Anda di halaman 1dari 21

BAGIAN ORTOPEDI DAN TRAUMATOLOGI CASE REPORT

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2016


UNIVERSITAS HASANUDDIN

CLOSED FRACTURE OF LEFT INTERTROCHANTER


FEMUR

OLEH :
Debby Christiana Soemitha

PEMBIMBING:
dr. Shandy L. Putra
dr. Handoko

SUPERVISOR:
dr. M. Ruksal Saleh, Ph.D, Sp.OT (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ORTOPEDI DAN TRAUMATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Debby Christiana S.


Judul laporan kasus : Closed Fracture of Left Intertrochanter Femur

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Ortopedi
dan Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Februari 2016

Mengetahui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

(dr. Shandy L.Putra) (dr. Handoko)

Supervisor,

dr. M. Ruksal Saleh, Ph.D, Sp.OT (K)

2
CASE REPORT

1. IDENTITAS
Nama : Mrs. P
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 73 tahun
No. Rekam Medik : 039291

2. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri pada pinggul kiri
Anamnesis Tambahan : Dialami sejak 1 minggu sebelum masuk Rumah
Sakit. Pasien tergelincir dirumah dikarnakan lantai licin, terjatuh dan pinggul
kiri membentur di lantai. Riwayat penurunan kesadaran tidak ada, muntah
tidak ada. Riwayat demam, kemerahan, nyeri tekan pada kaki tidak ada.
Riwayat batuk lama dengan pengobatan lebih dari 6 bulan tidak ada. Riwayat
penurunan berat badan tidak ada. Riwayat kelemahan pada kaki tidak ada.

3. PEMERIKSAAN FISIS
Status Generalis : Sakit sedang/Compos Mentis
Status Vitalis :
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Frekuensi Nadi : 84x/menit
Frekuensi Napas : 20x/menit
Suhu : 36,7oC

Status Lokalis
Regio Femur Sinistra
Inspeksi : deformitas (+), edema (-), hematom (-), luka (-)
Palpasi : nyeri tekan (+)

3
Pergerakan :Gerak aktif dan pasif left hip joint sulit dievaluasi karena
nyeri. Gerak aktif dan pasif lutut kiri sulit dievaluasi karena
nyeri
NVD : sensibilitas baik, pulsasi arteri dorsalis pedis dan arteri
tibia posterior teraba, CRT < 2 deti

R L

ALL 85 cm 84 cm

TLL 80 cm 79 cm

LLD 1 cm

4. FOTO KLINIS

Anterior View

Lateral view

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Radiologi

4
5
Foto Pelvis AP

Foto Femur Sinistra AP/Lateral

b. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Nilai normal

WBC 9,56 4,00-10,0

RBC 4,52 4,00-5,50

HGB 13,5 12,0-16,0

HCT 13,5 37,0-48,0

PLT 349 150-400

CT 8 4-10

BT 3 3-7

HbsAg Non Reactive Non Reactive

6. RESUME
Seorang perempuan , 73 tahun masuk Rumah Sakit dengan keluhan
nyeri pada pinggul kiri. Dialami sejak 1 minggu sebelum masuk Rumah
Sakit. Mekanisme trauma : pasien tergelincir dirumah dikarnakan lantai licin,
terjatuh dan pinggul kiri membentur di lantai. Riwayat penurunan kesadaran
tidak ada, muntah tidak ada. Riwayat demam, kemerahan, nyeri tekan pada
kaki tidak ada. Riwayat batuk lama dengan pengobatan lebih dari 6 bulan
tidak ada. Riwayat penurunan berat badan tidak ada. Riwayat kelemahan pada
kaki tidak ada.
Pada pemeriksan fisis, inspeksi diperoleh deformitas, dan eksternal
rotasi. Pada palpasi diperoleh nyeri tekan. Pada pemeriksaan neurovascular
distal diperoleh sensibilitas baik, pulsasi arteri dorsalis pedis dan arteri tibia
posterior teraba, CRT < 2 detik. Gerak aktif dan pasif left hip joint sulit
dinilai karena nyeri.
Pada pemeriksaan radiologi foto femur AP/lateral dan foto pelvis AP
didapatkan fraktur intertrokanter femur sinistra.

7. DIAGNOSA
Closed Fracture of Left Intertrochanter Femur

8. PENATALAKSANAAN

a. IVFD RL

b. Analgesik

c. Skin Traksi load 3 kg at rigth lower limb


d. Rencana ORIF DHS (Dynamic Hip Screw)

I. PENDAHULUAN
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang
rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun yang parsial. Berbagai penelitian
di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia menunjukkan bahwa resiko terjadinya
patah tulang tidak hanya ditentukan oleh densitas massa tulang, melainkan juga
oleh faktor-faktor lain yang berkaitan dengan kerapuhan fisik (frailty) dan
meningkatnya risiko untuk jatuh. Densitas massa tulang dan ayunan tubuh (sway),
keduanya, merupakan faktor prediktor untuk risiko terjadinya patah tulang yang
lebih tinggi.(1,2)
Fraktur patologik adalah fraktur yang terjadi pada tulang yang sebelumnya
telah mengalami proses patologik, misalnya tumor tulang primer atau sekunder,
mieloma multipel, kista tulang, osteomielitis, dan sebagainya. Trauma ringan saja
sudah dapat menimbulkan fraktur.(1)
Kebanyakan fraktur terjadi secara tiba-tiba dan trauma, yang terlalu
banyak mungkin terjadi secara direct atau indirect. Trauma langsung (direct)
menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah
tekanan, fraktur yang terjadi biasanya bersifat komunitif dan jaringan lunak ikut
mengalami kerusakan. Trauma tidak langsung (indirect) disebut trauma tidak
langsung apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah
fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada
klavikula, pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.(1,3)
Fraktur intertrokanter, secara definisi adalah fraktur ekstrakapsular. Seperti
halnya fraktur collumna femoris, merupakan hal yang umum pada usia lanjut,
penderita osteoporosis; sebagian besar penderita adalah wanita pada dekade
kedelapan. Namun, berbeda dengan fraktur intrakapsular, fraktur tulang trokanter
ekstrakapsular cukup mudah menyatu dan jarang menyebabkan nekrosis
avaskular.3
Fraktur intertrokanter terjadi di antara trokanter mayor dan trokanter minor
pada os. femur proksimal, kadang-kadang meluas ke daerah subtrokanter. Fraktur
ini merupakan fraktur ekstrakapsular yang terjadi pada tulang cancellous dengan
suplai darah yang melimpah. Sehingga, non union dan osteonekrosis bukan
masalah besar, seperti pada patah collumna femoris. Otot yang mengalami
kelainan biasanya akan menyebabkan shortening. 3

II. ANATOMI
Bagian-bagian khas dari tulang panjang terdiri dari 3 bagian: 5,6
a. Diafisis (batang) adalah bagian tengah tulang yang berbentuk silinder. Bagian
ini tersusun dari tulang kortikal yang memiliki kekuatan yang besar dan tebal,
penuh dengan sumsum tulang. Pada anak-anak sumsum merah mengisi
sebagian besar bagian dalam tulang panjang, tetapi kemudian diganti oleh
sumsum kuning sejalan dengan semakin dewasanya anak tersebut.Sumsum
kuning yang terdapat pada diafisis tulang orang dewasa, terutama terdiri dari
sel-sel.
b. Metafisis adalah bagian tulang yang melebar di dekat ujung akhir batang.
Daerah ini terutama disusun oleh tulang kanselus (tulang trabekular atau
tulang spongiosa) yang mengandung sel-sel hematopoetik. Pada orang
dewasa, aktifitas hematopoietik menjadi terbatas hanya pada sternum dan
krista iliaka, walaupun tulang-tulang yang lain masih berpotensi untuk aktif
lagi bila diperlukan. Metafisis juga menopang sendi dan menyediakan daerah
yang cukup luas untuk perlengketan tendon dan ligamen pada epifisis.
c. Epifisis adalah tulang akhir (biasanya artikular), bentuk dari pusat osifikasi
sekunder. Sumsum merah terdapat juga di bagian epifisis. Lempeng epifisis
adalah daerah pertumbuhan longitudinal pada anak-anak, dan bagian ini akan
hilang pada tulang dewasa. Bagian epifisis langsung berbatasan dengan sendi
tulang panjang yang bersatu dengan metafisis. Sehingga, pertumbuhan
memanjang tulang berhenti.

Gambar 1. Struktur Tulang6


Gambar 2. Tulang Femur6

Gambar 3. Tulang Femur dan Hip potongan lateral6


Gambar 4. Hip Ligament6

Gambar 5. Vaskularisasi pada proximal femur 6

Kaput femur mendapatkan aliran darah dari tiga sumber, yaitu: 1, 6

a. Pembuluh darah intramedular di dalam leher femur, arteri sirkumflex lateral


yang mensuplai daerah anterior, arteri sirkumflex medial yang mensuplai
daerah posterior.
b. Pembuluh darah servikal asendens dalam retinakulum kapsul sendi. Di
sepanjang extracapsularfemoral neck, merupakan percabangan dari
extracapsular ring. Di sepanjang intracapsular femoral neck, lanjutan
intracapsular pada arteri servikal untuk second intracapsular ring pada dasar
caput.
c. Pembuluh darah dari ligamentum teres (arteri teres kapitis). Melewati
ligamentum teres pada percabangan fovea interosseous terminal. Pada saat
terjadi fraktur pembuluh darah intramedular dan pembuluh darah retinakulum
selalu mengalami robekan, bila terjadi pergeseran fragmen. Fraktur
transervikal adalah fraktur yang bersifat intrakapsuler yang mempunyai
kapasitas yang sangat rendah dalam penyembuhan karena adanya kerusakan
pembuluh darah, periosteum yang rapuh serta hambatn dari cairan sinovia.1

III. ETIOLOGI
Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan
membengkok, memutar dan tarikan. Trauma dapat bersifat :3
a. Trauma langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi
fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat komunitif
dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
b. Trauma tidak langsung
Disebut trauma tidak langsung apabila trauma dihantarkan ke daerah yang
lebih jauh dari daerah fraktur, misalnya jatuh dengan tangan extensi dapat
menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini biasanya jaringan
lunak tetap utuh. Tekanan pada tulang dapat berupa:
Tekanan berputar yang dapat menyebabkan fraktur bersifat spiral atau
oblik
Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal
Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi,
dislokasi, atau fraktur dislokasi
Kompresi vertikal dapat menyebabkan fraktur komunitif atau memecah
misalnya pada bahan vertebra.
Trauma langsung disertai dengan resistensi pada satu jarak tertentu akan
menyebabkan fraktur oblik atau fraktur Z
Fraktur oleh karena remuk
Trauma karena tarikan pada ligamen atau tendo akan menarik sebagian
tulang.

III. EPIDEMIOLOGI

Insidensi fraktur intertrokanter hampir berjumlah 50% dari keseluruhan


fraktur pada femur proksimal. Usia rata-rata pasien yang mengalami fraktur ini
berkisar antara 66 hingga 76 tahun (usia penderita lebih muda dibandingkan
dengan pasien pada fraktur neck femur) dengan rasio perbandingan antara pria
dan wanita yaitu 2:1 hingga 8:1 yang kemungkinan disebabkan oleh adanya
perubahan metabolism tulang postmenopause.4

Di Amerika Serikat, setiap tahun, rata-rata angka kejadian fraktur


intertrokanter adalah sebanyak 63 per 100.000 angka kejadian pada wanita lanjut
usia dan 34 per 100.000 pada pria lanjut usia. Beberapa hal yang berhubungan
dengan fraktur intertrokanter antara lain usia lanjut, meningkatnya kebutuhan
akan bantuan orang lain dalam aktivitas sehari-hari, dan adanya riwayat
osteoporosis.4

IV. GAMBARAN KLINIS


Pasien biasanya berusia tua dan tidak dapat berdiri. Secara umum
memiliki gambaran klinis yang sama dengan fraktur collumna femoris, yaitu :
a. Pasien biasanya tidak dapat berjalan, tampak shortening (pemendekan) dan
rotasi eksternal ekstremitas bawah. Pasien juga mungkin tidak dapat
mengangkat tungkai bawahnya. Pasien dengan impact fracture atau stress
fracture mungkin saja tidak memiliki gambaran klinis yang khas, seperti nyeri
tekan kapsula anterior, nyeri saat kompresi, dan kurangnya deformitas, dan
mereka mungkin mampu menanggung berat badan.3,4
b. Terdapat nyeri pada pemeriksaan ROM sendi panggul, terdapat pula nyeri
pada kompresi dan nyeri tekan saat palpasi selangkangan. 4

V. KLASIFIKASI
Klasifikasi Evans
Klasifikasi ini didasarkan pada stabilitas sebelum dan sesudah reduksi, yaitu,
konvertibilitas konfigurasi fraktur yang tidak stabil ke reduksi yang stabil.
Dalam pola fraktur yang stabil, korteks posteromedial tetap utuh atau
memiliki kominutif minimal, sehingga memungkinkan untuk mendapatkan
dan mempertahankan reduksi.
Pola fraktur yang tidak stabil yang ditandai dengan fraktur kominutif lebih
besar dari korteks posteromedial. Meskipun secara inheren tidak stabil, patah
tulang ini dapat dikonversi ke posisi stabil jika oposisi kortikal medial
diperoleh.
Pola reverse obliquity secara inheren tidak stabil karena kecenderungan
perpindahan medial poros femoralis.
Penerapan sistem ini penting tidak hanya karena menekankan perbedaan
penting antara pola fraktur yang stabil dan tidak stabil, tetapi juga karena itu
membantu menentukan karakteristik reduksi.

Gambar 6
Klasifikasi Evans untuk fraktur intertrokanter. Pada pola fraktur yang stabil, korteks posteromedial
tetap stabil atau memiliki fraktur kominutif minimal yang membuat tipe fraktur ini untuk
mempertahankan reduksi. Pada pola faktur yang tidak stabil, sebaliknya, dikarakteristikkan dengan
adanya fraktur kuminutif pada korteks posteromedial. Pada fraktur reverse obliquity, termasuk
dalam tipe tidak stabil karena adanya kecenderungan untuk pergeseral caput femoris ke arah
medial.
Gambar 7
Klasifikasi Fraktur Intertrokanter. Tipe 1 hingga 4, semakin ke atas tipe fraktur ini, maka derajat
instabilitas dan kompleksitas frakturnya juga semakin meningkat. Tipe 1 dan 2 adalah yang
terbanyak (hampir 60%). Tipe reverse obliq digambarkan pada tipe 4; yang menyebabkan sulitnya
difiksasi.

Gambar 8
Klasifikasi Boyd-Griffin untuk Fraktur Intertrokanter. Fraktur ini berdasarkan terhadap terdapat
atau tidak terdapatnya fraktur kominutif dan keterlibatan regio subtrokanter.
Gambar 9
Klassifikasi AO Muller untuk fraktur proximal femur.

VI.

DIAGNOSIS
Diagnosis fraktur intertrokanter dapat ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang, dalam hal ini adalah pemeriksaan
radiologi.
a. Anamnesis
Pertama-tama klinisi dapat menanyakan usia penderita, selanjutnya
mekanisme terjadinya cedera, yaitu pada orang berusia muda, disebabkan oleh
adanya high-energy injury, misalnya oleh karena kecelakan lalu lintas, atau
jatuh dari ketinggian, sedangkan pada orang usia tua 90% diantaranya
disebabkan oleh jatuh. Kebanyakan fraktur intertrokanter disebabkan oleh
dampak langsung trauma di daerah trokanter. Dapat pula ditanyakan adanya
nyeri, kesulitan untuk berjalan. Selain itu dapat juga ditanyakan tentang
adanya faktor risiko, meliputi osteoporosis, riwayat fraktur panggul
sebelumnya, dan risiko jatuh.
b. Pemeriksaan Fisis
Pada inspeksi, pasien biasanya tidak dapat berjalan, tampak shortening
(pemendekan) dan rotasi eksternal ekstremitas bawah. Pada palpasi, terdapat
nyeri pada kompresi dan nyeri tekan saat palpasi selangkangan. Pemeriksaan
pergerakan, terdapat nyeri pada pemeriksaan ROM sendi panggul. Pasien
mungkin tidak dapat menggerakkan dan mengangkat tungkai bawahnya.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dalam hal ini meliputi :
1. Foto X-ray
Fraktur yang stabil dan tidak bergeser dapat tampak tidak lebih dari
sebuah garis retakan tipis sepanjang garis intertrokanter, tentu saja,
kadang-kadang terdapat keraguan apakah tulang tersebut benar-benar
patah sehinggan terkadang diagnosis harus dikonfirmasi dengan MRI.
Lebih sering, fraktur tersebut bergeser dan dapat dipertimbangkan
sebagai fraktur kominutif. Trokanter mayor dan minor dapat diidentifikasi
sebagai fragmen terpisah dan hal ini membutuhkan perhatian lebih.
Adapun posisi-posisi pengambilan gambar radiologi X-Ray dalam hal ini
adala sebagai berikut :
- Foto Pelvis anteroposterior (AP)
- Foto Femur anteroposterior (AP)/lateral
- Foto Hip anteroposterior (AP)/lateral
2. MRI atau bone scan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) saat ini merupakan alat pencitraan
pilihan dalam menemukan fraktur yang nondisplaced atau fraktur
tersembunyi pada X-Ray. Bone scan atau CT scan dapat digunakan untuk
pasien yang memiliki kontraindikasi untuk dilakukan MRI.

VII. PENATALAKSANAAN
Fraktur intertrokanter hampir selalu ditatalaksana dengan fiksasi internal
segera, bukan karena fraktur ini gagal menyatu dengan tatalaksana secara
konservatif, tetapi untuk memperoleh posisi yang terbaik dan agar pasien dapat
berjalan sesegera mungkin sehingga dapat mencegah komplikasi yang
berhubungan dengan tirah baring lama.

Non-Operatif
1. Hal ini diindikasikan untuk pasien yang berisiko tinggi untuk menjalani operasi
(tidak dapat menjalani anestesi), hal ini juga biasanya dipertimbangkan untuk
pasien rawat jalan dengan nyeri panggul ringan.
2. Fraktur nondisplaced (tidak bergeser) dapat dipertimbangkan untuk perawatan
secara non-operatif.
3. Mobilisasi pasien yang cepat penting untuk mencegah meningkatnya risiko dan
komplikasi akibat tirah baring yang lama, seperti atelektasis, stasis vena, dan
dekubitus.
Operatif

Tujuannya adalah untuk fiksasi internal stabil yang memungkinkan mobilisasi dini dan
agar pasien dapat segera berjalan. Stabilitas fiksasi raktur tergantung pada kualitas tulang,
pola fraktur, reduksi fraktur, model implant, dan penempatan implant.

1. Sling Hip Screw


- Teknik ini telah lama digunakan secara umum pada fraktur baik yang tidak
stabil maupun yang stabil. Alat ini tersedia dalam 2 sudut, yaitu 130 hingga
150 derajat.
- Aspek terpenting dalam memasang screw adalah (1) diletakkan dalam 1 cm
tulang subkondral untuk memeroleh fiksasi yang aman dan (2) dipasang
pada sentral caput femoris (Tip Apex Distance)
Gambar 9
Sling Hip Screw
- Jarak antara puncak dan dasar dapat digunakan untuk menentukan posisi lag
screw dalam caput femoris. Pengukuran ini digambarkan dalam millimeter,
adalah jumlah jarak dari puncak lag screw hingga ke dasar caput femoris
pada posisi AP dan lateral. Jumlah jarak sebaiknya <25 cm untuk mencegah
lag screw terpotong.

Gambar 10
Tip Apex Distance (TAP) diukur dalam millimeter, adalah jumlah antara jarak dari puncak
tip lag screw hingga apex caput femoris baik pada posisi AP dan lateral.
- Penelitian klinis dan biomekanik menunjukkan bahwa tidak ada keuntungan
menggunakan 4 di bandingkan 2 sekrup untuk stabilisasi plate.
- Saat operasi, operator harus bersiap untuk kemungkinan sisa, seperti varus
angulation, posterior sag, dan malrotasi
- Terdapat 4-12% kegagalan pada teknik ini, umumnya karena pola fraktur yang
tidak stabil
- Kebanyakan kegagalan fiksasi disebabkan oleh masalah teknis seperti
penempatan sekrup yang tidak memadai di fragmen fraktur pada saat
penyisipan sekrup.
- Secara klinis, terdapat pemendekan dan deformitas pada teknik ini dengan pola
fraktur yang tidak stabil.
2. Intramedullary Hip Screw Nail
- Impant ini mengkombinasikan antara SHS (Sliding Hip Srew) dan
intramedullary nail (IMN)
- Keuntungan teknis dan mekanik : Secara teknik, implant ini dapat diinsersikan
dengan cara tertutup dengan pajanan fraktur yang terbatas, menurunkan
jumlah kehilangan darah, dan hanya menimbulkan lebih sedikit kerusakan
jaringan dibandingkan dengan teknik SHS. Sebagai tambahan, alat ini
ditujukan untuk bengkokan yang lebih rendah dibandingkan dengan SHS
karena lokasinya yang interamedullar.

Gambar 10
Fraktur intertrokanter yang tidak stabil yang distabilisasi dengan cephalomedullary nail
- Menggunakan sektrp intramedular dapat mengurangi jumlah fraktur yang
kolaps, dibandingkan dengan SHS.
- Penggunaan teknik ini adalah cara yang paling efektif pada fraktur
intertrokanter dengan perluasan subtrokanter dan pada reverse obliquity
fracture.
3. Prosthetic Replacement
- Cara ini digunakan pada pasien yang mengalami kegagalan dengan ORIF dan
tidak dapat dilakukan fiksasi internal kembali.
- Hemiartroplasti calcar mungkin di butuhkan karena tingkatan fraktur
- Kerugiannya meliputi prosedur operasi yang lebih lama, dan adanya adanya
risiko dilokasi prostetik post operasi.
4. External Fixation
- Secara umum tidak dipertimbangkan sebagai terapi pada kasus fraktur
intertrokanter.
- Berhubungan dengan adanya komplikasi post operasi, seperti pin yang
melonggar, infeksi, dan kolaps varus.
Rehabilitation

Mobilisasi awal pasien dengan cara berjalan sangat diindikasikan.

VIII. KOMPLIKASI
1. Fiksasi yang gagal, dapat disebabkan oleh reduksi pada tulang yang
osteoporotik atau jika alat tidak difiksasi dengan baik. Jika proses union
tertunda, impant itu sendiri mungkan akan rusak. Fiksasi dan reduksi mungkin
harus dilakukan kembali.
2. Malunion. Varus dan eksternal rotasi adalah jenis deformitas yang umum
terjadi. Untungnya, hal tersebut jarang memberat dan jarang berhubungan
dengan fungsi.
3. Non union. Fraktur intertrokanter jarang gagal untuk menyatu kembali. Jika
proses penyembuhan tertunda (lebih dari 6 bulan), fraktur mungkin tidak akan
menyatu dan operasi kembali sebaiknya dipertimbangkan. Fragmen tulang
yang patah direposisikan dalam posisi seanatomis mungkin, alat fiksasi
dipasang seaman mungkin, dan cangkok tulang dipasang disekitar fraktur.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rasjad, Chairuddin. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Penerbit PT


Yarsif Watampone; 2006. p. 355-6, 398, 431-4.

2. Setiati S, Laksi P W. Gangguan Keseimbangan, Jatuh, dan Fraktur. In : Sudoyo A


W, Setiyohadi B, Alwi I, et.al, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Ed. 5.
Jakarta: InternaPublishing; 2009. p. 821-2

3. Solomon L, Warwick D, Nayagam S. Apleys System of Orthopaedics and


Fractures. 9th Ed. London: Hodder Arnold; 2010. p. 677, 847-852

4. Koval K J, Zuckerman J D. Handbook of Fractures. 3th Ed. Lippincott Willias &


Wilkins; 2006. p. 319-325

5. Carter M A. Anatomi dan Fisiologi Tulang dan Sendi. In : Price S A, Wilson L M,


editors. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed. 6. Jakarta :
EGC; 2003. p. 1358

6. Thompson J C. Netters Concise Orthopaedic Anatomy. 2nd Ed. New York:


Saunders; 2010. p. 2, 14-5, 251, 253, 255,274.

Anda mungkin juga menyukai