Anda di halaman 1dari 30

BAGIAN ORTHOPEDI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN APRIL 2019


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

CLOSED FRAKTUR FIBULA TIBIA

DISUSUN OLEH :
Pramuliansyah Haq
111 2017 2068

SUPERVISOR PEMBIMBING :
dr. Nur Nari, Sp.OT

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ORTHOPEDI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
“FRAKTUR TERTUTUP TIBIA ET FIBULA DEXTRA“

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen


Orthopedi
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Makassar

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal: Juni 2019

Dokter Pembimbing

dr. Nur Nasri, Sp.OT


BAB I
PENDAHULUAN

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa yang bisa menjadi komplit atau
inkomplit. Umumnya apabila rudapaksa yang mengenai tulang, tulang bisa bertahan
karena adanya sifat elastisitas dan kembali ke normal apabila rudapaksa dialihkan. Tetapi
apabila intensitas rudapaksa semakin kuat, elastisitas tulang tidak bisa menanggulangi
rudapaksa tersebut, maka tulang berubah bentuknya. Jika intensitas rudapaksa tinggi,
fraktur komplit bisa saja terjadi dan bisa cenderung ke arah fraktur murni. Rudapaksa
yang sering berulang akan mengakibatkan fraktur stress.
Fraktur atau patah tulang kebanyakan terjadi akibat trauma, beberapa fraktur terjadi
secara sekunder akibat proses penyakit osteoporosis yang menyebabkan fraktur-fraktur
yang patologis. Penyebab fraktur adalah trauma, yang di bagi atas trauma langsung,
trauma tidak langsung, dan trauma ringan. Trauma langsung yaitu benturan pada tulang,
biasanya penderita terjatuh dengan posisi miring dimana daerah trokhanter mayor
langsung terbentur dengan keras. Trauma tidak langsung yaitu titik tumpuan benturan dan
fraktur berjauhan, misalnya jatuh terpeleset di kamar mandi. Trauma ringan yaitu keadaan
yang dapat menyebabkan fraktur bila tulang itu sendiri sudah rapuh atau underlying
disease atau fraktur patologis.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan Penelitian
dan Pengembangan Depkes RI tahun 2007 di Indonesia terjadi kasus fraktur yang
disebabkan oleh cedera antara lain karena jatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma benda
tajam/tumpul. Dari 45.987 peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur sebanyak 1.775
orang (3,8%), dari 20.829 kasus kecelakaan lalu lintas, yang mengalami fraktur sebanyak
1.770 orang (8,5%), dari 14.127 trauma benda tajam/tumpul, yang mengalami fraktur
sebanyak 236 orang (1,7%).
Pada tahun 2011 terdapat lebih dari 5,6 juta orang meninggal karena insiden
kecelakaan dan sekitar 1,3 juta orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu
insiden kecelakaan yang memiliki prevalensi cukup tinggi yaitu insiden fraktur
ekstremitas bawah, sekitar 40% dari insiden kecelakaan yang terjadi. Fraktur tibia
dan fibula merupakan fraktur yang paling banyak dari fraktur tulang panjang.
Populasi rata-rata menunjukkan bahwa sekitar 26 % mengalami fraktur per
100.000 populasi per tahun..
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. E
Usia : 20 tahun
Status Perkawinan : Belum Menikah
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Makassar
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku Bangsa : Makassar
Tgl Masuk RS : 26 Mei 2019

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan nyeri pada tungkai kanan bawah.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien diantar keluarga ke IGD pada tanggal 26 Mei 2019
dengan keluhan nyeri pada tungkai kanan bawah. Pasien mengatakan
keluhan tersebut terjadi akibat kecelakaan saat mengendarai motornya.
Kecelakaan tersebut terjadi pada sore hari saat pasien menuju pulang
ke rumah. Pada saat itu pasien menabrak kendaraan lain (mobil) lalu
terjatuh dan kaki kanan tertimpa motor pasien. Setelah terjatuh pasien
masih dalam keadaan sadar dan langsung merasakan nyeri pada
tungkai kanan bawahnya.
Pasien masih dapat menggerakkan pergelangan dan semua jari –
jari pada tungkai kanan bawahnya. Kemerahan pada daerah tungkai
kanan bawahnya disangkal. Bengkak pada tungkai kanan bawah (+).
Adanya suara “krek” disangkal oleh pasien. Keluhan mual, muntah,
dan perdarahan disangkal.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
 R. Keluhan serupa : disangkal
 R.P trauma sebelumnya : disangkal
 R.P hipertensi : disangkal
 R.P DM : disangkal
 R.P batuk lama : disangkal
 R.P asma : disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga


 R. Keluhan serupa : disangkal
 R.P hipertensi : disangkal
 R.P DM : disangkal
 R.P batuk lama : disangkal
 R.P asma : disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Generalis
 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 Tanda Vital
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 95 kali/menit
Suhu : 36.7C
Pernapasan : 18 x/menit
Saturasi oksigen : 98 %

 Kepala
Tampak kepala mesochepal, rambut berwarna hitam dan putih, serta
tidak mudah dicabut.
 Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
 Hidung
Bentuk normal, sekret (-/-), nyeri tekan (-).
 Telinga
Bentuk normal, discharge (-/-).
 Mulut
Bibir tidak tampak kering, sianosis (-), lidah tidak ada kelainan, uvula
ditengah, faring tidak hiperemis, tonsil T1/T1.
 Leher
Benjolan di leher (-).
 Thorax
a. Paru
o Inspeksi : bentuk normal, simetris, otot bantu pernapasan (-)
o Palpasi : vocal fremitus sama kuat pada seluruh lapang
paru,
nyeri tekan (-/-), krepitasi (-)
o Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru
o Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
b. Jantung
o Inspeksi : pulsasi iktus kordis tidak tampak
o Palpasi : iktus kordis tidak teraba
o Perkusi :
- Batas kiri : ICS V, 1-2 cm ke medial linea midclavicula
sinistra
- Batas atas : ICS II, linea parasternal sinistra
- Batas kanan : ICS IV, linea sternalis dextra
- Batas pinggang : ICS III linea parasternal kiri
o Auskultasi : BJ I-II normal, suara tambahan (-)
 Abdomen
o Inspeksi : datar, pergerakan usus (-), sikatrik (-), massa (-)
o Auskultasi : bising usus (+) normal
o Palpasi : supel, massa(-), nyeri tekan (-), defans muskular(-)
hepar dan lien tidak teraba
o Perkusi : timpani, pekak alih (-)
 Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, oedem (-/-/+/-)
 Kulit : Tidak tampak kelainan
 Kelenjar Getah Bening inguinal tidak teraba membesar

B. Status Lokalis
a/r regio cruris dextra
Look
• Warna kulit : Sama seperti warna kulit sekitar, hematom (-)
• Deformitas : Bengkak pada bagian cruris dextra
• Luka : (-)
• Perdarahan : (-)
Feel
• Nyeri tekan : (+) di cruris inferior
• Sensibilitas : +/+ (masih baik)
• Suhu : tidak teraba hangat
• Krepitasi : tidak ada
• CRT : < 2 detik
Move
Gerak aktif dan pasif, ROM terbatas
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium tanggal 26 Mei 2019
Result Normal Range
WBC 8.4 K/uL 3.6 – 11.1
 Lym 1.7 K/uL 0.5 – 5.0
 Mid 0.6 K/Ul 0.1 – 1.5
 Gra 6.1 K/Ul 1.2 – 8.0
RBC 4.06 M/uL 3.90 – 5.50
HGB 11.6 g/dl 12.0 – 16.0
HCT 33.4 % 35.0 – 47.0
MCV 82.2 fl 80.0 – 100.0
MCH 28.6 pg 26.0 – 35.0
MCHC 34.8 g/dl 31.0 – 36.0
RDW 9.4 % 11.0 – 16.0
MPV 7.1 fl 8.0 – 11.0
PLT 414 K/Ul 150 – 440

2. Hasil rotgen regio cruris dextra AP/Lateral view


V. DIAGNOSIS
Close Fracture of Tibia Fibula Dextra

VI. PLANNING
1. Farmakologi
 IVFD RL 20 tpm
 Injeksi ketorolac 3x1
 Injeksi ranitidine 2x1
 Injeksi ceftriaxone 1 x 2 gr
2. Non Farmakologi
 Pre Operatif
- Puasa 6 jam
- Konsultasi spesialis Anestesi
- EKG
 ORIF Tibia

LAPORAN OPERASI
Operasi dilaksanakan pada tanggal 27 Mei 2019
Diagnosis Pre Operasi : Close Fracture of Tibia Fibula Dextra
Diagnosis Post Operasi : Close Fracture of Tibia Fibula Dextra
Jenis Anestesi : Spinal Anestesi
Tindakan Operasi : ORIF Tibia
Laporan Operasi :
 Pasien diposisikan supine
 Dilakukan anestesi
 Dilakukan asepsis antisepsis
 Dilakukan insisi pada tibia anterior
 Dilakukan reduksi pada fraktur
 Fiksasi dengan narrow plate
 Cuci luka, kontrol perdarahan
 Kompres luka dengan sterobec
 Dilakukan penjahitan
 Operasi selesai

INSTRUKSI PASCA BEDAH :


 Observasi KU, tanda vital, dan tanda-tanda perdarahan
 IVFD RL 15 tpm.
 Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr
 Inj. Ketorolac 3 x 1 amp
 Rontgen cruris AP / Lat

FOLLOW UP PASIEN POST OPERASI


S O A P
Tanggal 28 Mei 2019
Nyeri pada Tampak sakit ringan Post Op.  Observasi KU
luka bekas GCS : E4V5M6 Fraktur  Cek TTV
operasi Tanda Vital : tibia et
 TD : 160/80 fibula  Inf. RL 20 tpm
 N : 74x/ menit dextra  Inj. Ceftriaxon
 RR : 18x/ menit 2x1 gr IV
 S : 36,6o C  Inj. Ketorolac
 Sat O2 : 98% 2x1 amp IV

Status Lokalis
 Look : terdapat kassa
menutupi luka
operasi, rembes darah
(-),bengkak (-),
kemerahan (-)
 Feel : nyeri tekan (+),
sensibilitas baik,
krepitasi (-), CRT < 2
detik
 Move : ROM terbatas
(gerakan aktif dan
pasif), nyeri saat
digerak (+)
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi,
tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial akibat
rudapaksa (Rasjad, 2009).

3.2 ANATOMI
Tibia adalah tulang tubular panjang dangan penampang berbentuk
segitiga. Batas anteromedial dari tibia adalah jarungan subkutan dan
dikelilingi oleh empat buah fasia yang membentuk kompartemen (anterior,
lateral, superficial posterior dan deep posterior). Otot dari kompartemen
anterior adalah untuk dorsofleksi atau ekstensi ibu jari kaki. Sedangkan otot
dari kompartemen lateral, superficial posterior dan deep posterior fleksi
bagian plantar kaki (Thompson, 2010).
Fibula adalah tulang yang tipis pada bagian lateral tubuh dari tungkai
bawah. Ini bukan merupakan bagian dari artikulatio pada sendi lutut, tetapi
dibawah dari malleolus lateralis dari sendi pergelangan kaki. Ini bukan
merupakan bagian dari penopang berat tubuh, tetapi ini merupakan bagian
dari perlengketan otot. Fibula ini luas pada bagian proksimal, corpus dan
distal (Thompson, 2010).
Gambar 1
Anatomi tibia dan fibula
(b)

(a)

Gambar 2
Kompartemen dari tungkai bawah : (a) Anterior compartment; (b) Lateral compartment; (c)
Superficial posterior compartment; (d) Deep posterior compartment.
Arteri yang menutrisi tibia berasal dari arteri tibialis posterior, yang
memasuki korteks posterolateral distal sampai ke origin dari muskulus
soleus. Pada saat pembuluh darah memasuki kanalis intermedullaris, ia
terbagi menjadi tiga cabang asendens dan satu cabang desendens. Cabang-
cabang ini yang kemudian membentuk endosteal vascular tree, yang
beranastomose dengan arteri periosteal dari arteri tibialis posterior
(Thompson, 2010).
Arteri tibialis anterior bersifat rapuh terhadap trauma karena
perjalanannya yang melalui sebuah celah padah mebran interosseus
(Thompson, 2010).
Apabila arteri yang menutrisi mengalami ruptur akan terjadi aliran
melalui korterks, dan suplai darah periosteal akan menjadi lebih penting.
Hal ini menkankan pentingnya mempertahankan perlekatan periosteum
selama fiksasi (Thompson, 2010).
Fibula berperan sebesar 6%-17% dalam menopang berat badan. Pada
bagian leher fibula berjalan nervus peroneus komunis yang sangat dekat
dengan permukaan kulit. Hal ini menyebabkan nervus peroneus
komunisrentan terhadap trauma langsung pada daerah leher fibula
(Thompson, 2010).

3.3 EPIDEMIOLOGI
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat di tahun 2011 terdapat lebih
dari 5,6 juta orang meninggal karena insiden kecelakaan dan sekitar 1,3 juta
orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang
memiliki prevalensi cukup tinggi yaitu insiden fraktur ekstremitas bawah,
sekitar 40% dari insiden kecelakaan yang terjadi.
Fraktur tibia dan fibula merupakan fraktur yang paling banyak dari
fraktur tulang panjang. Populasi rata-rata menunjukkan bahwa sekitar 26 %
mengalami fraktur per 100.000 populasi per tahun.
3.4 ETIOLOGI
Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan
terutama tekanan membengkok, memutar dan tarikan. Trauma bisa bersifat
langsung dan tidak langsung (Rasjad, 2009).

Gambar 3
Beberapa pola fraktur dapat dijadikan sebagai patokan mekanisme penyebab: (a) pola spiral
(terputar); (b) pola obliq pendek (kompresi); (c) potongan segitiga ‘butterfly’ (tertarik) dan
(d) pola transversal (tertekan). Pola spiral dan beberapa obliq (panjang) seringkali terjadi
akibat kecelakaan energi rendah secara tidak langsung; pola tertarik dan transversal
disebabkan kecelakaan energy tinggi secara langsung (Nalyagam, 2010)

Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan


terjadi fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat
komunitif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan (Rasjad, 2009).
Disebut trauma tidak langsung apabila trauma dihantarkan ke daerah
yang lebih jauh dari daerah fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi
dapat menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini biasanya
jaringan lunak tetap utuh (Rasjad, 2009).
3.5 KLASIFIKASI
Secara umum fraktur diklasifikasikan berdasarkan etiologi, gambaran
klinis, dan radiologisnya (Rasjad, 2009).
A. Klasifikasi Etiologis
 Fraktur Traumatik: Terjadi karena trauma yang tiba-tiba
 Fraktur Patologis: Terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya
akibat kelainan patologis di dalam tulang
 Fraktur Stres: Terjadi karena adanya trauma yang terus menerus
pada suatu tempat tertentu
B. Klasifikasi Klinis
 Fraktur tertutup (simple/closed fracture)
Fraktur tertutup adalah suatu fraktur yang tidak mempunyai
hubungan dengan dunia luar
 Fraktur terbuka (compound/open fracture)
Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan
dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak
 Fraktur dengan komplikasi (complicated fracture)
Fraktur dengan komplikasi adalah fraktur yang disertai dengan
komplikasi misalnya malunion, delayed union, nonunion, infeksi
tulang

C. Klasifikasi Radiologis
Klasifikasi ini diklasifikasikan lagi berdasarkan atas:
1. Lokalisasi
 Diafisis
 Metafisis
 Intra artikuler
 Fraktur dengan dislokasi
Gambar 4
Fraktur berdasarkan lokasinya

2. Konfigurasi
 Fraktur transversal
 Fraktur oblik
 Fraktur spiral
 Fraktur komunitif, fraktur lebih dari dua fragmen
 Fraktur baji biasanya pada vertebra karena trauma kompresi
 Fraktur avulsi, fragmen kecil tertarik oleh otot atau tendon
 Fraktur depresi, karena trauma langsung misalnya pada
tengkorak

Gambar 5
Konfigurasi fraktur
3. Menurut ekstensi
 Fraktur total
 Fraktur tidak total (fraktur crack)
- Fraktur buckle atau torus, bila terjadi satu sisi tulang
melengkung, sehingga sedikit terjungkat tanpa mematahkan
sisi lainnya
- Fraktur garis rambut
- Fraktur green stick, bila satu sisi tulang patah, sedangkan
sisi lainnya membengkok

Gambar 6
Fraktur tidak total

4. Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnya


 Tidak bergeser (undisplaced)  garis patah komplit tetapi
kedua fragmen tidak bergeser. Periosteumnya masih utuh.
 Bergeser (displaced)  terjadi pergeseran fragmen-fragmen
fraktur yang juga disebut dislokasi fragmen. Dapat terjadi
dengan cara bersampingan, angulasi, rotasi, distraksi, over-
riding, dan impaksi.
Gambar 7
Pergeseran fraktur

3.6 PATOFISIOLOGI
Fraktur diafisis tibia dan fibula lebih sering ditemukan bersama-sama.
Fraktur dapat juga terjadi hanya pada tibia atau fibula saja. Fraktur diafisis
tibia dan fibula terjadi karena adanya trauma angulasi yang akan
menimbulkan fraktur tipe transversal atau obiik pendek, sedangkan trauma
rotasi akan menimbulkan fraktur tipe spiral. Fraktur tibia biasanya terjadi
pada batas antara 1/3 bagian tengah dan 1/3 bagian distal sedangkan fraktur
fibula pada batas 1/3 bagian tengah dengan 1/3 bagian proksimal, sehingga
fraktur tidak terjadi pada ketinggian yang sama. Tungkai bawah bagian
depan sangat sedikit ditutupi otot sehingga fraktur pada daerah tibia sering
bersifat terbuka (Rasjad, 2009).

3.7 MANIFESTASI KLINIS


Gejala klinis pasien dengan fraktur secara umum pasien biasanya
datang karena adanya nyeri, pembengkakan, gangguan fungsi anggota gerak
ataupun keterbatasan gerak, dan deformitas dengan atau tanpa riwayat
trauma (Rasjad, 2009).
3.8 DIAGNOSIS
A. Anamnesis
Biasanya pasien datang dengan suatu trauma (traumatik fraktur),
baik yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan
ketidakmampuan untuk menggunakan anggota gerak. Anamnesis
harus dilakukan dengan cermat, karena fraktur tidak selamanya terjadi
di daerah trauma dan mungkin fraktur terjadi pada daerah lain.
Trauma dapat terjadi karena kecelakaan lalu lintas, jatuh dari
ketinggian atau jatuh di kamar mandi pada orang tua, penganiayaan,
tertimpa benda berat, kecelakaan pada pekerja oleh karena mesin atau
karena trauma olah raga. Pasien biasanya datang karena adanya nyeri,
pembengkakan, gangguan fungsi anggota gerak, deformitas, kelainan
gerak, krepitasi, atau datang dengan gejala2 lain (Rasjad, 2009)..

B. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan awal pasien, perlu diperhatikan adanya (Rasjad,
2009):
1. Syok, anemia, atau perdarahan
2. Kerusakan pada organ lain misalnya otak, sumsum tulang belakang
atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen
2. Faktor predisposisi, misalnya pada fraktur patologis

Pemeriksaan lokal (Rasjad, 2009)


1. Look (lihat)
- Bandingkan dengan bagian yang sehat, perhatikan posisi
anggota gerak
- Perhatikan keadaan umum pasien secara keseluruhan, tanda-
tanda anemia karena perdarahan
- Apakah terdapat luka. pada kulit dan jaringan lunak untuk
membedakan fraktur tertutup atau terbuka
- Ekstravasasi darah subkutan daIam beberapa iam sampai
beberapa hari
- Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan
pemendekan
- Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada
organ-organ lain

2. Palpasi (feel)
dilakukan secara hati-hati oleh karena pasien biasanya mengeluh
sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
- Temperatur setempat yang meningkat
- Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya
disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat
fraktur pada tulang
- Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan
secara hati-hati
- Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma. pengisian
(Refilling) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal
daerah trauma, temperatur kulit.
- Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk
mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai
- Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara
sensoris dan motoris

3. Pergerakan (move)
Menggerakan secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari
daerah yang mengalami trauma. Pada pasien dengan fraktur, setiap
gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan
tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat
menyebabkan kerusakan pada Jaringan lunak seperti pembuluh
darah dan saraf
C. Pemeriksaan radiologis
1. Foto polos
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan,
lokasi serta ekstensi fraktur. Pemeriksaan radiologis dilakukan
dengan rule of two (Rasjad, 2009):
- Dua posisi, dilakukan sekurang kurangnya yaitu pada antero
posterior dan lateral
- Dua sendi
- Dua anggota gerak. Pada anak-anak sebaiknya dilakukan foto
pada ke dua anggota gerak terutama pada fraktur epifisis.
- Dua trauma. Pada trauma yang hebat sering menyebabkan
fraktur pada dua daerah tulang. Misalnya pada fraktur kalkaneus
atau femur, maka perlu dilakukan foto pada panggul dan tulang
belakang.
- Dua kali dilakukan foto. Pada fraktur tertentu misalnya fraktur
tulang skafoid foto pertama biasanya tidak jelas sehingga
biasanya diperlukan foto berikutnya 10 - 14 hari kemudian
2. Tomografi, misalnya pada fraktur vertebra atau kondilus tibia
3. CT scan
4. MRI
5. Radioisotop scanning

Umumnya dengan foto polos kita dapat mendiagnosis fraktur, tetapi


perlu dinyatakan apakah fraktur terbuka/tertutup, tulang mana yang terkena
dan lokalisasinya, apakah sendi juga mengalami fraktur serta bentuk fraktur
itu sendiri (Rasjad, 2009).
Konfigurasi fraktur dapat menentukan prognosis serta waktu
penyembuhan fraktur misalnya penyembuhan fraktur transversal lebih
lambat dari fraktur oblik karena kontak yang kurang (Rasjad, 2009).
3.9 TATALAKSANA
Pengobatan pada fraktur diafisis tibia dan fibula dapat dilakukan dengan
cara
1. Konservatif
Pengobatan standar dengan cara konservatif berupa reduksi fraktur
dengan manipulasi tertutup dengan pembiusan umum. Pemasangan
gips sirkuler untuk imobilisasi, dipasang sampai di atas lutut. Prinsip
reposisi (Rasjad, 2009):
 Fraktur tertutup
 Ada kontak 70% atau Iebih
 Tidak ada angulasi
 Tidak ada rotasi

Apabila ada angulasi, dapat dilakukan koreksi setelah 3 minggu


(union secara fibrosa). Pada fraktur oblik atau spiral imobilisasi
dengan gips biasanya sulit dipertahankan, sehingga mungkin
diperlukan tindakan operasi (Rasjad, 2009).

2. Operatif
Terapi Operatif dilakukan pada (Rasjad, 2009):
 Fraktur terbuka
 Kegagalan dalam terapi konservatif
 Fraktur tidak stabil
 Adanya nonunion

Metode pengobatan Operatif (Rasjad, 2009).:


 Pemasangan plate dan screw
 Nail intrameduler
 Pemasangan screw semata-mata
 Pemasangan fiksasi eksterna, diindikasikan bila:
- Fraktur tibia terbuka grade II dan Ill terutama apabila terdapat
kerusakan jaringan yang hebat atau hilangnya fragmen tulang
- Pseudoartrosis yang mengalami infeksi (infected
pseudoarthrosis)

Penyembuhan Fraktur
Proses penyembuhan fraktur pada tulang kortikal terdiri atas lima fase, yaitu
(Rasjad, 2009):
1. Fase hematoma
Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh
darah kecil yang melewati kanalikuli dalam sistem Haversian
mengalami robekan pada daerah fraktur dan akan membentuk
hematoma di antara kedua sisi fraktur. Hematoma yang besar diliputi
oleh periosteum. Periosteum akan terdorong dan dapat mengalami
robekan akibat tekanan hematoma yang terjadi sehingga dapat terjadi
ekstravasasi darah ke dalam jaringan lunak.
Osteosit dengan lakunanya yang terletak beberapa millimeter
dari fraktur akan kehilangan darah dan mati, yang akan menimbulkan
suatu cincin avaskuler tulang yang mati pada sisi fraktur segera
setelah trauma.
2. Fase proliferasi seluler subperiosteal dan endosteal
Pada saat ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai
suatu reaksi penyembuhan. Penyembuhan fraktur terjadi karena
adanya sel-sel osteogenik yang berproliferasi dari periosteum untuk
membentuk kalus eksterna serta pada daerah endosteum membentuk
kalus interna sebagai aktifitas seluler dalam kanalis medularis.
Apabila terjadi robekan yang hebat pada periosteum, maka
penyembuhan sel berasal dari diferensiasi sel-sel mesenkimal yang
tidak berdiferensiasi ke dalam jaringan lunak. Pada tahap awal dari
penyembuhan fraktur ini terjadi petambahan jumlah dari sel-sel
osteogenik yang member pertumbuhan yang cepat pada jaringan
osteogenik yang sifatnya lebih cepat dari tumor ganas. Jaringan seluler
tidak terbentuk dari organisasi pembekuan hematoma suatu daerah
fraktur. Setelah beberapa minggu, kalus dari fraktur akan membentuk
suatu massa yang meliputi jaringan osteogenik. Pada pemeriksaan
radiologis kalus belum mengandung tulang sehingga merupakan suatu
daerah radiolusen.
3. Fase pembentukan kalus (fase union secara klinis)
Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari
setiap fragmen sel dasar yang berasal dari osteoblas dan kemudian
pada kondroblas membentuk tulang rawan. Tempat osteoblas diduduki
oleh matriks interseluler kolagen dan perlekatan polisakarida oleh
garam-garam kalsium membentuk suatu tulang yang imatur. Bentuk
tulang ini disebut sebagai woven bone. Pada pemeriksaan radiologis
kalus atau woven bone sudah terlihat dan merupakan indikasi
radiologik pertama terjadinya penyembuhan fraktur.
4. Fase konsolidasi (fase union secara radiologik)
Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan-
lahan diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas
osteoblas yang menjadi struktur lamelar dan kelebihan kalus akan
diresorpsi secara bertahap.
5. Fase remodeling
Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru
membentuk bagian yang menyerupai bulbus yang meliputi tulang
tetapi tanpa kanalis medularis. Pada fase remodeling ini, perlahan-
lahan terjadi resorpsi secara osteoklastik dan tetap terjadi proses
osteoblastik pada tulang dan kalus eksternal secara perlahan-lahan
menghilang. Kalus intermediate berubah menjadi tulang yang kompak
dan berisi sistem Haversian dan kalus bagian dalam akan mengalami
peronggaan untuk membentuk ruang sumsum.
3.10 PROGNOSIS
Waktu penyembuhan fraktur bervariasi secara individual dan
berhubungan dengan beberapa factor penting pada pasien, seperti (Rasjad,
2009):
1. Usia,
Waktu penyembuhan tulang pada anak-anak jauh lebih cepat dari pada
orang dewasa karena aktifitas proses osteogenesis pada periosteum dan
endoosteum, dan Juga berhubungan dengan proses remodeling tulang
yang pada bayi sangat aktif dan makin berkurang apabila umur
bertambah.
2. Lokalisasi dan konfigurasi fraktur
Fraktur metafisisi pembuhannya lebih cepat daripada diafisis.
Disamping itu konfigurasi fraktur seperti fraktur transversal lebih
lambat penyembuhannya dibandingkan dengan fraktur oblik.
3. Pergeseran awal fraktur
Pada fraktur yang tidak bergeser dimana periosteum intak, maka
penyembuhannya dua kali lebih cepat dibandingkan pada fraktur yang
bergeser.
4. Vaskularisasi
Apabila kedua fragmen mempunyai vaskularisasi yang baik, maka
penyembuhan biasanya tanpa komplikasi.
5. Reduksi serta imobilisasi
Reposisi fraktur akan memberikan kemungkinan untuk vaskularisasi
yang lebih baik dalam bentuk asalnya. lmobilisasi yang sempurna akan
mencegah pergerakan dan kerusakan pembuluh darah yang akan
mengganggu dalam penyembuhan fraktur.
6. Infeksi
7. Cairan sinovia pada persendian, cairan sinovia merupakan hambatan
pada penyenbuhan fraktur
8. Gerakan aktif dan pasif anggota gerak akan meningkatkan vaskularisasi
daerah fraktur. Tetapi gerakan yang dilakukan pada daerah fraktur tanpa
imobilisasi yang baik juga akan mengganggu vaskularisasi.
Lokasi Fraktur Masa Penyembuhan
Phalang, metacarpal, metatarsal, costae 3 – 6 minggu
Distal radius 6 minggu
Diafisis ulna dan radius 12 minggu
Humerus 10 – 12 minggu
Clavicula 6 minggu
Panggul 10 – 12 minggu
Femur 12 – 16 minggu
Kondilus femur 8 – 10 minggu
Tibia / fibula 12 – 16 minggu
Vertebra 12 minggu

3.11 KOMPLIKASI
Fraktur diafisis tibia dan fibula dapat menyebabkan komplikasi seperti
(Rasjad, 2009).
1. Infeksi
2. Delayed union, adalah fraktur yang tidak sembuh setelah selang waktu
3 – 5 bulan (3 bulan untuk ekstremitas atas, dan 5 bulan untuk
ekstremitas bawah)
3. Nonunion, apabila fraktur tidak menyembuh antara 6 – 8 bulan dan
tidak didapatkan konsolidasi sehingga terdapat prseudoartrosis (sendi
palsu).
4. Kerusakan pembuluh darah (sindrom kompartemen anterior)
5. Trauma saraf pada nervus peroneal komunis
6. Gangguan pergerakan sendi pergelangan kaki. Gangguan ini biasanya
karena adhesi pada otot-otot tugkai bawah.
DAFTAR PUSTAKA

Carter Michel A., Fraktur dan Dislokasi dalam: Price Sylvia A, Wilson Lorraine
McCarty. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2006. Hal 1365-1371

Ekayuda Iwan, Trauma Skelet (Rudapaksa Skelet) dalam: Rasad Sjahriar,


Radiologi Diagnostik. Edisi kedua, cetakan ke-6. Penerbit Buku Balai
Penerbitan FKUI. Jakarta. 2009. Hal 31-43.

Goh Lesley A., Peh Wilfred C. G., Fraktur-klasifikasi,penyatuan, dan komplikasi


dalam : Corr Peter. Mengenali Pola Foto-Foto Diagnostik. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. 2011. Hal 112-121.

Nalyagam S. Principles of Fractures. In: Solomon L. Apley’s System of


Orthopaedics and Fractures. Ninth edition. UK: 2010. p. 687-693. p. 859-
60.

Patel Pradip R., Trauma Skeletal dalam: Patel Pradip R. Lecture Notes Radiologi.
Edisi kedua. Penerbit Buku Erlangga. Jakarta. 2005. Hal 221-230.

Rasjad Chairuddin, Struktur dan Fungsi Tulang dalam: Rasjad Chairuddin.


Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Cetakan keenam. Penerbit PT. Yarsif
Watampone. Jakarta. 2009.

Thompson, J. Thigh/Hip: Netter's Concise Orthopaedic Anatomy. 2th


Edition..Philadelphia: Saunders Elsevier. 2010.p. 250-3, 266-8.

Anda mungkin juga menyukai