Anda di halaman 1dari 29

CASE REPORT

KATARAK SENILIS
IMATUR

Disusun Oleh :
Nurul Laily Masruroh 011723143149

Pembimbing:
Yulia Primitasari, dr., Sp.M(K)

DEPARTEMEN/ SMF ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
AIRLANGGA RSUD DR. SOETOMO SURABAYA
2019
BAB 1

LATAR BELAKANG

Katarak adalah kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan
lensa) lensa, denaturasi protein lensa atau akibat kedua-duanya. Menurut hasil survei Riskesdas 2013,
prevalensi katarak di Indonesia adalah 1,8%, dari total penduduk Indonesia atau sekitar 4 juta
penduduk menderita katarak (Riskesdas, 2013). Data dari World Organization (WHO) menunjukkan
bahwa katarak merupakan penyebab kebutaan dan gangguan penglihatan terbanyak dan diperkirakan
sekitar 18 juta orang mengalami kebutaan kedua mata akibat katarak. Jumlah ini hampir setengah
(39%) dari semua penyebab kebutaan karena penyakit mata lainnya di dunia. Jumlah tersebut akan
meningkat mencapai angka 40 juta pada tahun 2020 (American Academy Ophthalmology). Definisi
kebutaan menurut WHO yaitu visus < 3/60 pada mata terbaik dengan koreksi terbaik (WHO, 2017).
Indonesia menduduki peringkat tertinggi prevalensi kebutaan di Asia Tenggara sebesar 1,5% dan
50% di antaranya disebabkan katarak. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat karena pertambahan
penduduk yang pesat dan meningkatnya usia harapan hidup di Indonesia (Suhardjo, 2012).

Jenis-jenis katarak terbagi atas katarak terkait usia (katarak senilis), katarak congenital,
katarak traumatik, katarak komplikata, katarak akibat penyakit sistemik, dan katarak toksik. Beberapa
faktor risiko penyebab katarak dapat dibedakan menjadi faktor individu, lingkungan, dan faktor
protektif. Faktor individu terdiri atas usia, jenis kelamin, ras, serta faktor genetik. Faktor lingkungan
termasuk kebiasaan merokok, paparan sinar ultraviolet, status sosioekonomi, tingkat pendidikan,
diabetes mellitus, hipertensi, penggunaan steroid berkepanjangan, dan obat- obat penyakit gout.
Faktor protektif meliputi penggunaan aspirin dan terapi pengganti hormon pada wanita. Mayoritas
katarak berhubungan dengan penuaan, walaupun pada beberapa kondisi dapat terjadi katarak
kongenital. Katarak juga dapat muncul setelah trauma, inflamasi, dari penyakit yang mendasari dan
penggunaan kortikosteroid yang berkepanjangan (Suhardjo, 2012).

1
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Katarak

Katarak merupakan kekeruhan pada lensa mata. Kekeruhan dapat terjadi akibat
hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa, atau akibat keduanya,
biasanya mengenai kedua mata dan berjalan progresif atau dapat juga tidak
mengalami perubahan. Menurut WHO (2017), katarak adalah kekeruhan yang terjadi
pada lensa mata, yang menghalangi sinar masuk ke dalam mata. Katarak terjadi
karena faktor usia, namun juga dapat terjadi pada anak-anak yang lahir dengan
kondisi tersebut. Katarak juga dapat terjadi setelah trauma, inflamasi atau penyakit
lainnya (WHO, 2017).

Gambar 2.1 Katarak (Hari, 2011)

2.2 Patofisiologi Katarak

Kelainan Bawaan (Kongenital)

Katarak dapat disebabakan karena gangguan proses pengembangan embrio


saat dalam kandungan dan kelainan kromosom secara genetik. Sehingga, jika
menemukan kasus katarak kongenital biasanya harus dicari kelainan pada tubuh lain
juga sehingga berupa suatu sindrom (Budiono dkk, 2013).

Proses Penuaan (Senilis)

Lensa mata akan mengalami kekeruhan, yaitu mengalami pertambahan berat,


ketebalan, dan mengalami penurunan daya akomodasi seiring bertambahnya usia
2
karena proses degeneratif. Nukleus lensa akan mengalami kompresi dan pengerasan
(nuclear sclerosis). Pembentukan kumpulan molekul protein dengan berat molekul
tinggi dapat menyebabkan fluktuasi mendadak indeks bias lokal lensa, sehingga
muncul hamburan cahaya dan mengurangi transparansi lensa. Modikfikasi kimia dari
protein nucleus lensa juga dapat meningkatkan pigmentasi, sehingga lensa tampak
berwarna kuning atau kecoklatan dengan bertambahnya usia. Perubahan lain yang
berhubungan dengan usia adalah penurunan konsentrasi glutathione dan kalium, dan
peningkatan konsentrasi natrium dan kalsium dalam sitoplasma lensa (Budiono dkk,
2013).

Penyakit Sistemik (Komplikata)

Penyakit sistemik yang paling sering menyebabkan katarak adalah diabetes


melitus. Pada diabetes melitus, terjadi akumulasi sorbitol pada keadaan hiperglikemi
dimana sorbitol akan menarik air kedalam lensa sehingga terjadi hidrasi lensa. Teori
kedua yaitu terjadi glikosilasi protein dimana dapat menurunkan kejernihan lensa.
Rubella dan Toxoplasma juga dapat berperan dalam terjadinya katarak (Budiono dkk,
2013).

Trauma

Trauma dapat menganggu struktur lensa secara makros dan mikros, dan dapat
penganggu keseibangan metabolism lensa (Budiono dkk,

Penyakit Mata Lainnya

Penyakit mata glaucoma dam uveitis menyebabkan kekeruhan lensa karena


menganggu keseimbangan elektrolit (Budiono, 2013).

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko

1. Usia
Seiring dengan pertambahan usia, lensa akan mengalami penuaan. Keistimewaan lensa
adalah terus menerus tumbuh dan membentuk serat lensa dengan arah pertumbuhannya
yang konsentris. Tidak ada sel yang mati ataupun terbuang karena lensa tertutupi oleh
serat lensa. Akibatnya, serat lensa paling tua berada di pusat lensa (nukleus) dan serat
lensa yang paling muda berada tepat di bawah kapsul lensa (korteks). Dengan
pertambahan usia, lensa pun bertambah berat, tebal, dan keras terutama bagian nukleus.
3
Pengerasan nukleus lensa disebut dengan nuklear sklerosis. Selain itu, seiring dengan
pertambahan usia, protein lensa pun mengalami perubahan kimia. Fraksi protein lensa
yang dahulunya larut air menjadi tidak larut air dan beragregasi membentuk protein
dengan berat molekul yang besar. Hal ini menyebabkan transparansi lensa berkurang
sehingga lensa tidak lagi meneruskan cahaya tetapi malah mengaburkan cahaya dan
lensa menjadi tidak tembus cahaya (Cunningham & Riordan-Eva, 2011).

2. Radikal bebas
Radikal bebas dapat merusak protein, lipid, karbohidrat dan asam nukleat sel lensa.
Radikal bebas dapat dihasilkan oleh hasil metabolisme sel itu sendiri, yaitu elektron
monovalen dari oksigen yang tereduksi saat reduksi oksigen menjadi air pada jalur sitokrom,
dan dari agen eksternal seperti energi radiasi. Contoh-contoh radikal oksigen adalah anion
superoksida (O2-), radikal bebas hidroksil (OH+), radikal peroksil (ROO+), radikal lipid
peroksil (LOOH), oksigen tunggal (O2), dan hidrogen peroksida (H2O2). Agen oksidatif
tersebut dapat memindahkan atom hidrogen dari asam lemak tak jenuh membran plasma
membentuk asam lemak radikal dan menyerang oksigen serta membentuk radikal lipid
peroksida. Reaksi ini lebih lanjut akan membentuk lipid peroksida lalu membentuk
malondialdehida (MDA). MDA ini dapat menyebabkan ikatan silang antara lemak dan
protein. Polimerisasi dan ikatan silang protein menyebabkan agregasi kristalin dan inaktivasi
enzim- enzim yang berperan dalam mekanisme antioksidan seperti katalase dan glutation
reduktase. Hal-hal inilah yang dapat menyebabkan kekeruhan pada lensa (Duker & Yanoff,
2009).

3. Radiasi ultraviolet
Radiasi ultraviolet dapat meningkatkan jumlah radikal bebas pada lensa karena
tingginya penetrasi jumlah cahaya UV menuju lensa. UV memiliki energi foton yang besar
sehingga dapat meningkatkan molekul oksigen dari bentuk triplet menjadi oksigen tunggal
yang merupakan salah satu spesies oksigen reaktif.

4. Merokok
Merokok dapat menyebabkan akumulasi kadmium di lensa. Kadmium dapat
berkompetisi dengan kuprum dan mengganggu homeostasis kuprum. Kuprum penting untuk
aktivitas fisiologis superoksida dismutase di lensa. Sehingga dengan adanya kadmium
menyebabkan fungsi superoksida dismutase sebagai antioksidan terganggu. Hal ini

4
menyebabkan terjadinya kerusakan oksidatif pada lensa dan menimbulkan katarak.
Disebutkan juga bahwa kadmium dapat mengendapkan lensa sehingga timbul katarak.
Selain Kadmium, Nitric Oxyde (NO) dapat menyebabkan katarak dengan mekanisme
NO bereaksi secara cepat dengan anion superoksida untuk membentuk peroksinitrit sehingga
terjadi nitratasi residu tirosin dari protein lensa. Hal ini dapat memicu peroksidasi lipid
membentuk malondyaldehida. Malondyaldehida memiliki efek inhibitor terhadap enzim
antioksidan seperti katalase dan glutation reduktase sehingga terjadi oksidasi lensa lalu terjadi
kekeruhan lensa dan akhirnya terbentuk katarak (Duker & Yanoff, 2009).

5. Defisiensi vitamin A, C, E, niasin, tiamin, riboflavin dan beta karoten


Zat nutrisi tersebut merupakan antioksidan eksogen yang berfungsi menetralkan
radikal bebas yang terbentuk pada lensa sehingga dapat mencegah terjadinya katarak.

6. Dehidrasi
Perubahan keseimbangan elektrolit dapat menyebabkan kerusakan pada lensa. Hal ini
disebabkan karena perubahan komposisi elektrolit pada lensa dapat menyebabkan kekeruhan
pada lensa.
7. Trauma
Trauma dapat menyebabkan kerusakan langsung pada protein lensa sehingga timbul
katarak (Cunningham & Riordan-Eva, 2011).

8. Infeksi
Uveitis kronik sering menyebabkan katarak. Pada uveitis sering dijumpai sinekia
posterior yang menyebabkan pengerasan pada kapsul anterior lensa.

9. Obat-obatan dan jamu yang mengandung kortikosteroid


Penggunaan steroid jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya katarak. Jenis
katarak yang sering pada pengguna kortikosteroid adalah katarak subkapsular. Obat lain yang
dapat menyebabkan katarak adalah phenotiazine, amiodarone, dan obat tetes phospholine
iodine.

10. Penyakit sistemik seperti diabetes mellitus


Diabetes mellitus dapat menyebabkan perubahan metabolisme lensa. Tingginya kadar
gula darah menyebabkan tingginya kadar sorbitol lensa. Sorbitol ini menyebabkan
peningkatan tekanan osmotik lensa sehingga lensa menjadi sangat terhidrasi dan timbul
katarak (Pollreisz &Schmidt-Erfurth, 2010).
5
11. Overweight/Obesitas
Myopia Kelebihan berat badan merupakan salah satu faktor risiko yang dapat
meningkatkan terjadinya katarak. Ada berbagai mekanisme yang dapat menjelaskan terjadinya
katarak pada populasi obesitas, diantaranya adalah ketidakseimbangan hormon kortisol,
tingginya kadar glukosa darah dan sorbitol lensa mata, dan denaturasi protein lensa mata.

12. Genetik
Riwayat keluarga berpotensi meningkatkan resiko terjadinya katarak dan percepatan
maturasi katarak
13. Myopia
Pada penderita myopia dijumpai peningkatan kadar MDA dan penurunan kadar
glutation tereduksi sehingga memudahkan terjadinya kekeruhan pada lensa (American
Academy of Ophthalmology, 2014).

2.4 Jenis Katarak Berdasarkan Penyebab


i. Katarak Kongenital
ii. Katarak Senilis (terkait usia)
iii. Katarak Traumatika
iv. Katarak Sekunder/Komplikata

2.5 Klasifikasi
2.5.1 Klasifikasi berdasarkan morfologis
2.5.1.1 Katarak nuklear
Katarak nuklear adalah katarak yang melibatkan bagian nukleus lensa.
Sebagian besar katarak nuclear adalah bilateral, tetapi bisa asimetrik. Katarak nuklear
disebabkan oleh faktor usia. Katarak nuklear merupakan sklerosis normal yang
berlebihan atau pengerasan dan penguningan nukleus pada usia lanjut. Beberapa
derajat sklerosis nuklear dan proses penguningan pada lensa mata dianggap sebagai
sesuatu yang fisiologis saat memasuki usia pertengahan. Biasanya, pada kondisi ini
daya lihat seseorang berkurang secara minimal dan umumnya masih baik. Saat bagian
nukleus lensa mengalami proses sklerosis dan penguningan yang banyak, disebut
dengan katarak nuklear atau opasitas sentral (American Academy of Ophthalmology,
2014). Gejala paling dini dari katarak jenis ini ialah membaiknya penglihatan dekat
tanpa menggunakan kacamata atau biasa dikenal sebagai “penglihatan kedua”. Hal ini

6
diakibatkan oleh meningkatnya kemampuan lensa bagian sentral, menyebabkan
refraksi bergeser ke miopia. Gejala lain biasanya terdapat diskriminasi warna yang
buruk atau diplopia monokular (Riordan-Eva, 2009). Pada katarak nuklear yang telah
memasuki fase berat, nukleus lensa menjadi sangat keruh dan berwarna sangat
kecoklatan yang disebut brunescent nuclear cataract (American Academy of
Ophthalmology, 2014).

Gambar 2.5.1.1 Katarak nuclear.

2.5.1.2 Katarak kortikal


Katarak kortikal adalah katarak yang melibatkan korteks lensa dan
disebabkan oleh usia dan diabetes. Lapisan kortikal kurang padat
dibandingkan nukleus sehingga lebih mudah menjadi sangat terhidrasi akibat
ketidakseimbangan elektrolit, yang secepatnya akan mengarah ke kerusakan
serat korteks lensa.

Gambar 2.5.1.2 Katarak kortikal.


2.5.1.3 Katarak subkapsular posterior
Katarak subkapsular adalah katarak yang melibatkan bagian superfisial korteks
atau tepat di bawah kapsul lensa. Katarak subkapsular dapat terjadi akibat usia, radiasi,
konsumsi steroid, diabetes, myopia berat, degenerasi retina, jejas lokal, iritasi, uveitis
7
dan radiasi. Katarak subkapsular posterior adalah kekeruhan pada korteks di dekat
kapsul posterior bagian sentral. Pada tahapan awal, gangguan penglihatan biasanya
menjadi gejala utama dikarenakan adanya keterlibatan sumbu (axial). Indikasi awal
terjadinya katarak subkapsular posterior adalah kilauan warna yang samar (subtle
iridescent sheen) pada lapisan kortikal posterior yang terlihat dengan slit-lamp.

Pasien juga sering mengeluhkan silau dan penglihatan jelek pada kondisi
cahaya terang karena katarak jenis ini menutupi pupil ketika miosis akibat cahaya
terang, akomodasi, atau miotikum. (American Academy of Ophthalmology, 2014).
Gejala umum lain yang biasa ditemukan pada katarak jenis ini adalah glare dan
penurunan penglihatan pada pencahayaan yang terang (Riordan-Eva, 2009). Katarak
jenis ini lebih sering ditemukan pada pasien yang usianya lebih muda jika
dibandingkan dengan mereka yang mengalami katarak jenis nuklear maupun kortikal.
(American Academy of Ophthalmology, 2014).

Gambar 2.5.1.3 Katarak subkapsular posterior.


2.5.1.4 Katarak campuran
Katarak campuran adalah keadaan di mana lebih dari satu tipe katarak muncul
bersamaan. Pada awalnya katarak biasanya muncul sebagai satu tipe saja tetapi akan
dapat menjadi katarak gabungan ketika bagian lensa yang lain juga mengalami
degenerasi. Katarak gabungan mengindikasikan katarak telah lanjut dan
perkembangannya harus lebih diperhatikan. Pasien dengan katarak gabungan akan
memiliki gejala penurunan visus.
2.5.2 Klasifikasi berdasarkan stadium
Menurut stadium klinis dan tebal tipisnya kekeruhan lensa, katarak senilis dibagi

8
dalam 4 stadium, yaitu:
1. Katarak insipien
a. Kekeruhan mulai dari tepi ekuator berbentuk jeriji menuju korteks anterior dan
posterior (pada katarak kortikal). Vakuol mulai terlihat di dalam korteks.
b. Katarak subkapsular posterior, kekeruhan mulai terlihat anterior subkapsular posterior,
celah terbentuk antara serat lensa dan dan korteks berisi jaringan degeneratif (benda
Morgagni) pada katarak insipien.
c. Kekeruhan ini dapat menimbulkan poliopia oleh karena indeks refraksi yang tidak sama
pada semua bagian lensa. Bentuk ini kadang-kadang menetap untuk waktu yang lama.
Biasanya pada stadium ini tidak menimbulkan gangguan tajam penglihatan dan visus
masih bisa dioreksi mencapai 6/6

Gambar 2.5.2.1 Katarak kortikal insipien (EyeRounds, 2017)


2. Katarak Imatur
Katarak imatur ditandai dengan kekeruhan sebagian lensa dan belum mengenai
seluruh lapisan lensa. Pada katarak imatur volume lensa akan dapat bertambah akibat
meningkatnya tekanan osmotik bahan lensa yang degeneratif. Kekeruhan terutama di
bagian posterior nucleus. Pada keadaan lensa mencembung akan dapat menimbulkan
hambatan pupil, sehingga terjadi glaukoma sekunder.
Pada intumesensi terjadi kekeruhan lensa disertai pembengkakan lensa akibat lensa
degeneratif yang menyerap air. Masuknya air ke dalam celah lensa disertai
pembengkakan lensa menjadi bengkak dan besar yang akan mendorong iris sehingga
bilik mata menjadi dangkal dibanding dengan keadaan normal. Pencembungan lensa
ini akan dapat memberikan penyulit glaucoma fakomorfik.
Katarak intumesen biasanya terjadi pada katarak yang berjalan cepat dan
mengakibatkan miopia lentikular. Pada keadaan ini dapat terjadi hidrasi korteks
sehingga akan mencembung dan daya biasnya akan bertambah, yang memberikan
miopisasi. Pada pemeriksaan slit-lamp terlihat vakuol pada lensa disertai peregangan
9
jarak lamel serat lensa.

Gambar 2.5.2.2 Katarak imatur (kiri) (EyeRounds, 2017)


3. Katarak matur
Pada keadaan matur kekeruhan telah mengenai seluruh massa lensa. Kekeruhan ini
bisa terjadi akibat deposisi ion kalsium yang menyeluruh. Bila katarak imatur atau
intumesen tidak dikeluarkan maka cairan lensa akan keluar, sehingga lensa kembali
pada ukuran yang normal. Akan terjadi kekeruhan seluruh lensa yang bila lama akan
mengakibatkan kalsifikasi lensa. Kedalaman bilik mata depan normal kembali, tidak
terdapat bayangan iris pada lensa yang keruh, sehingga uji bayangan iris negatif.
Tajam penglihatan menurun tinggal melihat gerakan tangan atau persepsi cahaya.

Gambar 2.5.2.3 Katarak matur (Kanski & Bowling, 2011)


4. Katarak Hipermatur
Katarak hipermatur adalah katarak yang mengalami proses degenerasi lanjut, dapat
menjadi keras atau lembek dan mencair. Masa lensa yang berdegenerasi keluar dari
kapsul lensa sehingga lensa menjadi mengecil, berwarna kuning dan kering. Pada
pemeriksaan terlihat bilik mata dalam dan lipatan kapsul lensa. Kadang-kadang
pengkerutan berjalan terus sehingga hubungan dengan zonula zinn menjadi kendur.
Korteks akan memperlihatkan bentuk sebagai sekantong susu disertai dengan nukleus
yang terbenam di dalam korteks lensa karena lebih berat. Keadaan ini disebut katarak
Morgagni. Karena kortek lensa mencair, nukleus terjatuh atau menggantung
10
(morgagni), iris menjadi bergetar (tremulans). Pada stadium ini dapat terjadi
glaukoma: fakolitik (akibat korteks lensa mencair sehingga terdapat partikel-partikel
lensa yang ikut aliran humor aquos dan dapat menghambat di trabekulum meshwork
sehingga aquos terhambat drainase nya), fakotoksik (karena partikel lensa yang
hancur pada stadium ini dapat di anggap sebagai benda asing dapat menimbulkan
reaksi peradangan dan berujung pada uveitis), fakotopik (komplikasi yang disebabkan
oleh terlepasnya kapsula posterior dari zona zonula yang memfiksasinya) (Ilyas,
2005).

Gambar 2.5.2.4 Katarak hipermatur (kiri) dan katarak Morgagnian (kanan)


(Kanski & Bowling, 2011)

2.6 Gejala Klinis Katarak


1. Penurunan tajam penglihatan. Bila kekeruhan tipis, kemunduran visus sedikit atau
sebaliknya. Kekeruhan di sentral akan lebih mengaburkan pandangan penderita
daripada kekeruhan di perifer. Keluhan dirasakan makin lama makin kabur pada
penglihatan. Penglihatan pasien seperti tertutupi kabut/ asap/ awan putih. Katarak
nuklear biasanya menyebabkan penurunan lebih besar untuk penglihatan jarak jauh dari
pada penglihatan jarak dekat. Sedangkan katarak kortikal biasanya bilateral tetapi sering
asimetris. Katarak supkasular posterior biasanya terjadi penurunan penglihatan jarak
dekat cenderung lebih besar daripada penglihatan jarak jauh. Pada stadium awal
penderita mengeluh miopi atau merasa lebih enak membaca dekat, hal ini terjadi karena
proses pembentukan katarak sehingga lensa menjadi cembung dan refraksi mata
meningkat, akibatnya bayangan jatuh dimuka retina. Dapat terjadi myopic shift di mana
kadang pada orang tua yang presbiopi akan mengatakan bahwa penglihatannya lebih
jelas tanpa memakai kacamata seolah-olah sembuh dan mendapatkan penglihatan baru
(second sight). Perubahanan mendadak ini dapat menyebabkan monokuler diplopia
11
(penderita melihat 2 bayangan yang disebabkan oleh karena refraksi dari lensa).
Biasanya terjadi pada katarak nuclear dan kortikal.
2. Silau, terutama karena kekeruhan di subkapsular posterior. Pasien katarak sering
mengeluh silau, yang bisa bervariasi keparahannya mulai dari penurunan sensitivitas
kontras dalam lingkungan yang terang hingga silau pada saat siang hari atau sewaktu
melihat lampu mobil atau kondisi serupa di malam hari.
3. Penurunan sensitivitas kontras sehingga sulit melihat malam hari.
4. Jika terdapat keluhan nyeri pada mata dan terdapat halo di sekitar cahaya terang,
terutama jika hanya pada satu mata : curiga terdapat glaukoma sekunder akibat katarak
(Cunningham & Riordan-Eva, 2011).

2.7 Pemeriksaan Fisik


Berikut beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan pada pasien katarak oleh American
Academy of Ophthalmology (2014):
 Diagnosa dari katarak senilis dibuat atas dasar anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan
seluruh tubuh terhadap adanya kelainan-kelainan harus dilakukan untuk menyingkirkan
penyakit sistemik yang berefek terhadap mata dan perkembangan katarak.
 Pemeriksaan mata yang lengkap harus dilakukan yang dimulai dengan ketajaman penglihatan
untuk gangguan penglihatan jauh dan dekat. Pemeriksaan visus dapat dilakukan dengan
Snellen card. Visus dapat membaik dengan dilatasi pupil, terutama pada katarak subkapsular
posterior. Ketika pasien mengeluh silau, harus diperiksa di kamar dengan cahaya terang.
 Pemeriksaan refraksi dapat dilakukan untuk memperkirakan kekuatan lensa IOL dan mencari
adanya myopic shift. Pemeriksaan menggunakan kartu Snellen.
 Pemeriksaan adneksa okular dan struktur intraokular dapat memberikan petunjuk terhadap
penyakit pasien dan prognosis penglihatannya.
 Pemeriksaan segmen anterior dapat mengetahui keadaan segmen depan bola mata. Untuk
memeriksa COA (camera oculi anterior) atau bilik mata depan pada pasien: dilakukan oblique
flashlight test yaitu sinari mata pasien dari sisi temporal kemudian perhatikan pantulan atau
bayangan cahaya pada iris. Bila cahaya tidak mencapai seluruh iris maka terdapat
kedangkalan bilik mata depan.
 Pemeriksaan iris shadow untuk mengetahui derajat kekeruhan lensa mata. Teknik
pemeriksaan ini menggunakan pen light dengan disinarkan pada pupil membuat sudut 45

12
derajat dengan dataran iris. Semakin sedikit lensa keruh pada bagian posterior maka makin
besar bayangan iris pada lensa yang keruh. Sedang makin tebal kekeruhan lensa makin kecil
bayangan iris pada lensa yang keruh.
 Penilaian pemeriksaan iris shadow:
- (shadow test +), bila bayangan iris pada lensa terlihat besar dan letaknya jauh terhadap
pupil berarti lensa belum keruh seluruhnya, ini terjadi pada katarak imatur
- (shadow test -), bayangan iris pada lensa kecil dan dekat terhadap pupil berarti lensa sudah
keruh seluruhnya, ini terjadi pada katarak matur.
 Pemeriksaan pupil selain untuk melihat bentuk dan fungsi pupil, refleks cahaya langsung dan
konsensuil, dapat juga dilakukan swinging flashlight test yang dapat mendeteksi pupil
Marcus Gunn dan relative afferent pupillary defect atau RAPD.
 Pemeriksaan slit lamp tidak hanya difokuskan untuk evaluasi opasitas lensa dan tipe katarak.
Tapi dapat juga struktur okular lain (konjungtiva, kornea, iris, bilik mata depan). Ketebalan
kornea dan opasitas kornea seperti kornea gutata harus diperiksa hati-hati. Gambaran lensa
harus dicatat secara teliti sebelum dan sesudah pemberian dilator pupil. Posisi lensa dan
integritas dari serat zonular juga dapat diperiksa sebab subluxasi lensa dapat mengidentifikasi
adanya trauma mata sebelumnya, kelainan metabolik, atau katarak hipermatur
 Kepentingan ofthalmoskopi direk dan indirek dalam evaluasi dari integritas bagian belakang
harus dinilai. Masalah pada saraf optik dan retina dapat menilai gangguan penglihatan.
Pemeriksaan refleks fundus dilakukan menggunakan oftalmoskop pada jarak 30 cm. Refleks
fundus yang berwarna jingga akan menjadi gelap pada katarak matur.
 Pemeriksaan tekanan bola mata dengan jari atau dengan tonometri dapat dilakukan untuk
menilai ada tidaknya glaukoma.

2.8 Penyulit
Komplikasi katarak yang tersering adalah glaukoma yang dapat terjadi karena proses
fakomorfik, fakolitik, fakotopik, fakotoksik

13
.Gambar 2.8 Penyulit Katarak
2.9 Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk katarak senilis imatur dapat berupa katarak senilis matur, dan
katarak senilis hipermatur.

2.10 Penatalaksanaan
Tatalaksana non-bedah hanya memperbaiki fungsi visual untuk sementara, bahkan hanya
mencegah agar tidak lebih buruk dengan cepat. Belum ada penelitian yang membuktikan obat-
obatan dapat menghambat progresivitas katarak. Beberapa obat yang diduga dapat
memperlambat katarak diantaranya: penurun kadar sorbitol, aspirin, antioksidan, vitamin C
dan E (Cunningham & Riordan-Eva, 2011).
Indikasi penatalaksanaan bedah pada kasus katarak mencakup indikasi visus, medis, dan
kosmetik.
 Indikasi visus; merupakan indikasi paling sering. Indikasi ini berbeda pada tiap individu,
tergantung dari gangguan yang ditimbulkan oleh katarak terhadap aktivitas sehari-harinya.
 Indikasi medis; pasien bisa saja merasa tidak terganggu dengan kekeruhan pada lensa
matanya, namun beberapa indikasi medis dilakukan operasi katarak seperti glaukoma imbas
lensa (lens-induced glaucoma), endoftalmitis fakoanafilaktik, dan kelainan pada retina
misalnya retiopati diabetik atau ablasio retina.
 Indikasi kosmetik; kadang-kadang pasien dengan katarak matur meminta ekstraksi katarak
untuk memperoleh pupil yang hitam (Duker & Yanoff, 2009).

14
` 1. Pembedahan Intrakapsuler / ICCE / Intra Capsular Cataract Extraction
Pada ekstraksi jenis ini lensa dikeluarkan bersama-sama dengan kapsul lensanya dengan
memutus zonula zinni yang telah mengalami degenerasi. Teknik ini dapat dilakukan dengan
alat – alat yang kurang canggih dan di daerah dimana tidak terdapat mikroskop operasi dan
sistem origasi (Kanski & Bowling, 2011).
ICCE merupakan kontraindikasi absolut pada anak-anak dan dewasa muda dengan katarak
dan kasus-kasus dengan trauma ruptur kapsular. Kontraindikasi relatif adalah miopia tinggi,
sindrom marfan, katarak morgagni, dan adanya vitreus di bilik mata depan. ICCE masih
sangat bermanfaat pada kasus-kasus yang tidak stabil, katarak intumesen, hipermatur dan
katarak luksasi. ICCE juga masih lebih dipilih pada kasus dimana zonula zini tidak cukup kuat
sehingga tidak memungkinkan menggunakan ECCE (Duker & Yanoff, 2009).
2. Pembedahan Ekstrakapsuler / ECCE / Extra Capsular Cataract Extraction
ECCE melibatkan pengangkatan nukleus lensa dan korteks melalui bukaan pada
kapsul lensa anterior, dengan kantong kapsuler tertinggal di tempat.Pada ECCE (Extra
Capsular Cataract Extraction) atau EKEK, lensa diangkat dengan meninggalkan kapsulnya.
Pelaksanaan prosedur ini tergantung dari ketersediaan alat, kemampuan ahli bedah dan
densitas nukleus. ECCE yang melibatkan pengeluaran nukleus dan korteks lensa melalui
kapsula anterior, meninggalkan kapsula posterior. Prosedur ini memiliki beberapa keuntungan
dibanding ICCE karena dilakukan dengan insisi yang lebih kecil, maka trauma endothelium
kornea lebih sedikit, astigmatisma berkurang, jahitannya lebih stabil dan aman. Kapsula
posterior yang intak akan mengurangi resiko keluarnya vitreous intraoperatif, posisi fiksasi
IOL lebih baik secara anatomi, mengurangi angka kejadian edema makular, kerusakan retina
dan edema kornea, mengurangi mobilitas iris dan vitreous yang terjadi dengan pergerakan
saccus (endophtalmodenesis), adanya barrier restriksi perpindahan molekul aquous dan
vitreous, dan mengeleminasi komplikasi jangka panjang dan pendek yang berhubungan
dengan lengketnya vitreous dengan iris, kornea dan tempat insisi (Cunningham & Riordan-
Eva, 2011).
3. SICS (Small Incision Cataract Surgery)
Teknik ini hanya memerlukan dua sayatan kecil di sisi bola mata, lalu melepas lensa mata
keruh dan memasangkan lensa intraokular buatan. Waktu operasi SICS relatif singkat, sekitar
5-8 menit. (Kanski & Bowling, 2011)

15
4. Fakoemulsifikasi
Fakoemulsifikasi menggunakan ultrasound untuk menghancurkan nukleus lensa dan
mengemulsifikasikan pecahannya. Teknik ini juga menggunakan sistem aspirasi yang
dikendalikan secara otomatis untuk mengeluarkan bahan kortikal melalui jarum kecil yang
dimasukkan ke mata melalui sayatan yang sangat kecil. Fakoemulsifikasi mengakibatkan
insiden komplikasi yang lebih rendah, penyembuhan dan rehabilitasi visual yang lebih cepat
daripada prosedur yang memerlukan sayatan yang lebih besar. Teknik ini juga menciptakan
sistem relatif tertutup selama fakoemulsifikasi dan aspirasi sehingga mengendalikan ke
dalaman bilik mata depan dan memberikan perlindungan terhadap tekanan positif vitreus dan
perdarahan khoroidal. Biasanya tidak dibutuhkan jahitan. Teknik ini bermanfaat pada katarak
kongenital, traumatik, dan kebanyakan katarak senilis (Cunningham & Riordan-Eva, 2011).
Tabel 2.3 Perbandingan berbagai operasi katarak

5. Kaca Mata Afakia

Mampu memberikan pandangan sentral yang baik. Namun pembesaran 25% sampai 30%
menyebabkan penurunan dan distorsi pandangan perifer, yang menyebabkan kesulitan dalam
memahami relasi spasial, membuat benda – benda nampak jauh lebih dekat dari yang
sebenarnya. Kaca mata ini juga menyebabkan aberasi sferis, mengubah garis lurus menjadi
lengkung. Memerlukan waktu penyesuaian yang lama sampai pasien mampu
mengkoordinasikan gerakan, memeprrkirakan jarak, dan berfungsi aman dengan medan
pandangan yang terbatas. Kaca mata afakia sangat tebal dan merepotkan dan membuat mata

16
kelihatan sangat besar (Cunningham & Riordan-Eva, 2011).

6. Lensa Kontak
Jauh lebih nyaman dari kaca mata afakia. Tak terjadi pembesaran yang bermakna (5%-
10%), tak terdapat aberas i sferis, tak ada penurunan lapang pandangan dan tak ada kesalahan
orientasi spasial. Lensa ini memberikan rehabilitasi visual yang hampir sempurna bagi mereka
yang mampu menguasai cara memasang, melepaskan dan merawat dan bagi mereka yang
dapat mengenakannya dengan nyaman (American Academy of Ophthalmology, 2014).

7. Implantasi Lensa Okuler


Lensa implan intraokuler adalah lensa buatan yang ditanamkan di mata, biasanya
menggantikan lensa kristal alami karena telah keruh oleh katarak, atau telah dihapus sebagai
bentuk bedah refraktif untuk mengubah daya optik mata. Lensa ini biasanya terdiri dari akrilik
atau silikon dengan kaitan plastik, yang disebut haptics, untuk memegangi lensa ditempatnya
dalam kantong kapsuler. Prosedur ini dapat dilakukan dengan anestesi lokal di mana pasien
terjaga sepanjang operasi. Prosedur ini biasanya memakan waktu kurang dari 30 menit di
tangan seorang dokter mata berpengalaman. Periode pemulihan adalah sekitar 2-3 minggu.
Setelah operasi, pasien harus menghindari olahraga berat atau kegiatan apapun yang secara
signifikan meningkatkan tekanan darah. (Cunningham & Riordan-Eva, 2011).

2.11 Prognosis
Prognosis katarak adalah baik dengan lebih dari 95% pasien mengalami perbaikan
visual setelah dilakukan operasi.

17
BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1. IDENTITAS PENDERITA


Nama : Tn. S
Usia : 63 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Tambaksari, Surabaya
Pekerjaan : Penjual Soto
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Status Pernikahan : Menikah
Tanggal Pemeriksaan : 2 September 2019
No. DMK : 10.66.81.96

3.2. DATA DASAR

Anamnesis

Keluhan Utama: Penglihatan kabur

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien rujukan dari RS Undaan dengan OS Katarak senilis pro OS


ekstraksi katarak dengan GA. Pasien mengeluhkan penglihatan kabur pada mata
kiri seperti tertutup asap putih sejak 5 bulan yang lalu. Pengihatan mata kiri
bertambah kabur hingga saat ini, dan tidak pernah membaik.. Kabur dirasakan
perlahan-lahan, mulai dari bagian tengah lapang pandang penglihatan. Pasien juga
merasa lebih mudah silau saat melihat cahaya.
Pasien tidak merasakan bayangan melayang- layang pada penglihatan,
pengelihatan seperti tirai, kabur yang berasal dari pinggir lapang pandang
penglihatan, mata nyeri, mata merah, cekot-cekot maupun mata berair. Pasien juga
tidak memiliki keluhan sering menabrak saat berjalan. Menurut pasien, pasien pun
tidak melihat warna pelangi di sekitar lampu maupun kesulitan
membedakan warna.
Pasien dijadwalkan untuk menjalani operasi katarak pada mata kiri namun
operasi ditunda karena pasien mengalami gangguan jantung yang ditandai dengan

18
sesak dan berdebar sehingga pasien dirujuk ke RS yang memiliki ICU.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien memiliki riwayat katarak pada mata kanan dan sudah dioperasi pada tahun lalu.
- Pasien juga memiliki riwayat hipertensi yang diketahui sejak 24 tahun lalu
(1995) namun tidak rutin meminum obat.
- Tidak ada riwayat penyakit asma dan kencing manis.
- Tidak ada riwayat alergi obat.

Riwayat Kaca Mata


Pasien menggunakan kaca mata setelah operasi katarak mata kanan sampai lensa
tanam dipasang.
Riwayat Trauma
Tidak didapatkan riwayat trauma maupun operasi pada mata kiri.
Riwayat Operasi
Pasien menjalani serangkaian operasi di RS Undaan sebagai terapi katarak pada mata
kanannya:
- Operasi katarak mata kanan tidak pasang lensa pada 19 Oktober 2018
- Operasi pengambilan bulu mata pada mata kanan dengan jarak 2 bulan dari operasi
pertama
- Operasi pasang lensa tanam pada mata 4 bulan kemudian
- Operasi untuk melepas jahitan pada mata kanan
Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah pasien memiliki riwayat katarak.
Riwayat Sosial
Pasien merupakan seorang penjual soto. Pasien merokok sekitar 20 batang
per hari sejak usia 10 tahun namun berhenti merokok sejak 1 tahun lalu. Pasien
tidak mengkonsumsi alkohol maupun mengkonsumsi jamu-jamuan.

3.3. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : Baik , GCS 456
Tekanan darah : 160/80 mmHg, posisi duduk, lengan kanan
Nadi : 96 x/menit, regular, kuat angkat
RR : `18 x/menit regular
Status generalis
K/L : a/i/c/d (-), pKGB (-)

19
Toraks : simetris, tidak ada retraksi
Pulmo : vesikuler/vesikuler, rhonki -/- ; wheezing -/-
Cor : S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Flat, BU (+), Normal
Ekstremitas : Akral hangat, kering, merah; edema (-)
Status Lokalis Mata
VOD : 5/20 CC S-0,75 C-0,5 X 0 5/6 PHNI
VOS : 2/60 CC S-5,25 C-0,5 X 0  5/8 PHNI
TOD : 14,3 mmHg
TOS : 14,3 mmHg
Tes Konfrontasi
OD: Tidak ada defek lapang pandang
OS: Tidak ada defek lapang pandang
Pemeriksaan segmen anterior
Kanan Kiri

edema - spasme - Palpebra edema - spasme -

hiperemi -, sekret - Konjungtiva hiperemi -, sekret -

jernih + Kornea jernih +


dalam+ BMD dalam +
iradier, atropi -, iridektomi + Iris radier +, atropi -, irids shadow +,
iridodenesis -
tidak bulat, isokor, RC +, Pupil bulat +, isokor, RC +, diameter
diameter 3 mm, phacodenesis - 3 mm, phacodenesis -

IOL Lensa Keruh

OD OS

20
Pemeriksaan segmen posterior
• FdOD: Fundus reflex +, Papil N. II batas tegas +, warna normal, retina: perdarahan
-, eksudat –
• FdOS: Fundus reflex +, detail sde

3.4 PROBLEM LIST


 Mata kiri kabur perlahan sejak 5 bulan yang lalu
 Kabur pada mata kiri seperti tertutup asap putih
 Lebih mudah merasa silau
 Tajam penglihatan menurun
 Riwayat operasi katarak pada mata kanan
 Riwayat operasi pengambilan bulu mata pada mata kanan
 VOD 5/20 dan VOS 2/60
 Lensa mata kiri keruh
 OS Iris shadow test (+)
 Tekanan darah 160/80 mmHg
 Riwayat hipertensi

3.5 DIAGNOSIS

OS Katarak Senilis Imatur


OD Entropion involusional
OD Pseudofakia
Hipertensi Stage II JNC VII

3.6 PLANNING
Diagnosis
CXR, Lab, USG Mata (Persiapan operasi), Biometri mata

Terapi
Rujuk ke spesialis mata untuk dilakukan tindakan:
 OS PE + IOL dengan anestesi lokal
 Operasi entropion

Monitoring

21
Keluhan pasien, vital sign, visus, segmen anterior-posterior.
Edukasi
 Menjelaskan tentang penyakit yang diderita dan prognosisnya
 Menjelaskan tentang pemeriksaan – pemeriksaan yang akan dilakukan
 Menjelaskan tentang kemungkinan terjadi katarak sekunder
 Edukasi kepada pasien untuk menghindari cahaya matahari karena dapat
mempercepat progresivitas katarak
 Edukasi tentang tindakan operasi yang akan dilakukan, komplikasi,
keberhasilan, serta tindakan post operasi

22
BAB 4
ANALISIS

Mata kabur unilateral tanpa nyeri

Kelainan
Katarak
refraksi

Lensa keruh

Visus tidak
membaik
dengan pinhole

Iris shadow test


(+)

Pada pasien dengan keluhan mata kabur unilateral kronis tanpa nyeri kepala,
diagnosis banding yang dapat dipertimbangkan adalah katarak dan kelainan refraksi.
Apabila pada pemeriksaan fisik ditemukan lensa keruh, maka kelainan lebih condong ke
katarak. Katarak merupakan penyakit kekeruhan pada lensa mata. Pada kasus ini, pasien
berjenis kelamin laki-laki berusia 63 tahun dengan keluhan mata kiri kabur yang
dirasakan sejak 5 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan semakin memberat disertai keluhan
sering merasa silau jika terkena cahaya.
Anamnesis pasien pada kasus ini didapatkan keluhan khas katarak yaitu
pandangan kabur diikuti penurunan ketajaman penglihatan/visus yang mengalami
progresivitas perlahan dalam 5 bulan terakhir. Saat ini pasien mengeluhkan pandangan
kabur pada mata kirinya. Pasien merasa pandangannya terganggu seperti melihat asap
putih. Pasien juga mengeluh keluhannya semakin lama semakin memberat.
Apabila menghadapi keluhan penurunan visus perlahan seperti pada pasien ini,
perlu dipikirkan beberapa diagnosis banding. Keluhan penurunan visus secara perlahan
tanpa ada keluhan mata merah menyingkirkan semua diagnosis penyakit mata dengan
penurunan visus akut, seperti keratitis dan uveitis. Keluhan penurunan visus juga tidak
diikuti keluhan pandangan seperti tertutup tirai, dan titik-titik hitam atau benang-benang
berterbangan yang menyingkirkan ablasio retina.

23
Data dari anamnesis didapatkan pasien merupakan pasien lanjut usia yang
memiliki riwayat merokok 20 batang per hari sejak usia 10 tahun, sehingga mengarah ke
diagnosis katarak senilis imatur.
Pemeriksaan fisik pada pasien ini didapatkan penurunan visus okuli yaitu visus
oculi dekstra yaitu 5/20 dan visus oculi sinistra 2/60 yang tidak membaik dengan pinhole.

Tekanan intra ocular visus okuli dextra dan sinistra adalah 14,3 dan 13,1 mmHg
berarti dalam batas normal, sehingga menyingkirkan glaukoma sudut terbuka kronis.
Adapun pemeriksaan lapang pandang dan gerak bola mata dalam batas normal.
Pemeriksaan segmen anterior didapatkan abnormalitas pada lensa okuli sinistra berupa
lensa keruh singga mendukung diagnosis katarak. Pemeriksaan dilanjutkan dengan
funduskopi segmen posterior. Dengan demikian dari anamnesis dan pemeriksaan fisik,
dapat ditegakkan diagnosis pasien ini adalah OS Katarak senilis imatur.

Faktor predisposisi katarak pada pasien ini adalah usia tua. Menurut Budiono dkk
(2013), berat dan ketebalan lensa meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Lensa
juga akan mengalami penurunan daya akomodasi. Setiap kali lensa membentuk lapisan
baru dari sert kortikal secara konsentris, terjadi nuclear sclerosis, yaitu kompresi dan
pengerasan lensa. Terjadi pembentukan kumpulan protein dengan berat molekul yang
tinggi akibat modifikasi kimia dan pembelahan proteolitik kristalin. Selanjutnya,
kumpulan protein tersebut dapat menyebabkan fuktuasi mendadak indeks bias lokal lensa,
sehingga muncul hamburan cahaya dan transparansi lensa menjadi berkurang.Lensa juga
dapat mengalami pigmentasi menjadi berwarna kuning atau kecoklatan oleh karena
modifikasi kimia dari protein nukleus. Penurunan konsentrasi glutation dan kalium serta
peningkatan konsentrasi dari natrium dan kalium dalam sitoplasma sel lensa juga
berkaitan dengan perubahan lensa pada usia tua meskipun patogenesis multifaktorial
belum sepenuhnya dipahami.

Penatalaksanaan pada pasien ini adalah dengan planning diagnostic USG oculi
dekstra et sinistra untuk mengevaluasi segmen posterior dan memperkirakan prognosis
pasien. USG oculi dapat mengevaluasi adanya kelainan pada badan vitreus maupun
retina. Apabila ditemukan kelainan pada segmen posterior okuli, maka hal tersebut dapat
mempengaruhi pemilihan dan perencanaan tindakan terapi definitif katarak pada pasien
ini yaitu operasi katarak. Persiapan operasi yang diperlukan adalah pemeriksaan darah
lengkap dan foto thorax untuk mengevaluasi kesiapan fisik pasien menghadapi risiko
pembedahan dan anestesi pada pasien ini.

24
Terapi definitif pada kasus katarak imatur ini adalah pembedahan pengambilan
lensa oculi sinistra yang keruh diikuti pemasangan lensa tanam atau intra ocular lens
(IOL). Ada beberapa macam teknik dan modalitas pembedahan yang dapat dipilih, antara
lain ECCE, ICCE, SICS, dan PE. Pada kasus ini, teknik yang dipilih adalah teknik phaco-
emulsification (PE). Teknik PE melibatkan penghancuran nukleus lensa di dalam kapsul
kemudian lensa dibersihkan dengan irigasi dan aspirasi menggunakan mesin fako.
(Budiono dkk, 2013)

Adapun monitoring pasca bedah ekstraksi katarak adalah ketajaman penglihatan


atau visus pasien, tanda-tanda infeksi pascabedah, dan pemeriksaan segmen anterior serta
segmen posterior oculi dekstra dan sinistra untuk mengevaluasi adanya tanda-tanda
penolakan tubuh terhadap lensa tanam IOL, kekeruhan pada IOL, dan kemungkinan
komplikasi pasca bedah seperti edema kornea, ablasio retina, dan gejala abnormal lainnya
yang timbul pasca bedah.

25
DAFTAR PUSTAKA

Ambadan K. 2014. Management of Cataract. Diakses 12 Juli 2019


di http://www.slideshare.net/.

American Academy of Ophthalmology. 2014. Lens and Cataract: Basic and Clinical Science
Course 2014-2015 Section 11. American Academy of Ophthalmology.

Budiono S, Djiwatmo, Hermawan D, Wahyuni I. 2013. Lensa dan Katarak in Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Mata. Surabaya: Airlangga University Press.
Cunningham ET, Riordan-Eva P. 2011. Vaughan & Asbury's general ophthalmology.
(18th ed.). McGraw-Hill Medical.

Cataracts statistics and data. 2010. National Eye Institute [12th July 2019]; Available from:
https://nei.nih.gov/eyedata/cataract.

Duker JS, Yanoff M. 2009. Ophthalmology. St. Louis, Mo: Mosby/Elsevier.


EyeRounds, 2017. EyeRounds Online Atlas of Ophthalmology. Diakses 21 July 2019 di
http://www.eyerounds.org/.

Gilbert C, Ackland P, Resnikoff S, Gilbert S, Keeffe J, Cross C, et al. 2007. Vision 2020
global initiative for the elimination of avoidable blindness: Action plan 2006-
2011. Geneva: World Health Organization.

Hari H. 2011. Alat Optik (Mata). Diakses 12 Juli 2019 di http://fisikasemesta.blogspot.co.id/

Ilyas, S. 2005. Penuntun Ilmu Penyakit Mata FKUI edisi ketiga. Gaya Baru. Jakarta.
James, E.R. 2007. The Etiology of Steroid Cataract. Journal of Ocular Pharmacology and
therapeutics. Vol.23, number 5. Didapat dari : https://www.researchgate.net/
publication/5944989_The_Etiology_of_Steroid_Cataract
Jobling A, Augusteyn R. 2002. What causes steroid cataract? A review of steroid-
induced posterior subcapsular cataracts. Clinical and experimental optometry.
85(2):61-75. Didapat dari: www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11952401
Johnson M. 2012. Crystalline Lens. Diakses 12 Juli 2019 di http://www.eyepedia.co.uk/.

26
Kanski JJ, Bowling B. 2011. Clinical Ophtalmology, A Systematic Approach 7th ed. London:
B.H. Elsevier.

Katzung. 2012. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 3. Jakarta: EGC.

Mahadevan, S.V. and Garmel, G. 2005. An Introduction to Clinical Emergency


Medicine: Guide for Practitioners in the Emergency Department. Cambridge
University Press
Mayo Clinic. 2016. Cataracts Tests and Diagnosis. Diakses 12 Juli 2019 di
http://www.mayoclinic.org/
Narayanan V. 2012. Lens Anatomy and Physiology. Diakses 12 Juli 2019 di
http://www.slideshare.net/
Patil B. 2014. Anatomy and embryology of crystalline lens. Diakses 12 Juli 2019 di
http://www.slideshare.net/

Pollreisz A and Schmidt-Erfurth U. 2010. “Diabetic Cataract—Pathogenesis,


Epidemiology and Treatment”. Journal of Ophthalmology vol. 2010, Article
ID 608751, 8 pages, 2010. doi:10.1155/2010/608751

Riordan – Eva P, Whitcher JP. 2009. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; .

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2013.

Samadi A. 2010. Steroid-induced cataract. Dalam: Levin L, Albert D. Ocular


Disease: Mechanism and Management.Chapter 33.China: Saunder
Elsevier.250-257.

Suhardjo SU, Agni AN. 2012. Ilmu Kesehatan Mata. 2nd ed. Yogyakarta:
Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada.

Vision 2020. 2011. Guidelines for the Management of Cataract in India. New Delhi:
Vision 2020.

WHO. 2017. Prevention of Blindness and Visual Impairment. Diakses pada 12 Juli 2019 di
http://www.who.int/

27
28

Anda mungkin juga menyukai