Anda di halaman 1dari 27

Laporan Kasus

Uveitis Anterior OS

PEMBIMBING

Dr. Nanda Lessi, Sp.M

Disusun oleh:
Alfonsus Cipta Raya
11-2017-042

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


PERIOD 17 JUNI 2019-20 JULI 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIAWI
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Terusan Arjuna No. 6 Kebon Jeruk-Jakarta Barat

LAPORAN KASUS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIAWI

Nama :Alfonsus Cipta Raya Tanda Tangan

Nim : 112017042 ........................

Dr. Pembimbing/Penguji: Dr. Nanda Lessi, Sp. M


.......................

IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : Ny/ F
Umur : 21 tahun
Agama : Islam
Alamat : Kp. Citeko Cisarua
Pekerjaan : IRT

ANAMNESIS`
Anamnesis secara : Autoanamnesis pada tanggal 1 Juli 2019 di Poliklinik Mata.
Keluhan Utama : Mata kiri seperti ada bayang-bayang sejak 2 minggu yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Klinik Mata RSUD Ciawi dengan keluhan pandangan mata kiri seperti
ada bayang-bayang sejak 2 minggu yang lalu. Awalnya tidak terlalu berbayang, namun buram
yang dirasakan semakin parah.. Selain itu mata kiri nya merah sejak ± 7 hari yang lalu,demam
(+) , gatal (+) , bengkak (+) ,berair (+), silau(+), Riwayat Trauma (-) , Rasa Mengganjal (+).
Pasien mengaku memiliki gigi berlubang.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya. Riwayat penyakit TBC, HIV,
dan alergi disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak terdapat anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus,
riwayat trauma dan keluhan yang sama dengan pasien.

Riwayat Obat
Pasien tidak memiliki riwayat pemakaian obat tetes mata sebelumnya.

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga, biaya pengobatan ditanggung oleh pasien sendiri.
Keluarga pasien memiliki kemampuan ekonomi cukup.

PEMERIKSAAN FISIK
VITAL SIGN
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x / menit
Suhu : 36,2°C
Pernapasan : 20 x / menit
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Berat Badan : 58 Kg
Tinggi Badan : 156 cm
Status Gizi : Baik (IMT: 21.5)
STATUS OFTALMOLOGI

OCULI DEXTRA(OD) PEMERIKSAAN OCULI SINISTRA(OS)


20/20 Visus 20/100 ph 20/240
Gerak bola mata normal, Gerak bola mata normal,
enoftalmus (-), eksoftalmus Bulbus okuli enoftalmus (-),
(-), strabismus (-) eksoftalmus (-),
strabismus (-)
Hitam, simetris Supra silia Hitam, simetris
edema (-) edema (-)
hiperemis(-) hiperemis(-)
nyeri tekan (-) Palpebra nyeri tekan (-)
blefarospasme (-) blefarospasme (-)
lagoftalmus (-) lagoftalmus (-)
ektropion (-) ektropion (-)
entropion (-) entropion (-)
edema (-) edema (-)
injeksi siliar (-) injeksi siliar (+)
injeksi konjungtiva (-) Konjungtiva injeksi konjungtiva (-)
infiltrat (-) infiltrat (-)
anemis (-) anemis (-)
Putih Sklera Putih
Bulat Bulat
jernih Jernih (-)
edema (-), Kornea edema (-)
arkus senilis (-) arkus senilis (-)
keratik presipitat (-) keratik presipitat (+)
infiltrat (-) infiltrat (-)
sikatriks (-) sikatriks (-)
sedang, flare (-) Camera Oculi Anterior Sedang, flare (+)
hipopion (-), hifema (-) (COA) hipopion (-),hifema (-)
Kripta (N), hitam, atrofi (-) Kripta (N), hitam, atrofi (-)
coklat, edema(-), Iris coklat, edema(-),
synekia (-) synekia (-)
Reguler, bentuk bulat Reguler, bentuk bulat
Letak sentral, hitam Pupil Letak sentral, hitam
Diameter 3 mm Diameter 3 mm
Refleks pupil L/TL : (+/+) refleks pupil L/TL : (+/+)
berkurang
Jernih Lensa Jernih
Positif Refleks fundus Positif
Jernih Vitreus Jernih
Batas tegas Papil Batas tegas
0,3 CD ratio 0,3
2;3 Pembuluh darah 2:3
Eksudat (-) Retina Eksudah (-)
Perdarahan (-) Perdarahan (-)
Kelainan lakrimasi(-) Sistem Lakrimasi Kelainan lakrimasi (-)

Tes Lapang Pandang (Tes Konfrontasi)

OD OS

+ + + + + +

+ + + +

+ + + + + +

Keterangan:

 OD: tidak terdapat defek lapang pandang.


 OS: tidak terdapat defek lapang pandang.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Air Puff Tonometer
R : 14,3 mmHg
L : 14,8 mmHg
RESUME
Pasien datang dengan keluhan mata kiri berbayang sejak 2 minggu yang lalu. Selain itu
mata kiri nya merah sejak ± 7 hari yang lalu,demam (+) , gatal (+) , bengkak (+) ,berair (+),
silau(+), rasa mengganjal (+). Pasien mengaku memiliki gigi berlubang
Pada keadaan umum didapatkan pasien tampak ringan. Dari status oftalmologi , pada
mata kiri didapatkan visus 20/100. Pada konjungtiva bulbi terdapat injeksi siliar. Tampak adanya
keratic presipitat pada kornea, iris tidak terdapat sinekia.

Air Puff Tonometer


R : 14,3 mmHg
L : 14,8 mmHg

Tes Lapang Pandang (Tes Konfrontasi)

OD OS

+ + + + + +

+ + + +

+ + + + + +

Keterangan:

 OD: tidak terdapat defek lapang pandang


 OS: tidak terdapat defek lapang pandang

DIAGNOSA KERJA
Uveitis anterior OS
Emetropia OD
DIAGNOSA BANDING
Keratitis
Konjungtivitis
TERAPI
Promotif
 Edukasi mengenai uveitis, dan lama penyembuhannya.
Preventif
 Melakukan pemeriksaan mata kepada dokter.
 Menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan radang pada mata
 Mengkonsumsi vitamin A, C, dan E.
 Mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang.
Kuratif
Medika Mentosa
Anti Inflamasi : Prednisolone Acelate Micronized ED 10mg/ml 6 dd gtt I

Siklopegik / Midriatikum : Cyclopentholat 1% ED 3 dd gtt 1 atau

Sulfas atropin 1% ED 3 dd gtt 1

PROGNOSIS
OKULI DEKSTRA (OD) OKULI SINISTRA (OS)
Ad Vitam : ad bonam ad bonam
Ad Fungsionam : ad bonam dubia ad bonam
Ad Sanationam : ad bonam dubia ad bonam
Ad Kosmetikan : ad bonam ad bonam
Tinjauan Pustaka

ANATOMI DAN FISIOLOGI

Uvea merupakan lapisan vaskular di dalam bola mata yang terdiri dari iris, korpus siliar,
dan koroid. Bagian ini dilindungi oleh kornea dan sklera. Uvea ikut memasok darah ke retina.
Uvea dibagi menjadi 2 bagian yaitu uvea anterior yang terdiri dari iris dan badan siliar dan
uvea posterior yaitu koroid (Wijana, 1993; Vaughan et al, 2000). Dalam tulisan ini hanya
dibahas mengenai uveia anterior saja.

1. Iris

Iris adalah perpanjangan korpus siliare ke anterior. Iris berupa permukaan pipih
dengan apertura bulat di tengahnya yang disebut dengan pupil. Iris terletak
bersambungan dengan permukaan anterior lensa, yang memisahkan kamera okuli
anterior dan kamera okuli posterior, yang masing-masing berisi humor aqueus. Di
dalam stroma iris terdapat sfingter dan otot-otot dilator (Wijana,1993; Voughan et
al,2000).

Secara histologis terdiri dari stroma yang jarang dan diantaranya terdapat
lekukan-lekukan di permukaan anterior yang berjalan radier yang dinamakan kripta.
Di dalam stroma terdapat sel pigmen yang bercabang, banyak pembuluh darah dan
serabut saraf. Di permukaan anterior ditutupi oleh endotel, terkecuali pada kripta,
di mana pembuluh darah pada stroma dapat berhubungan langsung dengan kamera
okuli anterior. Di bagian posterior dilapisi oleh dua lapisan epitel, yang merupakan
lanjutan epitel pigmen retina. Warna dari iris tergantung dari sel-sel pigmen yang
bercabang yang terdapat di dalam stroma yang jumlahnya dapat berubah-ubah dan
juga epitel pigmen yang jumlahnya tetap (Wijana,1993).

Ada 2 otot yang ada di dalam iris antara lain otot sfingter pupil (M. sphincter
pupillae) yang berjalan sirkuler, yang terletak di dalam dekat pupil dan dipersarafi
oleh saraf parasimpatis (N. III), dan otot dilatator pupil (M. dilatator pupillae) yang
berjalan radier dari akar iris ke pupil, terletak di bagian posterior stroma dan disarafi
oleh saraf simpatis (Wijana, 1993). Pasokan darah ke iris berasal dari circulux major
iris. Kapiler-kapiler iris memiliki lapisan endotel yang tak berlubang sehingga
normalnya tidak membocorkan fluoresin yang disuntikkan secara intravena.
Persyarafan iris adalah melalui serat-serat nervus siliare (Voughan, 2000).
Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata. Ukuran
pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat
aktivitas parasimpatik yang dihantarkan melalui nervus kranialis III dan dilatasi
yang ditimbulkan oleh aktifitas simpatik (Voughan, 2000).

Cahaya yang mengenai mata diterima oleh sel-sel batang dan kerucut di retina,
diteruskan oleh N. II ke kiasma optikum, radiasio optika, setinggi korpus
genikulatum lateral, serat pupilomotor melepaskan diri ke brachium kolikulus
superior, ke midbrain, komisura posterior di daerah pretektalis, kemudian
mengadakan semidikusasi dan keduanya menuju ke nucleus Edinger Westphal di
kedua sisi. Dari sini keluar saraf eferen (saraf parasimpatis) yang memasuki N. III,
ke ganglion siliaris, serat saraf postganglioner melalui Nn. siliaris brevis
(Wijana,1993).

Menurut Wijana (1993), bila seseorang melihat suatu objek pada jarak dekat, maka
terjadi trias akomodasi yaitu :

 Kontraksi dari otot siliaris yang berguna agar zonula Zinii mengendor, lensa
dapat mencembung, sehingga cahaya yang datang dapat difokuskan ke
retina.

 Konstriksi dari otot rektus internus, sehingga timbul konvergensi dan mata
tertuju pada benda itu.

 Konstriksi otot konstriksi pupil dan timbullah miosis, supaya cahaya yang
masuk tak berlebih, dan terlihat dengan jelas.

2. Korpus Siliaris

Pada potongan melintang korpus siliare secara kasar berbentuk cincin segitiga
yang membentang ke depan dari ujung anterior khoroid ke pangkal iris (± 6mm).
Terdiri dari dua zona, yaitu zona anterior dengan permukaan berjonjot lekuk dan
menonjol yang disebut dengan pars pikata (± 2mm), dan zona posterior yang datar
dengan permukaan licin disebut pars plana (± 4mm). Processus siliaris ini berasal dari
pars plikata. Processus siliaris ini terutama terbentuk dari kapiler-kapiler dan vena yang
bermuara ke vene-vena vorteks. Kapiler-kapilernya besar dan berlobang-lobang
sehingga membocorkan fluoresin yang disuntikkan secara intravena. Ada dua lapis
epitel siliaris: satu lapisan tanpa pigmen di sebelah dalam, yang merupakan perluasan
neuroretina ke anterior, dan lapisan berpigmen di sebelah luar, yang merupakan
perluasan lapisan epitel pigmen retina. Prosessus siliaris dan epitel siliaris
pembungkusnya berfungsi sebagai pembentuk humor aquaeus (Voughan, 2000;
Ghozie, 2002).

Korpus siliaris mengandung otot polos yang tersusun longitudinal, sirkular, dan
radial. Otot-otot ini berfungsi untuk menarik dan mengendorkan serabut zonula Zinni,
yang menghasilkan perubahan tegangan pada kapsul lensa. Ketegangan kapsul lensa
yang berubah akan menyesuaikan kekuatan lensa mata sesuai dengan jarak benda yang
dilihat agar bayangannya tepat di retina (Ghozie, 2002).

Procesus siliaris mengandung terutama pembuluh kapiler dan venanya yang


menumpahkan darahnya ke luar melalui vena vorticosa. Kapilernya besar dan mudah
dirembesi larutan suntikan fluresin. Pars plana terdiri atas selapis tipis otot siliaris dan
pembuluh siliar yang diselimuti epitel siliar. Serabut zonula berorigo di lekukan dari
procesus siliaris (Ghozie, 2000).

Pembuluh darah dibadan siliar berasal dari sirkulus iridis mayor, sedang syaraf
sensoris berasal dari syaraf siliaris (Voughan, 2000; Ghozie, 2002).

UVEITIS ANTERIOR

DEFINISI

Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian depan korpus siliare (pars
plikata), kadang-kadang menyertai peradangan bagian belakang bola mata, kornea dan sklera
(Ardy, 1993). Menurut American Optometric Association (AOA) tahun 2004, uveitis anterior
adalah suatu proses inflamasi intraokular dari bagian uvea anterior hingga pertengahan vitreus.
Penyakit ini dihubungkan dengan trauma bola mata, dan juga karena berbagai penyakit
sistemik seperti juvenile rheumatoid, artritis, ankylosing spondilitis, Sindrom Reiter,
sarcoidosis, herpes zoster, dan sifilis.
EPIDEMIOLOGI

Di Indonesia belum ada data yang akurat mengenai jumlah kasus uveitis . Di Amerika
Serikat ditemukan angka kejadian uveitis anterior adalah 8-12 orang dari 100.000 penduduk
per tahun. Insidensinya meningkat pada usia 20-50 tahun dan paling banyak pada usia sekitar
30-an (Sjamsoe, 1993; AOA, 2004). Menurut AOA (2004), berdasarkan etiologinya ada
beberapa faktor resiko yang menyertai kejadian uveitis anterior antara lain, penderita
toxoplasmosis dan yang berhubungan dengan hewan perantara toxoplasma. Beberapa penyakit
menular seksual juga meningkatkan angka kejadian uveitis anterior seperti sifilis, HIV, dan
sindroma Reiter.

KLASIFIKASI

Berdasarkan spesifitas penyebabnya uveitis anterior dapat dibagi atas uveitis infeksius,
uveitis non infeksius, dan uveitis tanpa penyebab yang jelas. Uveitis infeksius dapat disebabkan
oleh bakteri, jamur, dan virus. Uveitis non infeksius dapat disebabkan oleh agen non spesifik
(endotoksin dan mediator peradangan lainnya), agen spesifik pada mata (oftalia simpatika,
uveitis imbas lensa), dan penyakit sistemik seperti Behcet, sarkoidosis, sindroma Reiter, dll
(Sjamsoe,1993).

Berdasarkan asal nya uveitis anterior dibedakan menjadi, uveitis eksogen dan uveitis
endogen. Uveitis eksogen pada umumnya dikarenakan oleh trauma, operasi intra okuler,
ataupun iatrogenik. Sedangkan uveitis endogen dapat disebabkan oleh fokal ifeksi di organ lain
maupun reaksi autoimun ( Anonim,2008).

Secara klinis (menurut cara timbul dan lama perjalanan penyakitnya) uveitis anterior
dibedakan menjadi uveitis anterior akut dan uveitis anterior kronis. Uveitis anterior akut
biasanya timbulnya mendadak dan perjalanan penyakitnya kurang dari 5 minggu. Sedangkan
yang kronik mulainya berangsur-angsur, dan perjalanan penyakitnya dapat berbulan-bulan
maupun tahunan (Ardy, 1993). Klasifikasi uveitis anterior berdasarkan patologi anatominya
terdiri dari tipe granulomatosa dan non granulomatosa. Tipe granulomatosa infiltratnya terdiri
dari sel epiteloid dan makrofag. Sedangkan tipe non granulomatosa infiltratnya terdiri dari sel
plasma dan limfosit (Ardy,1993; anonim, 2008).
Klasifikasi uveitis anterior berdasarkan ICD-9-CM dibagi atas:

 Uveitis Anterior Akut

a. Uveitis anterior traumatik

b. Uveitis anterior idiopatik

c. Uveitis berhubungan dengan HLA-B27

d. Sindrom Behcet

e. Uveitis anterior terinduksi lensa

f. Sindrom Masquerade

 Uveitis Anterior Kronis

a. Juvenile rheumatoid arthritis

b. Uveitis anterior dengan uveitis posterior primer

c. Fuchs’ heterocromic iridocyclitis

ETIOLOGI

Penyebab terjadinya uveitis anterior dibagi menjadi beberapa golongan antara lain:
autoimun, infeksi, keganasan, dan lain-lain. Penyebab autoimun terdiri dari: artritis Rhematoid
juvenile, spondilitis ankilosa, sindrom Reiter, kolitis ulseratif, uveitis terinduksi-lensa,
sarkoidosis, penyakit crohn, psoriasis. Penyebab infeksi terdiri dari: sipilis, tuberkulosis, lepra,
herpes zooster, hepes simpleks, onkoserkiasis, adenovirus. Untuk penyebab keganasan terdiri
dari: sindrom masquerada, retinoblastoma, leukemia, limfoma, melanoma maligna. Sedangkan
yang lainnya berasal dari: iridopati, uveitis traumatika, ablatio retina, gout, dan krisis
glaukomatosiklitik (Voughan, 2000).

Selain itu menurut Rosenbaum (2007) etiologi dari uveitis anterior digolongkan
menurut agen penyebab infeksi, seperti dalam tabel berikut:
Tabel 1. Etiologi uveitis anterior menurut golongkan agen penyebab infeksi

BACTERIAL/ VIRAL FUNGAL PARASITIC

SPIROCHETAL

Atypical mycobacteria Cytomegalovirus Aspergillosis Acanthamoeba

Brucellosis Epstein-Barr Blastomycosis Cystercercosis

Catscratch disease Herpes simplex Candidiasis Onchocerciasis

Leprosy Herpes zoster Coccidioido- Pneumocystis


mycosis carinii
Leptospirosis Human T cell leukemia
virus Cryptococcosis Toxocariasis
Lyme disease
Mumps Histoplasmosis Toxoplasmosis
Propionibacteri-um
Rubeola Sporotrichosis
Syphilis
Vaccinia
Tuberculosis
HIV-1
Whipple's disease
West Nile virus

Masih menurut Rosenbaum (2007) beberapa penyakit sistemik dapat berhubungan


dengan uveitis, penyakit-penyakit tersebut diantaranya adalah:

 Spondyloarthritides

 Crohn's disease

 Sarcoidosis

 Behcet's disease
 Hypersensitivity reactions

 Tubulointerstitial nephritis

 Juvenile rheumatoid arthritis

 Kawasaki disease, multiple sclerosis, and relapsing polychondritis

 Multiple sclerosis

 Relapsing polychondritis

 Sjögren's syndrome

 Systemic lupus erythematosus

 Systemic vasculitis

 Granulomatous angiitis of the central nervous

 Vogt-Koyanagi-Harada syndrome

 AIDS

 Blau syndrome

Uveitis anterior juga dapat disebabkan oleh infeksi fokal seperti: gigi, telinga, hidung,
tenggorokan, traktus urogenitalis, traktus digestivus, kulit, dan lain-lain. Trauma perforata dan
oftalmia simpatika juga dapat menyebabkan uveitis anterior (Wijana, 1993)

PATOFISIOLOGI

Peradangan traktus uvealis banyak penyebabnya dan dapat mengenai satu atau ketiga
bagian secara bersamaan. Bentuk uveitis paling sering terjadi adalah uveitis anterior akut
(iritis), umumnya unilateral dan ditandai dengan adanya riwayat sakit, fotopobia dan
penglihatan kabur, mata merah, dan pupil kecil serta ireguler.

Penyakit peradangan traktus uvealis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada oreng
dewasa dan usia pertengahan. Pada kebanyakan kasus penyebabnya tidak diketahui.
Berdasarkan patologi dapat dibedakan dua jenis besar uveitis: yang non-granulomatosa (lebih
umum) dan granulomatosa.

Uveitis non-granulomatosa terutama timbul di bagian anterior traktus ini, yaitu iris dan
korpus siliaris. Terdapat reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrat sel-sel limfosit dan sel
plasma dengan jumlah cukup banyak dan sedikit mononuklear. Pada kasus berat dapat
terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion di kamera okuli anterior (Vaughan, 2000).

Badan siliar berfungsi sebagai pembentuk cairan bilik mata (humor aqueus) yang
memberi makanan kepada lensa dan kornea. Dengan adanya peradangan di iris dan badan siliar,
maka timbullah hiperemi yang aktif, pembuluh darah melebar, pembentukan cairan bertambah,
sehingga dapat menyebabkan glaukoma sekunder. Selain oleh cairan bilik mata, dinding
pembuluh darah dapat juga dilalui oleh sel darah putih, sel darah merah, dan eksudat yang akan
mengakibatkan tekanan osmose cairan bilik mata bertambah dan dapat mengakibatkan
glaukoma. Cairan dengan lain-lainya ini, dari bilik mata belakang melalui celah antar lensa iris,
dan pupil ke kamera okuli anterior. Di kamera okuli anterior, oleh karena iris banyak
mengandung pembuluh darah, maka suhunya meningkat dan berat jenis cairan berkurang,
sehingga cairan akan bergerak ke atas. Di daerah kornea karena tidak mengandung pembuluh
darah, suhu menurun dan berat jenis cairan bertambah, sehingga di sini cairan akan bergerak
ke bawah. Sambil turun sel-sel radang dan fibrin dapat melekat pada endotel kornea,
membentuk keratik presipitat yang dari depan tampak sebagai segitiga dengan endapan yang
makin ke bawah semakin besar. Di sudut kamera okuli anterior cairan melalui trabekula masuk
ke dalam kanalis Schlemn untuk menuju ke pembuluh darah episklera. Bila keluar masuknya
cairan ini masih seimbang maka tekanan mata akan berada pada batas normal 15-20 mmHg.
Sel radang dan fibrin dapat pula menyumbat sudut kamera okuli anterior, sehingga alirannya
terhambat dan terjadilah glaukoma sekunder. Galukoma juga bisa terjadi akibat trabekula yang
meradang atau sakit (Wijana,1993)

Elemen darah dapat berkumpuk di kamera okuli anteror dan timbullah hifema (bila
banyak mengandung sel darah merah) dan hipopion (yang terkumpul banyak mengandung sel
darah putihnya). Elemen-elemen radang yang mengandung fibrin yang menempel pada pupil
dapat juga menagalami organisasi, sehingga melekatkan ujung iris pada lensa. Perlekatan ini
disebut sinekia posterior. Bila seluruh iris menempel pada lensa, disebut seklusio pupil
sehingga cairan yang dari kamera okuli posterior tidak dapat melalui pupil untuk masuk ke
kamera okuli anterior, iris terdorong ke depan, disebut iris bombe dan menyebabkan sudut
kamera okuli anterior menyempit, dan timbullah glaukoma sekunder. Perlekatan-perlekatan
iris pada lens menyebabkan bentuk pupil tidak teratur. Pupil dapat pula diisi oleh sel-sel radang
yang menyebabkan organisasi jaringan dan terjadi oklusi pupil. Peradangan badan siliar dapat
pula menyebabkan kekeruhan pada badan kaca, yang tampak seperti kekeruhan karena debu.
Dengan adanya peradangan ini maka metabolisme pada lensa terganggu dan dapat
mengakibatkan katarak. Pada kasus yang sudah lanjut, kekeruhan badan kaca pun dapat
mengakibtakan organisasi jaringan yang tampak sebagai membrana yang terdiri dari jaringan
ikat dengan neurovaskularisasi dari retina yang disebut retinitis proloferans. Pada kasus yang
lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan ablasi retina (Wijana, 1993).

GAMBARAN KLINIS

1. Gejala Subyektif

Gejala subyektif uveitis anterior dapat berupa rasa nyeri, fotofobia , lakrimasi, dan mata
kabur.

2. Gejala Objektif

Pemeriksaan dilakukan dengan lampu celah, oftalmoskopik direk dan indirek, bila
diperlukan angiografi fluoresen atau ultrasonografi. Menurut Ardy (1993) pada
pemeriksaan akan ditemukan hasil di bawah ini :

 Hiperemis

Hubungan derajat hiperemi dengan kelainan kornea mengikuti pembagian


Hogan (1959).

• Derajat 0 : Hiperemi sekitar kornea dan kelainan kornea tidak ada.

• Derajat 1 : Hiperemi sekitar kornea dan edema kornea ringan.

• Derajat 2 : Hiperemi sekitar kornea jelas dan difus, disertai hiperemi


pembuluh darah episklera dan konjungtiva. Edema stroma dan epitel
kornea difus dengan lipatan membran Descemet.

• Derajat 3 : Hiperemi hebat sekitar kornea disertai hiperemi difus


episklera dan konjungtiva. Edema difus stroma dan epitel kornea,
lipatan Descemet, vaskularisasi perifer disertai permulaan fibrosis
daerah tertentu stroma kornea.

• Derajat 4 : Injeksi kornea, hiperemi pembuluh darah konjungtiva,


kemosis. Edema hebat stroma, keratitis bulosa dan vaskularisasi perifer.

 Perubahan Kornea

 Keratitik Presipitat

Terjadi karena pengendapan agregasi sel radang dalam bilik mata depan pada
endotel kornea akibat aliran konveksi aquos humor, gaya berat dan perbedaan
potensial listrik endotel kornea. Lokalisasi dapat di bagian tengah dan bawah
dan juga difus

 Kekeruhan Bilik Mata

Kekeruhan dalam bilik mata depan dapat disebabkan oleh meningkatnya kadar
protein, sel, dan fibrin

 Efek Tyndal

Efek tyndal menunjukkan ada atau menetapnya peradangan dalam bola mata

 Fibrin

 Hipopion

Merupakan pengendapan sel radang pada sudut bilik mata depan bawah.
Pengendapan terjadi bila derajat sel dalam bilik depan lebih dari 4+. Hipopion
dapat ditemui pada uveitis anterior hiperakut dengan sebutan sel lekosit berinti
banyak, biasanya karena rematik, juga pada penyakit Behcet, dan
fakoanafilaktik.Hipopion harus dibedakan dari pseudohipopion yang
disebutkan juga kelompok sindrom masquerade. Untuk membedakan harus
dilakukan pemeriksaan dengan pupil yang telah dilebarkan dengan midriatik.
Sindrom Masquerade disebabkan oleh iridoskisis, atrofi iris esensial, limfoma
maligna, leukemi, sarkoma sel retikulum, retinoblastoma, pseudoeksfoliatif dan
tumor metastasis.
 Hiperemis Iris

 Miosis Pupil

Pupil mengecil karena edema dan pembengkakan stroma iris karena iritasi
akibat peradangan langsung pada sfingter pupil. Reaksi pupil terhadap cahaya
lambat disertai nyeri.

 Sinekia iris

 Granuloma iris

Tabel 2. Perbedaan Uveitis Granulomatosa dan Non Granulomatosa

Non Granulomatosa Granulomatosa

Onset Akut Tersembunyi

Sakit Nyata Tak ada atau ringan

Fotofobia Nyata Ringan

Penglihatan kabur Sedang Nyata

Merah Sirkumkorneal Nyata Ringan

Keratitik presipitat Putih halus Kelabu besar

Pupil Keecil dan tak teratur Kecil dan tak teratur

Sinekia Posterior Kadang – kadang Kadang – kadang

Nodul iris Kadang – kadang Kadang – kadang

Tempat Uvea anterior Uvea anterior dan


posterior

Perjalanan Akut Menahun

Rekurensi Sering Kadang- kadang


PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan laboratorium yang mendalam umumnya tidak diperlukan untuk uveitis


anterior, apalagi untuk tipe non-granulomatosa. Tes kulit terhadap tuberkulosis dan
histoplasmosis dapat berguna demikian juga antibodi terhadap toksoplasmosis. Berdasarkan
tes-tes ini dan gambaran kliniknya, seringkali dapat ditegakkan diagnosa etiologinya
(Vaughan, 2000). Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat mendukung dalam
penegakan diagnosa dan etiologi adalah radiografi thorak dan fluorescent treponemal antibody
absorption (FTA-ABS). Berikut adalah pemeriksaan dan indikasi pada penegakan diagnosa
dan etiologi uveitis anterior menurut George (2007) dan AOA (2004):

 Radiografi thorak untuk Sarkoidosis dan TB

 Tes darah rutin untuk membedakan penyebab bakteri atau virus dan mengetahui
keganasan seperti limfoma dan leukimia.

 FTA-ABS test untuk Sifilis

 VRDL untuk sifilis

 Purified protein derivative (PPD) test untuk TB

 Angiotensin-converting enzyme (ACE) test untuk Sarkoidosis

 Antinuclear antibody (ANA) untuk SLE dan juvenile rheumatoid arthritis.

 HLA-B27 typing untuk ankylosing spondilytis, sindrom Reiter, inflammantory


bowel disease, psoriasis artritis, sindrom Behcet.

 Gallium scan untuk Sarkoidosis

 Anergy evaluation untuk Sarkoidosis

 Toxoplasmosis enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)


DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding uvetis anterior menurut Vaughan (2000) antara lain:

 Konjungtivitis: penglihatan tidak kabur, respon pupil normal, ada tahi mata dan
umumnya tidak ada sakit, fotofobia, atau injeksi siliaris.

 Keratitis atau keratokunjungtivitis: penglihatan dapat kabur dan ada rasa sakit
dan fotofobia. Beberapa penyebab keratitis seperti herpes simpleks dan herpes
zooster dapat menyertai uveitis anterior sebenarnya.

 Glaukoma akut: pupil melebar, tidak ada sinekia posterior, dan korneanya
beruap.

 Setelah serangan berulang kali,uveitis non-granulomatosa dapat menunjukkan


ciri uveitis granulomatosa

TERAPI

Tujuan terapi uveitis anterior menurut AOA (2004), antara lain::

 Mengembalikan tajam penglihatan,

 Mengurangi rasa nyeri di mata,

 Mengeliminasi peadangan atau penyebab pradangan,

 Mencegah terjadinya sinekia iris,

 Mengendalikan tekanan intraokular.

Sedangkan prinsip pengobatan uveitis menurut Sjamsoe (1993) antara lain:

 Menekan peradangan,

 Mengeliminir agen penyebab,

 Menghindari efek samping obat yang merugikan pada mata dan organ tubuh di
luar mata.
1. Terapi Non Spesifik

Tiga jenis obat yang digunakan sebagai terapi non spesifik pada uveitis yaitu midriatik-
sikloplegik, kortikosteroid, dan imunosupresan.

Midriatik-sikloplegik

Semua sikloplegik merupakan agen antagonis kolinergik yang bekerja dengan menghambat
neurotransmiter pada reseptor sfingter iris dan korpus silier. Pada pengobatan uveitis anterior
sikloplegik bekerja dengan 3 cara yaitu:

1) Mengurangi nyeri karena imobilisasi iris

2) Mencegah adesi iris ke kapsula lensa anterior (sinekia posterior), yang dapat
meningkatkan tekanan intraokular dan menyebabkan glaukoma sekunder.

3) Menyetabilkan blood-aqueous barrier dan mencegah terjadinya flare.

Agen sikloplegik yang digunakan dalam terapi uveitis anterior menuruut AOA (2004) antara
lain:

o Atropine 0,5%, 1%, 2%

o Homatropin 2%, 5%

o Scopolamine 0,25%

o Cyclopentolate 0,5%, 1%, 2%.

o Kortikosteroid

Semua orang setuju bahwa kortikosteroid merupakan terapi non spesifik yang
bermanfaat pada uveitis. Efek samping baik topikal maupun sistemik telah kita ketahui,
akan tetapi tidak ada salahnya diingatkan kembali tentang cara kerja variasi efek anti
inflamasi, efek samping dan potensi preparat steroid yang dipakai dalam pengobatan
uveitis. Pengobatan peradangan intra okular dengan kortikosteroid dimulai pada tahun 50-
an. Ada 2 cara pengobatan kortikosteroid pada uveitis yaitu local dan sistemik.

2. Terapi Spesifik

• Toxoplasmosis
Pengobatan anti toxoplasma yang paling ideal adalah terapi kombinasi.

• Sulfadiazin atau trisulfa :

Dosis 4 kali 0.5–1 gr/hari selama 3–6 minggu.

• Pirimetamin :

Dosis awal 75–100 mg pada hari pertama, selanjutnya 2 kali 25 mg/hari selama
3–6 minggu.

• Trimethoprim-sulfamethoxazol (Bactrim®) :

Dosis 2 kali 2 tablet Bactrim® selama 4–6 minggu. Preparat sulfa mencegah
konversi asam paraaminobenzoat menjadi asam folaL Preparat pirimetamin
bekerja menghambat terbentuknya tetrahidrofolat. Asam folat dibutuhkan oleh
organisme toxoplasma untuk metabolisme karbon. Pada pemakaian
pirimetamin dapat terjadi depresi sumsum tulang, maka kontrol darah tepi tiap
minggu, apabila trombosit diindikasi penghentian terapi. Untuk mencegah
depresi sumsum tulang diberikan preparat tablet asam folinat 5 mg tiap 2 hari.

• Klindamisin :

Sebagai pengganti pirimetamin, yang bekerja sinergik dengan preparat sulfa.


Secara invivo pada experimen obat ini dapat menghancurkan kista toxoplasma
pada jaringan retina.

Dosis: 3 kali 150–300 mg/hari/oral. Pemberian sub-konjungtiva klindamisin 50


mg dilaporkan memberi hasil baik.

• Spiramisin :

Diberikan pada wanita hamil dan anak-anak karena efek samping yang minimal.
Obat ini kurang efektif dalam mencegah rekurensi.

• Minosiklin :

Dosis 1–2 kapsul sehari selama 4–6 minggu.

• Fotokoagulasi dengan laser apabila tidak ada respon terapi medikamentosa.


• Infeksi virus

• Herpes simplex :

Pada keratouveitis Herpes simplex diberikan topikal antivirus seperti asiklovir


dan sikloplegik. Apabila epitel kornea intact/sembuh maka dapat diberikan
topikal steroid bersama antivirus. Diberikan juga asiklovir 5 kali 200 mg/hari
selama 2–3 minggu yang kemudian diturunkan 2 atau 3 tablet/hari. Pada kasus
retinitis Herpes simplex dan ARN (Acute retinal necrosis) diberikan asiklovir
intravena dengan dosis awal 5 mg/kgBB/kali yang dapat diberikan 3 kali per
hari.

• Herpes zoster :

Diberikan asiklovir 5 kali 400 mg pada keadaan akut selama 10–14 hari.
Kortikosteroid sistemik diberikan pada orang tua untuk mencegah terjadi post
herpetic neuralgia. Pada uveitis anterior diberikan steroid dan sikloplegik
topikal.

• Sitomegalovirus :

DHPG (Gancyclovir) 5 mg/kgBB/dalam 2 kali pemberian intravena Foscarnet: 20


mg/kgBB/perinfus.

Menurut Wiyana (1993), selama pemberian obat harus diperhatikan beberapa hal
diantaranya:

• Berat badan. Bila berat badan naik dengan cepat berarti ada penumpukan air,
karena adanya Na retensi, makanya pada pemberian kortekosteroid yang lama
harus disertai pemberian KCl.

• Tensi darah harus diperiksa setiap hari

• Pemeriksaan kadar K, Na dalam darah

• Pemeriksaan kadar gula dalam darah, harus dilakukan satu kali dalam setiap
minggu

• Adanya mimpi buruk, merupakan tanda adanya psikose.


Berhasil tidaknya pengobatan tergantung oleh daya tahan tubuh serta adanya virulensi
dari faktor penyebab iridosiklitis. Oleh karenanya pemberian kortikosteroid tidak akan
berhasil apabila tidak disertai pengobatan penyebabnya. Keadaan umum diperbaiki
untuk memperbaiki daya tahan tubuh. Istirahat di tempat tidur, terlindung dari cahaya,
tidak boleh membaca, dilarang minum alkohol (dapat menyebabkan hiperemi),
memakan makanan yang mudah dicerna, dan memakai kaca mata hitam. Selain itu
jangan lupa memeriksa bagian-bagian tubuh yang lain seperti: gigi, telinga, hidung,
tenggorokan, traktus urogenitalis, traktus digestivus, kulit, dan bagian lain. Hal ini
dimaksudkan untuk mengetahui penyebab dan juga mengobati penyebab tersebut
(Wijana, 1993).

KOMPLIKASI

Ada empat komplikasi utama uveitis anterior antara lain: katarak, glaukoma, band
keratopathy, dan cystoid macular edema (CME) (AOA,2004). Katarak subcapular posterior
merupakan salah satu komplikasi dari pengobatan uveitis anterior berupa penggunaan
kortikosteroid topikal jangka panjang (AOA, 2004). Glaukoma sekunder yang terjadi dapat
disebabkan oleh beberapa mekanisme, antara lain: (AOA, 2004)

 Gangguan sirkulasi humor aqueous karena tersumbat oleh sel radang

 Sinekia posterior memungkinkan humor aqueous terkumpul di belakang iris.

 Sinekia anterior peripheral prograsif menutup sudut bilik mata

 Cortikosteroid topikal yang digunakan pada terapi dapat meningkatkan tekanan


intra okular

 Rubeosis iridis menyebabkan neovaskular glaucoma

Band keratopathi terjadi pada uveitis yang lama. Terjadi karena penumpukan calsium
pada kornea anterior (AOA, 2004). Edema kistoid makuler dapat terjadi pada uveitis anterior
yang lama. CME mungkin disebabkan karena penurunan kadar prostaglandin (AOA, 2004).

PROGNOSIS

Dengan pengobatan, serangan uveitis non-granulomatosa umumnya berlangsung


beberapa hari sampai minggu dan sering kambuh. Uveitis granulomatosa berlangsung
berbulan-bulan sampai tahunan, kadang-kadang dengan remisi dan eksaserbasi, dan dapat
menimbulkan kerusakan permanen dengan penurunan penglihatan yang nyata. Prognosis bagi
lesi korioretinal perifer lokal jauh lebih baik, sering sembuh tanpa gangguan penglihatan yang
berarti (Vaughan, 2000)

RESUME

1. Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian depan korpus siliare (pars
plikata), kadang-kadang menyertai peradangan bagian belakang bola mata, kornea dan
sklera.

2. Berdasarkan spesifitas penyebabnya uveitis anterior dapat dibagi atas uveitis infeksius,
uveitis non infeksius, dan uveitis tanpa penyebab yang jelas.

3. Berdasarkan asal nya uveitis anterior dibedakan menjadi, uveitis eksogen dan uveitis
endogen.

4. Secara klinis (menurut cara timbul dan lama perjalanan penyakitnya) uveitis anterior
dibedakan menjadi uveitis anterior akut dan uveitis anterior kronis.

5. Klasifikasi uveitis anterior berdasarkan patologi anatominya terdiri dari tipe


granulomatosa dan non granulomatosa.

6. Penyebab terjadinya uveitis anterior dibagi menjadi beberapa golongan antara lain:
autoimun, infeksi, keganasan, dan lain-lain.

7. Terjadinya uveitis anterior juga berhubungan dengan beberapa penyakit sistemik,


antara lain: Sp ondyloarthritides, Crohn's disease, Sarcoidosis, Behcet's disease
Hypersensitivity reactions, Tubulointerstitial nephritis ,Juvenile rheumatoid arthritis,
Kawasaki disease, multiple sclerosis, and relapsing polychondritis, Multiple
sclerosis,Relapsing polychondritis, Sjögren's syndrome, Systemic lupus erythematosus,
Systemic vasculitis, Granulomatous angiitis of the central nervous, Vogt-Koyanagi-
Harada syndrome, AIDS, Blau syndrome.

8. Gejala-gejala uveitis anterior meliputi: mata merah, fotofobia, lakrimasi, rasa sakit, clan
penglihatan kabur. Mata yang terkena biasanya satu pihak, disertai dengan adanya flare
dan sel di dalam bilik mata depan; jarang dijumpai adanya hipopion. Variasi gejala
sering dijumpai, hal ini berhubungan dengan faktor penyebab.
9. Diagnosis banding uvetis anterior antara lain: konjungtivitis, keratitis atau
keratokunjungtivitis, glaukoma akut.

10. Tujuan terapi uveitis anterior antara lain: mengembalikan tajam penglihatan,
mengurangi rasa nyeri di mata, mengeliminasi peadangan atau penyebab pradangan,
mencegah terjadinya sinekia iris,m engendalikan tekanan intraokular.

11. Prinsip pengobatan uveitis antara lain: menekan peradangan, mengeliminir agen
penyebab, menghindari efek samping obat yang merugikan pada mata dan organ tubuh
di luar mata.

12. Terapi uveitis anterior terdiri dari terapi non spesifik dan terapi spesifik. Terapi non
spesifik menggunakan obat-obat midriatik-sikloplegik, kortikosteroid dan
imunosupresan. Sedangkan terapi spesifik didasarkan pada penyebabnya.

13. Ada empat komplikasi utama uveitis anterior antara lain: katarak, glaukoma, band
keratopathy, dan cystoid macular edema.
DAFTAR PUSTAKA

1. American Optometric Association, 2004, Anterior Uveitis, dalam Optometric


Clinical Practice Guideline, American Optometric Association, St. Louis

2. Anonim,2007,UveitisAnterior,http://exdeathhealth.blogspot.com/2008/03/uveitis-
anterior.html

3. Ardy, H., 1993, Diagnosis Etiologik Uveitis Anterior, dalam Cermin Dunia
Kedokteran no 87. sept 1993, Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Jakarta: 47-54

4. Ghozie, M., 2002, Kornea, Uvea, dan Lensa, dalam Hand Book of Ophtalmology,
Yogyakarta

5. Hodge, W. G., 2000, Traktus Uvealis & Sklera, dalam Vaughan, D. G., Asbury, T.
dan Riodan, P., Oftalmologi Umum, Widya Medika, Jakarta : 155-174

6. Riodan, P., 2000, Anatomi & Embriologi Mata, dalam Vaughan, D. G., Asbury, T.
dan Riodan, P., Oftalmologi Umum, Widya Medika, Jakarta : 1-29

7. Rosenbaum, J,T, 2007, Up to Date: Canada, http://www.uptodate.com

8. Sjamsoe, S., 1993, Penatalaksanaan Uveitis, dalam Cermin Dunia Kedokteran no


87. sept 1993, Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Jakarta: 55-58

9. Suhardjo dan Gunawan, S., 1993. Gambaran Klinis Uveitis Anterior Akuta pada
HLA-B27 positif, FK UGM, Yogyakarta

10. Wijana, N., 1993, Uvea, dalam Ilmu Penyakit Mata, Abadi Tegal, Jakarta: 126-153

Anda mungkin juga menyukai