Anda di halaman 1dari 38

BAGIAN RADIOLOGI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN DESEMBER 2019


UNIVERSITAS HASANUDDIN

ACHALASIA ESOPHAGUS

Disusun Oleh:
Venska Lapalelo (2018-84-023)
Esti Y. S. Masbait (2018-84-025)
Hendy J. Khoe (2018-84-026)
Juchairah Faradillah Sangadji (2018-84-078)
Alexandro Hursepuny (2018-84-079)

Pembimbing Residen:
dr. Wa Ode Zerbarani

Dosen Pembimbing:
dr. Eny Sanre, Sp.Rad

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :


1. Venska Lapalelo 2018-84-023
2. Esty Y. S. Masbait 2018-84-025
3. Hendy J. Khoe 2018-84-026
4. Juchairah F. Sangadji 2018-84-078
5. Alexandro Hursepuny 2018-84-079
Judul Laporan Kasus: Achalasia Esophagus
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Radiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 11 Desember 2019


Dosen Pembimbing Pembimbing Residen

dr. Eny Sanre, Sp.Rad dr. Wa Ode Zerbarani

Mengetahui,
Kepala Bagian Radiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Prof. Dr. dr. Bachtiar Murtala, Sp.Rad (K)

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PENGESAHAN ii

DAFTAR ISI iii

BAB I KASUS

1.1.Identitas Pasien 1
1.2.Anamnesis 1
1.3.Pemeriksaan Fisis 2
1.4.Pemeriksaan Laboratorium 3
1.5.Pemeriksaan EKG 4
1.6.Pemeriksaan Radiologi 5
1.7.Diagnosis 6
1.8.Terapi 6
1.9.Resume Klinis 6

BAB II DISKUSI

2.1. Latar Belakang 8

2.2. Definisi 10

2.3. Epidemiologi 10

2.4. Etiologi 11

2.5. Anatomi Esofagus 11

2.6. Fisiologi Esofagus 16

2.7. Patofisiologi 19

iii
2.8. Gejala Klinis 20

2.9. Pemeriksaan Radiologi 21

2.10. Diagnosis Banding 25

2.11. Penatalaksanaan 27

DAFTAR REFERENSI 32

iv
BAB I

LAPORAN KASUS

1.1. Identitas Pasien

Nama : Ny Simbara

Tanggal Lahir : 01-07-1957

Umur : 62 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

No. Rekam Medik : 881985

Ruang Perawatan : Lontara 1 bawah depan

Tanggal MRS : 01-12-2019 (Jam 23.50 WITA)

1.2. Anamnesis

Keluhan Utama : Muntah saat makan

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien masuk dengan keluhan muntah setiap kali makan yang sudah dialami 1 bulan

ini, batuk sesekali & lendir warna putih, tidak ada darah, lemas sudah dialami pasien

1 bulan sebelum MRS, demam tidak ada, makan dan minum masih baik, BAK &

BAB baik.

Riwayat Penyakit Dahulu : Didiagnosis Achalasia esophagus 1 tahun yang lalu dan

telah dilakukan endoskopi untuk dilatasi Balloning

di RSWS, TB

Riwayat Pengobatan : Riwayat OAT ada, Tuntas 1 tahun yang lalu

Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak diketahui

1
1.3.Pemeriksaan Fisis

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tanda vital

Tekanan darah : 110/80 mmHg

Nadi : 98x/ menit

Suhu : 36,50C

Pernapasan : 22x/ menit

Status general

Kepala : normocephal, tidak ada anemis, tidak ada.

Mata : ikterik, dan tidak ada udem palpebrae

Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, tidak ada

kaku kuduk, tidak ada kernig sign

Mulut : tonsil, faring, lidah dan bibir tidak ada kelainan.

Thorax

a) Inspeksi : pergerakan dada simetris kiri dan kanan

b) Palpasi : nyeri tekan ditemukan pada dada kiri

c) Perkusi : tidak ditemukan kelainan

d) Auskultasi : Cor: S1/S2 ireguler, murmur (+)

Pulmo : vesikuler ada, rhonki basah basal ada, wheezing tidak

ada.

2
Abdomen

a) Inspeksi : tidak distensi tidak ada asites.

b) Palpasi : tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba.

c) Perkusi : tidak ditemukan kelainan.

d) Auskultasi : peristaltik kesan normal.

Ekstremitas : Edema (-), CRT < 2 Detik, Akral hangat

1.4.Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
PT 11,5 10-14 Detik
INR 1,11 -
APTT 31,2 22,0-30,0 Detik
KIMIA DARAH
Natrium 136 136-145 mmol/l
Kalium 2,9 3,5-5,1 mmol/l
Klorida 105 97-111 mmol/l
Protein total 5,8 6,6-8,7 gr/dl
Albumin 3,3 3,5-5,0 gr/dl
Globulin 2,5 1,5-5 gr/dl

3
1.5. Pemeriksaan EKG

4
1.6. Pemeriksaan Radiologi
Foto Thorax PA

 Tampak pelebaran mediastinum dari apex hingga basal, hemithorax kanan,


batas tegas, tepi regurel non kalsifikasi dengan densitas motlted bubble
 Tampak garis-garis fibrotic pada kedua paru terutama paru kanan
 Cor : kesan normal, aorta normal
 Kedua sinus dan diagfragma baik
 Tulang-tulang intak
 Jaringan lemak sekitar baik

Kesan :

 Dilatasi mediastinum sugestif suatu achalasia esophagus DD/ Massa


 TB paru lama tenang
 Cor dalam batas normal

Usul :

 Oesophagus Maag Duodenography


 MSCT Scan Thorax dengan Kontras

5
1.7. Diagnosis
Achalasia Esofagus

1.8. Penatalaksanaan
Terapi medikamentosa:

 Ringer Laktat 30 tpm/ IV


 Ceftriaxon 1 mg/IV
 Dexametason 10mg/ IV
 Ketorolac 30 mg/IV
 Ondancentron 4 mg/IV
 Aminofluid 1000 cc/IV
 KCL 600 cc/IV
 Kabiven 1000 mg/oral
 Nace 20 mg/oral
 N-Acetylsistein 200 mg/oral
 Alprazolam 0,5 mg/oral

1.9. Resume Klinis


Perempuan usia 62 tahun dengan keluhan muntah setiap kali makan yang
sudah dialami 1 bulan ini, batuk sesekali & lendir warna putih, tidak ada
darah, lemas sudah dialami pasien 1 bulan sebelum MRS, demam tidak ada,
makan dan minum masih baik, BAK & BAB baik. Riwayat penyakit dahulu
didiagnosis Atalasia esophagus 1 tahun yang lalu dan telah dilakukan
endoskopi untuk dilatasi Balloning di RSWS, TB, riwayat pengobatan riwayat
OAT ada, Tuntas 1 tahun yang lalu. Pada pemriksaan fisik tampak sakit
sedang, kesadaran Compos mentis, tanda-tanda vital dalam batas normal,
pemeriksaan fisik general dalam batas normal, pemeriksaan laboratorium
dalam batas normal, pemeriksaan radiologi didapatkan tampak pelebaran
mediastinum dari apex hingga basal, hemithorax kanan, batas tegas, tepi

6
regurel non kalsifikasi dengan densitas motlted bubble, tampak garis-garis
fibrotic pada kedua paru terutama paru kanan. Cor : kesan normal, aorta
normal, kedua sinus dan diagfragma baik, tulang-tulang intak, jaringan lemak
sekitar baik. Kesan : Dilatasi mediastinum kesan achalasia esophagus, TB
paru lama tenang, Cor dalam batas normal, Usul : Oesophagus Maag
Duodenography

7
BAB II

DISKUSI

2.1. Latar Belakang

Akalasia esofagus, atau dikenal juga dengan nam asimple ectasia,

kardiospasme, megaesofagus, dilatasi esofagus difus tanpa stenosis atau dilatasi

esophagus idiopatik adalah suatu gangguan neuromuskular. Istilah akalasia berarti

“gagal untuk mengendur” dan merujuk pada ketidakmampuan dari lower esophageal

sphincter (cincin otot antara esofagus bagian bawah dan lambung) untuk membuka

dan membiarkan makanan lewat ke dalam lambung. Kegagalan relaksasi batas

esofagogastrik pada proses menelan ini menyebabkan dilatasi bagian proksimal

esofagus tanpa adanya gerak peristaltik. Penderita akalasia merasa perlu mendorong

atau memaksa turunnya makanan dengan air atau minuman guna menyempurnakan

proses menelan. Gejala lain dapat berupa rasa penuh substernal dan umumnya terjadi

regurgitasi.1

Prevelensi akalasia esofagus sekitar 10 kasus per 100.000 populasi di mana

rasio kejadian penyakit ini sama antara laki-laki dengan perempuan. Walaupun

penyakit ini jarang terjadi tetapi tetap harus bisa mengenali dan mengatasi penyakit

ini karena komplikasi yang ditimbulkan dari penyakit ini sangat mengancam nyawa

seperti adanya obstruksi saluran pernapasan sampai sudden death. Menurut

penelitian, distribusi umur pada akalasia biasanya sering terjadi antara umur kelahiran

sampai dekade ke-9, tapi jarang terjadi pada 2 dekade pertama (kurang dari 5% kasus

8
didapatkan pada anak-anak).Umur rata-rata pada pasien orang dewasa adalah 25-60

tahun.1

Di Amerika Serikat ditemukan sekitar 2000 kasus akalasia setiap tahun. Suatu

penelitian internasional melaporkan Menurut penelitian, distribusi umur pada akalasia

biasanya sering terjadi antara umur kelahiran sampai dekade ke-9, tapi jarang terjadi

pada 2 dekade pertama

(kurang dari 5% kasus didapatkan pada anak-anak).Umur rata-rata pada pasien orang

dewasa adalah 25-60 tahun (3). Di Amerika Serikat ditemukan sekitar 2000 kasus

akalasia setiap tahun. Suatu penelitian internasional melaporkan bahwa dari 28

populasi di 26 negara, angka kematian tertinggi tercatat di Selandia Baru dengan

angka kematian standar 239 dan yang terendah dengan

angka kematian standar 0 (nol). Angka ini diperoleh dari seluruh kasus akalasia baik

primer maupun sekunder.1

Walaupun penyakit ini jarang terjadi tapi kita harus bisa mengenali dan

mengatasi penyakit ini karena komplikasi yang ditimbulkan dari penyakit ini sangat

mengancam nyawa seperti obstruksi saluran pernapasan sampai sudden death.Oleh

karena itu, sangat penting bagi

kita untuk mengetahui penegakan diagnosis akalasia esofagus.Diagnosis akalasia

esofagus ditegakkan berdasarkan gejala klinis, gambaran radiologik, esofagoskopi,

dan pemeriksaan

manometrik. Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltic

esofagus tidak dapat dipulihkan kembali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi

9
diet tinggi kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi

esofagokardiotomi (operasi Heller).1

2.2.Definisi

Achalasia esophagus adalah Akalasia esophagus adalah kelainan berupa

ketidak mampuan relaksasi katup di daerah gastro-esophageal junction sehingga

makanan yang ditelan hanya sedikit yang dapat masuk ke dalam lambung. Angka

kejadian sekitar 1/100.000 per tahunnya dan termasuk kasus yang sangat jarang

terjadi. Sebanyak 0,5 - 1,6 % ditemukan di Eropa, Asia, dan Amerika.1 Jumlah kasus

yang sedikit menjadikan setiap penatalaksaan pasien dengan akalasia esophagus

menjadi menarik untuk dipelajari. Laporan kasus ini menyajikan penatalaksanaan

pasien akalasia eso-phagus yang meliputi penegakan diagnosis, tindakan operasi yang

dilakukan sampai pada hasil yang didapatkan pasca operasi.2

2.3.Epidemiologi

Di Amerika Serikat ditemukan sekitar 2000 kasus akalasia setiap tahun. Suatu

penelitian internasional melaporkan bahwa dari 28 populasi di 26 negara, angka

kematian tertinggi tercatat di Selandia Baru dengan angka kematian standar 239 dan

yang terendah dengan angka kematian standar 0 (nol). Angka ini diperoleh dari

seluruh kasus akalasia baik primer maupun sekunder.1

10
Di Indonesia salah satunya di Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin

sendiri kasus akalasia merupakan kasus yang langka, menurut informasi yang didapat

dari ruang Penyakit Dalam Pria, kasus akalasia baru pertama kali ditemukan.1

2.4.Etiologi

Achalasia dibagi menjadi primer dan sekunder achalasia. Dalam achalasia

primer, etiologi yang tepat adalah tidak diketahui, mungkin disebabkan oleh infeksi

virus neutropik mengakibatkan lesi nukleus vagal dorsal di batang otak dan ganglia

mesenterika di esophagus. Faktor keturunan juga memiliki peran dalam gangguan ini.

Sedangkan achalasia sekunder disebabkan oleh infeksi, tumor intraluminar seperti

tumor kardia, tekanan eskstraluminal dari pseudokista pancreas, obat antikolinergik,

atau post operasi vagotomi.3

2.5. Anatomi

Esofagus merupakan saluran yang menghubungkan dan menyalurkan

makanan dari rongga mulut ke lambung. Dalam perjalanannya dari faring menuju

gaster, esofagus melalui tiga kompartemen, yaitu leher, toraks dan abdomen.

Esofagus yang berada di leher adalah sepanjang lima sentimeter dan berjalan di

antara trakea dan kolumna vertebralis, serta selanjutnya memasuki rongga toraks

setinggi manubrium sterni.4

Di dalam rongga dada, esofagus berada di mediastinum posterior mulai di

belakang lengkung aorta dan membelok ke kiri dari trakea di belakang bronkus

cabang utama kiri, kemudian agak membelok ke kanan beberapa sentimeter pada area

11
subcarinal dan kembali membelok ke kiri dan depan aorta torakalis, dan masuk ke

dalam rongga perut melalui hiatus esofagus dari diafragma dan berakhir di kardia

lambung. Panjang esofagus yang berada di rongga perut berkisar dua sampai empat

sentimeter. Diameter rata-rata esofagus pada orang dewasa sekitar 2,5 sentimeter.4,5

Otot esofagus sepertiga bagian atas adalah otot serat lintang yang

berhubungan erat dengan otot-otot faring, sedangkan dua pertiga bagian bawah

adalah otot polos yang terdiri atas otot sirkular dan otot longitudinal seperti

ditemukan pada saluran cerna lainnya.4,5

Esofagus memiliki tujuh titik penyempitan yang dapat dilihat menggunakan

esophagoscopy maupun barium passage graphy. Empat penyempitan klasik

ditemukan di hampir semua orang; tiga penyempitan lainnya ditemukan dalam

kondisi medis tertentu. Penyempitan klasik pertama adalah pada titik awal, dan

dibentuk oleh otot orofaring; bagian ini adalah titik tersempit kedua setelah lubang

appendix vermiformis di saluran pencernaan. Diameter luminal titik penyempitan

pertama ini adalah sekitar 1,4-1,5 cm, dan terletak 15 cm dibawah gigi seri tengah

atas rahang atas. Secara topografis, titik pertama ini berhubungan dengan corpus

vertebra servikal 6. Penyempitan ini dinamai “upper esophageal sphincter”.

Penyempitan kedua terletak di perbatasan superior sternum. Anterior dan posterior

dinding esofagus menjadi lebih dekat pada hiperfleksi, dan terjadi penyempitan

parsial.6

12
Gambar 1. Anatomi Esofagus6

Penyempitan ketiga adalah salah satu penyempitan klasik yang dibuat oleh

lengkung aorta. Penyempitan ini terletak pada vertebra torakal 4 secara topografi

dengan lebar 1,5-1,6 cm. Penyempitan berada 22,5 cm dibawah gigi seri tengah atas

rahang atas, 7 cm di bawah otot cricopharyngeus. Penyempitan keempat

(penyempitan klasik ketiga) terletak di titik penyeberangan esofagus dan main

bronchus kiri. Titik ini terletak pada level vertebra thorakal ke-5, dan 27,5 cm

dibawah maksila gigi seri tengah dan 9 cm di bawah otot orofaringeal. Titik

penyempitan kelima terbentuk jika pasien memiliki dilatasi atrium yang disebabkan

oleh stenosis mitral. Titik ini terletak tepat di bawah penyempitan bronkia.

13
Penyempitan keenam, disebut "Laimer narrowing," terletak di persimpangan kedua

titik esofagus dan aorta. Titik ini terletak di bidang yang sesuai dengan tepi atas

Corpus vertebral thorakal 10. Penyempitan Laimer terjadi dalam situasi aterosklerosis

aorta. Tepat di atas penyempitan ini, dilatasi parsial yang disebut "ampula epifrenik"

atau "Vorgamen de Luschka”ditemukan. Penyempitan terakhir (dan penyempitan

klasik ke-4) dibentuk oleh hiatus esofagus yang berasal dari crus kanan diafragma,

dan terletak di level vertebra thorakal 11 dan 40 cm dibawah gigi insisivus sentral

maksila; panjangnya 1 1,5 cm dan lebar 1,5-1,8 cm. Penyempitan terakhir ini dinamai

“lower esophageal sphincter.” Lower sphincter terdiri dari mekanisme fisiologis

sfingter yang dibuat oleh muscle fiber diafragma kanan; membuat mekanisme

antireflux. Ketika seseorang tidak makan, lumen esofagus tertutup di atas sfingter

esofagus bagian bawah.6

Esofagus mendapat darahnya dari banyak arteri kecil. Bagian atas dari

esofagus yang berada di leher dan rongga dada mendapat darah dari arteri tiroidea

inferior, beberapa cabang arteri bronkialis dan beberapa arteri kecil dari aorta.

Esofagus di hiatus esofagus dan rongga perut mendapat darah dari arteri frenika

inferior kiri dan cabang arteri gastrika kiri.4,5

Pembuluh vena dimulai sebagai pleksus di submukosa esofagus. Di esofagus

bagian atas dan tengah, aliran vena dari pleksus esofagus berjalan melalui vena

esofagus ke vena azygos dan vena hemiazygos untuk kemudian masuk ke vena cava

superior. Di esofagus bagian bawah, semua pembuluh vena masuk ke dalam vena

koronaria, yaitu cabang vena porta sehingga terjadi hubungan langsung antara

14
sirkulasi vena porta dan sirkulasi vena esofagus bagian bawah melalui vena lambung

tersebut. Hubungan ini yang menyebabkan timbulnya varises esofagus bila terjadi

bendungan vena porta.4,5

Pembuluh limfe esofagus membentuk pleksus di dalam mukosa, submukosa,

lapisan otot, dan tunika adventisia. Di bagian sepertiga cranial, pembuluh ini berjalan

secara longitudinal bersama dengan pembuluh limfe dari laring ke kelenjar di leher,

sedangkan dari bagian dua pertiga kaudal dialirkan ke kelenjar seliakus, seperti

pembuluh limfe dari lambung.4

Metastasis dari keganasan esofagus dapat ditemukan antara kelenjar limfe

leher dan kelenjar limfe seliakus di perut, bergantung pada letaknya, stadium dan

tingkat keganasan tersebut.4

Ductus torachicus berjalan di depan tulang belakang toraks di sebelah dorsal

kanan esofagus, kemudian menjelang setinggi vertebra thorakal VI atau VII ke

sebelah kiri belakang esofagus untuk turun kembali dan masuk ke dalam vena

subklavia kiri.4

15
Gambar 2. Gambaran normal esofagus pada pemeriksaan barium swallow7

2.6. Fisiologi Esofagus

Motilitas yang berkaitan dengan esofagus adalah menelan. Menelan dimulai

ketika suatu bolus secara sengaja didorong oleh lidah ke bagian belakang mulut

menuju faring. Tekanan bolus di faring merangsang reseptor tekanan di faring yang

kemudian mengirim impuls aferen ke pusat menelan di medula. Pusat menelan

kemudian secara refleks mengaktifkan serangkaian otot yang terlibat dalam proses

menelan. Menelan adalah suatu contoh refleks all-or-none yang terprogram secara

sekuensial dengan berbagai respons dipicu dalam suatu rangkaian waktu spesifik;

jadi, sejumlah aktivitas yang sangat terkoordinasi dipicu dalam pola teratur selama

periode waktu tertentu untuk melaksanakan tindakan menelan. Menelan dimulai

secara volunter, tetapi setelah dimulai proses tersebut tidak dapat dihentikan.8

16
Menelan dibagi menjadi 2 tahap, yaitu tahap orofaring dan tahap esofagus.

Tahap orofaring berlangsung sekitar satu detik dan berupa perpindahan bolus dari

mulut melalui faring dan masuk ke esofagus. Saat masuk faring sewaktu menelan,

bolus masuk ke saluran lain yang berhubungan dengan faring. Dengan kata lain,

makanan harus dicegah untuk kembali ke mulut, masuk ke saluran hidung, dan masuk

ke trakea. Semua ini dilaksanakan melalui berbagai aktivitas terkoordinasi berikut

ini:8

 Makanan dicegah kembali ke mulut selama menelan oleh posisi lidah menekan

langit-langit

 Uvula terangkat dan tersangkut di bagian belakang tenggorokan, sehingga

saluran hidung tertutup dari faring dan makanan tidak masuk hidung.

 Makanan dicegah masuk ke trakea terutama oleh elevasi laring dan penutupan

erat pita suara melintasi lubang faring, atau glotis. Bagian awal trakea adalah

laring, tempat pita suara terentang di dalamnya. Selama menelan, pita suara

melaksanakan fungsi yang tidak berkaitan dengan berbicara. Kontraksi otot-otot

laring menyebabkan pita suara merapat erat satu sama lain, sehingga pintu masuk

glotis tertutup. Selain itu, bolus menyebabkan suatu lembaran kecil jaringan ikat,

epiglotis, tertekan ke belakang menutupi glotis yang menambah proteksi untuk

mencegah makanan masuk ke saluran pernapasan.

17
 Karena saluran pernapasan tertutup sementara saat menelan, pernapasan

terhambat secara singkat sehingga individu tidak mencoba melakukan usaha

yang sia-sia untuk bernapas.

 Dengan laring dan trakea tertutup, otot-otot faring berkontraksi untuk mendorong

bolus ke dalam esofagus.

Esofagus dijaga di kedua ujungnya oleh spinchter. Spinchter adalah struktur

esofagus ke lambung, berotot berbentuk cincin yang jika tertutup mencegah lewatnya

benda melalui saluran yang dijaganya. Spinchter esofagus atas adalah spinchter

faringoesofagus, dan spinchter bawah adalah spinchter gastroesofagus.8

Pusat menelan memulai gelombang peristaltik primer yang mengalir dari

pangkal ke ujung esofagus, mendorong bolus di depannya melewati esofagus ke

lambung. Peristaltik mengacu pada kontraksi berbentuk cincin otot polos sirkuler

yang bergerak secara progresif ke depan dengan gerakan mengosongkan, mendorong

bolus di depan kontraksi. Apabila bolus berukuran besar atau lengket tertelan, dan

tidak dapat terdorong ke lambung oleh gelombang peristaltik primer, bolus yang

tertahan tersebut akan meregangkan esofagus dan memicu reseptor tekanan di dalam

dinding esofagus, menimbulkan gelombang peristaltik kedua yang lebih kuat yang

diperantarai oleh pleksus saraf intrinsik di tempat peregangan. Spinchter esofagus

melemas secara refleks saat gelombang peristaltik mencapai bagian bawah esofagus

sehingga bolus dapat masuk ke dalam lambung. Setelah bolus masuk ke lambung,

spinchter gastroesofagus kembali berkontraksi.8

18
2.7. Patofisiologi

Teori utama yang dapat menjelaskan penyakit ini, antara lain:9

 Terjadi abnormalitas neurogenik primer yang disertai dengan tidak

berfungsinya neuron inhibitorik dan terjadi degenerasi progresif dari

ganglion sel

 Terjadi defisiensi dari ganglion sel pleksus mienterik, dapat juga

disebabkan oleh Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD), penyakit

Chagas, dan infeksi virus.

Abnormalitas motorik pada achalasia esofagus merupakan hasil dari

penurunan fungsi pada motor neuron yang terletak pada pleksus mienterikus

intramural. Secara fungsional, kontraksi spinchter esofagus diatur oleh pelepasan

neurotransmitter eksitatorik (asetilkolin dan substansi P) dan relaksasi spinchter

esofagus diatur oleh pelepasan neurotransmitter inhibitorik (nitrit oksida dan

vasoactive intestinal peptide). Seseorang yang menderita achalasia esofagus

kehilangan ganglion sel inhibitori yang menyebabkan ketidakseimbangan dalam

transmisi neuron eksitatori dan inhibitori, sehingga mengakibatkan timbulnya tekanan

yang tinggi pada spinchter esofagus dan tidak dapat berelaksasi.9

19
2.8. Gejala Klinis

Pasien-pasien yang terdiagnosis dengan achalasia esofagus, biasanya memiliki

riwayat berupa disfagia yang bersifat intermitten, baik ketika menelan makanan padat

maupun makanan cair, yang diperburuk dengan stress emosional atau cara makan

yang terburu-buru. Disfagia ketika menelan makanan cair merupakan manifestasi

klinis yang pertama terjadi. Regurgitasi makanan dapat terjadi karena terdapat retensi

sejumlah besar makanan pada esofagus yang berdilatasi. Regurgitasi ini sering terjadi

pada malam hari karena posisi pasien yang telentang ketika tidur, dan hal ini

berpotensi menyebabkan suatu pneumonia aspirasi. Kadang-kadang, makanan dapat

tertinggal pada esofagus (sebelum bagian yang menyempit) dan biasanya pasien

mengatasi hal ini dengan minum air dalam jumlah yang besar agar meningkatkan

tekanan pada esofagus dan memaksa makanan untuk melaluinya dan masuk ke

lambung. Nyeri dada retrosternal yang berat dapat terjadi karena adanya tekanan yang

tinggi pada esofagus, dan para dokter sering mendiagnosis nyeri ini sebagai nyeri

yang berasal dari jantung. Gejala heartburn-like chest pain juga ditemukan pada

beberapa penderita achalasia esofagus, mungkin disebabkan karena adanya asam

laktat yang terbentuk dari fermentasi sisa-sisa makanan pada lumen esofagus. Pada

penderita achalasia esofagus, kehilangan berat badan mungkin saja terjadi karena

pasien berusaha mengurangi makannya untuk mencegah terjadinya regurgitasi dan

perasaan nyeri di daerah retrosternal. Jika kehilangan berat badan terjadi dengan

cepat, dapat dipikirkan suatu keganasan sebagai penyebab achalasia esofagus.9,11,12,13

20
2.9. Pemeriksaan Radiologi

Akalasia esofagus secara khas melibatkan segmen pendek (kurang dari 3,5
cm) dari esofagus distal. Temuan foto thorax meliputi:14
 Tampak “convex opacity” yang tumpang tindih pada mediastinum kanan.
Kadang-kadang dapat muncul sebagai convex opacity kiri jika aorta toraks
berliku.
 Adanya air fluid level karena stasis di esofagus akibat dari adanya sekresi dan
makanan yang tertahan.
 Adanya gastric air bubble atau bahkan tidak ada.
 Tampak terdorongnya trakea ke arah depan, jika dilihat dari lateral.
 Biasanya dapat terlihat kekeruhan pada alveolar yang tidak merata dan biasanya
bilateral. Ini merupakan pneumonitis akut atau pneumonia aspirasi kronik yang
berhubungan dengan disfagia.

Gambar 3. Tampak adanya air-fluid level pada mediastinum

21
Gambar 4. Tampak pelebaran mediastinum. Terlihat gastric air bubble. Tidak tampak air fluid
level pada mediastinum yang melebar.

Fluoroskopi dengan Barium Swallow

Sebuah studi dengan barium swallow dapat digunakan untuk mengkonfirmasi dilatasi
pada esofagus dan juga dapat menilai kelainan mukosa pada esofagus. Temuan
meliputi:

 Bird break sign.


 Dilatasi esofagus.
 Tram track appearance
 Relaksasi sfingter esofagus bagian bawah yang tidak lengkap yang tidak
terkoordinasikan dengan kontraksi pada esofagus.
 Pooling atau stasis barium di esofagus, ketika esofagus telah menjadi atonik atau
tidak dapata berkontraktil.
 Tidak terkoordinasi, tidak propulsi, kontraksi tersier (lihat gambar 2).
 Kegagalan peristaltik normal esofagus untuk membersihkan barium ketika pasien
dalam posisi berbaring, tanpa ada gelombang primer yang teridentifikasi.

22
 Ketika kolom barium cukup tinggi (dengan posisi pasien berdiri), tekanan
hidrostatik dapat mengatasi tekanan sfingter esofagus bagian bawah,
memungkinkan lewatnya isi pada esofagus.
 Minuman panas atau berkarbonasi, dapat membantu memvisualisasikan relaksasi
sfingter dan pengosongan barium.

Gambar 5. Adanya gelombang tersier yang menonjol dan relaksasi yang


kurang adekuat atau tidak ada pada sfingter esofagus bagian bawah.

Gambar 6. Tampak bagian atas dan bagian tengah esofagus yang berdilatasi.

23
Gambar 7. Tampak esofagus yang berdilatasi dengan bagian distal memberikan gambaran bird beak
appearance paruh burung yang cukup khas untuk akalasia.

CT-Scan

Pasien dengan akalasia tanpa komplikasi menunjukkan esofagus yang


berdilatasi, berdinding tipis yang dipenuhi dengan cairan/sisa makanan. Secara
keseluruhan, CT scan memiliki sedikit peran dalam menilai langsung pasien dengan
akalasia esofagus, tetapi berguna dalam menilai komplikasi umum. Penilaian dari
dinding esofagus harus dilakukan untuk mengidentifikasi daerah fokus penebalan
yang dapat mengindikasikan keganasan. Paru-paru harus diperiksa untuk bukti
aspirasi.

24
2.10. Diagnosis Banding15,16,

Gejala Klinis Pemeriksaan Penunjang


Pseudoachalasia  Gejala klinis serupa dengan  Biopsi gastrokopik pada
achalasia esofagus idiopatik gastroesophageal junction dan
(tidak dapat dibedakan secara kardia menunjukkan suatu
klinis) malignansi
 Penyakit ini disebabkan oleh  Hasil pemeriksaan endoskopi,
suatu malignansi esofagografi, dan manometri
 Penderita biasanya berusia tua, esofagus mungkin tidak
dan kehilangan berat badan menunjukkan perbedaan
terjadi lebih besar dan cepat dibandingkan dengan achalasia
esofagus idiopatik.
Scleroderma Disfagia, odinofagia, rasa terbakar Pada pemeriksaan esofaografi
pada dada, regurgitasi, batuk kronik kontras menunjukkan segmen yang
atau hoarseenes. relatif panjang, penyempitan
meruncing di esofagus distal
(panah) yang dihasilkan dari
lambung ditandai jaringan parut
pada pasien dengan keterlibatan
esophageal oleh scleroderma.
Karcinoma esofagus  Insidensi karsinoma esofagus Pemeriksaan esofagografi dan
meningkta pada usia >50 tahun. endoskopi menunjukkan adanya
Gejala klinis yang biasa obstruksi pada esofagus akibat
dijumpai antara lain disfagia adanya tumor.
pada makanan-makanan padat
terjadi lebih awal, meskipun
kesulitan untuk menelan
makanan cair dapat terjadi jika
progresivitas penyakit sudah
lanjut.
 Kehilangan berat badan dengan
cepat

25
Gambar 8. Gambaran radiologi skleroderma pada esophagus15

Gambar 9. Gambaran radiologi karsinoma esophagus16

26
2.11. Penatalaksanaan

Sifat terapi pada achalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik esofagus

tidak dapat dipulihkan kembali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi diet tinggi

kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi esofagokardiotomi

(operasi Heller).17

1) Terapi Non-Bedah

a. Medikamentosa

Pemberian obat yang bersifat merelaksasikan otot polos, seperti nitrogliserin 5

mg sublingual atau 10 mg per oral, dan juga methacholine, dapat membuat spinchter

esofagus bawah berelaksasi sehingga membantu membedakan antara suatu striktur

esofagus distal dan suatu kontraksi spinchter esofagus bawah. Selain itu, dapat juga

diberikan calcium channel blockers (nifedipine 10-30 mg sublingual), dimana dapat

mengurangi tekanan pada spinchter esofagus bawah. Namun demikian, hanya sekitar

10% pasien yang berhasil dengan terapi ini. Terapi ini sebaiknya digunakan untuk

pasien lanjut usia yang mempunyai kontraindikasi terhadap pneumatic dilation atau

tindakan pembedahan.18,19

b. Injeksi Botulinum Toksin

Suatu injeksi botulinum toksin intra-spinchter dapat digunakan untuk

menghambat pelepasan asetilkolin pada bagian spinchter esofagus bawah, yang

kemudian akan mengembalikan keseimbangan antara neurotransmiter eksitatorik dan

inhibitorik. Dengan menggunakan endoskopi, toksin diinjeksi dengan memakai jarum

27
skleroterapi yang dimasukkan ke dalam dinding esophagus dengan sudut kemiringan

45°, di mana jarum dimasukkan sampai mukosa kira-kira 1-2 cm di atas

squamocolumnar junction. Lokasi penyuntikan jarum ini terletak tepat di atas batas

proksimal dari spinchter esofagus bawah dan toksin tersebut diinjeksi secara kaudal

ke dalam spinchter. Dosis efektif yang digunakan, yaitu 80-100 unit/ml yang dibagi

dalam 20-25 unit/ml untuk diinjeksikan pada setiap kuadran dari spinchter esofagus

bawah. Injeksi diulang dengan dosis yang sama 1 bulan kemudian untuk

mendapatkan hasil yang maksimal. Namun demikian, terapi ini mempunyai penilaian

yang terbatas, di mana 60% pasien yang telah diterapi masih tidak merasakan disfagia

6 bulan setelah terapi; persentasi ini selanjutnya turun menjadi 30% walaupun setelah

beberapa kali penyuntikan dua setengah tahun kemudian. Sebagai tambahan, terapi

ini sering menyebabkan reaksi inflamasi pada bagian gastroesophageal junction,

yang selanjutnya dapat membuat miotomi menjadi lebih sulit. Terapi ini sebaiknya

diaplikasikan pada pasien lanjut usia, yang mempunyai kontraindikasi terhadap

pneumatic dilation atau tindakan pembedahan.19,20

Baru-baru ini, injeksi intra-sphincter dari toksin botulinum neurotoksin telah

berhasil digunakan pada pasien dengan achalasia. Aman dan efektif pada kebanyakan

pasien, sangat efektif pada orang tua dan telah mendapatkan tempat dalam

penatalaksanaan pasien yang dianggap tidak sesuai untuk dilakukan terapi dilatasi

atau miotomi. Prosedur ini melibatkan suntikan pada spinchter esofagus bagian

bawah yang menyebabkan denervasi kimiawi dari sphincter. Dua puluh sampai dua

puluh lima unit toksin botulinum disuntikkan ke setiap kuadran dari sfingter esofagus

28
bagian bawah dengan jarum skleroterapi menggunakan teknik endoskopi. Meskipun

yang paling aman dari teknik yang tersedia, injeksi toksin botulinum memiliki durasi

efek terbatas, yang berlangsung rata-rata satu tahun. Pengobatan harus diulangi

diperlukan untuk menjaga efek relaksasi pada spinchter esophagus bagian bawah.

Beberapa pasien mungkin mengalami nyeri dada ringan dan terdapat ruam kulit

setelah perawatan.21

Gambar 10. Teknik injeksi intrasphincteric pada achalasia21

c. Pneumatic Dilation

Pneumatic dilation telah menjadi bentuk terapi utama selama bertahun-tahun.

Suatu balon dikembangkan pada bagian gastroesophageal junction yang bertujuan

untuk merupturkan serat otot dan membuat mukosa menjadi intak. Persentase

keberhasilan awal adalah antara 70% dan 80%, namun akan turun menjadi 50% pada

10 tahun kemudian, walaupun setelah beberapa kali dilakukan dilatasi. Rasio

terjadinya perforasi sekitar 5%. Jika terjadi perforasi, pasien segera dibawa ke ruang

29
operasi untuk penutupan perforasi dan miotomi yang dilakukan dengan cara

thorakotomi kiri. Insidens dari refluks gastroesophageal yang abnormal adalah sekitar

25%. Pasien yang gagal dalam penanganan pneumatic dilation biasanya diterapi

dengan miotomi Heller.19

Gambar 11. Teknik pneumatic dilation pada achalasia21

2) Terapi Bedah

Suatu laparoskopik miotomi Heller dan partial fundoplication adalah suatu

prosedur pilihan untuk achalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari suatu pemisahan

serat otot (miotomi) dari spinchter esofagus bawah (5 cm) dan bagian proksimal

lambung (2 cm), yang diikuti oleh partial fundoplication untuk mencegah refluks.

Pasien dirawat di rumah sakit selama 24-48 jam, dan kembali beraktivitas sehari-hari

setelah kira-kira 2 minggu. Secara efektif, terapi pembedahan ini berhasil mengurangi

gejala sekitar 85-95% dari pasien, dan insidens refluks postoperatif adalah antara

10% dan 15%. Oleh karena keberhasilan yang sangat baik, perawatan rumah sakit

30
yang tidak lama, dan waktu pemulihan yang cepat, maka terapi ini dianggap sebagai

terapi utama dalam penanganan achalasia esofagus. Pasien yang gagal dalam

menjalani terapi ini, mungkin akan membutuhkan tindakan dilatasi, operasi kedua,

atau pengangkatan esofagus (esofagektomi).19

Gambar 12. Tindakan laparoskopik miotomi Heller dan partial fundoplication19

31
DAFTAR REFERENSI

1. Agianto, Riyadi efrin, Aisyah, Zahratunnisa. Studi kasus: Gangguan

menelan pada pasien akalasia esofagus. DK Vol 3 No 2. 2015.

2. Rachmanio Nicko, Surya AG. Penatalaksanaan akalasia esofagus dengan

prosedur pembedahan heller dilanjutkan fundoplikasi. Jurnal mutiara

medika Vol 19 No 1 hal 32-36. 2019

3. Supriono, Hedayanti nor. Achalasia: A Review of etiology,

pathophysiology, and treatment. The Indonesian journal of

Gastroenterology, Hepatology and Digestive Endoscopy Vol 17 No 1.

2016.

4. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC; 2005. h. 499-501.

5. Drake RL, Vogl W, Mitchell AWM. Gray’s anatomy for students. USA:

Elsevier; 2007. p. 192-8.

6. Ferhatoglu F, Kivilcim T. Anatomy of esophagus. Available from:

http://www.intechopen.com/books/esophageal-abnormalities.

7. Abbate G, Contini LR, Scotti A. A primary squamous cell carcinoma of

the trachea: Case report and review of the literature. Acta

Otorhinolaryngol Ital. 2010;30:209-12

8. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem edisi 2. Jakarta: EGC;

1996. h. 548-50.

32
9. Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper

DL, et al, editors. Harrison’s principles of internal medicine 17thed. New

York: McGraw Hill, Health Professions Division; 2015

10. Patti MG. Achalasia [online]. 2011 [cited 2019 December 6]. Available

from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/169974

11. Paterson WG, Goyal RK, Habib FI. Esophageal motility disorders

[online]. 2006 [cited 2012 April 6]. Available from: URL:

http://www.nature.com/gimo/contents/pt1/full/gimo20.html

12. Kumar P, Clark M. Gastrointestinal disease-motility disorder. In: Kumar

P, Clark M, editors. Clinical medicine 6th edition. Philadelphia: Elsevier-

Saunders; 2009. p. 277-8.

13. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Rastuti RD. Buku ajar ilmu

kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher edisi keenam.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. h. 290.

14. Skalina T, Gailard F.. Achalasia. [Online]. Cited On 2019 December 05.

Available on: https://radiopaedia.org/articles/achalasia

15. Debi U, Sharma M, Singh L, Sinha A. Barium esophagogram in

variousesophageal disease: A pictorial essay. Indian journal of of

Radiology and Imaging:29(2). 2019. p. 141-54.

16. Lewis RB, Mehrotra AK, Rodriguez P, Levine MS. Esophageal

Neoplasm: Radiologic-pathologic correlation. Radiographics.2013:33(4).

33
17. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Rastuti RD. Buku ajar ilmu

kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher edisi keenam.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. h. 290.

18. Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper

DL, et al, editors. Harrison’s principles of internal medicine 17thed. New

York: McGraw Hill, Health Professions Division; 2008.

19. Patti MG. Achalasia [online]. 2011 [cited 2019 Desember 4]. Available

from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/169974

20. Kumar P, Clark M. Gastrointestinal disease-motility disorder. In: Kumar

P, Clark M, editors. Clinical medicine 6th edition. Philadelphia: Elsevier-

Saunders; 2009. p. 277-8.

21. Kalloo A. Swallowing disorders: therapy [online]. 2012 [cited 2019

Desember 4]. Available from: URL: http://www.hopkins-

gi.org/GDL_Disease.aspx?CurrentUDV=31&GDL_Cat_ID=AF793A59-

B736-42CB-9E1F-E79D2B9FC358&GDL_Disease_ID=0E11DE8C-

7FB7-47AE-BC76-766AC830F7BA.

34

Anda mungkin juga menyukai