Anda di halaman 1dari 13

REFERAT

KATARAK

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat dalam Mengikuti Ujian Profesi Kedokteran
Bagian Ilmu Mata

RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso

Disusun Oleh:
Yoan Yolanda Lakstoroputri
16711097

Pembimbing:
dr. Arifah Puji Astuti, Sp.M.

SMF ILMU MATA


RSUD DR. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO KAB. WONOGIRI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2020
REFERAT KATARAK

DEFINISI

Katarak adalah Katarak diambil dari bahasa Latin “catarractes” yang artinya “air
terjun”. Saat dilihat menggunakan mata telanjang, gambaran kekaburan berwarna putih pada
katarak terlihat seperti air terjun yang bergolak. Katarak merupakan penyebab utama
kebutaan di seluruh dunia (Lee & Afshari, 2017).
Penyakit katarak merupakan penyakit mata yang ditandai dengan kekeruhan lensa mata
sehingga mengganggu proses masuknya cahaya ke mata. Katarak dapat disebabkan karena
terganggunya mekanisme kontrol keseimbangan air dan elektrolit, karena denaturasi protein
lensa atau gabungan keduanya. Katarak terjadi seiring dengan bertambahnya usia dan
berkaitan dengan penuaan. Sekitar 90% kasus katarak berkaitan dengan usia, penyebab lain
adalah kongenital dan trauma. Namun, nutrisi yang buruk, gangguan metabolisme, paparan
sinar matahari yang berlebihan atau sumber radasi lainnya, traum, dan obat-obatan tertentu
seperti kortison dapat mempercepat perkembangannya (Cantor et al, 2015).

FAKTOR RISIKO

Beberapa faktor risiko katarak dapat dibedakan menjadi faktor individu, lingkungan,
dan faktor protektif. Faktor individu terdiri atas usia, jenis kelamin, ras, serta faktor genetik.
Faktor lingkungan termasuk kebiasaan merokok, trauma, paparan sinar ultraviolet, status
sosioekonomi, tingkat pendidikan, diabetes mellitus, hipertensi, penggunaan steroid, dan
obat-obat penyakit gout. Faktor protektif meliputi penggunaan aspirin dan terapi pengganti
hormon pada wanita (Pujiyanto, 2004).
Katarak pada umumnya terjadi karena proses penuaan. Besarnya jumlah penderita
katarak berbanding lurus dengan jumlah penduduk umur lanjut. Proses penuaan
menyebabkan lensa mata menjadi keras dan keruh, umumnya terjadi pada umur diatas 50
tahun. Faktor genetik/keturunan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya
katarak. Beberapa kelainan genetik yang diturunkan dapat menyebabkan gangguan kesehatan
lainnya yang dapat meningkatkan risiko katarak, seperti kelainan kromosom mampu
mempengaruhi kualitas lensa mata sehingga dapat memicu katarak (Ilyas & Yulianti, 2014).
Katarak terjadi akibat trauma mata dapat terjadi pada semua umur. Trauma atau
cedera pada mata mengakibatkan terjadinya erosi epitel pada lensa. Pada keadaan ini dapat
terjadi hidrasi korteks hingga lensa mencembung dan mengeruh. Pembentukan katarak yang
terkait dengan diabetes sering terjadi karena kelebihan kadar sorbitol (gula yang terbentuk
dari glukosa), yang membentuk penumpukan dalam lensa dan akhirnya membentuk
kekeruhan lensa. Hipertensi dapat menyebabkan konformasi struktur perubahan protein
dalam kapsul lensa, sehingga dapat memicu pembentukan katarak. Merokok dapat
meningkatkan risiko katarak karena dapat mengubah sel-sel lensa melalui oksidasi, merokok
dapat juga menyebabkan akumulasi logam berat seperti cadmium dalam lensa sehingga dapat
memicu katarak. Alkohol dapat mengganggu homeostasis kalsium dalam lensa dan
meningkatkan proses seperti kerusakan membran sehingga dapat memicu katarak. Radiasi
ultraviolet pada siang hari cukup tinggi dan paparan yang lama dapat memicu katarak. Sinar
ultraviolet mampu merusak jaringan mata, dapat merusak saraf pusat penglihatan serta
makula dan dapat merusak bagian kornea dan lensa (Ilyas & Yulianti, 2014).

PATOFISIOLOGI

Transparansi lensa disebabkan karena serat-serat lensa yang tersusun secara teratur,
sehingga sitoplasma serat lensa juga tersusun teratur. Hal ini akan menyebabkan jumlah
spasium ekstraseluler minimal. Disorganisasi dari serat lensa atau sitoplasma dalam serat
lensa akan menyebabkan berkembangnya katarak (Brown, 2001).
Pada katarak terkait usia, lensa akan menjadi keruh karena terjadi agregasi protein,
yang memicu terjadinya perubahan susunan serat lensa. Berkas cahaya akan terpencar bahkan
terpantul. Radikal bebas dan kondisi malnutrisi diduga memiliki mekanisme yang serupa.
Radikal bebas akan menyebabkan menurunkan kadar ATP dan glutation, sedangkan glutation
merupakan antioksidan utama dalam tubuh. Protein lensa menjadi rusak dan menyebabkan
katarak (Brown, 2001).
Proses degenerasi juga akan menyebabkan perubahan struktur membran, lensa
kekurangan air sehingga menjadi lebih padat. Lensa akan menjadi keras di bagian tengah dan
kemampuan untuk memfokuskan benda akan berkurang. Perubahan yang terjadi pada lensa
akan menyebabkan penurunan tajam penglihatan. Pada katarak dengan sklerosis nuklear
dapat terjadi peningkatan miopi. Katarak subkapsular posterior kebanyakan disebabkan oleh
diabetes melitus. Kondisi hiperglikemi akan menyebabkan peningkatan sorbitol, sehingga
tekanan osmotik meningkat dan menyebabkan edem seluler (Brown, 2001).
KLASIFIKASI DAN MATURITAS KATARAK

Klasifikasi katarak berdasarkan usianya dibagi menjadi 2 yaitu Katarak kongenital


dan Katarak senilis. Sekitar sepertiga kasus katarak kongenital kasusnya idiopatik dan bisa
unilateral atau bilateral. Kemudian sepertiganya lagi diwariskan dan keadaan ini biasanya
bilateral. Sisanya, berkaitan dengan penyakit sistemik dan biasanya dalam kondisi ini
kejadian katarak bersifat bilateral. Separuh dari keseluruhan katarak kongenital disertai
anomali mata lainnya, seperti PHPV (Primary Hyperplastic Posterior Vitreous), aniridia,
kolaboma, mikroftalmos, dan buftalmos (pada glaukoma infantil). Katarak pada neonatus
yang sehat timbul paling banyak karena diwariskan. Namun terkadang tidak diketahui
penyebabnya. Penyebab katarak pada neonatus tidak sehat adalah infeksi intrauteri maupun
gangguan metabolik. Infeksi intrauteri paling banyak disebabkan oleh rubella, toxoplasmosis,
infeksi sitomegalovirus, dan varisela. Sedangkan gangguan metabolik yang menyebabkan
katarak kongenital adalah galaktosemia, hipoglikemia, dan hipokalsemia, serta Sindrom
Lowe (Suhardjo, 2012).

Gambar 1. Katarak Kongenital

Katarak senilis adalah kekeruhan lensa yang terjadi pada usia lanjut > 50 tahun.
Perkembangan katarak senilis berjalan lambat dan selama bertahun-tahun. Seiring
berjalannya usia, lensa mengalami kekeruhan, penebalan, serta penurunan daya akomodasi
sehingga menyebabkan timbulnya katarak senilis. Katarak ini merupakan katarak yang paling
sering terjadi sekitar 90% dari semua jenis katarak. Terdapat tiga jenis katarak senilis
berdasarkan lokasi kekeruhannya, yaitu katarak nuklearis, katarak kortikal, dan katarak
subkapsuler (Suhardjo, 2012).
Katarak nuklearis ditandai dengan kekeruhan sentral dan perubahan warna lensa
menjadi kuning atau coklat secara progresif perlahan-lahan sehingga mengakibatkan
turunnya tajam penglihatan. Katarak ini terjadi secara bilateral namun dapat juga asimetris.
Katarak nuklearis secara khas lebih mengganggu gangguan penglihatan jauh daripada
penglihatan dekat. Nukleus lensa mengalami pengerasan progresif yang menyebabkan
naiknya indeks refraksi, dinami miopisasi. Miopisasi menyebabkan penderita presbiopia
dapat membaca dekat tanpa harus mengenakan kacamata. Kondisi ini dinamakan second
sight. Perubahan mendadak indeks refraksi antara nukleus sklerotik dan korteks lensa dapat
mengakibatkan diplopia monokular. Kekuningan lensa progresif yang dijumpai pada katarak
nuklearis mengakibatkan penderita sulit membedakan corak warna (Cantor et al, 2015).

Gambar 2. Katarak Nuklear

Katarak kortikal berhubungan dengan proses oksidasi dan presipitasi protein pada sel-
sel serat lensa. Katarak menyerang pada lapisan yang mengelilingi nukleus atau korteks.
Biasanya mulai timbul usia 40-60 tahun dan progresivitasnya lambat tetapi lebih cepat
daripada katarak nuklear (Cantor et al, 2015). Katarak jenis ini timbul bilateral, asimetris, dan
menimbulkan gejala silau jika melihat ke arah sumber cahaya. Tahap penurunan penglihatan
bervariasi dari lambat hingga cepat. Pemeriksaan slitlamp berfungsi untuk melihat ada
tidaknya vakuola degenerasi epitel posterior, dan menyebabkan lensa mengalami elongasi ke
anterior dengan gambaran seperti embun (Suhardjo, 2012).

Gambar 3. Katarak Kortikal


Katarak subkapsuler dapat terjadi di subkapsuler anterior dan posterior. Katarak ini
termasuk katarak imatur. Pemeriksaannya menggunakan slitlamp dapat ditemukan kekeruhan
seperti plak di korteks subkapsuler posterior. Gejalanya adalah silau, penglihatan buruk pada
tempat terang, dan penglihatan dekat lebih terganggu daripada penglihatan jauh (Cantor et al,
2015).

Gambar 4. Katarak Subkapsuler Posterior

Selain itu, terdapat jenis lain dari katarak seperti katarak traumatik, katarak terinduksi
obat, katarak akibat penyakit sistemik dan katarak sekunder (komplikata). Katarak traumatis
diakibatkan karena trauma meliputi trauma tumpul atau kontusio, perforasi atau penetrasi,
trauma radiasi, elektrik, metalosis, dan benda asing. Katarak terinduksi obat dapat disebabkan
oleh obat-batan seperti kortikosteroid, fenotiazin, miotikum, amiodaron, dan statin. Katarak
akibat penyakit sistemik disebabkan oleh diabeter melitus, hipokalsemia, distrofi miotonik,
dermatitis atopik, galaktosemia, dan sindroma Lowe, Werner, dan Down. Katarak sekunder
adalah kekeruhan pada kapsul posterior setelah ekstraksi katarak ekstrakapsular, paling cepat
2 hari setelah dilakukan operasi (Suhardjo, 2012).
Maturitas katarak dibagi menjadi 4 stadium yaitu katarak insipiens/iminens, katarak
imatur, katarak matur, katarak hipermatur. Stadium insipiens/iminens merupakan stadium
awal dimana kekeruhan lensa mata masih sangat minim, bahkan terkadang sulit terlihat tanpa
alat bantu periksa. Pada tahap ini, lensa bengkak karena termasuki air, kekeruhan lensa masih
ringan, visus biasanya > 6/60. Pada pemeriksaan dapat ditemukan iris normal, bilik mata
depan normal, sudut bilik mata normal, serta shadow test negatif. Penderita tidak merasakan
keluhan atau gangguan pada penglihatannya, sehingga cenderung diabaikan. Kekeruhan
mulai dari tepi ekuator berbentuk jeruji menuju korteks anterior dan posterior. Kekeruhan ini
dapat menimbulkan poliopia oleh karena indeks refraksi yang tidak sama pada semua bagian
lensa. Bentuk ini kadang-kadang menetap untuk waktu yang lama (Cantor et al, 2015).
Katarak immatur merupakan stadium dua dimana kekeruhan lensa mata yang lebih
tebal tetapi belum mengenai seluruh lensa sehingga masih terdapat bagian-bagian yang jernih
pada lensa. Pada stadium ini terjadi hidrasi korteks yang mengakibatkan lensa menjadi
bertambah cembung. Perubahan ini mengakibatkan perubahan indeks refraksi dimana visus
mulai menurun menjadi 5/60 sampai 1/60. Kecembungan ini akan mengakibatkan
pendorongan iris kedepan sehhingga bilik mata depan akan lebih sempit. Pada pemeriksaan
didapatkan shadow test positif (Cantor et al, 2015).
Katarak matur merupakan stadium tiga (tahap lanjut), dimana kekeruhan telah
mengenai seluruh massa lensa, kekeruhan terjadi akibat deposit ion Ca yang menyeluruh.
Pada tahap ini bila dibiarkan saja akan menjadi katarak dengan kandungan air berlebih, yang
dapat memblok pupil dan menyebabkan tekanan pada bola mata meningkat. Pemeriksaan
visus pasien menurun drastis menjadi 1/300 atau hanya dapat melihat lambaian tangan dalam
jarak 1 meter. Pada pemeriksaan didapatkan shadow test negatif (Suhardjo, 2012).
Katarak hipermatur merupakan stadium empat (tahap sangat lanjut) dimana
kekeruhan telah mengenai seluruh masa lensa dan telah mengalami proses degenerasi lanjut,
dapat menjadi lembek dan mencair. Masa lensa telah mencair dan sudah merembes melalui
kapsul lensa dan bisa menyebabkan peradangan pada struktur mata yang lainnya. Pada tahap
ini penglihatan sudah sangat menghilang dan dapat terjadi komplikasi berupa uveitis dan
glaukoma. Pada pemeriksaan didapatkan iris tremulans, bilik mata depan dalam, sudut bilik
mata terbuka, serta shadow test positif palsu (Cantor et al, 2015).

Gambar 5. Maturitas Katarak

MANIFESTASI KLINIS
Penderita tahap insipiens/iminens kebanyakan tidak merasakan keluhan atau
gangguan pada penglihatannya, sehingga cenderung diabaikan. Pada stadium dua atau
stadium katarak imatur penderita mengeluhkan terdapat penurunan penglihatan. Selain itu,
penderita juga mengeluhkan silau baik itu saat siang hari ataupun pada malam hari saat
mendekat ke lampu. Selain itu, progresifitas katarak sering meningkatkan kekuatan dioptrik
lensa yang menimbulkan miopia derajat sedang hingga berat. Sebagai akibatnya, pasien
presbiopia melaporkan peningkatan penglihatan dekat mereka dan kurang membutuhkan kaca
mata baca, keadaan ini disebut dengan second sight. Penderita juga mengeluhkan penglihatan
berbayang yang tidak dapat dikoreksi dengan kacamata, prisma, atau lensa kontak. Selain itu,
penderita mengeluhkan seperti melihat asap/kabut dan lensa mata tampak berwarna keputihan
(Ilyas & Yulianti, 2014).

PEMERIKSAAN PADA KATARAK


1. Pemeriksaan visus
Pemeriksaan visus dilakukan untuk mengetahui kemampuan melihat pasien. Visus
pasien dengan katarak subkapsuler posterior dapat membaik dengan dilatasi pupil. Pada
stadium insipiens/iminens belum terdapat penurunan visus yang berarti. Pada stadium imatur
pasien mulai merasakan terdapat penurunan penglihatan. Visus pasien pada stadium ini
biasanya 5/60 sampai 1/60. Pada stadium matur, visus pasien semakin menurun yaitu hanya
dapat melihat lambaian tangan saja. Pada stadium matur kebanyakan pasien memiliki visus 0
atau kebutaan (Ilyas & Yulianti, 2014).
2. Pemeriksaan slit lamp
Pada pemeriksaan slit lamp tidak hanya difokuskan untuk evaluasi opasitas lensa tetapi
dapat juga struktur okuler lain, seperti konjungtiva, kornea, iris, bilik mata depan. Ketebalan
kornea harus diperiksa dengan hati-hati, gambaran lensa harus dicatat dengan teliti sebelum
dan sesudah pemberian dilator pupil, posisi lensa dan intergritas dari serat zonular juga dapat
diperiksa sebab subluksasi lensa dapat mengidentifikasi adanya trauma mata sebelumnya,
kelainan metabolik, atau katarak hipermatur (Ilyas & Yulianti, 2014).
3. Pemeriksaan shadow test
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan stadium pada katarak senilis. Pada
stadium insipiens/iminens shadow test negatif. Pada stadium imatur shadow test positif. Pada
stadium matur shadow test negatif. Lalu, pada stadium hipermatur shadow test positif palsu
(Suhardjo, 2012).
4. Pemeriksaan oftalmoskopi
Pemeriksaan ini bertujuan untuk evaluasi dari integritas mata pada bagian posterior.
Oftalmoskopi dapat dilakukan secara direk dan indirek. Masalah pada saraf optik dan retina
dapat menilai gangguan penglihatan (Suhardjo, 2012).

TATALAKSANA
Tatalaksana definitif untuk katarak saat ini adalah tindakan bedah. Tatalaksana non
bedah hanya efektif dalam memperbaiki fungsi visual untuk sementara waktu. Beberapa
penelitian seperti penggunaan vitamin C dan E dapat memperlambat pertumbuhan katarak,
namun belum efektif untuk menghilangkan katarak (Suhardjo, 2012). Tujuan tindakan bedah
katarak adalah untuk mengoptimalkan fungsi penglihatan. Keputusan melakukan tindakan
bedah tidak spesifik tergantung dari derajat tajam penglihatan, namun lebih pada berapa besar
penurunan tersebut mengganggu aktivitas pasien. Indikasi lainnya adalah bergantung pada
tingkat maturasi katarak. Bila kedua lensa mengalami katarak maka mata dengan visus
terburuk yang dioperasi dahulu. Pada pasien dengan katarak unilateral, maka operasi
sebaiknya ditunda bila mata yang sehat masih cukup. Pada kasus katarak matur maka edukasi
pasien untuk operasi sesegara mungkin untuk menghindari glaukoa fakolitik. Pada kasus
yang disertai gangguan retina (misal pada retinopati diabetik), ekstraksi katarak diperlukan
untuk menjernihkan aksis optik dan mempersiapkan terapi laser (Cantor et al, 2015).
Beberapa hal yang penting untuk dievaluasi sebelum dilakukan pembedahan adalah
riwayat kesehatan secara umum, penggalian dan pemeriksaan yang harus meliputi semua
sistem, adanya penyakit sistemik, dan alergi obat. Riwayat kesehatan mata sangat penting
untuk menentukan prognosis dan hasil operasi. Bagi penderita yang sudah pernah menjalani
operasi katarak sebelumnya, penting untuk menanyakan jenis operasi yang pernah dilakukan,
ada tidaknya permasalahan maupun komplikasi pasca operasi (Suhardjo, 2012). Beberapa
jenis tindakan bedah katarak:
1. Ekstraksi Katarak Intrakapsuler (EKIK)
EKIK adalah jenis operasi katarak dengan membuang lensa dan kapsul secara
keseluruhan. EKIK menggunakan peralatan sederhana dan hampir dapat dikerjakan pada
berbagai kondisi. Terdapat beberapa kekurangan EKIK, seperti besarnya ukuran irisan yang
mengakibatkan penyembuhan luka yang lama, menginduksi astigmatisma pasca operasi,
cystoid macular edema (CME), dan ablasio retina. Meskipun sudah banyak ditinggalkan,
EKIK masih dipilih untuk kasus-kasus subluksasi lensa, lensa sangat padat, dan eksfoliasi
lensa. Kontraindikasi absolut EKIK adalah katarak pada anak-anak, katarak pada dewasa
muda, dan ruptur kapsul traumatik, sedangkan kontraindikasi relatif meliputi miopia tinggi,
sindrom Marfan, katarak Morgagni, dan adanya vitreus di kamera okuli anterior (Suhardjo,
2012).
2. Ekstraksi Katarak Ekstrakapsuler (EKEK)
 EKEK Konvensional
EKEK adalah jenis operasi katarak dengan membuang nukleus dan korteks lensa
melalui lubang di kapsul anterior. EKEK meninggalkan kantong kapsul (capsular
bag) sebagai tempat untuk menanamkan lensa intraokuler (LIO). Teknik ini
mempunyai banyak kelebihan seperti trauma irisan lebih kecil sehingga luka lebih
stabil dan aman, menimbulkan astigmatisma lebih kecil, dan penyembuhan luka lebih
cepat. Pada EKEK, kapsul posterior yang intak mengurangi risiko CME, ablasio
retina, edema kornea, serta mencegah penempelan vitreus ke iris, LIO, atau kornea
(Suhardjo, 2012).

Gambar 6. Prosedur EKEK Konvensional


 Small Incision Cataract Surgery (SICS)
Teknik EKEK telah dikembangkan menjadi teknik operasi dengan irisan sangat
kecil (7-8 mm) dan hampir tidak memerlukan jahitan, teknik ini adalah SICS. Oleh
karena irisan sangat kecil, penyembuhan relatif lebih cepat dan risiko astigmatisma
lebih kecil dibandingkan EKEK konvesional. SICS dapat mengeluarkan nukleus lensa
secara utuh atau dihancurkan. Teknik ini populer di negara berkembang karena tidak
memerlukan peralatan fakoemulsifikasi yang mahal, dilakukan dengan anestesi
topikal dan bisa dipakai pada kasus nukleus yang padat. Beberapa indikasi SICS
adalah sklerosis nukleus derajat II dan III, katarak subkapsuler posterior, dan awal
katarak kortikal (Suhardjo, 2012).
3. Fakoemulsifikasi
Teknik operasi ini menggunakan alat tip ultrasonik untuk memecah nukleus lensa dan
selanjutnya pecahan nukleus dan korteks lensa diaspirasi melalui insisi yang sangat kecil.
Dengan demikian, fakoemulsifikasi mempunyai kelebihan seperti penyembuhan luka yang
cepat, perbaikan penglihatan lebih baik, dan tidak menimbulkan astigmatisma pasca bedah.
Teknik ini juga dapat mengontrol kedalaman kamera okuli anterior serta mempunyai efek
pelindung terhadap tekanan positif vitreus dan perdarahan koroid. Kekurangan teknik ini
adalah biaya yang relatif mahal dan peralatan yang tidak portabel. Teknik operasi katarak
jenis ini menjadi pilihan utama di negara-negara maju (Suhardjo, 2012).

Gambar 7. Prosedur Fakoemulsifikasi

KOMPLIKASI

Komplikasi operasi katarak dapat terjadi selama operasi maupun setelah operasi.
Pemeriksaan periodik pasca operasi katarak sangat penting untuk mendeteksi komplikasi
operasi. Komplikasi selama operasi meliputi pendangkalan kamera okuli anterior, Posterior
Capsule Rupture (PCR), dan nucleus drop. Pada saat operasi katarak, pendangkalan kamera
okuli anterior (KOA) dapat terjadi karena cairan yang masuk ke KOA tidak cukup, kebocoran
melalui insisi yang terlalu besar, tekanan dari luar bola mata, tekanan vitreus positif, efusi
suprakoroid, atau perdarahan suprakoroid (Cantor et al, 2015). Posterior Capsule Rupture
(PCR) dengan atau tanpa vitreous loss adalah komplikasi intraoperatif yang sering terjadi.
Studi di Hawaii menyatakan bahwa 0,68% pasien mengalami PCR dan vitreous loss selama
prosedur fakoemulsifikasi. Beberapa faktor risiko PCR adalah miosis, KOA dangkal,
pseudoeksfoliasi, floppy iris syndrome, dan zonulopati (Chen et al, 2014). Nucleus drop
merupakan jatuhnya seluruh atau bagian nukleus lensa ke dalam rongga vitreus. Jika hal ini
tidak ditangani dengan baik, lensa yang tertinggal dapat menyebabkan peradangan
intraokular berat, dekompensasi endotel, glaukoma sekunder, ablasio retina, nyeri, bahkan
kebutaan (Tajunisah & Reddy, 2007).
Komplikasi setelah operasi katarak meliputi edema kornea, perdarahan, glaukoma
sekunder, uveitis kronik, edema makula kistoid (EMK), ablasio retina, endoftalmitis, toxic
anterior segment syndrome, posterior capsule opacification (PCO), surgically induced
astigmatism (SIA), dan dislokasi LIO. Edema stromal atau epitelial dapat terjadi segera
setelah operasi katarak. Kombinasi dari trauma mekanik, waktu operasi yang lama, trauma
kimia, radang, atau peningkatantekanan intraokular (TIO), dapat menyebabkan edema
kornea, biasanya akan hilang dalam 4 sampai 6 minggu. Komplikasi perdarahan pasca
operasi katarak antara lain perdarahan retrobulbar, perdarahan atau efusi suprakoroid, dan
hifema. Bahan viskoelastik hialuronat yang tertinggal di dalam KOA pasca operasi katarak
dapat meningkatkan tekanan intraokular (TIO), peningkatan TIO ringan bisa terjadi 4 sampai
6 jam setelah operasi, umumnya dapat hilang sendiri dan tidak memerlukan terapi anti
glaukoma, sebaliknya jika peningkatan TIO menetap, diperlukan terapi antiglaukoma.
Kondisi seperti malposisi LIO, vitreus inkarserata, dan fragmen lensa yang tertinggal,
menjadi penyebab uveitis kronik. EMK ditandai dengan penurunan visus setelah operasi
katarak, gambaran karakteristik makula pada pemeriksaan oftalmoskopi atau FFA, atau
gambaran penebalan retina pada pemeriksaan OCT. Ablasio retina terjadi pada 2-3% pasca
EKIK, 0,5-2% pasca EKEK, dan <1% pasca fakoemulsifikasi. Terjadi dalam 6 bulan sampai
1 tahun pasca bedah katarak (Cantor et al, 2015).
Endoftalmitis merupakan komplikasi pasca operasi katarak yang jarang tapi sangat
berat. Gejalanya muncul 3 sampai 10 hari operasi katarak. Penyebab terbanyak adalah
Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus. TASS merupakan
inflamasi pasca operasi yang akut dan non-infeksius. Tanda dan gejala TASS dapat
menyerupai endoftalmitis tetapi memiliki onset lebih akut, yaitu dalam 24 jam pasca operasi
katarak. PCO merupakan komplikasi pasca operasi katarak yang paling sering. Mekanisme
PCO adalah karena tertinggalnya sel-sel epitel lensa di kantong kapsul anterior lensa, yang
selanjutnya berproliferasi, lalu bermigrasi ke kapsul posterior lensa. Risiko SIA meningkat
dengan besarnya insisi (> 3 mm), lokasi insisi di superior, jahitan, derajat astigmatisma tinggi
sebelum operasi, usia tua, serta kamera okuli anterior dangkal. Penyebab dislokasi LIO
intrakapsuler adalah satu atau kedua haptik terletak di sulkus, sedangkan beberapa penyebab
dislokasi LIO ekstrakapsuler mencakup pseudoeksfoliasi, gangguan jaringan ikat, uveitis,
retinitis pigmentosa, miopia tinggi, dan pasien dengan riwayat operasi vitreoretina (Cantor et
al, 2015).

PROGNOSIS
Apabila pada proses pematangan katarak dilakukan penanganan yang tepat sehingga
tidak menimbulkan komplikasi serta dilakukan tindakan pembedahan pada saat yang tepat
maka prognosis pada katarak senilis umumnya baik (Cantor et al, 2015).
DAFTAR PUSTAKA

Brown NP, 2001. Mechanism of Cataract Formation. London: London City University.
Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. Lens and cataract. 2014-2015 Basic and clinical Science
course. San Francisco, CA: American Academy of Ophthalmology;2015.
Chen M, LaMattina KC, Patrianakos T, Dwarakanathan S. Complication rate of posterior
capsule rupture with vitreous loss during phacoemulsification at a Hawaiian cataract
surgical center: a clinical audit. Clin Ophthalmol. 2014;8:375-8.
Ilyas, Sidarta ; Yulianti, Sri. (2014). Ilmu Penyakit Mata. Edisi 5. Jakarta : FKUI
Lee CM, Afshari NA. The global state of cataract blindness. Curr Opin Ophthalmol 2017;
28:98.
Pujiyanto TI. Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian katarak senilis.
Semarang: Universitas Diponegoro; 2004
Suhardjo SU, Agni AN. Ilmu Kesehatan Mata. 2nd ed. Yogyakarta: Departemen Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada; 2012.
Tajunisah I, Reddy SC. Dropped Nucleus Following Phacoemulsification Cataract Surgery.
Med J Malaysia. 2007;62(5):364-7

Anda mungkin juga menyukai