Disusun oleh :
NITA WIDJAYA (1102013212)
PUTRI CANTIKA REVIERA (1102013230)
Pembimbing :
Dr. HUSODO DEWO ADI, Sp.OT. K.Spine
Alhamdulillah, segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT
dan shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan laporan kasus ini yang berjudul
“Osteoartritis Hip Joint ec Fraktur Non Union Neck Femur Dextra” dengan
baik.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti
dan menyelesaikan kepaniteraan klinik SMF Bedah di RSUD. Dr. Slamet Garut.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Dr. HUSODO DEWO ADI,Sp.OT. K.Spine selaku dokter pembimbing.
2. Para Perawat dan Pegawai di Bagian Bedah RSUD. Dr. Slamet Garut.
3. Teman-teman sejawat dokter muda di lingkungan RSUD. Dr. Slamet
Garut.
Segala daya upaya telah di optimalkan untuk menghasilkan laporan kasus
yang baik dan bermanfaat, dan terbatas sepenuhnya pada kemampuan dan
wawasan berpikir penulis. Akhir kata penulis mengharapkan referat ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca, khususnya bagi para dokter muda yang
memerlukan panduan dalam menjalani aplikasi ilmu.
Penulis
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Sedangkan fraktur neck femur sendiri sering terjadi karena kecelakaan lalu
lintas, jatuh pada tempat yang tidak tinggi, terpleset di kamar mandi dimana panggul
dalam keadaan fleksi dan rotasi. Kemudian suka terjadi pada usia 60 tahun ke atas,
biasana tulang bersifat osteoporotik, pada pasien awal menopause, dan jarang
berolahraga.
3
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. E
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 57 tahun
Alamat : Karangpawitan
Agama : Islam
Status perkawinan : Sudah Menikah
Tanggal MRS : 21 November 2017
Tanggal KRS : 24 November 2017
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Kesulitan berjalan pada kaki kanan sejak 7 bulan SMRS
4
serta ada rasa kaku pada bagian pinggul beberapa saat di pagi hari. Saat
beraktifitas terlalu lama, pasien mengeluh kaki terasa nyeri dan pegal serta
keluhan ini belum pernah diobat sebelumnya. Pasien menyangkal pernah
menderita penyakit jantung, TB paru, asma, alergi, penyakit jantung, dan
kencing manis. Riwayat operasi sebelumnya disangkal.
4. Riwayat Keluarga
Pasien mengaku dalam keluarganya tidak ada yang menderita penyakit
tekanan darah tinggi, asma atau kencing manis. Pasien mengaku tidak ada
keluarga yang pernah mengalami penyakit kanker atau pernah dioperasi
sebelumnya.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan Gizi : Baik
Kulit : Turgor baik
Tanda vital
Nadi : 84 x/menit
Tekanan darah : 160/100 mmHg
Suhu : 36,7oC
Respirasi : 20 x/menit
SpO2 : 97 %
Status Interna
Kepala : Normocephal, hematom (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera tidak ikterik, pupil bulat
isokor, refleks pupil +/+ normal
Leher : Trakhea di tengah, pembesaran KGB (-)
Toraks
5
Cor Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada sela iga 5 linea mid clavicula
sinistra.
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
6
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
17/11/2017 Hematologi
Hemoglobin 7.7 g/dL 12.0 – 16.0
Hematokrit 26 % 35-47
Leukosit 7.580 / mm3 3.800 – 10.600
Trombosit 377.000 / mm3 150.000 – 440.000
Eritrosit 3.81 juta/mm3 3.6 – 5.8
Kimia Kinik
Ureum 30 mg/dL 15-30
Kreatinin 1.1 mg/dL 0.3-1.3
Hematologi
Masa Perdarahan/BT 2 menit 1-3
Masa Pembekuan/CT 6 menit 5-11
22/11/2017 Hematologi
Hemoglobin 9.7 g/dL 12.0 – 16.0
Hematokrit 32 % 35-47
Leukosit 7.580 / mm3 3.800 – 10.600
Trombosit 443.000 / mm3 150.000 – 440.000
Eritrosit 3.81 juta/mm3 3.6 – 5.8
26/09/2017 Hematologi
Hemoglobin 10.1 g/dL 12.0 – 16.0
Hematokrit 33% 35 - 47
Leukosit 6.700 / mm3 3.800 – 10.600
Trombosit 179.000 / mm3 150.000 – 440.000
Eritrosit 4.03 juta/mm3 4.43 – 6.02
Pemeriksaan Radiologis
Dilakukan pemeriksaan foto rontgen thorax pada tanggal 17/11/2017
7
Hasil rontgen:
- Cor membesar dengan apex tertanam, pinggang jantung mendatar,
elongasio aorta (+)
- Sinus dan diafragma normal
- Pulmo : hilus normal, corakan bronkovaskuler bertambah, tidak tampak
bercak lunak, kranialisasi (-)
- Kesan : Kardiomegali (LV, LA?) tanpa bendungan paru disertai elongasio
aorta
*) Untuk rontgen femur pasien tidak ditemukan di ruangan karena rontgen tertinggal
di rumah pasien
8
Gambar 1. Osteoartritis Hip Joint
(Sumber: www.medscape.com)
9
3. Displaced
E. RESUME
Pasien perempuan umur 57 tahun datang ke poli orthopedi RSU dr. Slamet Garut
dengan sulit berjalan pada kaki kanan, kaki terasa nyeri dan ada kaku pada
pinggul saat pagi hari sejak ± 7 bulan yang lalu, kemudian pasien dirawat di
marjan. Pasien mengeluh terdapat bengkak pada paha kanan atas. Pada
pemeriksaan fisik terdapat edema (+) pada tungkai kanan, nyeri tekan (+), ROM
terbatas pada kaki kanan, krepitasi (+) dan tekanan darah tinggi . Pada
pemeriksaan laboratorium terdapat anemia. Pada pemeriksaan di poli orthopedi
didapatkan diagnosa osteoartritis hip joint et causa fraktur nonunion femur dextra
F. DIAGNOSIS KERJA
osteoartritis hip joint et causa fraktur nonunion neck femur dextra
Hipertensi grade 2
Anemia ec ?
G. PENATALAKSANAAN
1) Tatalaksana Umum
Memantau tanda- tanda vital pasien
IVFD RL 20 tetes/menit.
Transfuse PRC 2 labu hingga Hb > 10g/dL
2) Medikamentosa
Ranitidin 2x50mg iv
Na diklofenak 2x1 PO
Herbesser CD 2x 100 PO
10
3) Operasi
Rencana operasi THR setelah perbaikan KU
H. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
11
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan fisiologi
Sendi adalah semua persambungan tulang, baik yang memungkinkan tulang-
tulang tersebut dapatbergerak satu sama lain, maupun tidak dapat bergerak satu sama
lain.pada sendi sinovial dilapisi oleh suatu kartilago yang terbagi atas dua bagian
yaitu kondrosit dan matriks ekstraseluler. Matriksekstraseluler yang mengandung
banyak kolagen tipe II, IX, dan XI serta proteoglikan (terutama agregat). Agregat
adalah hubungan antara terminal sentral protein dengan asam hialuronatmebentuk
agreratyang dapat menghisap air. Sesudah kekuatan kompresi hilang maka air akan
kembali pada matriks dan kartilago kembali seperti semula. Jaringan kolagen
merupakan molekulprotein yang kuat. Kolagen ini berfungsi sebagai kerangka dan
mencegah pengembangan berlebihan dari agregat proteoglikan. 3
Rawan sendi hanya mempunyai sedikit kemampuan untuk penyembuhan
(reparasi). Agar tetap berfungsi dengan baik, rawan sendi hanya dapat menanggung
perubahan sebab fisis sedikit yaitusebesar 25kg/cm3. Fungsi utama rawan sendi yaitu
disamping memungkinkan gesekan padagerakan, juga menyerap energi beban
dengan mengubah bentuk dan dengan efektif menyebarkan beban tersebut pada suatu
daerah yang luas.1,3
12
Mekanisme pertahanan sendi diperankan oleh pelindung sendi yaitu : Kapsula
dan ligamen sendi, otot-otot, saraf sensori aferen dan tulang di dasarnya. Kapsula dan
ligamen-ligamen sendi memberikan batasan pada rentang gerak (Range of motion)
sendi.
Cairan sendi (sinovial) mengurangi gesekan antar kartilago pada permukaan
sendi sehingga mencegah terjadinya keletihan kartilago akibat gesekan. Protein yang
disebut dengan lubricin merupakan protein pada cairan sendi yang berfungsi sebagai
pelumas. Protein ini akan berhenti disekresikan apabila terjadi cedera dan
peradangan pada sendi
Ligamen, bersama dengan kulit dan tendon, mengandung suatu
mekanoreseptor yang tersebar di sepanjang rentang gerak sendi. Umpan balik yang
dikirimkannya memungkinkan otot dan tendon mampu untuk memberikan tegangan
yang cukup pada titik-titik tertentu ketika sendi bergerak. Otot-otot dan tendon yang
menghubungkan sendi adalah inti dari pelindung sendi. Kontraksi otot yang terjadi
ketika pergerakan sendi memberikan tenaga dan akselerasi yang cukup pada anggota
gerak untuk menyelesaikan tugasnya. Kontraksi otot tersebut turut meringankan stres
yang terjadi pada sendi dengan cara melakukan deselerasi sebelum terjadi tumbukan
(impact). Tumbukan yang diterima akan didistribusikan ke seluruh permukaan sendi
sehingga meringankan dampak yang diterima. Tulang di balik kartilago memiliki
fungsi untuk menyerap goncangan yang diterima.7
Kartilago berfungsi sebagai pelindung sendi. Kartilago dilumasi oleh cairan
sendi sehingga mampu menghilangkan gesekan antar tulang yang terjadi ketika
bergerak. Kekakuan kartilago yang dapat dimampatkan berfungsi sebagai penyerap
tumbukan yang diterima sendi. Perubahan pada sendi sebelum timbulnya OA dapat
terlihat pada kartilago sehingga penting untuk mengetahui lebih lanjut tentang
kartilago.
Terdapat dua jenis makromolekul utama pada kartilago, yaitu Kolagen tipe
dua dan Aggrekan. Kolagen tipe dua terjalin dengan ketat, membatasi molekul –
molekul aggrekan di antara jalinan-jalinan kolagen. Aggrekan adalah molekul
proteoglikan yang berikatan dengan asam hialuronat dan memberikan kepadatan
13
pada kartilago. Kondrosit, sel yang terdapat di jaringan avaskular, mensintesis
seluruh elemen yang terdapat pada matriks kartilago. Kondrosit menghasilkan enzim
pemecah matriks, sitokin { Interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF)}, dan
faktor pertumbuhan. Umpan balik yang diberikan enzim tersebut akan merangsang
kondrosit untuk melakukan sintesis dan membentuk molekul-molekul matriks yang
baru. Pembentukan dan pemecahan ini dijaga keseimbangannya oleh sitokin faktor
pertumbuhan, dan faktor lingkungan.
Kondrosit mensintesis metaloproteinase matriks (MPM) untuk memecah kolagen
tipe dua dan aggrekan. MPM memiliki tempat kerja di matriks yang dikelilingi oleh
kondrosit. Namun, pada fase awal OA, aktivitas serta efek dari MPM menyebar
hingga ke bagian permukaan (superficial) dari kartilago.
Stimulasi dari sitokin terhadap cedera matriks adalah menstimulasi
pergantian matriks, namun stimulasi IL-1 yang berlebih malah memicu proses
degradasi matriks. TNF menginduksi kondrosit untuk mensintesis prostaglandin (PG),
oksida nitrit (NO), dan protein lainnya yang memiliki efek terhadap sintesis dan
degradasi matriks. TNF yang berlebihan mempercepat proses pembentukan tersebut.
NO yang dihasilkan akan menghambat sintesis aggrekan dan meningkatkan proses
pemecahan protein pada jaringan. Hal ini berlangsung pada proses awal timbulnya
OA. 3
14
2.3 Etiologi
Etiologi osteoarthritis belum diketahui secara pasti, namun faktor biomekanik
dan biokimia sepertinya merupakan faktor terpenting dalam proses terjadinya
osteoarthritis. Faktor biomekanik yaitu kegagalan mekanisme protektif, antara
lain kapsul sendi, ligamen, otot-otot persendian, serabut aferen, dan tulang-tulang.
Kerusakan sendi terjadi multifaktorial, yaitu akibat terganggunya faktor-faktor
protektif tersebut. Osteoarthritis juga bisa terjadi akibat komplikasi dari penyakit lain
seperti gout, rheumatoid arthritis, dan sebagainya.
2.4 Klasifikasi
Menurut penyebabnya osteoarthritis dikategorikan menjadi5 :
a. Osteoarhritis primer adalah degeneratif artikular sendi yang terjadi pada
sendi tanpa adanya abnormalitas lain pada tubuh. Penyakit ini sering
menyerang sendi penahan beban tubuh (weight bearing joint), atau tekanan
yang normal pada sendi dan kerusakkan akibatproses penuaan. Paling sering
terjadi pada sendi lutut dan sendi panggul, tapi ini juga ditemukan pada
sendi lumbal, sendi jari tangan, dan jari pada kaki
2.5 Epidemiologi
Penyakit ini memiliki prevalensi yang cukup tinggi, terutama pada orang tua.
Prevalensinya meningkat seiring bertambahnya usia. Di Amerika Serikat,
prevalensi osteoartritis pada populasi dengan usia di atas 65 tahun mencapai 80%
dan diperkirakan akan meningkat pada tahun 2020. 1,2 OA terjadi pada 13,9%
orang dewasa berusia lebih dari 25 tahun dan 33,6% dari mereka yang berusia lebih
dari 65 tahun. Prevalensi sendi yang terkena OA menurut temuan radiologis adalah
pada tangan 7,3%, kaki 2,3%, lutut 0,9%, dan panggul 1,5%. Prevalensi OA menurut
gejala yang ditemui yaitu pada tangan 8%, kaki 2%, lutut 12,1% pada orang dewasa
15
berusia lebih dari 60 tahun dan 16% pada orang dewasa berusi 45 – 60 tahun, dan
panggul 4,4%. Angka kematian yang diakibatkan osteoarthritis adalah sekitar 0,2
hingga 0,3 kematian per 100.000 (1979-1988). Angka kematian akibat OA sekitar
6% dari semua kematian akibat arthritis. Hampir 500 kematian per tahun disebabkan
OA dan angka tersebut meningkat selama 10 tahun terakhir.2,4
2.6 Faktor resiko
a. Faktor resiko sistemik
1. Usia : merupakan faktor risiko paling umum pada OA. Proses penuaan
meningkatkan kerentanan sendi melalui berbagai mekanisme. Kartilago
pada sendi orang tua sudah kurang responsif dalam mensintesis matriks
kartilago yang distimulasi oleh pembebanan (aktivitas) pada sendi.
Akibatnya, sendi pada orang tua memiliki kartilago yang lebih tipis.
Kartilago yang tipis ini akan mengalami gaya gesekan yang lebih tinggi
pada lapisan basal dan hal inilah yang menyebabkan peningkatan resiko
kerusakan sendi. Selain itu, otot-otot yang menunjang sendi menjadi
semakin lemah dan memiliki respon yang kurang cepat terhadap impuls.
Ligamen menjadi semakin regang, sehingga kurang bisa mengabsorbsi
impuls. Faktor-faktor ini secara keseluruhan meningkatkan kerentanan
sendi terhadap OA.
b. Faktor intrinsik
16
2. Cedera pada sendi seperti trauma, fraktur, atau nekrosis.
2.7 Patogenesis
Selama ini OA sering dipandang sebagai akibat dari proses penuaan dan tidak
dapat dihindari. Namun telah diketahui bahwa OA merupakan gangguan
keseimbangan dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur yang
penyebabnya masih belum jelas diketahui. Kerusakan tersebut diawali oleh
kegagalan mekanisme perlindungan sendi serta diikuti oleh beberapa mekanisme lain
sehingga pada akhirnya menimbulkan cedera.7
Pada Osteoarthritis terjadi perubahan-perubahan metabolisme tulang rawan
sendi. Perubahan tersebut berupa peningkatan aktifitas enzim-enzim yang merusak
makromolekul matriks tulang rawan sendi, disertai penurunan sintesis proteoglikan
dan kolagen. Hal ini menyebabkan penurunan kadar proteoglikan, perubahan sifat-
sifat kolagen dan berkurangnya kadar air tulang rawan sendi. Pada proses degenerasi
dari kartilago artikular menghasilkan suatu substansi atau zat yang dapat
menimbulkan suatu reaksi inflamasi yang merangsang makrofag untuk menhasilkan
IL-1 yang akan meningkatkan enzim proteolitik untuk degradasi matriks
ekstraseluler.5
17
5. Adanya fibrosis kapsul
18
Penyebab rasa sakit itu dapat juga berupa akibat dari dilepasnya mediator
kimiawi seperti kinin dan prostaglandin yang menyebabkan radang sendi,
peregangan tendon atau ligamentum serta spasmus otot-otot ekstraartikuler akibat
kerja yang berlebihan. Sakit pada sendi juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang
menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta
kenaikan tekanan vena intrameduler akibat stasis vena intrameduler karena proses
remodelling pada trabekula dan subkondral.
Sinovium mengalami keradangan dan akan memicu terjadinya efusi serta
proses keradangan kronik sendi yang terkena. Permukaan rawan sendi akan retak dan
terjadi fibrilasi serta fisura yang lama-kelamaan akan menipis dan tampak kehilangan
rawan sendi fokal. Selanjutnya akan tampak respon dari tulang subkhondral berupa
penebalan tulang, sklerotik dan pembentukkan kista. Pada ujung tulang dapat
dijumpai pembentukan osteofit serta penebalan jaringan ikat sekitarnya. Oleh sebab
itu pembesaran tepi tulang ini memberikan gambaran seolah persendian yang terkena
itu bengkak.5,7
Gambar 4. Osteoarthritis
Sumber: www.emedicine.com
19
2.8 Tanda dan Gejala Klinis
Rasa kaku pada sendi dapat timbul setelah pasien berdiam diri atau
20
tidak melakukan banyak gerakan, seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu
yang cukup lama, bahkan setelah bangun tidur di pagi hari.7
d. Krepitasi
Krepitasi atau rasa gemeratak yang timbul pada sendi yang sakit. Gejala
ini umum dijumpai pada pasien OA lutut. Pada awalnya hanya berupa perasaan akan
adanya sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang memeriksa.
Seiring dengan perkembangan penyakit, krepitasi dapat terdengar hingga jarak
tertentu.7
e. Pembesaran sendi (deformitas)
Pembengkakan sendi dapat timbul dikarenakan terjadi efusi pada sendi yang
biasanya tidak banyak ( < 100 cc ) atau karena adanya osteofit, sehingga bentuk
permukaan sendi berubah.7
g. Tanda – tanda peradangan
Tanda – tanda adanya peradangan pada sendi ( nyeri tekan, gangguan gerak, rasa
hangat yang merata, dan warna kemerahan ) dapat dijumpai pada OA karena adanya
synovitis. Biasanya tanda – tanda ini tidak menonjol dan timbul pada perkembangan
penyakit yang lebih jauh. Gejala ini sering dijumpai pada OA lutut.7
h. Perubahan gaya berjalan
Gejala ini merupakan gejala yang menyusahkan pasien dan merupakan ancaman
yang besar untuk kemandirian pasien OA, terlebih pada pasien lanjut usia. Keadaan
ini selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi tumpuan berat badan terutama
pada OA lutut.
21
2.9 Diagnosis
Diagnosis osteoarthritis lutut berdasrkan klinis, klinis dan radiologis, serta klinis
dan laboratoris (JH Klippel, 2001) :10
a. Klinis: Nyeri sendi lutut dan 3 dari kriteria di bawah ini:
3. krepitus
b. Klinis, dan radiologis: Nyeri sendi dan paling sedikit 1 dari 3 kriteria di
bawah ini:
3. Krepitus
22
4. nyeri tekan tepi tulang
5. pembesaran tulang
7. LED<40 mm/jam
8. RF <1:40
Kriteria diagnosis osteoarthritis tangan adalah nyeri tangan, ngilu atau kaku dan
disertai 3 atau 4 kriteria berikut:10
1. pembengkakan jaringan keras > 2 diantara 10 sendi tangan
Catatan: 10 sendi yang dimaksud adalah: DIP 2 dan 3, PIP 2 dan 3 dan CMC 1
masing-masing tangan. Sensitivitas 94% dan spesifisitas 87%.
23
Keterangan :
a. Gambar atas kiri : pandangan anteroposterior menunjukkan
menyempitnya celah sendi (tanda panah)
24
Gambar 5. Pencitraan radiologis sinar-x osteoarthritis pada jari kaki.
Sumber : Jacobson, JA, et al. 2008. Radiographic Evaluation of
Arthritis :Degenerative Joint Disease and Variation. Radiology. 248(3) : 737-747.
25
Gambar 6. Pencitraan radiologis sinar-x osteoarthritis pada lutut.
Sumber : Jacobson, JA, et al. 2008. Radiographic Evaluation of Arthritis :
Degenerative Joint Disease and Variation. Radiology. 248(3) : 737-747
25
2.10.2 Pemeriksaan Laboratorium dan MRI
Hasil pemeriksaan laboratorium pada OA biasanya tidak banyak berguna.
Pemeriksaan darah tepi masih dalam batas – batas normal. Pemeriksaan
imunologi masih dalam batas – batas normal. Pada OA yang disertai peradangan
sendi dapat dijumpai peningkatan ringan sel peradangan ( < 8000 / m ) dan
peningkatan nilai protein. 10
Pemeriksaan tambahan lain yang dapat dilakukan adalah MRI yaitu untuk
mengetahui derajat patologisnya, namun pemeriksaan ini jarang dilakukan
sebagai penunjang diagnostik dalam osteoarthritis, karena sebagian besar
gambaran penyakit ini sudah bisa dinilai berdasarkan pemeriksaan sinar-x.
2.11 Penatalaksanaan
Strategi pengelolaan pasien dan pilihan jenis pengobatan ditentukan oleh
letak sendi yang mengalami OA, sesuai dengan karakteristik masing-masing serta
kebutuhannya. Oleh karena itu diperlukan penilaian yang cermat pada sendi dan
pasiennya secara keseluruhan, agar pengelolaannya aman, sederhana,
memperhatikan edukasi pasien serta melakukan pendekatan multidisiplin atau
holistic.11
Tujuan penatalaksanaan pasien dengan osteoarthritis adalah:11
1. Meredakan nyeri
2. Mengoptimalkan fungsi sendi
3. Mengurangi ketergantungan kepada orang lain dan meningkatkan kualitas
hidup
4. Menghambat progresivitas penyakit
5. Mencegah terjadinya komplikasi
26
e. Menurunkan berat badan
f. Rehabilitasi medik/ fisioterapi
o Latihan statis dan memperkuat otot-otot
o Fisioterapi, yang berguna untuk mengurangi nyeri, menguatkan
otot, dan menambah luas pergerakan sendi
g. Penggunaan alat bantu (Mairunzi, 2010).
2.10.2 Farmakologis
1. Sistemik
a. Analgetik
- Non narkotik: parasetamol
- Opioid (kodein, tramadol)
c. Chondroprotective
Yang dimaksud dengan chondoprotectie agent adalah obat-obatan yang
dapat menjaga dan merangsang perbaikan (repair) tuamg rawan sendi pada pasien
OA, sebagian peneliti menggolongkan obat-obatan tersebut dalam Slow Acting
Anti Osteoarthritis Drugs (SAAODs) atau Disease Modifying Anti Osteoarthritis
Drugs (DMAODs). Sampai saat ini yang termasuk dalam kelompok obat ini
adalah: tetrasiklin, asam hialuronat, kondrotin sulfat, glikosaminoglikan, vitamin-
C, superoxide desmutase dan sebagainya.
a. Tetrasiklin dan derivatnya mempunyai efek menghambat kerja
enzime MMP. Salah satu contohnya doxycycline. Sayangnya obat
ini baru dipakai oleh hewan belum dipakai pada manusia.
27
sintesis proteoglikan dan asam hialuronat pada kultur tulang rawan
sendi. Pada penelitian Rejholec tahun 1987
2. Topikal
a. Krim rubefacients dan capsaicin.
Beberapa sediaan telah tersedia di Indonesia dengan cara kerja pada umumnya
bersifat counter irritant.
b. Krim NSAIDs
Selain zat berkhasiat yang terkandung didalamnya, perlu diperhatikan
campuran yang dipergunakan untuk penetrasi kulit. Salah satu yang dapat
digunakan adalah gel piroxicam, dan sodium diclofenac.
28
3. Injeksi intraartikular/intra lesi
Injeksi intra artikular ataupun periartikular bukan merupakan pilihan
utama dalam penanganan osteoartritis. Diperlukan kehati-hatian dan selektifitas
dalam penggunaan modalitas terapi ini, mengingat efek merugikan baik yang
bersifat lokal maupun sistemik. Pada dasarnya ada 2 indikasi suntikan intra
artikular yakni penanganan simtomatik dengan steroid, dan viskosuplementasi
dengan hyaluronan untuk modifikasi perjalanan penyakit. Dengan pertimbangan
ini yang sebaiknya melakukan tindakan, adalah dokter yang telah melalui
pendidikan tambahan dalam bidang reumatologi.
a. Steroid: ( triamsinolone hexacetonide dan methyl prednisolone )
Hanya diberikan jika ada satu atau dua sendi yang mengalami nyeri dan
inflamasi yang kurang responsif terhadap pemberian NSAIDs, tak dapat
mentolerir NSAIDs atau ada komorbiditas yang merupakan kontra indikasi
terhadap pemberian NSAIDs. Teknik penyuntikan harus aseptik, tepat dan benar
untuk menghindari penyulit yang timbul. Sebagian besar literatur tidak
menganjurkan dilakukanpenyuntikan lebih dari sekali dalam kurun 3 bulan atau
setahun 3 kali terutama untuk sendi besar penyangga tubuh. Dosis untuk sendi
besar seperti lutut 40-50 mg/injeksi, sedangkan untuk sendi-sendi kecil
biasanya digunakan dosis 10 mg.
b. Hyaluronan: high molecular weight dan low molecular weight
29
4. Pembedahan
Sebelum diputuskan untuk terapi pembedahan, harus dipertimbangkan
terlebih dahulu risiko dan keuntungannya. Pertimbangan dilakukan tindakan
operatif bila :
1. Deformitas menimbulkan gangguan mobilisasi
30
Indikasi dilakukan total knee replacement apabila didapatkan nyeri,
deformitas, instability akibat dari Rheumatoid atau osteoarthritis. Sedangankan
kontraindikasi meliputi non fungsi otot ektensor, adanya neuromuscular
dysfunction, Infeksi, Neuropathic Joint, Prior Surgical fusion.11
31
Fraktur femur
A. Anatomi Femur
Femur adalah tulang terkuat, terpanjang, dan terberat di tubuh dan amat
penting untuk pergerakan normal. Tulang ini terdiri atas tiga bagian, yaitu femoral
shaft atau diafisis, metafisis proximal, dan metafisis distal. Femoral shaft adalah
bagian tubular dengan slight anterior bow, yang terletak antara trochanter minor
hingga condylus femoralis. Ujung atas femur memiliki caput, collum, dan
trochanter major dan minor. Bagian caput merupakan lebih kurang dua pertiga
bola dan berartikulasi dengan acetabulum dari os coxae membentuk articulatio
coxae. Pada pusat caput terdapat lekukan kecil yang disebut fovea capitis, yaitu
tempat perlekatan ligamen dari caput. Sebagian suplai darah untuk caput femoris
dihantarkan sepanjang ligamen ini dan memasuki tulang pada fovea. 11
Bagian collum, yang menghubungkan kepala pada batang femur, berjalan
kebawah, belakang, lateral dan membentuk sudut lebih kurang 125 derajat (pada
wanita sedikit lebih kecil) dengan sumbu panjang batang femur. Besarnya sudut
ini perlu diingat karena dapat dirubah oleh penyakit. Trochanter major dan minor
merupakan tonjolan besar pada batas leher dan batang. Yang menghubungkan dua
trochanter ini adalah linea intertrochanterica di depan dan crista intertrochanterica
32
yang mencolok di bagian belakang, dan padanya terdapat tuberculum
quadratum.11
Bagian batang femur umumnya menampakkan kecembungan ke depan. Ia
licin dan bulat pada permukaan anteriornya, namun pada bagian posteriornya
terdapat rabung, linea aspera. Tepian linea aspera melebar ke atas dan ke bawah.
Tepian medial berlanjut ke bawah sebagai crista supracondylaris medialis menuju
tuberculum adductorum pada condylus medialis. Tepian lateral menyatu ke bawah
dengan crista supracondylaris lateralis. Pada permukaan posterior batang femur,
di bawah trochanter major terdapat tuberositas glutealis, yang ke bawah
berhubungan dengan linea aspera. Bagian batang melebar ke arah ujung distal dan
membentuk daerah segitiga datar pada permukaan posteriornya, disebut fascia
poplitea.11
Ujung bawah femur memiliki condylus medialis dan lateralis, yang di
bagian posterior dipisahkan oleh incisura intercondylaris. Permukaan anterior
condylus dihubungkan oleh permukaan sendi untuk patella. Kedua condylus ikut
membentuk articulatio genu. Di atas condylus terdapat epicondylus lateralis dan
medialis. Tuberculum adductorium berhubungan langsung dengan epicondylus
medialis.11
33
pula terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu lemah (misalnya oleh
tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh (misalnya pada penyakit paget).12
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur
pada daerah tekanan.
Trauma tidak langsung
Disebut trauma tidak langsung bila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh
dari daerah fraktur misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan
fraktur pada klavikula.
Tekanan pada tulang dapat berupa: 12,14
Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat oblik atau spiral
34
Trauma karena tarikan pada ligamen atau tendo akan menarik sebagian
tulang
D. Klasifikasi Fraktur
Fraktur stres: terjadi karena adanya trauma yang terus menerus pada
suatu tempat tertentu.
Fraktur tertutup adalah suatu fraktur yang tidak mempunyai hubungan dengan
dunia luar.
Fraktur terbuka (compound fracture)
Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar
melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk from within (dari
dalam) atau from without (dari luar).
Derajat III: Luka lebih luas dari derajat II, lebih kotor, jaringan lunak
banyak yang ikut rusak(otot,saraf,pembuluh darah). Adapun derajat III
dibagi lagi menjadi:
35
A. Adekuat penutupan kulit dari tulang fraktur. Fraktur berhubungan
dengan ukuran dari luka.
- Diafisial
- Metafisial
- Intra-artikuler
- Fraktur dengan dislokasi
2. Konfigurasi
- Fraktur transversal
- Fraktur oblik
- Fraktur spiral
- Fraktur Z
- Fraktur segmental
- Fraktur kominutif, fraktur lebih dari dua fragmen
- Fraktur baji biasanya pada vertebra karena trauma kompresi
- Fraktur avulsi, fragmen kecil tertarik oleh otot atau tendo misalnya
fraktur epikondilus humeri, fraktur trokanter mayor, fraktur patella
- Fraktur depresi, karena trauma langsung misalnya pada tulang
tengkorak
- Fraktur impaksi
36
- Fraktur pecah (burst) dimana terjadi fragmen kecil yang berpisah
misalnya pada fraktur vertebra, patella, talus, kalkaneus
- Fraktur epifisis
3. Menurut ekstensi
- Fraktur total
- Fraktur tidak total
- Fraktur buckle atau torus
- Fraktur garis rambut
- Fraktur green stick
- Bersampingan
- Angulasi
- Rotasi
- Distraksi
- Over-riding
- Impaksi
1. Anamnesis
37
Pada pemeriksaan awal penderita perlu diperhatikan: 6
Pemeriksaan terhadap tanda-tanda vital untuk menilai adanya tanda syok,
anemia atau perdarahan
a. Inspeksi (look)
Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-
organ lain
Keadaan vaskularisasi
b. Palpasi (feel)
38
Temperatur setempat yang meningkat
c. Pergerakan (move)
39
Untuk melihat sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen
serta pergerakannya
Dua sendi pada anggota gerak dan tungkai harus difoto, di atas dan
di bawah sendi yang mengalami fraktur
CT-scan
MRI
Radioisotop scanning
40
F. Komplikasi 2,10
1. Komplikasi Dini
a. Infeksi
2. Komplikasi Lanjut
a. Malunion
41
memaksa mengangkat kaki saat berjalan tibia cenderung mengalami fraktur ulang.
Hal ini dapat terjadi secara pelan-pelan dan mengakibatkan non union. Deformitas
belakangan, jika tampak jelas, harus dikoreksi dengan osteotomi tibia.
b. Delayed union
Penyatuan akan lambat jika fraktur terbuka (terutama jika disertai infeksi)
jika pergesearan awal banyak, jika tibia mengalami fraktur pada dua tempat, atau
jika fraktur bersifat kominutif. Penyatuan dapat dipercepat dengan pembebanan
tetapi kalau kelambatan tampak terlalu lama, pencangkokan tulang dan fiksasi
intramedullary diindikasikan. Kalau fraktur fibula telah menyambung dan tibia
dibebat secara terpisah, maka 2,5 cm fibula dapat di eksisi dan cangkokan tulang
peluncur dipasang pada fraktur tibia.
c. Non-union
Penyatuan tulang tidak terjadi, bagian fraktur diisi oleh jaringan fibrosa.
terkadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor- faktor yang dapat
menyebabkan non union adalah tidak adanya imobilisasi, interposisi jaringan
lunak, pemisahan lebar dari fragmen contohnya patella dan dan fraktur yang
bersifat patologis
42
dimana otot pasien sendiri menarik kedua fragmen hingga terpisah (seperti pada
fraktur patela), atau akibat terapi dengan traksi yang berlebih.
Interposisi non-union dapat terjadi bila salah satru dari jaringan berikut ini
berada di antara ujung-ujung tulang periosteum (misalnya selapis periosteum pada
fraktur mata kaki), otot (misalnya fraktur femur dapat menembus otot kuadriseps),
kartilago (misalnya fraktur kondilus lateral humerus dapat demikian terputar
sehingga permukaan sendi kartilaginosa menghadap bahannya). Hal yang dapat
meningkatkan nonunion yaitu perokok, diabetes, obesitas, infeksi, dan
osteoporosis
Macam- macam non union fraktur :
Hipertropi/ elephant foot
Oligotropi
atrofi
d. Kekakuan sendi
Sering diakibatkan oleh kelalaian dalam terapi jaringan lunak; tetapi bila
pembebatan yang lama diperlukan, dan terutama bila terdapat sepsis, kekauan
mungkin tak dapat dihindari. Keterbatasam gerakan pada pergelangan kaki dan
kaki dapat berlanjut dalam 6-12 bulan setelah gips dilepas, meskipun telah
dilakukan latihan aktif.
e. Osteoporosis
43
FRAKTUR FEMORAL NECK
Fraktur leher femur merupakan jenis fraktur yang sering ditemukan pada orang
tua terutama wanita umur 60 tahun keatas disertai tulang yang osteoporosis.
A. Mekanisme Trauma
Jatuh pada daerah trokanter baik karena kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari
tempat yang tidak terlalu tinggi seperti terpeleset di kamar mandi dimana panggul
daalm keadaan fleksi dan rotasi.
B. Klasifikasi
1. Lokasi
Menurut lokasi fraktur dapat berupa fraktur subkapital, transervikal dan
basal, yang kesemuanya terletak di dalam simpai sendi panggul atau
intrakapsular; fraktur intertrokanter dan subtrokanter terletak
ekstrakapsuler.
44
yang terletak intraartikuler dan pendarahan kaput femur berasal dari
proksimal a. sirkumfleksa femoris lateralis melalui simpai sendi. Sumber
pendarahan ini putus pada patah tulang intraartikuler.
45
aliran darah ke kolum dan kaput femur yang robek pada saat terjadinya
fraktur.
Fraktur regio intertrokanterika pada femur lazim ditemukan.
Nekrosis avaskular tidak mengancam, karena kapsula koksa dan pembuluh
darahnya tetap utuh. Fraktura intertrokanterika paling baik diterapi secara
bedah untuk menghindari 12 sampai 14 minggu immobilisasi yang
diperlukan untuk terapi konservatif. Terutama pada orang tua, morbiditas
terapi bedah kurang dari yang menyertai perawatan konservatif lama.
Karena fraktura ini biasa timbul pada orang tua, maka diperlukan evaluasi
prabedah yang cermat.
Fraktura intertrokanterika diklasifikasikan menurut lokasi garis
fraktura dan derajat kominuta (Boyd)
1. Fraktura tipe I, adalah fraktura tunggal sepanjang linea
intertrokanterika. Fraktrus ini dapat direduksi dengn traksi
longitudinal dan rotasi interna serta immobilisasi dengan
pemasangan sekrup dan plat samping.
2. Fraktura tipe II, adalah kominutif dan bisa lebih sulit direduksi.
Fiksasi dengan sekrup dan plat samping, tetapi reduksi fragmen
proksimal (kaput dan kollum0 pada vagus bisa diperlukan untuk
mencapai kontak tulang medial danstabilitas.
3. Fraktura tipe III dan IV, timbul pada regio subtrokanterika femur
dan tidak stabil, yang menjadi sifatnya. Fraktura ini mungkin
disokong adekuat dengan sekrup dan plat samping konvensional,
serta penggunaan batang intramedulla bersama dengan batang
kollum femoris memberikan stabilitas lebih baik.
46
daripada tingkat ini, daya penekukan jauh lebih hebat, sehingga lebih baik
menggunakan paku intramedular dengan pen atau skrup pengunci yang
dimasukkan pada leher femur dan kaput. Kalau korteks medial bersifat kominutif
atau defisien, harus ditambah cangkokan tulang.
Reduksi tertutup dapat dilaksanakan pada fraktur subtrokanter, dan dapat
diindikasikan untuk fraktur kominutif berat bila fiksasi internal tak dapat
dilaksanakan atau tidak aman, dan juga diindikasikan untuk fraktur terbuka.
Traksi kerangka dipasang lewat pen femur distal, sehingga memungkinkan
gerakan lutut secara bebas. Karena fragmen proksimal ditarik ke dalam keadaan
duduk atau terbaring dengan pinggul dan lutut difleksikan 90˚ dan sedikit
terabduksi. Traksi perlu dipertahankan selama tiga bulan; karena itu metode itu
kurang coccok untuk manula.
2. Radiologis
1. Berdasarkan keadaan fraktur
Tidak ada pergeseran fraktur
Fragmen distal, rotasi eksterna, abduksi dan dapat bergeser
ke proksimal
Fraktur impaksi
2. Klasifikasi menurut Garden
Tingkat I : fraktur impaksi yang tidak total
Tingkat II : fraktur total tetapi tidak bergeser
Tingkat III : fraktur total disertai sedikit pergeseran
Tingkat IV : fraktur disertai dengan pergeseran ynag hebat
47
3. Klasifikasi menurut Pauwel
Tipe I : fraktur dengan garis fraktur 30˚
Tipe II : fraktur dengan garis fraktur 50˚
Tipe III : fraktur dengan garis fraktur 70˚
C. Patologi
Kaput femur mendapat aliran darah dari tiga sumber, yaitu :
1. Pembuluh darah intrameduler di dalam leher femur
2. Pembuluh darah servikal asendens dalam retinakulum kapsul sendi
48
3. Pembuluh darah dari ligamen yang berputar
Oleh karena itu ketetapan aposisi dan impaksi fragmen tulang menjadi
lebih penting dari biasanya. Terdapat bukti bahwa aspirasi hemartrosis dapat
meningkatkan aliran darah dalam kaput femoris dengan mengurangi tamponade.
D. Gambaran Klinis
Biasanya terdapat riwayat jatuh, yang diikuti nyeri pinggul. Tungkai pasien
terletak pada rotasi lateral, dan terlihat pemendekan bila dibandingkan tungkai kiri
dengan tungkai kanan. Jarak antara trochanter mayor dan spina iliaka anterior
superior lebih pendek, karena trokanter terletak lebih tinggi akibat pergeseran
tungkai ke kranial. Namun, tidak semua fraktur nampak demikian jelas. Pada
fraktur yang terimpaksi pasien mungkin masih dapat berjalan; dan pasien yang
sangat lemah atau cacat mental mungkin tidak mengeluh sekalipun mengalami
fraktur bilateral.
F. Pemeriksaan Radiologis
Pada foto rontgen dapat diketahui apakah ada fraktur dan pergeseran. Biasanya
patahan itu jelas tapi fraktur yang terimpaksi dapat terlewatkan bila tidak hati-hati.
49
Pergeseran dinilai melalui bentuk bayangan tulang yang abnornal dan tingkat
ketidakcocokan garis trabekular pada kaput femoris dan ujung leher femur.
Penilaian ini penting karena fraktur yang terimpaksi atau tak bergeser (stadium I
dan II Garden) dapat membaik setelah fiksasi interna, sementara fraktur yang
bergeser sering mengalami non-union dan nekrosis avaskular.
G. Pengobatan
Pengobatan operatif hampir selalu dilakukan pada penderita fraktur leher femur
baik orang dewasa muda maupun dewasa tua karena :
Perlu reduksi yang akurat dan stabil
Diperlukan mobilisasi yang cepat pada orang tua untuk mencegah
komplikasi paru-paru dan ulkus dekubitus.
Fraktur yang bergeser tidak akan menyatu tanpa fiksasi interna. Fraktur
yang terimpaksi dapat dibiarkan menyatu, tetapi selalu terdapat resiko pergeseran
pada fraktur-fraktur itu, sekalipun berada di tempat tidur; jadi fiksasi akan lebih
aman.
Prinsip terapi adalah reduksi yang tepat, fiksasi secara erat dan aktivitas
dini. Bila pasien dibawah anestesi, pinggul dan lutut difleksikan dan paha yang
mengalami fraktur ditarik ke atas, kemudian dirotasikan secara internal, lalu
diekstensikan dan diabduksi; akhirnya kaki diikat pada footpiece. Pengawasan
dengan sinar-X diguanakan untuk memastikan reduksi pada foto anteroposterior
dan lateral. Diperlukan reduksi yang tepat pada fraktur stadium III dan IV; fiksasi
pada fraktur yang tak tereduksi hanya mengundang kegagalan. Kalau fraktur
stadium III dan IV tidak dapat direduksi secara tertutup, dan pasien berumur
dibawah 60 tahun, dianjurkan untuk melakukan reduksi terbuka melalui
pendekatan anterolateral.
50
Tetapi, pada pasien tua (yang berusia lebih dari 70 tahun) cara ini jarang
diperbolehkan; kalau dua usaha yang cermat untuk melakukan reduksi tertutup
gagal, lebih baik dilaksanakan pergantian prostetik.
Sekali direduksi, fraktur dipertahankan dengan pen atau skrup berkanula
atau, kadang-kadang dengan sekrup kompresi geser (sekrup pinggul yang
dinamis) yang ditempelkan pada batang femur. Insisi lateral digunakan untuk
membuka femur bagian atas. Kawat pemandu, yang disisipkan di bawah kendali
fluoroskopik, digunakan untuk memastikan bahwa penempatan alat pengikat telah
tepat. Dua sekrup berkanula sudah mencukupi; keduanya harus terletak sejajar
dan memanjang sampai plat tulang subkondral; pada foto lateral keduanya berada
di tengah-tengah pada kaput dan leher, tetapi pada foto anteroposterior sekrup
distal terletak pada dengan korteks inferior leher.
Bila tidak dilakukan operasi ini cara konservatif terbaik adalah langsung
immobilisasi dengan pemberian anastesi dalam sendi dan bantuan tongkat.
Mobilisasi dilakukan agar terbentuk pseudoartrosis yang tidak nyeri sehingga
penderita diharapkan bisa berjalan dengan sedikit rasa sakit yang dapat ditahan,
serta sedikit pemendekan.
Sejak hari pertama pasien harus duduk di tempat tidur atau kursi. Dia
dilatih melakukan latihan pernafasan, dianjurkan berusaha sendiri dan memulai
berjalan (dengan alat penopang atau alat berjalan) secepat mungkin. Secara
teoritis, idealnya adalah menunda penahanan beban, tetapi ini jarang dapat
dipraktekkan.
Jenis-jenis operasi :
a. Pemasangan pin
b. Pemasangan plate and screw
Beberapa ahli mengusulkan bahwa prognosis untuk fraktur stadium III dan
IV tak dapat diramalkan sehingga penggantian prostetik selalu lebih baik. Karena
itu, kebijaksanaan kita adalah mencoba reduksi dan fiksasi pada semua pasien
yang berumur dibawah 75 tahun dan mempersiapkan penggantian untuk pasien
yang sangat tua dan sangat lemah dan pasien yang gagal menjalani reduksi
tertutup. Penggantian yang paling sedikit traumanya adalah prostesis femur atau
prostesis bipolar tanpa semen yang dimasukkan dengan pendekatan posterior.
51
Penggantian pinggul total mungkin lebih baik kalau terapi telah tertunda selama
beberapa minggu dan dicurigai ada kerusakan asetabulum, atau pada pasien
dengan penyakit metastatik atau penyakit paget.
Artroplasti; dilakukan pada penderita umur diatas 55 tahun, berupa :
Eksisi artroplasti (pseudoartrosis menurut Girdlestone)
Hemiartroplasti
Artroplasti total
H. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi adalah :
1. Komplikasi yang bersifat umum ; trombosis vena, emboli paru,
pneumonia, dekubitus
2. Nekrosis avaskuler kaput femur
Nekrosis avaskular terjadi pada 30% penderita dengan fraktur yang
disertai pergeseran dan 10% pada fraktur tanpa pergeseran.tidak ada
cara untuk mendiagnosis hal ini pada saat terjadi fraktur. Beberapa
minggu kemudian, scan nanokoloid dapat memperlihatkan
berkurangnya vaskularitas. Perubahan pada sinar-X, meningkatnya
kepadatan pada kaput femoris mungkin tidak nyata selama berbualan-
bulan atau bahkan bertahun-tahun. Baik fraktur itu menyatu atau tidak,
kolapsnya kaput femoris akan menyebabkan nyeri dan semakin
hilangnya fungsi. Apabila lokalisasi fraktur lebih ke proksimal maka
kemungkinan untuk terjadi nekrosis avaskular lebih besar.
Penanganan nekrosis avaskular kaput femur dengan atau tanpa gagal
pertautan juga dengan eksisi kaput dan leher femur dan kemudian
diganti dengan protesis metal.
3. Nonunion
52
Lebih dari 1/3 penderita dengan fraktur leher femur tidak dapat
mengalami union terutama pada fraktur yang bergeser. Komplikasi
lebih sering pada fraktur dengan lokasi yang lebih ke proksimal. Ini
disebabkan kareana vaskularisasi yang jelek, reduksi yang tidak
adekuat, fiksasi yang tidak adekuat dan lokasi fraktur adalah intra-
artikuler.
Tulang di tempat fraktur remuk, fragmen terpecah dan paku atau
sekrup menjebol keluar dari tulang atau terjulur ke lateral. Pasien
mengeluh nyeri, tungkai memendek dan sukar berjalan. Metode
pengobatan nekrosis avaskuler tergantung penyebab terjadinya
nonunion dan umur penderita.
Pada pasien yang relatif muda, terdapat tiga prosedur, yaitu :
1. Kalau fraktur terlalu vertikal, tetapi kaput tetap hidup, osteotomi
subtrokanter dengan fiksasi paku-plat mengubah garis fraktur
sehingga membentuk sudut yang lebih horizontal.
2. Kalau reduksi atau fiksasi salah dan tidak terdapat tanda-tanda
nekrosis, sekrup itu pantas dibuang, fraktur direduksi, sekrup yang
baru disisipkan dengan bener dan juga menyisipkan cangkokan
fibula pada fraktur itu;
3. Kalau kaput bersifat avaskular, kaput ini dapat diganti dengan
prostesis logam; kalau sudah terdapat atritis, diperlukan pergantian
total.
Pada pasien yang berusia lanjut, hanya dua proses yang harus
dipertimbanagkan, yaitu ;
1. Kalau nyeri tidak hebat, pengankatan tumit dan penggunaan
tongkat yang kuat atau kruk penopang siku sering sudah
mencukupi.
2. Kalau nyerimya hebat, maka tak perduli apakah caput
avaskular atau tidak, kaput ini terbaik dibuang; kalau pasien
cukup sehat, dilakukan pergantian sendi total.
4. Osteoartritis
53
Osteoartritis sekunder terjadi karena adanya kolaps kaput femur atau
nekrosis avaskuler. Kalau terdapat banyak kehilangan gerakan sendi
dan kerusakan meluas ke permukaan sendi, diperlukan pergantian
sendi total.
5. Anggota gerak memendek
6. Malunion
7. Malrotasi berupa rotasi eksterna
8. Koksavara
54
55
TOTAL HIP REPLACEMENT (ARTHROPLASTY)
A. DEFINISI
Arthroplasty = rekonstruksi sendi yang mengalami penyakit, kerusakan,
atau ankilosis dengan cara modifikasi natural atau pemberian materi artifisial.
Etiololgi tersering kelainan panggul individu dewasa antara lain: osteoartritis,
rheumatoid artritis, nekrosis avaskular, penyakit degeneratif sendi pasca trauma
(posttraumatic degenerative joint disease), kelainan kongenital, dan infeksi dalam
sendi atau pada tulang di sekitarnya.
B. INDIKASI
Nyeri dan disfungsi progresif (dan/atau):
Penurunan mobilitas, rawat diri, dan AKS sekalipun telah mendapat terapi
konservatif.
Indikasi berdasarkan penyakitnya:
Artritis: RA, juvenile rheumatoid (Still’s disease), artiritis piogenik
(dengan infeksi yang sudah mereda)
Ankylosing spondylitis
Nekrosis avaskular (pasca fraktur / dislokasi, idiopatik)
Tumor tulang
Cassion’s disease
Penyakit sendi degeneratif (osteoartritis)
Developmental dysplasia of the hip (DDH)
Failed hip reconstruction (cup arthroplasty; femoral head prosthesis;
girdlestone procedure; resurfacing arthroplasty; total hip replacement)
Fraktur / dislokasi (asetabulum, femur proksimal)
Fusi atau pseudoarthrosis pangggul
Gaucher’s disease
Hemoglobinopati (sickle cell disease)
Kelainan herediter
56
Legg-Calvé-Perthes disease (LCPD)
Osteomielitis (pada lokasi yang jauh, dan tidak aktif) → hematogenik,
pasca operatif osteotomi
Penyakit ginjal (terinduksi kortison, alkoholisme)
Slipped capital femoral epiphysis (SCFE)
Tuberculosis
C. KONTRAINDIKASI
Absolut
Infeksi aktif dalam sendi, (“unless carrying out a revision as either an
immediate exchange or an interval procedure).
Infeksi sistemik atau sepsis.
Neuropati pada sendi
Tumor malignan yang tidak memungkinkan dilakukannya fiksasi
komponen
Relatif
Infeksi yang terlokalisir, khususnya infeksi saluran kemih, kulit, dada, atau
infeksi lokal lainnya.
Absen atau insufisiensi relatif otot-otot abduktor.
Defisit neurologis progresif.
Setiap proses yang dapat menghancurkan tulang secara cepat.
Pasien yang memerlukan prosedur dental atau urologik yang ekstensif,
seperti TUR prostat; sebaiknya sudah menjalaninya sebelum mendapat
THR.
D. TINDAKAN OPERATIF
Komponen THR yang umum diberikan:
1. unipolar endoprosthesis
2. bipolar endoprosthesis
3. true total hip components (komponen femoral & asetabular terpisah)
Implan Unipolar
57
Disebut juga endoprosthesis Moore atau Austin-Moore. Merupakan
komponen logam campuran tunggal bermesin (single, machined metal alloy) yang
terdiri atas bagian femoral stem (batang), leher, dan kepala. Kepala implan
diartikulasi dengan kartilago asetabulum asal.
Prosthesis ini umumnya digunakan pada pasien usia lanjut dengan
mobilitas minimal, yang mengalami fraktur collum femur intrakapsular
(subkapital) yang mengalami pergeseran (displaced).
Implan Bipolar
Endoprosthesis bipolar terdiri atas komponen asetabulum dengan bahan
logam campuran bersaput (polished metal alloy), yang secara anatomis disamakan
dengan asetabulum agar dapat memberikan pembebanan permukaan (surface
bearing). Kepala komponen ini berbentuk sferikal serta berukuran besar. Di dalam
komponen terdapat pelapis polyethylene (polyethylene liner), sehingga padanya
dapat dipasang komponen femoral.
Struktur ini menyebabkan terjadinya pembebanan luar (outer bearing
interface) antara permukaan implan dan asetabulum asal; serta pembebanan dalam
(inner bearing interface) antara lapisan polyethylene dan komponen femoral.
Desain seperti ini secara teori mengurangi gerakan pada asetabulum asal
(pertemuan kartilago-metal), dengan cara meningkatkan pergerakan pada bagian
prosthetik yang bebas bergerak (moveable); dan dengannya mengurangi
pembebanan (stress), aus (wear), atau erosi.
Penggunaan endoprosthesis bipolar sama dengan unipolar, atau dapat pula
digunakan pada arthroplasti revisi (revision arthroplasty).
58
Dibanding endoprosthesis lainnya, komponen THA merupakan alat yang
paling kompleks untuk dipasang secara benar, namun merupakan teknik yang
paling sering digunakan.
Cementless (Noncemented)
Pada teknik cementless (tanpa semen), fiksasi awal dilakukan dengan
menggunakan Press-Fit. Pada teknik ini, digunakan komponen femoral yang
memiliki lapisan permukaan yang berpori, untuk menciptakan pertumbuhan
59
(ingrowth) dan stabilitas tulang. Teknik Press-Fit umumnya digunakan pada
pasien yang berusia lebih muda dan lebih aktif.
Dengan teknik ini fiksasi implan maksimal cenderung belum akan tercapai,
hingga ditemukannya pertumbuhan jaringan pada implan atau ke dalam implan
(ongrowth or ingrowth). Stabilitas umumnya akan cukup setelah 6 minggu.
Bagaimanapun, stabilitas maksimal mungkin tidak akan dicapai hingga sedikitnya
6 bulan. Dengan alasan ini, banyak ahli bedah menganjurkan agar weight-bearing
dalam 6 minggu pertama hanya dilakukan dengan teknik toe-touch weight bearing.
Dengan demikian, secara umum pasien yang diberikan teknik ini harus
menunggu sedikitnya 6-8 minggu sebelum diizinkan melakukan full weight-
bearing, agar pertumbuhan tulang dapat berjalan stabil.
Catatan: dalam sebagian besar kasus, mangkuk asetabular merupakan
bahan Press-Fit. Komponen pelapis berpori seperti ini dalam banyak kasus
dibuktikan memberikan hasil yang sangat baik, dibanding pelapis implan
asetabular yang tidak berpori (non-porous). Untuk menambah stabilitas dapat
dipasang 1 atau 2 skrup (scews).
Manuver SLR (straight leg raising) dapat menyebabkan pembebanan
“keluar” (out-of-plane) yang sangat besar pada panggul; begitu pula dengan
angkat-samping (side-leg-lifting) pada posisi tidur, dan karenanya kedua manuver
ini harus dihindari. Selain itu kontraksi isometrik yang besar pada otot-otot
abduktor panggul, (terutama latihan tahanan/resistance) harus dilakukan secara
berhati-hati; dan sebaiknya dihindari pada tindakan osteotomi trokanter.
Pada teknik non-cemented, tahanan rotasional awal panggul umumnya
rendah, karena itu selama 6 minggu pertama atau lebih, panggul harus dilindungi
dari gaya rotasional yang besar. Beban gaya rotasional seperti ini sering terjadi
ketika seseorang akan bangun dari posisi duduk. Karena itu, pada posisi duduk,
pasien harus mendorong badannya dengan menggunakan tangan.
Setelah tercapai full weight-bearing, pasien harus tetap menggunakan
tongkat pada sisi kontralateral hingga dapat berjalan tanpa pincang (limp). Hal ini
membantu mencegah terbentuknya pola jalan Trendelenburg.
60
DAFTAR PUSTAKA
1. Fauci, Anthony S, et al. 2012. Osteoarthritis. Dalam : Harrison’s
Principles Of Internal Medicine Eighteenth Edition. The McGraw-Hill
Companies.
2. Lawrence RC, Felson DT, Helmick CG, et al. 2008. Estimates of the
prevalence of arthritis and other rheumatic conditions in the United States.
Part II. Arthritis Rheum. 58(1):26–35.
3. Christine G, 1922, Bones and Joint. A Guide for student, second edition,
Tokyo, Churchill Livingstone.
4. Dillon CF, Rasch EK, et al. 2006. Prevalence of knee osteoarthritis in the
United States: arthritis data from the Third National Health and Nutrition
Examination Survey 1991–1994. J Rheumatol. 33(11):2271–2279.
12. Snell, Anatomi Klinik. Bagian 2. Edisi ketiga. Jakarta: EGC. 1998
61
13. Apley AG, Solomon L. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley.
Jakarta: Widya Medika. 1995.
14. Sjamsuhidajat R, Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta: EGC.
2004.
15. Bergman, Ronald, Ph.D. Anatomy of First Aid: A Case Study Approach.
Available from: http://www.anatomyatlases.org/firstaid/ThighInjury.shtml
18. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi ketiga. Jakarta:
Media Aesculapius. 2000.
62
BAB III
ANALISIS KASUS
1. Anamnesis :
Pasien mengeluhkan sulit berjalan pada kaki kanannya sejak 7 bulan yang
lalu, dikarenakan pasien terpleset saat sedang dirumah. Semenjak itu pasien
mengeluhkan nyeri pada kaki kanannya, sulit berjalan, dan erkadang kaku saat
pagi hari belakangan ini,.
Menurut teori, Leher femur adalah tempat yang paling sering terkena fraktur pada
manula. Sebagian besar pasien adalah wanita berusia delapan puluh atau sembilan
puluhan, dan kaitannya dengan osteoporosis demikian nyata sehingga insidensi
fraktur leher femur digunakan sebagai ukuran osteoporosis yang berkaitan dengan
umur dalam pengkajian kependudukan.
Namun hal ini bukan semata-mata akibat penuaan; fraktur cenderung
terjadi pada penderita osteopenia diatas rata-rata, banyak diantaranya mengalami
kelainan yang menyebabkan kehilangan jaringan tulang dan kelemahan tulang
misalnya osteomalsia, diabetes, stroke, alkoholisme dan penyakit kronis lain;
beberapa keadaan ini juga menyebabkan meningkatnya kecenderungan jatuh.
Sebaliknya, fraktur leher femur jarang terjadi pada orang-orang negroid dan
pasien dengan osteoartritis pinggul.
Pemeriksaan fisik :
63
edema, perabaan arteri dorsalis pedis sinistra baik, namun terdapat nyeri tekan,
krepitasi, ROM terbatas, nyeri aktif dan nyeri pasif.
Menurut teori, tulang femur adalah tulang yang paling besar dan mengandung
banyak pembuluh darah. Fraktur pada tulang femur dapat menyebabkan pecah
pada pembuluh darah dan kehilangan darah sebanyak 1.5 liter sampai 2 liter,
sehingga dapat berujung pada syok yang ditandai dengan gangguan sirkulasi
hemodinamika. Pemeriksaan status lokalis femur harus dibandingkan dengan
yang sehat, memperhatikan posisi anggota gerak secara keseluruhan, adanya
tanda-tanda anemia akibat perdarahan, adanya luka pada kulit dan jaringan lunak
untuk membedakan fraktur tertutup atau terbuka. Menilai deformitas berupa
angulasi, rotasi dan pemendekan.
Pada palpasi ditemukan nyeri tekan perabaan denyut nadi di bagian distal
fraktur yaitu arteri dorsalis pedis. Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna
kulit pada bagian distal fraktur, temperatur kulit dan pengukuran panjang tungkai
untuk menilai adanya perbedaan panjang tungkai. Pergerakan secara aktif dan
pasif sendi proksimal dan distal daerah fraktur akan timbul nyeri hebat sehingga
uji pergerakan harus dilakukan secara perlahan dan hati-hati, agar mencegah
kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.
2. Pemeriksaan penunjang :
Pada kasus ini dilakukan pemeriksaan laboratorium hematologi, yang
menunjukkan pasien mengalami anemia ringan. Kondisi anemia disebabkan oleh
berbagai hal, salah satunya adalah disebabkan kehilangan banyak darah akibat
fraktur pada tulang panjang seperti femur.
64
rontgen ulang regio femur dextra pasca operasi. Akan tetapi pasien harus
menurunkan terlebih dahulu
Prognosis pada pasien ini adalah, dari segi vitam ialah bonam, sedangkan
sanationam maupun fungtionam yaitu ad malam. Dikarenakan faktor usia dari
pasien yang sudah lanjut usia dan terjadinya osteoartritis.
65