Anda di halaman 1dari 26

Laporan Kasus

PROPTOSIS OS ET CAUSA

PSEUDOTUMOR ORBITA

Oleh :

dr. Kevin

Pembimbing :

dr. Robby Tumewu, Sp.M

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1


ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Proptosis atau penonjolan bola mata merupakan salah satu tanda dari penyakit pada
orbita. Etiologi dari proptosis itu sendiri dapat berupa infeksi, radang, neoplastik, atau
vaskular. Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dilakukan untuk
mencari etiologi dari proptosis. Penonjolan axial disebabkan karena lesi-lesi pada intrakonal.
Sedangkan penonjolan nonaxial disebabkan lesi ekstrakonal. Proptosis unilateral pada anak-
anak sering disebabkan oleh selulitis orbita sedangkan pada bilateral proptosis biasanya
terjadi karena Grave’s disease, lymphoma, vasculitis, pseudotumor, tumor metastatik, carotid
cavernous fistula, cavernous sinus trombosis, leukemia, dan neuroblastoma.
Pemeriksaan klinis untuk mengevaluasi penyebab proptosis harus dilakukan secara lengkap
sehingga dapat dikelola dengan tepat. Ada beberapa tahap pemeriksaan : 1
1. Anamnesis
Riwayat penyakit dapat membantu menduga penyebab proptosis. Dari
anamnesis dapat ditanyakan adanya riwayat trauma atau penambahan
proptosis saat pasien membungkuk (mengarah ke proptosis akibat
malformasi arteri vena), onset lama atau tiba-tiba (pada infeksi),
kemudian ditanyakan tanda-tanda infeksi lain seperti adanya panas badan
meningkat, atau adanya penyakit sinusitis atau abses gigi. Dapat
ditanyakan juga tanda-tanda penyakit tiroid, seperti tremor, sifat gelisah
yang berlebihan, berkeringat banyak atau adanya penglihatan ganda.
Bila dari pertanyaan ini tidak didapat jawaban, maka dapat diarahkan pada
penyakit tumor, kemungkinan tumor retrobulber. Anamnesis yang penting
untuk tumor adalah
i. Onset, karena umumnya proptosis terjadi lebih lambat pada tumor
jinak dan cepat pada tumor ganas.
ii. Umur, dapat menentukan jenis tumor, yaitu tumor anak-anak dan
tumor dewasa
iii. Tajam penglihatan penderita, apakah menurun bersamaan dengan
terjadinya proptosis atau tidak. Jika bersamaan, dapat diduga tumor
terletak di daerah apex atau saraf optik.
2
iv. Adanya tanda klinis lain tumor ganas seperti rasa sakit, atau berat
badan menurun
v. Riwayat penyakit keganasan di organ lain, untuk mengetahui
kemungkinan metastase.

2. Pemeriksaan Mata
Pemeriksaan mata secara teliti sangat diperlukan,antara lain pada visus,
adanya penurunan visus dapat dicurigai adanya tumor di intrakonal.
Perhatikan pula perubahan pada struktur organ lainnya, seperti
palpebra(jaringan parut, retraksi palpebra atau perdarahan), konjungtiva,
kornea(erosi akibat penonjolan bola mata yang menyebabkan lagoftalmus),
kamera okuli anterior, iris(nevi, neovaskularisasi), pupil (reflek pupil),
fundus(atrofi papil atau edema papil, striae retina). Pemeriksaan dapat
dilanjutkan pada otot bola mata, lapang pandang dan tekanan intraokular.

3. Pemeriksaan Orbita
i. Pengukuran Proptosis, untuk mengetahui derajat proptosis
dengan membandingkan ukuran kedua mata.
Normalnya nilai penonjolan tidak melebihi 20 mm atau beda
kedua mata tidak lebih dari 3 mm. Pengukuran dilakukan
dengan eksoftalmometer Hertel.

Gambar 3. Pemeriksaan dengan Eksoftalmometer Hertel 5

ii. Posisi proptosis, perlu diketahui karena letak tumor biasanya


sesuai dengan jaringan yang berada di orbita. Ada 2 jenis
posisi, yaitu sentrik dan eksentrik. Posisi sentrik biasanya
3
disebabkan tumor yang berada di konus. Sedangkan posisi
eksentrik harus dilihat dari arah terdorongnya bola mata untuk
memperkirakan tumor.
iii. Palpasi, dinilai konsistensi tumor, pergerakan dari dasarnya,
adanya rasa nyeri pada penekanan, serta permukaan tumor.
iv. Pulsasi dan bruits.
v. Ocular movement, gerakan okular mungkin terbatas pada arah
tertentu oleh karena adanya massa atau proses inflamasi.
A. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Primer
a. Computed Tomography, adalah teknik fotografi yang menggambarkan satu
lapisan tubuh pada suatu kedalaman tertentu, dan dapat digunakan untuk
merekonstruksi setiap bagian dan setiap potongan. Gambar orbital dapat
diperoleh pada potongan aksial, yaitu sejajar dengan saraf optik.
Pada potongan koronal, akan menunjukkan mata, saraf optik, dan otot luar
mata, sedangkan pada potongan sagital, sejajar dengan nasal septum. 1,4
b. MRI (Magnetic Resonance Imaging), adalah suatu alat pemeriksaan yang
bersifat non invasif, karena tidak menggunakan radiasi ionisasi, sehingga tidak
menimbulkan efek biologik. Pada dasarnya, MRI merupakan interaksi dari 3
komponen, yaitu atomic nuclei possessing, gelombang radiofrekuensi dan
bidang magnetik. Setiap jaringan orbita memiliki parameter resonansi magnet
yang berbeda-beda, yang kemudian ditangkap menjadi data, lalu diubah
menjadi gambar oleh komputer. Kelebihan MRI adalah tidak menggunakan
sinar X, gambar yang terjadi lebih rinci, dan dapat menghitung biokimia
jaringan, dan relatif jarang menimbulkan kerusakan jaringan. 1,4
c. Ultrasonografi Orbita (USG Orbita), biasanya digunakan untuk pemeriksaan
pasien dengan kelainan orbita. Ukuran, bentuk dan posisi dari jaringan normal
dan abnormal dapat diketahui dengan teknik ultrasound. Gambaran 2 dimensi
jaringan dapat dilihat dengan B scan Ultrasonography. Pada A scan,
gambarannya hanya satu dimensi dari jaringan lunak orbita, ditandai dengan
spike yang bervariasi dari panjang dan tingginya tergantung dari karakteristik
tiap jaringan. Untuk Doppler ultrasonography, dapat memberikan informasi
khusus mengenai aliran darah (misalnya, kecepatan dan arah aliran darah pada
4
pasien dengan penyakit vaskular oklusi pembuluh darah atau kelainan lain
yang terkait dengan peningkatan aliran darah). Tetapi kekurangan dari
ultrasonography adalah keterbatasan dalam menilai lesi di osterior orbita
(karena redaman suara) atau sinus atau ruang intrakranial (karena suara tidak
dapat melewati udara atau tulang). 1,4

2. Pemeriksaan Sekunder
Pemeriksaan sekunder biasanya dilakukan dengan indikasi, pada kasus-kasus
tertentu. Termasuk dalam pemeriksaan sekunder adalah venography,
arteriography, serta CT dan MR angiography. 1,4
a. Venography, digunakan untuk menilai kelainan varises dan sinus kavernosus
dengan menyuntikkan kontras di vena frontal atau vena angularis. Karena
aliran darah akan menghasilkan sinyal kosong pada MRI, abnormalitas vena
yang lebih besar dan strukturnya dapat divisualisasikan dengan baik pada MR
venography. Pada beberapa malformasi pembuluh darah orbitocranial atau
fistula, paling baik diakses melalui vena oftalmika superior. 1,4
b. Arteriography, adalah gold standard untuk mendiagnosa kelainan arteri seperti
aneurisma dan malformasi arteri-vena. Kateter retrograde pada pembuluh
darah cerebral dilakukan lewat arteri femoralis. Namun, dapat terjadi
komplikasi neurologis dan pembuluh darah karena teknik pemasangan kateter
dan suntikan pewarna radiopak ke dalam sistem arteri, tes ini digunakan untuk
pasien dengan probabilitas tinggi dengan lesi. Pemeriksaan ini dianjurkan bila
terdapat kesulitan membedakan massa dengan kelainan vaskular. Indikasi
arteriografi harus benar-nbenar terseleksi pada penderita terutama pada
penderita dngan lesi intrakranial atau lesi arterial seperti aneurisma. 1,4
c. CT dan MR Angiography, pemeriksaan ini memungkinkan untuk pemeriksa
dalam mendapatkan gambaran tentang arteri-vena malformasi, aneurysma, dan
arteriovenous fistula, tetapi disertai resiko dan ketidaknyamanan pasien
dengan pemasangan kateter intravaskular dan penyuntikan material kontras.
MR angiography kurang sensitif dibanding dengan direct angiography untuk
mengidentifikasi carotid atau dural cavernous sinus fistula.

5
d. Saat memutuskan untuk melakukan pemeriksaan, ahli mata sebaiknya
berdiskusi dengan ahli radiologi tentang suspek lesi dan menentukan
pemeriksaan imaging yang terbaik untuk pasien. 1,4

3. Patologi
Pemeriksaan patologi anatomi adalah pemeriksaan penunjang akhir yang
menentukan diagnosis, spesimen jaringan didapatkan dari tindakan orbitotomi
untuk mengambil lesi tersebut. Cara pemeriksaan yang bisa digunakan adalah
frozen section. Frozen section adalah sarana untuk menegakkan diagnosis
histopatologik dengan cepat, saat penderita masih di kamar bedah. Cara ini
dipakai pada pengelolaan proses keganasan, yang memungkinkan ahli bedah
melanjutkan tindakan bedahnya atau terapi definitif lain yang diperlukan. Indikasi
frozen section yang spesifik adalah: 1,4
1. Menentukan jenis penyakit, apakah tumor tersebut hanya merupakan suatu
peradangan atau neoplasma. Bila tumor merupakan neoplasma, potong beku
menentukan tumor jinak atau ganas
2. Identifikasi jaringan
3. Menentukan luas penyakit, menetapkan batas sayatan atau menetapkan ada
tidaknya metastasis di dalam kelenjar limfe
4. Menentukan apakah jaringan biopsi sudah adekuat

Pseudotumor Orbita

Pseudotumor orbita merupakan radang di jaringan sekitar mata (orbit dan adneksa).

Radang orbital sering terlihat seperti tumor dan karena itu disebut pseudotumor orbital.

Pseudotumor Orbital bukan merupakan kanker.

Etiologi pseudotumor orbital tidak diketahui, namun dari beberapa penelitian mengatakan

infeksi dan gangguan autoimun dapat menyebabkan terjadinya pseudotumor orbita.

Manifestasi okular dari pseudotumor orbital mungkin termasuk edema periorbital ,

eritema, proptosis, ptosis, diplopia dan nyeri. CT-Scan biasanya menunjukan infiltrate difus

6
dari orbit, perdangan pada dinding mata (sclera). Pemeriksaan biopsy dapat sangat membantu

dalam mendiagnosis.

Pemeriksaan patologi pada Pseudotumor orbit menunjukkan adanya infiltrate


pleomorphic seluler yang terdiri dari limfosit, sel plasma, dan eosinophil dengan berbagai
derajat reaksi fibrosis. Pengobatan kortikosteroid masih yang paling umum terapi pilihan
pertama dengan hasil baik.
Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus proptosis pada anak berusia 10 tahun yang
disebabkan oleh pseudotumor orbit dd/ selulitis orbita di RSUP Prof R.D. Kandou Manado

7
BAB II

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Mardani Modeong

Umur : 10 tahun

Pekerjaan : Siswa

Suku/Bangsa : Minahasa/Indonesia

Alamat : Bolaang Mongondow

Agama : Islam

B. Anamnesis

1. Keluhan Utama

Nyeri dan mata kiri sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit.

2. Riwayat penyakit sekarang

Pasien merasa nyeri dan bengkak pada mata kiri, nyeri dirasakan sejak 4 hari
sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya pasien tertimpa buah kelapa di bagian
belakang kepala sebelah kiri sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit. Kemudian
mata kiri pasien mulai bengkak dan nyeri jika digerakkan. Pasien juga menderita
demam sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit. Bengkak timbul secara
perlahan. Riwayat pingsan setelah trauma disangkal, riwayat sakit kepala dan
muntah-muntah (+).

3. Riwayat penyakit sistemik

Tidak ada

4. Riwayat penyakit dahulu

8
Pasien belum pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya.

5. Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada keluarga pasien yang mengalami sakit seperti ini.

6. Riwayat kebiasaan

Riwayat merokok (-), riwayat minum alkohol (-).

C. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan umum : tampak sakit ringan

Keadaan sakit : sakit ringan


Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah : 90/60 mmHg

Nadi : 78 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup

Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 39oC
2. Status Oftalmikus

Okulus Dextra Okulus Sinistra


Visus 6/6 6/12
Tekanan Intraokuler Normal/palpasi Normal/palpasi
Segmen Anterior
Palpebra Edema (-) Edema (+)
Injeksi (+) perdarahan (-)
Konjungtiva Dalam Batas Normal

jernih
Kornea Jernih

COA Cukup dalam Cukup dalam


Bulat diameter 3mm Bulat diameter 3mm
Iris/Pupil isokor, refleks cahaya (+), isokor, refleks cahaya
RCTL (+), jernih (+), RCTL (+), jernih

9
Lensa Jernih Jernih
Segmen Posterior
Refleks fundus (+) uniform (+) uniform
Retina perdarahan (-) sde
Bulat, batas tegas, warna
Papil N. II sde
vital , CPR 0,3
Makula Refleks fovea (+) sde

Laboratorium: : Leukosit 12700 /µL

Diagnosis : Selulitis orbita OS

D. Tatalaksana

1. Medikamentosa

Pasien ini diberikan penatalaksanaan:

Ceftriaxone inj 2x1,5 gr

Metronidazole 3 x 250mg
10
Lyteers 3 x 1gtt OS

Levofloxacin 3 x 1 gtt

Gentamicin 3 x 1 app OS

2. Non-Medikamentosa

- Kompres dingin tiap 8 jam

- Menjaga kebersihan mata

FOLLOW UP
28/11/2017
S : Mata kiri nyeri, kabur, disertai menonjol keluar.
O:
Okulus Dextra Okulus Sinistra
Visus 6/6 6/12
Tekanan Intraokuler Normal/palpasi Normal/palpasi
Segmen Anterior
Edema superior et
Palpebra Edema (-) inferior (+), proptosis
(+)
Injeksi (+) perdarahan (-),

Konjungtiva Dalam Batas Normal kemosis (+)

jernih
Kornea Jernih

COA Cukup dalam Cukup dalam


Bulat diameter 3mm Bulat diameter 3mm
isokor, refleks cahaya (+), isokor, refleks cahaya
Iris/Pupil
RCTL (+), jernih (+), RCTL (+), jernih

Lensa Jernih Jernih

11
Segmen Posterior
Refleks fundus (+) uniform (+) uniform
Retina perdarahan (-) Perdarahan(-)
Bulat, batas tegas, warna Hiperemis(+), batas tidak
Papil N. II
vital , CPR 0,3 tegas daerah superonasal
Makula Refleks fovea (+) Refleks fovea (+)

A : Proptosis ec Selulitis Orbita OS


P: Ceftriaxone inj 2x1,5 gr
Metronidazole 3x250 mg tab
Levofloxacin 3 x 1 gtt
Gentamicin Zalf mata 3x1 app os

Lyteers ED 6x1 gtt os

29/11/2017
S : Mata kiri nyeri dan kabur, semakin menonjol keluar
O:
Okulus Dextra Okulus Sinistra
Visus 6/9 2/60
Tekanan Intraokuler Normal/palpasi Normal/palpasi
Segmen Anterior
Edema superior et inferior (+),
Palpebra Edema (-)
proptosis (+)
Injeksi (+) perdarahan (-),
kemosis (+)
Konjungtiva Dalam Batas Normal

jernih
Kornea Jernih

COA Cukup dalam Cukup dalam


Bulat diameter 3mm isokor,
Bulat diameter 3mm isokor, refleks
refleks cahaya (+), RCTL (+),
Iris/Pupil cahaya (+), RCTL (+), jernih
jernih

Lensa Jernih Jernih

12
Segmen Posterior
Refleks fundus (+) uniform (+) uniform
Retina perdarahan (-) Perdarahan(-)
Bulat, batas tegas, warna vital , Hiperemis(+), batas tidak tegas
Papil N. II
CPR 0,3 daerah superonasal
Makula Refleks fovea (+) Refleks fovea (+)

A : Selulitis Orbita OS
P: Ceftriaxone inj 2x1,5 gr
Metronidazole 3x250 mg tab
Levofloxacin 3 x 1 gtt
Gentamicin Zalf mata 3x1 app os

Lyteers ED 6x1 gtt os

Konsul divisi Neuro Ophthalmology

29/11/2017 (Div.NO)
S : Mata kiri nyeri dan kabur
O:
Okulus Dextra Okulus Sinistra
Visus 6/9 2/60
Tekanan Intraokuler Normal/palpasi Normal/palpasi
Segmen Anterior
Edema superior et inferior (+),
Palpebra Edema (-)
proptosis (+), Ptosis (+)
Infeksi (+) perdarahan (-),
kemosis (+)
Konjungtiva Dalam Batas Normal

jernih
Kornea Jernih

COA Cukup dalam Agak dangkal


Bulat diameter 3mm isokor,
Bulat diameter 3mm isokor, refleks
refleks cahaya (+), RCTL (+),
Iris/Pupil cahaya (+), RCTL (+), jernih
jernih

Lensa Jernih Jernih


Segmen Posterior

13
Refleks fundus (+) uniform (+) uniform
Retina perdarahan (-) Perdarahan(-)
Bulat, batas tegas, warna vital , Hiperemis(+), batas tidak tegas
Papil N. II
CPR 0,4 daerah superonasal, warna vital
Makula Refleks fovea (+) Refleks fovea (+)

Ishihara ODS : 21/21


BST : OD=OS
CST : OD=OS
CT : OD=OS
Amsler grid ODS : Baik
Hertel eksoftalmometer ODS : 18 mm / 28 mm
Bruit : (-)
Pergerakkan bola mata

100 100 100 0 0 0

100 100 0 0

100 100 100 100 0 0 0

A : Proptosis ec Pseudotumor Orbita OS dd/ Selulitis Orbita


P: Metilprednisolon tab 3x4 mg
Na Diclofenac 3x25 mg

14
30/11/2017
S : Mata kiri nyeri dan bengkak
O:
Okulus Dextra Okulus Sinistra
Visus 6/6 6/60
Tekanan Intraokuler Normal/palpasi N+1/palpasi
Segmen Anterior
Edema (+),hiperemis (+),
Palpebra Edema (-)
Ptosis(+), Proptosis (+)
Injeksi (+) perdarahan (-),

Konjungtiva Dalam Batas Normal kemosis (+)

Jernih
Kornea Jernih

COA Cukup dalam Agak dangkal


Bulat diameter 3mm isokor, Bulat diameter 3mm isokor,
refleks cahaya (+), RCTL (+), refleks cahaya (+), RCTL (+),
Iris/Pupil
jernih jernih

Lensa Jernih Jernih


Segmen Posterior
Refleks fundus (+) uniform (+) uniform
Retina perdarahan (-) Perdarahan(-)
Papil N. II Bulat, batas tegas, warna vital , Hiperemis(+), batas tidak

15
CPR 0,3 tegas daerah superonasal
Makula Refleks fovea (+) Refleks fovea (+)

A : Proptosis ec Pseudotumor Orbita OS dd/ Selulitis Orbita P : Ceftriaxone inj 2x1,5 gr


Metronidazole 3x250 mg tab
Levofloxacin 3 x 1 gtt
Gentamicin Zalf mata 3x1 app os

Lyteers ED 6x1 gtt os

30/11/2017 (Div.NO)
S : Mata kiri menonjol, nyeri (-), demam (-)
O:
Okulus Dextra Okulus Sinistra
Visus 6/6 6/60
Tekanan Intraokuler Normal/palpasi Normal/palpasi
Segmen Anterior
Edema superior et
Palpebra Edema (-) inferior (+), proptosis
(+), Ptosis (+)
Infeksi (+) perdarahan (-),

Konjungtiva Dalam Batas Normal kemosis (+)

jernih
Kornea Jernih

COA Cukup dalam Agak dangkal


Bulat diameter 3mm Bulat diameter 3mm
isokor, refleks cahaya (+), isokor, refleks cahaya
Iris/Pupil
RCTL (+), jernih (+), RCTL (+), jernih

Lensa Jernih Jernih

16
Segmen Posterior
Refleks fundus (+) uniform (+) uniform
Retina perdarahan (-) Perdarahan(-)
Hiperemis(+), batas
Bulat, batas tegas, warna
Papil N. II tidak tegas daerah
vital , CPR 0,3
superonasal, warna vital
Makula Refleks fovea (+) Refleks fovea (+)

Ishihara ODS : 21/21 / 21/21


BST : OD=OS
CST : OD=OS
CT : OD=OS
Amsler grid ODS : Baik
Hertel eksoftalmometer ODS : 18 mm / 28 mm
Pergerakkan bola mata

100 100 100 0 0 0

100 100 0 0

100 100 100 100 0 0 0

A : Proptosis ec Pseudotumor Orbita OS dd/ Selulitis Orbita


P: Metilprednisolon tab 3x4 mg
Na Diclofenac 3x25 mg

1/12/2017

S : Mata kiri menonjol, nyeri (-), demam (-)


O:

17
Okulus Dextra Okulus Sinistra
Visus 6/6 6/60
Tekanan Intraokuler Normal/palpasi Normal/palpasi
Segmen Anterior
Edema (+),hiperemis (+),
Palpebra Edema (-)
Ptosis(+), Proptosis (+)
Injeksi (+) perdarahan (-),

Konjungtiva Dalam Batas Normal kemosis (+)

Abrasi(+)
Kornea Jernih

COA Cukup dalam Agak dangkal


Bulat diameter 3mm isokor, Bulat diameter 3mm isokor,
refleks cahaya (+), RCTL (+), refleks cahaya (+), RCTL (+),
Iris/Pupil
jernih jernih

Lensa Jernih Jernih


Segmen Posterior
Refleks fundus (+) uniform (+) uniform
Retina perdarahan (-) Perdarahan(-)
Bulat, batas tegas, warna vital , Hiperemis(+), batas tidak
Papil N. II
CPR 0,3 tegas daerah superonasal
Makula Refleks fovea (+) Refleks fovea (+)

5/12/2017

S : Nyeri (-), demam (-), penonjolan mata kiri berkurang


O:
Okulus Dextra Okulus Sinistra
Visus 6/6 6/20
Tekanan Intraokuler Normal/palpasi Normal/palpasi
Segmen Anterior
Edema(+),Ptosis(-), Proptosis
Palpebra Edema (-)
(+)

18
Infeksi (+) perdarahan (-),

Konjungtiva Dalam Batas Normal kemosis (+)

jernih
Kornea Jernih

COA Cukup dalam Agak dangkal


Bulat diameter 3mm isokor, Bulat diameter 3mm isokor,
refleks cahaya (+), RCTL (+), refleks cahaya (+), RCTL (+),
Iris/Pupil
jernih jernih

Lensa Jernih Jernih


Segmen Posterior
Refleks fundus (+) uniform (+) uniform
Retina perdarahan (-) Perdarahan(-)
Bulat, batas tegas, warna vital , Hiperemis(+), batas tidak
Papil N. II
CPR 0,3 tegas daerah superonasal
Makula Refleks fovea (+) Refleks fovea (+)
Ishihara ODS : 21/21 / 21/21
BST : OD=OS
CST : OD=OS
CT : OD=OS
Amsler grid ODS : Baik
Hertel eksoftalmometer ODS : 18 mm / 24 mm
Pergerakkan bola mata

100 100 100 90 90 90

100 100 90 90

100 100 100 90 90 90

19
A : Proptosis ec Pseudotumor Orbita OS
P: Ceftriaxone inj 2x1,5 gr STOP
Metronidazole 3x250 mg tab STOP
Gentamicin Zalf mata 3x1 app os

Lyteers ED 6x1 gtt os

Levofloxacin 3 x 1 gtt

Metilprednisolon tab 3x4 mg


Na Diclofenac 3x25 mg
Rawat Jalan

20
CT SCAN : Kesan : Selulitis Orbita disertai suspek retrobulbar hemorrhage OS, tulang intak.

Jawaban Konsul THT : Susp. Sinusitis Maxilaris + cerumen +/+

Penanganan : Ofloxacin 2 x 4 gtt AD

Terapi antibiotik sesuai TS

21
RESUME

Pasien anak laki-laki 10 tahun datang ke IGD Mata RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
dengan keluhan nyeri mata kiri sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien merasa nyeri
dan bengkak pada mata kiri, nyeri dirasakan sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit.
Sebelumnya pasien tertimpa buah kelapa di bagian belakang kepala sebelah kiri sejak 10 hari
sebelum masuk rumah sakit. Kemudian mata kiri pasien mulai bengkak dan nyeri jika
digerakkan. Pasien juga menderita demam sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit.

Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan. Demam (+)Pada
pemeriksaan visus didapatkan mata kiri 6/6 dan mata kanan 6/12. Pada pemeriksaan segmen
anterior didapatkan palpebra mata kiri edema (+) dan kanan dalam batas normal. Pada
pemeriksaan konjungtiva mata kiri injeksi (+), kemosis (+) dan tidak ada perdarahn.
Pemeriksaan iris dan pupil dalam batas normal. Pemeriksaan lensa jernih pada kedua mata.
Leukositosis (+). CT scan: selulitis orbita OS dan suspek perdarahan retrobulbar OS. Jawaban
Konsul THT : Susp. Sinusitis Maxilaris + cerumen +/+

Pada hari rawat kedua, mata kiri pasien mengalami penurunan visus menjadi 2/60, proptosis
(+) Hertel 18/28, injeksi konjungtiva dan kemosis, pergerakan bola mata kiri terhambat ke
segala arah, Ishihara, BST, CST, CT dalam batas normal. Bruit (-).

Diagnosis kerja proptosis ec pseudotumor orbita OS dd/ selulitis orbita. Pasien diterapi
dengan antibiotik intravena, analgetik, steroid, dan NSAIDS.

Visus membaik di hari rawat ke sepuluh (VOS 6/20). Proptosis berkurang dengan Hertel
18/24 mm. Nyeri dan demam (-). Pasien dipulangkan dengan obat per oral.

22
BAB III

DISKUSI

Penyebab tersering proptosis pada anak-anak adalah infeksi terutama selulitis orbita
bakterial. Pada awalnya, diagnosis pada pasien ini adalah selulitis orbita yang ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan
kepustakaan, selulitis orbita ditandai dengan adanya edema palpebara, proptosis,
terhambatnya pergerakan bola mata dan nyeri pada pergerakan bola mata, demam, dan
adanya leukositosis. Pasien pada kasus ini menunjukkan semua tanda di atas sehingga
diagnosis proptosis ec selulitis orbita dapat ditegakkan, selulitis orbita juga sering disertai
dengan fokus infeksi lain berupa sinusitis pada sinus paranasal. Pada pasien ini didapatkan
adanya supek sinusitis berdasarkan hasil konsul ke THT sehingga menunjang diagnosis
selulitis orbita. Diagnosis juga ditunjang oleh hasil pemeriksaan CT scan. Diferensial
diagnosis lain untuk kasus proptosis pada kasus ini adalah carotid-cavernous fistula (CCF),
nonspecific orbital inflammation (NSOI), tumor jinak dan tumor ganas orbita.
Satu hal yang menarik dari kasus ini ialah proptosis yang meningkat pada hari rawat
kedua dan tidak mengalami perbaikan hingga hari rawat ke sepuluh proptosis terebut
mengalami perbaikan secara tiba-tiba sehingga dipikirkan kemungkinan diagnosis CCF
mengingat adanya riwayat trauma kepala pada pasien, tetapi diagnosis ini dapat disingkirkan
karena tidak didapatkan adanya bruit dan tidak ada proptosis bilateral seperti yang disebutkan
dalam kepustakaan. Selain itu, bagian Neurologi juga melakukan pemeriksaan penunjang
berupa transcranial Doppler dan tidak didapatkan adanya fistula.
Diagnosis tumor orbita pada pasien ini dapat disingkirkan karena tidak ditemukan
adanya massa pada pemeriksaan CT scan, saran pemeriksaan untuk kasus proptosis adalah
MRI kepala sentrasi orbita dengan kontras untuk mencari kelainan pada soft tissue jaringan
orbita. Pada pasien ini pemeriksaan direncanakan untuk mencari penyebab proptosis selain
selulitis orbita seperti apakah ada massa maupun perdarahan retrobulbar tetapi tidak jadi
dilakukan karena pada hari rawat ke sepuluh didapatkan berkurangnya proptosis secara tiba-
tiba yang menunjukkan adanya perbaikan.
Pada hari rawat inap selanjutnya, didapatkan bahwa proptosis yang tidak membaik
meski diberikan antibiotic sistemik dan menunjukkan penurunan leukosit dan hilangnya
demam membuat diagnosis selulitis orbita diragukan. Akhirnya diagnosis Pseudotumor orbita
ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis yaitu adanya proptosis, nyeri, kemosis, dan
23
gangguan pergerakan bola mata. Menurut kepustakaan, pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan untuk menunjang diagnosis pseudotumor orbita adalah CT Scan atau MRI sentrasi
orbita untuk melihat adanya penebalan jaringan otot ekstraokular karena inflamasi non
spesifik.
Proptosis dan edema yang menetap pada kasus ini terutama disebabkan karena adanya
edema akibat inflamasi non spesifik dari pseudotumor orbita yang bisa ditangani dengan
pemberian steroid atau NSAIDS. Setelah diselidiki, ternyata pasien ini tidak mau meminum
obat tersebut dengan alasan pahit dan selama perawatan obat itu disimpan diam-diam di
bawah bantal pasien. Setelah dilakukan edukasi pada pasien, akhirnya pasien mau minum
obat tersebut dan pada hari rawat ke sepuluh dalam satu malam terjadi perbaikan pada
proptosis dan menurunnya edema secara bermakna. Pada kasus ini memberikan pembelajaran
bahwa compliance atau kepatuhan pasien terhadap terapi dari dokter merupakan salah satu
faktor utama dalam usaha kuratif terhadap penyakit sehingga dibutuhkan adanya pengawasan
yang ketat baik dari pihak tenaga medis, paramedis, dan keluarga pasien.

24
BAB V

KESIMPULAN

Proptosis merupakan tanda kelainan pada orbita yang memiliki beberapa etiologi.
Etiologi dari proptosis dapat berupa infeksi seperti selulitis orbita, inflamasi seperti NSOI,
vaskuler dan trauma seperti CCF, maupun tumor jinak maupun ganas. Evaluasi terhadap
proptosis untuk menegakkan diagnosis pasti dan etiologi harus dilakukan secara sistematis
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang adekuat.

Pasien proptosis pada kasus ini merupakan proptosis yang disebabkan oleh
pseudotumor orbita berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
dengan diagnosis banding berupa CCF, selulitis orbita, perdarahan retrobulbar, dan massa.
Namun, semua diagnosis banding ini dapat disingkirkan karena adanya perbaikan setelah
dilakukan terapi terutama proptosis yang berkurang dengan steroid dan NSAIDS.

Proptosis yang menetap selama perawatan disebabkan karena ketidakpatuhan pasien


terhadap instruksi dokter sehingga edukasi dan pengawasan yang ketat terhadap semua pasien
oleh tenaga medis, paramedis, maupun keluarga merupakan hal yang penting dalam tata
laksana sebuah penyakit.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology Staff. Evaluation of Orbital Disorders. In: American


Academy of Ophthalmology Staff, editor. Orbit, Eyelid and Lacrimal System. Basic and
Clinical Science Course. Sec 7. San Fransisco: The foundation of American Academy of
Ophthalmology; 2014-2015.
2. American Academy of Ophthalmology Staff. Orbital Disorders. In: American Academy of
Ophthalmology Staff, editor. Pediatric Ophthalmology and Strabismus. Basic and Clinical
Science Course. Sec 6. San Fransisco: The foundation of American Academy of
Ophthalmology; 2014-2015.
3. Kanski J. 2010 Clinical Ophtalmology a Systemic Approach. Philadelphia :
Butterworth Heinemann Elsevier. Page : 175-176.
4. Barry, Seltz L. Microbiology and Antibiotic Management of Orbital Cellulitis.
Pediatric Official Journal of The Academy of Pediatric. 2011.
5. Esther, Hong S MD. Orbital Cellulitis in a Child. Akses November 2011, 4. Page 1-8
6. Nageswaran S. Orbital Celulitis in children. Pediatric Inf Dis J. Aug 2006; 217-20
7. Schlote T, Rohrbach G, Grueb M, Mielke J, 2006, Pocket Atlas of Ophthalmology,
Flexibook, viewed 27 Juni 2013, available from <books.google.co.id>

26

Anda mungkin juga menyukai