Anda di halaman 1dari 29

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN MARET 2021


UNIVERSITAS HALU OLEO

PEMERIKSAAN SEGMEN ANTERIOR MATA

Oleh :
Auxyline Pasila Galla, S.Ked
K1A1 13 103

Pembimbing :
dr. Nevita Yonnia Ayu Soraya, Sp.M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :
Nama : Auxyline Pasila Galla, S.Ked
NIM : K1A1 13 103
Judul : Pemeriksaan Segmen Anterior Mata
Bagian : Ilmu Penyakit Mata
Fakultas : Kedokteran

Telah menyelesaikan Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada


bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo

Kendari, Maret 2021


Pembimbing,

dr. Nevita Yonnia Ayu Soraya, Sp.M


Tumor Konjungtiva
Auxyline Pasila Galla, Nevita Yonnia Ayu Soraya

A. Anatomi
Konjugtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis)
dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva
bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan)
dan dengan epitel kornea dilimbus. (1)
Konjungtiva palpebralis melapisis permukaan posterior kelopak mata dan
melekat erat ke tarsus. Ditepi superior kelopak mata dan inferior tarsus,
konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan
membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris. (1)
Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan
melipa berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata
bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. (Duktus –
ductus kelenjar lakrimal bermuara ke forniks temporal superior). Konjungtiva
bulbaris melekat longgar pada kapsul tenon dan sklera dibawahnya, kecuali di
limbus (tempat kapsul tenon dan konjungtiva menyatu sepanjang 3 mm). (1)
Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, lunak dan mudah bergerak
(plica semilunaris) terletak dikantus internus dan merupakan selaput
pembentuk kelopak mata dalam beberapa hewan kelas rendah. Struktur
epidermoid kecil semacam daging (Carucula) menempel secara superfisial ke
bagian dalam plica semilunaris dan merupakan zona transisi yang
mengandung baik elemen kulit maupun membrane mukosa. (1)
Secara histologis, lapisan epitel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima
lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel
konjungtiva di dekat limbus, diatas caruncula, dan didekat persambungan
mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel -sel epitel skuamosa
bertingkat. Sel – sel epitel superfisial mengandung sel – sel goblet bulat atau
oval yang mensekresi mucus. Mukus yang terbentuk mendorong inti sel
goblet ke tepi dan diperlukan untuk disperse lapisan air mata prakornea secara
merata. Sel – sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel – sel
superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen. (1)
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan
satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan
limfoid dan dibeberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel
tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai
setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa
konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papilar bukan folikular dan
mengapa kemudian menjadi folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan
penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan
gambaran reaksi papilar pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun
longgar pada bola mata. (1)
Arteri – arteri konjungtiva berasal dari arteria ciliaris anterior dan arteria
palpebralis. Kedua arteri ini beranostomosis dengan bebas dan Bersama
banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya
membentuk jaring – jaring vascular konjungtiva yang sangat banyak.
Pembuluh limfe konjungtiva tersusun di dalam lapisan superfisial dan
profundus dan bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk
pleksus limfatikus yang kaya. Konjungtiva menerima persarafan dari
percabangan (oftalmik) pertama nervus V. Saraf ini memiliki serabut nyeri
yang relative sedikit. (1)

Gambar 1. Anatomi Konjungtiva(2)


B. Pendahuluan
Tumor adalah jaringan baru (neoplasma) yang timbul di dalam tubuh
akibat pengaruh berbagai faktor penyebab dan menyebabkan jaringan
setempat pada tingkat gen kehilangan kendali normal atas pertumbuhannya.
Pada waktu tertentu di dalam tubuh, adakalanya proses pertumbuhan sel yang
alamiah mengalami pertumbuhan yang di luar kendali karena mekanisme
yang belum diketahui. Pertumbuhan tersebut terbentuk dengan tidak memiliki
tujuan dan bukan atas perintah yang normal dari dalam tubuh. Sel-sel tersebut
membelah lebih cepat daripada sel normal dan tidak pada jalur yang
semestinya. Sel- sel yang membelah tersebut menumpuk dan membentuk
massa yang tidak terstruktur atau biasa disebut dengan tumor. (3)(4)
Sel-sel tumor sebenarnya terbentuk dari sel-sel tubuh itu sendiri yang
dimulai dengan pertumbuhan perlahan-lahan lalu membesar dan mendesak
struktur jaringan di sekitarnya, tetapi tidak menyebar ke bagian lain dalam
tubuh. Kadang-kadang, sel yang terbentuk cenderung terlokalisasi dalam
suatu lapisan pelindung atau jaringan pembungkus. Bentukan ini biasa
disebut sebagai tumor yang memiliki sifat jinak (tumor benigna; benign
tumor). (3)
Akan tetapi, adakalanya tumor tersebut terbentuk tidak diam di satu lokasi.
Mereka menyerang bagian tubuh lain di luar tempat asal selnya dan menyebar
ke bagian tubuh yang lain serta memulai pertumbuhan yang baru, kemudian
memulai destruksi yang baru. Terminologi sel yang seperti ini disebut sebagai
tumor yang memiliki sifat ganas atau biasa disebut dengan tumor ganas atau
kanker (tumor maligna; malignant tumor). (3)
Tumor konjungtiva terdiri dari berbagai macam neoplasma, beberapa di
antaranya jinak dan yang lain merupakan premaligna atau maligna. Jenis dan
frekuensi tumor konjungtiva dapat berbeda yang bisa dipengaruhi oleh usia
dan ras, status imun seseorang, lama paparan, lokasi atau struktur yang
terkena pada penderita. (3)
C. Definisi

Tumor memiliki pengertian suatu jaringan baru (neoplasma) yang timbul


dalam tubuh akibat pengaruh berbagai faktor penyebab dan menyebabkan
jaringan setempat pada tingkat gen kehilangan kendali normal atas
pertumbuhannya. Menurut sifatnya, tumor dibagi menjadi dua jenis, yaitu
tumor jinak (benigna) dan ganas (maligna). Tumor ganas sering disebut
sebagai kanker. (3)

Tumor mata bisa berasal dari semua jaringan, jaringan mata sendiri
(primer), di sekitar bola mata (sekunder), atau karena metastasis dari sinus,
otak, rongga hidung, atau penyebaran dari organ lain di seluruh tubuh.
Menurut American Cancer Society (2018), terminologi neoplasma mata
adalah pertumbuhan sel kanker di setiap bagian mata (bola mata, orbita, atau
struktur- struktur adneksanya). Menurut Brown, Charles H. (2015), kanker
mata dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori dasar menurut lokasinya,
yaitu tumor kelopak mata dan konjungtiva, tumor intraokuler, dan tumor
orbita. (3)

D. Epidemiologi

Kanker mata merupakan jenis kanker yang terjadi pada organ mata dan
bisa menyerang bagian luar mata (ekstraokuli), misalnya kelopak mata dan
bagian dalam mata (intraokuli). Selain itu, kanker mata juga bisa terjadi
sebagai akibat dari penyebaran kanker pada organ lain. Pada umumnya, sel
kanker di mata dapat berbentuk primer atau sekunder. Secara primer, kanker
terjadi jika sel-sel kanker murni tumbuh dari massa asalnya (dari bagian
mata) dan berbentuk sekunder jika massa asalnya berkembang dari sel kanker
lain selain di mata, misal kanker payudara, prostat, usus, ataupun paru-paru
yang menyebar ke seluruh tubuh termasuk ke mata. (3)

Kejadian kanker atau tumor mata di Indonesia jarang terlaporkan secara


spesifik dan terbatas pada regional-regional daerah di Indonesia. Menurut
laporan Mansur (2017), di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar dari
tahun 2014-2016 didapatkan 70 kasus tumor mata dengan jumlah perempuan
(67,2%) lebih banyak daripada laki-laki (32,8%). Berdasarkan umur, jumlah
balita (0-5 tahun) lebih banyak dengan kasus retinoblastoma (50%). Jenis
tumor mata yang didapatkan adalah tumor intraokular (58,6%), tumor
ekstraokular (40%), dan retrobulbar (1,4%).(3)

E. Etiologi

Secara garis besar, tumor mata disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (3)

1. Mutasi gen pengendali pertumbuhan (contoh: kehilangan kedua kromosom


dari satu pasang alel dominan protektif yang berada dalam pita kromosom
13q14);
2. Malformasi kongenital;
3. Kelainan metabolisme (hormon);
4. Penyakit vaskuler;
5. Inflamasi intraokuler;
6. Neoplasma. Dapat bersifat ganas atau jinak. Neoplasma jinak tumbuh
dengan batas tegas dan tidak menyusup, tidak merusak tetapi menekan
jaringan di sekitarnya dan biasanya tidak mengalami metastasis;
7. Trauma;
8. Gaya hidup, seperti merokok, diet, dan minum-minuman keras (alkohol).
Hal ini merupakan faktor risiko independen;
9. Paparan sinar matahari dan ultraviolet (UV); dan
10. Infeksi virus (papilloma dan neoplasia intraepitel konjungtiva).

Tumor eksternal atau biasa disebut dengan ocular surface tumor rata-rata

muncul karena paparan sinar matahari (ultraviolet) dan virus. Tumor yang

biasanya terdapat pada kelopak mata, konjungtiva, bahkan ke kornea mata

akan menyebabkan terganggunya ketajaman visual dan lapang pandang,

diplopia, dan gangguan motilitas luar mata. (3)


F. Klasifikasi
Tumor konjungtiva terbagi menjadi dua, yaitu tumor jinak dan tumor
ganas.
1. Tumor Jinak
a. Nevus
Sepertiga nevus melanositik di konjungtiva tidak berpigmen. Lebih
dari setengahnya mempunyai inklusi epitelial kistik yang bisa terlihat
secara klinis. (1)
Secara histologis, nevus konjungtiva terdiri atas sekumpulan atau
lembaran sel – sel nevus. Nevus konjungtiva, seperti nevus lain, jarang
menjadi ganas. Banyak nevus dibuang dengan alasan estetika atau bila
kemungkinan melanoma tidak bisa disingkirkan secara klinis.(1)
Nevus konjungtiva berpigmen harus dibedakan dari melanosis
konjungtiva didapat primer. Yang terakhir ini timbul pada usia yang
lebih tua (setelah dekade ketiga), biasanya unilateral, cenderung
bertambah atau berkurang pigmentasinya., dan, tergantung derajat
atipia selulernya, mempunyai risiko menjadi ganas berkisar antara 0
sampai 90%.(1)
Manifestasi nevus yaitu lesi soliter berpigmen, unilateral, diskrit,
ukuran bervariasi paling sering di daerah juxta limbal. Selama masa
remaja, lesi mungkin bisa meradang. Tingkat pigmentasi bervariasi
dan beberapa lesi mungkin hampir tidak berpigmentasi. Tetapi lesi
dapat bervariasi dalam ukuran, warna, dan lokasinya. Transformasi
ganas dilaporkan kurang dari 1%. (5)
Gambar 2. A. Nevus berpigmen gelap. B. Nevus konjungtiva dengan
sedikit pigmen(6)

Gambar 3. A. Nevus konjungtiva berukuran kecil sekitar 1 mm basal


dimension. B. Nevus konjungtiva berukuran besar sekitar 18 mm
basal dimension(6)
b. Papiloma
Papiloma konjungtiva terdapat dalam dua bentuk. Papiloma
infeksiosa yang disebabka oleh papovavirus, ditemukan pada anak dan
dewasa muda, terutama di forniks inferior dan di dekat kantus
medialis. Jenis yang satunya berasal dari dasar yang luas, seringkali di
dekat limbus, pada dewasa yang lebih tua, dan mungkin sulit
dibedakan dari neoplasia intraepitel konjungtiva. Biopsi mungkin
diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Ditemukan DNA
papillomavirus pada banyak papilloma konjungtiva. (1)
Papiloma yang terjadi pada masa kanak-kanak tampak seperti sesil
atau bertangkai, berwarna merah muda atau merah atau gambaran
seperti daun dengan permukaan tidak beraturan. Sebagian besar lesi
tidak bergejala. Lesi yang besar dapat menyebabkan sensasi benda
asing pada mata, keluarnya cairan, air mata yang berwarna merah, dan
noda kosmetik. Biasanya muncul sebagai lesi soliter, tetapi bisa
bilateral, multipel, dan memiliki tekstur padat. Papiloma yang terjadi
pada masa anak - anak biasanya terletak di forniks inferior atau
konjungtiva bulbar tetapi dapat juga muncul di bagian konjungtiva
lain. (5)
Papiloma yang terjadi pada dewasa biasanya unilateral dan muncul
sebagai lesi soliter, letaknya paling sering di dekat konjungtiva limbus
atau bulbar. Biasanya lesinya berbentuk sessile dan luas, berwarna
agak merah muda daripada papiloma yang terjadi pada masa kanak-
kanak.(5)

Gambar 4. A. Tarsal papilloma berukuran kecil. B. Multiple confluent


papillomas daerah forniks, karunkel dan Konjungtiva tarsal. C. Sessile
papilloma berukuran kecil pada konjungtival bulbar dengan pembuluh
darah episklera yang menonjol. D. Multiple papilloma pada forniks.(7)

c. Tumor Dermoid
Tumor kongenital ini tampak berupa massa meninggi kekuningan,
yang bulat dan licin, sering dengan rambut. Sebuah tumor dermoid
bisa tetap tenang walaupun ukurannya dapat membesar. Pengangkatan
hanya diindikasikan jika deformitasnya jelas atau jika penglihatan
terganggu atau terancam. Dermoid limbus dan dermolipoma adalah
lesi tunggal yang paling sering ditemukan, tetapi kelainan-kelainan
tersebut sesekali merupakan bagian dari sindrom dysplasia
okuloaurikulovertebral (Sindrom goldenhar).(1)
Tumor dermoid konjungtiva mempunyai bentuk berupa massa
soliter berbatas tegas, berwarna kuning-putih, yang paling sering
terjadi di limbus inferotemporal. Slit lamp biomicroscopy
menunjukkan rambut halus yang timbul dari lesi. Ukuran bisa
bervariasi dari dermoid limbal yang kecil hingga dermoid besar yang
menyebar sehingga menutupi seluruh permukaan kornea dan dalam
beberapa kasus lesi dermoid yang luas melibatkan iris. (5)

Gambar 5. Pada mata kiri menunjukkan massa putih kekuningan


yang terletak di limbus yang meluas ke kornea. Beberapa folikel
rambut tipis juga terlihat.(5)

d. Dermolipoma
Dermolipoma adalah tumor komgenital yang sering dijumpai dan
umumnya tampak sebagai pertumbuhan bulat licin di kuadran
temporal-atas konjungtiva bulbaris di dekat kantus lateralis. Terapi
umunya tidak diindikasikan, tetapi pembuangan sebagian lesi bisa
dilakukan jika pertumbuhannya semakin besar atau buruk secara
kosmetik.
Pada dermolipoma tampak Lesi muncul kuning pucat, konsistensi
lunak, fluktuantif, massa menonjol dari orbit melalui forniks
konjungtiva secara superotemporal. Lesi dapat meluas ke posterior ke
orbita dan atau ke anterior menuju limbus. (5)
Gambar 6. Dermolipoma: lesi subkonjungtiva kuning keputihan di
konjungtiva bulbar superotemporal mata kiri, dengan penebalan
konjungtiva di atasnya.(5)

Gambar 7. Massa subkonjungtiva kekuningan di konjungtiva bulbar


superotemporal. Massa terlihat meluas ke orbit (5)

e. Racemose Hemangioma
Lesi ini muncul sebagai dilatasi pembuluh darah di stroma
konjungtiva tanpa adanya faktor langsung maupun faktor pemicu
vaskularisasi lainnya. Dilatasi terjadi pada arteri dan vena yang saling
berhubungan tanpa adanya capillary bed diantaranya. Kondisi ini
biasanya berhubungan dengan Wyburn-Mason Syndrome. Malformasi
serupa juga dapat terjadi di retina. Tatalaksana meliputi observasi.(5)
Gambar 8. Dilatasi vaskular pada daerah konjungtiva bulbar yang
meluas dari kelopak mata dan daerah orbital kiri (5)

f. Ocular Surface Squamous Neoplasia (OSSN)


Ocular Surcace Squamous Neoplasia (OSSN) merupakan
istilah umum yang menggambarkan spektrum lesi epitel jinak,
premaligna dan ganas pada konjungtiva dan kornea. OSSN mencakup
spektrum keganasan yang berkisar dari dysplasia ringan epitel (CIN)
hingga karsinoma invasive yang melewati membrane basal ke dalam
substansia propria (SCC). (4)(5)
OSSN biasanya muncul sebagai massa limbus gelatinosa
dengan vaskularisasi unilateral, terletak di fisura interpalpebral yang
terpapar sinar matahari. Pada OSSN juga dapat mengalami gejala lain
misalnya leukoplakia, pelebaran pembuluh darah dan infiltrasi epitel
kornea yang berdekatan. (4)(5)

Gambar 9. A. Gambaran OSSN yang memanjang. B. OSSN limbus


dengan vaskularisasi intrinsic yang menonjol. C.OSSN limbus dengan
vaskularisasi menonjol yang melebar ke daerah kornea. D. OSSN pada
daerah forniks (4)
g. Tumor Limfoid Konjungtiva
Tumor ini bisa timbul di kelenjar gertah bening (nodal) atau
dari jaringan selain getah bening (ekstranodal). Limfoma yang terjadi
di daerah periocular melibatkan beberapa jaringan yaitu konjungtiva,
orbita dan kelopak mata dan disebut “ocular adnexal” tumor limfoid.(4)
Limfoma konjungtiva biasanya berwarna merah muda. Massa
sub konjungtiva berwarna salmon di substansia propria. Massa halus
dan multilobuler bisa menyerupai folikel atau konjungtivitis papillary.
(4)

Gambar 10. A dan B. Gambaran limfoid tumor dengan gambaran


khas “Salmon Patch”. (4)

2. Tumor Ganas
a. Karsinoma
Karsinoma konjungtiva paling sering muncul di limbus, di
daerah fissure palpebralis dan lebih jarang pada daerah konjungtiva
yang tertutup. Beberapa tumor ini bisa menyerupai pterygium.
Kebanyakan memiliki permukaan gelatinosa. Jika terdapat keratinisasi
yang abnormal di epitel, akan dihasilkan suatu lesi leukoplakia.
Pertumbuhannya perlahan dan sangat jarang terjadi invasi-dalam serta
metastasis sehingga eksisi total dapat menyembuhkan. Kekambuhan
sering terjadi pada lesi yang tidak dieksisi sempurna. Terapi tambahan
berupa krioterapi; mitomycin C topical, fluorouacil dapat membantu
mencegah kekambuhan. Biopsi eksisi akan menegakkan diagnosis
sekaligus menyembuhkan kebanyakan lesi ini. (1)

Gambar 11. Karsinoma Sel Squamous (8)

b. Melanoma Maligna
Melanoma malgna konjungtiva jarang ditemukan. Sebagian besar
kelainan ini muncul dari lokasi melanosis di dapat primer; beberapa
dari nevus konjungtiva; sebagian kecil tampaknya tumbuh de novo.
Beberapa diantaranya bersifat melanotik, sisanya sangat terpigmentasi.
(1)

Banyak tumor dapat dieksisi secara lokal. Operasi yang lebih


radikal (mis, eksenterasi orbita) tidak dengan sendirinya memperbaiki
prognosis. Penggunaan krioterapi atau mitomycin C pasca-eksisi tumor
melanotik dapat membantu mencegah kekambuhan. (1)
Gambar 12. Lesi vaskularisasi berpigmen (panah) yang terletak di
konjungtiva bulbar temporal dan di limbus. Ini berasal dari epitel
konjungtiva dan secara bertahap tumbuh di atas kornea(9)

G. Patogenesis

Tumor di daerah konjungtiva dan sekitar kornea umumnya berasal


dari lapisan epitel dan sel melanositik. Tumor jinak nonmelanositik di
antaranya adalah SCC, granuloma konjungtival, dan nevus. Lesi sel
melanositik di daerah ini, termasuk nevus melanosit, rata-rata tidak
menunjukkan perubahan yang ganas. Namun, perlu diperhatikan bahwa
pada tumor-tumor eksternal, baik itu di kelopak mata maupun konjungtiva,
ada beberapa hal yang dipertimbangkan secara anatomi, yaitu: 1)
meskipun karakteristik tumor tersebut jinak, bukan berarti hal tersebut
aman dan tumor jinak bisa cenderung agresif, 2) tumor di daerah eksternal
akan berbahaya jika mampu menyebar ke daerah perineural, 3) waspada
jika tumor tersebut berada di lokasi yang tidak menguntungkan, misalnya
di daerah canthus karena selain susah dilakukan eksisi, hal tersebut juga
akan memengaruhi fungsi aliran air mata, dan 4) kadang-kadang ada
keterlibatan otot skeletal pada jaringan sel tumor tersebut. (3)
Secara seluler, hal yang cukup berperan pada perkembangan tumor
ekstraokuler adalah proses proliferasi dan angiogenesis sel yang memicu
pertumbuhan dan vaskularisasi jaringan tumor orbita eksternal, terutama di
daerah superfisial. Pada proses angiogenesis diperlukan peran sitokin
pertumbuhan, yaitu VEGF dan bFGF guna pertumbuhan endotel yang
cepat dan proliferasi kapiler tumor. Proliferasi ini berjalan melalui 2 (dua)
cara, yaitu: 1) secara langsung memengaruhi mitosis endotel pembuluh
darah, dan 2) secara tidak langsung memengaruhi makrofag, sel mast, dan
sel T helper. (3)
Angiogenesis ini akan memicu pembentukan pembuluh darah baru
yang diperlukan oleh pertumbuhan tumor. Makrofag dan sel bone marrow
derived cells (BMDC) memulai pertumbuhan tumor dengan cepat dan
mengakibatkan hipoksia intrasel. Akibatnya, sitokin hypoxia inducible
factor (HIF) terangsang atas respons perubahan konsentrasi oksigen
intrasel. HIF terakumulasi dan bergerak menuju nukleus dan memicu
produksi target gen. Nukleus merespons sinyal HIF tersebut dengan
stimulus faktor VEGF, FGF, bFGF dan TGF melalui signaling pathway
yang menyebabkan proliferasi sel endotel melalui jalur kinase
(ERK/MAPK), meningkatnya permeabilitas pembuluh darah, dan migrasi
sel tumor. (3)
Selain itu, jenis tumor eksternal rata-rata jarang mengalami
metastasis, tetapi tumbuh secara ekspansif mendesak jaringan di
sekitarnya. Sel-sel jaringan sekitar menjadi pipih dan membentuk kapsul,
sehingga batas tumor dan jaringan sekitar tampak jelas. Secara seluler, hal
ini juga dipengaruhi oleh peran sitokin VEGF-A yang menginduksi sel
endotel untuk memediasi integrin dan HIF2α guna sekresi VE-Cadherin.
Integrin dan Cadherin ini nantinya menyebabkan sel-sel tumor endotel
berproliferasi dan saling melekat serta menumpuk satu sama lain,
sedangkan VEGF-A berperan untuk menghambat MMP pada matriks
ekstrasel, sehingga proses metastasis tidak terjadi. (3)

H. Manifestasi Klinis

Tumor mata dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori dasar


menurut lokasinya, yaitu tumor kelopak mata dan konjungtiva, tumor
intraokuler, dan tumor orbita. Manifestasi klinis tumor mata tergantung
dari lokasi tumor itu sendiri. Manisfestasi klinis ini terbagi menurut lokasi
tumor, yaitu intraokuler atau ekstraokuler. Tumor ekstraokuler memiliki
beberapa gejala klinis yang sering muncul, di antaranya adalah sebagai
berikut. (3)

 Kelainan pada kelopak mata atau konjungtiva, seperti benjolan pada


kelopak mata dan konjungtiva, bulu mata yang rontok, area gelap yang
berpigmen, dan retraksi kelopak mata.

 Penonjolan bola mata (proptosis).

 Adanya keradangan pada lesi.

Gambar 13. Gejala klinis kanker ekstraokuler berupa benjolan dan lesi. A:
Benjolan pada konjungtiva; B: Lesi dengan area gelap berpigmen(3)

 Adanya “corkscrew”, yaitu bentukan pelebaran pembuluh darah


episklera pada konjungtiva.

 Perubahan penampilan bola mata.

 Gatal atau nyeri pada lesi.

 Salmon patch pada konjungtiva yang merupakan tanda adanya kelainan


pembuluh darah, sehingga muncul bercak-bercak berwarna pink. Gejala
ini sering disebut sebagai nevus simplex atau stork mark.
 Port wine stain pada kelopak mata karena adanya pelebaran pembuluh
darah (malformasi vaskuler kapiler). Tanda ini awalnya berwarna
merah muda datar dan lama-kelamaan akan berwarna keunguan.
Manifestasi ini juga muncul sebagai tanda lahir dan kadang-kadang jika
muncul pada daerah wajah, hal ini akan berhubungan dengan sistem
saraf trigeminal (N. 4) serta percabangannya (v1-3). Gejala ini sering
disebut dengan nevus flammeus.

Gambar 14. Gejala klinis kanker ekstraokuler berupa proptosis, lesi,


dan corkscrew. A: Proptosis; B: Lesi pada kelopak mata bagian
bawah; C: Corkscrew pada konjungtiva (3)

 Strawberry Hemangioma merupakan bentuk lesi pada permukaan kulit


yang berwarna merah, menonjol, berbatas jelas seperti buah stroberi,
dan seperti tanda lahir yang terbentuk akibat kumpulan pembuluh darah
kecil dan tertutup.
Gambar 15. Gejala klinis kanker ekstraokuler berupa birthmark. A.
Salmon Patch pada konjungtiva (lingkaran kuning); B. Port Wine Stain
pada area mata; dan C. Strawberry Hemangioma (3)

I. Diagnosis

Diagnosis dan pemeriksaan kanker mata sebenarnya adalah suatu pemeriksaan


yang harus dilakukan secara cermat guna mengetahui diagnosis yang tepat dan
nantinya dapat diambil tindakan serta terapi yang benar. Pemeriksaan kanker
mata meliputi: (3)

1. anamnesis;
2. pemeriksaan fisik, yaitu pemeriksaan mata dan orbita;
3. pemeriksaan dengan diagnosis penunjang; dan
4. konsultasi antardisiplin ilmu.

ANAMNESIS

Gejala klinis tumor mata bergantung pada jenis tumor mata dan stadium
dari tumor atau kanker. Anamnesis terhadap gejala klinis yang perlu
ditanyakan kepada penderita adalah adanya inflamasi yang aktif di mana
penderita mengalami gejala-gejala yang tidak tampak, seperti mengeluh mata
merah, pusing, dan disertai rasa nyeri. Gejala pasien tumor mata yang sering
dikeluhkan dan tidak tampak di antaranya adalah: (3)

1. adanya nyeri (ocular pain);


2. sakit kepala atau pusing;
3. gatal pada lesi;
4. rasa tidak nyaman pada kelopak mata konjungtiva (Retrobulbar
discomfort);
5. penglihatan kabur; dan
6. visualisasi ganda (diplopia).

Saat melakukan anamnesis, ada beberapa hal yang perlu ditanyakan terkait
dengan keluhan utama pada tumor mata. Secara umum, hal yang perlu
ditanyakan pada penderita dengan keluhan gangguan penglihatan adalah
apakah gangguan tersebut terjadi saat melihat jauh atau dekat, onset mendadak
atau gradual (bertahap), kabur di seluruh lapang pandang atau hanya sebagian,
dan jika defek lapang pandang hanya sebagian, apakah letaknya sentral,
perifer, atau hanya pada satu mata. Jika terdapat diplopia, yang perlu
ditanyakan adalah apakah diplopia horisontal atau vertikal, kedua mata atau
salah satu mata, dan apakah persisten bila salah satu mata ditutup. Selain itu,
hal yang juga penting ditanyakan secara umum adalah riwayat penyakit
terdahulu. (3)

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik terdiri dari pemeriksaan mata secara umum dan secara
eksternal serta pemeriksaan orbita secara lebih detail ke bagian orbita.
Pemeriksaan mata secara umum di antaranya adalah: (3)

1. Pemeriksaan visual (visus/visual acuity);


2. Pemeriksaan daerah kelopak mata dan konjungtiva;
3. Pemeriksaan daerah kornea, pupil, iris, dan fundus; serta
4. Pemeriksaan otot ekstraokuler.
Pemeriksaan visual dapat dilakukan dengan menggunakan Snellen Chart.
Pemeriksaan visual dilakukan untuk melihat apakah penderita mengalami
penurunan visus atau tidak dan melihat derajat variasi penurunannya.
Gangguan tajam penglihatan tersebut biasanya disebabkan oleh adanya
disfungsi saraf optik yang terjadi akibat meningkatnya tekanan intraorbita
karena ada sesuatu hal di dalam intraorbita tersebut, seperti tumor atau hal
yang lain. Penurunan tajam penglihatan ini dapat terjadi jika saraf optik
penderita mengalami penekanan hingga terjadi kebutaan yang permanen jika
penekanan saraf optik tersebut tidak segera dihilangkan. (3)
Secara fungsi, pemeriksaan visual ini dapat dilanjutkan dengan
pemeriksaan lapang pandang (visual field). Penderita yang saraf optiknya
mengalami penekanan sebelum kebutaan terjadi biasanya mengalami
penurunan lapang pandang. Penurunan lapang pandang ini dapat diperiksa
menggunakan alat Ocular Coherence Tomography (OCT), Humphrey Visual
Field Analyzer (HVF), atau Perimeter/Goldmann Perimetry. (3)

Gambar 16. Pemeriksaan Fisik Mata. A: Pemeriksaan Slit Lamp;


B: Pemeriksaan Lapang Pandang (3)

Slit Lamp (lampu celah biomikroskopi) adalah suatu instrumen yang


bekerja dengan sumber cahaya intensitas tinggi yang dapat difokuskan untuk
memantulkan cahaya dari sumber cahaya ke mata pasien, seperti
biomikroskop. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui keadaan segmen
anterior, seperti kelopak mata, konjungtiva, kornea, iris, dan pupil.
Pemeriksaan slit lamp ini memberikan pandangan yang diperbesar secara
stereoskopik struktur mata secara rinci, sehingga memungkinkan diagnosis
anatomi secara detail. Slit lamp ini juga dapat dipergunakan untuk mengetahui
adanya defek kornea, fistula kornea, dan kedalaman sudut bilik mata depan. (3)
Gambar 17. Pemeriksaan pergerakan mata 9 arah kardinal (a-i; panah:
arah pergerakan mata).(3)

Pemeriksaan daerah segmen posterior dilakukan dengan menggunakan


direct oftalmoskopi (funduskopi) atau foto fundus. Dengan menggunakan
metode tersebut, dapat dilihat kelainan-kelainan pada segmen posterior dan
gambaran retina secara detail, termasuk pembuluh darah (arteri dan vena
sentralis), makula, dan saraf retina (n. optik). (3)

Pemeriksaan otot ekstraokuler digunakan untuk melihat adanya penurunan


pergerakan bola mata (ocular motility test). Pemeriksaan ini menggunakan
pemeriksaan 6 atau 9 arah kardinal (six/nine cardinal of gaze). (3)

PEMERIKSAAN DENGAN DIAGNOSIS PENUNJANG

1. Anterior Segment OCT (Optical Coherence Tomography)


Tumor konjungtiva dan kornea superfisial yang tidak berpigmen dapat
dengan mudah diidentifikasi menggunakan OCT segmen anterior dengan
resolusi tinggi. Pengamatan awal menunjukkan bahwa temuan OCT
bahkan dapat membantu dalam membedakan dan mendiagnosis OSSN
dari pinguecula atau pterygium. (10)

2. Confocal Microscopy
Confocal Microscopy in vivo dapat mendeteksi anisositosis seluler dan
pembesaran inti pada neoplasia intraepitel konjungtiva. Confocal
Microscopy adalah teknik non-invasif untuk penilaian histologi in vivo. (10)
3. Ultrasound Biomicroscopy
Lesi konjungtiva yang melekat pada struktur sekitarnya dapat dinilai lebih
lanjut dengan ultrasonografi frekuensi tinggi (USG biomikroskopi) untuk
menentukan kedalaman tumor dan perluasannya ke dalam sklera dan
kornea atau jarang ke dalam struktur intraokular. (10)
4. Biopsi

Diagnosis pasti dari tumor konjungtiva adalah diagnosis histopatologis.


Namun, tumor yang bersifat asimtomatik yang tampak jinak sering
ditangani dengan observasi berkala, dan biopsy dilakukan bila ada bukti
progresifitas pertumbuhan dan mengarah ke keganasan. Jika tumor dengan
ukuran kecil memerlukan biopsi, seringkali lebih baik untuk mengangkat
tumor seluruhnya saat pembedahan. Namun, pada kasus tumor
konjungtiva yang berukuran besar, di mana pengangkatan tumor secara
menyeluruh dapat membahayakan permukaan mata atau ketika kondisi
tumor tidak memungkinkan dilakukannya eksisi total pada tumor, bipsi
insisi merupakan tindakan yang tepat untuk digunakan. Biopsi insisi juga
digunakan pada tumor yang mendapatkan terapi kemoterapi, radioterapi,
krioterapi dan yang mendapatkan kemoterapi topical. (10)

J. Tatalaksana
Tatalaksana dari tumor konjungtiva tergantung pada diagnosis, ukuran
serta luasnya lesi. Talaksana tumor konjungtiva dapat terdiri dari observasi
serial, biopsi insisi, biopsi eksisi, krioterapi, kemoterapi, radioterapi,
modifikasi enukleasi, eksenterasi orbital, atau berbagai kombinasi metode
yang disebutkan. (11)

1. Observasi
Observasi umumnya merupakan penatalaksanaan pilihan untuk
sebagian besar tumor konjungtiva jinak dan asimtomatik. Contoh lesi atau
tumor yang bisa di observasi terlebih dahulu yaitu nevus dan
dermolipoma. Penggunaan Slit Lamp sangat disarankan untuk mengetahui
semua lesi dan dapat menentukan penatalaksanaan selanjutnya pada lesi
yang mencurigakan. Kebanyakan pasien diperiksa setiap 6 sampai 12
bulan untuk mengetahui adanya pertumbuhan, progresifitas menjadi ganas,
atau efek sekunder pada jaringan normal di sekitarnya. (11)
2. Biopsi Insisi
Biopsi insisi dilakukan untuk tumor luas yang mencurigakan yang
bergejala atau diduga ganas. Contohnya termasuk karsinoma sel skuamosa
yang besar, melanosis primer didapat, melanoma, dan invasi konjungtiva
oleh karsinoma kelenjar sebaceous. Harus diketahui jika tumor seluas arah
jam atau kurang pada konjungtiva bulbi, Biopsi eksisi lebih disarankan
dibandingkan insisi biopsi. Namun, lesi yang lebih luas bisa menggunakan
insisi biopsy. Terapi definitif bisa ditentukan dan dilakukan jika
pemeriksaan biospi telah menunjukkan hasil. Biopsi insisi juga sesuai
untuk kondisi yang idealnya diobati dengan radioterapi, kemoterapi, atau
obat topikal lainnya. Lesi ini termasuk lymphoid tumors, metastatic
tumors, extensive papillomatosis, dan beberapa kasus karsinoma sel
skuamosa dan melanosis primer didapat. Biopsi insisi umumnya harus
dihindari untuk digunakan pada tumor melanositik, terutama melanoma,
karena hal ini dapat meningkatkan risiko kekambuhan tumor. (11)
3. Biopsi Eksisi
Biopsi eksisi primer sesuai untuk tumor yang relatif lebih kecil
(tumor limbal ≤ arah jam 4 atau dimensi basal ≤15 mm) yang bergejala
atau diduga ganas. Pada kondisi ini, biopsi eksisi lebih disarankan
daripada biopsi insisi untuk menghindari perluasan tumor yang tidak
disengaja. Contoh tumor jinak dan ganas yang dapat menggunakan teknik
biopsi eksisi meliputi dermoid limbal simptomatik, epibulbar osseous
choristoma, steroid‐resistant pyogenic granuloma, squamous cell
carcinoma, dan melanoma. Jika lesi tersebut terletak di forniks
konjungtiva, lesi tersebut dapat dieksisi seluruhnya dan konjungtiva
direkonstruksi terutama dengan jahitan yang absorbable, kadang-kadang
dengan jahitan yang dalam pada bagian forniks atau cincin symblepharon
untuk mencegah perlekatan. Jika defek tidak dapat ditutup terlebih dahulu,
maka mucous membrane graft dapat menjadi pilihan. (11)
4. Cryotheraphy
Dalam penatalaksanaan tumor konjungtiva, cryotherapy dapat
digunakan sebagai penatalaksanaan tambahan untuk biopsi eksisi seperti
yang dijelaskan di atas. Keuntungan cryotherapy dapat menghilangkan sel
tumor subklinis, mikroskopis dan pencegahan kekambuhan tumor ganas,
termasuk karsinoma sel skuamosa dan melanoma. Penatalaksanaan ini
juga dapat digunakan sebagai pengobatan utama untuk primary acquired
melanosis. Jika penggunaan cryotherapy dapat merusak sel ganas atau
berpotensi ganas dalam kasus ini, operasi radikal seperti eksenterasi orbital
dapat ditunda atau dihindari. Kerugian dari cryotherapy yaitu dapat
menyebabkan kemosis konjungtiva yang dapat berlangsung lebih dari satu
minggu dan jika teknik yang digunakan tidak tepat dapat menyebabkan
katarak, uveitis, skleral, dan penipisan kornea, dan phthisis bulbi dapat
terjadi. (11)
5. Chemotherapy
Bukti terbaru telah mengungkapkan bahwa obat tetes mata topikal
yang terdiri dari mitomisin C, 5-fuorourasil, atau interferon efektif dalam
mengobati keganasan epitel seperti karsinoma sel skuamosa, primary
acquired melanosis, dan invasi pagetoid karsinoma kelenjar sebasea.
Mitomycin C atau 5‐ fuorouracil paling efektif digunakan untuk karsinoma
sel skuamosa, terutama pada kekambuhan tumor setelah operasi
sebelumnya. Obat ini diresepkan secara topikal 4 kali sehari selama 1
minggu diikuti dengan jeda 1 minggu untuk memungkinkan permukaan
mata pulih. Siklus ini diulangi sekali lagi sehingga kebanyakan pasien
menerima total dua minggu kemoterapi secara topikal. Baik mitomisin C
dan 5-fuorourasil paling efektif untuk karsinoma sel skuamosa dan kurang
efektif untuk primary acquired melanosis dan invasi pagetoid dari
karsinoma kelenjar sebasea. (11)
6. Radioterapi
Dua bentuk radioterapi digunakan untuk tumor konjungtiva, yaitu
external beam radiotherapy dan custom‐designed plaque radiotherapy.
External beam radiotherapy dengan dosis total 3.000–4.000 cGy
digunakan untuk mengobati limfoma konjungtiva dan karsinoma
metastatik jika ukurannya terlalu besar atau digunakan untuk eksisi secara
lokal. Efek samping mata kering, punctate epithelial abnormalities, dan
katarak harus dicegah. Custom‐designed plaque radiotherapy. External
beam radiotherapy dengan dosis 3.000–4.000 cGy dapat digunakan untuk
mengobati limfoma atau metastasis konjungtiva. Dosis yang lebih tinggi
dari 6.000–8.000 cGy dapat digunakan untuk mengobati melanoma yang
resisten dan karsinoma sel skuamosa. Dalam kasus yang unik, radioterapi
dengan dosis rendah 2.000 cGy digunakan untuk kondisi jinak, termasuk
granuloma piogenik resisten steroid yang menunjukkan kekambuhan
setelah penatalaksanaan pembedahan. (11)
7. Modified Enucleation
Modified Enucleation adalah pilihan pengobatan untuk tumor
ganas primer konjungtiva yang telah menyerang melalui jaringan limbal
ke bola mata, menyebabkan glaukoma sekunder. Kasus ini cukup jarang
tetapi kadang-kadang dapat ditemukan dengan karsinoma sel skuamosa
dan melanoma. Pada saat enukleasi, konjungtiva yang terlibat perlu untuk
diangkat secara utuh untuk menghindari penyebaran sel tumor. (11)
8. Eksenterasi Orbita
Eksenterasi orbital dapat menjadi pilihan untuk tumor konjungtiva
ganas primer yang telah menginvasi orbita atau yang telah mengenai
konjungtiva seluruhnya. Baik eksenterasi kelopak mata secara menyeluruh
atau sebagian tergantung sejauh mana keterlibatan kelopak mata terkena.
Pilihan lain untuk eksenterasi adalah radioterapi dengan menggunakan
external beam radiotherapy atau penatalaksanaan brachytherapy. (11)
9. Mucous Membrane Graft
Mucous Membrane Graft kadang-kadang diperlukan untuk
menggantikan jaringan konjungtiva setelah pengangkatan tumor
konjungtiva yang luas. Tempat paling bagus untuk mengambil sampel
yaitu pada konjungtiva forniceal mata ipsilateral atau kontralateral dan
mukosa bukal pada bagian posterior bibir bawah atau bagian lateral mulut.
Jaringan dikirim dalam keadaan beku dan harus dicairkan selama 20
menit. (11)
DAFTAR PUSTAKA

1. Riordan, P., Whitcher, JP. 2007. Oftalmologi Umum. Jakarta: EGC.


2. Soebagjo, HD. (2019). ONKOLOGI MATA. Surabaya: Airlangga
University Press.
3. Shields, CL., Dkk. (2017). Conjunctival Tumors: Reviw of Clinical
Features, Risks, Biomarkers, and Outcomes. Asia-Pacific Journal of
Ophtalmology: Vol 6 (2). Hal 109-119.
4. Manjadavida, FP., Chahar, S. (2021). Oculars Tumors: Tumors of the
Conjunctival and Ocular Surfaces.Springer.
5. Shields, CL., Dkk. (2015). Conjunctival Nevi. New York University: Arch
Ophtalmol. Hal 167-175.
6. Kaliki, S., Dkk. (2013). Conjunctival Papilloma. America: Jama
Ophtalmol. Hal 585-593.
7. Lubis, RR., Pramono, BH. 2019. Tumor Orbita dan Adneksa. Medan: The
Journal of Medical School (JMS): Vol 52 (3). Hal 139-146.
8. Rossi, E., Schinzari, G., Maiorano, BA., Dkk. (2019). Conjunctival
Melanoma: Genetic and Epigenetic Insights of a Disticnt Type of
Melanoma. Roma: International Journal of Molecular Sciences. Hal 1-17.
9. Pe’er, J. 2014. Clinical Ophthalmic Oncology: Conjunctival and Corneal
Tumor. Springer.
10. Shields, CL., Shields, JA. 2019. Tumors of the Conjunctiva and Cornea.
Indian Journal of Ophthalmology: Vol 67 (12). Hal 1930-1947.

Bibliography

Anda mungkin juga menyukai