DISUSUN OLEH :
Pramuliansyah Haq
111 2017 2068
SUPERVISOR PEMBIMBING :
dr. Nur Nari, Sp.OT
Dokter Pembimbing
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa yang bisa menjadi komplit atau
inkomplit. Umumnya apabila rudapaksa yang mengenai tulang, tulang bisa bertahan
karena adanya sifat elastisitas dan kembali ke normal apabila rudapaksa dialihkan. Tetapi
apabila intensitas rudapaksa semakin kuat, elastisitas tulang tidak bisa menanggulangi
rudapaksa tersebut, maka tulang berubah bentuknya. Jika intensitas rudapaksa tinggi,
fraktur komplit bisa saja terjadi dan bisa cenderung ke arah fraktur murni. Rudapaksa
yang sering berulang akan mengakibatkan fraktur stress.
Fraktur atau patah tulang kebanyakan terjadi akibat trauma, beberapa fraktur terjadi
secara sekunder akibat proses penyakit osteoporosis yang menyebabkan fraktur-fraktur
yang patologis. Penyebab fraktur adalah trauma, yang di bagi atas trauma langsung,
trauma tidak langsung, dan trauma ringan. Trauma langsung yaitu benturan pada tulang,
biasanya penderita terjatuh dengan posisi miring dimana daerah trokhanter mayor
langsung terbentur dengan keras. Trauma tidak langsung yaitu titik tumpuan benturan dan
fraktur berjauhan, misalnya jatuh terpeleset di kamar mandi. Trauma ringan yaitu keadaan
yang dapat menyebabkan fraktur bila tulang itu sendiri sudah rapuh atau underlying
disease atau fraktur patologis.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan Penelitian
dan Pengembangan Depkes RI tahun 2007 di Indonesia terjadi kasus fraktur yang
disebabkan oleh cedera antara lain karena jatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma benda
tajam/tumpul. Dari 45.987 peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur sebanyak 1.775
orang (3,8%), dari 20.829 kasus kecelakaan lalu lintas, yang mengalami fraktur sebanyak
1.770 orang (8,5%), dari 14.127 trauma benda tajam/tumpul, yang mengalami fraktur
sebanyak 236 orang (1,7%).
Pada tahun 2011 terdapat lebih dari 5,6 juta orang meninggal karena insiden
kecelakaan dan sekitar 1,3 juta orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu
insiden kecelakaan yang memiliki prevalensi cukup tinggi yaitu insiden fraktur
ekstremitas bawah, sekitar 40% dari insiden kecelakaan yang terjadi. Fraktur tibia
dan fibula merupakan fraktur yang paling banyak dari fraktur tulang panjang.
Populasi rata-rata menunjukkan bahwa sekitar 26 % mengalami fraktur per
100.000 populasi per tahun..
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. E
Usia : 20 tahun
Status Perkawinan : Belum Menikah
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Makassar
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku Bangsa : Makassar
Tgl Masuk RS : 26 Mei 2019
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan nyeri pada tungkai kanan bawah.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien diantar keluarga ke IGD pada tanggal 26 Mei 2019
dengan keluhan nyeri pada tungkai kanan bawah. Pasien mengatakan
keluhan tersebut terjadi akibat kecelakaan saat mengendarai motornya.
Kecelakaan tersebut terjadi pada sore hari saat pasien menuju pulang
ke rumah. Pada saat itu pasien menabrak kendaraan lain (mobil) lalu
terjatuh dan kaki kanan tertimpa motor pasien. Setelah terjatuh pasien
masih dalam keadaan sadar dan langsung merasakan nyeri pada
tungkai kanan bawahnya.
Pasien masih dapat menggerakkan pergelangan dan semua jari –
jari pada tungkai kanan bawahnya. Kemerahan pada daerah tungkai
kanan bawahnya disangkal. Bengkak pada tungkai kanan bawah (+).
Adanya suara “krek” disangkal oleh pasien. Keluhan mual, muntah,
dan perdarahan disangkal.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
R. Keluhan serupa : disangkal
R.P trauma sebelumnya : disangkal
R.P hipertensi : disangkal
R.P DM : disangkal
R.P batuk lama : disangkal
R.P asma : disangkal
Kepala
Tampak kepala mesochepal, rambut berwarna hitam dan putih, serta
tidak mudah dicabut.
Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
Hidung
Bentuk normal, sekret (-/-), nyeri tekan (-).
Telinga
Bentuk normal, discharge (-/-).
Mulut
Bibir tidak tampak kering, sianosis (-), lidah tidak ada kelainan, uvula
ditengah, faring tidak hiperemis, tonsil T1/T1.
Leher
Benjolan di leher (-).
Thorax
a. Paru
o Inspeksi : bentuk normal, simetris, otot bantu pernapasan (-)
o Palpasi : vocal fremitus sama kuat pada seluruh lapang
paru,
nyeri tekan (-/-), krepitasi (-)
o Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru
o Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
b. Jantung
o Inspeksi : pulsasi iktus kordis tidak tampak
o Palpasi : iktus kordis tidak teraba
o Perkusi :
- Batas kiri : ICS V, 1-2 cm ke medial linea midclavicula
sinistra
- Batas atas : ICS II, linea parasternal sinistra
- Batas kanan : ICS IV, linea sternalis dextra
- Batas pinggang : ICS III linea parasternal kiri
o Auskultasi : BJ I-II normal, suara tambahan (-)
Abdomen
o Inspeksi : datar, pergerakan usus (-), sikatrik (-), massa (-)
o Auskultasi : bising usus (+) normal
o Palpasi : supel, massa(-), nyeri tekan (-), defans muskular(-)
hepar dan lien tidak teraba
o Perkusi : timpani, pekak alih (-)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, oedem (-/-/+/-)
Kulit : Tidak tampak kelainan
Kelenjar Getah Bening inguinal tidak teraba membesar
B. Status Lokalis
a/r regio cruris dextra
Look
• Warna kulit : Sama seperti warna kulit sekitar, hematom (-)
• Deformitas : Bengkak pada bagian cruris dextra
• Luka : (-)
• Perdarahan : (-)
Feel
• Nyeri tekan : (+) di cruris inferior
• Sensibilitas : +/+ (masih baik)
• Suhu : tidak teraba hangat
• Krepitasi : tidak ada
• CRT : < 2 detik
Move
Gerak aktif dan pasif, ROM terbatas
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium tanggal 26 Mei 2019
Result Normal Range
WBC 8.4 K/uL 3.6 – 11.1
Lym 1.7 K/uL 0.5 – 5.0
Mid 0.6 K/Ul 0.1 – 1.5
Gra 6.1 K/Ul 1.2 – 8.0
RBC 4.06 M/uL 3.90 – 5.50
HGB 11.6 g/dl 12.0 – 16.0
HCT 33.4 % 35.0 – 47.0
MCV 82.2 fl 80.0 – 100.0
MCH 28.6 pg 26.0 – 35.0
MCHC 34.8 g/dl 31.0 – 36.0
RDW 9.4 % 11.0 – 16.0
MPV 7.1 fl 8.0 – 11.0
PLT 414 K/Ul 150 – 440
VI. PLANNING
1. Farmakologi
IVFD RL 20 tpm
Injeksi ketorolac 3x1
Injeksi ranitidine 2x1
Injeksi ceftriaxone 1 x 2 gr
2. Non Farmakologi
Pre Operatif
- Puasa 6 jam
- Konsultasi spesialis Anestesi
- EKG
ORIF Tibia
LAPORAN OPERASI
Operasi dilaksanakan pada tanggal 27 Mei 2019
Diagnosis Pre Operasi : Close Fracture of Tibia Fibula Dextra
Diagnosis Post Operasi : Close Fracture of Tibia Fibula Dextra
Jenis Anestesi : Spinal Anestesi
Tindakan Operasi : ORIF Tibia
Laporan Operasi :
Pasien diposisikan supine
Dilakukan anestesi
Dilakukan asepsis antisepsis
Dilakukan insisi pada tibia anterior
Dilakukan reduksi pada fraktur
Fiksasi dengan narrow plate
Cuci luka, kontrol perdarahan
Kompres luka dengan sterobec
Dilakukan penjahitan
Operasi selesai
Status Lokalis
Look : terdapat kassa
menutupi luka
operasi, rembes darah
(-),bengkak (-),
kemerahan (-)
Feel : nyeri tekan (+),
sensibilitas baik,
krepitasi (-), CRT < 2
detik
Move : ROM terbatas
(gerakan aktif dan
pasif), nyeri saat
digerak (+)
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 DEFINISI
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi,
tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial akibat
rudapaksa (Rasjad, 2009).
3.2 ANATOMI
Tibia adalah tulang tubular panjang dangan penampang berbentuk
segitiga. Batas anteromedial dari tibia adalah jarungan subkutan dan
dikelilingi oleh empat buah fasia yang membentuk kompartemen (anterior,
lateral, superficial posterior dan deep posterior). Otot dari kompartemen
anterior adalah untuk dorsofleksi atau ekstensi ibu jari kaki. Sedangkan otot
dari kompartemen lateral, superficial posterior dan deep posterior fleksi
bagian plantar kaki (Thompson, 2010).
Fibula adalah tulang yang tipis pada bagian lateral tubuh dari tungkai
bawah. Ini bukan merupakan bagian dari artikulatio pada sendi lutut, tetapi
dibawah dari malleolus lateralis dari sendi pergelangan kaki. Ini bukan
merupakan bagian dari penopang berat tubuh, tetapi ini merupakan bagian
dari perlengketan otot. Fibula ini luas pada bagian proksimal, corpus dan
distal (Thompson, 2010).
Gambar 1
Anatomi tibia dan fibula
(b)
(a)
Gambar 2
Kompartemen dari tungkai bawah : (a) Anterior compartment; (b) Lateral compartment; (c)
Superficial posterior compartment; (d) Deep posterior compartment.
Arteri yang menutrisi tibia berasal dari arteri tibialis posterior, yang
memasuki korteks posterolateral distal sampai ke origin dari muskulus
soleus. Pada saat pembuluh darah memasuki kanalis intermedullaris, ia
terbagi menjadi tiga cabang asendens dan satu cabang desendens. Cabang-
cabang ini yang kemudian membentuk endosteal vascular tree, yang
beranastomose dengan arteri periosteal dari arteri tibialis posterior
(Thompson, 2010).
Arteri tibialis anterior bersifat rapuh terhadap trauma karena
perjalanannya yang melalui sebuah celah padah mebran interosseus
(Thompson, 2010).
Apabila arteri yang menutrisi mengalami ruptur akan terjadi aliran
melalui korterks, dan suplai darah periosteal akan menjadi lebih penting.
Hal ini menkankan pentingnya mempertahankan perlekatan periosteum
selama fiksasi (Thompson, 2010).
Fibula berperan sebesar 6%-17% dalam menopang berat badan. Pada
bagian leher fibula berjalan nervus peroneus komunis yang sangat dekat
dengan permukaan kulit. Hal ini menyebabkan nervus peroneus
komunisrentan terhadap trauma langsung pada daerah leher fibula
(Thompson, 2010).
3.3 EPIDEMIOLOGI
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat di tahun 2011 terdapat lebih
dari 5,6 juta orang meninggal karena insiden kecelakaan dan sekitar 1,3 juta
orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang
memiliki prevalensi cukup tinggi yaitu insiden fraktur ekstremitas bawah,
sekitar 40% dari insiden kecelakaan yang terjadi.
Fraktur tibia dan fibula merupakan fraktur yang paling banyak dari
fraktur tulang panjang. Populasi rata-rata menunjukkan bahwa sekitar 26 %
mengalami fraktur per 100.000 populasi per tahun.
3.4 ETIOLOGI
Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan
terutama tekanan membengkok, memutar dan tarikan. Trauma bisa bersifat
langsung dan tidak langsung (Rasjad, 2009).
Gambar 3
Beberapa pola fraktur dapat dijadikan sebagai patokan mekanisme penyebab: (a) pola spiral
(terputar); (b) pola obliq pendek (kompresi); (c) potongan segitiga ‘butterfly’ (tertarik) dan
(d) pola transversal (tertekan). Pola spiral dan beberapa obliq (panjang) seringkali terjadi
akibat kecelakaan energi rendah secara tidak langsung; pola tertarik dan transversal
disebabkan kecelakaan energy tinggi secara langsung (Nalyagam, 2010)
C. Klasifikasi Radiologis
Klasifikasi ini diklasifikasikan lagi berdasarkan atas:
1. Lokalisasi
Diafisis
Metafisis
Intra artikuler
Fraktur dengan dislokasi
Gambar 4
Fraktur berdasarkan lokasinya
2. Konfigurasi
Fraktur transversal
Fraktur oblik
Fraktur spiral
Fraktur komunitif, fraktur lebih dari dua fragmen
Fraktur baji biasanya pada vertebra karena trauma kompresi
Fraktur avulsi, fragmen kecil tertarik oleh otot atau tendon
Fraktur depresi, karena trauma langsung misalnya pada
tengkorak
Gambar 5
Konfigurasi fraktur
3. Menurut ekstensi
Fraktur total
Fraktur tidak total (fraktur crack)
- Fraktur buckle atau torus, bila terjadi satu sisi tulang
melengkung, sehingga sedikit terjungkat tanpa mematahkan
sisi lainnya
- Fraktur garis rambut
- Fraktur green stick, bila satu sisi tulang patah, sedangkan
sisi lainnya membengkok
Gambar 6
Fraktur tidak total
3.6 PATOFISIOLOGI
Fraktur diafisis tibia dan fibula lebih sering ditemukan bersama-sama.
Fraktur dapat juga terjadi hanya pada tibia atau fibula saja. Fraktur diafisis
tibia dan fibula terjadi karena adanya trauma angulasi yang akan
menimbulkan fraktur tipe transversal atau obiik pendek, sedangkan trauma
rotasi akan menimbulkan fraktur tipe spiral. Fraktur tibia biasanya terjadi
pada batas antara 1/3 bagian tengah dan 1/3 bagian distal sedangkan fraktur
fibula pada batas 1/3 bagian tengah dengan 1/3 bagian proksimal, sehingga
fraktur tidak terjadi pada ketinggian yang sama. Tungkai bawah bagian
depan sangat sedikit ditutupi otot sehingga fraktur pada daerah tibia sering
bersifat terbuka (Rasjad, 2009).
B. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan awal pasien, perlu diperhatikan adanya (Rasjad,
2009):
1. Syok, anemia, atau perdarahan
2. Kerusakan pada organ lain misalnya otak, sumsum tulang belakang
atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen
2. Faktor predisposisi, misalnya pada fraktur patologis
2. Palpasi (feel)
dilakukan secara hati-hati oleh karena pasien biasanya mengeluh
sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
- Temperatur setempat yang meningkat
- Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya
disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat
fraktur pada tulang
- Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan
secara hati-hati
- Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma. pengisian
(Refilling) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal
daerah trauma, temperatur kulit.
- Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk
mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai
- Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara
sensoris dan motoris
3. Pergerakan (move)
Menggerakan secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari
daerah yang mengalami trauma. Pada pasien dengan fraktur, setiap
gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan
tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat
menyebabkan kerusakan pada Jaringan lunak seperti pembuluh
darah dan saraf
C. Pemeriksaan radiologis
1. Foto polos
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan,
lokasi serta ekstensi fraktur. Pemeriksaan radiologis dilakukan
dengan rule of two (Rasjad, 2009):
- Dua posisi, dilakukan sekurang kurangnya yaitu pada antero
posterior dan lateral
- Dua sendi
- Dua anggota gerak. Pada anak-anak sebaiknya dilakukan foto
pada ke dua anggota gerak terutama pada fraktur epifisis.
- Dua trauma. Pada trauma yang hebat sering menyebabkan
fraktur pada dua daerah tulang. Misalnya pada fraktur kalkaneus
atau femur, maka perlu dilakukan foto pada panggul dan tulang
belakang.
- Dua kali dilakukan foto. Pada fraktur tertentu misalnya fraktur
tulang skafoid foto pertama biasanya tidak jelas sehingga
biasanya diperlukan foto berikutnya 10 - 14 hari kemudian
2. Tomografi, misalnya pada fraktur vertebra atau kondilus tibia
3. CT scan
4. MRI
5. Radioisotop scanning
2. Operatif
Terapi Operatif dilakukan pada (Rasjad, 2009):
Fraktur terbuka
Kegagalan dalam terapi konservatif
Fraktur tidak stabil
Adanya nonunion
Penyembuhan Fraktur
Proses penyembuhan fraktur pada tulang kortikal terdiri atas lima fase, yaitu
(Rasjad, 2009):
1. Fase hematoma
Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh
darah kecil yang melewati kanalikuli dalam sistem Haversian
mengalami robekan pada daerah fraktur dan akan membentuk
hematoma di antara kedua sisi fraktur. Hematoma yang besar diliputi
oleh periosteum. Periosteum akan terdorong dan dapat mengalami
robekan akibat tekanan hematoma yang terjadi sehingga dapat terjadi
ekstravasasi darah ke dalam jaringan lunak.
Osteosit dengan lakunanya yang terletak beberapa millimeter
dari fraktur akan kehilangan darah dan mati, yang akan menimbulkan
suatu cincin avaskuler tulang yang mati pada sisi fraktur segera
setelah trauma.
2. Fase proliferasi seluler subperiosteal dan endosteal
Pada saat ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai
suatu reaksi penyembuhan. Penyembuhan fraktur terjadi karena
adanya sel-sel osteogenik yang berproliferasi dari periosteum untuk
membentuk kalus eksterna serta pada daerah endosteum membentuk
kalus interna sebagai aktifitas seluler dalam kanalis medularis.
Apabila terjadi robekan yang hebat pada periosteum, maka
penyembuhan sel berasal dari diferensiasi sel-sel mesenkimal yang
tidak berdiferensiasi ke dalam jaringan lunak. Pada tahap awal dari
penyembuhan fraktur ini terjadi petambahan jumlah dari sel-sel
osteogenik yang member pertumbuhan yang cepat pada jaringan
osteogenik yang sifatnya lebih cepat dari tumor ganas. Jaringan seluler
tidak terbentuk dari organisasi pembekuan hematoma suatu daerah
fraktur. Setelah beberapa minggu, kalus dari fraktur akan membentuk
suatu massa yang meliputi jaringan osteogenik. Pada pemeriksaan
radiologis kalus belum mengandung tulang sehingga merupakan suatu
daerah radiolusen.
3. Fase pembentukan kalus (fase union secara klinis)
Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari
setiap fragmen sel dasar yang berasal dari osteoblas dan kemudian
pada kondroblas membentuk tulang rawan. Tempat osteoblas diduduki
oleh matriks interseluler kolagen dan perlekatan polisakarida oleh
garam-garam kalsium membentuk suatu tulang yang imatur. Bentuk
tulang ini disebut sebagai woven bone. Pada pemeriksaan radiologis
kalus atau woven bone sudah terlihat dan merupakan indikasi
radiologik pertama terjadinya penyembuhan fraktur.
4. Fase konsolidasi (fase union secara radiologik)
Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan-
lahan diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas
osteoblas yang menjadi struktur lamelar dan kelebihan kalus akan
diresorpsi secara bertahap.
5. Fase remodeling
Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru
membentuk bagian yang menyerupai bulbus yang meliputi tulang
tetapi tanpa kanalis medularis. Pada fase remodeling ini, perlahan-
lahan terjadi resorpsi secara osteoklastik dan tetap terjadi proses
osteoblastik pada tulang dan kalus eksternal secara perlahan-lahan
menghilang. Kalus intermediate berubah menjadi tulang yang kompak
dan berisi sistem Haversian dan kalus bagian dalam akan mengalami
peronggaan untuk membentuk ruang sumsum.
3.10 PROGNOSIS
Waktu penyembuhan fraktur bervariasi secara individual dan
berhubungan dengan beberapa factor penting pada pasien, seperti (Rasjad,
2009):
1. Usia,
Waktu penyembuhan tulang pada anak-anak jauh lebih cepat dari pada
orang dewasa karena aktifitas proses osteogenesis pada periosteum dan
endoosteum, dan Juga berhubungan dengan proses remodeling tulang
yang pada bayi sangat aktif dan makin berkurang apabila umur
bertambah.
2. Lokalisasi dan konfigurasi fraktur
Fraktur metafisisi pembuhannya lebih cepat daripada diafisis.
Disamping itu konfigurasi fraktur seperti fraktur transversal lebih
lambat penyembuhannya dibandingkan dengan fraktur oblik.
3. Pergeseran awal fraktur
Pada fraktur yang tidak bergeser dimana periosteum intak, maka
penyembuhannya dua kali lebih cepat dibandingkan pada fraktur yang
bergeser.
4. Vaskularisasi
Apabila kedua fragmen mempunyai vaskularisasi yang baik, maka
penyembuhan biasanya tanpa komplikasi.
5. Reduksi serta imobilisasi
Reposisi fraktur akan memberikan kemungkinan untuk vaskularisasi
yang lebih baik dalam bentuk asalnya. lmobilisasi yang sempurna akan
mencegah pergerakan dan kerusakan pembuluh darah yang akan
mengganggu dalam penyembuhan fraktur.
6. Infeksi
7. Cairan sinovia pada persendian, cairan sinovia merupakan hambatan
pada penyenbuhan fraktur
8. Gerakan aktif dan pasif anggota gerak akan meningkatkan vaskularisasi
daerah fraktur. Tetapi gerakan yang dilakukan pada daerah fraktur tanpa
imobilisasi yang baik juga akan mengganggu vaskularisasi.
Lokasi Fraktur Masa Penyembuhan
Phalang, metacarpal, metatarsal, costae 3 – 6 minggu
Distal radius 6 minggu
Diafisis ulna dan radius 12 minggu
Humerus 10 – 12 minggu
Clavicula 6 minggu
Panggul 10 – 12 minggu
Femur 12 – 16 minggu
Kondilus femur 8 – 10 minggu
Tibia / fibula 12 – 16 minggu
Vertebra 12 minggu
3.11 KOMPLIKASI
Fraktur diafisis tibia dan fibula dapat menyebabkan komplikasi seperti
(Rasjad, 2009).
1. Infeksi
2. Delayed union, adalah fraktur yang tidak sembuh setelah selang waktu
3 – 5 bulan (3 bulan untuk ekstremitas atas, dan 5 bulan untuk
ekstremitas bawah)
3. Nonunion, apabila fraktur tidak menyembuh antara 6 – 8 bulan dan
tidak didapatkan konsolidasi sehingga terdapat prseudoartrosis (sendi
palsu).
4. Kerusakan pembuluh darah (sindrom kompartemen anterior)
5. Trauma saraf pada nervus peroneal komunis
6. Gangguan pergerakan sendi pergelangan kaki. Gangguan ini biasanya
karena adhesi pada otot-otot tugkai bawah.
DAFTAR PUSTAKA
Carter Michel A., Fraktur dan Dislokasi dalam: Price Sylvia A, Wilson Lorraine
McCarty. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2006. Hal 1365-1371
Patel Pradip R., Trauma Skeletal dalam: Patel Pradip R. Lecture Notes Radiologi.
Edisi kedua. Penerbit Buku Erlangga. Jakarta. 2005. Hal 221-230.