Anda di halaman 1dari 39

REFERAT

TRAUMA MEKANIK PADA MATA

SMF ILMU PENYAKIT MATA


KEPANITERAAN KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SIDOARJO 2019
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala
nikmat, rahmat, dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang
berjudul “Trauma Tumpul” dengan baik dan tepat waktu.

Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya di Rumah
Sakit Umum Daerah Sidoarjo 2019. Disamping itu, referat ini bertujuan untuk
menambah pengetahuan kita semua tentang glaukoma.

Melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya


kepada dr. Mohammad Tauhid Rafi’I, Sp.M , dr. Pinky Endrina Heliasanty, Sp.M ,
dr. Mitakhur Rochmah, Sp.M selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini di
Kepaniteraan Ilmu Pnyakit Mata di Rumah Sakit Umm Daerah Sidoarjo. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan anggota Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Mata Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo, serta berbagai pihak yang telah
memberi dukungan dan bantuan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan tidak lupus
dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis berharap adanya masukan, kritik maupun
saran yang membangun. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya, semoga tugas ini dapat memberikan tambahan informasi bagi kita semua.

2
DAFTAR ISI

JUDUL..........................................................................................................................1
KATA PENGANTAR..................................................................................................2
DAFTAR ISI.................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................4
1.1.Latar Belakang........................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................6
2.1 Definisi....................................................................................................................6
2.2 Anatomi dan Fisiologi.............................................................................................6
2.3 Klasifikasi...............................................................................................................7
2.5 Etiologi ...................................................................................................................8
2.6 Patofisiologi............................................................................................................9
2.7 Gejala Klinis...........................................................................................................9
2.8 Anamnesa..............................................................................................................11
2.9 Pemeriksaan...........................................................................................................12
2.10 Kelainan Akibat Trauma Tumpul........................................................................13
2.11 Penatalaksanaan ..................................................................................................33
2.12 Komplikasi .........................................................................................................36
2.13 Prognosis.............................................................................................................36
BAB III KESIMPULAN ............................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................39

3
BAB I

PENDAHULUAN

Trauma pada mata merupakan kerusakan fungsional atau perubahan


patologis pada saraf optik yang disebabkan oleh trauma. Trauma pada saraf optik bisa
merupakan bagian dari trauma kepala (Budiono S. et al., 2013).

Trauma pada mata dapat mengakibatkan kerusakan pada bola mata dan
kelopak saraf mata serta rongga orbita. Kerusakan mata akan dapat mengakibatkan
atau memberikan penyulit sehingga menggangu fungsi penglihatan. Pada mata dapat
terjadi trauma dalam bentuk-bentuk antara lain trauma tumpul, trauma tembus bola
mata, trauma kimia dan trauma radiasi. Trauma dapat mengenai jaringan mata antara
lain kelopak, konjungtiva, kornea, uvea, lensa, retina, papil saraf optik, dan orbita.
Trauma tumpul mata dapat merupakan penyebab kebutaan unilateral pada anak dan
dewasa muda (Ilyas S. dan Yulianti S. R. 2019).

Secara umum insiden trauma mata terbuka sebanyak 3.6-3.8 per 100.000
populasi seluruh dunia dimana puncak insidensi ada pada kelompok dewasa ratarata
di sekitaran usia 30-an tahun, remaja 70. Studi lainnya menyebutkan angka kejadian
trauma tembus berkisar 3.1 dari 100.000orang.70-80 % terjadi pada kaum pria,
kecuali pada lansia dan bayi.Bisa dikatakan perbandingannya 3:1 antara pria dengan
wanita, ini dikarenakan lakilaki lebih sering berhadapan dengan aktivitas beresiko
terhadap paparan trauma okular.Kecenderungan pada anak-anak terutama yang
tumbuh dalam keluarga miskin atau pendidikan rendah atau pengawasan yang buruk
lebih sering terpapar dengan trauma. Dari penelitian yang dilakukan oleh oleh Daza
A.B Larque,dkk pada 92 pasien rawatan open globe trauma (trauma terbuka) di
Hospital de Poniente sebanyak 72% trauma intraokular ini disebabkan oleh trauma
tembus (Lubis R. R., 2014).

Berdasarkan studi Schein pada the Massachusetts eye and ear infirmary,
8% dari populasi yang mengalami trauma tumpul mata cukup berat adalah anak
dibawah usia 15 tahun. Studi Israel menerangkan bahwa 47% dari 2500 kejadian

4
trauma mata terjadi pada usia dibawah 17 tahun. Laporan kasus kali ini menunjukkan
bahwa para ahli mata harus lebih waspada terhadap trauma yang tidak jelas dan
adanya pergeseran bola mata (Anggraeny C. 2014).

Trauma mata dapat dicegah dan diperlukan penerangan kepada


masyarakat utnuk menghindarkan terjadinya trauma pada mata seperti trauma tumpul
akibat kecelakaan tidak dapat dicegah kecuali trauma tumpul perkelahian, diperlukan
perlindungan pekerja untuk menghindarkan terjadinya trauma tajam, setiap pekerja
yang sering berhubungan dengan bahan kimia sebaiknya mengerti bahan apa yang
ada ditempat kerjanya, pada pekerja las sebaiknya menghindarkan diri terhadap sinar
dan percikan bahan las dengan memakai kacamata, awasi anak yang sedang bermain
yang mungkin berbahaya untuk matanya (Ilyas S. dan Yulianti S. R. 2019).

5
BAB II

TINJUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan
cedera pada mata. Trauma mata adalah penyebab umum kebutaan unilateral pada
anak dan dewasa (Anggraeny C. 2014).
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI MATA

Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bagian


anterior bola mata mempunyai kelengkungan yang lebih cembung sehingga terdapat
bentuk dengan dua kelengkungan berbeda.15 Bola mata dibungkus oleh tiga lapisan
jaringan, yaitu lapisan sklera yang bagian terdepannya disebut kornea, lapisan uvea,
dan lapisan retina. Di dalam bola mata terdapat cairan aqueous humor, lensa dan
vitreous humor.

Gambar II. 1 anatomi bola mata

6
C. KLASIFIKASI
Berdasarkan Birmingham Eye Trauma Terminology (BETT), mengklasifikasikan
trauma mata berdasarkan diagram dibawah ini (Anggraeny C. 2014) :

TRAUMA MATA

TRAUMA TRAUMA
TERTUTUP TERBUKA

Laserasi Ruptur
Kontusio Laserasi
Lameellar

Penetrasi Perforasi IOFB

1. Trauma tertutup adalah luka pada dinding bola mata (sklera atau kornea) dan
luka ini tidak merusak bagian dari intraokuler. Trauma tertutup terdiri atas
kontusio dan laserasi lamellar.
a. Kontusio adalah tidak ada luka (no full-thickness). Trauma disebabkan
oleh energi langsung dari objek (misalnya pecahnya koroid) atau
perubahan bentuk bola dunia (misalnya, resesi sudut)
b. Laserasi lamellar adalah trauma tertutup pada bola mata yang ditandai
oleh luka yang mengenai sebagian ketebalan dinding bola mata. Trauma
ini biasa disebabkan oleh benda tajam ataupun benda tumpul.
2. Trauma terbuka pada bola mata adalah trauma yang menyebabkan luka dan
mengenai keseluruhan dinding dari bola mata (sklera dan kornea). Trauma
terbuka terdiri atas :
a. Ruptur adalah adanya luka yang mengenai dari seluruh ketebalan dinding
bola mata, yang disebabkan oleh trauma tumpul dan mekanisme ini dapat

7
mempengaruhi terjadinya peningkatan tekanan intraokuli. Luka terjadi
akbat mekanisme dari dalam ke luar mata.
b. Laserasi adalah luka yang mengenai seluruh ketebalan dinding bola mata
yang disebabkan oleh benda tajam. Keadaan ini akan menimbulkan
adanya trauma penetrasi ataupun trauma perforasi. Luka terjadi akbat
mekanisme dari luar ke dalam mata.
c. Trauma penetrasi adalah luka yang masuk (entrance wound). Jika terdapat
lebih dari satu luka, setiap luka memiliki penyebab yang berbeda.
d. Trauma perforasi adalah luka yang masuk dan keluar (entrance and exit
wound). Kedua luka memiliki penyebab yang sama.
e. Intraocular foreign body (IOFB) adalah adanya benda asing pada
intraokular yang keadaan ini sangat berhubungan dengan adanya trauma
penetrasi.
D. ETIOLOGI
Berdasarkan British Medical Journal (BMJ), trauma mata dapat di
golongkan berdasarkan penyebabnya yaitu, trauma mekanik, trauma non mekanik
yaitu trauma kimiawi, trauma termal, dan trauma radiasi. Trauma Mekanik Trauma
mekanik dapat dibagi menjadi trauma tumpul dan trauma tajam. Trauma tumpul
merupakan trauma pada mata yang diakibatkan benda yang keras atau benda tidak
keras dengan ujung tumpul, dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan
kencang atau lambat sehingga terjadi kerusakan pada jaringan bola mata atau daerah
sekitarnya. Trauma tumpul pada mata lebih sering disebabkan oleh trauma yang
berasal dari benda tumpul seperti pukulan, terbentur bola. Trauma tumpul dengan
kekuatan yang besar akan menghasilkan tekanan anteroposterior, sehingga keadaan
ini dapat juga menyebabkan peningkatan tekanan intraokuli, ruptur, dan robekan pada
struktur intamata lainnya. Keadaan ini juga dapat meluas sehingga dapat
menyebabkan kerusakan segmen posterior (Anggraeny C. 2014).
Trauma tajam adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan
perlukaan mata, dimana mata ditembus oleh benda tajam atau benda berukuran kecil
dengan kecepatan tinggi yang menembus kornea atau sclera. Trauma tajam mata

8
dapat diklasifikasikan atas luka tajam tanpa preforasi dan luka tajam dengan perforasi
yang meliputi perforasi tanpa benda asing inta okuler dan perforasi benda asing intra
okuler (Anggraeny C. 2014).
E. PATOFISIOLOGI

Beratnya trauma bergantung pada ukuran objek, kecepatan menembus dan


kandungan yang terdapat didalamnya. Benda yang tajam seperti pisau akan
mengakibatkan laserasi sempurna pada mata. Sementara benda yang melayang
ditentukan oleh energi kinetik dalam hal menyebabkan berat ringannya trauma yang
dialami penderita. Luka bisa saja hanya terkena pada kornea dan tidak sampai
menembus segmen anterior yang mungkin kecil kemungkinan hilang penglihatan
namun dalam proses penyembuhannya akan meninggalkan bekas (skar). Lentikular
difus atau lokalisata terjadi akibat trauma di segmen anterior yang melibatkan kapsul
anterior dari lensa. Terbentuknya traksi pada vitreo-retina dan skar beberapa saat
setelah terjadinya luka di bagian posterior berperan penting terhadap kejadian
lepasnya retina (retinal detachment). Enukleasi pada mata bisa diakibatkan oleh
infeksi, abses vitreous, sinekia anterior, katarak dan fractional retinal detachment
(Lubis R.R., 2014).

Trauma tumpul yang mengenai mata dapat menyebabkan robekan pada


pembuluh darah iris, akar iris dan badan silier sehingga mengakibatkan perdarahan
dalam bilik mata depan. Iris bagian perifer merupakan bagian paling lemah. Suatu
trauma yang mengenai mata akan menimbulkan kekuatan hidralis yang dapat
menyebabkan hifema dan iridodialisis, serta merobek lapisan otot spingter sehingga
pupil menjadi ovoid dan non reaktif. Tenaga yang timbul dari suatu trauma
diperkirakan akan terus ke dalam isi bola mata melalui sumbu anterior posterior
sehingga menyebabkan kompresi ke posterior serta menegangkan bola mata ke lateral
sesuai dengan garis ekuator. Hifema yang terjadi dalam beberapa hari akan berhenti,
oleh karena adanya proses homeostatis. Darah dalam bilik mata depan akan diserap
sehingga akan menjadi jernih kembali (Anggraeny C. 2014).

F. GEJALA KLINIS

9
Tanda dan gejala antara lain kemunduran tajam penglihatan setelah trauma
kepala didaerah frontal atau trauma orbita. Penurunan dapat berjalan cepat atau
perlahan- lahan bisa samai 0. Gangguan lapang pandang bisa beragam (Budiono S. et
al., 2019).

Gejala yang lain antara lain :

1. Mata merah
2. Rasa sakit
3. Mual dan muntah karena kenaikan Tekanan Intra Okuler (TIO)
4. Penglihatan kabur
5. Penurunan visus
6. Infeksi konjungtiva

Trauma tumpul dapat menimbulkan perlukaan ringan yaitu penurunan


penglihatan sementara sampai berat, yaitu perdarahan didalam bola mata, terlepasnya
selaput jala (retina) atau sampai terputusnya saraf penglihatan sehingga menimbulkan
kebutaan menetap. Trauma yang diakibatkan oleh benda tumpul dapat menyebabkan
adalah hematoma palpebra, edema konjungtiva, perdarahan subkonjungtiva, edema
kornea, dislokasi lensa dan hifema (Akbar M. et al., 2019).

Bila trauma disebabkan benda tajam atau benda asing masuk ke dalam
bola mata maka akan terlihat tanda-tanda trauma tembus seperti nyeri, tajam
penglihatan yang menurun. Gejala yang muncul dari trauma tembus mata dapat
diuraikan sebagai berikut (Lubis R.R., 2014) :

a. Efek mekanik langsung yaitu efek yang segera muncul setelah terjadinya
trauma okular yang terlihat bergantung bagaimana efek mekanik pada struktur
yang terlibat. Yang paling umum ditemukan adalah laserasi di kornea maupun
sklera dengan atau tanpa keterlibatan struktur mata lainnya.
b. Efek kontusio kebanyakan kasus trauma tembus pada mata berhubungan
dengan efek kontusio, bervariasi mulai dari abrasi kornea yang sederhana
sampai rupturnya bola mata. Pada beberapa kasus, perubahan bisa saja lamban

10
atau malah progresif. Untuk itu pasien harus tetap dalam pengawasan untuk
beberapa bulan.
c. Infeksi terdapat tiga mekanisme terjadinya infeksi yaitu Infeksi primer, infeksi
sekunder dan infeksi terjadi lambat. Infeksi primer adalah terjadi bersamaan
dengan trauma. Infeksi sekunder yaitu infeksi ini terjadi sebelum luka
pulih/sembuh. Infeksi yang terjadi lambat yaitu timbul akibat konsolidasi skar
yang buruk khususnya apabila ada fistula. Infeksi menjadi tantangan besar
dalam manajemen trauma tembus oleh karena bisa mengakibatkan komplikasi
di kemudian hari seperti cincin abses di kornea, iridocyclitis purulen dengan
hipopion, skleritis infeksi nekrotik, endophtalmitis, panopthahnitis, jarang
namun bisa saja terjadi yaitu adanya gas gangrene atau bahkan tetanus okular.
d. Iridocyclitis post trauma yaitu kejadiannya cukup sering, muncul tanda-tanda
inflamasi pada pasien eperti nyeri, mata kemerahan, fotofobia, dan penurunan
kemampuan melihat.
e. Sympathetic Ophtalmitis. Hal ini jarang terjadi, sifatnya bilateral, merupakan
suatu granuloma dari panuveitis yang terjadi setelah pembedahan atau trauma
pada uvea salah satu nata. Onset klinis didahului oleh inflamasi ringan oleh
mata yang tidak ada trauma dan perburukan inflamasi pada mata yang terkena
trauma. Gejala seperti nyeri, fotofobia, lakrimasi dan penglihatan kabur.
Pencegahannya yaitu dengan melakukan enukleasi pada mata yang terpapar
trauma dalam 2 minggu setelah onset trauma. Ini dikerjakan pada mata yang
sudah terpapar trauma sangat berat dan tidak ada lagi potensi untuk
mengembalikan penglihatannya.
f. Benda asing intraokular yang tertahan yaitu materi atau partikel yang sering
tertahan misalnya potongan besi atau logam, batu, pecahan, sampai yang
jarang seperti duri rerumputan.
G. ANAMNESIS
Kerusakan jaringan yang terjadi akibat trauma demikian bervariasi mulai
dari yang ringan hingga berat bahkan sampai kebutaan. Untuk mengetahui kelainan

11
yang ditimbulkan perlu diadakan pemeriksaan yang cermat, terdiri atas anamnesis
dan pemeriksaan. Pada anamnesis kasus trauma mata ditanyakan mengenai :
1. Proses terjadinya trauma
2. Benda apa yang mengenai mata tersebut
3. Bagaimana arah datangnya benda yang mengenai mata itum (Apakah dari
depan, samping atas, samping bawah, atau dari arah lain)
4. Bagaimana kecepatannya waktu mengenai mata
5. Berapa besar benda yang mengenai mata
6. Bahan benda tersebut (Apakah terbuat dari kayu, besi atau bahan lainnya)
Apabila terjadi pengurangan penglihatan ditanyakan :
1. Apakah pengurangan penglihatan itu terjadi sebelum atau sesudah kecelakaan
tersebut
2. Kapan terjadi trauma itu
3. Apakah trauma tersebut disertai dengan keluarnya darah dan rasa sakit
4. Apakah sudah pernah mendapatkan pertolongan sebelumnya.
H. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan pada kasus trauma mata dilakukan baik subyektif maupun obyektif.
1. Pemeriksaan Subyektif
Pada setiap kasus trauma, kita harus memeriksa tajam penglihatan
karena hal ini berkaitan dengan pembuatan visum et repertum. Pada penderita
yang ketajaman penglihatannya menurun, dilakukan pemeriksaan refraksi untuk
mengetahui bahwa penurunan penglihatan mungkin bukan disebabkan oleh
trauma tetapi oleh kelainan refraksi yang sudah ada sebelum trauma.
2. Pemeriksaan Obyektif
Pada saat penderita masuk ruang pemeriksaan, sudah dapat diketahui
adanya kelainan di sekitar mata seperti adanya perdarahan sekitar mata,
pembengkakan di dahi, di pipi, hidung dan lain-lainnya. Pemeriksaan mata perlu
dilakukan secara sistematik dan cermat.
Yang diperiksa pada kasus trauma mata ialah :
a. Keadaan kelopak mata

12
b. Kornea
c. Bilik mata depan
d. Pupil
e. Lensa dan fundus
f. Gerakkan bola mata
g. Tekanan bola mata.
Pemeriksaan segmen anterior dilakukan dengan sentolop loupe, slit lamp dan
oftalmoskop.
Evaluasi awal yang dapat dilakukan seperti pemeriksaan akuisi visual,
lapangan pandang konfrontasional, pemeriksaan pupil, dan funduskopi mungkin
dilakukan secara eksttim karena ada penekanan yang menyebabkan ekstrusi dari isi
bola mata melalui perlukaan pada sklera maupun kornea. Tanda-tanda penetrasi yang
dapat dilihat yaitu prolapsus uvea, distorsi pupil, katarak, dan perdarahan vitreous.
Jika diduga sebagai suatu trauma tembus mata maka sudah seharusnya dilakukan
perlindungan yang aman dan nyaman terhadap mata yang terpapar trauma dengan
pelindung dari plastik yang jernih di sekitar mata (disanggakan ke dahi dan pipi). Eye
patch tidak dianjurkan untuk menghindari tekanan langsung pada mata. Pasien
diberitahu untuk tidak batuk dengan keras dan segera merujuk ke ophthalmologist
untuk penanganan selanjutnya. Apabila diduga sebagai suatu trauma tembus pada
mata maka dapat dilakukan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan
diagnosis. Pemeriksaan antara lain dengan plain radiography, USG dan CT scan yang
dapat memberikan informasi yang adekuat apabila ada benda asing yang tertinggal di
dalam mata (Lubis R. R., 2014).
I. KELAINAN AKIBAT TRAUMA TUMPUL

1. Kelainan Pada Orbita

Jarang sekali ditemukan kelainan orbita akibat trauma tumpul.


Apabila terjadi kelainan orbita, maka gejala yang mudah tampak ialah
adanya eksoftalmos dan gangguan gerakan bola mata akibat perdarahan di

13
dalam rongga orbita. Kadang-kadang juga terjadi hematom kelopak mata
dan perdarahan subkonjungktiva (Anggraeny C., 2014).

Fraktur rima orbita dapat diperkirakan pada perabaan yang terasa


sebagai tepi orbita yang tidak rata. Fraktur di bagian dalam orbita, akan
menyebabkan emfisema atau terjadi enoftalmos bahkan mungkin disertai
kerusakan pada foramen optik dan mengenai saraf optik dengan akibat
kebutaan. Untuk memastikan adanya keretakan tulang orbita dilakukan
pemeriksaan radiologi orbita (Anggraeny C., 2014).

2. Kelainan Pada Kelopak Mata

Trauma kelopak mata merupakan kejadian yang sering. Oleh


karena longgarnya jaringan ikat subkutan, maka adanya hematom dan
edema kelopak mata kadang-kadang menunjukkan gejala yang berlebihan
dan menakutkan, sehingga mendorong penderita untuk lekas-lekas minta
pertolongan dokter.

Hematoma palpebra yang merupakan pembengkakan atau


penimbunan darah dibawah kulit kelopak akibat pecahnya pembuluh
darah palpebra. Hematoma kelopak merupakan kelainan yang sering
terlihat pada trauma tumpul kelopak. Trauma dapat akibat pukulan tinju,
atau benda-benda keras lainnya. Keadaan ini memberikan bentuk yang
menakutkan pada pasien, dapat tidak berbahaya ataupun sangat berbahaya
karena mungkin ada kelainan lain di belakangnya (Ilyas S. dan Yulianti S.
R., 2019).

Bila perdarahan terletak lebih dalam dan mengenai kedua kelopak


dan berbentuk kacamata hitam yang sedang dipakai, maka keadaan ini
disebut sebagai hematoma kacamata. Hematoma kacamata merupakan
keadaan sangat gawat. Hematoma kacamata terjadi akibat pecahnya arteri
oftalmika yang merupakan tanda fraktur basis kranii. Pada pecahnya
a.oftalmika maka darah masuk kedalam kedua rongga orbita melalui fisura

14
orbita. Akibat darah tidak dapat menjalar lanjut karena dibatasi septum
orbita kelopak maka akan berbentuk gambaran hitam pada kelopak seperti
seseorang memakai kacamata (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).

Gambar II.2 Hematoma kacamata

Pada hematoma kelopak yang dini dapat diberikan kompres dingin


untuk menghentikan perdarahan dan menghilangkan rasa sakit. Bila telah
lama, untuk memudahkan absorbsi darah dapat dilakukan kompres hangat
pada kelopak mata (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).

3. Kelainan Pada Konjungtiva


a. Edema Konjungtiva

Jaringan konjungtiva yang bersifat selaput lendir dapat menjadi


kemotik pada setiap kelainannya, demikian pula akibat trauma tumpul.
Bila kelopak terpajan ke dunia luar dan konjungtiva secara langsung
kena angin tanpa dapat mengedip, maka keadaan ini telah dapat
mengakibatkan edema pada konjungtiva. Kemotik konjungtiva yang
berat dapat mengakibatkan palpebra tidak menutup sehingga
bertambah rangsangan terhadap konjungtiva (Ilyas S. dan Yulianti S.
R., 2019).

Pada edema konjungtiva dapat diberikan dekongestan untuk


mencegah pembendungan cairan di dalam selaput lendir konjungtiva.

15
Sedangkan pada kemotik konjungtiva berat dapat dilakukan insisi
sehingga cairan konjungtiva kemotik keluar melalui insisi tersebut
(Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).

Gambar II.3 Edema Konjungtiva

4. Hematoma Subkonjungtiva

Jika terjadi perdarahan subkonjungtiva (hematoma


subkonjungtiva), maka konjungtiva akan tampak merah dengan batas
tegas, yang pada penekanan tidak menghilang atau menipis. Hal ini
penting untuk membedakannya dengan hiperemi atau hemangioma
konjungtiva. Lama kelamaan perdarahan ini mengalami, perubahan
warna menjadi membiru, menipis dan umumnya diserap dalam waktu
2- 3 minggu (Anggrahaeny C., 2014).

Hematoma subkonjungtiva terjadi akibat pecahnya pembuluh


darah yang terdapat pada atau di bawah kongjungtiva, seperti arteri
konjungtiva dan arteri episklera. Pecahnya pembuluh darah ini dapat
akibat batuk rejan, trauma tumpul basis kranii (hematoma kaca mata),
atau pada keadaan pembuluh darah yang rentan dan mudah pecah.
Pembuluh darah akan rentan dan mudah pecah pada usia lanjut,

16
hipertensi, arteriosklerose, konjungtiva meradang (konjungtivitis),
anemia, dan obat-obat tertentu (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).

Bila perdarahan ini terjadi akibat trauma tumpul maka perlu


dipastikan bahwa tidak terdapat robekan dibawah jaringan konjungtiva
atau sklera. Kadang-kadang hematoma subkonjungtiva menutupi
keadaaan mata yang lebih buruk seperti perforasi bola mata.
Pemeriksaan funduskopi adalah perlu pada setiap penderita dengan
perdarahan subkonjungtiva akibat trauma. Bila tekanan bola mata
rendah dengan pupil lonjong disertai tajam penglihatan menurun dan
hematoma subkonjungtiva maka sebaiknya dilakukan eksplorasi bola
mata untuk mencari kemungkinan adanya ruptur bulbus okuli (Ilyas S.
dan Yulianti S. R., 2019).

Gambar II.4. Hematoma sub konjungtiva

Pengobatan dini pada hematoma subkonjungtiva ialah dengan


kompres air hangat. Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau
diabsorpsi dalam 1-2 minggu tanpa diobati. Untuk mencegah
perluasan perdarahan dapat diberikan vasokonstriktor dan air mata
buatan (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).

Epitel konjungtiva mudah mengalami regenerasi sehingga luka


pada konjungtiva penyembuhannya cepat. Robekan konjungtiva
sebaiknya dijahit untuk mempercepat penyembuhannya (Anggraeny
C., 2014).

17
5. Kelainan Pada Kornea

Trauma tumpul kornea dapat menimbulkan kelainan kornea


mulai dari erosi kornea sampai laserasi kornea. Bilamana lesi letaknya
di bagian sentral, lebih-lebih bila mengakibatkan kekeruhan kornea
yang luas, dapat mengakibatkan pengurangan tajam penglihatan. Pada
umumnya bila lesi kornea tidak sampai merusak membran bowman
atau stromanya, maka kornea akan cepat sembuh tanpa meninggalkan
sikatriks pada kornea. Pada lesi yang lebih dalam pada lapisan kornea,
umumnya akan meninggalkan sikatriks berupa nebula, makula atau
leukoma kornea (Anggraeny C., 2014).

a. Edema Kornea

Trauma tumpul yang keras atau cepat mengenai mata dapat


mengakibatkan edema kornea malahan ruptur membran descement.
Edema kornea akan memberikan keluhan penglihatan kabur dan
terlihatnya pelangi sekitar bola lampu atau sumber cahaya yang
dilihat. Kornea akan terlihat keruh, dengan uji plasido yang positif.
Edema kornea yang berat dapat mengakibatkan masuknya serbukan
sel radang dan neovaskularisasi ke dalam jaringan stroma kornea
(Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).

Pengobatan yang diberikan adalah larutan hipertonik seperti


NaCl 5% atau larutan garam hipertonik 2-8%, glukose 4% dan
larutan albumin. Bila terdapat peninggian tekanan bola mata maka
diberikan asetazolamida. Pengobatan untuk menghilangkan rasa
sakit dan memperbaiki tajam penglihatan dengan lensa kontak
lembek dan mungkin akibat kerjanya menekan kornea terjadi
pengurangan edema kornea (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).

Penyulit trauma kornea yang berat berupa terjadinya


kerusakan M. Descement yang lama sehingga mengakibatkan

18
keratopati bulosa yang akan memberikan keluhan rasa sakit dan
menurunkan tajam penglihatan akibat astigmatisme irregular (Ilyas
S. dan Yulianti S. R., 2019).

b. Erosi Kornea

Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasnya epitel


kornea yang dapat diakibatkan oleh gesekkan keras pada epitel
kornea. Erosi dapat terjadi tanpa cedera pada membran basal.
Dalam waktu yang pendek epitel sekitarnya dapat bermigrasi
dengan cepat dan menutupi defek epitel tersebut. Pada erosi pasien
akan merasa sakit sekali akibat erosi merusak kornea yang
mempunyai serat sensibel yang banyak, mata berair, dengan
blefarospasme, lakrimasi, fotofobia, dan penglihatan akan
tergantung oleh media kornea yang keruh. Pada kornea akan terlihat
suatu defek epitel kornea yang bila diberi perwarnaan fluoresein
akan berwarna hijau (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).

Pada erosi kornea perlu diperhatikan adalah adanya infeksi


yang timbul kemudian. Anestesi topikal dapat diberikan untuk
memeriksa tajam penglihatan dan menghilangkan rasa sakit yang
sangat. Hati-hati bila memakai obat anestetik topikal untuk
menghilangkan rasa sakit pada pemeriksaan karena dapat
menambah kerusakan epitel. Epitel yang terkelupas atau terlipat
sebaiknya dilepas atau dikelupas. Untuk mencegah infeksi bakteri
diberikan antibiotika seperti antibiotika spektrum luas neosporin,
kloramfenikol dan sulfasetamid tetes mata. Akibat rangsangan yang
mengakibatkan spasme siliar maka diberikan sikloplegik aksi
pendek seperti tropikamida. Pasien akan merasa lebih tertutup bila
dibebat selama 24 jam. Erosi yang kecil biasanya akan tertutup
kembali setelah 48 jam (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).

19
Gambar II.5. Erosi Kornea

c. Erosi Kornea Rekuren

Erosi kornea rekuren, biasanya terjadi akibat cedera yang


merusak membran basal atau tukak metaherpetik. Epitel yang
menutup kornea akan mudah lepas kembali diwaktu bangun pagi.
Terjadinya erosi kornea berulang akibat epitel tidak dapat bertahan
pada defek epitel kornea. Sukarnya erpitel menutupi kornea
diakibatkan oleh terjadinya pelepasan membran basal epitel kornea
tempat duduknya sel basal epitel kornea. Biasanya membran basal
yang rusak akan kembali normal setelah 6 minggu (Ilyas S. dan
Yulianti S. R., 2019).

Pengobatan terutama bertujuan melumas permukaan kornea


sehingga regenerasi epitel tidak cepat terlepas untuk membentuk
membran basal kornea. Pengobatan biasanya dengan memberikan
sikloplegik untuk menghilangkan rasa sakit ataupun untuk
mengurangkan gejala radang uvea yang mungkin timbul. Antibiotik
diberikan dalam bentuk tetes dan mata ditutup untuk mempercepat
tumbuh epitel baru dan mencegah infeksi sekunder. Biasanya bila
tidak terjadi infeksi sekunder erosi kornesa yang mengenai seluruh

20
permukaan kornea akan sembuh dalam 3 hari. Pada erosi kornea
tidak diberi antibiotik dengan kombinasi steroid. Pemakaian lensa
kontak lembek pada pasien dengan erosi rekuren sangat bermanfaat,
karena dapat mempertahankan epitel berada di tempat dan tidak
dipengaruhi kedipan kelopak mata (Ilyas S. dan Yulianti S. R.,
2019).

6. Kelainan pada Uvea


a. Iridoplegia
Trauma tumpul pada uvea dapat mengakibatkan
kelumpuhan otot sfingter pupil atau iridoplegia sehingga pupil
menjadi lebar atau midriasis. Pasien akan sukar melihat dekat
karena gangguan akomodasi, silau akibat gangguan pengaturan
masuknya sinar pada pupil. Pupil terlihat tidak sama besar atau
anisokoria dan bentuk pupil dapat menjadi ireguler. Pupil ini tidak
bereaksi terhadap sinar. Iridoplegia akibat trauma akan berlangsung
beberapa hari sampai beberapa minggu. Pada pasien dengan
iridoplegia sebaiknya diberi istirahat untuk mencegah terjadinya
kelelahan sfingter dan pemberian roboransia (Ilyas S. dan Yulianti
S. R., 2019).

Gambar II.5 Iridoplegia

21
b. Iridodialisis
Trauma tumpul dapat mengakibatkan robekan pada pangkal
iris sehingga bentuk pupil menjadi berubah. Pasien akan melihat
ganda dengan satu matanya. Pada iridodialisis akan terlihat pupil
lonjong. Biasanya iridodialisis terjadi bersama-sama dengan
terbentuknya hifema. Bila keluhan demikian maka pada pasien
sebaiknya dilakukan pembedahan dengan melakukan reposisi
pangkal iris yang terlepas (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).

Gambar II.6 Iridialysis

Gambar II.7 Iridodyalisis

c. Hifema

22
Hifema atau darah di dalam bilik mata depan dapat terjadi
akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau
badan siliar. Pasien akan mengeluh sakit, disertai dengan epifora
dan blefarospasme. Penglihatan pasien akan sangat menurun. Bila
pasien duduk, hifema akan terlihat terkumpul dibagian bawah bilik
mata depan, dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata
depan. Kadang-kadang terlihat iridoplegia dan iridodialisis (Ilyas
S. dan Yulianti S. R., 2019).

Gambar II.8. Hifema

Pengobatan dengan merawat pasien dengan tidur di tempat


tidur yang ditinggikan 30 derajat pada kepala, diberi koagulasi,
dan mata ditutup. Pada anak yang gelisah dapat diberikan obat
penenang. Asetazolamida diberikan bila terjadi penyulit glaukoma.
Biasanya hifema akan hilang sempurna. Bila berjalam penyakit
tidak berjalan demikian maka sebaiknya penderita dirujuk.
Parasentesis atau mengeluarkan darah dari bilik mata depan di
lakukan pada pasien dengan hifema bila terlihat tanda-tanda

23
imbibisi kornea, glaukoma sekunder, hifema penuh dan berwarna
hitam atau bila setelah 5 hari tidak terlihat tanda-tanda hifema akan
berkurang. Kadang-kadang sesudah hifema hilang atau 7 hari
setelah trauma dapat terjadi perdarahan atau hifema baru yang
disebut hifema sekunder yang pengaruhnya akan lebih hebat
karena perdarahan lebih sukar hilang. Glaukoma sekunder dapat
pula terjadi akibat kontusi badan siliar berakibat suatu reses sudut
bilik mata sehingga terjadi gangguan pengaliran cairan mata. Zat
besi di dalam bola mata dapat menimbulkan siderosis bulbi yang
bila didiamkan akan dapat menimbulkan ftisis bulbi dan kebutaan.
Hifema spontan pada anak sebaiknya dipikirkan kemungkinan
leukimia dan retinoblastoma (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).

Perdarahan sekunder dapat terjadi sesudah hari ketiga


terjadinya trauma. Hifema biasanya akan mengalami penyerapan
spontan. Bila mana hifema penuh, dan penyerapannya sukar, dapat
terjadi hemosiderosis kornea (penimbunan pigmen darah dalam
kornea), atau glaukoma sekunder. Apabila hifema tidak mengurang
dalam 5 hari dan tekanan bola mata meninggi, dilakukan tindakan
pembedahan mengeluarkan darah dari bilik mata depan
(parasentesis) (Anggraeny C., 2014).

Bedah Pada Hifema dilakukan parasentesis yang


merupakantindakan pembedahan dengan mengeluarkan darah atau
nanah dari bilik mata depan, dengan teknik sebagai berikut : dibuat
incisi kornea 2mm dari limbus ke arah kornea yang sejajar dengan
permukaan iris. Biasanya bila dilakukan penekanan pada bibir luka
maka koagulum dari bilik mata depan keluar. Bila darah tidak
keluar seluruhnya maka bilik mata depan dibilas dengan garam
fisiologik. Biasanya luka incisi kornea pada parasentesis tidak
perlu dijahit (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).

24
d. Iridosiklitis

Pada trauma tumpul dapat terjadi reaksi jaringan uvea


sehingga menimbulkan iridosiklitis atau radang uvea anterior. Pada
mata akan terlihat mata merah, akibat adanya darah di dalam bilik
mata depan maka akan terdapat suar dan puil yang mengecil
dengan tajam penglihatan menurun. Pada uveitis anterior diberikan
tetes mata midriatik dan steroid topikal. Bila terlihat tanda radang
berat maka dapat diberikan steroid sistemik. Sebaiknya pada mata
ini diukur tekanan bola mata untuk persiapan memeriksa
funduskopi dengan midriatika (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).

7. Kelainan pada Lensa

Trauma tumpul yang mengenai mata dapat menyebabkan


subluksasi lensa atau luksasi lensa (lensa mengalami perpindahan
tempat). Zonula Zinn dan badan kaca dapat menonjol ke dalam bilik
mata depan sebagai hernia. Pada umumnya lensa yang mengalami
dislokasi itu beberapa tahun kemudian akan mengalami katarak. Bila
trauma tumpul menimbulkan ruptur yang tidak langsung pada kapsul
lensa maka akan terjadi katarak. Baik subluksasi maupun luksasi lensa
dapat menimbulkan glaukoma sekunder atau iritasi mata. Dislokasi
lensa ataupun katarak akibat trauma tumpul dapat menyebabkan
pengurangan tajam penglihatan sampai kebutaan, perlu penanganan
dokter spesialis untuk dilakukan tindakan pembedahan katarak
(Anggraeny C., 2014).

a. Dislokasi lensa

Trauma tumpul lensa dapat mengakibatkan dislokasi lensa.


Dislokasi lensa terjadi pada putusnya zonula zinn yang akan

25
mengakibatkan kedudukan lensa terganggu (Ilyas S. dan Yulianti S.
R., 2019).

b. Subluksasi lensa

Subluksasi lensa terjadi akibat putusnya sebagian zunula zinn


sehingga lensa berpindah tempat. Subluksasi lensa dapat juga
terjadi spontan akibat pasien menderita kelainan pada zonula zinn
yang rapun (sindrom marphan). Pasien pasca trauma akan
mengeluh penglihatan berkurang subluksasi lensa akan memberikan
gambaran pada iris berupa iridodonesis. Akibat pegangan lensa
pada zonula tidak ada maka lensa yang elastis akan menjadi
cembung mendorong iris ke depan sehingga sudut bilik mata
tertutup. Bila sudut bilik mata menjadi sempit pada mata ini mudah
terjadi glaukoma sekunder. Subluksasi dapat mengakiatkan
glaukoma sekunder dimana terjadi penutupan sudut bilik mata oleh
lensa yang mencembung. Bila tidak terjadi penyulit subluksasi
lensa seperti glaukoma atau uveitis maka tidak dilakukan
pengeluaran lensa dan diberi kaca mata koreksi yang sesuai (Ilyas
S. dan Yulianti S. R., 2019).

c. Luksasi lensa anterior

Bila seluruh zonula zinn disekitar ekuator putus akibat trauma


maka lensa dapat masuk ke dalam bilik mata depan. Akibat lensa
terletak di dalam bilik mata depan ini maka akan terjadi gangguan
pengaliran keluar cairan bilik mata sehingga akan timbul glaukoma
kongestif akut dengan gejala-gejalanya. Pasien akan mengeluh
penglihatan menurun mendadak, disertai rasa sakit yang sangat,
muntah, mata merah dengan blefarospasme. Terdapat injeksi siliar
yang berat, edema kornea, lensa di dalam bilik mata depan. Iris
terdorong ke belakang dengan pupil yang lebar. Tekanan bola mata
sangat tinggi. Pada luksasi lensa anterior sebaiknya pasien

26
secapatnya dikirim pada dokter mata untuk dikeluarkan lensanya
dengan terlebih dahulu diberikan asetazolmida untuk menurunkan
tekanan bola matanya (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).

d. Luksasi lensa posterior

Pada trauma tumpul yang keras pada mata dapat terjadi luksasi
lensa posterior akibat putusnya zonula zinn di seluruh lingkaran
ekuator lensa sehingga lensa jatuh ke dalam badan kaca dan
tenggelam didataran bawah polus fundus okuli. Pasien akan
mengeluh adanya skotoma pada lapang pandangannya akibat lensa
mengganggu kampus. Mata ini akan menunjukkan gejala mata
tanpa lensa atau afakia. Pasien akan melihat normal dengan lensa
+12,0 dioptri untuk jauh, bilik mata depan dalam dan iris tremulans.
Lensa yang terlalu lama berada pada polus posterior dapat
menimbulkan penyulit akibat degenerasi lensa, berupa glaukoma
fakolitik ataupun uveitis fakotoksik. Bila luksasi lensa telah
menimbulkan penyulit sebaiknya secepatnya dilakukan ekstraksi
lensa (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).

e. Katarak Trauma

Katarak akibat cedera pada mata dapat akibta trauma perforasi


ataupun tumpul terlihat sesudah beberapa hari ataupun tahun. Pada
trauma tumpul akan terlihat katarak subkapsular anterior ataupun
posterior. Kontusio lensa menimbulkan katarak seperti bintang,
dandapat pula dalam bentuk katarak tercetak (imprinting) yang
disebut cincin Vossius. Trauma tembus akan menimbulkan katarak
yang lebih cepat, perforasi kecil akan menutup dengan cepat akibat
perforasi epitel sehinga bentuk kekeruhan terbatas kecil. Trauma
tembus besar pada lensa akan mengakibatkan terbentuknya katarak
dengan cepat disertai dengan terdapatnya masa lensa di dalam bilik
mata depan (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).

27
Pada keadaan ini akan terlihat secara histopatologik masa lensa
yang akan bercampur makrofag dengan cepatnya, yang dapat
memberikan bentuk endoftalmitis fakoanalitik. Lensa dengan
kapsul anterior saja yang pecah akan menjerat korteks lensa
sehingga akan mengakibatkan apa yang disebut sebagai cincin
Soemering atau bila epitel lensa berproliferasi aktif akan terlihat
mutiara Elsching. Pengobatan katarak traumatik tergantung pada
saat terjadinya. Bila terjadi pada anak sebaiknya dipertimbangkan
akan kemungkinkan terjadinya ambliopia. Untuk mencegah
ambliopia pada anak dapat dipasang lensa intra okular primer atau
sekunder (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).

Pada katarak trauma apabila tidak terdapat penyulit maka dapat


ditunggu sampai mata menjadi tenang. Bila terjadi penyulit seperti
glaukoma, uveitis, dan lain sebagainya maka segera dilakukan
ekstraksi lensa. Penyulit uveitis dan glaukoma sering dijumpai pada
orang usia tua. Pada beberapa pasien dapat terbentuk cincin
Soemmering pada pupil sehingga dapat mengurangi tajam
penglihatan. Keadaan ini dapat disertai perdarahan, ablasi retina,
uveitis atau salah letak lensa (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).

f. Cincin Vossius

Pada trauma lensa dapat terlihat apa yang disebut sebagai


cincin Vossius yang merupakan cincin berpigmen yang terletak
tepat di belakang pupil yang dapat terjadi segera setelah trauma,
yang merupakan deposit pigmen iris pada dataran depan lensa
sesudah sesuatu trauma, seperti suatu stempel jari. Cincin hanya
menunjukkan tanda bahwa mata tersebut telah mengalami suatu
trauma tumpul (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).

28
Gambar II.9 Cincin Vossius

8. Kelainan Pada Retina Dan Koroid

a. Edema retina dan koroid

Trauma tumpul pada retina dapat mengakibatkan edema retina,


penglihatan akan sangat menurun. Edema retina akan memberikan
warna retina yang lebih abu-abu akibat sukarnya melihat jaringan
koroid melalui retina yang sembab. Berbeda dengan oklusi arteri retina
sentral dimana terdapat edema retina kecuali daerah makula, sehingga
pada keadaan ini akan terlihat cherry red spot yang berwarna merah.
Edema retina akibat trauma tumpul juga mengakibatkan edema
makula sehingga tidak terdapat cherry red spot (Ilyas S. dan Yulianti
S. R., 2019).

29
Gambar II.10

Pada trauma tumpul yang paling ditakutkan adalah terjadi


edema makula atau edema berlin. Pada keadaan ini akan terjadi edema
yang luas sehingga seluruh polus posterior fundus okuli berwarna abu-
abu. Umumnya penglihatan akan normal kembali setelah beberapa
waktu, akan tetapi dapat juga penglihatan berkurang akibat
tertimbunnya daerah makula oleh sel pigmen epitel (Ilyas S. dan
Yulianti S. R., 2019).

b. Ablasi Retina

Trauma diduga merupakan pencetus untuk terlepasnya retina


dari koroid pada penderita ablasi retina. Biasanya pasien telah
mempunyai bakat untuk terjadinya ablasi retina ini seperti retina tipis
akibat retinitis semata, miopia, dan proses degenerasi retina lainnya.
Pada pasien akan terdapat keluhan seperti adanya selaput yang seperti
tabir menganggu lapang pandangannya. Bila terkena atau tertutup
daerah makula maka tajam penglihatan akan menurun. Pada
pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang berwarna abu-abu
dengan pembuluh darah yang terlihat terangkat dan berkelok-kelok.
Kadang-kadang terlihat pembuluh darah seperti yang terputus-putus.
Pada pasien dengan ablasi retina maka secepatnya dirawat untuk

30
dilakukan pembedahan oleh dokter mata (Ilyas S. dan Yulianti S. R.,
2019).

Gambar II.11 Ablasio Retina

9. Kelainan Pada Koroid

a. Ruptur Koroid

Pada trauma keras dapat terjadi perdarahan subretina yang


dapat merupakan akibat ruptur koroid. Ruptur ini biasanya terletak di
polus posterior bola mata dan melingkar konsentris di sekitar papil
saraf optic. Bila ruptur koroid ini terletak atau mengenai daerah
makula lutea maka tajam penglihatan akan turun dengan sangat.
Ruptur ini bila tertutup oleh perdarahan subretina agak sukar dilihat
akan tetapi bila darah tersebut telah diabsorbsi maka akan terlihat
bagian ruptur berwarna putih karena sklera dapat dilihat langsung
tanpa tertutup koroid (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).

10. Kelainan Pada Saraf Optik

a. Avulsi Papil Saraf Optik

Pada trauma tumpul dapat terjadi saraf optik terlepas dari


pangkalnya di dalam bola mata yang disebut sebagai avulsi papil saraf
optik. Keadaan ini akan mengakibatkan turunnya tajam penglihatan
yang berat dan sering berakhir dengan kebutaan. Penderita ini perlu

31
dirujuk untuk dinilai kelainan fungsi retina dan saraf optiknya (Ilyas S.
dan Yulianti S. R., 2019).

11. Optik Neuropati Traumatik

Trauma tumpul dapat mengakibatkan kompresi pada saraf optik,


demikian pula perdarahan dan edema sekitar saraf optik. Penglihatan
akan berkurang setelah cidera mata. Terdapat reaksi defek aferen pupil
tanpa adanya kelainan nyata pada retina. Tanda lain yang dapat
ditemukan adalah gangguan penglihatan warna dan lapang pandang.
Papil saraf optik dapat normal beberapa minggu sebelum menjadi
pucat. Diagnosis banding penglihatan turun setelah sebuah cidera mata
adalah trauma retina, perdarahan badan kaca, trauma yang
mengakibatkan kerusakan pada kiasma optik. Pengobatan adalah
dengan merawat pasien waktu akut dengan memberi steroid. Bila
penglihatan memburuk setelah steroid maka perlu dipertimbangkan
untuk pembedahan (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).

12. Perubahan tekanan bola mata

Trauma mata dapat menyebabkan perubahan tekanan bola mata


baik penurunan peninggian tekanan bola mata. Bila tekanan menjadi
rendah, yang pada perabaan dengan jari terasa lunak sekali,
menandakan adanya kerusakan dinding bola mata, yaitu terjadinya
ruptur bola mata. Pada umumnya letak ruptur itu di tempat yang lemah
di bagian sklera yang agak menipis seperti di daerah badan siliar atau
di kutub posterior bola mata. Bilamana tekanan bola mata naik,
terjadilah glaukoma sekunder. Glaukoma sekunder dapat timbul
segera, yaitu beberapa saat setelah kejadian trauma disebabkan oleh
banyaknya darah dalam bola mata atau hifema, dimana sel-sel darah
itu menyumbat jaringan trabekel dan saluran keluarnya (Anggraeny
C., 2014).

32
13. Kelainan gerakkan mata

Mata yang sehat dapat membuka dan menutup dengan mudah,


sedangkan bola matanya dapat digerakkan ke segala arah. Pada trauma
tumpul mata, ada kemungkinan terjadi gangguan gerakkan kelopak
mata berarti kelopak mata itu tidak dapat menutup atau tidak dapat
membuka dengan sempurna. Kelopak mata yang tidak dapat menutup
sempurna dinamakan lagoftalmos, disebabkan oleh kelumpuhan N
VII. Kelopak mata yang tidak dapat membuka dengan sempurna
disebut ptosis, hal ini disebabkan oleh adanya edema atau hematoma
kelopak superior. Pada trauma tumpul mata dapat terjadi gangguan
gerakkan bola mata yang disebabkan oleh perdarahan rongga orbita
atau kerusakan otot-otot mata luar (Anggraeny C., 2014).

Gambar. Lagoftalmos dan Ptosis

33
J. PENATALAKSANAAN
Hal-hal berikut ini sementara dapat dilakukan selama periode preoperative
adalah menggunakan pelindung pada mata, hindari penggunaan obat topikal atau
intervensi lainnya yang membuat kelopak mata harus dibuka, pasien dipuasakan
untuk persiapan operasi, sediakan medikasi yang sesuai untuk sedasi dan kontrol
nyeri, mulailah pemberian antibiotik IV, profilaksis tetanus, konsul bagian anestesi.
Trauma berhubungan dengan kontaminasi hal-hal yang kotor dan atau benda asing
intraokular yang tertahan membutuhkan perhatian khusus akan resiko Bacillus
endophtalmitis. Karena organisme ini dapat menghancurkan jaringan mata dalam 24
jam, terapi antibiotik yang efektif terhadap Bacillus diberikan intravena maupun
intravitreal, biasanya golongan fluoroquinolone (seperti levofloxacin, moxifloxacin),
clindamycin atau vancomycin dapat dipertimbangkan. Pembedahan untuk perbaikan
harus dilakukan sesegera mungkin pada kasus beresiko terinfeksi organisme ini
(Lubis R. R., 2014).
Terapi non pembedahan. Beberapa kasus trauma tembus ada yang sangat
minimal yang didapatkan dari pemeriksaan fisik awal dengan tidak ada kerusakan
intraokular, prolapsus, atau perlekatan.Kasus seperti ini mungkin hanya
membutuhkan terapi antibiotik sistemik maupun topikal selama pengawasan ketat.
Jika terdapat kebocoran di jaringan komea, tetapi ruang anterior tetap utuh, klinisi
bisa mencoba untuk menghentikan kebocoran dengan farmakologi menekan produksi
aqueous (misal dengan |3-blocker sistemik atau topikal), penutup yang dilekatkan ke
mata, dan atau suatu kontak lensa terapeutik. Umumnya, apabila tindakan ini gagal
untuk menutup luka dalam 2-3 hari, pembedahan untuk penutupan dengan jahitan
direkomendasikan (Lubis R. R., 2014).
Pembedahan dilakukan dengan tujuan utamanya adalah untuk
mengembalikan keutuhan dari bola mata. Tujuan sekunder untuk memenuhi
perbaikan primer yaitu mengembalikan penglihatan melalui perbaikan kerusakan
internal dan eksternal mata. Apabila prognosis penglihatan mata yang terpajan trauma
sangat tidak ada harapan dan pasien beresiko untuk terjadi simpatetik oftalmia,
tindakan enukleasi dapat dipertimbangkan. Tindakan anastesi umum hampir selalu

34
perlu untuk perbaikan dari trauma terbuka karena injeksi anestesi lokal di retrobulbar
maupun peribulbar meningkatkan tekanan orbita, yang bisa mengakibatkan
eksaserbasi atau ekstrusi dari isi intraokular. Setelah pembedahan selesai, injeksi
anestesi periokular dapat digunakan untuk kontrol nyeri paska operasi.
Pada trauma yang berat pemberian anestetik topikal, zat warna, dan obat
lainnya yang diberikan ke mata yang cedera harus steril. Kecuali untuk cedera yang
menyebabkan ruptur bola mata, sebagian besar efek kontusio-konkusio mata tidak
memerlukan terapi bedah segera. Namun, setiap cedera yang cukup parah untuk
menyebabkan perdarahan intraokular sehingga meningkatkan risiko perdarahan
sekunder dan glaukoma memerlukan perhatian yang serius, yaitu pada kasus hifema.
Kelainan pada palpebra dan konjungtiva akibat trauma tumpul, seperti edema dan
perdarahan tidak memerlukan terapi khusus, karena akan hilang sendiri dalam
beberapa
hari. Kompres dingin dapat membantu mengurangi edema dan menghilangkan nyeri,
dilanjutkan dengan kompres hangat pada periode selanjutnya untuk mempercepat
penyerapan darah.
Pada hifema, bila telah jelas darah telah mengisis 5% kamera anterior,
maka pasien harus tirah baring dan diberikan tetes steroid dan sikloplegik pada mata
yang sakit selama 5 hari. Mata diperiksa secara berkala untuk mencari adanya
perdarahan sekunder, glaukoma, atau bercak darah di kornea akibat pigmentasi
hemosiderin.
Penanganan hifema, yaitu :
1. Pasien tetap istirahat ditempat tidur (4-7 hari ) sampai hifema diserap.
2. Diberi tetes mata antibiotika pada mata yang sakit dan diberi bebat tekan.
3. Pasien tidur dengan posisi kepala miring 60º diberi koagulasi.
4. Kenaikan TIO diobati dengan penghambat anhidrase karbonat.
(asetasolamida).
5. Di beri tetes mata steroid dan siklopegik selama 5 hari.
6. Pada anak-anak yang gelisah diberi obat penenang

35
7. Parasentesis tindakan atau mengeluarkan darah dari bilik mata depan
dilakukan bila ada tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma sekunder,
hifema penuh dan berwarna hitam atau bilasetelah 5 hari tidak terlihat
tanda-tanda hifema akan berkurang.
8. Asam aminokaproat oral untuk anti fibrinolitik.
9. Evakuasi bedah jika TIO lebih 35 mmHg selama 7 hari atau lebih 50
mmH selama 5 hari.
10. Vitrektomi dilakukan bila terdapat bekuan sentral dan lavase kamar
anterior.
11. Viskoelastik dilakukan dengan membuat insisi pada bagian limbus.
K. KOMPLIKASI
Komplikasi dari terjadinya trauma pada mata antar alain adalah nyeri,
prolapsus struktur intraocular, perdarahan suprakoroidal, kontaminasi mikroba pada
jaringan, proliferasi mikroba ke dalam mata, migrasi epitel ke dalam jaringan,
inflamasi intraocular, ketidakmampuan lensa ditembus cahaya, hilangnya penglihatan
yang ireversibel, endophtalmitis, oftahnia simpatik, ablasio retina, katarak,
perdarahan di vitreous, retinal detachment (Lubis R. R., 2014).
L. PROGNOSIS

Prognosa baik apabila pada trauma segera mendapatkan penanganan.


Trauma tembus pada mata merupakan trauma yang serius dan mengancam
penglihatan, prognosisnya seringkali sangat buruk. Ada beberapa faktor prediktor
berkaitan dengan prognosis yang buruk misalnya akuisi visual yang menurun bahkan
hilang penglihatan, seperti defek pupil aferen, laserasi di kelopak, kerusakan lensa,
perdarahan vitreous dan adanya benda asing intraocular (Lubis R. R., 2014).

36
BAB III

KESIMPULAN

Trauma pada mata dapat mengakibatkan kerusakan pada bola mata dan
kelopak saraf mata serta rongga orbita. Trauma dapat mengenai jaringan mata :
kelopak, konjungtiva, kornea, uvea, lensa, retina, papil saraf optik, dan orbita.
Kejadian trauma mata dapat terjadi pada anak dan dewasa, akan tetapi anak lebih
rentan terkena. Macam-macam trauma seperti : trauma tumpul, trauma tembus bola
mata,trauma kimia, trauma radiasi

Trauma tumpul okuli adalah trauma pada mata yang diakibatkan benda
yang keras atau benda tidak keras dengan ujung tumpul, dimana benda tersebut dapat
mengenai mata dengan kencang atau lambat sehingga terjadi kerusakan pada jaringan
bola mata atau daerah sekitarnya. Penyebab dari trauma ini adalah : benda tumpul dan
benturan atau ledakan di mana terjadi pemadatan udara. Trauma tumpul yang
mengenai mata dapat menyebabkan robekan pada pembuluh darah iris, akar iris dan
badan silier sehingga mengakibatkan perdarahan dalam bilik mata depan.

Trauma tajam adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan


perlukaan mata, dimana mata ditembus oleh benda tajam atau benda berukuran kecil
dengan kecepatan tinggi yang menembus kornea atau sklera, trauma tajam mata dapat
diklasifikasikan atas luka tajam tanpa preforasi dan luka tajam dengan perforasi yang
meliputi perforasi tanpa benda asing inta okuler dan perforasi benda asing intra
okuler.

37
Tanda dan gejala trauma pada mata antara lain mata merah, rasa sakit,
mual dan muntah karena kenaikan Tekanan Intra Okuler (TIO), penglihatan kabur,
penurunan visus, infeksi konjungtiva, proses terjadinya trauma, benda apa yang
mengenai mata tersebut. Pada anamnesa dapat membantu dalam menegakan diagnose
hal yang ditanyakan seperti bagaimana arah datangnya benda, benda apa yg
menyebabkan trauma, kecepatan waktunya, bahan pada benda tersebut, dsb.
Pemeriksaan dapat dilakukan secara subyektif (untuk elihat penurunan penglihatan)
dan obyektif (yang tampak pada penderita) dilakukan dengan sentolop loupe, slit
lamp dan oftalmoskop.

Prinsip penanganan trauma tumpul bola mata adalah apabila tampak jelas
adanya ruptur bola mata, dapat dilakukan pembedahan kemudian diberikan antibiotic
dan antinyeri. Pada cedera mata yang cukup parah untuk menyebabkan perdarahan
intraokular sehingga meningkatkan risiko perdarahan sekunder dan glaukoma pada
kelainan di palpebra dan konjungtiva akibat trauma tumpul, seperti edema dan
perdarahan tidak memerlukan terapi khusus, karena akan hilang sendiri dalam
beberapa hari dan dapat dilakukan pengkompresan.

38
DAFTAR PUSTAKA
Akbar M., Helijanti N., Munir M. A., Sofyan A. 2019. Conjunctival Laceration Of
The Tarsalis Palpebra Inferior Et Causing By A Fishing Hook. Jurnal
Medical Profession (MedPro), Vol. 1, No. 2.
Amru, K. 2017. Evaluasi Penatalaksanaan Penderita Trauma Mata Di Rumah Sakit
Umum Pusat Dokter Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode 2015-2016.
Skripsi, Universitas Hasanuddin Makassar. Makassar.
Anggraini, C. 2014. Referat Trauma Tumpul Mata. Universitas Trisakti. Jakarta.
Budiono S. 2013. Buku ajar Ilmu Kesehatan Mata. Jakarta: Airlangga University
Press.
Ilyas S. dan Yulianti S. R. 2019. Ilmu Penyakit Mata Jakarta : Badan Penerbit FKUI
Lubis R. R. 2014. Trauma Tembus Pada Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.

39

Anda mungkin juga menyukai