Anda di halaman 1dari 35

BAGIAN ORTHOPEDI & TRAUMATOLOGI LAPORAN KASUS

RS. ISLAM FAISAL AGUSTUS 2019

SPONDILOSIS LUMBAL

OLEH :

Freska Ayu Wardhani


111 2017 2093

PEMBIMBING :
dr. A. Dhedie P. Sam, Sp. OT

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ORTHOPEDI & TRAUMATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Freska Ayu Wardhani

NIM : 111 2017 2093

Judul Laporan Kasus : Spondilosis Lumbal

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Orthopedi & Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, Agustus 2019

Mengetahui,

Pembimbing

dr. A. Dhedie P. Sam, Sp. OT


BAB I

PENDAHULUAN
BAB II

LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. L.M

Umur : 64 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Status : Menikah

Bangsa : Indonesia

Alamat : Komplek Perum Pemda C2 No. 8

Pekerjaan : Pensiunan

Tanggal masuk : 03 Agustus 2019

No. RM : 191600

1.2 ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri Pinggang

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan nyeri pinggang yang dirasakan kurang
lebih sejak 1 bulan yang lalu (bulan Juli) dan memberat seminggu
terakhir.Awal keluhan saat pasien beraktivitas berat yaitu kerja bakti dan
keluhan masih bisa pasien tahan.Beberapa hari ini pasien mulai merasakan
kesakitan yang tidak bisa ditahan.Pasien mengeluh batuk sesekali dan
pasien merasakan nyeri pada pinggangnya sampai ke punggung atas jika
batuk.pusing (-), mual (-), muntah (-), nafsu makan menurun, BAK lancar
Kuning, pasien mengeluh belum BAB sejak tanggal 30 bulan Juli 2019
karena pasien tidak kuat makan. Keluhan lain tidak ada.
3. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat Jatuh : Tidak Ada

Riwayat kepala terbentur : Tidak Ada

Riwayat patah tulang : Tidak Ada

Riwayat operasi : Ada,

1. Tahun 2017, Operasi Ambeien


2. Tahun 2018 Desember, Operasi Prostat
3. Tahun 2019 Maret, Operasi Tumor
Payudara Kiri.
Riwayat keluhan yang sama: Ada, dirawat di rumah sakit dengan diagnosis
LBP
Riwayat Hipertensi : Tidak Ada
Riwayat DM : Tidak Diketahui

Riwayat Kencing manis : Disangkal

Riwayat Alergi Obat : Disangkal

Riwayat Alergi makanan : Disangkal

4. Riwayat Keluarga
- Riwayat Hipertensi : Ada, mengkonsumsi obat hipertensi
dari puskesmas yang tidak diketahui namanya dan dikonsumsi tidak
teratur
- Riwayat DM : Disangkal
- Riwayat Alergi Obat : Disangkal
- Riwayat Aleergi Makanan : Disangkal
1.3 PEMERIKSAAN FISIK
A. SECONDARY SURVEY
Status Generalis

 Keadaan umum
o Kesadaran : compos mentis
 Tanda vital
o Tekanan darah : 130/70mmHg
o Nadi : 88 x/menit
o Suhu : 36,7oC
o Pernapasan : 20 x/mnt
 Status gizi
o Berat badan : 56 kg
o Tinggi badan : 162 cm
o Kesan gizi : IMT (22,86 ) Normal
 Kepala : Normocephali, deformitas (-), rambut hitam dan putih
tersebar merata
 Mata : Oedem palpebra -/-, refleks cahaya langsung +/+,
refleks cahaya tidak langsung +/+
 Telinga : Nyeri tekan tragus (-),
 Hidung : Deformitas (-), deviasi septum (-), secret (-), darah(-),
konka hiperemis dan hipertrofi -/-
 Mulut : Bibir normal, tidak terdapat kelainan, tidak terdapat
karies, trismus (-), lidah kotor (-),sariawan (-), faring
hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang.
 Leher : KGB dan tiroid tidak teraba membesar
 Thoraks
Bentuk simetris kanan kiri, tidak ada rongga thoraks yang tertinggal
gerak napasnya, fokal fremitus +/+ sama kuat kanan dan kiri.Terdapat
luka bekas operasi pada area mammae sinistra.
o Jantung : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
o Paru : Suara napas vesikuler +/+, ronkhi -/-,
wheezing -/-
 Abdomen : Supel, datar, timpani, peristaltik kesan normal,
nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepar lien
tidak teraba membesar, terdapat luka bekas
operasi pada perut bagian bawah.
 Extremitas :
o Atas : hangat +/+ oedem-/-
o Bawah : hangat +/+ oedem -/-

Status Lokalis Regio Lumbal

 Look :Deformitas (-), Hematoma (-), Edema (-), Perdarahan (-),


Krepitasi (+)
 Feel :Akral hangat (-),
 Move : Gerakan aktif dan gerakan pasif sulit dinilai karena nyeri.
 NVD : Dalam batas normal.
 Motorik: right Left
L2 5 5
L3 5 5
L4 5 5
L5 5 5
T1 5 5

 Sensorik: Tidak ada Hipostesia dan Disestea


1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Radiologi X-Ray (20 Juli 2019)

- Curva Lordosis Lumbosacral normal, tidak ada listhesis


- Corpus lumbal dan os. Sacral intak, tidak ada tanda fraktur atau destruksi
tulang
- Spur pada tepi corpus lumbal
- Pedikel kanan-kiri corpus lumbal, intak dan tervisualisasi baik
- Intervertebral space baik
- Tidak ada massa paralumbal
Kesan :

 Spondylosis Lumbal
 Tidak ada metastasis
1.5 RESUME
Seorang laki-laki berumur 64 tahun datang RS.Ibnu Sina YW-UMI Makassar
dengan keluhan nyeri pinggang yang dirasakan kurang lebih sejak 1 bulan yang lalu
(bulan Juli) dan memberat seminggu terakhir.Awal keluhan saat pasien beraktivitas
berat yaitu kerja bakti dan keluhan masih bisa pasien tahan.Beberapa hari ini pasien
mulai merasakan kesakitan yang tidak bisa ditahan.Pasien mengeluh batuk sesekali
dan pasien merasakan nyeri pada pinggangnya sampai ke punggung atas jika
batuk.Nafsu makan menurun, sehingga pasien mengeluh belum BAB sejak tanggal 30
bulan Juli 2019 karena pasien tidak kuat makan. Riwayat pasien 3x yaitu operasi
pertama pada tahun 2017 yaitu operasi ambeien, operasi kedua pada tahun 2018
bulan desember yaitu operasi prostat, operasi ketiga pada tahun 2019 bulan maret
yaitu operasi tumor mammae sinistra. Riwayat dirawat di rumah sakit dengan
diagnosis LBP ec. Spondylosis.Pada pemeriksaan fisis ditemukan luka bekas operasi
pada daerah Thoraks Sinistra dan regio Hypogastrik.Pada pemeriksaan X-ray
Lumbosacral didapatkan Spondylosis Lumbalis.

1.6 DIAGNOSA KERJA


Low Back Pain Ec. Spondylosis Lumbalis DD/ Suspek Metastatic Bone Disease..

1.7 PENATALAKSANAAN
- IVFD RL 16tpm
- Metamizol 1 gr/12 Jam/ IV
- Ranitidin 50 mg/ 12 Jam/ IV
- Ossopan 800mg/24 jam/oral

1.8 PROGNOSIS
Ad Functionam : Bonam
Ad Sanationam : Dubia ad Bonam
Ad Vitam : Dubia ad Bonam
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi & Fisiologi

Gambar 1. Anatomi Lumbal1


2.2. Definisi

Spondylo berasal dari bahasa Yunani yang berarti tulang belakang. Spondilosis
lumbalis dapat diartikan perubahan pada sendi tulang belakang dengan ciri khas
bertambahnya degenerasi discus intervertebralis yang diikuti perubahan pada tulang
dan jaringan lunak, atau dapat berarti pertumbuhan berlebihan dari tulang (osteofit),
yang terutama terletak di aspek anterior, lateral, dan kadang-kadang posterior dari
tepi superior dan inferior vertebra centralis (corpus). Secara singkat, sponsylosis
adalah kondisi dimana telah terjadi degenerasi pada sendi intervertebral yaitu antara
diskus dan corpus vertebra dan ligamen (terutama ligamen flavum).2
Seiring bertambahnya usia, perubahan seluler yang berkaitan dengan usia
normal, ditambah dengan efek kegiatan sehari-hari dapat menyebabkan atau
berkontribusi pada disk yang kehilangan bentuk, ukuran, dan tinggi normal.
Perubahan struktural ini dapat mengurangi jumlah ruang (ruang disk) antara badan
vertebra dan selanjutnya mempengaruhi pergerakan normal sendi tersebut. Osteofit
berkembang, yang dapat mempengaruhi akar saraf tulang belakang dan menyebabkan
peradangan dan nyeri.2
2.3. Epidemiologi

Spondilolisis terjadi pada 6-10% dari populasi umum dan telah ditemukan
setinggi 25-60% pada atlet. Biasanya terjadi pada atlet muda yang berusia kurang dari
18 tahun yang berpartisipasi dalam olahraga yang melibatkan gerakan memutar atau
terbengkok dari tulang belakang. Cedera ini juga terjadi pada beberapa keluarga,
menunjukkan bahwa mungkin ada komponen keturunan.3
Spondilosis lumbal hadir pada 27-37% dari populasi tanpa gejala. Di
Amerika Serikat, lebih dari 80% orang yang berusia lebih dari 40 tahun menderita
spondylosis lumbar, meningkat dari 3% orang yang berusia 20-29 tahun. Osteofit
lumbar ditemukan pada sekitar 20% pria dan 22% wanita berusia 45-64 tahun dan
30% pria dan 28% wanita berusia 55-64 tahun. Laporan rasio jenis kelamin telah
bervariasi tetapi pada dasarnya sama. Osteofitosis tulang belakang pada wanita
Jepang pascamenopause berkorelasi dengan genotipe CC dari gen faktor
pertumbuhan β1 yang mentransformasikan.3
Prevalensi spondylosis radiografi meningkat dengan bertambahnya usia. Ini
hadir hanya dalam persentase kecil dari populasi dalam beberapa dekade pertama
kehidupan, tetapi umum terjadi pada usia 65 tahun. Pada mereka dengan nyeri
punggung bawah, prevalensi berkisar antara 7 hingga 75%, tergantung pada kriteria
diagnostik. Meskipun frekuensinya pada pasien dengan nyeri punggung bawah, tidak
ada korelasi yang divalidasi antara keberadaan radiografik spondylosis lumbar dan
adanya nyeri punggung bawah. Usia adalah faktor risiko terbesar, tetapi kemungkinan
lain termasuk degenerasi disk, cedera sebelumnya, kelebihan sendi akibat mal-
alignment dan / atau orientasi sendi yang abnormal, dan kecenderungan genetik. Studi
yang mengevaluasi peran indeks massa tubuh (BMI), tingkat aktivitas, dan jenis
kelamin pada kejadian dan tingkat keparahan spondylosis lumbar tidak menunjukkan
korelasi yang jelas.3
2.4. Etiologi & Faktor Resiko

Spondylosis lumbal muncul karena proses penuaan atau perubahan


degeneratif. Spondylosis lumbal banyak pada usia 30 – 45 tahun dan paling banyak
pada usia 45 tahun. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita daripada laki-
laki. Ada beberapa faktor yang memudahkan terjadinya progresi degenerasi pada
vertebra lumbal yaitu4:

a. Pengaruh usia
Sebuah studi otopsi yang luas pada tahun 1926 melaporkan bukti spondylitis
deformans meningkat secara linear dari 0% menjadi 72% antara usia 39 dan
70 tahun. Sebuah studi otopsi selanjutnya oleh Miller et al, juga mencatat
peningkatan degenerasi disk dari 16% pada usia 20 menjadi sekitar 98% pada
usia 70 tahun berdasarkan nilai degenerasi disk makroskopis dari 600
spesimen.4
b. Dampak aktivitas dan pekerjaan
Pembuatan disk telah lama dikaitkan dengan aktivitas tertentu. Studi
retrospektif mengutip Indeks Massa Tubuh (IMT), insiden trauma punggung,
aktivitas yang memberatkan pada tulang belakang (memutar, mengangkat,
menekuk, dan postur nonneutral yang berkelanjutan), dan getaran seluruh
tubuh (seperti mengemudi kendaraan) menjadi faktor yang meningkatkan
kemungkinan dan keparahan spondylosis.4
a. Peran herediter, Faktor genetik mungkin mempengaruhi formasi osteofit dan
degenerasi diskus. Penelitian Spector and MacGregor menjelaskan bahwa
50% variabilitas yang ditemukan pada osteoarthritis berkaitan dengan faktor
herediter. Kedua penelitian tersebut telah mengevaluasi progresi dari
perubahan degeneratif yang menunjukkan bahwa sekitar ½ (47 – 66%)
spondylosis berkaitan dengan faktor genetik dan lingkungan, sedangkan
hanya 2 – 10% berkaitan dengan beban fisik dan resistance training.4
b. Adaptasi fungsional, Penelitian Humzah and Soames menjelaskan bahwa
perubahan degeneratif pada diskus berkaitan dengan beban mekanikal dan
kinematik vertebra.Osteofit mungkin terbentuk dalam proses degenerasi dan
kerusakan cartilaginous mungkin terjadi tanpa pertumbuhan osteofit. Osteofit
dapat terbentuk akibat adanya adaptasi fungsional terhadap instabilitas atau
perubahan tuntutan pada vertebra lumbar.4

2.5. Patogenesis

Tingginya insiden perubahan degeneratif simultan ke disk intervertebralis,


tubuh vertebral, dan sendi terkait menunjukkan mekanisme progresif dan dinamis,
dengan perubahan interdependen terjadi sekunder akibat penyempitan ruang disk.4
Disk intervertebralis diyakini menjalani apa yang pertama kali dilakukan oleh
Kirkaldy Willis dan Bernard sebagai “kaskade degeneratif” dari tiga fase yang
tumpang tindih yang mungkin terjadi selama beberapa dekade. Fase I (Fase
Disfungsi) menjelaskan efek awal mikrotrauma berulang dengan perkembangan
robekan nyeri lingkar luar, anulus persarafan, dan pemisahan ujung-pelat terkait yang
dapat mengganggu pasokan nutrisi disk dan pembuangan limbah. Air mata seperti itu
dapat bergabung menjadi air mata radial, lebih rentan terhadap tonjolan, dan
berdampak pada kapasitas cakram untuk mempertahankan air, menghasilkan
pengeringan dan pengurangan ketinggian cakram. Fisura mungkin tumbuh ke dalam
oleh ujung jaringan vaskular dan saraf, meningkatkan persarafan dan kapasitas disk
untuk transmisi sinyal nyeri. Fase II (Fase Instabilitas) ditandai dengan hilangnya
integritas mekanik, dengan perubahan resorpsi disk yang progresif, gangguan
internal, dan robekan annular tambahan, dikombinasikan dengan degenerasi facet
lebih lanjut yang dapat menyebabkan subluksasi dan ketidakstabilan. Selama Fase III
(Fase Stabilisasi), penyempitan ruang disk berlanjut dan fibrosis terjadi bersamaan
dengan pembentukan osteofit dan transdiscal bridging.4
Schneck menyajikan perkembangan mekanis lebih lanjut, membangun
kaskade degeneratif disk intervertebralis ini, untuk menjelaskan perubahan
degeneratif tulang belakang aksial lainnya. Dia mengusulkan beberapa implikasi
penyempitan ruang disk. Pedikel berdekatan dengan penyempitan dimensi superior-
inferior dari kanal intervertebralis. Kelonggaran karena redundansi sederhana ligamen
longitudinal memungkinkan penonjolan ligamentum flavum dan potensi
ketidakstabilan tulang belakang. Peningkatan gerakan tulang belakang
memungkinkan subluksasi proses artikular superior (SAP), menyebabkan dimensi
anteroposterior menyempit dari saluran akar saraf intervertebralis dan atas.
Kelonggaran juga dapat diterjemahkan ke dalam mekanisme berat badan yang
berubah dan hubungan tekanan pada tulang vertebral dan ruang sendi yang diyakini
mempengaruhi pembentukan osteofit dan hipertrofi facet untuk proses artikular
inferior dan superior dengan risiko untuk proyeksi ke kanal intervertebralis dan kanal
sentral. Orientasi miring dari proses artikular selanjutnya dapat menyebabkan
retrospondylolisthesis, dengan hasil perambahan anterior dari kanal tulang belakang,
kanal akar saraf, dan kanal intervertebralis.4
Penelitian biokimiawi yang mengeksplorasi pembentukan osteofit
mendukung proses di atas. Lipping osteofit diyakini terbentuk di periosteum melalui
proliferasi kartilago artikular perifer yang kemudian mengalami kalsifikasi dan
osifikasi endokhondral.Mengubah mekanika berat dan kekuatan tekanan serta
perubahan dalam tekanan oksigen dan tekanan cairan dinamis tampaknya menjadi
faktor yang berpengaruh dalam pembentukan osteofit. Sel punca mesenkim dari
sinovium atau periostium kemungkinan merupakan prekursor, dengan makrofag
sinovial dan lingkungan faktor pertumbuhan dan molekul matriks ekstraseluler yang
bertindak sebagai mediator yang mungkin dalam proses ini.4

2.6. Gambaran Klinis


Pasien dengan lumbar spondylosis mengalami nyeri pada tulang belakang
aksial. Lokasi perubahan degenerasi ini tidak mengherankan sebagai generator nyeri
nosiseptif yang diidentifikasi dalam sendi facet, disk intervertebralis, sendi
sakroiliaka, dura akar saraf dan struktur miofasial. Perubahan-perubahan ini dapat
memuncak pada presentasi klinis yang berbeda seperti sinalosis tulang belakang,
herniasi diskus, penonjolan ligamentum flavum dan spondylolistesis.5
Pasien yang menderita spondylosis lumbal juga memiliki klaudikasio
neurologis, yang meliputi nyeri punggung bawah, nyeri kaki, mati rasa ketika berdiri
dan berjalan. Gejala-gejala ini membaik dalam posisi duduk dan telentang.5

2.7. Diagnosis

A. Anamnesis
Pasien biasanya datang dengan riwayat persisten LBP di atas tulang belakang
lumbosakral, sendi sakroiliaka, dan menjalar ke pantat dan paha posterior. Gejala
sering diperburuk dengan duduk dan berjalan lama; tanda-tanda claudication
neurologis di kaki tidak terlihat kecuali terkait dengan stenosis lumbar yang terjadi
bersamaan. Radikular gejala jarang terlihat pada tahap awal penyakit.11
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik biasanya tidak biasa kecuali untuk pada titik tulang belakang
lumbar di garis tengah dan atas sendi sakroiliaka. Rentang gerak tulang belakang
lumbar dapat dikurangi, paling khusus dalam lesi.Biasanya yang paling sedikit
manuver yang menyakitkan dan sebenarnya bisa menghilangkan rasa sakit. Tes
kenaikan dapat menimbulkan beberapa nyeri paha posterior, yang sering
digambarkan sebagai sensasi peregangan atau tarik, tetapi ada tidak ada nyeri
radikuler sejati distal ke lutut kecuali disertai adanya stenosis foraminal. Pemeriksaan
sensorimotor biasanya biasa-biasa saja, dan rileks pada tendon yang normal dan
simetris.11
Selama pemeriksaan fisik dan neurologis, dilakukan pengamatan dengan teliti
tulang belakang pasien, dan rentang gerakan sambil membungkuk ke depan, ke
belakang, dan dari sisi ke sisi. Serta mengevaluasi bentuk tulang belakang, termasuk
kelengkungan abnormal. Dilakukan perabaan pada tulang belakang untuk mendeteksi
adanya titik-titik nyeri, kejang, benjolan, atau area peradangan. Selain itu, rasa sakit
dievaluasi secara menyeluruh bersama dengan gejala lain (misalnya, parestesia,
kelemahan).11
Fungsi motorik
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi :
- Berjalan dengan menggunakan tumit.
- Berjalan dengan menggunakan jari atau berjinjit.
- Jongkok dan gerakan bertahan ( seperti mendorong tembok )
Fungsi Sensorik
- Pemeriksaan sensorik akan sangat subjektif karena membutuhkan perhatian
dari penderita dan tak jarang keliru
- Nyeri dalam otot.
- Rasa gerak.
Refleks
Refleks yang harus di periksa adalah refleks di daerah Achilles dan Patella,
respon dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mengetahui lokasi
terjadinya lesi pada saraf spinal.
Special Test
- Tes Lasegue
Mengangkat tungkai dalam keadaan ekstensi. Positif bila pasien tidak dapat
mengangkat tungkai kurang dari 60° dan nyeri sepanjang nervus ischiadicus.
Rasa nyeri dan terbatasnya gerakan sering menyertai radikulopati, terutama
pada herniasi discus lumbalis / lumbo-sacralis.
- Tes Patrick dan kontrapatrick
Fleksi-abduksi-eksternal rotation-ekstensi sendi panggul. Positif jika gerakan
diluar kemauan terbatas, sering disertai dengan rasa nyeri. Positif pada
penyakit sendi panggul, negative pada ischialgia.
Gambar 6. Tes Patrick- Kontrapatrick

- Tes Naffziger
Dengan menekan kedua vena jugularis, maka tekanan LCS akan meningkat,
akan menyebabkan tekanan pada radiks bertambah, timbul nyeri radikuler.
Positif pada spondilitis.

- Tes valsava
Penderita disuruh mengejan kuat maka tekanan LCS akan meningkat,hasilnya
sama dengan percobaan Naffziger.

- Spasme m. psoas
Diperiksa pada pasien yang berbaring terlentang dan pelvis ditekan kuat –
kuat pada meja oleh sebelah tangan pemeriksa, sementara tangan lain
menggerakkan tungkai ke posisi vertical dengan lutu dalam keadaan fleksi
tegak lurus. Panggul secara pasif mengadakanbhiperekstensi ketika
pergelangan kaki diangkat. Terbatasnya gerakanbditimbulkan oleh spasme
involunter m.psoas.

- Tes Gaenselen:
Terbatasnya fleksi lumbal secara pasif dan rasa nyeri yang diakibatkan sering
menyertai penyakit pada art. Lumbal/lumbo-sacral. Dengan pasien berbaring
terlentang, pemeriksa memegang salah satu ekstremitas bawah dengan kedua
belah tangan dan menggerakkan paha sampai pada posisi fleksi maksimal.
Kemudian pemeriksa menekan kuat – kuat ke bawah kearah meja dan ke atas
kearah kepala pasien, yang secara pasif menimbulkan fleksi columna spinalis
lumbalis.

3.9.1 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan untuk melihat gambaran yang
mungkin dapat terlihat, seperti:7
1. Penyempitan ruang discus intervertebralis
2. Perubahan kelengkuangan vertebrae dan penekanan saraf
3. Osteofit/Spur formation di anterior ataupun posterior vertebrae
4. Pemadatan Corpus vertebrae
5. Porotik (Lubang) pada tulang
6. Vertebrae tampak seperti bambu (Bamboo Spine)
7. Sendi sacroiliaca tidak tampak atau kabur
8. Celah sendi menghilang

Adapun pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan antara lain:7


1. Foto polos lumbosakral dengan arah anteroposterior, lateral dan oblique
sangat membantu untuk melihat keabnormalan pada tulang.
2. Mielografi merupakan tindakan invasif dengan memasukan cairan berwarna
medium ke kanalis spinalis sehingga struktur bagian dalamnya dapat terlihat.
Myelografi digunakan untuk penyakit yang berhubungan dengan diskus
intervertebralis, tumor atau abses.
3. CT scanadalah metode terbaik untuk mengevaluasi adanya penekanan tulang
dan terlihat juga struktur yang lainnya, antara lain ukuran dan bentuk canalis
spinalis, recessus lateralis, facet joint, lamina, dan juga morfologi discuss
intervertebralis, lemak epidural dan ligamentum clavum juga.
4. MRI memberikan gambaran yang lebih jelas CT scan.
5. Electro miography (ENG)/Nerve conduction study (NCS) digunakan untuk
pemeriksaan saraf pada lengan dan kaki. EMG dapat memberikan informasi
tentang:
a. Adanya kerusakan pada saraf
b. Lama terjadinya kerusakan saraf (akut/kronik)
c. Lokasi terjadinya kerusakan saraf
d. Tingkat keparahan dari kerusakan saraf
e. Memantau proses penyembuhan dari kerusakan saraf.

2.9. Penatalaksanaan

Pilihan intervensi dan perawatan mengingat kemampuan kami yang terbatas


untuk mengisolasi sumber penyebab sakit punggung bawah kronis, ada sedikit
konsensus sehubungan untuk pendekatan pengobatan definitif. Variasi substansial
dalam manajemen dengan pendekatan konservatif dan invasif ada antara praktisi di
seluruh negeri. Kami akan jelaskan secara singkat opsi perawatan ini untuk
manajemennya sindrom nyeri punggung bawah kronis dalam masing-masing dari
empat kategori utama: terapi fisik (dan modalitas terkait dan teknik perilaku),
farmakoterapi, injeksi terapi, dan intervensi bedah.
Intervensi berbasis latihan dan perilaku
Terapi olahraga
Terapi olahraga (ET) tetap menjadi salah satu yang konservatif perawatan
andalan untuk nyeri tulang belakang lumbar kronis, dan dapat disesuaikan untuk
memasukkan latihan aerobik, otot latihan penguatan, dan peregangan [49]. Penting
variasi dalam rejimen, intensitas, dan frekuensi yang diresepkan program menyajikan
tantangan untuk menilai kemanjuran di antara pasien [50]. Satu meta-analisis literatur
saat ini menjelajahi peran ET pada pasien dengan durasi yang bervariasi gejala
ditemukan program latihan bertingkat dilaksanakan dalam lingkungan kerja
menunjukkan beberapa efektivitas dalam LBP subakut. Di antara mereka yang
menderita gejala nyeri kronis, kecil, tetapi signifikan secara statistik perbaikan
diamati di antara pasien, dengan memperhatikan untuk pengurangan rasa sakit dan
peningkatan fungsional. Itu pendekatan optimal untuk terapi olahraga pada punggung
bawah kronis penderita rasa sakit tampaknya adalah rejimen yang melibatkan
program latihan yang dirancang secara individual menekankan peregangan dan
penguatan otot, diberikan secara terawasi, dengan frekuensi tinggi dan kepatuhan
ketat. Hasil tersebut dilengkapi oleh konservatif lain pendekatan, termasuk OAINS,
terapi manual, dan aktivitas fisik sehari-hari.

Stimulasi saraf listrik transkutan (TENS)


Unit ‘‘ TENS ’adalah modalitas terapeutik yang melibatkan kulit permukaan
elektroda yang memberikan stimulasi listrik saraf perifer dalam upaya meredakan
nyeri secara noninvasif. Perangkat seperti ini sering tersedia dalam latihan rawat jalan
pengaturan terapi, dengan hingga sepertiga dari pasien yang mengalami iritasi kulit
ringan setelah perawatan [51]. Sementara satu studi kecil mengidentifikasi
pengurangan langsung rasa sakit gejala 1 jam setelah aplikasi TENS, masih ada
sedikit bukti bantuan jangka panjang. Studi lain yang lebih besar melakukannya tidak
menemukan peningkatan signifikan dengan TENS dibandingkan dengan plasebo
berkaitan dengan rasa sakit, status fungsional, atau kisaran gerak.
Penopang Tulang Belakang
Dukungan punggung lumbar (korset) dapat memberikan manfaat bagi pasien
menderita LBP kronis sekunder akibat proses degeneratif melalui beberapa
mekanisme potensial yang diperdebatkan. Mendukung dirancang untuk membatasi
gerakan tulang belakang, menstabilkan, memperbaiki deformitas, dan mengurangi
kekuatan mekanik. Mereka mungkin lebih jauh memiliki efek dengan memijat daerah
yang menyakitkan dan menerapkan panas yang bermanfaat; Namun, dapat juga
berfungsi sebagai plasebo. Ada bukti sedang yang tersedia yang sedang dievaluasi
kemanjuran dukungan lumbar dalam populasi campuran penderita LBP akut, subakut,
dan kronis menyarankan hal itu dukungan lumbar tidak lebih efektif daripada
perawatan lainnya.

Traksi
Traksi lumbal memberikan gaya longitudinal ke aksial tulang belakang melalui
penggunaan harness yang melekat pada krista iliaka dan tulang rusuk bawah untuk
meredakan nyeri punggung bawah kronis. Kekuatan, yang membuka ruang
intervertebral dan mengurangi lordosis tulang belakang, disesuaikan baik berkaitan
dengan level dan durasi dan dapat diukur dengan cermat dalam perangkat bermotor
dan tempat tidur. Penyesuaian tulang belakang sementara berteori untuk memperbaiki
gejala yang berhubungan dengan penyakit tulang belakang degeneratif oleh
menghilangkan stres mekanik, kompresi saraf, dan adhesi dari segi dan annulus, serta
melalui gangguan sinyal nyeri nosiseptif. Meskipun demikian, pasien dengan gejala
kronis dan nyeri radikuler belum ditemukan traksi untuk memberikan peningkatan
yang signifikan dalam rasa sakit juga berfungsi setiap hari. Sedikit yang diketahui
sehubungan dengan risiko yang terkait dengan kekuatan yang diterapkan.
Farmakoterapi
Upaya pengobatan untuk mengendalikan rasa sakit dan pembengkakan,
meminimalkan cacat, dan meningkatkan kualitas hidup dengan lumbar spondylosis
sering membutuhkan obat untuk melengkapi nonfarmakologis intervensi. Upaya
penelitian yang luas telah mengeksplorasi kemanjuran berbagai obat oral di Indonesia
pengelolaan nyeri punggung bawah akibat degeneratif proses. Meskipun demikian,
masih belum jelas konsensus mengenai pendekatan standar emas untuk farmakologis
manajemen.

OAINS
OAINS secara luas dianggap sebagai langkah pertama yang tepat di Indonesia
manajemen, memberikan analgesik dan antiinflamasi efek. Ada data yang memadai
yang menunjukkan kemanjuran di pengurangan rasa sakit dalam konteks nyeri
punggung bawah kronis, dengan penggunaan yang paling umum dibatasi oleh
gastrointestinal (GI) keluhan. Inhibitor COX2 menawarkan bantuan ringan LBP
kronis dan peningkatan fungsi dalam pengaturan jangka panjang. Sementara mereka
mendapat lebih sedikit komplikasi GI, mereka pemanfaatan telah dihentikan karena
bukti untuk peningkatan risiko kardiovaskular dengan penggunaan jangka panjang.

Obat opioid
Obat opioid dapat dianggap sebagai alternatif atau terapi augmentif untuk
pasien yang menderita gastrointestinal efek atau kontrol nyeri yang buruk pada
manajemen NSAID. Praktek peresepan narkotika untuk punggung bawah kronis
penderita rasa sakit sangat bervariasi dalam praktisi, dengan kisaran 3-66% pasien
LBP kronis mengambil beberapa bentuk opioid dalam berbagai studi literatur [67].
Pasien-pasien ini cenderung melaporkan kesusahan / penderitaan yang lebih besar
dan fungsional yang lebih tinggi skor kecacatan [68, 69]. Dua meta-analisis
menyarankan manfaat jangka pendek sederhana dari penggunaan opioid untuk
pengobatan LBP kronis sambil mengeluarkan peringatan tentang terbatas kualitas
studi yang tersedia dan tingkat toleransi yang tinggi dan penyalahgunaan yang terkait
dengan penggunaan narkotika jangka panjang dalam hal ini populasi pasien [62, 67].

Antidepresan
Penggunaan antidepresan untuk pengobatan gejala LBP juga telah dieksplorasi
secara luas mengingat usulan mereka nilai analgesik pada dosis rendah, dan peran
ganda dalam pengobatan depresi komorbiditas yang menyertai LBP dan dapat
berdampak negatif pada toleransi tidur dan nyeri [52]. Dua ulasan terpisah dari
literatur yang tersedia menemukan bukti untuk menghilangkan rasa sakit dengan
antidepresan, tetapi tidak signifikan berdampak pada fungsi [70, 71].

Relaksan otot
Relaksan otot, berbentuk antispasmodik atau obat antispastisitas, dapat
memberikan manfaat dalam nyeri punggung bawah kronis dikaitkan dengan kondisi
degeneratif. Masih ada bukti kuat sampai sedang beberapa uji coba membandingkan
benzodiazepine, atau nonbenzodiazepine dengan plasebo yang disediakan oleh
pelemas otot manfaat sehubungan dengan penghilang rasa sakit jangka pendek dan
berfungsi secara keseluruhan.

Suntikan steroid epidural


Suntikan steroid epidural (ESI) sudah menjadi hal biasa strategi intervensi
dalam pengelolaan aksial kronis dan nyeri radikuler karena degenerasi tulang
belakang lumbar. Suntikan ini dapat dilakukan melalui interlaminar, pendekatan
transforaminal, atau ekor. Biasanya dengan cara jarum dipandu dengan fluoroskopi,
kontras, lalu lokal anestesi dan steroid diinfuskan ke dalam ruang epidural di tingkat
target vertebra dan mandi keluar dari akar saraf. Pengurangan gejala adalah berteori
untuk terjadi melalui komplementer mekanisme. Anestesi lokal cepat konfirmasi
diagnostik, dan terapi mungkin singkat lingkari ‘‘ siklus kejang nyeri ’dan blok sinyal
rasa sakit transmisi [73]. Kortikosteroid dikenal untuk kapasitas mereka untuk
mengurangi peradangan melalui blokade mediator proinflamasi.

Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan diindikasikan jika terapi konservatif gagal dan adanya
gejala-gejala permanen khususnya defisit mototrik.2 Pembedahan tidak dianjurkan
pada keadaan tanpa komplikasi.6
Bedah eksisi dilakukan pada skiatika dengan bukti adanya persinggungan
dengan nervus skiatika yang tidak membaik dengan bed rest total selama 2 hari.6
- Penekanan saraf dari bagian posterior osteofit adalah penyulit yang mungkin
terjadi hanya jika sebuah neuroforamen ukurannya berkurang 30% dari
normal.
- Reduksi tinggi discus posterior samapi kurang dari 4 mm atau tinggi foramen
sampai kurang dari 15 mm sesuai dengan diagnosis kompresi saraf yang
diinduksi osteofit.
- Jika spondilosis lumbalis mucul di canalis spinalis, maka stenosis spinalis
adalah komplikasi yang mungkin terjadi.
- Jika osteofit menghilang, carilah adanya aneurisma aorta. Aneurisma aorta
dapat menyebabkan erosi tekanan dengan vertebra yang berdekatan. Jika
osteofit muncul kembali, tanda yang pertama muncul seringkali adalah erosi
dari osteofit-osteofit tersebut, sehingga tidak nampak lagi.
- Terdapat kasus adanya massa tulang setinggi L4 yang menekan duodenum.
Terapi pembedahan tergantung pada tanda dan gejala klinis, dan sebagian
karena pendekatan yang berbeda terhadap stenosis spinalis lumbalis, tiga kelompok
prosedur operasi yang dapat dilakukan anatara lain:7
 Operasi dekompresi
 Kombinasi dekompresi dan stabilisasi dari segmen gerak yang tidak stabil
 Operasi stabilisasi segmen gerak yang tidak stabil
Prosedur dekompresi adalah: dekompresi kanalis spinalis, dekompresi kanalis
spinalis dengan dekompresi recessus lateralis dan foramen intervertebralis,
dekompresi selektif dari akar saraf.

Dekompresi kanalis spinalis


Laminektomi adalah metode standar untukdekompresi kanalis spinalis
bagian tengah. Keuntungannya adalah biasanya mudah dikerjakan dan mempunyai
angka kesuksesan yang tinggi. Angka kegagalan dengan gejala yang rekuren adalah
¼ pasien setelah 5 tahun. Terdapat angkakomplikasi post operatif non spesifik dan
jaringan parut epidural yang relatif rendah.7
Secara tradisional, laminektomi sendiri diduga tidak menganggu stabilitas
spina lumbalis, selama struktur spina yang lain tetap intak khususnya pada pasien
manula. Pada spina yang degeneratif, bagian penting yang lain seperti diskus
intervertebaralis dan facet joint seringkali terganggu. Hal ini dapat menjelaskan
adanya spodilolistesis post operatif setelah laminektomi yang akan memberikan hasil
yang buruk.7
Laminektomi dikerjakan pada keadaan adanya spondilolistesis degeneratif
atau jika terdapat kerusakan operatif dari diskus atau facet joint. Terdapat insiden
yang tinggi dari instabilitas post operatif. Dengan menjaga diskus bahkan yang sudah
mengalami degenerasi, nampaknya membantu stabilitas segmental.Untuk alasan
inilah maka discectomy tidak dianjurkan untuk stenosis spinalis lumbalis dimana
gejalanya ditimbulkan oleh protrusio atau herniasi, kecuali diskus yang terherniasi
menekan akar saraf bahkan setelah dekompresi recessus lateralis.7
Jaringan parut epidural muncul setelah laminektomi dan kadang-kadang
berlokasi di segmen yang bersebelahan dengan segmen yang dioperasi. Jika jaringan
parut sangat nyata, hal ini disebut dengan “membran post laminektomi”.
Autotransplantasi lemak dilakukan pada epidural oleh beberapa ahli bedah untuk
mengurangi fibrosis. Walaupun beberapa telah berhasil, pembengkakan lemak post
operatif dapat mengakibatkan penekanan akar saraf.7
Dekompresi harus dilakukan pada pasien dengan osteoporosis. Sebaiknya dilakukan
dengan hati-hati karena instabilitas post operatif sangat sulit diobati.
Laminektomi dengan facetectomy parsial adalah prosedur standar stenosis
laminektomi tunggal cukup untuk stenosis kanalis spinalis, sehingga biasanya
digabungkan dengan beberapa bentuk facetectomy parsial. ”Unroofing” foramen
vertebralis dapat dikerjakan hanya dari arah lateral sebagaimana pada herniasi diskus
foramina. Kemungkinan cara yang lain dikerjakan adalah prosedur laminoplasti
dengan memindahkan dan memasukkan kembali lengkung laminar dan processus
spinosus.7

Dekompresi selektif akar saraf


Kecuali terdapat penyempitan diameter sagital kanalis spinalis, dekompresi selektif
akar saraf sudah cukup, khususnya jika pasien mempunyai gejala unilateral.
Facetectomy medial melalui laminotomi dapat dikerjakan. Biasanya bagian medial
facet joint yang membungkus akar saraf diangkat.7
Komplikasi spesifik prosedur ini antara lain insufisiensi dekompresi,
instabilitas yang disebabkan oleh pengangkatan 30-40% dari facet joint, atau fraktur
fatique dari pars artikularis yang menipis.7

Dekompesi dan stabilisasi


Laminektomi dapat digabungkan dengan berbagai metode stabilisasi. Sistem terbaru
menggunakan skrup pedikuler, sebagaimana pada sistem yang lebih lama seperti
knodt rods, harrington rods dan Luque frame dengan kawat sublaminer.7
Laminektomi spondilolistesis degeneratif dan penyatuan prosesus
intertranvesus dengan atau tanpa fiksasi internal adalah prosedur standar. Untuk
alternatifnya dapat dilakukan penyatuan interkorpus lumbalis posterior atau
penyatuan interkorpus anterior. Beberapa ahli mengatakan, laminektomi dengan
penyatuan spinal lebih baik daripada laminektomi tunggal karena laminektomi
tunggal berhubungan dengan insiden yang tinggi dari spondilolistesis progresif.7
Komplikasi prosedur stabilisasi termasuk di dalamnya kerusakan materi
osteosintetik, trauma neurovaskuler, fraktur prosesus spinosus, lamina atau pedikel,
pseudoarthrosis, ileus paralitik, dan nyeri tempat donor graft iliakus. Degenerasi dan
stenosis post fusi dapat muncul pada segmen yang bersebelahan dengan yang
mengalami fusi yang disebabkan oleh hipermotilitas. Walaupun hasil percobaan
mendukung teori ini, efek klinis dari komplikasi ini masih belum dapat diketahui.7
Berbeda dari spondilolistesis degeneratif dimana dekompresi dan stablisasi
adalah prosedur yang dianjurkan, tidak terdapat konsensus bahwa hal ini merupakan
pengobatan yang paling efektif. Stenosis spinalis lumbalis diterapi dengan
pembedahan dalam rangkaian operasi yang banyak dengan hasil jangka pendek yang
baik. Namun demikian, setelah lebih dari 40 tahun, penelitian dna pengalaman dalam
terapi, etiologinya masih belum dapat dimengerti secara jelas dan juga, definisi dan
klasifikasi masih belum jelas karena derajat stenosis tdak selalu berhubungan dengan
gejala-gejalanya.7
Protokol pembedahan yang dianjurkan antara lain:7
 Pada pasien dengan gejala-gejala permanen yang bertambah saat berdiri atau
menyebabkan claudicatio intermitten neurogenik dekompresi dan stabilisasi
 Pada pasien tanpa gejala-gejala yang permanen tapi dengan gejala intermitten
yang jelas berhubungan dengan postur dilakukan prosedur stabilisasi,
terutama jika keluhan membaik dengan korset lumbal.
Penurunan berat badan dan latihan untuk memperbaiki postur tubuh dan menguatkan
otot-otot abdominal dan spinal harus dikerjakan bersama dengan pengobatan baik
konservatif maupun pembedahan.7

A. Tindakan fisioterapi
Tujuan tindakan fisioterapi antara lain:8

1. Jangka panjang: mengembalikan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional berjalan


pasien.
2. Jangka pendek:
a. Mengurangi nyeri
b. Mengurangi spasme m.piriformis dan gastrok
c. Mengurangi kontraktur m.hamstring
d. Melepaskan jepitan pada nervus spinalis
Tindakan fisioterapi yang dapat dilakukan antara lain Short Wave Diathermy
(SWD) dan William flexion exercise.

1. Short Wave Diathermy (SWD)


Diathermy merupakan aplikasi energi elektromagnetik dengan frekuensi
tinggi yang terutama digunakan untuk membangkitkan panas dalam jaringan tubuh.
Diathermy juga dapat digunakan untuk menghasilkan efek-efek nontermal.
Diathermy yang digunakan sebagai modalitas terapi terdiri atas Short Wave
Diathermy (SWD) dan Microwave Diathermy8

SWD adalah modalitas terapi yang menghasilkan energi elektromagnetik


dengan arus bolak-balik frekuensi tinggi. Federal Communications Commision
(FCC) telah menetapkan 3 frekuensi yang digunakan pada SWD, yaitu:8

a. Frekuensi 27,12 MHz dengan panjang gelombang 11 meter, frekuensi ini paling
sering digunakan pada SWD untuk tujuan pengobatan.
b. Frekuensi 13,56 MHz dengan panjang gelombang 22 meter
c. Frekuensi 40,68 MHz dengan panjang gelombang 7,5 meter, frekuensi ini jarang
digunakan.

Efek terapi yang ditimbulkan antara lain:

a. Perubahan panas/ temperatur


1) Meningkatkan metabolisme sel-sel sekitar 13% setiap kenaikan 1o C.
2) Meningkatkan vasomotion sphinter sehingga timbul homeostatik lokal dan
akhirnya terjadi vasodilatasi lokal.9
b. Reaksi general
Mengaktifkan sistem termoregulator di hipotalamus yang mengakibatkan
kenaikan temperatur darah untuk mempertahankan temperatur tubuh secara
general.9

c. Jaringan ikat
Meningkatkan elastisitas jaringan ikat secara lebih baik seperti jaringan
kolagen kulit, tendon, ligamen dan kapsul sendi akibat menurunnya viskositas
matriks jaringan.9

d. Otot
1) Meningkatkan elastisitas jaringan otot
2) Menurunkan tonus otot melalui normalisasi nosisensorik, kecuali hiertoni
akibat emosional dan kerusakan sistem saraf pusat.9
e. Saraf
1) Meningkatkan elastisitas pembungkus jaringan saraf
2) Meningkatkan konduktivitas saraf dan meningkatkan ambang rangsang
(theshold).9

2. William flexion exercise


William flexion exercise dikenalkan oleh dr Paul Williams pada tahun 1937
yang ditujukan untuk pasien kronik Low Back Pain (LBP) dengan kondisi degenerasi
korpus vertebra sampai pad adegenerasi diskus. Program ini telah berkembang dan
banyak ditujukan pada laki-laki di bawah usia 50-an dan wanita di bawah usia 40-an
yang mengalami lordosis lumbal berlebihan, penurunan segmen diskus antara
segmen lumbal dan gejala-gejala kronik LBP.8,10

William flexion exercise adalah program latihan yang terdiri dari 7 macam
gerakan yang menonjolkan pada penurunan lordosis lumbal (terjadi fleksi lumbal).
William flexion exercise telah menjadi dasar dalam mananjemen nyeri pinggang
bawah selama beberapa tahun untuk mengobati beberapa problem nyeri pinggang
bawah berdasarkan temuan diagnosis. Program ini digunakan ketika penyebab
gangguan berasal dari facet joint (kapsul ligament), otot serta degenerasi korpus dan
diskus.8
Metode latihan ini bertujuan untuk mengurangi nyeri dan memberikan
stabilisasi lower trunk melalui perkembangan secara aktif pada otot abdominal,
gluteus maksimus, dan hamstring sehingga terjadi peningkatan fleksibilitas/elastisitas
pada group otot fleksor hip dan lower back (sacrospinal). Selain itu, latihan ini
berguna untuk mengembalikan/menyempurnakan keseimbangan kerja antara group
otot postural fleksor dan ekstensor.8,10

Adapun prosedur pelatihannya adalah:

a. Latihan I
Posisi pasien tidur terlentang dengan kedua lutut fleksi dan kaki datar diatas
bed/lantai. Datarkan punggung bawah melawan bed tanpa kedua tungkai
mendorong ke bawah. kemudian pertahankan 5-10 detik. Gerakan ini bertujuan
untuk penguluran otot-otot ekstensor trunk, mobilisasi sendi panggul dan
penguatan otot perut.8,10

Gambar 3. Teknik William flexion exercise I

b. Latihan II
Posisi awal sama dengan nomor 1. Pasien diminta untuk
mengkontraksikan otot perut dan memfleksikan kepala sehingga dagu
menyentuh dada dan bahu terangkat dari matras. Kemudian tahan 5-10 detik.
Ulangi sebanyak 10 kali. Gerakan ini bertujuan untuk penguluran otot-otot
ekstensor trunk, penguatan otot-otot perut, dan otot sternocleidomastoideus.8,10
Gambar 4. Teknik William flexion exercise II

c. Latihan III
Posisi awal sama dengan nomer I. Pasien diminta untuk memfleksikan
salah satu lutut ke arah dada sejauh mungkin kemudian kedua tangan mencapai
paha belakang dan menariknya ke dada. Pada waktu bersamaan fleksikan kepala
hingga menyentuh dagu menyentuh dada dan bahu lepas dari matras. Tahan
selama 5 detik. Latihan diulangi pada tungkai yang lain kemudian gerakan
diulang sebanyak 10 kali. Gerakan ini bertujuan untuk merapatkan lengkungan
pada lumbal, penguluran otot-otot ekstensor trunk, sendi panggul, sendi
sakroiliaka dan otot-otot hamstring.8,10

Gambar 5. Teknik William flexion exercise III

d. Latihan IV
Posisi awal sama dengan latihan I. Pasien diminta untuk melakukan yang
sama dengan nomer 3, tetai kedua lutut dalam posisi menekuk, dinaikan ke atas
dan ditarik dengan kedua tangan ke arah dada. Fleksikan kepala dan naikan bahu
dari matras, tahan 5-10 detik dan ulangi 10 kali. Gerakan ini bertujuan untuk
merapatkan lengkungan pada lumbal, penguluran otot-otot ekstensor trunk, sendi
panggul, sendi sakroiliaka dan otot-otot hamstring.8,10
Gambar 6. Teknik William flexion exercise IV

e. Latihan V
Gerakan berupa latihan dimulai dengan posisi awal seperi seorang
pelari cepat pada titik startnya yaitu satu tungkai dalam fleksi maksimal pada
sendi lutut dan paha, sedang tungkai yang lain dalam keadaan lurus di
belakang. Kemudian pada posisi tersebut tekan badan ke depan dan ke
bawah, tahan 5 hitungan dan rileks. Ulangi hingga 10 kali. Gerakan ini
bertujuan mengulur / streching otot-otot fleksor hip dan fascia latae.8,10

Gambar 7. Teknik William flexion exercise V

f. Latihan VI
Posisi awal berdiri menempel dan membelakangi dinding dengan tumit
10-15 cm di depan dinding, lumbal rata dengan dinding. Kemudian satu
tungkai melangkah ke depan tanpa merubah posisi lumbal pada dinding,
tahan 10 hitungan dan rileks. Ulangi hingga 10 kali. Bila latihan terlalu berat,
lamanya penahanan dapat dikurangi. Gerakan ini bertujuan untuk penguatan
otot quadriceps, otot perut dan ekstensor trunk.8,10
Gambar 8. Teknik William flexion exercise VI

DAFTAR PUSTAKA

1. Netter FH. 2010. Atlas of Human Anatomy. 2th ed. Philadelphia, PA:

Saunders/Elsevier; P:35.

2. Regan, John J.2010. Spondylosis. Diaksesdari http://www.spineuniverse.com/

conditions/spondylosis/spondylosis. Diakses tanggal 06 Agustus 2019.

3. Bruce M,Rothschild. 2018. Spondyloarthrosis Lumbal. http://www.

emedicine.com/med/topic2901.html. Diaskes tanggal 06 Agustus 2019.

4. Middleton, Kimberly dan David E.Fish. 2009. Lumbar Spondylosis: Clinical

Presentation and Treatment Approaches. Vol 2:94-104. Pubmed.

5. Driver Catherine Burt, 2018. Spondylosis. https://www.emedicinehealth.

com/spondylosis/article_em.htm. Diakses tanggal 06 Agustus 2019.

6. Snell RS. Neuroanatomi klinik. 5th ed. Jakarta: EGC; 2007.


7. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Disorders of peripheral nerves: Bell
palsy. In: Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP, editors. Clinical
Neurology. 6th Ed. USA: The McGraw-Hill Com- panies, Inc; 2005. p. 182.
8. Rahayu, Sri. 2011. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Spondylosis L4-S1 di
RSAL Dr. Ramelan Surabaya. Karya Tulis Ilmiah: UMS
9. Peng, B., et al. 2005. The Pathogenesis of Discogenic Low Back Pain. Vol 87:
62-67. Journal of Bone and Joint Surgery.
10. Fajrin, Iniyati. 2008. Penatalaksanaan Fisioterapi dengan Infra Red, Tens, dan
William Flexion Exercise pada Kondisi Low Back Pain karena Spondilosis
Lumbalis. Karya Tulis Ilmiah: UMS.
11. Gower T. Is It Back Pain or Is It OA? Arthritis Foundation. www.arthritis.org/
about-arthritis/types/back-pain/articles/oa-and-back-pain.php. Diakses tanggal
07 Agustus 2019.

Anda mungkin juga menyukai