak kotor


 Klien tenang
 klien merasa nyaman

Intervensi :

 Bantu klien melakukan hygiene Rasional : memenuhi perawatan diri klien


 Berikan program perawatan dir pada klien Rasional : agar perawatan diri klien
teratur
 Kontrol hygiene klien dua kali sehari Rasional : mengetahui perawatan diri klien
 Berikan HE tentang personal hygiene Rasional : agar klien faham pentingnya
perawatan diri.

26
BAB IV
PENUTUP

A.KESIMPULAN

Ablasio retina adalah suatu keadaan terpisahnya lapisan sensoris retina dari
lapisan epitel pigmen retina. Dapat dibagi dalam 3 klasifikasi yaitu ablatio
rhegmatogen, ablatio oleh karena tarikan dan ablatio eksudatif. Ablasio retina
terjadinya karena adanya robekan retina atau lubang retina, miopia, usia lanjut, dan
mata afakia.Gejala terjadi dengan penurunan drastis pandangan dan bayangan benda
dapat terlihat seperti titik-titik membentuk jaring laba-laba.Permasalahan ini dapat di
atasi dengan penatalaksanaan medis yaitu prosedur laser, pembedahan dan Krioterapi
transkleral.

27
DAFTAR PUSTAKA

Ilyas, S. 2011. Ilmu Penyakit Mata. Ed 4 Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Sidarta I,. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam : Ilmu Penyakit Mata

Edisi kedua. Jakarta: BP-

FKUL. 2002.

Nugraha, Krisna. 2016. Makalah ablasio retina.

http://id.scribd.com/doc/313133033/Makalah-Ablasio-Retina. (20 Agustus


2019).

Ariski, Nora. 2015. Asuhan keperawatan ablasio retina.

https://www.slideshare.net/mobile/noraariski/asuhan-keperawatan-ablasio-
retina. (20

Agustus 2019).

Latarissa, Amirullah. 2014. Tugas Epidemiologi Ablasio Retina.

https://www.slideshare.net/mobile/latarissatomarala/tugas-

epidemiologi-ablasio-

retina. (20 Agustus 2019).

28

Anda mungkin juga menyukai