Anda di halaman 1dari 36

HALAMAN JUDUL

BAGIAN RADIOLOGI LAPORAN KASUS


FAKULTAS KEDOKTERAN APRIL 2019
UNIVERSITAS HASANUDDIN

SPONDYLOLISTHESIS ANTERIOR ET SPONDYLOSIS


THORACOLUMBALIS ET FRAKTUR KOMPRESI
ET OSTEOPOROSIS SENILIS

Oleh:

Nurhafrisa Rani C014182103


Alfiana Rahman C014182105
Ummy Afifah C014182106
Achmad Nursyamsir C014182169
Krisna Goysal C014182209

Pembimbing Residen:
dr. Rufik Tejo Pramono

Konsulen Pembimbing :
dr. Zatriani, Sp.Rad, M.Kes.

DIBAWAKAN DALAM RANGKA


TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019

i
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN KASUS : SPONDYLOLISTHESIS ET SPONDYLOSIS ET FRAKTUR

KOMPRESI ET OSTEOPOROSIS SENILIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

1. Nama : Nurhafrisa Rani 4. Nama : Achmad Nursyamsir


NIM : C014182103 NIM : C014182169
2. Nama : Alfiana Rahman 5. Nama : Krisna Goysal
NIM : C014182105 NIM : C014182209
3. Nama : Ummy Afifah
NIM : C014182106

Fakultas : Kedokteran.
Universitas : Universitas Hasanuddin

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 15 April 2019

Konsulen Penguji

dr. Zatriani, Sp.Rad, M.Kes.

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PENGESAHAN ii

DAFTAR ISI iii

BAB 1 LAPORAN KASUS 1

1.1 Anamnesis 1

1.2 Pemeriksaan Fisis 1

1.3 Laboratorium 2

1.4 Radiologi 3

1.5 Diagnosis 4

1.6 Terapi 4

BAB 2 KAJIAN TEORI 5

2.1 Pendahuluan 5

2.2 Anatomi Vertebra Lumbosakral 7

2.3 Spondylolisthesis 9

2.4 Fraktur Kompresi 16

2.5 Spondylosis 27

BAB 3 DISKUSI 30

3.1 Resume Medis 30

DAFTAR PUSTAKA 32

iii
BAB 1

LAPORAN KASUS

1.1 Anamnesis

1.1.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. WSA

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 72 tahun

Masuk RS : 08.11, 04 April 2019

di Poli Bedah Orthopedi Spine

No. RM : 196937

1.1.2 Keluhan Utama

Nyeri punggung (Back pain).

1.1.3 Riwayat Penyakit Sekarang

Nyeri punggung yang bersifat ngilu dan keram, terjadi secara terus

menerus dan diperberat dengan beraktivitas. Pasien datang dengan

alat bantu kursi roda.

1.2 Pemeriksaan fisis

Keadaan umum : Sakit sedang/gizi baik

Kesadaran : Composmentis.

Tanda vital :

 Tekanan darah: 110/80 mmHg.

1
 Nadi : 78 x/menit.

 Suhu : 36°C.

 Pernapasan : 18 x/menit.

 Nyeri : NRS 6.

Primary survey

Airway : Tidak ada gangguan jalan nafas.

Breathing : Pernafasan 18 x/menit.

Circulation : Tekanan darah 110/80 mmHg, Nadi 78 x/menit.

Disability : GCS15 (E4M6V5).

Exposure : Suhu 36oC.

Secondary survey

Status Lokalis : Regio vertebra thoracolumbal.

Look : Deformitas (+), hematom (-), edema (-), luka (-)

Feel : Tenderness (-)

Move : Gerakan aktif dan pasif sulit dievaluasi karena nyeri.

NVD : Sensibilitas baik, pulsasi arteri radialis dan ulnaris teraba,

kapiler refil <2 detik (normal).

1.3 Laboratorium (05 April 2019)

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN

GDS 158 mg/dl 140 mg/dl

HbsAg Non Reactive Non Reactive

Darah Rutin

WBC 23,7 x 103/uL 4-10 x 103/uL

2
RBC 4,86 x 106/uL 4-6 x 106/uL

HB 14,5 g/dl 12-16 g/dl

HCT 44 % 37-48 %

MCV 91 fL 80-97 fL

MCH 30 g/dl 26,5-33,5 pg

MCHC 33 g/dl 31,5-35 g/dl

PLT 291 x 103/uL 150-400 103/uL

1.4 Radiologi (04 April 2019)

Gambar 1. Foto X-ray Lumbosakral AP/Lateral

(Sumber Gambar : Bagian Radiologi Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo)

Foto X-ray Lumbosakral AP/Lateral

3
• Alignment columna vertebra lumbalis berubah listhesis L4 terhadap

L5 ke anterior < 25%

• Tampak pemipihan pada endplate superior CV L1

• Tampak osteofit pada aspek lateral CV Th11 – L5

• Densitas tulang berkurang

• Diskus dan foramen intervertebralis lainnya kesan baik

• Jaringan paravertebralis baik

Kesan:

- Spondylolisthesis anterior CV L4 terhadap L5 grade I (klasifikasi

Meyerding)

- Fraktur Kompresi CV L1

- Spondylosis Thoracolumbalis

- Osteoporosis Senilis

1.5 Diagnosis

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiologi,

diagnosis kasus ini LBP ec Burst Fracture L1 dan Spondilolistesis L4 – L5.

1.6 Terapi

 Tidak diketahui.

4
BAB 2

DISKUSI

2.1 Pendahuluan

Sendi adalah tempat dimana dua tulang atau lebih saling

berhubungan, dimana di antara tulang-tulang ini dapat terjadi pergerakan

atau tidak. Berdasarkan ada tidaknya gerakan yang terjadi, sendi dibedakan

menjadi tiga, yaitu sinartrosis, amfiartrosis, dan diartrosis.

2.1.1 Sinartrosis (Sendi Mati)

Sinartrosis adalah persendian yang tidak memungkinkan

adanya gerak sama sekali antara dua tulang yang bersambungan.

Persambungan ini sangat kuat, biasanya dihubungkan oleh jaringan

ikat fibrosa atau kartilago. Sendi ini biasanya digunakan untuk

melindungi bagian tertentu. Terdapat empat tipe sendi sinartrosis,

yaitu sutura, gomphosis, sinkondrosis, dan sinostosis.

2.1.2 Amfiartrosis (Sendi Kaku)

Amfiartrosis adalah persendian yang masih memungkinkan

adanya sedikit gerakan antara dua tulang. Permukaan persendian

dibatasi oleh jaringan antara. Jaringan antara ini dapat berupa

jaringan fibrosa dan jaringan tulang rawan. Sendi ini memiliki dua

tipe, yaitu sindesmosis (dihubungkan oleh ligamen) dan simfisis

(dihubungkan oleh fibrokartilago).

2.1.3 Diartrosis (Sendi Gerak)/ Sendi Synoviale

Diartrosis adalah persendian yang memungkinkan adanya

gerak bebas antartulang.

5
Persendian diselubungi oleh kapsul dari jaringan ikat fibrosa yang

disebut kapsul sendi (articular capsule). Kapsul terdiri dari dua lapisan,

yaitu lapisan fibrosa eksternal dan lapiran sinovial internal atau yang sering

disebut dengan membrane sinovial. Lapisan fibrosa tersusun atas jaringan

yang tebal dan tidak beraturan, namun fleksibel dan kuat. Fleksibilitas ini

memungkinkan pergerakan yang lebih leluasa. Jaringan yang kuat

mencegah terjadinya dislokasi tulang. Kapsul fibrosa kadang-kadang

diperkuat oleh ligament. Membran sinovial terdapat dibagian permukaan

kapsul bagian dalam. Membran sinovial berfungsi menghasilkan cairan

sinovial. Bagian permukaan tulang satu dengan yang lain tidak berhubungan

secara langsung karena terdapat kartilago (articular cartilage).

Sebagian besar persendian rangka tubuh manusia adalah diartrosis.

Persendian diartrosis dibedakan menjadi enam macam, yaitu sendi

luncur(arthroidale), sendi engsel(articulatio trochlearis/ginglymus), sendi

putar (articulatio trocoidea), sendi pelana(articulatio sellaris), sendi

peluru(articulatio globaidea), sendi ellipsoidal(articulatio elipsoidea).

Berdasarkan klasifikasi diatas sendi siku tergolong dalam diartrosis

atau sendi gerak jenis articulatio trochlearis/sendi engsel. Fungsi sendi siku

adalah untuk melakukan gerakan fleksi dan ekstensi pada extremitas atas.

Sehingga jika terjadi gangguan pada sendi siku maka akan terjadi

keterbatasan dalam melakukan proses fleksi dan ekstensi daripada sendi

siku itu sendiri, salah satunya adalah dislokasi pada sendi siku. Dislokasi

adalah pindahnya permukaan sentuh tulang yang menyusun sendi. Cedera

ini dihasilkan oleh gaya yang menyebabkan sendi melampaui batas normal

6
anatomisnya. Kejadian dislokasi harus segera di tangani untuk mencegah

komplikasi salah satunya sindrom kompartemen.

2.2 Anatomi Vertebra Lumbosacral

Kolumna vertebralis adalah sebuah struktur tulang yang lentur

dibentuk oleh tulang yang disebut vertebra dan diantara tiap dua ruas

tulang belakang terdapat bantalan tulang rawan. Tulang tersebut

dikelompokkan dan dinamai sesuai dengan daerah yang ditempatinya,

yaitu terdiri atas tujuh vertebra servikalis, dua belas vertebra thorakalis,

lima vertebra lumbalis, lima vertebra sakralis dan empat vertebra

koksigis.11 Jadi kolumna vertebralis dibentuk oleh 33 segmen yang

masing-masing mempunyai bentuk anatomi dasar yang sama, akan tetapi

mempunyai madifikasi ciri-ciri regional yang khas sesuai dengan fungsi-

fungsi khusus dari masing-masing bagian.12

Vertebra lumbalis atau ruas tulang pinggang adalah yang terbesar,

badannya lebih besar dari pada vertebra lainnya dan berbentuk seperti

ginjal. Prosesus spinosusnya lebar dan berbentuk seperti tapak kecil,

prosesus tranversusnya panjang dan langsing. Ruas ke lima membentuk

sendi dengan sakrum pada sendi lumbo sakral.11 Vertebra lumbalis

diketahui dari tidak terdapatnya foramen tranversarium serta tidak

terdapatnya fasies kostalis dan juga lebih besar dibandingkan vertebra

servikalis dan vertebra thorakalis. Korpusnya lebar dan padat serta

berbentuk bulat telur dengan diameter lateral lebih panjang dari diameter

posteriornya. Tinggi vertikal korpusnya lebih besar disebelah anterior

daripada posteriornya, terutama vertebra lumbalis ke lima. Faktor ini juga

7
bertanggung jawab untuk terjadinya kecembungan kesebelah anterior di

daerah ini di samping bentuk diskus intervertebralisnya. Korpus sedikit

mengecil di bagian tengah.12

Kolumna vertebralis berfungsi sebagai pendukung badan yang

kokoh dan sekaligus bekerja sebagai penyangga dan perantaraan tulang

rawan cakram intervertebralis yang lengkungnya memberi fleksibilitas

yang memungkinkan membungkuk tanpa patah. Kolumna vertebralis

memikul berat badan, menyediakan permukaan untuk kaitan otot dan

memberikan kaitan pada iga-iga, cakramnya berfungsi untuk menyerap

goncangan yang terjadi bila menggerakkan badan seperti waktu berlari dan

meloncat sehingga sumsum tulang belakang terlindung dari goncangan.12

Kolumna vertebralis sebagai pilar utama yang berfungsi untuk

melindungi medula spinalis dan menunjang berat badan serta batang

badan, yang diteruskan ke tulang-tulang paha dari tingkat bawah. Selain

itu juga berfungsi untuk menghasilkan gerakan-gerakan serta menjadi

tempat untuk melekatnya otot-otot.11

8
Gambar 2. Anatomi lumbosacral.

2.3 Spondylolistesis

2.3.1 Definisi Spondylolisthesis

Spondylolisthesis adalah kondisi dari spine (tulang belakang)

dimana salah satu dari vertebra bergeser kedepan atau kebelakang

dibanding pada vertebra berikutnya. Bergesernya vertebra kedepan

dari vertebra lainnya yang ada di bawahnya dirujuk

sebagai anterolisthesis, sementara bergeser kebelakang dirujuk

sebagai retrolisthesis.

Spondylolisthesis memberikan gambaran pada deformasi

(keadaan cacat) dari spine serta penyempitan dari kanal spine

9
(central spinal stenosis) atau penekanan atau kompresi dari radix

syaraf yang keluar (foraminal stenosis).

2.3.2 Penyebab Spondylolisthesis

Ada lima tipe utama dari lumbar spondylolisthesis.

1. Dysplastic spondylolisthesis : Dysplastic spondylolisthesis

disebabkan oleh kerusakan dalam formasi dari facet joint, yang

menyebabkan bergesernya dari vertebra yang berada di atasnya.

Ini adalah kondisi yang seorang pasien dilahirkan dengannya

(congenital).

2. Isthmic spondylolisthesis : Pada Isthmic spondylolisthesis, ada

kerusakan pada bagian dari vertebra yang disebut pars

interarticularis. Jika ada kerusakan tanpa pergeseran, pasien

hanya disebut sebagai spondylolysis. Isthmic spondylolisthesis

dapat disebabkan oleh trauma yang berulang-kali dan adalah

umum pada olahragawan-olahragawan yang terpapar pada

gerakan-gerakan yang hyperextension termasuk gymnasts, dan

football linemen.

3. Degenerative spondylolisthesis : Degenerative

spondylolisthesis terjadi disebabkan oleh perubahan-perubahan

arthritic pada sensi-sendi dari vertebrae yang disebabkan oleh

degenerasi tulang rawan (cartilage). Degenerative

spondylolisthesis lebih umum terjadi pada pasien-pasien yang

lebih tua.

10
4. Traumatic spondylolisthesis : Traumatic spondylolisthesis

disebabkan oleh trauma atau luka langsung pada vertebrae. Ini

dapat disebabkan oleh patah tulang dari pedicle, lamina atau

sendi-sendi facet yang menyebabkan bagian depan dari vertebra

untuk bergeser kedepan dengan pergeseran pada bagian

belakang dari vertebra.

5. Pathologic spondylolisthesis : Pathologic spondylolisthesis

disebabkan oleh kerusakan pada tulang yang disebabkan oleh

tulang yang abnormal, seperti yang dari tumor.

2.3.3 Faktor-Faktor Risiko untuk Spondylolisthesis

Faktor-faktor risiko untuk spondylolisthesis termasuk riwayat

keluarga yang mengalami gangguan pada tulang belakang. Faktor-

faktor risiko lain termasuk riwayat dari trauma yang berulangkali

atau hyperextension dari tulang belakang bagian bawah atau lumbar

spine.

Olahragawan-olahragawan seperti gymnasts, angkat besi, dan

football linemen yang mempunyai tenaga-tenaga yang besar yang

diaplikasikan pada spine sewaktu extension berada pada risiko yang

lebih besar untuk mengalami isthmic spondylolisthesis.

2.3.4 Manifestasi Klinis Spondylolisthesis

Gejala yang paling umum dari spondylolisthesis adalah nyeri

tulang belakang bagian bawah. Ini seringkali lebih buruk setelah

latihan terutama dengan peregangan dari lumbar spine. Gejala-gejala

11
lain termasuk spasme dari otot hamstrings dan jangkauan gerakan

yang berkurang dari tulang belakang bagian bawah. Beberapa

pasien-pasien dapat mengalami nyeri, mati rasa, kesemutan atau

kelemahan pada kaki-kaki yang disebabkan oleh syaraf yang

tertekan (terjepit). Penekanan yang parah dari syaraf-syaraf dapat

menyebabkan kehilangan kontrol dari fungsi usus atau kantong

kemih, atau cauda equina syndrome.

2.3.5 Diagnosa Spondylolisthesis

Pada kebanyakan kasus-kasus sulit untuk melihat tanda-tanda

spondylolisthesis dengan memeriksa pasien. Pasien-pasien secara

khas mempunyai keluhan-keluhan dari nyeri pada tulang belakang

dengan nyeri kadang – kadang dirasakan pada kaki.

Spondylolisthesis dapat seringkali menyebabkan kejang-kejang otot,

atau spasme pada otot hamstrings.

Spondylolisthesis dengan mudah diidentifikasi menggunakan

radiographs sederhana. Lateral X-ray (dari sisi) akan menunjukan

jika salah satu dari vertebra telah bergeser kedepan dibanding pada

vertebrae yang berdekatan. Spondylolisthesis dinilai menurut

persentase dari pergeseran dari vertebra terhadap vertebra

sebelahnya (Klasifikasi Meyerding);

 Derajat I adalah pergeseran dari sampai pada 25%,

 Derajat II adalah antara 26%-50%,

 Derajat III adalah antara 51%-75%,

 Derajat IV adalah antara 76% dan 100%, dan

12
 Derajat V, atau spondyloptosis terjadi ketika vertebra telah

terlepas dari vertebra sebelahnya.

Jika pasien mempunyai keluhan-keluhan nyeri, mati rasa,

kesemutan atau kelemahan pada kaki-kaki, pemeriksaan tambahan

mungkin diminta. Gejala-gejala ini mungkin disebabkan oleh

stenosis atau penyempitan dari foramen keluarnya radix syaraf ke

kaki. CT scan atau MRI scan dapat membantu mengidentifikasi

kompresi (tekanan) dari syaraf-syaraf yang berhubungan dengan

spondylolisthesis. Adakalanya, PET scan dapat membantu

menentukan jika tulang mengalami kerusakan aktif.

2.3.6 Terapi Konservatif Spondylolisthesis

Perawatan awal untuk spondylolisthesis adalah konservatif dan

berdasarkan pada gejala-gejala. Periode singkat dari istirahat atau

menghindari aktivitas-aktivitas seperti mengangkat dan meregang

dan athletics mungkin membantu mengurangi gejala-gejala.

Terapi fisik dapat membantu meningkatkan jangkauan gerakan

dari lumbar spine dan hamstrings serta menguatkan otot-otot utama

perut.

Obat-obat anti-peradangan dapat membantu mengurangi nyeri

dengan mengurangi peradangan dari otot-otot dan syaraf-syaraf.

Pasien-pasien dengan nyeri, mati rasa dan kesemutan pada

kaki-kaki mungkin mendapatkan manfaat dari suntikan steroid

epidural (cortisone).

13
Pasien-pasien dengan isthmic spondylolisthesis mungkin

mendapatkan manfaat dari hyperextension brace. Ini meregangkan

lumbar spine membawa dua bagian dari tulang pada tempat

kerusakan lebih dekat satu dengan lainnya dan mungkin

mengizinkan terjadinya penyembuhan.

Untuk pasien-pasien yang gejala-gejalanya gagal untuk

membaik dengan perawatan konservatif, operasi mungkin adalah

opsi (pilihan). Tipe dari operasi berdasarkan pada tipe dari

spondylolisthesis. Pasien-pasien dengan isthmic spondylolisthesis

mungkin mendapatkan manfaat dari reparasi bagian yang rusak dari

vertebra, atau reparasi pars. Jika MRI scan atau PET scan

menunjukan bahwa tulangnya aktif ditempat kerusakan adalah lebih

mungkin untuk sembuh dengan reparasi pars. Ini melibatkan

pengangkatan segala jaringan parut dari kerusakan dan

menempatkan beberapa cangkokan tulang pada area diikuti oleh

penempatan dari sekrup-sekrup ditempat kerusakan.

Jika ada gejala-gejala pada kaki-kaki operasi mungkin

termasuk dekompresi untuk menciptakan lebih banyak ruangan

untuk akar-akar syaraf yang keluar. Ini seringkali dikombinasikan

dengan fusion yang mungkin dilakukan dengan atau tanpa sekrup-

sekrup untuk memegang tulang bersama. Pada beberapa kasus-kasus

vertebrae digerakan kebelakang ke posisi yang normal sebelum

nelakukan fusion, dan pada yang lain-lain vertebrae dilebur dimana

mereka berada setelah pergeseran. Ada beberapa risiko yang

14
meningkat dari luka pada syaraf dengan menggerakan vertebra

kembali ke posisi normal.

2.3.7 Pencegahan Spondylolisthesis

Spondylolisthesis tidap dapat sepenuhnya dicegah. Aktivitas-

aktivitas tertentu seperti gymnastics, angkat besi dan sepakbola

diketahui meningkatkan stress (tekanan) pada vertebrae dan

meningkatkan risiko terjadinya spondylolisthesis.15

2.3.8 Komplikasi-Komplikasi dari Spondylolisthesis

Komplikasi-komplikasi dari spondylolisthesis termasuk nyeri

yang kronis pada tulang belakang bagian bawah atau kaki-kaki, serta

mati rasa, kesemutan atau kelemahan pada kaki-kaki. Kompresi yang

parah dari syaraf dapat menyebabkan masalah dengan kontrol usus

dan kantong kemih, namun tidak sering terjadi.15

2.3.9 Prognosis untuk Spondylolisthesis

Prognosis untuk pasien-pasien dengan spondylolisthesis adalah

baik. Pada kebanyakan kasus-kasus pasien-pasien merespon baik

pada rencana perawatan konsevatif. Untuk mereka yang dengan

gejala-gejala parah yang terus menerus, operasi dapat membantu

meringankan gejala-gejala kaki dengan menciptakan lebih banyak

ruangan untuk akar-akar syaraf. Nyeri tulang belakang dapat dibantu

melalui lumbar fusion.11

15
2.4 Fraktur Kompresi

Fraktur kompresi (wedge fractures) merupakan kompresi pada


bagian depan atau belakang corpus vertebralis yang tertekan dan
membentuk patahan irisan. Fraktur kompresi adalah fraktur tersering yang
mempengaruhi kolumna vertebra.

Fraktur ini dapat disebabkan oleh kecelakaan jatuh dari ketinggian


dengan posisi terduduk ataupun mendapat pukulan di kepala, osteoporosis
dan adanya metastase kanker dari tempat lain ke vertebra kemudian
membuat bagian vertebra tersebut menjadi lemah dan akhirnya mudah
mengalami fraktur kompresi. Vertebra dengan fraktur kompresi akan
menjadi lebih pendek ukurannya daripada ukuran vertebra sebenarnya.
Trauma vertebra yang mengenai medula spinalis dapat menyebabkan defisit
neorologis berupa kelumpuhan.4

2.4.1 Epidemiologi Fraktur Kompresi

Fraktur kompresi vertebra merupakan jenis fraktur yang


sering terjadi dan merupakan masalah yang serius. Setiap tahun
sekitar 700.000 insidensi di Ameika Serikat, dimana prevalensinya
meningkat 25% pada wanita yang berumur diatas 50 tahun. Satu dari
dua wanita dan satu dari empat laki-laki berumur lebih dari 50 tahun
menderita osteoporosis berhubungan dengan fraktur. Insidensi
fraktur kompresi vertebra meningkat secara progresif berdasarkan
semakin bertambahnya usia, dan prevalensinya sama antara laki-
laki (21,5%) dan wanita (23,5%), yang diukur berdasarkan suatu
studi pemeriksaan radiologi. Meskipun hanya sekitar sepertiga
menunjukkan gejala akut, awalnya semua berhubungan dengan
angka yang signifikan meningkatkan mortalitas dan gangguan
fungsional dan psikologis.5

2.4.2 Etiologi Fraktur Kompresi

Penyebab terjadinya fraktur kompresi vertebra adalah


sebagai berikut:

16
a) Trauma langsung (direct)
Fraktur yang disebabkan oleh adanya benturan langsung
pada jaringan tulang seperti pada kecelakaan lalu lintas, jatuh
dari ketinggian, dan benturan benda keras oleh kekuatan
langsung.
b) Trauma tidak langsung (indirect)
Fraktur yang bukan disebabkan oleh benturan
langsung.Fraktur ini dapat disebabkan oleh proses penyakit
seperti osteoporosis, penderita tumor dan infeksi.

Penyebab pokok dari fraktur kompresi lumbal adalah


osteoporosis. Pada wanita, faktor risiko utama untuk osteoporosis
adalah menopause, atau defisiensi estrogen. Faktor risiko lain yang
dapat memperburuk tingkat keparahan osteoporosis termasuk
merokok, aktivitas fisik, penggunaan prednison dan obat lain, dan
gizi buruk. Pada laki-laki, semua faktor risiko non-hormon di atas
juga berpengaruh. Namun, kadar testosteron rendah juga dapat
berhubungan dengan fraktur kompresi.

Gagal ginjal dan gagal hati keduanya terkait dengan


osteopenia. Kekurangan gizi dapat menurunkan remodeling tulang
dan meningkatkan osteopenia. Akhirnya, genetika juga memainkan
peran dalam pengembangan fraktur kompresi, risiko osteoporosis
juga dapat dilihat dari riwayat keluarga dengan keluhan serupa.
Keganasan dapat bermanifestasi awalnya sebagai fraktur kompresi.
Kanker yang paling umum di tulang belakang adalah metastasis.

Keganasan khas yang bermetastasis ke tulang belakang sel


ginjal, prostat, payudara, paru-paru dan meskipun jenis lainnya dapat
bermetastasis ke tulang belakang. 2 hal keganasan tulang primer
paling umum adalah multipel myeloma dan limfoma.

Infeksi yang menghasilkan osteomyelitis dapat juga


mengakibatkan fraktur kompresi. Biasanya, organisme yang paling

17
umum dalam infeksi kronis adalah stafilokokus atau streptokokus.
Tuberkulosis bisa terjadi pada tulang belakang dan disebut penyakit
Pott.2,3

2.4.3 Patofisiologi Fraktur Kompresi

Tulang belakang merupakan satu kesatuan yang kuat yang


diikat oleh ligamen di depan dan di belakang, serta dilengkapi
diskus intervertebralis yang mempunyai daya absorpsi terhadap
tekanan atau trauma yang memberikan sifat fleksibilitas dan elastis.
Semua trauma tulang belakang harus dianggap suatu trauma yang
hebat, sehingga sejak awal pertolongan pertama dan transportasi ke
rumah sakit penderita harus secara hati-hati. Trauma pada tulang
belakang dapat mengenai : 8

a) Jaringan lunak pada tulang belakang, yaitu ligamen, diskus dan


faset.
b) Tulang belakang sendiri
c) Sumsum tulang belakang (medulla spinalis)

Mekanisme trauma diantaranya : 8

a) Fleksi
Trauma terjadi akibat fleksi dan disertai dengan sedikit
kompresi pada vertebra. Vertebra mengalami tekanan terbentuk
remuk yang dapat menyebabkan kerusakan atau tanpa kerusakan
ligamen posterior. Apabila terdapat kerusakan ligamen posterior,
maka fraktur bersifat tidak stabil dan dapat terjadi subluksasi.

18
Gambar 3. Fraktur Akibat Fleksi
b) Fleksi dan rotasi
Trauma jenis ini merupakan trauma fleksi yang bersama-
sama dengan rotasi. Terdapat strain dari ligamen dan kapsul,
juga ditemukan fraktur faset. Pada keadaan ini terjadi
pergerakan ke depan/ dislokasi vertebra diatasnya. Semua
fraktur dislokasi bersifat tidak stabil.

Gambar 4. Fraktur Akibat Rotasi

c) Kompresi vertikal (aksial)


Suatu trauma vertikal yang secara langsung mengenai
vertebra yang akan menyebabkan kompresi aksial. Nukleus
pulposus akan memecahkan permukaan serta badan vertebra
secara vertikal. Material diskus akan masuk dalam badan
vertebra dan menyebabkan vertebra menjadi rekah (pecah).
Pada trauma ini elemen posterior masih intak sehingga fraktur
yang terjadi bersifat stabil.9

Gambar 5. Fraktur Kompresi

d) Hiperekstensi atau retrofleksi

19
Biasanya terjadi hiperekstensi sehingga terjadi
kombinasi distraksi dan ekstensi. Keadaan ini sering
ditemukan pada vertebra servikal dan jarang pada vertebra
torakolumbal. Ligamen anterior dan diskus dapat mengalami
kerusakan atau terjadi fraktur pada arkus neuralis. Fraktur
ini biasanya bersifat stabil.8

Gambar 6. Fraktur Akibat Hiperekstensi

e) Fleksi lateral
Kompresi atau trauma distraksi yang menimbulkan fleksi
lateral akan menyebabkan fraktur pada komponen lateral yaitu
pedikel, foramen vertebra dan sendi faset.

Pembagian trauma vertebra menurut BEATSON (1963)


membedakan atas 4 grade:

a) Grade I = Simple Compression Fraktur

b) Grade II = Unilateral Fraktur Dislocation

c) Grade III = Bilateral Fraktur Dislocation

d) Grade IV = Rotational Fraktur Dislocation

Dengan adanya penekanan/ kompresi yang berlangsung lama


menyebabkan jaringan terputus akibatnya daerah disekitar fraktur
dapat mengalami edema atau hematoma. Kompresi akibatnya

20
sering menyebabkan iskemia otot. Gejala dan tanda yang menyertai
peningkatan tekanan kompartemental mencakup nyeri, kehilangan
sensasi dan paralisis. Hilangnya tonjolan tulang yang normal,
pemendekan atau pemanjangan tulang dan kedudukan yang khas
untuk dislokasi tertentu menyebabkan terjadinya perubahan bentuk
(deformitas). Trauma dapat mengakibatkan cedera pada medula
spinalis secara langsung dan tidak langsung. Fraktur pada tulang
belakang yang menyebabkan instabilitas pada tulang belakang
adalah penyebab cedera pada medulla spinalis secara tidak langsung.
Apabila trauma terjadi di bawah segmen cervical dan medula
spinalis tersebut mengalami kerusakan sehingga akan berakibat
terganggunya distribusi persarafan pada otot-otot yang disarafi
dengan manifestasi kelumpuhan otot-otot intercostal, kelumpuhan
pada otot-otot abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak
bawah serta paralisis sfingter pada uretra dan rektum. Distribusi
persarafan yang terganggu mengakibatkan terjadinya gangguan
sensoris pada regio yang disarafi oleh segmen yang cedera tersebut.8

Klasifikasi derajat kerusakan medulla spinalis :

a) Frankel A = Complete, fungsi motoris dan sensoris hilang


sama sekali di bawah level lesi.
b) Frankel B = Incomplete, fungsi motoris hilang sama sekali,
sensoris masih tersisa di bawah level lesi.
c) Frankel C = Incomplete, fungsi motris dan sensoris masih
terpelihara tetapi tidak fungsional.
d) Frankel D = Incomplete, fungsi sensorik dan motorik masih
terpelihara dan fungsional.
e) Frankel E = Normal, fungsi sensoris dan motorisnya normal
tanpa deficit neurologisnya.

2.4.4 Pemeriksaan Radiologi Fraktur Kompresi

21
a) Roentgenography : pemeriksaan ini dilakukan untuk
melihat tulang vertebra untuk melihat fraktur dan pergeseran
tulang vertebra
b) Magnetic Resonance Imaging : pemeriksaan ini memberi
informasi detail mengenai jaringan lunak di daerah vertebra.
Gambaran yang akan dihasilkan adalah 3 dimensi. MRI sering
digunakan untuk mengetahui kerusakn jaringan lunak pada
ligament dan diskus intervertebralis dan menilai cedera medulla
spinalis
c) CT- Scan : CT scan sangat berguna dalam menggambarkan
adanya fraktur dan dapat memberikan informasi jika tentang
adanya kelainan densitas tulang. CT scan dan MRI juga sangat
penting dalam menentukan diferensial diagnosis karena adanya
penyempitan kanalis spinal, dan komposisi spesifik vertebra
dapat digambarkan.
d) Single-Photon Emission Computed Tomography (SPECT) :
Dapat juga digunakan dalam menentukan adanya fraktur dan
tingkat adanya osteoporosis karena kemampuannya dalam
menggambarkan densitas tulang.
e) Scintigraphy : Merupakan suatu metode diagnostik yang
menggunakan deteksi radiasi sinar gamma untuk
menggambarkan kondisi dari jaringan atau organ, juga
merupakancmetode yang penting untuk memprediksikan hasil
9
(outcome) dari beberapa teknik operasi.

2.4.5 Penatalaksanaan Fraktur Kompresi

a) Nyeri akut fraktur kompresi vertebra

Jika pada pasien tidak ditemukan kelainan neurologis,


pengobatan pada pasien dengan akut fraktur harus menekankan
pada pengurangan rasa nyeri, dengan pembatasan bedrest,
penggunaan analgetik, brancing dan latihan fisik.9

22
 Menghindari bedrest terlalu lama
Bahaya dari bedrest yang terlalu lama pada orang tua
adalah, meningkatkan kehilangan densitas tulang,
deconditioning, thrombosis, pneumonia, ulkus dekubitus,
disorientasi dan depresi.
 Analgetik
Analgetik digunakan untuk mengurangi rasa nyeri,
biasa diberikan sebagai terapi awal untuk menghindari dari
bedrest yang terlalu lama.
 Calcitonin
Diberikan secara subkutan, intranasal, atau perrektal
mempunyai efek analgetik pada fraktur kompresi yang
disebabkan oleh osteoporosis dan pasien dengan nyeri tulang
akibat metastasis.
 Bracing
Bracing merupakan terapi yang biasa dilakukan pada
manegemen akut non operatif. Ortose membantu dalam
mengontrol rasa nyeri dan membantu penyembuhan dengan
menstabilkan tulang belakang. Dengan mengistirahatkan
pada posisi fleksi, maka akan mengurangi tekanan pada
kolumna anterior dan rangka tulang belakang.Bracing dapat
digunakan segera, tetapi hanya dapat digunakan untuk dua
sampai tiga bulan. Terdapat beberapa tipe ortose yang
tersedia untuk pengobatan.8
 Vertebroplasty
Vertebroplasty dilakukan dengan menempatkan jarum
biopsy tulang belakang kedalam vertebra yang mengalami
kompresi dengan bimbingan fluoroscopy atau computed
tomography. Kemudian diinjeksikan Methylmethacrylate
kedalam tulang yang mengalami kompresi. Prosedur ini
dapat menstabilkan fraktur dan megurangi rasa nyeri dengan
cepat yaitu pada 90% 100% pasien. Tetapi prosedur ini tidak

23
dapat memperbaiki deformitas yang terjadi pada tulang
belakang.9

Gambar 7. Vertebroplasty

 Kypoplasty
Prosedur ini dilakukan dengan menyuntikkan jarum
yang berisikan tampon kedalam tulang yang mengalami
fraktur. Insersi jarum tersebut akan membentuk suatu kavitas
pada tulang vertebra. Kemudian kavitas tersebut diisi dengan
campuran methylmetacrylate dibawah tekanan rendah.8

Gambar 8. Kypoplasty

b) Nyeri kronis fraktur kompresi vertebra

24
Nyeri kronis umumnya biasa dialami oleh pasien
dengan multipel fraktur, penurun tinggi badan, dan
kehilangan densitas tulang. Pada pasien-pasien ini, sangat
dianjurkan untuk tetap aktif melakukan pelemasan otot dan
program peregangan, seperti program yang berdampak ringan
seperti berjalan dan berenang. Sebagai tambahan obat
penghilang rasa sakit, pemeriksaan nonfarmakologis seperti
stimulasi saraf listrik transkutaneus, aplikasi panas dan dingin,
atau penggunaan bracing, dapat menghilangkan rasa sakit
sementara. Aspek psikologis dari rasa nyeri yang kronis dan
kehilangan fungsi fisiologis harus diterangkan dalam konseling,
jika perlu, dapat diberikan antidepresan.9
c) Pencegahan fraktur tambahan
Sebagian besar pasien dengan fraktur akibat
osteoporosis akut harus diberikan terapi osteoporosis secara
agresif.

2.4.6 Komplikasi Fraktur Kompresi

Apakah fraktur kompresi vertebra menunjukkan gejala atau


tidak, komplikasi jangka panjangnya sangat penting.
Konsekuensinya dapat dikategorikan sebagai biomekanik,
fungsional, dan psikologis.9

a) Biomekanik
Pada beberapa pasien yang mengalami pemendekan
segmen torakolumbal yang signifikan, costa bagian terbawah
akan bersandar pada pevis, menyebabkan terjadinya abdominal
discomfort. Gejala-gejala pada gangguan abdomen dapat berupa
anoreksia yang dapat mengakibatkan penurunan berat badan,
terutama pada pasien yang berusia lanjut. Konsekuensi pada
paru akibat adanya fraktur kompresi pada vertebra dan kyposis
umumnya ditandai dengan penyakit paru restriktif dengan
penurunan kapasitas vital paru. Dalam persamaan, setiap fraktur

25
menurunkan kapasitas vital 9%. Meningkatkan resiko
terjadinya fraktur. Karena terjadinya kyposis, maka beban
berlebih akan ditopang oleh tulang disekitarnya, ditambah lagi
dengan adanya osteoporosis semakin meningkatkan resiko
terjadinya fraktur. Adanya satu atau lebih vertebra
mengalami fraktur kompresi semakin meningkatkan adanya
fraktur tambahan lima kali lipat dalam satu tahun.8
b) Fungsional
Pasien yang mengalami fraktur kompresi memiliki level
yang lebih rendah dalam performa fungsional dibandingkan
dengan kontrol, lebih banyak membutuhkan pembantu,
pengalaman lebih sering mengalami sakit saat bekerja, dan
mengalami kesulitan dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
Penelitian terbaru pada pasien-pasien ini memiliki nilai yang
rendah pada indeks kulalitas hidup yang berhubungan dengan
kesehatan berdasarkan fungsi fisik, status emosi, gejala klinis
dan keseluruhan performa fungsional. Oleh karena itu,
banyak pasien yang mengalami fraktur kompresi vertebra
akan menjadi tidak aktif, dengan berbagai alasan antara lain
rasa nyeri akan berkurang dengan terlentang, takut jatuh
sehingga terjadi patah tulang lagi. Sehingga kurang aktif atau
malas bergerak pada akhirnya akan mengakibatkan semakin
buruknya kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.8
c) Psikologis
Kejadian depresi meningkat sampai 40% pada pasien yang
menderita fraktur kompresi vertebra, akibat nyeri kronis,
perubahan bentuk tubuh, detorientasi dalam kemampuan untuk
merawat diri sendiri, dan akibat bedrest yang lama. Pasien yang
mengalami depresi biasanya yang mengalami lebih dari satu
fraktur dan akan menjadi cepat tua dan terisolasi secara sosial.8

26
2.5 Spondylosis

2.5.1 Defenisi Spondylosis

Proses degeneratif dari diskus dan 4 joint (2 facet joint dan

2 uncovertebra joint) Terbagi atas spondylosis cervical, spondylosis

thorakal, dan spondylosis lumbal.13

2.5.2 Epidemiologi Spondylosis

Insidens meningkat pada usia >40 tahun. Dengan angka

kejadian pada laki – laki lebih sering daripada perempuan. Lokasi

tersering mengenai C5 – C6 dan C6 – C7, vertebra thoracic,

lumbosacral dan lumbal.13

2.5.3 Patofisiologi Spondylosis

Proses Degenerative menyebabkan gangguan pada

keseimbangan sintesis dan katabolis dalam diskus. Terjadi 3 fase

menurut Kirkaldy-Willis: 1) Disfungsi, 2) Instabilitas, 3) re-

stabilisasi.14

a) Fase Disfungsi

Proses degenerasi pada diskus terjadi pertama sekali pada

nukleus, terbentuknya: Proteoglikans yang terdegradasi,

Fibronectin meningkat, ECM rusak dan kehilangan kemampuan

hidroskopik, dan Kandungan air pada diskus berkurang.14

b) Fase Instabilitas

27
Perubahan struktur kolagen membuat berkurangnya

kandungan air sehingga menjadi kaku dan gampang robek

menyebabkan fibrosus dan bulging disc dan membuat diskus

menipis.14

c) Fase Restabilisasi

Terjadi Penipisan diskus yang membuat Facet subluksasi

dan meningkatakkan stress pada faset joint sehingga terjadi

kerusakan pada articular cartilage yang lama-lama membuat

hiipertrofi facet dan membuat kapsul sendi menjadi laxity.14

Gambar 9. Fase spondylitis menurut Kirkaldy-Willis

2.5.4 Gambaran Radiologi Spondylosis

Pemeriksaan xray merupakan modalitas imaging pertama

yang direkomendasikan. Temuan radiologis yang biasa ditemukan

pada penyakit degenerasi diskus adalah penyempitan diskus,

sclerosis endplate, dan adanya osteofit.15

28
Gambar 10. Gambaran radiologi X-ray Spondylosis

Penyempitan intervertebral space dan pembentukan spur

formation pada anterior corpus vertebralis.16

29
BAB 3

DISKUSI

3.1 Resume klinis

Pasien an. Ny. WSA datang ke Poli Bedah Orthopedi Spine pada

tanggal 4 April 2019 dengan keluhan nyeri pada punggung. Nyeri dirasakan

bersifat ngilu dan keram terjadi secara terus menerus dan diperberat dengan

beraktivitas. Pasien datang dengan alat bantu kursi roda.

Dari hasil pemeriksaan fisis didapatkan pasien sakit sedang, gizi

baik, kesadaran compos mentis GCS 15 (E4M6V5). Tanda vital: tekanan

darah: 110/80 mmHg, nadi: 78 x/menit, suhu: 36°C, pernapasan: 18 x/menit,

skala nyeri: NRS 6. Dari inspeksi ditemukan deformitas region lumbosakral.

Pada pergerakkan ditemukan gerakan aktif dan pasif vertebra sulit

dievaluasi karena nyeri. Berdasarkan referensi yang ada, pada pemeriksaan

fisik untuk pasien-pasien dengan fraktur kompresi biasanya pada inspeksi

tampak deformitas berupa kyphosis yang berlebih. Data yang ditemukan

dari status pasien mendukung untuk penegaan diagnosis kearah lowback

pain, tetapi masih membutuhkan pemeriksaan diagnostik berupa melakukan

foto polos x-ray thoracolumbal dan lumbosakral, CT-Scan, dan MRI. Serta

diperlukan pemeriksaan penunjang lain untuk lebih mendukung diagnosis.

Anamnesis dan Pemeriksaan fisik belum mampu memastikan

diagnosis secara pasti mengenai penyebab utama dari lowback pain yang

dikeluhkan pasien sehingga, diusul untuk melakukan pengambilan foto

Radiologi dan Laboratorium. Untuk hasil pemeriksaan laboratotium sendiri

semua dalam keadaan normal kecuali pada White blood cell mengalami

30
peningkatan, sedangkan dari pemeriksaan radiologi pada foto thoracolumbal

AP/Lateral ditemukan kesan spondylolisthesis anterior, fraktur kompresi,

spondylosis, dan osteoporosis senilis.

Berdasarkan teori klasifikasi meyerding pada spondylolisthesis

dibagi menjadi 5 grade yaitu: 1) <25%, 2) 25 – 50%, 3) 50 – 75%, 4) 75 –

100%, dan 5) >100%. Untuk grade 1 dan 2 hanya dilakukan terapi

konservatif, dan grade 3 hingga 5 harus dilakukan terapi bedah. Tindakan

bedah juga dilakukan apabila terdapat gejala yang menetap dan terjadi

secara terus – menerus selama 6 bulan meski telah dilakukan terapi

konservatif. Sebelum dan setelah dilakukan tindakan, penting untuk

melakukan evaluasi dengan melakukan foto polos thoracolumbal dan

lumbosacral AP/Lateral.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Jong WD, Samsuhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC, 2005. Hal 870-
874

2. Andrew L Sherman, MD, MS; Chief Editor: Rene Cailliet, MD. Lumbar
Compression Fracture. (diakses tanggal 17 Juli 2014). Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/309615-overview

3. Rasjad, C. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi. Jakarta : PT. Yarsif


Watampone.

4. Young W. Spinal cord injury level and classification (serial online) 2000
(diakses 10 April 2012); Diunduh dari: URL:
http://www.neurosurgery.ufl.edu/Patients/fracture.shtml

5. Hanna J, Letizia M. Kyphoplasty: A treatment for osteoporotic vertebral


compression fractures. nursing journal center (serial online) 2007 (
diakses 10 April 2012); Dunduh dari: URL:
http://www.nursingcenter.com/library/journalarticle.asp?article_id=7558
99.

6. Pearce, Evelyn C., Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis, Jakarta : PT


Gramedia Pustaka Utama. 2006. Hal 89

7. Philips W. Ballinger, M.S., R.T.(R). (1995), Merrill’s Atlas of Radiographic


Positions and Radiologic Prosedures. Ohio : Mosby-Year Book.

8. Apley graham and Solomon Louis. 1995Ortopedi Fraktur System Apley; edisi
ketujuh. Jakarta: Widya medika.

9. Aron B, Walter CO. Vertebral compreesion fractures : treatment and


evaluation (serial online) 2006 ( diakses 10 April 2012); Diunduh dari:
URL: http://bjr.birjournals.org/cgi/reprint/75/891/207.pdf.

10. Wang R dan Ward MM. Arthritis of the Spine. Springer, 2015

32
11. Kenneth L, Bonthrager. Textbook of Radiographic Positioning and Related
Anatomy. 2001.

12. Bajpai. 1991. Osteologi Tubuh Manusia. Binarupa Aksara; Jakarta. De Wolf;
J.M.A. Mens. 1994

13. Solomon L, et al. Lumbar Spondylosis: In Apley and Solomon’s Concise


System of Orthopaedics and Trauma, 4th ed. UK: CRC Press. 2014: pp
238-239

14. Voorbies RM. Servikal Spnylosis: Recognition, Differential Diagnosis, and


Management. The Ocbsner Journal, 2001; 2:78-84

15. Herkowitz HN, Garfin SR, Eismont FJ, Bell GR, Balderston RA. 2011.
Rothman-Simeone The Spine 6th Edition Volume 1. Elsevier Saunders

16. Blom A, Warwick D, Whitehouse M. 2017. Apley and Solomon’s System of


Orthopaedics and Trauma 10th Edition. CRC Press Taylor & Francis
Group

33

Anda mungkin juga menyukai