Fraktur Thoracolumbal
Oleh:
Muhamad Lutfi Rahmat
Pembimbing:
dr. Herman Gofara, Sp.OT(K)
ILUSTRASI KASUS
I. IDENTITAS
Nama Lengkap : Tn. MSA
NRM : 0015-52-24
Tanggal lahir/Umur : 14 April 1996 / 20 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Pekerjaan : TNI AL
Pendidikan : SLTA
Status Perkawinan : Belum Menikah
Alamat : Mess Yon 2 Marinir Cilandak Jakarta Selatan
Pembiayaan : BPJS
Tanggal Masuk : 18 April 2016
Tanggal Pemeriksaan : 3 Maret 2016
II. ANAMNESIS
(Autoanamnesis pada tanggal 4 Maret 2016)
Keluhan Utama
Pasien rujukan dari RS Marinir Cilandak, datang ke rumah sakit karena terjatuh
dari pohon kelapa dengan ketinggian kurang lebih 5 meter 2 hari SMRS.
2
pasien batuk atau bersin. Kaki pasien masih sulit untuk digerakkan, namun terasa lebih
ringan dibandingkan sebelumnya. Rasa baal pada punggung hingga kaki disangkal. Saat
ini pasien lepas dari kateter dan mengalami kesulitan untuk menahan buang air kecil.
Selain itu pasien juga mengalami kesulitan untuk merasa dan menahan buang air besar.
Demam disangkal.
Riwayat Sosial
Pasien bekerja sebagai anggota TNI AL. Riwayat merokok saat usia 16 hingga 18
tahun, dengan jumlah kurang lebih 5 batang/hari. Riwayat minum alkohol disangkal.
Secondary survey
Kulit : warna sawo matang, , turgor baik
Kepala : Tidak tampak deformitas
3
Mata : konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik -/-, RCL +/+, RCTL +/+
,Pupil
isokor, gerakan bola mata baik ke segala arah
Hidung : tidak ada ada deformitas, nyeri tekan negative, rhinorea(-)
Telinga : liang telinga lapang, tidak ada secret, otorea(-)
Tenggorokkan : arkus faring simetris, mukosa tidak hiperemis, tonsil T1/T1
Rongga mulut : mukosa basah
Leher : JVP 5-2 cmH2O, tidak teraba pembesaran KGB, trakea di tengah
Dada : bentuk dada normal
Paru
Inspeksi : simetris dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi : ekspansi dada simetris kanan-kiri, fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : suara nafas vesikular +/+, rhonki basah kasar -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di sela iga 5,1jari medial linea midklavikula kiri
Perkusi :
Batas jantung kanan : sela iga ke-5 linea para sternalis kanan
Batas jantung kiri : sela iga ke-5, 1 jari medial dari linea midklavikula
kiri
Pinggang jantung : sela iga ke-2 linea parasternalis kiri
Auskultasi : S I dan II normal, tidak terdapat murmur atau gallop
Abdomen
Inspeksi : datar, lemas
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan limfa tidak teraba.
Perkusi : timpani, tidak terdapat shifting dullness
Auskultasi : bising usus (+) normal
Ekstremitas :
4
akral hangat, CRT < 2 detik, tidak ada edema, KGB inguinal tidak teraba.
Straight leg test (+/+)
Tonus : eutoni pada keempat ekstremitas
Trofi : eutrofi pada keempat ekstremitas
Kekuatan Motorik :
5555 5555
3321 3321
Refleks fisiologis :
- Refleks bisceps 2+ / 2+
- Refleks triceps 2+ / 2+
- Refleks patella 2+ / 1+
- Refleks Achilles 1+ / 1+
Status Lokalis
Regio: Thoracolumbal
Look: Tampak kassa putih menutupi luka operasi, terpasang drain dengan perdarahan
minimal
Feel: Nyeri tekan pada daerah T11 – L2
Move: Gerakan dibatasi selama masa pemulihan.
5
IV. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium ( 21 April 2016)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan
Hb 14.3 14-16 g/dl
Ht 41 42-48 %
Eritrosit 4.52 4.6-6.2 106/ul
Trombosit 153 150-450 103/ul
Leukosit 9.900 5.000-1.000 /ul
BT 3’00’’ 1-3 Menit
CT 12’30’’ 3-15 menit
Ur 40 17-43 mg/dl
Cr 1.1 0.7-1.3 mg/dl
GDS 85 <200 mg/dL
6
X-ray Lumbosacral AP-Lateral (17 April 2016)
Besar, bentuk dan struktur travekula tulang pembentuk pelvis dalam batas normal
Sela sendi dan permukaan acetabulum dalam batas normal
Tidak tampak garis fraktur
Tidak tampak lesi litik maupun sklerotik
Kesan : Foto pelvis dalam batas normal
7
MRI Lumbal tanpa kontras (20 April 2016)
8
- Tidak tampak lesi patologis intrameduler
- MR myelogram : Tampak stenosis berat setinggi L1
- Kesan : Fraktur kompresi corpus anterior-medius L1 dengan pendesakan
thecal sac dan medulla spinalis yang menyebabkan edema medulla spinalis
setinggi L1.
9
X-ray Lumbosacral (28 April 2016)
- Tampak fraktur kompresi vertebra L1 dengan terpasang fiksasi interna plate and
screw pada posterior Th 11 – L3
V. Daftar Masalah
- Fraktur dislokasi lumbal 1 post op laminektomi, ORIF hari ke-7
- Anemia
VI. Tatalaksana
- Ciprofloxacin 2x500 mg
- Asam Mefenamant 3x500 mg
- Kalk tablet 1x1
- Neurodex tablet 2x1
- Cek DR ulang
- Fisioterapi (Mobilisasi Awal, Terapi Panas, TENS, Bladder training, Bowel
training)
- Penggunaan korset thoracolumbal
Follow Up (8 Mei 2016)
S : Saat ini nyeri yang dirasa pada punggung sudah berkurang, terkadang terasa tapi
ringan VAS 2. Selain nyeri di punggung pasien juga mengeluhkan nyeri pada area dekat
pantat, dikatakan ibu pasien muncul luka. Nyeri tidak terlalu hebat, VAS 2. Pasien
merasa kaki masih lemas, namun terasa lebih ringan dan kuat. Pasien belum bisa
mengontrol buang air besar dan buang air kecil. Demam disangkal.
10
O : CM, Tampak Sakit Ringan
T = 110/70 mmHg, N= 82x/menit, S= 36,20 C, P = 20x/menit
Kepala : Tidak tampak deformitas
Mata : Konjungtiva anemis ±/±, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5-2 cmH2O, tidak teraba
Paru : Bunyi nafas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung : Bunyi Jantung S I dan II normal, tidak terdapat murmur atau gallop
Abdomen : Datar, lemas, nyeri tekan (-), hepar dan limfa tidak teraba, bising usus (+)
Ekstremitas :
akral hangat, CRT < 2 detik, tidak ada edema, KGB inguinal tidak teraba.
Straight leg test (+/+)
Tonus : eutoni pada keempat ekstremitas
Trofi : terlihat sedikit atrofi pada kedua ekstremitas bawah.
Kekuatan Motorik :
5555 5555
4431 4421
Refleks fisiologis :
- Refleks bisceps 2+ / 2+
- Refleks triceps 2+ / 2+
- Refleks patella 2+ / 2+
- Refleks Achilles 1+ / 1+
Refleks Patologis : Babinski (-/-)
Status Lokalis
Regio: Thoracolumbal
Look: Tampak kassa putih menutupi luka operasi
Feel: Nyeri tekan minimal pada daerah T11-L2
Move: Gerakan dibatasi selama masa pemulihan.
11
Tampak ulkus berwarna kemerahan, pinggir berwarna keputihan, dasar lapisan dermis,
pus (-), jaringan nekrotik (+), palpasi nyeri tekan (+), berukuran 9x5x0.2 cm.
A:
- Fraktur Dislokasi Lumbal 1 post op laminektomi, ORIF hari ke-12
- Ulkus dekubitus grade II
P:
- Ciprofloxacin 2x500 mg
- Asam Mefenamant 3x500 mg
- Kalk tablet 1x1
- Neurodex tablet 2x1
- Fisioterapi (Mobilisasi Awal, Terapi Panas, TENS, Bladder training, Bowel
training)
- Penggunaan korset thoracolumbal
- Tatalaksana ulkus dekubitus :
o Edukasi untuk berpindah posisi setiap 2 jam
o Debridemen jaringan nekrotik
o Jaga kebersihan dan kelembapan (antibiotik topikal)
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kolom vertebra atau tulang belakang, membentuk 2/5 dari tinggi individu, kolom ini
terdiri dari sejumlah tulang yang disebut vertebra. Jumlah total dari vertebra pada
perkembangan awal adalah 33, namun seiring perkembangan beberapa vertebra pada
daerah sacrum dan coccygeal menyatu. Pada akhirnya, seorang individu dewasa pada
umumnya mempunyai 26 vertebra yang terbagi menjadi beberapa regio.1
13
Masing-masing vertebra pada regio tulang belakang yang berbeda mempunyai bentuk,
ukuran dan detail yang berbeda. Namun mempunyai cukup kesamaan dalam strukur,
vertebra pada umumnya terdiri dari badan, lengkung vertebra dan beberapa prosesus.1
Gambar 3. Lokasi dari Traktus Sensorik dan Motorik pada Medulla Spinalis
14
Tabel di bawah adalah deskripsi dan fungsi dari masing-masing traktus utama medulla
spinalis.
15
2.2 Trauma Pada Tulang Belakang
Trauma pada tulang belakang membawa ancaman pada dua hal, kerusakan pada
kolum vertebra dan kerusakan pada jaringan saraf. Walaupun kerusakan total dari trauma
dapat terlihat beberapa saat setelah kejadian, selalu ada ketakutan pergerakan tubuh dapat
menyebabkan atau memperbutuk lesi neurologis. Maka dari itu penting untuk menilai
apakah trauma stabil dan tidak stabil, dan selama belum ditetapkan stabil semua trauma
harus diperlakukan sebagai trauma tidak stabil.2
Yang dimaksud dengan trauma stabil adalah keadaan di mana komponen vertebra
tidak akan bergerak dengan pergerakan normal. Pada trauma stabil, apabila tidak terjadi
kerusakan saraf maka sedikit resiko akan terjadi kerusakan baru akibat pergerakan. Pada
trauma tidak stabil terdapat resiko signifikan pergeseran komponen vertebra dan kerusakan
neurologis akibat pergeseran tersebut.2
Untuk menilai kestabilan tulang belakang, tiga elemen struktural perlu dinilai:2
16
Semua fraktur yang melibatkan kolum tengah dan setidaknya satu kolum lainnya
harus diperlakukan sebagai trauma tidak stabil.2
17
2.2.3 Diagnosis Trauma Tulang Belakang
Anamnesis
Pada anamnesis trauma tulang belakang, derajat kecurigaan dan kewaspadaan patut
ditingkatkan. Tanda dan gejala pada pasien dapat minimal, sehingga pengambilan
anamnesis menjadi bagian penting. Setiap pasien dengan trauma tumpul di atas klavikula,
trauma kepala atau penurunan kesadaran harus dianggap mempunyai trauma servikal
hingga dapat dibuktikan sebaliknya. Setiap pasien dengan riwayat jatuh dari ketinggian
atau terlibat kecelakaan dengan deselerasi kecepatan tinggi harus dianggap mempunyai
trauma thoracolumbal. Pendekatan yang aman adalah memperhitungkan adanya trauma
kolom vertebra pada pasien dengan banyak trauma. Pada trauma yang tidak begitu hebat,
kecurigaan juga harus muncul apabila diikuti sakit pada leher, punggung atau terdapat
gejala neurologis pada ekstremitas.2
Pemeriksaan fisik
Dua area khusus yang harus diperhatikan adalah leher dan punggung.2
Leher
Bagian kepala dan wajah diinspeksi untuk menemukan apakah terdapat luka atau lebam
yang dapat mengindikasikan trauma tidak langsung pada tulang belakang servikal. Leher
diinspeksi untuk melihat apakah ada deformitas, lebam atau luka tembus. Tulang dan
jaringan lunak pada leher dipalpasi untuk mengetahui apakah terdapat nyeri, area yang
terasa lunak atau penambahan luas area antara prosessus spinosus yang dapat
mengindikasikan instabilitas akibat kegagalan kolom posterior. Selama pemeriksaan tulang
belakang cervikal tidak boleh bergerak, karena terdapat resiko kerusakan saraf pada
trauma tidak stabil.
Punggung
Pasien diperiksa dengan cara 'log-roll' untuk menghindari pergerakan pada kolom vertebra.
Bagian punggung diperiksa apakah terdapat deformitas, luka tembus, hematom atau lebam.
Tulang dan jaringan lunak dipalpasi, terutama untuk menilai area interspinosus.
Ditemukannya hematom atau suatu celah merupakan tanda instabilitas.
18
Pada pemeriksaan awal juga diperhatikan sekuens ABC dari Advanced Trauma
Life Support. Perlu diperhatikan tiga jenis shock yang dapat terjadi yaitu syok
hipovolemik, syok neurogenik dan syok spinal.2
Pemeriksaan neurologis
Pada setiap kasus, pemeriksaan neurologis lengkap perlu dilakukan. Setiap
dermatome, myotome dan refleks harus diuji. Fungsi dari kolum saraf longitudinal
diperiksa, seperti traktus kortikospinal (saraf posterolateral, kekuatan motorik ipsilateral),
traktus spinothalamik (saraf anterolateral, sensorik nyeri dan temperatur kontralateral), dan
kolum posterior (ipsilateral proprioseptif).2
Pada pasien dengan gangguan neurologis, sacral sparring harus diperiksa.
Preservasi dari fleksi aktif ibu jari kaki, jepitan sphincter ani aktif (pada pemeriksaan
rektal toucher) dan sensasi peri-anal yang utuh menunjukkan lesi yang parsial.2
Salah satu metode untuk menilai defisit fungsional setelah kerusakan medulla
spinalis adalah dengan menggunakan sistem penilaian Frankel:2
Grade A = Fungsi motorik dan sensorik tidak ada
Grade B = Terdapat sensasi, namun tidak ada kekuatan motorik
Grade C = Terdapat sensasi, terdapat kekuatan motorik namun tidak berguna untuk
kegiatan sehari-hari.
Grade D = Terdapat sensasi, terdapat kekuatan motorik dan dapat digunakan.
Grade E= Fungsi motorik dan sensotik yang normal.
Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis dari trauma
tulang belakang. Beberapa modalitas yang biasa digunakan adalah X-ray, CT scan ataupun
MRI.2
19
struktural, jarak antara diskus dan bayangan jaringan lunak. Perlu diperhatikan apakah
terdapa bukti retropulsi fragmen menujuk kanal spinal.
CT scan dan MRI
Pemeriksaan CT scans saat ini rutin digunakan pada banyak unit kecelakaan. Keuntungan
dari penggunaan CT scan adalah lebih terpercaya dalam menunjukkan kerusakan
sepanjang tulang belakang dan dapat memberikan pandangan aksial jika dibutuhkan. MRI
dibutuhkan terutama untuk menilai kerusakan neurologis atau kerusakan jaringan lunak
lainnya.
Imobilisasi
Semua pasien dengan kecurigaan trauma tulang belakang harus diimobiliasi pada
bagain atas dan bawah tempat trauma, hingga bisa dieksklusi oleh pemeriksaan rontgen.
Imobilisasi yang layak dicapai dengan pasien dalam posisi netral, terlentang tanpa rotasi
atau pembengkokan kolom tulang belakang. Imobilisasi dengan menggunakan semirigid
collar tidak menjanjikan stabilisasi komplit dari tulang belakang cervikal. Imobilisasi
menggunakan spine board dengan alat pemerkuat lainnya dapat secara efektif membatasi
pergerakan leher. Ekstensi dan fleksi dari leher harus dihindari, mengingat resiko pada
medulla spinalis. Patensi jalan nafas sangat penting untuk diperhatikan, intubasi dini harus
dilakukan bila terdapat gangguan pada nafas. Selama intubasi, leher dipertahankan pada
posisi netral. Pada pasien panik dan resah, penggunaan agen sedatif atau paralitik dapat
dipertimbangkan dalam mempertahankan imobilisasi yang adekuat.3
Ketika pasien sampai di unit gawat darurat, harus dilakukan usaha untuk
mengeluarkan spine board kaku demi mencegah terjadinya formasi ulkus dekubitus.
Pengeluaran spine board biasa dilakukan pada survei sekunder ketika log roll dilakukan
saat inspeksi dan palpasi punggung. Logroll pada pasien dengan trauma tidak stabil
membutuhkan perencanaan dan bantuan dari empat atau lebih individu.3
Cairan Intravena
20
Pada pasien dengan kecurigaan trauma tulang belakang, cairan intravena diberikan
dalam usaha untuk resusitasi pasien. Pada pasien dengan hipotensi persisten tanpa
perdarahan aktif, syok neurogenik harus dicurigai. Pasien dengan syok hipovelemik biasa
diikuti dengan takikardi, sedangkan pada syok neurogenik terjadi bradikardia. Tekanan
darah yang tidak membaik dengan fluid challenge, dapat menjadi indikasi untuk
penggunaan vasopressor. Pengunaan phenylephrine hydrochloride, dopamine dan
norepninephrine direkomendasikan. Pemberian cairan yang berlebih dapat menyebabkan
edema paru pada pasien dengan syok neurogenik. Ketika status cairan sulit untuk
ditentukan, dapat dilakukan monitoring invasif. Kateter urin digunakan untuk mengawasi
output urin dan mencegah distensi kandung kemih.3
Medikasi
Saat ini tidak terdapat bukti yang kuat dalam penggunaan rutin steroid dalam
trauma medulla spinalis.3
Transfer
Pasien dengan trauma tulang belakang atau defisit neurologis harus ditransfer ke
fasilitas yang bisa memberikan terapi definitif. Prosedur aman adalah perpindahan pasien
dilakukan setelah konsultasi telefon dengan spesialis tulang belakang. Hindari penundaan,
stabilisasi pasien dan gunakan splint, papan dan collar cervikal semirigid jika dibutuhkan.
Pada pasien dengan cedera di atas C6, perlu diperhatikan resiko gangguan fungsi
pernapasan. Jika terdapat kekhawatiran tentang ventilasi, pasien harus diintubasi sebelum
transfer.3
2.3.1 Patogenesis
21
Mekanisme patogenesis jatuh pada tiga kategori besar:2
Low-energy insufficiency fracture
Terjadi karena stress kompresi ringan pada tulang osteoporotik.
Minor fractures of the vertebral processes
Terjadi karena gaya kompresif, tensil atau strain torsional.
High-energy fractures atau fracture-disslocations
Terjadi karena trauma mayor yang melibatkan kecelakaan kendaraan, jaruh dari
ketinggian, kecelakaan olahraga dan lainnya. Pada umumnya group ini yang
memperlihatkan komplikasi neurologis.
22
Trauma minor pada daerah thoracolumbal meliputi fraktur pada prosesus
tranversus dan fraktur pada pars interarticularis. Kedua tipe ini seringkali sembuh secara
spontan dengan tatalaksana simptomatik dan pembatasan aktivitas.2
Terdapat beberapa tipe trauma mayor yang dapat terjadi pada daerah
thoracolumbal, beberapa di antaranya adalah:2,4
Trauma Fleksi-kompresi
Merupakan fraktur vertebra tersering dan disebabkan oleh fleksi hebat dari tulang
belakang. Pada individu dengan osteoporosis, fraktur dapat terjadi dengan trauma minimal.
Kompresi terbesar terjadi pada konkavitas kurva dan bagian anterior dari badan vertebra.
Ligamen longitudinal posterior tetap utuh dan satu atau lebih badan vertebra tertekan pada
bahian anterior, hasilnya adalah terjadi wedge compression fracture dengan impaksi
anterior. Rasa sakit dapat dirasa sangat hebat, namun fraktur tipe ini biasanya bersifat
stabil. Gangguan neurologis jarang ditemukan.2,4
Tatalaksana:2
- Pasien dengan wedging minimal dan fraktur stabil ditatalaksana dengan bed rest
selama satu atau dua minggu hingga rasa nyeri hilang, pasien kemudian mulai
mobilisasi, tidak ada support yang dibutuhkan.
- Pada pasien dengan wedging moderate (hilang 20-40% dari tinggi vertebra anterior)
dan fraktur stabil, dapat diperbolehkan berdiri setelah satu minggu menggunakan
korset thoracolumbar atau menggunakan body cast. Setelah 3 bulan dilakukan x-ray
ulang, jika tidak terdapat instabilitas korset bisa dilepas.
- Jika kehilangan tinggi vertebra lebih dari 40%, kemungkinan besar ligamen
posterior telah rusak akibat distraksi dan tidak bisa menahan penurunan dan
deformitas lebih lanjut. Pada pasien dengan fungsi neurologis yang utuh, koreksi
dengan pembedahan dan fiksasi internal merupakan terapi terpilih, namun begitu
pasien masih dapat ditatalaksana secara konservatif dengan pengawasan ketat pada
status neurologis.
- Pada pasien dengan gangguan neurologis, tatalaksana bergantung dengan tingkat
disfungsi dan resiko progresi. Jika kerusakan saraf bersifat inkomplit maka terdapat
potensial penyembuhan. Pada pasien ini peningkatan kifosis atau MRI menunjukkan
resiko kerusakan saraf lebih lanjut menjadi indikasi untuk operasi dekompresi dan
stabilisasi melalui pendekatan anterior.
23
Kompresi Aksial atau Burst Injury
Ketika tulang belakang relatif lurus (seperti jatuh dari ketinggian dan mendarat
dengan kaki), gaya kompresi terjadi secara vertikal dan haslnya adalah fraktur tipe burst
pada badan vertebra. Diskus intervertevralis didorong menuju tulang trabekular badan
vertebra, dan fragmen fraktur kominutif keluar ke semua arah. Pada tipe fraktur ini terjadi
kerusakan pada kolom anterior dan tengah vertebra. Bagian posterior dari badan vertebra
pada umumnya tidak rusak. Trauma jenis ini biasanya bersifat tidak stabil.2,4
Secara klinis gejala yang terjadi lebih hebat jika dibandingkan dengan fraktur
kompresi wedge. Anteroposterior x-ray dapat menunjukkan penyebaran badan vertebra
dengan peningkatan jarak interpedikular. Pergeseran posterior tulang ke spinal canal sulit
untuk dilihat pada x-ray biasa, CT scan dibutuhkan untuk pemeriksaan ini.2,4
Tatalaksana:2,4
Jika terdapat wedging anterior yang minimal, fraktur stabil tanpa kerusakan neurologis,
pasien diistirahatkan di tempat tidur hingga gejala akut hilang, kemudian dimobilisasi
menggunakan korset thoracolumbal selama kurang lebih 12 minggu. Pada kasus terlihat
retropulsi dari fragmen tulang menuju kanal spinal dan defisit neurologis, eksisi dari
fragmen dibtuhkan untuk dekompresi adekuat dari medulla spinalis. Timbulnya gejala
defisit neurologis baru juga dapat menunjukkan perlunya dilakukan dekompresi dan
stabilisasi.
Jack-knife injury
Kombinasi fleksi dan distraksi posterior dapat menyebabkan tulang belakang
lumbal tengah untuk melipat sekitar aksis yang terletak anterior dari kolom vertebra. Hal
ini terjadi terutama pada trauma tali pengaman, di mana badan terlempar ke depan tertahan
oleh tali pengaman. Hanya terdapat sedikit hingga tidak ada crushing pada badan vertebra,
namun kolom posterior dan tengah gagal karena distraksi. Maka dari itu fraktur ini tidak
stabil pada fleksi.2,4
Robekan lewat secara tranversal pada tulang, struktur ligamen atau keduanya.
Gangguan neurologis biasa ditemukan pada fraktur ini. X-ray dapat menunjukkan fraktur
horizontal pada pedikel atau prosesus tranversal. Pada proyeksi anteroposterior dapat
terlihat peningkatan tinggi badan vertebra, dan pada proyeksi lateral dapat terlihat
pembukaan ruang diskus posterior.2,4
24
Tatalaksana:
Pada fraktur yang hanya melibatkan tulang, penyembuhan terjadi secara cepat dan
membutuhkan penggunaan body cast atau korset selama tiga bulan. Trauma ligamen yang
berat lebih tidak diprediksi dan fusi dari tulang belakang posterior disarankan untuk
dilakukan.
Fraktur-dislokasi
Pergerseran segmental dapat terjadi dengan berbagai kombinasi dari fleksi,
kompresi, rotasi dan sheat. Ketiga kolom terganggu dan tulang belakang sangat tidak
stabil. Tipe trauma ini seringkali terjadi pada persimpangan thoracolumbal. Trauma seperti
ini merupakan jenis paling berbahya dan sering diasosiasikan dengan kerusakan neurologis
pada saraf bagian bawah gingga kauda ekuina. Gejala klinis dapat menunjukkan syok
akibat hebatnya trauma. Pemeriksaan neurologis lengkap sangat dibutuhkan dan harus
diulang pada hari-hari awal untuk mendeteksi perubahan neurologis.2,4
X-ray dapat menunjukkan fraktur ke seluruh badan vertebral, pedikel, prosessus
artikularis dan lamina. Seringkali terdapat fratur juga pada prosesus tranversal atau iga. CT
scan dapat menunjukkan derajat oklusi kanal.2,4
Tatalaksana:2,4
- Pada pasien tanpa paraplegia, fraktur dislokasi harus direduksi secara hati-hati dan
tulang belakang distabilisasi untuk mencegah kerusakan neurologis lebih lanjut.
Reduksi terbuka, fiksasi internal kaku dan penambahan dari bone graft
diindikasikan.
- Pada pasien dengan paraplegia, tatalaksana pada paraplegia harus didahulukan
daripada tatalaksana dari fraktur-dislokasi. Namun reduksi terbuka awal, fiksasi
internal kaku (termasuk penggunaan pedicle screw) dan bone graft mengurangi
resiko terjadinya kerusakan tambahan pada akar saraf yang masih baik. Tatalaksana
seperti ini juga mempermudah perawatan, mengurangi insiden ulkus dekubitus dan
fase rehabilitasi dapat berjalan lebih efektif.
25
Gambar 4. Tipe Trauma Thoracolumbal
2.4 Rehabilitasi
Fraktur vertebra pada umumnya mempunyai penyembuhan yang baik, manajemen
rehabilitasi terutama bertujuan untuk mengontrol rasa sakit, istirahat adekuat, imobilisasi
pada area fraktur dan mobilisasi bertahap.5
Manajemen nyeri pada pasien fraktur vertebra meliputi tatalaksana farmakoterapi
dan non-farmakoterapi. Tatalaksana farmakoterapi pada kejadian akut meliputi kodein,
morfin dan analgesik narkotik lainnya. Setelah 1 hingga 2 minggu, agen analgesik lainnya
seperti NSAID dan aceteminophen dapat digunakan bersamaan sebagai adjuvan dalam
manajemen nyeri. Tatalaksana non-farmakoterapi untuk mengontrol nyeri dapat berupa
istirahat, penggunaan orthosis, terapi panas, terapi es, transcutaneus electrical nerve
stimulation (TENS) dan akupunktur. Aktivitas yang menyebabkan rasa nyeri harus
dihindari. Pada fase awal bed-rest, penggunaan laksatif dapat mengurangi hambatan ketika
defekasi.5
Dengan inisasi dari bed rest, harus direncanakan proram aktivitas yang progresif.
Program ini dijalankan dengan pengawasan dari fisoterapis. Dimulai dari aktivitas pada
tempat tidur, berlanjut pada duduk di tempat tidur, duduk di samping tempat tidur hingga
ambulansi yang progresif. Pengurangan stress dengan mekanik tubuh yang benar sangat
diajurkan, hal ini juga dapat dibantu dengan penggunaan orthosis.2,5
Pada pasien dengan gangguan neurologis, gerakan aktif maupun pasif dari otot
diindikasikan untuk mencegah terjadinya kontraktur. Selain itu pada pasien dengan
inkontinensia urin diperlukan bladder training, diikuti juga latihan yang menguatkan otot
dasar panggul. Pada inkontinensia alvi, pelatihan dibantu dengan enema, aperient dan
olahraga abdominal.2
26
Pada kulit dengan gangguan sensorik atau bed rest total, ulkus dekubitus dapat
muncul, bahkan dalam waktu beberapa jam. Hal ini dapat dihindari dengan perawatan
yang adekuat. Pada tempat tidur tidak boleh ada lipatan atau remah. Setiap dua jam, pasien
dimiringkan ke kiri dan kanan. Kebersihan pada area punggung harus dijaga.2
27
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
Dari anamnesis didapatkan pasien datang dengan riwayat jatuh dari ketinggian
kurang lebih lima meter. Pasien kemudian mendarat pada kaki kiri dan jatuh terduduk.
Berdasarkan keterangan dan mekanisme jatuh, kita dapat memperkirakan terjadi kompresi
aksial yang cukup tinggi pada tulang belakang. Setiap pasien dengan riwayat jatuh dari
ketinggian, trauma tulang belakang terutama trauma pada area thoracolumbal harus
dicurigai.
Setelah jatuh pasien merasakan nyeri yang sangat hebat, dan terdapat gejala defisit
neurologis berupa kaki yang sulit digerakkan. Dengan adanya defisit neurologis
tatalaksana awal pasien harus dilakukan dengan hati-hati, dengan kecurigaan trauma tulang
belakang pada pasien merupakan trauma tulang belakang tidak stabil sampai dibuktikan
sebaliknya dengan pemeriksaan radiologis.
Berdasarkan pemeriksaan radiologi (X-Ray dan MRI) didapatkan fraktur kompresi pada
korpus anterior-medius L1 dengan pendesakan thecal sac dan medula spinalis.
Berdasarkan pemeriksaan ini didapatkan diagnosis burst fracture lumbal 1, dengan frankel
grading C. Selain itu dengan adanya keterlibatan kolom tengah, trauma pada pasien
merupakan trauma tidak stabil. Pada pasien kemudian direncanakan untuk menjalani
operasi dekompresi dan stabilisasi, sebagai tatalaksana definitif dan mencegah kerusakan
lebih lanjut.
Pada saat operasi, selain keterlibatan kolom anterior dan tengah, ditemukan pula ruptur
pada ligamentum interspinosum. Hal ini menunjukkan kerusakan terjadi pada ketiga kolom
vertebra, sehingga pada pasien sudah terjadi fraktur dislokasi. Pada pasien dilakukan
laminektomi total pada L1 kiri dan kanan, selain itu juga dilakukan stabiliasi dengan spinal
fusion Thoraka X11 hingga L2 dengan menggunakan pedicle screw dan bone graft.
Pada saat ini nyeri yang dirasa pada pasien sudah jauh berkurang, sehingga nyeri bisa
dikontrol dengan NSAID berupa asam mefenamat. Obat lain yang diberikan berupa
neurodex dan kalk tablet sebagai suplemen. Imobilisasi area fraktur dilakukan dengan
penggunaan korset thoracolumbal. Pemeriksaan fisik menunjukkan terdapat peningkatan
dari kekuatan motorik, namun kekuatan pada jari kaki dan pergelangan kaki masih lemah.
Kekuatan motorik pada area ini terutama berasal dari myotome yang diinervasi oleh saraf
28
yang berasal dari L5/S1. Pemeriksaan MRI awal tidak menunjukkan kerusakan pada area
ini, namun jika keluhan terus berlanjut setelah fisioterapi perlu dilakukan pemeriksaan
tambahan.
Saat ini pasien menjalani fisioterapi untuk mengontrol rasa nyeri (terapi panas dan
TENS), dan mobilisasi bertahap. Pasien juga perlu melakukan bladder dan bowel training,
untuk mengatasi inkotinensia urin dan inkotinensia alvi. Pelatihan otot, seperti otot dasar
panggul untuk inkotinensia urin dan otot abdominal untuk inkontensia alvi juga dapat
membantu. Pada pasien ditemukan ulkus dekubitus grade II akibat bed rest total, untuk
mengatasinya pasien diedukasi untuk berpindah posisi setiap 2 jam dan dilakukan tindakan
debridement dan pemberian salep untuk menjaga kelembapan.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Tortorra GJ, Derrickson BH. Principles of Anatomy and Physiology Vol 1. 12th ed.
Asia : John Wiley & Sons. 2009.
2. Solomon L. Warwick D. Nayagam S. Apley’s System of Orthopaedics and
Fractures. 9th ed. London: Hodder Arnold; 2010.
3. Advanced trauma life support for doctors. American college of surgeons committee
on truma, student course manual. Ed. 9th. USA. 2013
4. Salter RB. Textbook of Disorders and Injuries of the Muskulosceletal System. 3rd
ed. Pennsylvania: Lippincott Williams & Wilkins; 1999.
5. Delisa JE, Gans BM, Walsh NE, et al. Physical Medicine & Rehabilitation :
Principles and Practice. 4th ed. USA : Lippincott Williams & Wilkins. 2005
30