Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS

Manajemen Ileus Obstruktif Post-Operatif

Disusun oleh :
Edwinantha Rama 1810221047
Helena Galuh Proborini 1810221021

Pembimbing :
dr. Ferra Mayasari, Sp. An

Kepaniteraan Klinik Departemen Anestesi dan Reanimasi


Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa
Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
berkah dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus. Makalah
ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik bagian ilmu anestesi
dan reanimasi Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta di RSUD Ambarawa periode
13 Mei 2019 – 17 Juni 2019. Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dr. Ferra
Mayasari, Sp. An selaku pembimbing makalah ini. Tidak lupa ucapan terimakasih
kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun
agar makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pihak yang terkait dan
kepada seluruh pembaca.

Ambarawa, Mei 2019

Penulis

2
3
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Edwinantha Rama 1810221047


Helena Galuh Proborini 1810221021
Departemen : Instalasi Anestesi dan Reanimasi RSUD Ambarawa
Instansi : Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta
Periode : 13 Mei 2019 – 17 Juni 2019
Pembimbing : dr. Ferra Mayasari, Sp. An
Judul : Manajemen Ileus Obstruktif Post-Operatif

Ambarawa, Mei 2019

dr. Ferra Mayasari, Sp. An

4
BAB I
DESKRIPSI KASUS

I.1 Identitas Pasien


 Nama : Tn. AM
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Usia : 32 tahun
 No. Rekam Medis : 151337
 Agama : Islam
 Pekerjaan : -
 Status : Menikah

I.2 Subjektif
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien dan alloanamnesis
dengan keluarga pasien pada 15 Mei 2019, pukul 19.00 WIB di ruang perawatan
Asoka. Tn.AM, laki-laki usia 32 tahun dengan diagnosis ileus obstruktif. Pada pasien
ini akan dilakukan pembiusan secara general.

Keluhan Utama
Nyeri perut.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pada saat kunjungan pra anestesi, pasien mengatakan nyeri perut sudah
berkurang. Pasien mengatakan tidak bisa buang angin dan tidak bias BAB sejak 3 hari
SMRS. Pasien juga mengatakan perut terasa penuh dan tidak nafsu makan disertai mual
dan muntah. Asma (-), alergi (-), gigi palsu (-), gigi goyang (-), riwayat operasi
sebelumya (-), merokok (-).

5
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat penyakit paru : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Dikeluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa dengan pasien.

Riwayat Alergi
Pasien tidak mempunyai riwayat alergi makanan dan obat-obatan.

Riwayat Operasi dan Pengobatan


Pasien tidak pernah menjalani operasi sebelumnya.

I.3 Objektif
Pemeriksaan Fisik Status Generalis
 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang dan lemah
 Kesadaran : Compos Mentis
 Berat Badan : 61 Kg
 Tinggi Badan : 173 Cm
 Tekanan Darah : 121/91 mmHg
 Nadi : 79x/menit
 Pernafasan : 22x/menit
 Suhu : 37,3C

6
Kepala
 Bentuk : Normocephal
 Rambut : Warna hitam, distribusi rambut merata, rambut tidak
mudah dicabut.
 Mata : Pelpebra cekung dan tidak edema, konjungtiva
anemis (-/-),sklera tidak ikterik (-/-),
 Hidung : tidak diperiksa
 Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, tonsil T1-T2, Malampati 3
 Mulut : Mukosa bibir lembab, tidak pucat, tidak sianosis.

Leher
 Inspeksi : Proporsi leher dalam batas normal, tidak terlihat adanya
massa atau benjolan, tidak ada hambatan dalam pergerakan.
 Palpasi : Trakea terletak ditengah, tidak teraba pembesaran tiroid,
KGB tidak teraba.
Thorax
1) Paru-paru
 Inspeksi : Bentuk dada normochest, pergerakan dinding dada
simetris,
tidak terlihat adanya luka/ massa didaerah dada
 Palpasi : Vocal fremitus sama antara dada kanan dan kiri.
 Perkusi : Suara perkusi sonor pada seluruh lapang paru.
 Auskultasi : Suara nafas vesikuler, tidak ada ronkhi (-/-), tidak ada
wheezing (-/-).

2) Jantung
 Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihat.
 Palpasi : Tidak teraba pulsasi iktus kordis.

7
 Perkusi : Perkusi tidak dilakukan secara maksimal (batas jantung
paru sulit dinilai)
 Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni regular, tidak ada murmur dan
tidak ada gallop.
Abdomen
 Inspeksi : cembung, distensi (+), tidak terlihat massa, dam stifung
(-), dam contour (+)
 Auskultasi : BU (+) lemah
 Perkusi : hipertimpani
 Palpasi : distensi abdomen (+), nyeri tekan (+) region epigastrium,
hipokondrium dextra-sinistra dan inguinalis sinistra

Kulit
Kulit tidak kering, tidak ada lesi, tidak sianosis dan tidak ikterik. Turgor kulit baik,
CRT <2 detik

Ekstremitas
 Superior : Deformitas (-/-), jari tabuh (-/-), sianosis (-/-), tremor (-/-),
edema (-/-), akral dingin (-/-), kesemutan (-/-), sensorik dan motorik baik.
 Inferior : Deformitas (-/-), jari tabuh (-/-), sianosis (-/-), tremor (-/-),
edema (-/-), akral dingin (-/-), kesemutan (-/-), sensorik dan motorik baik.

Kesulitan Airway
 Gigi : Tidak ada gigi goyang. Tidak ada pemakaian gigi palsu
 Malampati : Malampati 3
 3-3-2 rules : Baik
 Mobilisasi leher : Baik
 Trauma cervical : Tidak ada
 Leher pendek : Tidak ada

8
I.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium 9 dan 10 Mei 2019
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
HEMATOLOGI
HEMOGLOBIN 12.3 g/dl 11.7-15.5 g/dl
LEUKOSIT 15.1 H 3.6-11.0 ribu
ERITROSIT 3.77 jt 3.8-5.2 juta
HEMATOKRIT 38.6 35-47 %
TROMBOSIT 516 H 150-400 ribu
MCV 73.6 fL (L) 82-98 Fl
MCH 23.7 pg (L) 27-32 pg

MCHC 32.7 g/dl 32-37 g/dl


RDW 14.8 % 10-16%
MPV 6.51 mm³ 7-11 mm³
LIMFOSIT 0.56 (L) 1.0-4.5
MONOSIT 0.943 0.2-1.0
EOSINOFIL 0.02 (L) 0.04-0.8
BASOFIL 0.123 0-0.2
NEUTROFIL 13.77 (H) 1.8-7.5
LIMFOSIT % 3.87 (L) 25-40 %
MONOSIT % 4.1 2-8%
EOSINOFIL% 0.01 (L) 2-4%
BASOFIL% 1.20 0-1%
NEUTROFIL% 91.1% (H) 50-70%
PCT 0.237 0.2-0.5%
PDW 20.2 10-18%
PTT 15.5 (H) 9.3-11.4
INR 1.15
APTT 28.8 24.5-32.8

9
Golongan Darah A
KIMIA KLINIK
GLUKOSA SEWAKTU 95 74-106 mg/dl
Natrium - 136-146 mmol/L
Kalium - 3.5-5.2 mmol/L
Chlorida - 98-105 mmol/L
UREUM 51.2 (H) 10-50 mg/dl
Kreatinin 1.36 (H) 0.45-0.75 mg/dl
URIN
Protein Urin - Negatif
SEROLOGI
HbsAg Non Reaktif Non Reaktif

Diagnosis Klinis
Ileus obstruktif

I.6 Tata Laksana


 Non-Farmakologi
o Informed consent anestesi rencana anestesi general
o Pasien dipuasakan 8 jam sebelum operasi
o Surat izin operasi dan surat izin anestesi
o Pasang DC dan NGT dialirkan
 Farmakologi
o Infus Asering 20 tpm-inf Valamin-Inf Futrolit
o Sedia darah PRC 1 Plabot
o Inj Ketorolak 3x30 mg
o Inj Vicillin 3x1500
 Operatif
o Pro Laparotomi Eksplorasi (rencana program 15 Mei 2019)

10
I.7 Kesimpulan
ASA 2

1.8 Follow up (ICU 16 Mei 2019)


 16 Mei 2019
 S : post laparotomy, nyeri post operasi, mual + minimal, muntah-, flatus-
 O:
o Kesadaran: CM
o Vital : TD 112/97. HR 121x/m, RR 32x/m. T afebris, Saturasi 100%
o GIT : disetnsi (+),
 Drainase produksi +- 100cc, warna kemerahan, pus-
 Produksi NGT +- 100cc, warna kehijauan
o GUT : urine (+), volume +- 800cc/24 jam
 A : Post Op Laparotomi eksploratif H+1 dengan perlengketan hebat dan
Impending Sepsis
 P:
o Ngt + diet cair
o Mobilisasi miring-miring
o Inf Futrolit II + Valamin II 40 tpm
o Inj Viccilin 3x1500mg
o Inj Ketorolak 3x30mg
o Anaestesi: ACC pindah ruangan ke bangsal

11
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
HEMATOLOGI
HEMOGLOBIN 12.32 g/dl 11.7-15.5 g/dl
LEUKOSIT 28.7H 3.6-11.0 ribu
ERITROSIT 3.77 jt 3.8-5.2 juta
HEMATOKRIT 34.5 L 35-47 %
TROMBOSIT 408 H 150-400 ribu
MCV 73.8 fL (L) 82-98 Fl
MCH 26.3 pg (L) 27-32 pg

MCHC 32.7 g/dl 32-37 g/dl


RDW 14.8 % 10-16%
MPV 6.51 mm³ 7-11 mm³
LIMFOSIT 0.76 (L) 1.0-4.5
MONOSIT 0.943 0.2-1.0
EOSINOFIL 0.03 (L) 0.04-0.8
BASOFIL 0.123 0-0.2
NEUTROFIL 27 (H) 1.8-7.5
LIMFOSIT % 3 (L) 25-40 %
MONOSIT % 4.1 2-8%
EOSINOFIL% 0.01 (L) 2-4%
BASOFIL% 1.20 0-1%
NEUTROFIL% 93% (H) 50-70%
PCT 0.237 0.2-0.5%
PDW 20.2 10-18%
PTT 15.6 (H) 9.3-11.4
INR 1.51
APTT 28.2 24.5-32.8
Golongan Darah A
KIMIA KLINIK

12
GLUKOSA SEWAKTU 110 74-106 mg/dl
Natrium 135 L 136-146 mmol/L
Kalium 4.1 3.5-5.2 mmol/L
Chlorida 104 98-105 mmol/L
UREUM 65 (H) 10-50 mg/dl
Kreatinin 1.49 (H) 0.45-0.75 mg/dl
URIN
Protein Urin - Negatif
SEROLOGI
HbsAg Non Reaktif Non Reaktif

13
BAB II
ANESTESI

II.1 Rencana Anestesi


General Anestesi

II.2 Tatalaksana
PREMEDIKASI
-
INDUKSI
1) Fentanyl 100 µg
2) Propofol 120 mg
3) Roculax 30 mg
4) Midazolam 5 mg
MAINTENANCE
1) Inhalasi O2 3 liter per menit +N2O 3LPM+Sevoflurane 2%
2) Obat-obatan lain
a. Ondansetron 4 mg.
b. Ketorolac 30 mg
c. Dexametason 10 mg
II.3. Tindakan
1) Pukul 14.00 Dlakukan general anestesi dengan prosedur sebagai berikut:
 Persiapan alat dan memposisikan pasien dalam posisi berbaring
(supine)
 Dilakukan injeksi melalui jalur intra vena yaitu Fentanyl 100 mcg dan
Propofol 120 mg
 Sungkup muka kemudian dipasang dengan pemberian oksigen 100%
sebesar 3 liter/menit selama 5 menit

14
 Setelah 5 menit, diberikan obat relaksasi otot berupa Roculax 20 mg
(IV)
 ETT terpasang
 N2O mulai diberikan 3 liter/menit dengan O2 3 liter/menit, bersamaan
dengan ini Sevofluran dibuka sampai 2% dengan sedikit demi sedikit.
2) Pukul 14.10 operasi dimulai
3) Monitoring tanda vital setiap 15 menit dan memastikan kondisi pasien stabil
4) Perdarahan yang keluar sebanyak 350 cc
5) Pukul 15.15 operasi selesai
6) Pukul 15.30 induksi anestesi selesai

II.4 Monitoring
PEMANTAUAN CAIRAN
1) Pemberian cairan :
 Kebutuhan cairan :
 Maintenance :
2XBB= 2X61Kg = 122cc/jam
 Puasa :
122 x 6 = 732
 Stress operasi : skala berat x BB  6 x 61kg = 366 ml
 Pemberian cairan jam ke- :
 Jam ke I : maintenance + ½ pengganti puasa + stress operasi
122 mL + ½ (732) + 366 = 854 mL
Total kebutuhan cairan : 854 cc
2) Jumlah pemberian cairan :
Total pemberian cairan adalah 854cc/jam, dengan rincian :
 Ringer laktat : 2000 cc RingAS+500cc Futrolit
3) Jumlah cairan keluar
 Perdarahan : 300 cc
 Urin Output : 50 cc

15
4) EBV 75 x 61 kg = 4575cc
5) Terapi carian post OP
 50cc/kg/24 jam: 3050cc/24 jam

II.5 Pasca Operasi


1) Pemantauan TTV :
Pemantauan tiap 30 menit selama 3 jam.
Pro rawat ICU
2) Pengelolaan nyeri :
Diberikan Tramadol 100 mg/24 jam
3) Pengelolaan mual-muntah:
Ondansetron 4 mg IV
4) Lain-lain :
Mobilisasi bila motorik pulih

16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

III.1 Anatomi dan Fisiologi Usus


Usus halus berbentuk tubuler, dengan panjang sekitar 6 meter pada orang
dewasa, yang terbagi atas tiga segmen yaitu duodenum, jejunum, dan ileum.
Duodenum panjangnya sekitar 25 cm, panjang jejenum 100-110 cm dan panjang ileum
150 -160 cm. Pemisahan duodenum dan jejenum ditandai oleh Ligamentum Treitz.
Arteri mesenterika superior dicabangkan dari aorta tepat di bawah arteri celiaca.
Arteri ini mendarahi seluruh usus halus kecuali duodenum yang diperdarahi oleh arteri
gastroduodenalis dan cabangnya arteri pankreatikoduodenalis superior. Darah
dikembalikan lewat vena mesenterika superior yang menyatu dengan vena lienalis
membentuk vena porta.
Usus halus dipersarafi cabang-cabang kedua sistem saraf otonom. Rangsangan
parasimpatis merangsang aktivitas sekresi dan pergerakan, sedangkan rangsangan
simpatis menghambat pergerakan usus. Serabut saraf sensorik sistem simpatis
menghantarkan nyeri, sedangkan serabut saraf parasimpatis mengatur refleks usus.
Usus besar dibagi menjadi caecum, colon dan rektum. Pada caecum terdapat
katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung caecum. Kolon dibagi lagi
menjadi colon ascenden, colon transversum, descenden dan sigmoid. Lekukan bagian
bawah membelok ke kiri waktu colon sigmoid bersatu dengan rektum.
Sekum, kolon ascenden dan bagian kanan kolon transversum diperdarahi oleh
cabang a.mesenterika superior yaitu a.ileokolika, a.kolika dekstra dan a.kolika media.
Kolon transversum bagian kiri, kolon descendens, kolon sigmoid dan sebagian besar
rektum perdarahi oleh a.mesenterika inferior melalui a.kolika sinistra, a.sigmoid dan
a.hemoroidalis superior. Pembuluh vena kolon berjalan paralel dengan arterinya.
Kolon dipersarafi oleh oleh serabut simpatis yang berasal dari n.splanknikus dan
pleksus presakralis serta serabut parasimpatis yang berasal dari N.vagus.

17
Gambar 1. Anatomi Sistem Pencernaan
Usus halus mempunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan dan absorbsi bahan-
bahan nutrisi, air, elektrolit dan mineral. Proses pencernaan dimulai dalam mulut dan
lambung oleh kerja ptialin, asam klorida dan pepsin terhadap makanan yang masuk.
Proses dilanjutkan di dalam duodenum terutama oleh kerja enzim-enzim pankreas yang
menghidrolisis karbohidrat, lemak, dan protein menjadi zat-zat yang lebih sederhana.
Adanya bikarbonat dalam sekret pankreas membantu menetralkan asam dan
memberikan pH optimal untuk kerja enzim-enzim. Sekresi empedu dari hati membantu
proses pencernaan dengan mengemulsikan lemak sehingga memberikan permukaan
yang lebih luas bagi kerja lipase pankreas.
Proses pencernaan disempurnakan oleh sejumlah enzim dalam getah usus
(sukus enterikus). Banyak di antara enzim–enzim ini terdapat pada brush border vili
dan mencernakan zat–zat makanan sambil diabsorbsi. Pergerakan segmental usus halus
akan mencampur zat–zat yang dimakan dengan sekret pankreas, hepatobiliar dan
sekresi usus dan pergerakan peristaltik mendorong isi dari salah satu ujung ke ujung
lainnya dengan kecepatan yang sesuai untuk absorbsi optimal dan suplai kontinu isi
lambung.Absorbsi adalah pemindahan hasil akhir pencernaan karbohidrat, lemak dan
protein melalui dinding usus ke sirkulasi darah dan limfe untuk digunakan oleh sel–sel
tubuh. Selain itu, air, elektrolit dan vitamin juga diabsorbsi.

18
Kontraksi usus halus disebabkan oleh aktifitas otot polos usus halus yang terdiri
dari 2 lapis yaitu lapisan otot longitudinal dan lapisan otot sirkuler. Otot yang terutama
berperan pada kontraksi segmentasi untuk mencampur makanan adalah otot
longitudinal. Bila bagian mengalami distensi oleh makanan, dinding usus halus akan
berkontraksi secara lokal. Tiap kontraksi ini melibatkan segmen usus halus sekitar 1–
4 cm.
Fungsi sfingter ileocaecal diatur oleh mekanisme umpan balik. Bila tekanan di
dalam caecum meningkat sehingga terjadi dilatasi, maka kontraksi sfingter ileocaecal
akan meningkat dan gerakan peristaltik ileum akan berkurang sehingga memperlambat
pengosongan ileum. Bila terjadi peradangan pada caecum atau pada appendiks maka
sfingter ileocaecal akan mengalami spasme, dan ileum akan mengalami paralisis
sehingga pengosongan ileum sangat terhambat.

III.2 Ileus
Ileus merupakan suatu kondisi dimana terdapat gangguan pasase (jalannya
makanan) di usus yang segera memerlukan pertolongan atau tindakan. Ileus terutama
dibagi dua berdasarkan penyebabnya, yaitu ileus obstruktif dan ileus paralitik.
Ileus paralitik adalah keadaan dimana usus gagal atau tidak mampu melakukan
kontraksi peristaltik untuk menyalurkan isinya. Ileus paralitik ini bukan suatu penyakit
primer usus melainkan akibat dari berbagai penyakit primer, tindakan (operasi) yang
berhubungan dengan rongga perut, toksin dan obat-obatan yang dapat mempengaruhi
kontraksi otot polos usus, distrofi otot, gangguan endokrin, seperti diabetes militus,
atau gangguan neurologis seperti penyakit Parkinson.
Ileus obstruktif merupakan penyumbatan intestinal mekanik yang terjadi karena
adanya daya mekanik yang bekerja atau mempengaruhi dinding usus sehingga
menyebabkan penyempitan/penyumbatan lumen usus. Hal tersebut menyebabkan
pasase lumen usus terganggu.

19
III.3 Ileus Obstruktif
III.3.1 Definisi
Ileus obstruktif merupakan penyumbatan intestinal mekanik yang terjadi karena
adanya daya mekanik yang bekerja atau mempengaruhi dinding usus sehingga
menyebabkan penyempitan/penyumbatan lumen usus. Hal tersebut menyebabkan
pasase lumen usus terganggu.
Obstruksi intestinal secara umum didefinisikan sebagai kegagalan isi intestinal
untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke anus. Obstruksi intestinal ini merujuk
pada adanya sumbatan mekanik atau nonmekanik parsial atau total dari usus besar dan
usus halus.

III.3.2 Klasifikasi
Lokasi Obstruksi
 Letak Tinggi : Duodenum-Jejunum
 Letak Tengah : Ileum Terminal
 Letak Rendah : Colon-Sigmoid-rectum

Gambar 2. Lokasi Obstruksi

Stadium
 Parsial : menyumbat lumen sebagian
 Simple/Komplit: menyumbat lumen total
 Strangulasi: simple dengan jepitan vasa

20
Jenis Obstruksi
 Ileus obstruktif sederhana, dimana obstruksi tidak disertai dengan terjepitnya
pembuluh darah.
 Ileus obstruktif strangulasi, dimana obstruksi yang disertai adanya penjepitan
pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir dengan nekrosis
atau gangren yang ditandai dengan gejala umum berat yang disebabkan oleh
toksin dari jaringan gangren.
 Ileus obstruktif jenis gelung tertutup, dimana terjadi bila jalan masuk dan keluar
suatu gelung usus tersumbat, dimana paling sedikit terdapat dua tempat
obstruksi.

III.3.2 Etiologi
Ileus obstruktif sering dijumpai dan merupakan penyebab terbesar pembedahan
pada akut abdomen. Obstruksi mekanik dari lumen intestinal biasanya disebabkan oleh
beberapa mekanisme:
 blokade intralumen (obturasi)
 intramural atau lesi intrinsik dari dinding usus
 kompresi lumen atau konstriksi akibat lesi ekstrinsik dari intestinal
Tabel 1. Etiologi Ileus Obstruktif

21
Gambar 3. Etiologi Ileus Obstruktif

Penyebab terjadinya ileus obstruktif beragam jumlahnya berdasarkan umur dan


tempat terjadinya obstruksi. Adhesi post operatif merupakan penyebab utama dari
terjadinya obstruksi usus halus.
Tabel 2. Kejadian Ileus Obstruktif Berdasarkan Usia

22
III.3.3 Patofisiologi dan Komplikasi
Respon Usus Halus Terhadap Obstruksi
Normalnya, sekitar 2 L asupan cairan dan 8 L sekresi dari gaster, intestinal dan
pankreaticobilier ditansfer ke intestinal setiap harinya. Meskipun aliran cairan menuju
ke intestinal bagian proksimal, sebagian besar cairan ini akan diabsorbsi di intestinal
bagian distal dan kolon. Ileus obstruktif terjadi akibat akumulasi cairan intestinal di
daerah obstruksi disebabkan karena adanya gangguan mekanisme absorbsi normal
daerah obstruksi serta kegagalan isi lumen untuk mencapai daerah distal usus.
Akumulasi cairan intralumen proksimal daerah obstruksi terjadi dalam
beberapa jam dan akibat beberapa faktor. Asupan cairan dan sekresi lumen yang terus
bertambah terkumpul dalam intestinal. Aliran darah meningkat ke daerah intestinal
segera setelah terjadinya obstruksi, terutama di daerah proksimal lesi, yang akhirnya
akan meningkatkan sekresi intestinal. Pengguyuran cairan intravena juga
meningkatkan volume cairan intralumen. Sekresi cairan ke dalam lumen terjadi karena
kerusakan mekanisme absorpsi dan sekresi normal. Distensi lumen menyebabkan
terjadinya kongestif vena, edema intralumen, dan iskemia. Gas intestinal juga
mengalami akumulasi saat terjadinya ileus obstruktif. Sebagian kecil dihasilkan
melalui netralisasi bikarbonat atau dari metabolisme bakteri.
Peningkatan volume intralumen menyebabkan terjadinya distensi intestinal di
bagian proksimal obstruksi, yang bermanifestasi pada mual dan muntah. Selanjutnya,
obstruksi mekanik ini mengarah pada peningkatan defisit cairan intravaskular yang
disebabkan oleh terjadinya muntah, akumulasi cairan intralumen, edema intramural,
dan transudasi cairan intraperitoneal. Pemasangan nasogastric tube malah
memperparah terjadinya defisit cairan melalui external loss. Hipokalemia,
hipokhloremia, alkalosis metabolik merupakan komplikasi yang sering dari
obstruksi letak tinggi. Hipovolemia yang tak dikoreksi dapat mengakibatkan
terjadinya insufisiensi renal, syok, dan kematian.
Stagnasi isi intestinal dapat memfasilitasi terjadinya proliferasi bakteri. Bakteri
Aerob dan anaerob berkembang pada daerah obstruksi. Koloni berlebihan dari bakteri

23
dapat merangsang absorbtif dan fungsi motorik dari intestinal dan menyebabkan
terjadinya translokasi bakteri dan komplikasi sepsis.
Bagan 1. Patofisiologi dan Komplikasi Ileus Obstruktif

Strangulasi
Obstruksi strangulasi adalah hilangnya aliran darah di segmen obtruksi dari
intestinal. Hal ini dapat terjadi karena adanya penekanan langsung dari vasa mesenteric
atau sebagai akibat perubahan lokal pada dinding intestinal. Komplikasi ini sering
berhubungan dengan obstruksi yang disebabkan oleh hernia dan volvulus. Obstruksi
strangulasi pada kolon paling sering disebabkan oleh volvulus.

24
Iskemia intramural dapat terjadi karena berbagai sebab. Distensi dan
peningkatan tekanan pada intramural dapat menyebabkan kongesti dari vena,
kebocoran kapiler, edema dinding usus besar dan perdarahan serta thrombosis dari
arteri dan vena. Peningkatan pertumbuhan bakteri terjadi dalam beberapa jam setelah
strangulasi. Hal ini menyebabkan produksi toksin intralumen dan dapat merangsang
pelepasan mediator vasoaktif seperti prostaglandin. Mukosa dari intestinal lebih peka
terhadap iskemia dan beberapa faktor tampaknya memainkan peranan penting untuk
mendukung terjadinya iskemia, termasuk hipoksia, protease pankreas dan radikal
bebas. Mukosa pada intestinal lebih peka terhadap terjadinya iskemia dibandingkan
mukosa pada kolon. Saat terjadi nekrosis mukosa, bakteri dan toksin dapat dengan
segera berpindah tempat dari dinding intestinal menuju ke cavum peritoneal, limfe
pada mesenterikum, dan sirkulasi sistemik. Hal ini menggiring pada terjadinya
iskemia, sepsis, perforasi yang dapat disertai dengan peritonitis dan kematian akibat
syok sepsis. Iskemia dan terjadinya reperfusion juga mendukung terjadinya gagal
organ, seperti paru.
Tabel 3. Perbedaan Ileus Obstruktif Simple dan Strangulate

Obstruksi Gelung Tertutup


Terjadi saat obstruksi terdapat di dua tempat. Volvulus merupakan sebab yang
paling sering dan dapat juga menyebabkan terjadinya perputaran mesenterium.

25
Obstruksi di bagian distal dari usus besar juga dapat menyebabkan terjadinya closed
loop obstruction jika katup ileocekal masih tersisa. Saat tekanan intralumen di segmen
obstruksi meningkat, sekresi cairan ke dalam lumen meningkat sementara absorbsinya
menurun. Kepentingan klinis yang mungkin terjadi akibat fenomena ini ialah
meningkatnya resiko kejadian strangulasi. Distensi pada obstruksi gelung tertutup
terjadi sangat cepat sehingga biasanya strangulasi terjadi lebih dahulu bahkan sebelum
gejala klinis dari obstruksi tampak jelas.

Obstruksi Parsial Intestinal


Pada obstruksi parsial, lumen tak sepenuhnya tersumbat. Adhesi merupakan
penyebab tersering dari gangguan ini dan jarang sekali mengakibatkan terjadinya
strangulasi. Obstruksi parsial kronis dapat menyebabkan terjadinya penebalan dinding
intestinal akibat hipertrofi otot. Perpanjangan waktu kontraksi dan peningkatan
kelompok kontraksi merupakan karakteristik yang dapat ditemukan. Kelainan motoris
ini dan kemungkinan berhubungan dengan pertumbuhan bakteri dapat menyebabkan
terjadinya malabsorbsi, distensi dan diare sekretorik.

Obstruksi Kolon
Patofisiologi terjadinya obstruksi pada kolon berbeda dengan intestinal. Kolon
khususnya yang bagian distal memiliki kemampuan yang terbatas pada absorbsi.
Akumulasi cairan dan gas di kolon terjadi lebih lambat karena posisinya yang berada
paling distal dari saluran pencernaan dan karena sebagian besar cairan telah diabsorbsi
di usus halus. Distensi yang terjadi secara perlahan ini memungkinkan kolon untuk
beradaptasi dan dekompresi dapat terjadi karena katup ileocecal yang inkompeten.
Seperti disebutkan sebelumnya, katup ileocecal yang kompeten dapat menyebabkan
terjadinya closed loop obstruction. Dilatasi cecal dan penipisan dinding cecum akibat
penambahan diameter dapat meningkatkan resiko terjadinya rupture. Rupture dapat
disebabkan oleh iskemia yang terjadi pada dinding kolon, diastasis dari lapisan otot,
ataupun karena invasi bakteri di dinding kolon. Obstruksi kolon berakibat pada
motilitas abnormal namun tidak hiperperistaltik.

26
Tabel 4. Perbedaan Ileus Obstruktif Usus Halus dan Usus Besar

III.3.4 Gejala Klinis


Terdapat 4 tanda kardinal gejala ileus obstruktif. Gejala ileus obstruktif tersebut
bervariasi tergantung kepada lokasi obstruksi, lamanya obstruksi, penyebabnya dan ada
atau tidaknya iskemia usus. Gejala khas tersebut antara lain:
1. Nyeri abdomen
2. Muntah
3. Distensi
4. Kegagalan buang air besar atau gas (konstipasi).
Gejala utama dari obstruksi ialah nyeri kolik, mual dan muntah dan obstipasi.
Adanya flatus atau feses selama 6-12 jam setelah gejala merupakan ciri khas dari
obstruksi parsial. Nyeri kram abdomen bisa merupakan gejala penyerta yang
berhubungan dengan hipermotilitas intestinal proksimal daerah obstruksi. Nyerinya
menyebar dan jarang terlokalisir, namun sering dikeluhkan nyeri pada bagian tengah
abdomen. Saat peristaltik menjadi intermiten, nyeri kolik juga menyertai. Saat nyeri
menetap dan terus menerus kita harus mencurigai telah terjadi strangulasi dan infark.
Tanda-tanda obstruksi usus halus juga termasuk distensi abdomen yang akan
sangat terlihat pada obstruksi usus halus bagian distal ileum, atau distensi bisa tak
terjadi bila obstruksi terjadi di bagian proksimal usus halus, dan peningkatan bising

27
usus. Hasil laboratorium terlihat penurunan volume intravaskuler, adanya
hemokonsentrasi dan abnormalitas elektrolit. Mungkin didapatkan leukositosis ringan.
Muntah terjadi setelah terjadi obstruksi lumen intestinal dan menjadi lebih
sering saat telah terjadi akumulasi cairan di lumen intestinal. Derajat muntah linear
dengan tingkat obstruksi, menjadi tanda yang lebih sering ditemukan pada obstruksi
letak tinggi.
Kegagalan untuk defekasi dan flatus merupakan tanda yang penting untuk
membedakan terjadinya obstruksi komplit atau parsial. Defekasi masih terjadi pada
obstruksi letak tinggi karena perjalan isi lumen di bawah daerah obstruksi. Diare yang
terus menerus dapat juga menjadi tanda adanya obstruksi partial.
Tanda-tanda pada pemeriksaan fisik dapat saja normal pada awalnya, namun
distensi akan segera terjadi, terutama pada obstruksi letak rendah. Tanda awal yang
muncul ialah penderita segera mengalami dehidrasi. Massa yang teraba dapat di
diagnosis banding dengan keganasan, abses, ataupun strangulasi. Auskultasi digunakan
untuk membedakan pasien menjadi tiga kategori: loud, high pitch dengan burst ataupun
rushes yang merupakan tanda awal terjadinya obstruksi mekanik. Saat bising usus tak
terdengar dapat diartikan bahwa obstruksi telah berlangsung lama, ileus paralitik atau
terjadinya infark. Seiring waktu, dehidrasi menjadi lebih berat dan tanda-tanda
strangulasi mulai tampak. Pemeriksaan lipat paha untuk mengetahui adanya hernia
serta rectal toucher untuk mengetahui adanya darah atau massa di rectum harus selalu
dilakukan.
Tanda-tanda terjadinya strangulasi seperi nyeri terus menerus, demam,
takikardia, dan nyeri tekan bisa tak terdeteksi pada 10-15% pasien sehingga
menyebabkan diagnosis strangulasi menjadi sulit untuk ditegakkan. Pada obstruksi
karena strangulasi bisa terdapat takikardia, nyeri tekan lokal, demam, leukositosis dan
asidosis. Level serum dari amylase, lipase, lactate dehidrogenase, fosfat, dan potassium
mungkin meningkat. Penting dicatat bahwa parameter ini tak dapat digunakan untuk
membedakan antara obstruksi sederhana dan strangulasi sebelum terjadinya iskemia
irreversible.

28
III.3.5 Diagnosis
1. Anamnesis
Pada anamnesis ileus obstruktif usus halus biasanya sering dapat
ditemukan penyebabnya, misalnya berupa adhesi dalam perut karena pernah
dioperasi sebelumnya atau terdapat hernia. Pada ileus obstruktif usus halus kolik
dirasakan di sekitar umbilkus, sedangkan pada ileus obstruktif usus besar kolik
dirasakan di sekitar suprapubik. Muntah pada ileus obstruktif usus halus berwarna
kehijaun dan pada ileus obstruktif usus besar onset muntah lama.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Dapat ditemukan tanda-tanda generalisata dehidrasi, yang mencakup
kehilangan turgor kulit maupun mulut dan lidah kering. Pada abdomen
harus dilihat adanya distensi, parut abdomen, hernia dan massa abdomen.
Inspeksi pada penderita yang kurus/sedang juga dapat ditemukan “darm
contour” (gambaran kontur usus) maupun “darm steifung” (gambaran
gerakan usus), biasanya nampak jelas pada saat penderita mendapat
serangan kolik yang disertai mual dan muntah dan juga pada ileus obstruksi
yang berat. Penderita tampak gelisah dan menggeliat sewaktu serangan
kolik.

Gambar 4. Gerakan Peristaltik Usus

29
b. Palpasi dan perkusi
Pada palpasi didapatkan distensi abdomen dan perkusi Hipertympani yang
menandakan adanya obstruksi. Palpasi bertujuan mencari adanya tanda
iritasi peritoneum apapun atau nyeri tekan, yang mencakup ‘defance
muscular’ involunter atau rebound dan pembengkakan atau massa yang
abnormal.
c. Auskultasi
Pada ileus obstruktif pada auskultasi terdengar kehadiran episodik
gemerincing logam bernada tinggi dan gelora (rush’) diantara masa tenang.
Tetapi setelah beberapa hari dalam perjalanan penyakit dan usus di atas
telah berdilatasi, maka aktivitas peristaltik (sehingga juga bising usus) bisa
tidak ada atau menurun parah. Tidak adanya nyeri usus bisa juga ditemukan
dalam ileus paralitikus atau ileus obstruktif strangulata.
Bagian akhir yang diharuskan dari pemeriksaan adalah pemeriksaan rectum.
Pada pemeriksaan colok dubur akan ditemukan :
 Isi rektum menyemprot : Hirschprung disease
 Adanya darah dapat menyokong adanya strangulasi, neoplasma
 Feses yang mengeras : skibala (massa tinja)
 Feses negatif : obstruksi usus letak tinggi
 Ampula rekti kolaps : curiga obstruksi
 Nyeri tekan : lokal atau general peritonitis
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada pasien yang diduga mengalami
obstruksi intestinal terutama ialah darah lengkap dan elektrolit, Blood Urea
Nitrogen, kreatinin dan serum amylase. Obstruksi intestinal yang sederhana
tidak akan menyebabkan perubahan pada hasil laboratorium jadi pemeriksaan
ini tak akan banyak membantu untuk diagnosis obsruksi intestinal yang
sederhana. Pemeriksaan elektrolit dan tes fungsi ginjal dapat mendeteksi
adanya hipokalemia, hipokhloremia dan azotemia pada 50% pasien.

30
4. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos abdomen
1) Distensi usus bagian proksimal obstruksi
2) Kolaps pada usus bagian distal obstruksi
3) Posisi tegak atau dekubitus: Air-fluid levels
4) Posisi supine dapat ditemukan :
a) distensi usus
b) step-ladder sign
5) String of pearls sign, gambaran beberapa kantung gas kecil yang
berderet
6) Coffee-bean sign, gambaran gelung usus yang distensi dan terisi udara
dan gelung usus yang berbentuk U yang dibedakan dari dinding usus
yang oedem.
7) Pseudotumor Sign, gelung usus terisi oleh cairan.

Gambar 5. Dilatasi Usus

31
Gambar 6. Multipel air fluid level dan “string of pearls” sign

Gambar 7. Herring bone appearance

32
Gambar 8. Coffee bean appearance

Gambar 9. Step ledder sign

b. CT-Scan
CT-Scan berfungsi untuk menentukan diagnosa dini atau obstruksi
strangulate dan menyingkirkan penyebab akut abdomen lain terutama jika
klinis dan temuan radiologis lain tidak jelas. Tingkat sensitifitas CT scan

33
sekitar 80-90% sedangkan tingkat spesifisitasnya sekitar 70-90% untuk
mendeteksi adanya obstruksi intestinal.

Gambar 10. CT Scan Ileus Obstruksi Akibat Intususepsi : tampak distensi


usus halus yang tidak diikuti dengan distensi kolon
c. MRI
Keakuratan MRI hampir sama dengan CT-scan dalam mendeteksi
adanya obstruksi. MRI juga efektif untuk menentukan lokasi dan etiologi
dari obstruksi. Namun, MRI memiliki keterbatasan antara lain kurang
terjangkau dalam hal transport pasien dan kurang dapat menggambarkan
massa dan inflamasi.

Gambar 11. Kehamilan dengan Ileus Obstruktif

34
d. USG
Ultrasonografi dapat menberikan gambaran dan penyebab dari
obstruksi dengan melihat pergerakan dari usus halus. Pada pasien dengan
ilues obtruksi, USG dapat dengan jelas memperlihatkan usus yang distensi.
USG dapat dengan akurat menunjukkan lokasi dari usus yang distensi.
Tidak seperti teknik radiologi yang lain, USG dapat memperlihatkan
peristaltic, hal ini dapat membantu membedakan obstruksi mekanik dari
ileus paralitik. Pemeriksaan USG lebih murah dan mudah jika dibandingkan
dengan CT-scan, dan spesifitasnya dilaporkan mencapai 100%.

Gambar 12. USG Longitudinal dari Abdomen : bagian bawah


menunjukkan distensi multiple dari usus halus akibat invaginasi

III.3.6 Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari ileus obstruktif, yaitu :
1. Ileus paralitik
2. Appensicitis akut
3. Kolesistitis, koleliathiasis, dan kolik bilier
4. Konstipasi
5. Dysmenorhoe, endometriosis dan torsio ovarium
6. Gastroenteritis akut dan inflammatory bowel disease

35
7. Pancreatitis akut

III.3.7 Penatalaksanaan
Pasien dengan obstruksi intestinal biasanya mengalami dehidrasi dan
kekurangan Natrium, Khlorida dan Kalium yang membutuhkan penggantian cairan
intravena dengan cairan salin isotonic seperti Ringer Laktat. Urin harus di monitor
dengan pemasangan Foley Kateter. Setelah urin adekuat, KCl harus ditambahkan pada
cairan intravena bila diperlukan. Pemeriksaan elektrolit serial, seperti halnya
hematokrit dan leukosit, dilakukan untuk menilai kekurangan cairan. Antibiotik
spektrum luas diberikan untuk profilaksis atas dasar temuan adanya translokasi bakteri
pada ostruksi intestinal.
Dekompresi
Pada pemberian resusitasi cairan intravena, hal lain yang juga penting untuk
dilakukan ialah pemasangan nasogastric tube. Pemasangan tube ini bertujuan untuk
mengosongkan lambung, mengurangi resiko terjadinya aspirasi pulmonal karena
muntah dan meminimalkan terjadinya distensi abdomen. Pasien dengan obstruksi
parsial dapat diterapi secara konservatif dengan resusitasi dan dekompresi saja.
Penyembuhan gejala tanpa terapi operatif dilaporkan sebesar 60 – 85% pada obstruksi
parsial.
Terapi Operatif
Pada umumnya dikenal 4 macam (cara) tindakan bedah yang dikerjakan pada
obstruksi ileus.
1. Koreksi sederhana (simple correction). Hal ini merupakan tindakan bedah
sederhana untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia
incarcerata non-strangulasi, jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus
ringan.
2. Tindakan operatif by-pass. Membuat saluran usus baru yang "melewati" bagian
usus yang tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn disease, dan
sebagainya.

36
3. Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat obstruksi,
misalnya pada Ca stadium lanjut.
4. Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung-ujung
usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada
carcinomacolon, invaginasi strangulata, dan sebagainya.

III.3.8 Komplikasi
Komplikasi pada pasien ileus obstruktif dapat meliputi gangguan keseimbangan
elektrolit dan cairan, serta iskemia dan perforasi usus yang dapat menyebabkan
peritonitis, sepsis, dan kematian.

III.3.9 Prognosis
Mortalitas obstruksi tanpa strangulata adalah 5% sampai 8% asalkan operasi
dapat segera dilakukan. Keterlambatan dalam melakukan pembedahan atau jika terjadi
strangulasi atau komplikasi lainnya akan meningkatkan mortalitas sampai sekitar 35%
atau 40%. Prognosisnya baik bila diagnosis dan tindakan dilakukan dengan cepat.

37
DAFTAR PUSTAKA

Davidson, Intestinal Obstruction. 2006. Available at: http//www.mayoclinic.com.


Accessed july 9, 2012.
Hamami, AH., Pieter, J., Riwanto, I., Tjambolang, T., dan Ahmadsyah, I. Usus Halus,
apendiks, kolon, dan anorektum. Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Editor:
Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, Wim. Jakarta: EGC, 2003. Hal: 615-681.
Manaf M, Niko dan Kartadinata, H. Obstruksi Ileus. 2003. Available
at://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/06_ObstruksiIleus.pdf/06_ObstruksiIleus.htm
l. Accessed juli 20, 2012
Nobie BA. Obstruction, small bowel. 2007. Available at: http//www.emedicine.com.
Accessed juni 20, 2012.
Purnawan, Iwan. 2009. Ileus. Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Price, S.A. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Editor: Price, S.A.,
McCarty, L., Wilson. Editor terjemahan: Wijaya, Caroline. Jakarta: EGC, 1994.
Sjamsuhidajat, R.; Dahlan, Murnizat; Jusi, Djang. Gawat Abdomen. Dalam Buku Ajar
Ilmu Bedah. Edisi 2. Editor: Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, Wim. Jakarta: EGC,
2003. Hal: 181-192.
Translight Medical Media, 2008 http://gasdetections.com/anatomy-gastrointestinal-
system.html#more-425 Accessed july 20, 2012.

38

Anda mungkin juga menyukai