KATARAK SENILIS
IMATUR
Disusun Oleh :
Nurul Laily Masruroh 011723143149
Pembimbing:
Yulia Primitasari, dr., Sp.M(K)
LATAR BELAKANG
Katarak adalah kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan
lensa) lensa, denaturasi protein lensa atau akibat kedua-duanya. Menurut hasil survei Riskesdas 2013,
prevalensi katarak di Indonesia adalah 1,8%, dari total penduduk Indonesia atau sekitar 4 juta
penduduk menderita katarak (Riskesdas, 2013). Data dari World Organization (WHO) menunjukkan
bahwa katarak merupakan penyebab kebutaan dan gangguan penglihatan terbanyak dan diperkirakan
sekitar 18 juta orang mengalami kebutaan kedua mata akibat katarak. Jumlah ini hampir setengah
(39%) dari semua penyebab kebutaan karena penyakit mata lainnya di dunia. Jumlah tersebut akan
meningkat mencapai angka 40 juta pada tahun 2020 (American Academy Ophthalmology). Definisi
kebutaan menurut WHO yaitu visus < 3/60 pada mata terbaik dengan koreksi terbaik (WHO, 2017).
Indonesia menduduki peringkat tertinggi prevalensi kebutaan di Asia Tenggara sebesar 1,5% dan
50% di antaranya disebabkan katarak. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat karena pertambahan
penduduk yang pesat dan meningkatnya usia harapan hidup di Indonesia (Suhardjo, 2012).
Jenis-jenis katarak terbagi atas katarak terkait usia (katarak senilis), katarak congenital,
katarak traumatik, katarak komplikata, katarak akibat penyakit sistemik, dan katarak toksik. Beberapa
faktor risiko penyebab katarak dapat dibedakan menjadi faktor individu, lingkungan, dan faktor
protektif. Faktor individu terdiri atas usia, jenis kelamin, ras, serta faktor genetik. Faktor lingkungan
termasuk kebiasaan merokok, paparan sinar ultraviolet, status sosioekonomi, tingkat pendidikan,
diabetes mellitus, hipertensi, penggunaan steroid berkepanjangan, dan obat- obat penyakit gout.
Faktor protektif meliputi penggunaan aspirin dan terapi pengganti hormon pada wanita. Mayoritas
katarak berhubungan dengan penuaan, walaupun pada beberapa kondisi dapat terjadi katarak
kongenital. Katarak juga dapat muncul setelah trauma, inflamasi, dari penyakit yang mendasari dan
penggunaan kortikosteroid yang berkepanjangan (Suhardjo, 2012).
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Katarak merupakan kekeruhan pada lensa mata. Kekeruhan dapat terjadi akibat
hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa, atau akibat keduanya,
biasanya mengenai kedua mata dan berjalan progresif atau dapat juga tidak
mengalami perubahan. Menurut WHO (2017), katarak adalah kekeruhan yang terjadi
pada lensa mata, yang menghalangi sinar masuk ke dalam mata. Katarak terjadi
karena faktor usia, namun juga dapat terjadi pada anak-anak yang lahir dengan
kondisi tersebut. Katarak juga dapat terjadi setelah trauma, inflamasi atau penyakit
lainnya (WHO, 2017).
Trauma
Trauma dapat menganggu struktur lensa secara makros dan mikros, dan dapat
penganggu keseibangan metabolism lensa (Budiono dkk,
1. Usia
Seiring dengan pertambahan usia, lensa akan mengalami penuaan. Keistimewaan lensa
adalah terus menerus tumbuh dan membentuk serat lensa dengan arah pertumbuhannya
yang konsentris. Tidak ada sel yang mati ataupun terbuang karena lensa tertutupi oleh
serat lensa. Akibatnya, serat lensa paling tua berada di pusat lensa (nukleus) dan serat
lensa yang paling muda berada tepat di bawah kapsul lensa (korteks). Dengan
pertambahan usia, lensa pun bertambah berat, tebal, dan keras terutama bagian nukleus.
3
Pengerasan nukleus lensa disebut dengan nuklear sklerosis. Selain itu, seiring dengan
pertambahan usia, protein lensa pun mengalami perubahan kimia. Fraksi protein lensa
yang dahulunya larut air menjadi tidak larut air dan beragregasi membentuk protein
dengan berat molekul yang besar. Hal ini menyebabkan transparansi lensa berkurang
sehingga lensa tidak lagi meneruskan cahaya tetapi malah mengaburkan cahaya dan
lensa menjadi tidak tembus cahaya (Cunningham & Riordan-Eva, 2011).
2. Radikal bebas
Radikal bebas dapat merusak protein, lipid, karbohidrat dan asam nukleat sel lensa.
Radikal bebas dapat dihasilkan oleh hasil metabolisme sel itu sendiri, yaitu elektron
monovalen dari oksigen yang tereduksi saat reduksi oksigen menjadi air pada jalur sitokrom,
dan dari agen eksternal seperti energi radiasi. Contoh-contoh radikal oksigen adalah anion
superoksida (O2-), radikal bebas hidroksil (OH+), radikal peroksil (ROO+), radikal lipid
peroksil (LOOH), oksigen tunggal (O2), dan hidrogen peroksida (H2O2). Agen oksidatif
tersebut dapat memindahkan atom hidrogen dari asam lemak tak jenuh membran plasma
membentuk asam lemak radikal dan menyerang oksigen serta membentuk radikal lipid
peroksida. Reaksi ini lebih lanjut akan membentuk lipid peroksida lalu membentuk
malondialdehida (MDA). MDA ini dapat menyebabkan ikatan silang antara lemak dan
protein. Polimerisasi dan ikatan silang protein menyebabkan agregasi kristalin dan inaktivasi
enzim- enzim yang berperan dalam mekanisme antioksidan seperti katalase dan glutation
reduktase. Hal-hal inilah yang dapat menyebabkan kekeruhan pada lensa (Duker & Yanoff,
2009).
3. Radiasi ultraviolet
Radiasi ultraviolet dapat meningkatkan jumlah radikal bebas pada lensa karena
tingginya penetrasi jumlah cahaya UV menuju lensa. UV memiliki energi foton yang besar
sehingga dapat meningkatkan molekul oksigen dari bentuk triplet menjadi oksigen tunggal
yang merupakan salah satu spesies oksigen reaktif.
4. Merokok
Merokok dapat menyebabkan akumulasi kadmium di lensa. Kadmium dapat
berkompetisi dengan kuprum dan mengganggu homeostasis kuprum. Kuprum penting untuk
aktivitas fisiologis superoksida dismutase di lensa. Sehingga dengan adanya kadmium
menyebabkan fungsi superoksida dismutase sebagai antioksidan terganggu. Hal ini
4
menyebabkan terjadinya kerusakan oksidatif pada lensa dan menimbulkan katarak.
Disebutkan juga bahwa kadmium dapat mengendapkan lensa sehingga timbul katarak.
Selain Kadmium, Nitric Oxyde (NO) dapat menyebabkan katarak dengan mekanisme
NO bereaksi secara cepat dengan anion superoksida untuk membentuk peroksinitrit sehingga
terjadi nitratasi residu tirosin dari protein lensa. Hal ini dapat memicu peroksidasi lipid
membentuk malondyaldehida. Malondyaldehida memiliki efek inhibitor terhadap enzim
antioksidan seperti katalase dan glutation reduktase sehingga terjadi oksidasi lensa lalu terjadi
kekeruhan lensa dan akhirnya terbentuk katarak (Duker & Yanoff, 2009).
6. Dehidrasi
Perubahan keseimbangan elektrolit dapat menyebabkan kerusakan pada lensa. Hal ini
disebabkan karena perubahan komposisi elektrolit pada lensa dapat menyebabkan kekeruhan
pada lensa.
7. Trauma
Trauma dapat menyebabkan kerusakan langsung pada protein lensa sehingga timbul
katarak (Cunningham & Riordan-Eva, 2011).
8. Infeksi
Uveitis kronik sering menyebabkan katarak. Pada uveitis sering dijumpai sinekia
posterior yang menyebabkan pengerasan pada kapsul anterior lensa.
12. Genetik
Riwayat keluarga berpotensi meningkatkan resiko terjadinya katarak dan percepatan
maturasi katarak
13. Myopia
Pada penderita myopia dijumpai peningkatan kadar MDA dan penurunan kadar
glutation tereduksi sehingga memudahkan terjadinya kekeruhan pada lensa (American
Academy of Ophthalmology, 2014).
2.5 Klasifikasi
2.5.1 Klasifikasi berdasarkan morfologis
2.5.1.1 Katarak nuklear
Katarak nuklear adalah katarak yang melibatkan bagian nukleus lensa.
Sebagian besar katarak nuclear adalah bilateral, tetapi bisa asimetrik. Katarak nuklear
disebabkan oleh faktor usia. Katarak nuklear merupakan sklerosis normal yang
berlebihan atau pengerasan dan penguningan nukleus pada usia lanjut. Beberapa
derajat sklerosis nuklear dan proses penguningan pada lensa mata dianggap sebagai
sesuatu yang fisiologis saat memasuki usia pertengahan. Biasanya, pada kondisi ini
daya lihat seseorang berkurang secara minimal dan umumnya masih baik. Saat bagian
nukleus lensa mengalami proses sklerosis dan penguningan yang banyak, disebut
dengan katarak nuklear atau opasitas sentral (American Academy of Ophthalmology,
2014). Gejala paling dini dari katarak jenis ini ialah membaiknya penglihatan dekat
tanpa menggunakan kacamata atau biasa dikenal sebagai “penglihatan kedua”. Hal ini
6
diakibatkan oleh meningkatnya kemampuan lensa bagian sentral, menyebabkan
refraksi bergeser ke miopia. Gejala lain biasanya terdapat diskriminasi warna yang
buruk atau diplopia monokular (Riordan-Eva, 2009). Pada katarak nuklear yang telah
memasuki fase berat, nukleus lensa menjadi sangat keruh dan berwarna sangat
kecoklatan yang disebut brunescent nuclear cataract (American Academy of
Ophthalmology, 2014).
Pasien juga sering mengeluhkan silau dan penglihatan jelek pada kondisi
cahaya terang karena katarak jenis ini menutupi pupil ketika miosis akibat cahaya
terang, akomodasi, atau miotikum. (American Academy of Ophthalmology, 2014).
Gejala umum lain yang biasa ditemukan pada katarak jenis ini adalah glare dan
penurunan penglihatan pada pencahayaan yang terang (Riordan-Eva, 2009). Katarak
jenis ini lebih sering ditemukan pada pasien yang usianya lebih muda jika
dibandingkan dengan mereka yang mengalami katarak jenis nuklear maupun kortikal.
(American Academy of Ophthalmology, 2014).
8
dalam 4 stadium, yaitu:
1. Katarak insipien
a. Kekeruhan mulai dari tepi ekuator berbentuk jeriji menuju korteks anterior dan
posterior (pada katarak kortikal). Vakuol mulai terlihat di dalam korteks.
b. Katarak subkapsular posterior, kekeruhan mulai terlihat anterior subkapsular posterior,
celah terbentuk antara serat lensa dan dan korteks berisi jaringan degeneratif (benda
Morgagni) pada katarak insipien.
c. Kekeruhan ini dapat menimbulkan poliopia oleh karena indeks refraksi yang tidak sama
pada semua bagian lensa. Bentuk ini kadang-kadang menetap untuk waktu yang lama.
Biasanya pada stadium ini tidak menimbulkan gangguan tajam penglihatan dan visus
masih bisa dioreksi mencapai 6/6
12
derajat dengan dataran iris. Semakin sedikit lensa keruh pada bagian posterior maka makin
besar bayangan iris pada lensa yang keruh. Sedang makin tebal kekeruhan lensa makin kecil
bayangan iris pada lensa yang keruh.
Penilaian pemeriksaan iris shadow:
- (shadow test +), bila bayangan iris pada lensa terlihat besar dan letaknya jauh terhadap
pupil berarti lensa belum keruh seluruhnya, ini terjadi pada katarak imatur
- (shadow test -), bayangan iris pada lensa kecil dan dekat terhadap pupil berarti lensa sudah
keruh seluruhnya, ini terjadi pada katarak matur.
Pemeriksaan pupil selain untuk melihat bentuk dan fungsi pupil, refleks cahaya langsung dan
konsensuil, dapat juga dilakukan swinging flashlight test yang dapat mendeteksi pupil
Marcus Gunn dan relative afferent pupillary defect atau RAPD.
Pemeriksaan slit lamp tidak hanya difokuskan untuk evaluasi opasitas lensa dan tipe katarak.
Tapi dapat juga struktur okular lain (konjungtiva, kornea, iris, bilik mata depan). Ketebalan
kornea dan opasitas kornea seperti kornea gutata harus diperiksa hati-hati. Gambaran lensa
harus dicatat secara teliti sebelum dan sesudah pemberian dilator pupil. Posisi lensa dan
integritas dari serat zonular juga dapat diperiksa sebab subluxasi lensa dapat mengidentifikasi
adanya trauma mata sebelumnya, kelainan metabolik, atau katarak hipermatur
Kepentingan ofthalmoskopi direk dan indirek dalam evaluasi dari integritas bagian belakang
harus dinilai. Masalah pada saraf optik dan retina dapat menilai gangguan penglihatan.
Pemeriksaan refleks fundus dilakukan menggunakan oftalmoskop pada jarak 30 cm. Refleks
fundus yang berwarna jingga akan menjadi gelap pada katarak matur.
Pemeriksaan tekanan bola mata dengan jari atau dengan tonometri dapat dilakukan untuk
menilai ada tidaknya glaukoma.
2.8 Penyulit
Komplikasi katarak yang tersering adalah glaukoma yang dapat terjadi karena proses
fakomorfik, fakolitik, fakotopik, fakotoksik
13
.Gambar 2.8 Penyulit Katarak
2.9 Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk katarak senilis imatur dapat berupa katarak senilis matur, dan
katarak senilis hipermatur.
2.10 Penatalaksanaan
Tatalaksana non-bedah hanya memperbaiki fungsi visual untuk sementara, bahkan hanya
mencegah agar tidak lebih buruk dengan cepat. Belum ada penelitian yang membuktikan obat-
obatan dapat menghambat progresivitas katarak. Beberapa obat yang diduga dapat
memperlambat katarak diantaranya: penurun kadar sorbitol, aspirin, antioksidan, vitamin C
dan E (Cunningham & Riordan-Eva, 2011).
Indikasi penatalaksanaan bedah pada kasus katarak mencakup indikasi visus, medis, dan
kosmetik.
Indikasi visus; merupakan indikasi paling sering. Indikasi ini berbeda pada tiap individu,
tergantung dari gangguan yang ditimbulkan oleh katarak terhadap aktivitas sehari-harinya.
Indikasi medis; pasien bisa saja merasa tidak terganggu dengan kekeruhan pada lensa
matanya, namun beberapa indikasi medis dilakukan operasi katarak seperti glaukoma imbas
lensa (lens-induced glaucoma), endoftalmitis fakoanafilaktik, dan kelainan pada retina
misalnya retiopati diabetik atau ablasio retina.
Indikasi kosmetik; kadang-kadang pasien dengan katarak matur meminta ekstraksi katarak
untuk memperoleh pupil yang hitam (Duker & Yanoff, 2009).
14
` 1. Pembedahan Intrakapsuler / ICCE / Intra Capsular Cataract Extraction
Pada ekstraksi jenis ini lensa dikeluarkan bersama-sama dengan kapsul lensanya dengan
memutus zonula zinni yang telah mengalami degenerasi. Teknik ini dapat dilakukan dengan
alat – alat yang kurang canggih dan di daerah dimana tidak terdapat mikroskop operasi dan
sistem origasi (Kanski & Bowling, 2011).
ICCE merupakan kontraindikasi absolut pada anak-anak dan dewasa muda dengan katarak
dan kasus-kasus dengan trauma ruptur kapsular. Kontraindikasi relatif adalah miopia tinggi,
sindrom marfan, katarak morgagni, dan adanya vitreus di bilik mata depan. ICCE masih
sangat bermanfaat pada kasus-kasus yang tidak stabil, katarak intumesen, hipermatur dan
katarak luksasi. ICCE juga masih lebih dipilih pada kasus dimana zonula zini tidak cukup kuat
sehingga tidak memungkinkan menggunakan ECCE (Duker & Yanoff, 2009).
2. Pembedahan Ekstrakapsuler / ECCE / Extra Capsular Cataract Extraction
ECCE melibatkan pengangkatan nukleus lensa dan korteks melalui bukaan pada
kapsul lensa anterior, dengan kantong kapsuler tertinggal di tempat.Pada ECCE (Extra
Capsular Cataract Extraction) atau EKEK, lensa diangkat dengan meninggalkan kapsulnya.
Pelaksanaan prosedur ini tergantung dari ketersediaan alat, kemampuan ahli bedah dan
densitas nukleus. ECCE yang melibatkan pengeluaran nukleus dan korteks lensa melalui
kapsula anterior, meninggalkan kapsula posterior. Prosedur ini memiliki beberapa keuntungan
dibanding ICCE karena dilakukan dengan insisi yang lebih kecil, maka trauma endothelium
kornea lebih sedikit, astigmatisma berkurang, jahitannya lebih stabil dan aman. Kapsula
posterior yang intak akan mengurangi resiko keluarnya vitreous intraoperatif, posisi fiksasi
IOL lebih baik secara anatomi, mengurangi angka kejadian edema makular, kerusakan retina
dan edema kornea, mengurangi mobilitas iris dan vitreous yang terjadi dengan pergerakan
saccus (endophtalmodenesis), adanya barrier restriksi perpindahan molekul aquous dan
vitreous, dan mengeleminasi komplikasi jangka panjang dan pendek yang berhubungan
dengan lengketnya vitreous dengan iris, kornea dan tempat insisi (Cunningham & Riordan-
Eva, 2011).
3. SICS (Small Incision Cataract Surgery)
Teknik ini hanya memerlukan dua sayatan kecil di sisi bola mata, lalu melepas lensa mata
keruh dan memasangkan lensa intraokular buatan. Waktu operasi SICS relatif singkat, sekitar
5-8 menit. (Kanski & Bowling, 2011)
15
4. Fakoemulsifikasi
Fakoemulsifikasi menggunakan ultrasound untuk menghancurkan nukleus lensa dan
mengemulsifikasikan pecahannya. Teknik ini juga menggunakan sistem aspirasi yang
dikendalikan secara otomatis untuk mengeluarkan bahan kortikal melalui jarum kecil yang
dimasukkan ke mata melalui sayatan yang sangat kecil. Fakoemulsifikasi mengakibatkan
insiden komplikasi yang lebih rendah, penyembuhan dan rehabilitasi visual yang lebih cepat
daripada prosedur yang memerlukan sayatan yang lebih besar. Teknik ini juga menciptakan
sistem relatif tertutup selama fakoemulsifikasi dan aspirasi sehingga mengendalikan ke
dalaman bilik mata depan dan memberikan perlindungan terhadap tekanan positif vitreus dan
perdarahan khoroidal. Biasanya tidak dibutuhkan jahitan. Teknik ini bermanfaat pada katarak
kongenital, traumatik, dan kebanyakan katarak senilis (Cunningham & Riordan-Eva, 2011).
Tabel 2.3 Perbandingan berbagai operasi katarak
Mampu memberikan pandangan sentral yang baik. Namun pembesaran 25% sampai 30%
menyebabkan penurunan dan distorsi pandangan perifer, yang menyebabkan kesulitan dalam
memahami relasi spasial, membuat benda – benda nampak jauh lebih dekat dari yang
sebenarnya. Kaca mata ini juga menyebabkan aberasi sferis, mengubah garis lurus menjadi
lengkung. Memerlukan waktu penyesuaian yang lama sampai pasien mampu
mengkoordinasikan gerakan, memeprrkirakan jarak, dan berfungsi aman dengan medan
pandangan yang terbatas. Kaca mata afakia sangat tebal dan merepotkan dan membuat mata
16
kelihatan sangat besar (Cunningham & Riordan-Eva, 2011).
6. Lensa Kontak
Jauh lebih nyaman dari kaca mata afakia. Tak terjadi pembesaran yang bermakna (5%-
10%), tak terdapat aberas i sferis, tak ada penurunan lapang pandangan dan tak ada kesalahan
orientasi spasial. Lensa ini memberikan rehabilitasi visual yang hampir sempurna bagi mereka
yang mampu menguasai cara memasang, melepaskan dan merawat dan bagi mereka yang
dapat mengenakannya dengan nyaman (American Academy of Ophthalmology, 2014).
2.11 Prognosis
Prognosis katarak adalah baik dengan lebih dari 95% pasien mengalami perbaikan
visual setelah dilakukan operasi.
17
BAB 3
LAPORAN KASUS
Anamnesis
18
sesak dan berdebar sehingga pasien dirujuk ke RS yang memiliki ICU.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien memiliki riwayat katarak pada mata kanan dan sudah dioperasi pada tahun lalu.
- Pasien juga memiliki riwayat hipertensi yang diketahui sejak 24 tahun lalu
(1995) namun tidak rutin meminum obat.
- Tidak ada riwayat penyakit asma dan kencing manis.
- Tidak ada riwayat alergi obat.
19
Toraks : simetris, tidak ada retraksi
Pulmo : vesikuler/vesikuler, rhonki -/- ; wheezing -/-
Cor : S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Flat, BU (+), Normal
Ekstremitas : Akral hangat, kering, merah; edema (-)
Status Lokalis Mata
VOD : 5/20 CC S-0,75 C-0,5 X 0 5/6 PHNI
VOS : 2/60 CC S-5,25 C-0,5 X 0 5/8 PHNI
TOD : 14,3 mmHg
TOS : 14,3 mmHg
Tes Konfrontasi
OD: Tidak ada defek lapang pandang
OS: Tidak ada defek lapang pandang
Pemeriksaan segmen anterior
Kanan Kiri
OD OS
20
Pemeriksaan segmen posterior
• FdOD: Fundus reflex +, Papil N. II batas tegas +, warna normal, retina: perdarahan
-, eksudat –
• FdOS: Fundus reflex +, detail sde
3.5 DIAGNOSIS
3.6 PLANNING
Diagnosis
CXR, Lab, USG Mata (Persiapan operasi), Biometri mata
Terapi
Rujuk ke spesialis mata untuk dilakukan tindakan:
OS PE + IOL dengan anestesi lokal
Operasi entropion
Monitoring
21
Keluhan pasien, vital sign, visus, segmen anterior-posterior.
Edukasi
Menjelaskan tentang penyakit yang diderita dan prognosisnya
Menjelaskan tentang pemeriksaan – pemeriksaan yang akan dilakukan
Menjelaskan tentang kemungkinan terjadi katarak sekunder
Edukasi kepada pasien untuk menghindari cahaya matahari karena dapat
mempercepat progresivitas katarak
Edukasi tentang tindakan operasi yang akan dilakukan, komplikasi,
keberhasilan, serta tindakan post operasi
22
BAB 4
ANALISIS
Kelainan
Katarak
refraksi
Lensa keruh
Visus tidak
membaik
dengan pinhole
Pada pasien dengan keluhan mata kabur unilateral kronis tanpa nyeri kepala,
diagnosis banding yang dapat dipertimbangkan adalah katarak dan kelainan refraksi.
Apabila pada pemeriksaan fisik ditemukan lensa keruh, maka kelainan lebih condong ke
katarak. Katarak merupakan penyakit kekeruhan pada lensa mata. Pada kasus ini, pasien
berjenis kelamin laki-laki berusia 63 tahun dengan keluhan mata kiri kabur yang
dirasakan sejak 5 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan semakin memberat disertai keluhan
sering merasa silau jika terkena cahaya.
Anamnesis pasien pada kasus ini didapatkan keluhan khas katarak yaitu
pandangan kabur diikuti penurunan ketajaman penglihatan/visus yang mengalami
progresivitas perlahan dalam 5 bulan terakhir. Saat ini pasien mengeluhkan pandangan
kabur pada mata kirinya. Pasien merasa pandangannya terganggu seperti melihat asap
putih. Pasien juga mengeluh keluhannya semakin lama semakin memberat.
Apabila menghadapi keluhan penurunan visus perlahan seperti pada pasien ini,
perlu dipikirkan beberapa diagnosis banding. Keluhan penurunan visus secara perlahan
tanpa ada keluhan mata merah menyingkirkan semua diagnosis penyakit mata dengan
penurunan visus akut, seperti keratitis dan uveitis. Keluhan penurunan visus juga tidak
diikuti keluhan pandangan seperti tertutup tirai, dan titik-titik hitam atau benang-benang
berterbangan yang menyingkirkan ablasio retina.
23
Data dari anamnesis didapatkan pasien merupakan pasien lanjut usia yang
memiliki riwayat merokok 20 batang per hari sejak usia 10 tahun, sehingga mengarah ke
diagnosis katarak senilis imatur.
Pemeriksaan fisik pada pasien ini didapatkan penurunan visus okuli yaitu visus
oculi dekstra yaitu 5/20 dan visus oculi sinistra 2/60 yang tidak membaik dengan pinhole.
Tekanan intra ocular visus okuli dextra dan sinistra adalah 14,3 dan 13,1 mmHg
berarti dalam batas normal, sehingga menyingkirkan glaukoma sudut terbuka kronis.
Adapun pemeriksaan lapang pandang dan gerak bola mata dalam batas normal.
Pemeriksaan segmen anterior didapatkan abnormalitas pada lensa okuli sinistra berupa
lensa keruh singga mendukung diagnosis katarak. Pemeriksaan dilanjutkan dengan
funduskopi segmen posterior. Dengan demikian dari anamnesis dan pemeriksaan fisik,
dapat ditegakkan diagnosis pasien ini adalah OS Katarak senilis imatur.
Faktor predisposisi katarak pada pasien ini adalah usia tua. Menurut Budiono dkk
(2013), berat dan ketebalan lensa meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Lensa
juga akan mengalami penurunan daya akomodasi. Setiap kali lensa membentuk lapisan
baru dari sert kortikal secara konsentris, terjadi nuclear sclerosis, yaitu kompresi dan
pengerasan lensa. Terjadi pembentukan kumpulan protein dengan berat molekul yang
tinggi akibat modifikasi kimia dan pembelahan proteolitik kristalin. Selanjutnya,
kumpulan protein tersebut dapat menyebabkan fuktuasi mendadak indeks bias lokal lensa,
sehingga muncul hamburan cahaya dan transparansi lensa menjadi berkurang.Lensa juga
dapat mengalami pigmentasi menjadi berwarna kuning atau kecoklatan oleh karena
modifikasi kimia dari protein nukleus. Penurunan konsentrasi glutation dan kalium serta
peningkatan konsentrasi dari natrium dan kalium dalam sitoplasma sel lensa juga
berkaitan dengan perubahan lensa pada usia tua meskipun patogenesis multifaktorial
belum sepenuhnya dipahami.
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah dengan planning diagnostic USG oculi
dekstra et sinistra untuk mengevaluasi segmen posterior dan memperkirakan prognosis
pasien. USG oculi dapat mengevaluasi adanya kelainan pada badan vitreus maupun
retina. Apabila ditemukan kelainan pada segmen posterior okuli, maka hal tersebut dapat
mempengaruhi pemilihan dan perencanaan tindakan terapi definitif katarak pada pasien
ini yaitu operasi katarak. Persiapan operasi yang diperlukan adalah pemeriksaan darah
lengkap dan foto thorax untuk mengevaluasi kesiapan fisik pasien menghadapi risiko
pembedahan dan anestesi pada pasien ini.
24
Terapi definitif pada kasus katarak imatur ini adalah pembedahan pengambilan
lensa oculi sinistra yang keruh diikuti pemasangan lensa tanam atau intra ocular lens
(IOL). Ada beberapa macam teknik dan modalitas pembedahan yang dapat dipilih, antara
lain ECCE, ICCE, SICS, dan PE. Pada kasus ini, teknik yang dipilih adalah teknik phaco-
emulsification (PE). Teknik PE melibatkan penghancuran nukleus lensa di dalam kapsul
kemudian lensa dibersihkan dengan irigasi dan aspirasi menggunakan mesin fako.
(Budiono dkk, 2013)
25
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Ophthalmology. 2014. Lens and Cataract: Basic and Clinical Science
Course 2014-2015 Section 11. American Academy of Ophthalmology.
Budiono S, Djiwatmo, Hermawan D, Wahyuni I. 2013. Lensa dan Katarak in Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Mata. Surabaya: Airlangga University Press.
Cunningham ET, Riordan-Eva P. 2011. Vaughan & Asbury's general ophthalmology.
(18th ed.). McGraw-Hill Medical.
Cataracts statistics and data. 2010. National Eye Institute [12th July 2019]; Available from:
https://nei.nih.gov/eyedata/cataract.
Gilbert C, Ackland P, Resnikoff S, Gilbert S, Keeffe J, Cross C, et al. 2007. Vision 2020
global initiative for the elimination of avoidable blindness: Action plan 2006-
2011. Geneva: World Health Organization.
Ilyas, S. 2005. Penuntun Ilmu Penyakit Mata FKUI edisi ketiga. Gaya Baru. Jakarta.
James, E.R. 2007. The Etiology of Steroid Cataract. Journal of Ocular Pharmacology and
therapeutics. Vol.23, number 5. Didapat dari : https://www.researchgate.net/
publication/5944989_The_Etiology_of_Steroid_Cataract
Jobling A, Augusteyn R. 2002. What causes steroid cataract? A review of steroid-
induced posterior subcapsular cataracts. Clinical and experimental optometry.
85(2):61-75. Didapat dari: www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11952401
Johnson M. 2012. Crystalline Lens. Diakses 12 Juli 2019 di http://www.eyepedia.co.uk/.
26
Kanski JJ, Bowling B. 2011. Clinical Ophtalmology, A Systematic Approach 7th ed. London:
B.H. Elsevier.
Riordan – Eva P, Whitcher JP. 2009. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; .
Suhardjo SU, Agni AN. 2012. Ilmu Kesehatan Mata. 2nd ed. Yogyakarta:
Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada.
Vision 2020. 2011. Guidelines for the Management of Cataract in India. New Delhi:
Vision 2020.
WHO. 2017. Prevention of Blindness and Visual Impairment. Diakses pada 12 Juli 2019 di
http://www.who.int/
27
28