Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


seizure adalah salah satu gangguan neurologis yang paling sering ditemui pada
anak. Sebagian besar kejang terjadi pada masa anak-anak dengan perkiraan 2-3% anak
mengalami kejang sebelum berrumur 16 tahun.
(Batticaca B. Fransisca, 2008).
seizure merupakan suatu gangguan neurologik yang relatif sering terjadi. seizure
merupakan suatu gangguan fungsional kronik dan banyak jenisnya, dan ditandai oleh
aktifitas serangan yang berulang-ulang. Serangan kejang yang merupakan gejala atau
manifestasi utama epilepsi dapat diakibatkan kelainan fungsional (motorik, sensorik,
psikis). Serangan tersebut tidak lama, tidak terkontrol, serta timbul secara episodik.
Serangan ini menggangu kelangsungan kegiatan yang sedang dikerjakan pasien pada saat
itu. Serangan ini berkaitan dengan pengeluaran impuls oleh neuron serebral yang berlebihan
dan berlangsung local (Muttaqin Arif, 2008).
Istilah seizure sering digunakan secara bergantian. seizure oleh Hipokrates
diidentifikasi sebagai masalah yang ada kaitannya dengan otak. seizure dapat menyerang
segala kelompok usia. Pada kebanyakan kasus mungkin terdapat interaksi antara
predisposisi pembawaan dan faktor-faktor lingkungan, insiden epilepsi lebih sering
dijumpai pada keturunan orang-orang yang menderita seizure jika dibanding dengan
penduduk lain pada umumnya.
Insiden kira-kira 1% populasi (lebih dari 2 juta orang) di Amerika Serikat
mengalami kejang, dengan 100.000 kasus baru terdiagnosis setiap tahun. Telah ada
peningkatan insiden gangguan ini, kemungkinan karena sejumlah faktor. Perbaikan
perawatan obstetrik dan neonatal menyelamatkan bayi yang mengalami gawat nafas.
Sirkulasi dan kegawatan lain selama persalinan: bayi ini dapat di dipredisposisikan pada
kejang intermiten. Perbaikan penatalaksanaan medis, bedah, dan keperawatan terhadap
pasien dengan cedera kepala, tumor otak, meningitis, dan ensefalitis, menyelamatkan pasien
dengan kondisi ini dapat menimbulkan perubahan serebral dengan kejang resultan.
Insiden seizure sesungguhnya tidak diketahui. Diperkirakan jumlah penderita epilepsi
sekitar 0,5 % penduduk. Perkiraan ini dianggap terlalu konservatif karena sebagian pasien atau
dokter segan untuk melaporkan masalah yang dideritanya, yang ditambah keragu-raguan apakah
suatu golongan kejang dapat digolongkan sebagai serangan epilepsi atau bukan. Banyak pasien
merahasiakan penyakit ini karana masyarakat mempumyai pandangan yang negatif terhadap seizure.
Belajar menyesuaikan diri terhadap diskriminasi sehubungan dengan pekerjaan, pendidikan dan
sosial sering kali lebih sulit dari pada seizure sendiri. Meskipun seizure dapat terjadi pada semua
umur, insiden paling tinggi pada masa kank-kanak. Tujuh puluh lima persen kasus ini terjadi
sebelum usia 20 tahun, maka epilepsy biasanya merupakan penyakit sekunder. Setiap orang punya
resiko satu diantara 50 untuk mendapat seizure. Pengguna narkotik dan peminum alkohol punya
resiko lebih tinggi. Pengguna narkotik mungkin mendapat kejang pertama karena menggunakan
narkotik, tapi selanjutnya mungkin akan terus mendapat kejang walaupun sudah lepas dari narkotik.
Di Inggris, satu orang diantara 131 orang mengidap seizure. Jadi setidaknya 456.000 pengidap
seizure di Inggris (Muttaqin Arif, 2008).
Berdasarkan uraian di atas saat ini seizure masih menjadi suatu problem keperawatan
masyarakat baik di Indonesia maupun di negara lain. Selain itu hingga saat ini seizure masih
dianggap secara tidak tepatnya sebagai gangguan syaraf yang harus di tanggulangi oleh
dokter penyakit syaraf. Masih banyak medikus praktikus yang tidak mengetahui bahwa
mayoritas penderita seizure memerlukan pengobatan seumur hidup. Dengan dibuatnya
makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang penyaki seizure. Sehingga
dapat berguna bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan (Muttaqin Arif, 2008).
1.2 Rumusan Masalah
Apa yang di maksud dengan penyakit seizure dan bagaimanakah cara meakukan asuhan
keperawatanya ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Agar mahasiswa mengerti apa yang dimaksud dengan epiepsi dan cara
perawatannya.
1.3.2 Tujuan Khusus
1 Dapat menjelaskan definisi dari seizure.
2. Dapat menyebutkan etiologi dari seizure.
3. Dapat menyebutkan klasifikasi seizure.
4. Dapat menjelaskan patofisiologi dari seizure..
5. Dapat menjelaskan manifestasi klinis dari seizure.
6. Dapat menyebutkan pemeriksaan penunjang dari seizure.
7. Dapat menyebutkan penatalaksanaan emergency pada pasien seizure.
1.4 Manfaat
Dalam penulisan makalah ini di harapkan dapat bermanfaat bagi:

1.4.1 Mahasiswa
Dapat di jadikan salah satu refrensi untuk belajar,selain itu makalah ini dapat
di jadikan sebagai salah satu refrensi dalam melakukan asuhan keperawatan
dalam ruang lingkup seizure.
1.4.2 Dosen
Dapat di jadikan salah satu sarana untuk mengukur kemampuan mahasiswa
dalam membuat sebuah makalah tentang asuhan keperawatan pada ruang lingkup
seizure.
1.4.3 Institusi
Dapat di jadikan salah satu karya tulis ilmiah dapat di jadikan referensi dalam
acuan belajar.
BAB 2

Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi

seizure adalah salah satu gangguan neurologis yang paling sering ditemui pada
anak. Sebagian besar kejang terjadi pada masa anak-anak dengan perkiraan 2-3% anak
mengalami kejang sebelum berrumur 16 tahun.

seizure adalah gangguan akibat abnormalitas aktivitas sinkronisasi aliran listrik


pada otak.

2.2 Etiologi

a. Epilapsi

b. Meningitis atau ensefalitis

c. Tumor otak

d. Ketidak seimbangan elektrolit

e. obat-obatan atau alkohol

f. syncop karena disritmia jantung

g. Kejang demam (usia 6 bulan sampai 5 tahun)

2.3 Klasifikasi

1. grand-mal seizure

Secara umum kejang terjadi apabila neuron-neuron dalam area otak teraktivasi
dengan cara sinkronisasi. Aktivasi fokal sekelompok neuron kemudian menyebar ke
neuron sekitarnya dan neuron-neuron jauh dalam aktivasi abnormal. Terjadinya suatu
kejang melibatkan berbagai macam aspek selular atau biokimiawi seperti gangguan
fungsi kanal ion, level neurotransmiter, fungsi reseptor neurotransmiter, atau
metabolisme energi yang mengganggu eksitabilitas neuron sehingga menimbulkan
kejang. Secara umum, depolarisasi diperantarai oleh neurotransmiter eksitatori yaitu
glutamat dan aspartat. Peningkatan efektivitas sinaptik terjadi akibat meningkatnya
ambilan reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) sehingga terjadi influks kalsium
kedalam sel dan peningkatan eksitabilitas sel. Ketika proses eksitatori meningkat terjadi
reduksi simultan sirkuit inhibisi sehingga manifestasi kejang berlangsung.

a. fase tonik.
Kehilangan kesadaran terjadi, dan otot-otot tiba-tiba berkontraksi dan menyebabkan
orang jatuh. Fase ini cenderung berlangsung sekitar 10 sampai 20 detik.
b. fase klonik.
Otot-otot masuk ke kontraksi ritmik, bergantian meregangkan dan santai. Kejang
biasanya berlangsung kurang dari dua menit.

2. Absence seizures

Absence seizures menyebabkan hilangnya kesadaran secara singkat (hanya


beberapa detik) dengan sedikit atau tanpa gejala. pasien, paling sering anak, biasanya
menyela kegiatan dan menatap kosong. kejang ini dimulai dan diakhiri dengan tiba-tiba
dan dapat terjadi beberapa kali sehari. Pasien biasanya tidak menyadari bahwa mereka
mengalami kejang, kecuali bahwa mereka mungkin menyadari "kehilangan waktu."

3. Fokal seizures

seizures fokal (juga disebut kejang parsial dan kejang lokal) adalah kejang yang
mempengaruhi awalnya hanya satu belahan otak. Otak dibagi menjadi dua belahan, masing-
masing terdiri dari empat lobus - frontal, temporal, parietal dan oksipital. Dalam kejang
parsial kejang dihasilkan dalam dan mempengaruhi hanya salah satu bagian dari otak -
seluruh belahan atau bagian dari lobus a. Gejala akan bervariasi sesuai dengan di mana
kejang terjadi. Dalam gejala lobus frontal mungkin termasuk sensasi seperti gelombang di
kepala; di lobus temporal, perasaan déjà vu; di lobus parietal, mati rasa atau kesemutan; dan
pada lobus oksipital, gangguan visual atau halusinasi. kejang fokal dibagi menjadi dua
kategori utama; kejang fokal sederhana dan kejang fokal kompleks.

a. kejang fokal sederhana sebagian kecil dari salah satu lobus mungkin akan terpengaruh dan
orang tetap sadar. Ini akan sering menjadi pelopor untuk kejang yang lebih besar seperti
kejang parsial kompleks. Ketika hal ini terjadi, penyitaan parsial sederhana biasanya disebut
aura.

b. kejang fokal kompleks mempengaruhi bagian yang lebih besar dari belahan daripada kejang
parsial sederhana dan orang mungkin kehilangan kesadaran.

Jika kejang fokal menyebar dari satu belahan bumi ke sisi lain dari otak, ini akan
menimbulkan kejang umum sekunder. orang tersebut akan menjadi tidak sadar dan
mungkin memiliki kejang tonik klonik. Ketika orang memiliki beberapa kejang fokal
mereka umumnya telah kondisi yang dikenal sebagai epilepsi lobus temporal

2.4 Manifestasi klinis

1. Berikut tanda-tanda dan gejala terjadi pada beberapa tapi tidak semua orang dengan
kejang grand mal:
a. Aura. Beberapa orang mengalami peringatan perasaan (aura) sebelum kejang
grand mal. Peringatan ini bervariasi dari orang ke orang, tetapi mungkin
termasuk perasaan rasa takut yang tidak dapat dijelaskan, bau aneh atau perasaan
mati rasa.
b. Teriakan. Beberapa orang mungkin menangis keluar pada awal kejang karena
otot-otot di sekitar pita suara merebut, memaksa udara keluar.
c. Kehilangan kontrol kandung kemih. Hal ini bisa terjadi selama atau setelah
kejang.
d. Unresponsiveness setelah kejang-kejang. Tidak sadar dapat bertahan selama
beberapa menit setelah kejang telah berakhir.
e. Kebingungan. Sebuah periode disorientasi sering mengikuti kejang grand mal.
Ini disebut kebingungan post-ictal.
f. Kelelahan. Kantuk umum setelah kejang grand mal.
g. Sakit kepala parah. Sakit kepala yang umum tapi tidak universal setelah kejang
grand mal.

2. kejang sederhana adalah


a. Tatapan kosong berlangsung selama 10 sampai 15 detik, sakit kepala atau
mengantuk. Tanda dan gejala kejang tidak adanya meliputi:
b. Tiba-tiba berhenti bergerak tanpa jatuh
c. Mengecap bibir
d. Kelopak mata bergetar
e. Gerakan mengunyah
f. Gerakan kecil dari kedua tangan
g. Kejang umumnya berakhir 10 sampai 15 detik, segera diikuti dengan pemulihan
penuh. Beberapa orang memiliki puluhan episode setiap hari, yang mengganggu
sekolah atau kegiatan sehari-hari.
3. Simple partial seizure
Rata – rata kejang berlangsung selama 10 – 22 detik. Kejang parsial sederhana
dapat terancukan dengan gerenyet ( tics ), namun gerenyit ditandai dengan
pengangkatan bahu, mata berkedip – kedip dan wajah menyeringai serta terutama
melibatkan wajah dan bahu. Gerenjit dapat tertekan sebentar, tetapi kejang parsial tidak
dapat dikendalikan. EEG dapat menunjukkan gelombang paku atau gelombang tajam
unilateral atau bilateral, atau gambaran paku multifokal pada penderita dengan kejang
parsial sederhana, gelombang paku ombak di daerah temporal tengah ( daerah
Rolandik ).
4. Compleks partial seizure
Aura terdiri dari rasa tidak enak, samar – samar, sedikit rasa tidak enak
epigastrium, atau ketakutan pada sekitar sepertiga anak. Kejang parsial ini sukar
didokumentasikan pada bayi dan anak, frekuensi hubungannya dengan kejang parsial
kompleks mungkin kurang terestimasi. Kesadaran terganggu pada anak dan bayi sukar
dinilai. Daerah yang terkena kejang parsial kompleks lebih luas dibandingkan dengan
kejang parsial sederhana dan biasanya didahului dengan aura

2.5 Pemeriksaan penunjang

Beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada anak yang mengalami FUS
seperti:

1. Pemeriksaan laboratorium.

Pemeriksaan laboratorium dikerjakan bersifat individual berdasarkan riwayat dan


kondisi klinis pasien seperti muntah, diare, dehidrasi, dan tidak sadar. Skrining
toksikologi dikerjakan jika dicurigai paparan atau kecanduan obat atau toksin.

2. Elektroensefalografi (EEG).

Elektroensefalografi sangat berguna untuk mengidentifikasi jenis kejang,


membantumengklasifikasi kejang dan memperkirakan prognosis jangka panjang.
Pemeriksaan EEG dapat membantu dalam mengenali ensefalopati, kejang subklinis,
danabnormalitas metabolik. Dengan melakukan pemeriksaan EEG maka dapat
mengungkapkan fokal epilepsi atau kelainan lateralisasi. Jika memungkinkan, EEG
harus diperoleh saat pasien terjaga dan tidur.4 Jika kejadianFUS merupakan kejang
umum tonik klonik yang terjadi singkat (kurang dari 10 menit) maka EEG tidak mutlak
diperlukan, akan tetapi jika awitan kejang itu tidak disaksikan maka EEG sebaiknya
dilakukan.

3. Pemeriksaan pencitraan

Magnetic resonance imaging (MRI) merupakan modalitas utama dalam


pemeriksaan pencitraan dari pasien dengan kejang pencetus pertama kali. Pemeriksaan
MRI emergensi dikerjakan pada setiap anak dengan defisit postiktal (paresis Todd’s)
yang tidak segera membaik atau tidak kembali dalam beberapa jam pengamatan.
Pemeriksaan MRI tidak emergensi dikerjakan pada pasien dengan FUS disertai adanya
kelainan neurologis seperti keterlambatan perkembangan global, kejang parsial, umur
kurang dari satu tahun atau pada gambaran EEG tidak menunjukkan epilepsi parsial
benign atau epilepsi umum primer. 5 Computed tomographyscan bermanfaat pada
pasien dengan riwayat trauma kepala. Jika tidak ada trauma kepala dan anak tampak
normal maka pemeriksaan CT scan tidak diperlukan sebab CT scan tidak sensitif dalam
mende- teksi berbagai penyebab kejang misalnya heterotopia pada substansia grisea atau
ukuran hipokampus yang asimetris.

2.5 Penatalaksanaan Kegawat Daruratan

1. Non Farmakologi
a. Buka dan pertahankan jalan nafas
b. Lakukan ‘suction’ pada setiap vomit yang terjadi dengan kateter yankauer
c. Berikan oksigen yang tinggi melalui reservoir mask
d. Persiapkan peralatan intubasi kalau tidak mampu untuk mempertahankan jalan nafas
dan oksigenasi yang adekuat.
e. Monitor TTV, EKG, dan Puls oksimetri

2. Farmakologi
a. Benzodiazepin
b. Fenitoin. Dosis : IV10 mg/kg bolus lambat dengan kecepatan 100 mn/menit.
BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

Fokus utama pengkajian adalah:


1. Identitas pasien
2. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini? Usia
serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang. Serangan
kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder gangguan pada
masa perinatal, kelainan metabolik dan malformasi kongenital. Serangan kejang
umum cenderung muncul pada usia anakanak dan remaja. Pada usia sekitar 70
tahunan muncul serangan kejang biasanya ada kemungkinan mempunyai kelainan
patologis di otak seperti stroke atau tumor otak dsb.
3. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak pada
waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi? Gejala peringatan yang
dirasakan pasien menjelang serangan kejang muncul disebut dengan “aura” dimana
suatu “aura” itu bila muncul sebelum serangan kejang parsial sederhana berarti ada
fokus di otak. Sebagian “ aura” dapat membantu dimana letak lokasi serangan
kejang di otak. Pasien dengan epilepsi lobus temporalis dilaporkan adanya “déjà vu”
dan atau ada sensasi yang tidak enak di lambung, gringgingen yang mungkin
merupakan epilepsi lobus parietalis. Dan gangguan penglihatan sementara mungkin
dialami oleh pasien dengan epilepsi lobus oksipitalis. Pada serangan kejang umum
bisa tidak didahului dengan “aura” hal ini disebabkan terdapat gangguan pada kedua
hemisfer , tetapi jika “aura” dilaporkan oleh pasien sebelum serangan kejang umum,
sebaiknya dicari sumber fokus yang patologis.
3. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien bukan dengan
serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik tentu pasien tidak dapat
menjawab pertanyaan ini, oleh karena itu wawancara dilakukan dengan saksi mata
yang mengetahui serangan kejang berlangsung.
4. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Periode sesudah
serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah “post ictal period ”
Sesudah mengalami serangan kejang umum tonik klonik pasien lalu tertidur. Periode
disorientasi dan kesadaran yang menurun terhadap sekelilingnya biasanya sesudah
mengalami serangan kejang parsial kompleks. Hemiparese atau hemiplegi sesudah
serangan kejang disebut “Todd’s Paralysis“ yang menggambarkan adanya fokus
patologis di otak. Afasia dengan tidak disertai gangguan kesadaran menggambarkan
gangguan berbahasa di hemisfer dominan. Pada “Absens“ khas tidak ada gangguan
disorientasi setelah serangan kejang.
5. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang tonik klonik
banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga dan pagi hari. Serangan kejang lobus
temporalis dapat terjadi setiap waktu, sedangkan serangan kejang lobus frontalis
biasanya muncul pada waktu malam hari.
6. Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena k urang
tidur, cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan minum yang tidak teratur,
konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum obat, stress emosional, panas, kelelahan
fisik dan mental, suara suara tertentu, “drug abuse”, “ reading & eating epilepsy”.
Dengan mengetahui faktor pencetus ini dalam konseling dengan pasien maupun
keluarganya dapat membantu dalam mencegah serangan kejang.
7. Bagaimana frekwensi serangan kejang ? Informasi ini dapat membantu untuk
mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat obat-obat anti
kejang.
8. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ? Pertanyaan ini
mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat obat anti kejang
atau belum dan dapat menentukan apakah obat tersebut yang sedang digunakan
spesifik bermanfaat ?
9. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan menanyakan
tentang berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan setiap jenis serangan
kejang secara lengkap.
10. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan kejang?
Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka ditubuh akibat
serangan kejang ada yang diawali dengan “aura“ tetapi tidak ada cukup waktu untuk
mencegah supaya tidak menimbulkan luka ditubuh akibat serangan kejang atau
mungkin ada “aura“ , sehingga dalam hal ini informasi tersebut dapat dipersiapkan
upaya upaya untuk mengurangi bahaya terjadinya luka.
11. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat? Dengan
mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat dapat
mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang itu terjadi yang mungkin
disebabkan oleh karena kurangnya perawatan pasien, ketidakpatuhan minum obat,
ada perubahan minum obat dan penyakit lain yang menyertai.

B. MASALAH KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL

1. Resiko tinggi cidera b.d kejang beruang,ketidak tahuan tentang epilepsi,dan cara penanganan
saat kejang,penurunan tingkat kesadaran.
2. Ketakutan b.d kemungkinan kejang berulang.
3. Nyeri akut b.d nyeri kepala sekunder respons pascakejang (postikal)

C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

No Tgl dx.kep Tujuan KH Intervensi Rasional


1. Resiko cidera b.d Setelah Klien dan keluarga 1.kaji tingkat 1.data dasar untuk
kejang dilakukan mengetahui pengetahuan intervensi selanjutnya.
beruang,ketidak asuhan pelaksanaan klien dan 2.orang tua dengan anak
tahuan tentang keperawatan kejang,menghindari keuarga cara yang mengalami kejang
epilepsi,dan cara selama 1 x stimulus penanganan saat demam harus
penanganan saat 24 jam kejang,melakukan kejang. diinstruksikan tentang
kejang,penurunan diharapkan pengobatan teratur 2.ajarkan klien metode untuk
tingkat klien bebas untuk menurunkan dan keluarga mengontrol demam (
kesadaran. dari cidera intensitas kejang. tentang metode kompres dingin,obat
yang di pengontrol antipiretik )
sebabkan demam. 3. melindungi kien jika
oleh kejang 3.anjurkan kejang terjadi.
dan keluargaagar 4. mengurangi resiko
penurunan mempersiapkan jatuh/terluka jika
kesadaran. lingkungan yang vertigo,sinkope dan
aman seperti ataksia terjadi.
batasan 5. terapi medikasi untuk
ranjang,papan menurunkan kejang
pengaman,dan berulang.
aat suksion seau
berada di dekat
klien.
4.anjurkan tirah
baring total
selama fase akut.
5. kolaborasi
pemberian
terapi;fenitoin
(dilantin)

2. Ketakutan b.d .seteah Mengenal 1.bantu klien 1.ketakutan


kemungkinan dilakukan perasaanya,dapat mengekspresikan berkelanjutan
kejang berulang. tindakan mengidentifikasi perasaan takut. memberikan dampak
selama 1 x penyebab atau 2.hindari psikoogis yang tidak
24 jam faktor yang konfrontasi. baik.
intervensi memengaruhinya 3.orientasikan 2.konfrontasi dapat
ketakutan dan menyatakan klien terhadap meningkatkan rasa
klien hilang ketakutan prosedur rutin mara,menurunkan kerja
atau berkurang atau dan aktifitas sama,dan mungkin
berkurang. hilang. yang diharapkan. memperambat
4.Beri penyembuhan.
kesempatan 3.orientasi menurunkan
kepada klien kecemasan.
untuk 4.dapat menghiangkan
mengungkapkan ketegangan terhadap
ansietasnya. kekhawatiran yang di
5.berikan privasi ekspresikan.
untuk kien dan 5.memberi waktu untuk
orang terdekat. mengekspresikan
perasaan,menghilangkan
cemas,dan perilaku
adaptasi.
3. Nyeri akut b.d .setelah Secara subjektif 1.kaji terhadap 1.nyeri merupakan
nyeri kepala diakukan melaporkan nyeri skala nyeri respon subjektif yang
sekunder respons asuhan berkurang atau 2.bantu klien bisa dikaji dengan
pascakejang keperawatan dapat diadaotasi dalam menggunakan skala
(postikal) selama 1 x ,dapat identifikasi nyeri,klien melaporkan
24 jam mengidentifikasi faktor pencetus. biasanya nyeri di atas
diharapkan aktifitas yang 3.jelaskan dan tingkat cidera.
nyeri hilang meningkatkan atau bantu klien 2.nyeri dipengaruhi oleh
atau menurunkan dengan tindakan kecemasan,ketegangan.
berkurang. nyeri,klien tidak pereda nyeri 3.pendeatan dengan
gelisah,skala nyeri nonfarmakologis menggunakan relaksasi
0-1 atau dan noninvasif. dan nonfarmakologi
teradaptasi. 4.ajarkan lainyatelah
relaksasi : menunjukkan
teknik-teknik keefektifan dalam
menurunkan mengurangi nyeri.
ketegangan otot 4.akan melancarkan
rangka,yang peredaran
dapat darah,sehingga
menurunkan kebutuhan oksigen oleh
intensitas nyeri. jaringan akan
5.kolaborasi terpenuhi,sehingga akan
dengan mengutangi nyerinya.
dokter,pemberian 5.analgetik memblog
analgetik. lintasan nyeri,sehingga
nyeri akan berkurang.

D. DISCHARGE PLANNING
1. Menyertakan hasil pemeriksaan.
2. Menginformasikan kepada keluarga dan pasien mengenai tindakan yang telah
dilakukan.
3. Menginformasikan kepada keluarga dan pasien mengenai kondisi penyakit
saat ini.
4. Menginformasikan agar tidak mengemudi, mengendarai sepeda, berenang atau
kegiatan memanjat
DAFTAR PUSTAKA

Guyton, Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, EGC, Jakarta.

Harsono. 2007. Epilepsi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Smeltzer, S., Bare, B. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC,Jakarta.

Susilawati. 2004. Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Kejang Demam,.

Muttaqin, alif. 2011. Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Persarafan. Salemba

Medika. Jakarta

Batticaca ,Fransisca B.2008. Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Persarafan.

Salemba Medika. Jakarta

Barbara, CL.. 1996. Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan proses


keperawatan).Bandung.
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC: Jakarta.
Carpenito, L.J.. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis. EGC:
Jakarta. Doenges, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. 1993. Rencana Asuhan
Keperawatan untuk perencanaan dan pendukomentasian perawatan Pasien,
Edisi-3. EGC: Jakarta.

Hudak dan Gallo. 1997. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik edisi VI, volume I. EGC:
Jakarta.
NANDA, 2007-2008, Nursing Diagnosis: Definitions and classification, Philadelphia: USA
University IOWA., NIC and NOC Project.. 2004. Nursing Intervention
Classifications, Philadelphia: USA.
University IOWA., NIC and NOC Project.. 2004. Nursing Outcome
Classifications, Philadelphia: USA.

Anda mungkin juga menyukai