Anda di halaman 1dari 16

DEFINISI

Katarak termasuk golongan kebutaan yang tidak dapat dicegah tetapi dapat
disembuhkan. Definisi katarak menurut WHO adalah kekeruhan yang terjadi pada lensa
mata, yang menghalangi sinar masuk ke dalam mata. Katarak terjadi karena faktor usia,
namun dapat juga terjadi pada anak-anak yang lahir dalam kondisi tersebut. Katarak
juga dapat terjadi setelah trauma, inflamasi, atau penyakit lainnya. Katarak senilis
adalah semua kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut, yaitu usia diatas 50 tahun.
(AAO Staff 2017)
Katarak subkapsular posterior ini sering terjadi pada usia yang lebih muda
dibandingkan tipe nuklear dan kortikal. Katarak ini terletak di lapisan posterior kortikal
dan biasanya axial. Indikasi awal adalah terlihatnya gambaran halus seperti pelangi
dibawah slit lamp pada lapisan posterior kortikal. Pada stadium lanjut terlihat granul
dan plak pada korteks subkapsul posterior ini. (AAO staff 2016)

ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO KATARAK


Seiring dengan pertambahan usia, lensa akan mengalami penuaan juga.
Keistimewaan lensa adalah terus menerus tumbuh dan membentuk serat lensa
dengan arah pertumbuhannya yang konsentris. Tidak ada sel yang mati ataupun
terbuang karena lensa tertutupi oleh serat lensa. Akibatnya, serat lensa paling tua
berada di pusat lensa (nukleus) dan serat lensa yang paling muda berada tepat di bawah
kapsul lensa (korteks). Dengan pertambahan usia, lensa pun bertambah berat, tebal, dan
keras terutama bagian nukleus. Pengerasan nukleus lensa disebut dengan nuklear
sklerosis. Selain itu, seiring dengan pertambahan usia, protein lensa pun mengalami
perubahan kimia. Fraksi protein lensa yang dahulunya larut air menjadi tidak larut air
dan beragregasi membentuk protein dengan berat molekul yang besar. Hal ini
menyebabkan transparansi lensa berkurang sehingga lensa tidak lagi meneruskan
cahaya tetapi malah mengaburkan cahaya dan lensa menjadi tidak tembus cahaya.
(Ilyas 2007)
Radikal bebas adalah adalah atom atau meolekul yang memiliki satu atau lebih
elektron yang tidak berpasangan . Radikal bebas dapat merusak protein, lipid,
karbohidrat dan asam nukleat sel lensa. Radikal bebas dapat dihasilkan oleh hasil
metabolisme sel itu sendiri, yaitu elektron monovalen dari oksigen yang tereduksi saat
reduksi oksigen menjadi air pada jalur sitokrom, dan dari agen eksternal seperti
energi radiasi. Contoh-contoh radikal oksigen adalah anion superoksida (O2-),

1
radikal bebas hidroksil (OH+), radikal peroksil (ROO+), radikal lipid peroksil (LOOH),
oksigen tunggal (O2), dan hidrogen peroksida (H2O2). (Ocampo, 2013)
Agen oksidatif tersebut dapat memindahkan atom hidrogen dari asam
lemak tak jenuh membran plasma membentuk asam lemak radikal dan
menyerang oksigen serta membentuk radikal lipid peroksida. Reaksi ini lebih
lanjut akan membentuk lipid peroksida lalu membentuk malondialdehida (MDA).
MDA ini dapat menyebabkan ikatan silang antara lemak dan protein. Polimerisasi dan
ikatan silang protein menyebabkan aggregasi kristalin dan inaktivasi enzim- enzim
yang berperan dalam mekanisme antioksidan seperti katalase dan glutation reduktase.
Hal-hal inilah yang dapat menyebabkan kekeruhan pada lensa. Radiasi ultraviolet dapat
meningkatkan jumlah radikal bebas pada lensa karena tingginya penetrasi jumlah
cahaya UV menuju lensa. UV memiliki energi foton yang besar sehingga dapat
meningkatkan molekul oksigen dari bentuk triplet menjadi oksigen tunggal yang
merupakan salah satu spesies oksigen reaktif. (Gerhard, 2000)
Terdapat banyak penelitian yang menjelaskan hubungan antara merokok dan
penyakit katarak. Hasil penelitian Cekic (1998) menyatakan bahwa merokok dapat
menyebabkan akumulasi kadmium di lensa. Kadmium dapat berkompetisi dengan
kuprum dan mengganggu homeostasis kuprum. Kuprum penting untuk aktivitas
fisiologis superoksida dismutase di lensa. Sehingga dengan adanya kadmium
menyebabkan fungsi superoksida dismutase sebagai antioksidan terganggu. Hal ini
menyebabkan terjadinya kerusakan oksidatif pada lensa dan menimbulkan katarak.
Disebutkan juga bahwa kadmium dapat mengendapkan lensa sehingga timbul
katarak. Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh Sulochana, Puntham, dan
amakrishnan (2002). Bedanya bahwa kadmium juga dapat mengganggu homeostasis
zincum dan mangan pada enzim superoksida dismutase. (Butterwick, 2012)
Hasil penelitian El-Ghaffar, Azis, Mahmoud, dan Al-Balkini (2007)
menyatakan bahwa NO yang menyebabkan katarak dengan mekanisme NO bereaksi
secara cepat dengan anion superoksida untuk membentuk peroksinitrit sehingga terjadi
nitratasi residu tirosin dari protein lensa. Hal ini dapat memicu peroksidasi lipid
membentuk malondyaldehida. Malondyaldehida memiliki efek inhibitor terhadap
enzim antioksidan seperti katalase dan glutation reduktase sehingga terjadi oksidasi
lensa lalu terjadi kekeruhan lensa dan akhirnya terbentuk katarak. (AAO Staff 2017)
Zat nutrisi tersebut merupakan antioksidan eksogen yang berfungsi menetralkan
radikal bebas yang terbentuk pada lensa sehingga dapat mencegah terjadinya katarak.
Diabetes dapat menyebabkan perubahan metabolisme lensa. Tingginya kadar gula
darah menyebabkan tingginya kadar sorbitol lensa. Sorbitol ini menyebabkan
2
peningkatan tekanan osmotik lensa sehingga lensa menjadi sangat terhidrasi dan timbul
katarak. (Vaughan 2007)
Perubahan keseimbangan elektrolit dapat menyebabkan kerusakan pada lensa.
Hal ini disebabkan karena perubahan komposisi elektrolit pada lensa dapat
menyebabkan kekeruhan pada lensa. Trauma dapat menyebabkan kerusakan langsung
pada protein lensa sehingga timbul katarak. Uveitis kronik sering menyebabkan
katarak. Pada uveitis sering dijumpai sinekia posterior yang menyebabkan pengerasan
pada kapsul anterior lensa. Penggunaan steroid jangka panjang dapat meningkatkan
resiko terjadinya katarak. Jenis katarak yang sering pada pengguna kortikosteroid
adalah katarak subkapsular. (Gerhard, 2000)
Mekanisme kortikosteroid terhadap terjadinya katarak menurut beberapa ahli
adalah yang pertama gangguan metabolic, Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme
selular dengan mengubah aktivitas enzim–enzim. Penelitian menunjukkan Adenosin
Triphospate (ATP) dan level dinukleotid pada lensa menurun setelah 24 jam paparan
deksametason. Hal ini menyebabkan gangguan dari penyediaan kebutuhan energi
seperti sintesis protein, transpor ion, dan mekanisme pertahanan oleh antioksidan
sedangkan bentuk fosfat kompeks lainnya seperti glukosa meningkat. (Gerhard,
2000)
Kortikosteroid yang mempengaruhi sel normal sangat kompleks, kortikosteroid
yang larut lemak menyebar secara pasif melalui membran sel ke target sel. Di dalam
sel akan terikat oleh reseptor yang terdiri atas satu atau dua molekul protein spesifik
dan protein lain yang penting agar kortikosteroid dapat terikat dengan reseptor dan
Deoxiribonuclei Acid (DNA). Kortikosteroid juga memiliki pengaruh pada
pertumbuhan sel dan sintesis Deoxiribonuclei Acid (DNA) dan Ribonuclei Acid
(RNA). Pengaruh tersebut diamati pada mata misalnya seperti pada pertumbuhan sel
endotel retina mengalami hambatan, sedangkan sel lain mengalami rangsangan.
Pengaruh kortikosteroid terhadap sel epitel lensa tidak begitu jelas karena banyaknya
variasi penelitian observasi. (AAO staff 2017)
Yang kedua adalah kegagalan osmotik karena adanya celah vakuol dan
pembengkakan sel diperkirakan menjadi penyebab adanya hidrasi lensa akibat
kortikosteroid. Pada umumnya lensa mempertahankan keseimbangan ion yang
berada di intrasel dan ekstrasel. Adanya Sodium potasium adenosin triphophatase

+ +
dan Na K ATP-ase memberikan keseimbangan ion dalam intrasel berupa kadar
+ + +
K yang tinggi dan rendah Na , sedangkan dalam ekstrasel berupa kadar Na yang

3
+
tinggi dan K rendah. Keseimbangan ion ini penting dalam memelihara kejernihan
lensa, apabila terdapat gangguan pada keseimbangan ion akan mempengaruhi
terbentuknya katarak. Keterangan umum lain mengenai terjadinya katarak adalah
karena adanya stress baik berupa oksidatif, osmotik, dan metabolik menyebabkan
rentan terhadap berbagai zat oksidatif. (Gerhard, 2000)

Gambar 4 . Proses kegagalan osmotik akibat pengaruh kortikosteroid

Stress oksidatif menyebabkan terbentuknya ikatan disulfida, pigmentasi, dan


perubahan oksidatif untuk menghasilkan agregasi protein yang tidak larut dan
menghamburkan cahaya. Lensa sendiri memiliki mekanisme pertahanan terhadap
stress oksidatif berupa glutation reduktase dan pembuangan radikal bebas. Beberapa
penelitian menunjukkan kortikosteroid dapat menurunkan glutation, antioksidan , dan
asam askorbat. Penambahan molekul protein pada lensa juga memiliki keterlibatan
dalam pembentukan katarak. Hal ini terkait pada beberapa penyakit seperti diabetes,
gagal ginjal, dan degenerasi. Tambahan protein pada lensa mempengaruhi
kekeruhan pada lensa yang disebabkan pengaruh kortikoteroid terhadap struktur normal
protein. Pembentukan ikatan disulfid molekuler seperti interaksi hidrofobik non-
spesifik menyebabkan pembentukan agregasi molekul ukuran besar yang tidak larut
dan menghasilkan hamburan cahaya. (John K, 2011)
Reseptor kortikosteroid berupa kompleks protein dalam sitosol yang mengikat
steroid dan mentranslokasikan ke nukleus. Menurut laporan Weinstein pada tahun
1970, reseptor kortikosteroid okular dapat ditemukan retina, iris, corpus siliaris, jalur
humor aquous, dan sklera tetapi beberapa penelitian menunjukkan tidak adanya
4
reseptor kortikosteroid pada lensa. Pembentukan katarak terkait reseptor kortikosteroid
diperkirakan karena pengaruhnya terhadap Growth Factors (GF). Growth factor
yang terdapat pada humor aquous menginduksi proliferasi dan migrasi dari sel
epitel anterior menuju ke arah ekuator dan berdiferensiasi menjadi serat lamelar

terdesak oleh sel-sel baru. Perubahan level GF pada humour aquous akibat
kortikosteroid menyebabkan gangguan diferensiasi sel epitel menjadi serat lamelar
yang terus bermigrasi sepanjang kapsul lensa menuju ke posterior lensa dan
membentuk kumpulan sel-sel yang tidak teratur sehingga menghamburkan cahaya.
Salah satu gambaran katarak akibat kortikosteroid adalah terkumpulnya sel epitel tidak
teratur di bawah kapsul posterior atau disebut subkapsular posterior. Hal ini
menunjukkan adanya penyimpangan tingkah laku sel yang berpengaruh terhadap
terbentuknya katarak karena seharusnya sel-sel tersebut berada di anterior lensa.
Menurut McAvoy dan Chamberlain, Fibroblast Growth Factor-2 (FGF)
mempengaruhi pertumbuhan sel epitel lensa. Pada umumnya FGF kadarnya meningkat
dari anterior lensa ke posterior. Perbedaan ini memberikan pengaruh pada sel, pada
anterior lensa yang memiliki kadar rendah merangsang proliferasi sel dan migrasi
ke arah ekuator, sedangkan pada daerah ekuator lensa yang memiliki kadar tinggi
merangsang diferensiasi menjadi serat. (Gerhard, 2000)
Perubahan tingkah laku sel terhadap terbentuknya katarak terjadi apabila pada
daerah ekuator, FGF tidak cukup tinggi untuk menyebabkan diferensiasi sel atau
terjadi hambatan diferensiasi oleh sitokin. Sel yang tidak beraturan ini tetap migrasi
melewati daerah ekuator menuju ke kutub posterior lensa menjadi katarak subkapsular
posterior. (AAO 2017)

EPIDEMIOLOGI
Katarak merupakan penyakit yang sangat umum terjadi seiring dengan
bertambahnya umur seseorang. Di Inggris, 50% penduduk yang berusia 65 tahun
menderita katarak dan 70% penduduk yang berusia 85 tahun ke atas menderita
katarak. Di Prancis, 20% penduduk yang berusia 65 tahun ke atas menderita katarak,
gejala katarak itu sudah mereka dapatkan sejak berumur 40 tahun. Hampir seluruh
individu yang berusia lebih dari 90 tahun menderita katarak. Beberapa negara maju
juga menunjukkan insiden dan prevalen yang sama. (husain,2005)
Angka kebutaan di Indonesia tertinggi di wilayah Asia Tenggara. Hal ini
disebabkan oleh ketidakseimbangan antara insiden (kejadian baru) katarak yang
besarnya 210.000 orang per tahun dengan jumlah operasi katarak yang hanya

5
80.000 orang per tahun. Kondisi ini mengakibatkan jumlah katarak yang tinggi.
(Riskesdas, 2013)
Laporan kebutaan di Asia menunjukkan 3 penyebab pokok kebutaan adalah
katarak, trakhoma dan glaukoma (Hanifah, 2010). Menurut Persatuan Dokter Spesialis
Mata Indonesia, kebutaan katarak tidak hanya mengganggu produktivitas dan
mobilitas penderitanya, tetapi juga menimbulkan dampak sosioekonomi bagi
masyarakat dan negara yang pada gilirannya akan menurunkan kualitas hidup
masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, biaya operasi katarak yang mahal
mengakibatkan sebagian masyarakat, khususnya masyarakat dengan tingkat
sosio ekonomi rendah atau miskin, sulit memperoleh pelayanan operasi
katarak (Riskesdas, 2013)
Survey Kesehatan Indera tahun 1993-1996 menunjukkan 1,5%
penduduk Indonesia mengalami kebutaan, disebabkan oleh katarak (52%), glaukoma
(13,4%), kelainan refraksi (9,5%), gangguan retina (8,5%), kelainan kornea (8,4%)
dan penyakit mata lain. Batas prevalensi kebutaan yang tidak menjadi masalah
kesehatan masyarakat menurut standar WHO adalah 0,5%. Jika prevalensi di
atas 1 % menunjukkan adanya keterlibatan masalah sosial/lintas sektor
(Riskesdas, 2013)
Prevalensi katarak di Indonesia menurut hasil pemeriksaan petugas enumerator
dalam Riskesdas 2013 adalah sebesar 1,8%, tertinggi di Provinsi Sulawesi Utara
sebesar 3,7% dan terendah di DKI Jakarta sebesar 0,9%. Sedangkan prevalensi katarak
di provinsi Sumatera Utara 1,4% (Riskesdas 2013)
Perkiraan insiden katarak di Indonesia adalah 0,1% per tahun atau setiap
tahun di antara 1000 orang terdapat seorang penderita baru katarak. Penduduk
indonesia juga memiliki kecenderungan menderita katarak 15 tahun lebih cepat
dibandingkan penduduk di daerah subtropis, sekitar 16-22% penderita katarak
yang di operasi berusia dibawah 55 tahun (Husain, 2012).

GEJALA KLINIS
Katarak didiagnosa melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang lengkap. Keluhan yang membawa pasien datang antara lain: Pandangan
kabur, Kekeruhan lensa mengakibatkan penurunan pengelihatan yang progresif atau
berangsur-angsur dan tanpa nyeri, serta tidak mengalami kemajuan dengan pin-hole.
Penderita katarak sering kali mengeluhkan penglihatan yang silau, dimana tigkat
kesilauannya berbeda-beda mulai dari sensitifitas kontras yang menurun dengan latar
belakang yang terang hingga merasa silau di siang hari atau merasa silau terhadap
6
lampu mobil yang berlawanan arah atau sumber cahaya lain yang mirip pada malam
hari. Keluhan ini sering kali muncul pada penderita katarak kortikal. (AAO Staff 2017)
Sensitifitas terhadap kontras menentukan kemampuan pasien dalam mengetahui
perbedaan-perbedaan tipis dari gambar-gambar yang berbeda warna, penerangan dan
tempat. Cara ini akan lebih menjelaskan fungsi mata sebagai optik dan uji ini diketahui
lebih bagus daripada menggunakan bagan Snellen untuk mengetahui kepastuian fungsi
penglihatan; namun uji ini bukanlah indikator spesifik hilangnya penglihatan yang
disebabkan oleh adanya katarak. (AAO staff 2016)
Perkembangan katarak pada awalnya dapat meningkatkan kekuatan dioptri
lensa, biasanya menyebabkan derajat miopia yang ringan hingga sedang.
Ketergantungan pasien presbiopia pada kacamata bacanya akan berkurang karena
pasien ini mengalami penglihatan kedua. Namun setelah sekian waktu bersamaan
dengan memburuknya kualitas lensa,rasa nyaman ini berangsur menghilang dan diikuti
dengan terjadinya katarak sklerotik nuklear. Perkembangan miopisasi yang asimetris
pada kedua mata bisa menyebabkan anisometropia yang tidak dapat dikoreksi lagi, dan
cenderung untuk diatasi dengan ekstraksi katarak. Pada katarak sentral, kadang-kadang
penderita mengeluhkan penglihatan menurun pada siang hari atau keadaan terang dan
membaik pada senja hari, sebaliknya paenderita katarak kortikal perifer kadang-kadang
mengeluhkan pengelihatan lebih baik pada sinar terang dibanding pada sinar redup.
Katarak dapat menimbulkan keluhan benda bersudut tajam menjadi tampak tumpul atau
bergelombang. (Vaughan, 2007)
Penderita dapat mengeluh adanya lingkaran berwarna pelangi yang terlihat
disekeliling sumber cahaya terang, yang harus dibedakan dengan halo pada penderita
glaucoma. Gambaran ganda dapat terbentuk pada retina akibat refraksi ireguler dari
lensa yang keruh, menimbulkan diplopia monocular, yang dibedakan dengan diplopia
binocular dengan cover test dan pin hole. Perubahan warna inti nucleus menjadi
kekuningan menyebabkan perubahan persepsi warna, yang akan digambarkan menjadi
lebih kekuningan atau kecoklatan dibanding warna sebenarnya. Penderita dapat
mengeluhkan timbulnya bintik hitam yang tidak bergerak-gerak pada lapang
pandangnya. Dibedakan dengan keluhan pada retina atau badan vitreous yang sering
bergerak-gerak. (AAO 2016)

PATOFISIOLOGI

Semakin bertambah usia lensa, maka akan semakin tebal dan berat sementara
daya akomodasinya semakin melemah. Ketika lapisan kortikal bertambah dalam pola

7
yang konsentris, nukleus sentral tertekan dan mengeras, disebut nuklear sklerosis. Ada
banyak mekanisme yang memberi kontribusi dalam progresifitas kekeruhan lensa.
Epitel lensa berubah seiring bertambahnya usia, terutama dalam hal penurunan densitas
(kepadatan) sel epitelial dan penyimpangan diferensiasi sel serat lensa (lens fiber cells).
Walaupun epitel lensa yang mengalami katarak menunjukkan angka kematian apoptotik
yang rendah, akumulasi dari serpihan-serpihan kecil epitelial dapat menyebabkan
gangguan pembentukan serat lensa dan homeostasis dan akhirnya mengakibatkan
hilangnya kejernihan lensa. Lebih jauh lagi, dengan bertambahnya usia lensa,
penurunan rasio air dan mungkin metabolit larut air dengan berat molekul rendah dapat
memasuki sel pada nukleus lensa melalui epitelium dan korteks yang terjadi dengan
penurunan transport air, nutrien dan antioksidan. Kemudian, kerusakan oksidatif pada
lensa akibat pertambahan usia mengarahkan pada terjadinya katarak senilis.
(Berson,1993)
Mekanisme lainnya yang terlibat adalah konversi sitoplasmik lensa dengan berat
molekul rendah yang larut air menjadi agregat berat molekul tinggi larut air, fase tak
larut air dan matriks protein membran tak larut air. Hasil perubahan protein
menyebabkan fluktuasi yang tiba-tiba pada indeks refraksi lensa, menyebarkan jaras-
jaras cahaya dan menurunkan kejernihan. Area lain yang sedang diteliti meliputi peran
dari nutrisi pada perkembangan katarak secara khusus keterlibatan dari glukosa dan
mineral serta vitamin
Selain dari itu, terdapat juga teori free radical, dimana free radical terbentuk jika terjadi
reaksi intermediate reaktif kuat. Free radical mengakibatkan degenerasi molekul
normal, dan dapat dinetralisir oleh vitamin E dan antioksidan. Teori Across-Link dari
para ahli biokimia mengatakan terjadi pengikatan asam nukleat dan molekul protein
sehingga terjadi gangguan fungsi (inacrs, 2011)

8
Faktor resiko katarak:
Usia (penuaan)
Infeksi intrauterine
Trauma korteks
Metabolik (DM)

Kerusakan sel-sel
korteks

Hidrasi sel-sel lensa

Kepadatan lensa
berkurang

Sinar sejajar masuk Lensa menjadi


keruh

Tidak bisa
difokuskan

Penurunan visus
penglihatan

Gambar 4. Pathway katarak

DIAGNOSIS

9
Diagnosa katarak dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan laboratorium preoperasi dilakukan untuk mendeteksi adanya penyakit-
penyakit yang menyertai. Penyakit seperti Diabetes Mellitus dapat menyebabkan
perdarahan perioperatif sehingga perlu dideteksi secara dini dan bisa dikontrol sebelum
operasi(AAO 2016)
Pada pasien katarak sebaiknya dilakukan pemeriksaan visus untuk mengetahui
kemampuan melihat pasien. Pemeriksaan adneksa okuler dan struktur intraokuler dapat
memberikan petunjuk terhadap penyakit pasien dan prognosis penglihatannya. (AAO,
2016)
Pemeriksaan slit lamp tidak hanya difokuskan untuk evaluasi opasitas lensa
tetapi dapat juga struktur okuler lain, misalnya konjungtiva, kornea, iris, bilik mata
depan. Ketebalan kornea harus diperiksa dengan hati-hati, gambaran lensa harus dicatat
dengan teliti sebelum dan sesudah pemberian dilator pupil, posisi lensa dan intergritas
dari serat zonular juga dapat diperiksa sebab subluksasi lensa dapat mengidentifikasi
adanya trauma mata sebelumnya, kelainan metabolik, atau katarak hipermatur.
Kemudian lakukan pemeriksaan shadow test untuk menentukan stadium pada katarak
senilis. Selain itu, pemeriksaan oftalmoskopi direk dan indirek dalam evaluasi dari
integritas bagian belakang harus dinilai. Masalah pada saraf optik dan retina dapat
menilai gangguan penglihatan. (AAO 2017)

PENATALAKSANAAN
Satu-satunya terapi katarak adalah tindakan bedah. Indikasi operasi katarak
secara umum adalah untuk rehabilitasi visus, mencegah dan mengatasi komplikasi,
tujuan terapeutik dan diagnostik, mencegah ambliopia dan tujuan kosmetik. Saat ini
terapi bedah katarak sudah mengalami banyak perkembangan. (Gerhard, 2000)
Dahulu bedah katarak dilakukan dengan teknologi yang disebut ECCE dan
ICCE masih memerlukan sayatan lebar untuk mengeluarkan lensa secara utuh, sehingga
pasien pun harus mendapatkan jahitan yang cukup banyak pada matanya yang
mengakibatkan proses pemulihan matanya menjadi lama. Sekarang dengan teknologi
fakoemulsifikasi sayatan pada mata menjadi sangat kecil dan seringkali tidak
memerlukan jahitan . (AAO staff 2017)
Metode “Ekstraksi intrakapsuler (ICCE)”, yang jarang lagi dilakukan
sekarang adalah mengangkat lensa in toto yakni didalam kapsulnya melalui limbus
superior 140-160 derajat. ICCE dilakukan pada negara-negara dimana terdapat
keterbatasan mikroskop untuk melakukan operasi katarak. ICCE diindikasikan pada
kasus-kasus katarak tidak stabil, intumesen, hipermatur, dan katarak luksasi.
10
Kontraindikasi absolut ICCE adalah katarak pada anak dan dewasa muda serta katarak
traumatik dengan ruptur kapsul. Kontraindikasi relatif ICCE adalah miopi tinggi,
sindrom Marfan, katarak Morgagni. (Butterwick, 2012)
Metode ”Ekstraksi ekstra kapsuler (ECCE)”, yang saat ini masih sering
dipakai juga memerlukan insisi limbus superior. Bagian anterior kapsul dipotong atau
diangkat, nukleus diekstraksi dan korteks lensa dinuang dari mata dengan irigasi
dengan atau tanpa aspirasi, sehingga meninggalkan kapsul posterior. ECCE
diindikasikan untuk operasi katarak yang diiringi dengan pemasangan IOL atau
penambahan kacamata baca, terjadinya perlengketan luas antara iris dan lensa, ablasi
atau prolaps badan kaca. Kontraidikasi ECCE adalah pada keadaan dimana terjadi
insufisiensi zonula zinni . (Inacrs, 2011)

Gambar 5. Teknik ECCE


Metode fakoemulsifikasi yaitu dengan sayatan kecil dan tidak memerlukan
benang. Ada berbagai keuntungan dari metode tersebut, antara lain tanpa dijahit. Ini
karena sayatannya kecil. Kalaupun perlu jahitan hanya satu jahitan. Fakofragmentasi
atau fakoemulsi dengan irigasi atau aspirasi atau keduanya adalah teknik ekstrakapsuler
yang menggunakan getaran-getaran ultrasonik untuk mengangkat nukleus dan korteks
11
melalui incisi limbus yang kecil (2-5mm), sehingga mempermudah penyembuhan luka
operasi dan keluhan mata merah tidak lama (Husain, 2005)

Gambar 6. Teknik Fakoemulsifikasi

Setelah operasi semua pasien membutuhkan koreksi kekuatan tambahan


untuk memfokuskan benda dekat dibandingkan untuk melihat jauh. Akomodasi
hilang dengan diangkatnya lensa. Kekuatan yang hilang pada sistem optik mata
tersebut harus digantikan oleh kacamata afakia yang tebal, lensa kontak yang tipis
atau implantasi lensa plastik (IOL) di dalam bola mata. (Husain, 2005)
IOL adalah sebuah lensa jernih berupa plastik fleksibel yang difiksasi ke
dalam mata atau dekat dengan posisi lensa alami yang mengiringi ECCE. Sebuah
IOL dapat menghasilkan pembesaran dan distorsi minimal dengan sedikit
kehilangan persepsi dalam atau tajam penglihatan perifer. IOL bersifat permanen,
tidak membutuhkan perawatan dan penanganan khusus dan tidak dirasakan pasien
atau diperhatikan orang lain. Dengan sebuah IOL kacamata baca dan kacamata
untuk melihat dekat biasanya tetap dibutuhkan dan umumnya dibutuhkan kacamata
tipis untuk penglihatan jauh. (inacrs, 2011)
Kontraindikasi implantasi IOL antara lain adalah uveitis berulang,
retinopati diabetik progresif, rubeosis iridis dan glaukoma neovaskuler. Tentunya
setiap tindakan operasi memiliki resiko, yang paling buruk adalah hilangnya
penglihatan secara permanen. Setelah dilakukan operasi masih mungkin muncul
masalah pada mata, sehingga diperlukan kontrol post operasi yang teratur. (AAO
2017)

12
Tabel 3. Efek Operasi Katarak
Jangka Pendek Jangka Panjang
a. Infeksi pada mata a. Fotosensitif
b. Perdarahan pada kornea b. Dislokasi IOL
(hifema) c. Kekeruhan pada kapsul
c. Edema papil lensa
d. Edema kornea d. Ablasio retina
e. Rupture kapsul lensa e. Astigmatisma
f. Ablasio retina f. Glaukoma
g. Ptosis

PROGNOSIS

Prognosis penglihatan untuk pasien anak-anak yang memerlukan pembedahan


tidak sebaik prognosis untuk pasien katarak dewasa. Adanya ambliopia dan kadang-
kadang anomali saraf optikus atau retina membatasi tingkat pencapaian penglihatan
pada kelompok pasien ini. Prognosis untuk perbaikan ketajaman penglihatan setelah
operasi paling buruk pada katarak kongenital unilateral dan paling baik pada katarak
kongenital bilateral inkomplit yang progresif lambat. (AAO 2016)
Sedangkan pada katarak senilis jika katarak dapat dengan cepat terdeteksi serta
mendapatkan pengobatan dan pembedahan katarak yang tepat maka 95 % penderita
dapat melihat kembali dengan normal. (AAO, 2016)

KESIMPULAN

Definisi katarak menurut WHO adalah kekeruhan yang terjadi pada lensa mata,
yang menghalangi sinar masuk ke dalam mata. Prevalensi katarak di Indonesia menurut
hasil pemeriksaan petugas enumerator dalam Riskesdas 2013 adalah sebesar 1,8%,
tertinggi di Provinsi Sulawesi Utara sebesar 3,7% dan terendah di DKI Jakarta
sebesar 0,9%. Penyebab terjadinya katarak bermacam-macam. Umumnya adalah usia
lanjut (katarak senil), tetapi dapat terjadi secara kongenital akibat infeksi virus di masa
pertumbuhan janin, genetik, dan gangguan perkembangan. Dapat juga terjadi karena
traumatik, terapi kortikosteroid metabolik, dan kelainan sistemik atau metabolik, seperti

13
diabetes mellitus, galaktosemia, dan distrofi miotonik. Rokok dan konsumsi alkohol
meningkatkan resiko katarak. Satu terapi yang paling tepat untuk menangani katarak
adalah pembedahan. Operasi katarak terdiri dari pengangkatan sebagian lensa besar dan
pengantian lensa dengan implan plastik. Jenis pembedahan untuk katarak
mencakup extracapsular cataract extractie (ECCE) dan intracapsular cataract
extractie (ICCE)

14
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophtalmology. (2016). Lens and cataract. Basic and Clinical
Science Courses Section 11:Lens and Cataract. American Academy of Ophtalmology.

2. American Academy of Ophtalmology. (2017). Lens and cataract. Basic and Clinical
Science Courses Section 11:Lens and Cataract. American Academy of Ophtalmology.

3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik


Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar: Laporan Nasional 2013. Available
at:https://www.k4health.org/sites/default/files/laporanNasional%20Riskesdas
%202013.pdf

4. Berson, Frank G. Basic Ophtalmology for medical students and Primary Care Residents.
Sixth Edition. American Academy of Ophtalmology. 1993.

5. Butterwick R. Cataract and Your Eyes. Available at: http://www.webmd.com/eye-


health/cataracts/health-cataracts-eyes. Updated on: 5 July 2012. Accessed on: 4 july
2019.

6. Gerhard, Lang. Ophtalmology A Short Textbook. New York :Thieme stutrgart, 2000.

7. Husain R, Tong L, Fong A, Cheng JF, How A, Chua WH, Lee L, Gazzard G, Tan DT,
Koh D, Saw SM. Prevalence of Cataract in Rural Indonesia. Ophthalmology, Jul 2005;
112(7): 1255-62

8. Ilyas Sidarta. Ilmu Penyakit Mata, edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007. Hlm
172-3, 199, 200-13.

9. Indonesian Society of Cataract and Refractive Surgery. 2011. Panduan Penatalaksanaan


Medis: Katarak pada Penderita Dewasa. Available at:
http://www.inascrs.org/old/doc/PPM_1_katarak_rev03.pdf

15
10. Johns J.K Lens and Cataract. Basic and Clinical Science Section 11. American Academy
of Ophthalmology. 2011.

11. Ocampo VVD, Roy H. Senile Cataract. Available


at: http://emedicine.medscape.com/article/1210914-overview. Updated on: 22 January 2013.
Accessed on: 4 July 2019.
12. Vaughan, Daniel G., Taylor Asbury, Paul Riordan-Eva. Oftalmologi Umum, edisi 17.
Jakarta: EGC, 2007, p169-176

16

Anda mungkin juga menyukai