Anda di halaman 1dari 24

REFERENSI ARTIKEL

KANKER KEPALA LEHER

Oleh:
Maulana Firdaus Syahrizal (G992102092)
Atika Sri Raharjani (G992008013)
Monika Tessalonika H. M. P. (G992108044)
Hana Ayu Shafira (G992102029)

Periode : 8 – 14 Oktober 2021

Pembimbing:
dr. Henky Agung Nugroho, Sp.B(K)Onk

KEPANITERAAN KLINIK/PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU BEDAH ONKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Referensi artikel ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Bedah Orthopaedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret/RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Referensi artikel ini dengan judul:

KANKER KEPALA LEHER

Hari, tanggal: Jumat, 12 November 2021

Oleh:
Maulana Firdaus Syahrizal G992102092
Atika Sri Raharjani G992008013
Monika Tessalonika H. M. P. G992108044
Hana Ayu Shafira G992102029

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Presentasi Kasus

dr. Henky Agung, Sp.B(K)Onk

1
KANKER KEPALA DAN LEHER

A. DEFINISI
Kanker kepala dan leher adalah jenis malignansi epitel dari saluran napas
dan pencernaan bagian atas (Upper Aerodigestive Tract). Sehingga kanker
jenis ini menyerang pada bibir, rongga mulut, hidung, faring, laring, dan sinus
paranasal (Cognetti, Weber dan Lai, 2008). Sebagian kanker menyerang pada
permukaan epitel skuamosa yang melingkupi bagian-bagian tersebut sehingga
disebut sebagai karsinoma sel skuamosa (SCC) dan sebagian yang lain dapat
menyerang pada sel-sel glandula dan biasa disebut dengan adenocarcinoma
(Taylor, 2011; Hashim dan Boffetta, 2020).
Terjadinya kanker kepala leher yang menyerang pada epitel skuamosa
merupakan hasil dari interaksi faktor lingkungan dan genetik, sehingga dapat
disebut bahwasanya penyebab dari kanker ini bersifat multifaktorial. Namun,
merokok dan konsumsi alkohol merupakan faktor risiko yang cukup
berpengaruh pada perkembangan penyakit ini (Taylor, 2011).

B. EPIDEMIOLOGI
Kanker kepala dan leher merupakan jenis kanker yang paling sering
dialami oleh penduduk dunia dan berada pada urutan keenam (Cognetti,
Weber and Lai, 2008). Setiap tahun diperkirakan terdapat 560,000 kasus di
seluruh dunia dan 300,000 pasien diantaranya meninggal dunia. Laju insidensi
kasus ini pada pria dua kali lipat dibanding dengan wanita dengan usia paruh
baya. Selain itu, kanker ini juga diderita oleh kelompok masyarakat dengan
status pendidikan dan status sosial ekonomi yang rendah (Syah et al., 2016).
Peningkatan kasus kanker kepala leher terjadi pada lidah dan tonsil
(Taylor, 2011). Namun, dalam penelitian yang dilakukan di negara Brazil
disebutkan bahwa lokasi tersering terjadinya jenis kanker ini ada pada rongga
mulut (35,37%). Jenis histologis yang paling sering dari kanker kepala leher

2
adalah karsinoma sel skuamosa (96,7%). Di Indonesia sendiri, penelitian yang
dilakukan di RSUP Kariadi Semarang menyebutkan bahwa kanker nasofaring
(KNF) merupakan penyumbang terbesar dari kanker kepala dan leher.
Prevalensi berdasarkan pasien yang datang berobat ke Bagian THT-KL RSUP
Dr. Kariadi selalu meningkat semenjak tahun 2001 (102 kasus), tahun 2002
(179 kasus), tahun 2003 (178 kasus) hingga November 2004.

C. ETIOLOGI
Merokok dan alkohol merupakan faktor risiko terkuat pada kanker kepala
dan leher. 75% kasus disebabkan oleh gaya hidup dan kebiasaan merokok
serta konsumsi alkohol. Pada suatu penelitian disebutkan bahwa kebiasaan
merokok, baik cerutu ataupun pipa dapat meningkatkan risiko terjadinya
kanker kepala dan leher (Wyss et al., 2013).
Selanjutnya, faktor genetik juga menentukan terjadinya kanker ini. Risiko
terjadinya kanker kepala dan leher ini akan meningkat pada pasien dengan
anggota keluarga yang memiliki riwayat serupa, terutama pada kanker
hipofaring dan laring. Perilaku seksual seperti seks oral, suka berganti
pasangan dan hubungan seksual sejenis meningkatkan kemungkinan paparan
terhadap human papillomavirus (HPV) sehingga juga merupakan faktor risiko
kanker kepala dan leher.
Dalam penelitian lain juga disebutkan bahwa faktor usia memiliki
hubungan dengan risiko terjadinya kanker secara umum yang dinyatakan
dalam tiga hipotesis. Hipotesis pertama adalah bahwa hubungan ini terjadi
karena durasi dari proses karsinogenesis itu sendiri. Dengan kata lain,
tingginya angka kejadian kanker pada usia lanjut diakibatkan oleh sudah
terjadinya paparan yang cukup lama terhadap zat-zat karsinogenik.
Hipotesis kedua mengatakan bahwa perubahan seluler dan molekuler
selama proses penuaan memberikan lingkungan yang kondusif bagi

3
terbentuknya sel tumor dan pertumbuhan sel ganas yang sebelumnya laten.
Hipotesis ketiga menggabungkan kedua hipotesis sebelumnya, yaitu
kecenderungan terjadinya kanker pada usia lanjut mencerminkan efek dari
beban mutasi kumulatif, meningkatnya “epigenetic silencing”, disfungsi
telomer dan perubahan lingkungan stroma (Potapova et al., 2002).

D. PATOFISIOLOGIS

Salah satu jenis kanker kepala leher tersering yaitu karsinoma sel
skuamosa. Transformasi ganas dari keratinosit epidermis normal adalah ciri
khas cSCC. Salah satu peristiwa patogen kritis adalah pengembangan
resistensi apoptosis melalui hilangnya fungsional TP53, gen penekan tumor
yang dipelajari dengan baik. Mutasi TP53 terlihat di lebih dari 90% kanker
kulit yang didiagnosis di Amerika Serikat, serta di sebagian besar lesi kulit
prekursor, menunjukkan bahwa hilangnya TP53 adalah peristiwa awal dalam
pengembangan cSCC. (Corchado-Cobos, 2021)

UVR menyebabkan kerusakan asam deoksiribonukleat (DNA) melalui


pembuatan dimer pirimidin, suatu proses yang diketahui menghasilkan mutasi
genetik TP53. Setelah paparan UVR berikutnya, keratinosit mengalami
ekspansi klon, memperoleh cacat genetik lebih lanjut, yang pada akhirnya
mengarah ke cSCC invasif.

Banyak kelainan genetik lainnya diyakini berkontribusi pada patogenesis


cSCC, termasuk mutasi BCL2 dan RAS. Demikian juga, perubahan jalur
transduksi sinyal intraseluler, termasuk reseptor faktor pertumbuhan epidermal
(EGFR) dan siklooksigenase (COX), telah terbukti berperan dalam
pengembangan cSCC. Karsinoma sel skuamosa in situ (CIS), kadang-kadang
disebut sebagai penyakit Bowen, adalah prekursor cSCC invasif. Karakteristik

4
lesi ini meliputi atypia nukleus, seringnya mitosis, pleomorfisme seluler, dan
diskeratosis, parakeratosis, dan hiperkeratosis.

CIS dibedakan dari actinic keratosis, lesi kulit prakanker yang serupa,
dengan keterlibatan penuh epidermis pada CIS. cSCC invasif dibedakan dari
CIS dan keratosis aktinik oleh invasi membran basal oleh sel-sel yang tampak
ganas. Dengan cSCC invasif, sarang sel atipikal ditemukan di dalam dermis,
dikelilingi oleh infiltrat inflamasi.

cSCC konvensional dapat dibagi menjadi empat derajat histologis berikut,


berdasarkan derajat atypia nukleus dan keratinisasi yang ditemukan (lihat
gambar di bawah):

● Diferensiasi dengan baik - Ditandai dengan inti yang tampak lebih normal
dengan sitoplasma yang melimpah dan mutiara keratin ekstraseluler
● Diferensiasi sedang - Menampilkan ciri-ciri antara lesi yang
berdiferensiasi baik dan berdiferensiasi buruk
● Diferensiasi yang buruk - Menunjukkan atipia nuklir tingkat tinggi
dengan mitosis yang sering, rasio nuklir-sitoplasma yang lebih besar, dan
keratinisasi yang lebih sedikit
● Sangat tidak berdiferensiasi - Menunjukkan sel epitel yang mungkin sulit
dibedakan dari sel mesenkim, melanoma, atau limfoma

Varian histologis lainnya termasuk SCC akantolitik (adenoid), yang


ditandai dengan penampilan pseudoglandular, dan SCC sel spindel, yang
memiliki sel berbentuk gelendong atipikal. Kedua varian ini menunjukkan
perjalanan klinis yang lebih agresif.

D. PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis

5
Pasien dengan kanker kepala dan leher sering mengalami gejala atau
tanda berikut. Gejala adalah sesuatu yang hanya dapat diidentifikasi dan
dijelaskan oleh orang yang mengalaminya, seperti kelelahan, mual, atau
nyeri. Tanda adalah sesuatu yang dapat diidentifikasi dan diukur oleh
orang lain, seperti demam, ruam, atau peningkatan denyut nadi.
Bersama-sama, tanda dan gejala dapat membantu menggambarkan
masalah medis. Terkadang, orang dengan kanker kepala dan leher tidak
memiliki tanda dan gejala yang dijelaskan di bawah ini. Atau, penyebab
suatu gejala atau tanda mungkin merupakan kondisi medis yang bukan
kanker:
a. Pembengkakan atau luka yang tidak kunjung sembuh; ini adalah gejala
yang paling umum
b. Bercak merah atau putih di mulut
c. Benjolan atau massa di daerah kepala atau leher, dengan atau tanpa
rasa sakit
d. Sakit tenggorokan terus menerus
e. Bau mulut busuk tidak dijelaskan oleh kebersihan
f. Suara serak atau perubahan suara
g. Obstruksi hidung atau hidung tersumbat terus-menerus
h. Epistaksis yang sering dan/atau cairan hidung yang tidak biasa
i. Sulit bernafas
j. Penglihatan ganda
k. Mati rasa atau kelemahan bagian tubuh di daerah kepala dan leher
l. Nyeri atau kesulitan mengunyah, menelan, atau menggerakkan rahang
atau lidah
m. Sakit rahang
n. Darah dalam air liur atau dahak, yang merupakan lendir yang
dikeluarkan ke mulut dari saluran pernapasan
o. Melonggarnya gigi

6
p. Gigi palsu yang sudah tidak muat lagi
q. Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
r. Fatigue
s. Sakit telinga atau infeksi
Gejala benjolan yang nyeri dan tak kunjung hilang sering mendorong
pasien untuk mencari pertolongan medis (Patel, 2021). Selain menanyakan
gejala dan tanda, pengambilan riwayat mengenai onset dan progresivitas
dari benjolan juga penting. Riwayat memiliki benjolan sebelumnya juga
merupakan hal yang penting untuk mengetahui malignansi yang pernah
terjadi beserta dengan tata laksananya. Penting juga untuk mengetahui
gaya hidup pasien sebelumnya, seperti apakah pasien merokok dan
mengkonsumsi alkohol sebagai salah satu faktor terjadinya kanker.
Peninjauan Activity of Daily Living (ADLs) juga meripakan hal yang
krusial untuk dilaksanakan, karena kanker kepala leher dapat berdampak
pada kegiatan sehari-hari pasien seperti makan, minum, bernafas, menelan,
dan berbicara. (Georgopoulos et al, 2015)
2. Pemeriksaan Fisik
Evaluasi dimulai dengan penilaian penampilan umum pasien.
Kesulitan bernapas atau stridor, status gizi, afek, dan mood dapat dinilai
dengan observasi saja. Bau asap dan gigi bernoda tar mungkin merupakan
tanda penggunaan tembakau berat.
Stridor muncul sebagai suara pernapasan bernada tinggi yang
dihasilkan dari aliran udara turbulen melalui jalan napas yang tersumbat
sebagian. Stridor inspirasi biasanya berhubungan dengan massa
supraglotis obstruktif, sedangkan stridor bifasik biasanya menyertai
obstruksi tetap baik pada trakea atau pada tingkat glotis (seperti pada
paralisis pita suara bilateral). Individu dengan disfagia yang signifikan dan
kesulitan menoleransi sekresi air liur. Air liur harus dianggap sebagai
tanda yang mengkhawatirkan. Semua pasien tersebut harus menjalani

7
evaluasi tepat waktu termasuk inspeksi jalan napas dengan laringoskopi
tidak langsung.
Stertor adalah suara inspirasi yang sebanding dengan mendengkur dan
terjadi ketika ada obstruksi jalan napas di atas tingkat laring. Stertor sering
terjadi dengan presentasi jinak seperti apnea tidur obstruktif, atau pada
pasien dengan sindrom Pickwickian. Ini juga bisa menjadi tanda
keganasan. Misalnya, stertor onset baru dapat dilaporkan dengan kanker
uvula, tonsil, atau nasofaring.
Kualitas dan kekuatan suara pasien juga perlu dinilai. Suara nafas
menunjukkan kelumpuhan pita suara unilateral dan dapat terlihat pada
kanker paru-paru, kanker tiroid, kanker laring, atau dengan lesi lain di
sepanjang saluran saraf vagus (misalnya, paraganglioma vagal). Suara
serak mungkin merupakan tanda penyakit laring. Ketidakmampuan suara
untuk mengartikulasikan kata-kata dengan jelas menunjukkan rongga
mulut posterior atau penyakit orofaringeal. Hiponasalitas mungkin
merupakan tanda adanya massa yang melibatkan nasofaring.
Periksa wajah untuk simetri. Massa kelenjar parotis dapat dinilai.
Tumor yang menyebabkan paralisis nervus fasialis inkomplit dapat
muncul dengan kerutan wajah asimetris, kedipan mata asimetris, lipatan
nasolabial tumpul, atau ptosis komisura oral.
a. Kulit dan Kulit kepala
Evaluasi kulit harus dilakukan secara sistematis, dengan perhatian
khusus pada area yang terpapar sinar matahari seperti telinga, kulit
kepala, dan leher posterior. Perhatikan luka bakar kronis, bekas luka,
dan bisul. Periksa semua massa dan lesi untuk variegasi warna dan
asimetri. Perhatikan ukuran semua lesi dan apakah ada ulserasi atau
perdarahan.
b. Neurologi

8
Pemeriksaan saraf kranial lengkap memberikan informasi yang
cukup tentang pasien yang terkena. Saraf kranial berjalan di seluruh
kepala dan leher, dan oleh karena itu, neuropati kranial dapat
menunjukkan lokasi keganasan primer dan luasnya invasi tumor.
c. Telinga
Periksa telinga luar apakah ada massa, lesi, atau tanda-tanda
deformitas. Telinga sangat rentan terhadap kerusakan akibat sinar
matahari dan merupakan tempat umum keganasan kulit. Periksa
membran timpani. Keganasan nasofaring dapat menyebabkan
disfungsi tuba eustachius dan efusi serosa unilateral.
d. Nasal
Rongga hidung harus diperiksa untuk massa, ulcer, polip, atau
bukti perdarahan.
e. Kavitas oral
Pemeriksaan rongga mulut dimulai dengan inspeksi bibir dan
kompetensi komisura oral. Selanjutnya, gigi, gusi, dasar mulut, lidah,
alveolar ridge, RMT (Retromolar trigone), dan palatum harus
diperiksa. Gigi palsu harus dilepas.
f. Orofaring
Orofaring dibagi lagi menjadi tonsil/pilar tonsil, palatum
molle/uvula, dinding posterior faring, dan dasar lidah. Orofaring harus
diperiksa simetrinya.
g. Leher, paratiroid, dan kelenjar submandibular.
Leher dibagi menjadi 7 tingkat (Gambar 1). Lateralitas, ukuran,
mobilitas, dan kekencangan semua kelenjar getah bening harus
diperhatikan. Limfadenopati submandibular harus dibedakan dari
kelenjar submandibular yang menonjol.
Kelenjar parotis harus dipalpasi. Tumor mungkin timbul dari
parenkim kelenjar parotis. Selain itu, kelenjar getah bening berada di

9
ekor parotis, dan kelenjar mungkin menjadi tempat penyakit metastasis
baik dari kepala dan leher atau di tempat lain.
Parotis adalah salah satu situs paling umum untuk metastasis
nodal dari SCCHN kulit.

Gambar 1. Pembagian leher menjadi 7 tingkat.

h. Bibir
Bibir bawah cenderung mengalir ke submental dan kelenjar getah
bening submandibular, sedangkan bibir atas dan komisura mengalir ke
kelenjar getah bening submandibular, submental, preauricular, dan
infraparotid ipsilateral. Keterlibatan kelenjar getah bening bilateral
lebih sering terjadi pada lesi yang terletak di pusat

10
i. Lantai Mulut
Tumor dasar mulut dapat meluas ke ventral lidah, mengakibatkan
penarikan dan penurunan mobilitas lidah. Tumor ini dapat
menyebabkan disfagia atau kesulitan artikulasi.
j. Lidah
Ketika mempertimbangkan kanker lidah mulut, penting untuk
memperhatikan kedekatan lesi dengan garis tengah. Keterlibatan garis
tengah menghasilkan peningkatan yang signifikan dari tingkat
metastasis kelenjar getah bening kontralateral
k. Buccal Mucosa
Secara lateral, rongga mulut dibatasi oleh mukosa bukal. Di
posterior, mukosa bukal memanjang dari RMT ke raphae
pterygomandibular, mencapai komisura oral di anterior dan ridge
alveolar di inferior. Mukosa bukal tidak memiliki hambatan yang
signifikan untuk perluasan tumor.
l. Alveolar Ridge
Tulang penyangga gigi dari mandibula dan maksila dengan mukosa
dan gingiva di atasnya terdiri dari alveolar ridges. Pada pasien
edentulous, soket gigi berfungsi sebagai jalur invasi tumor dan harus
diperhatikan. Menilai fiksasi tumor ke tulang yang mendasarinya.
m. Laring
Pemeriksaan pasien suspek kanker laring diawali dengan
mendengarkan kualitas pernapasan pasien. Penampilan dan ukuran
massa apa pun harus dicatat, serta jumlah subsitus di dalam laring yang
terlibat. Beberapa massa laring adalah submukosa, dan oleh karena itu,
temuan fisik tidak kentara. Mobilitas lipatan vokal penting dalam
staging, karena menunjukkan perluasan ke dalam sendi krikoaritenoid
atau ruang paraglotis. (Georgopulos, 2015)

11
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Endoscopy
b. Biopsy
Selama prosedur ini, sel dikumpulkan menggunakan jarum tipis
yang dimasukkan langsung ke tumor atau kelenjar getah bening.
Sel-sel diperiksa di bawah mikroskop untuk sel-sel kanker, yang
disebut pemeriksaan sitologi.
c. Pengujian menggunakan biomarker
d. Ultrasound
USG mudah diakses dan dapat memberikan karakterisasi jaringan
lunak non-invasif yang sangat baik ketika menilai situs primer
superfisial dan cekungan nodal. Dalam pencitraan kepala dan leher, ini
termasuk benjolan leher, lesi kelenjar ludah, nodul tiroid, dan
morfologi kelenjar getah bening regional.
Untuk lesi kelenjar ludah, nodul tiroid, dan kelenjar getah bening,
USG memberikan resolusi gambar yang sangat baik dan merupakan
modalitas pencitraan yang lebih disukai untuk prosedur intervensi
diagnostik terpandu, seperti FNAC dan biopsi jarum inti, karena sifat
superfisial dari situs ini. Keterbatasan USG adalah ketergantungannya
pada keterampilan operator dan ketidakmampuan untuk menilai
struktur yang lebih dalam karena penetrasi jaringan lunak yang

12
terbatas dan artefak tulang atau udara di atasnya.

Gambar 2. A) USG menunjukkan pengukuran massa sebagian besar


padat-kistik kelenjar getah bening di fossa supraklavikula kiri (SCF). B) Aspirasi
jarum halus kemudian dilakukan.
e. Rontgen Panoramic
Radiografi panoramik adalah rotasi, atau panoramik, x-ray dari
tulang rahang atas dan bawah untuk mendeteksi kanker atau
mengevaluasi gigi sebelum terapi radiasi atau kemoterapi. Ini sering
disebut panorex.
f. MRI
Magnetic resonance imaging (MRI) dapat menilai proses patologis
hingga ke tingkat molekuler karena kemampuannya untuk
memanipulasi putaran proton. Berdasarkan prinsip ini, ia memberikan
kontras jaringan lunak yang superior dibandingkan dengan modalitas
lain, menjadi cocok untuk menilai infiltrasi dalam tumor primer dan
pemisahan edema dari infiltrasi tumor.

13
Gambar 3. Pemindaian leher MRI yang ditingkatkan kontras menunjukkan
keganasan nekrotik yang menginfiltrasi luas yang berpusat di sinus maksilaris kanan,
dengan peningkatan kontras yang sangat cerah. A) Pencitraan MRI aksial, B)
Pencitraan MRI koronal.
g. PET-CT Scan
Positron emission tomography (PET) dikombinasikan dengan CT
seluruh tubuh untuk detail anatomi menggunakan pelacak radiolabel
18 fluorodeoxyglucose (FDG) untuk menunjukkan area abnormal,
peningkatan aktivitas metabolisme. Pada pasien yang telah menjalani
kemoradioterapi, ini adalah modalitas yang paling sensitif untuk
menilai kekambuhan penyakit pasca perawatan, bila dilakukan pada 3
hingga 6 bulan setelah kemoradioterapi.

Gambar 4. FDG PET-CT scan memilih irisan aksial, yang menunjukkan


aktivitas FDG tingkat tinggi dalam kelenjar getah bening IA submental (A) dan
kelenjar getah bening tingkat 2 kiri (B) dalam kasus kanker primer yang tidak
diketahui.

14
h. CT-Scan
Computed tomography (CT) secara luas digunakan dalam onkologi
dan dapat diterapkan untuk menilai lokasi utama kanker kepala dan
leher, penyakit nodus, dan stadium sebagai bagian dari sistem stadium
TNM.
Jika dibandingkan dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI),
CT dapat memberikan penilaian yang sangat baik dari leher infrahyoid,
meminimalkan pergerakan artefak karena waktu akuisisi yang cepat.
Ini dapat memberikan penilaian yang lebih baik dari korteks tulang,
keterlibatan tulang rawan, dan kalsifikasi. Pada saat yang sama, dapat
secara bersamaan menilai toraks untuk kelenjar getah bening
paratrakeal dan mediastinum atas, metastasis paru, atau lesi paru
primer sinkron.

Gambar 5. CT scan leher dengan kontras menunjukkan keganasan hipofaring. A)


Tampilan sagital dan B) tampilan aksial.

E. STAGING
The American Joint Committee on Cancer mengembangkan sistem
stadium kanker TNM untuk mengevaluasi tiga faktor utama dalam mengobati
kanker:
T (tumor): Ini mengacu pada ukuran tumor primer dan, jika ada, jaringan
di rongga mulut dan orofaring tempat kanker telah menyebar.

15
N (nodul): Ini menggambarkan keterlibatan kelenjar getah bening di dekat
tumor primer. Kelenjar getah bening adalah kelompok kecil sel sistem
kekebalan berbentuk kacang yang merupakan kunci untuk melawan infeksi
dan biasanya merupakan salah satu tempat pertama di tubuh yang
menyebarkan kanker.
M (metastasis): Ini menunjukkan apakah kanker telah menyebar
(metastasis) ke area lain di tubuh. Dengan kanker mulut, situs metastasis yang
paling umum adalah paru-paru, diikuti oleh hati dan tulang.
Selama proses pementasan kanker kepala dan leher, dokter akan
menetapkan nilai T, N dan M untuk penyakit berdasarkan penampilan
mikroskopisnya. Stadium kanker kepala dan leher adalah:
Tahap 0: Tumor hanya tumbuh di bagian kepala dan leher di mana ia
mulai. Tidak ada sel kanker di lapisan jaringan yang lebih dalam, struktur di
dekatnya, kelenjar getah bening atau tempat yang jauh (karsinoma in situ).
Kanker kepala dan leher stadium 1: Tumor primer berukuran 2 cm atau
lebih kecil, dan tidak ada sel kanker di struktur terdekat, kelenjar getah
bening, atau tempat yang jauh .
Kanker kepala dan leher stadium 2: Tumor kepala dan leher berukuran 2-4
cm, dan tidak ada sel kanker di struktur terdekat, kelenjar getah bening, atau
tempat yang jauh.
Stadium 3 Kanker kepala dan leher: Tumor memenuhi salah satu kriteria
berikut:
Ini lebih besar dari 4 cm, dan tidak ada sel kanker yang ada di struktur
terdekat, kelenjar getah bening atau tempat yang jauh.
Ini adalah ukuran apa pun tetapi belum tumbuh menjadi struktur terdekat
atau situs yang jauh. Namun, sel kanker hadir dalam satu kelenjar getah
bening, yang terletak di sisi kepala atau leher yang sama dengan tumor primer
dan berukuran lebih kecil dari 3 cm.

16
Stadium 4 Kanker kepala dan leher: Stadium ini memiliki beberapa
kategori:
Tahap 4A: Salah satu dari berikut ini berlaku:
Tumor kanker kepala dan leher adalah berbagai ukuran dan tumbuh ke
dalam struktur di dekatnya. Sel kanker mungkin tidak ada di kelenjar getah
bening, atau mungkin telah menyebar ke satu kelenjar getah bening, yang
terletak di sisi kepala atau leher yang sama dengan tumor primer dan
berukuran lebih kecil dari 3 cm. Kanker belum menyebar ke tempat yang jauh.
Tumor adalah berbagai ukuran dan mungkin atau mungkin tidak
menginvasi struktur di dekatnya. Itu belum menyebar ke situs yang jauh, dan
salah satu dari berikut ini benar:
Sel kanker hadir dalam satu kelenjar getah bening, terletak di sisi kepala
atau leher yang sama dengan tumor primer dan berukuran 3-6 cm.
Sel-sel kanker hadir dalam satu kelenjar getah bening di sisi berlawanan
dari kepala atau leher dan berukuran kurang dari 6 cm.
Sel kanker terdapat di dua atau lebih kelenjar getah bening, semuanya
berukuran lebih kecil dari 6 cm dan terletak di kedua sisi kepala atau leher.
Tahap 4B: Salah satu dari berikut ini berlaku:
Tumor telah menginvasi area dan/atau jaringan yang lebih dalam. Ini
mungkin atau mungkin tidak menyebar ke kelenjar getah bening dan belum
menyebar ke tempat yang jauh.
Tumor adalah ukuran apapun dan mungkin atau mungkin tidak tumbuh ke
dalam struktur lain. Ini telah menyebar ke satu atau lebih kelenjar getah
bening yang lebih besar dari 6 cm, tetapi belum menyebar ke tempat yang
jauh.
Stadium 4C: Sel kanker telah menyebar ke tempat yang jauh.
Tumor kanker kepala dan leher adalah berbagai ukuran dan mungkin atau
mungkin tidak menyebar ke kelenjar getah bening.

17
F. TATA LAKSANA
Terapi radiasi, pembedahan, dan kemoterapi adalah tiga perawatan utama
untuk kanker kepala dan leher. Baik terapi radiasi, pembedahan, atau
gabungan keduanya biasanya digunakan sebagai perawatan utama dengan
tujuan membunuh atau menghilangkan kanker. Kemoterapi sering digunakan
sebagai pengobatan tambahan, atau adjuvant. Kombinasi optimal dari tiga
modalitas pengobatan untuk pasien dengan kanker kepala dan leher tertentu
tergantung pada lokasi kanker dan stadium (luas) penyakit.
Secara umum, pasien dengan kanker kepala dan leher stadium awal
(terutama yang terbatas pada tempat asalnya) diobati dengan satu terapi
utama—baik terapi radiasi atau pembedahan. Pasien yang memiliki kanker
lebih lanjut sering diobati dengan kemoterapi dan terapi radiasi yang diberikan
bersama-sama. Kadang-kadang, tergantung pada skenario klinis, pasien
dirawat dengan pembedahan diikuti dengan terapi radiasi dan kemoterapi.
Jika rencana pengobatan adalah terapi radiasi saja untuk kanker primer,
leher juga diobati dengan terapi radiasi. Selain itu, pembedahan untuk
mengangkat kelenjar getah bening yang terlibat di leher (disebut diseksi leher)
mungkin diperlukan jika jumlah penyakit di kelenjar leher relatif luas atau jika
kanker di kelenjar leher belum dihilangkan sepenuhnya pada akhir tahun.
kursus terapi radiasi.
Dalam beberapa situasi, ahli bedah dapat mengangkat tumor primer.
Radiasi dapat diberikan sesudahnya, jika perlu. Dalam situasi lain, kanker
terlalu lanjut dan tidak mungkin untuk menghilangkan kanker sepenuhnya
dengan operasi pada awalnya. Radioterapi kemudian dapat diberikan terlebih
dahulu untuk mencoba mengecilkan tumor, dan pembedahan dapat dilakukan
setelah radioterapi.
Studi terbaru menunjukkan bahwa kemoterapi yang diberikan bersamaan
dengan terapi radiasi lebih efektif daripada jika diberikan sebelum terapi
radiasi. Oleh karena itu, jadwal pengobatan radiasi terkadang termasuk

18
kemoterapi jika stadium kanker sudah lanjut (stadium III lanjut atau stadium
IV). Obat yang paling sering diberikan bersamaan dengan terapi radiasi adalah
cisplatin (Platinol) dan Cetuximab (Erbitux). Kadang-kadang, obat lain
mungkin termasuk fluorouracil (5-FU, Adrucil), carboplatin (Paraplatin), dan
paclitaxel (Taxol). Ini hanya sebagian daftar agen kemoterapi; dokter Anda
dapat memilih untuk menggunakan orang lain. Kemoterapi dapat diberikan
dalam berbagai cara, termasuk dosis harian yang rendah, dosis mingguan yang
cukup rendah, atau dosis yang relatif lebih tinggi setiap tiga sampai empat
minggu.
Biasanya, salah satu prosedur terapi radiasi berikut dapat digunakan untuk
mengobati Kanker Kepala dan Leher:
Terapi sinar eksternal (EBT): EBT mengirimkan berkas sinar-x
berenergi tinggi atau proton ke tumor. Sebuah mesin menghasilkan dan
menargetkan sinar radiasi di lokasi tumor. EBT menghancurkan sel kanker,
dan rencana perawatan konformal menghindarkan jaringan normal di
sekitarnya dari paparan.
Terapi radiasi termodulasi intensitas (IMRT): mode lanjutan radioterapi
presisi tinggi yang menggunakan akselerator sinar-x yang dikendalikan
komputer. Akselerator menyesuaikan dan memberikan dosis radiasi yang tepat
ke bentuk tumor tiga dimensi (3-D). Mesin mengontrol intensitas sinar radiasi
untuk memfokuskan dosis yang lebih tinggi pada tumor dan meminimalkan
paparan radiasi ke sel-sel sehat.

G. PROGNOSIS
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prognosis pada kanker kepala
dan leher ialah usia saat pasien di diagnosis, staging penyakit, sejauh mana
keterlibatan limfonodi, seropositif HIV, dan hitung CD4+ yang dibawah 200
sel/ul. Sebuah penelitian menunjukkan tingkat keselamatan dalam 5 tahun
pasien kanker kepala dan leher dengan staging lanjutan (stage III-IV) di

19
negara berkembang sebesar 20,6%, yang mana lebih rendah secara signifikan
dibanding pasien di negara maju yang sebesar 30-50% (Gilyoma et al., 2015).
Pengecekan HPV merupakan hal yang wajib dilakukan untuk semua tumor
orofaring ataupun tumor primer yang tidak diketahui, karena diketahui HPV
sebagai determinan mayor untuk staging modern dan prognosis. Pada pasien
dengan karsinoma sel skuamosa kepala dan leher dengan HPV positif
memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan pasien HPV negatif
(Johnson et al., 2020). Pada kanker nasofaring, pasien dengan stage I-II yang
memiliki peningkatan kadar EBV DNA plasma sebelum terapi lebih
cenderung memiliki prognosis buruk dibandingkan pasien dengan stage III
(Wong et al., 2021).

H. KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada kanker kepala dan leher yang
belum dilakukan tatalaksana, ialah odinofagia, mukositis oral, disfungsi indra
pengecap, xerostomia, dan kandidiasis oral (Salako et al., 2016). Pada terapi
radiasi, komplikasi yang dapat terjadi yaitu mukositis, infeksi, perubahan
saliva, fibrosis, disfungsi sensoris, karies dental, penyakit periodontal, dan
osteoradionekrosis (Sroussi et al., 2017). Saat sudah diberikan terapi operatif,
beberapa komplikasi juga dapat terjadi tergantung lokasi anatomis tumor. Pada
tumor yang terletak di hipofaring, dinding faring dapat mengalami fistula
faringokutaneus dan fistula karotis, sinus piriformis dapat mengalami fistula,
aspirasi, disfasia dan stenosis faring, serta dapat terjadi juga fistula dan
aspirasi dari faring postcricoid. Tumor yang ada di laring dapat menyebabkan
komplikasi seperti fistula supraglottis, serta pada subglottis dapat terjadi
kondritis, ruptur karotis, atelektasis, pneumonia, emfisema subkutan,
perdarahan pada daerah trakeotomi, komplikasi luka, obstruksi jalan nafas
(trakeotomi), stenosis laringeal, dan suara serak atau penebalan pita suara.
Tumor yang berada di cavitas nasalis, vestibula, dan sinus pranasal dapat

20
berkomplikasi menjadi kegagalan graft, trismus, kebocoran cairan
serebrospinal dan perdarahan, meningitis, selulitis, dan pansinusitis.
Kemudian pada tumor yang terletak pada cavitas oral, pemberian tatalaksana
pembedahan dapat menyebabkan komplikasi mikrostomia, paparan tulang
pada dasar mulut, fistula orokutaneus, trusmus, obstruksi duktus salvarius dan
parotitis. Jika dilakukan pembedahan pada daerah orofaring, dapat
berkomplikasi munculnya fistula pada bagian bawah lingua, nekrosis
mandibula, disfasia, trismus, ruptur karotid, dan pembedahan pada palatum
molle dapat menyebabkan regurgitasi (Baehring et al., 2012).

21
DAFTAR PUSTAKA

Baehring, E., & McCorkle, R. (2012). Postoperative Complications in Head and


Neck Cancer. Clinical Journal of Oncology Nursing, 16(6), E203–E209.
doi:10.1188/12.cjon.e203-e209

Cognetti, D. M., Weber, R. S. and Lai, S. Y. (2008) ‘Head and Neck Cancer: An
Evolving Treatment Paradigm’, Journal of the National Comprehensive
Cancer Network, 23(1), pp. 1–7. doi: 10.1002/cncr.23654.Head.

Corchado-Cobos R, Garcia-Sancha N, Gonzalez-Sarmiento R, Perez-Losada J,


Canueto J. (2021) Cutaneous Squamous Cell Carcinoma: From Biology to
Therapy. Int J Mol Sci.

Georgopulos, R., Jeffrey C., Liu. (2015). Examination of the Patient with Head
and Neck Cancer. Surg Oncol Clin N Am. doi: 10.1016/j.soc.2015.03.003

Gilyoma, J. M., Rambau, P. F., Masalu, N., Kayange, N. M., & Chalya, P. L.
(2015). Head and neck cancers: a clinico-pathological profile and management
challenges in a resource-limited setting. BMC research notes, 8, 772.
https://doi.org/10.1186/s13104-015-1773-9

Hashim, D. and Boffetta, P. (2020) Head and neck cancers, Occupational


Cancers. doi: 10.1007/978-3-030-30766-0_4.

Johnson, D. E., Burtness, B., Leemans, C. R., Lui, V. W. Y., Bauman, J. E., &
Grandis, J. R. (2020). Head and neck squamous cell carcinoma. Nature
Reviews Disease Primers, 6(1). doi:10.1038/s41572-020-00224-3

Malloy KM, Cognetti DM, Wildemore BM, et al. Feasibility of endoscopic


sentinel node biopsy in the porcine neck. Otolaryngol Head Neck Surg.
2007;136:806–810. doi : 10.1002%2Fcncr.23654

Patel, Jyoti D. (2021) Head and Neck Cancer. Journal American Society of
Clinical Oncology.

Potapova, O., Anisimov, S.V., Gorospe, M., Dougherty, R.H., Gaarde, W.A.,
Boheler, K.R. and Holbrook, N.J., 2002. Targets of c-Jun NH2-terminal kinase

22
2-mediated tumor growth regulation revealed by serial analysis of gene
expression. Cancer research, 62(11), pp.3257-3263

Salako, O., Ogundana, O. M., Roberts, A., Ketiku, K. K., Duncan, J. T. K.,
Habeeb, M. Y. M., & Ilo, O. (2016). Acute oro-facial complications of head
and neck cancer patients on radiotherapy in Lagos University Teaching
Hospital. Nigerian Quarterly Journal of Hospital Medicine, 26(2), 433-438.

Sroussi, H. Y., Epstein, J. B., Bensadoun, R. J., Saunders, D. P., Lalla, R. V.,
Migliorati, C. A., ... & Zumsteg, Z. S. (2017). Common oral complications of
head and neck cancer radiation therapy: mucositis, infections, saliva change,
fibrosis, sensory dysfunctions, dental caries, periodontal disease, and
osteoradionecrosis. Cancer medicine, 6(12), 2918-2931.

Syah, M. et al. (2016) ‘Epidemiologi penderita tumor ganas kepala leher di


departemen telinga hidung tenggorokan - kepala leher Rumah Sakit Dr .
Hasan Sadikin Bandung , Indonesia , Periode 2010 – 2014’, Tunas Medika
Jurnal kedokteran dan Kesehatan, 3(1), pp. 1–14.

Taylor, S. G. (2011) ‘Head and neck cancer.’, Cancer chemotherapy and


biological response modifiers, 19(May), pp. 465–483.

Wong, K. C. W., Hui, E. P., Lo, K.-W., Lam, W. K. J., Johnson, D., Li, L., …
Chan, A. T. C. (2021). Nasopharyngeal carcinoma: an evolving paradigm.
Nature Reviews Clinical Oncology. doi:10.1038/s41571-021-00524-x

Wyss, A. et al. (2013) ‘Cigarette, cigar, and pipe smoking and the risk of head and
neck cancers: Pooled analysis in the international head and neck cancer
epidemiology consortium’, American Journal of Epidemiology, 178(5), pp.
679–690. doi: 10.1093/aje/kwt029.

23

Anda mungkin juga menyukai