Anda di halaman 1dari 66

PRESENTASI KASUS

“Osteoartritis Hip Joint ec Fraktur Non Union


Neck Femur Dextra”

Disusun oleh :
NITA WIDJAYA (1102013212)
PUTRI CANTIKA REVIERA (1102013230)

Pembimbing :
Dr. HUSODO DEWO ADI, Sp.OT. K.Spine

KEPANITERAAN KLINIK SMF BEDAH


RSUD. DR. SLAMET GARUT
DESEMBER 2017
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT
dan shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan laporan kasus ini yang berjudul
“Osteoartritis Hip Joint ec Fraktur Non Union Neck Femur Dextra” dengan
baik.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti
dan menyelesaikan kepaniteraan klinik SMF Bedah di RSUD. Dr. Slamet Garut.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Dr. HUSODO DEWO ADI,Sp.OT. K.Spine selaku dokter pembimbing.
2. Para Perawat dan Pegawai di Bagian Bedah RSUD. Dr. Slamet Garut.
3. Teman-teman sejawat dokter muda di lingkungan RSUD. Dr. Slamet
Garut.
Segala daya upaya telah di optimalkan untuk menghasilkan laporan kasus
yang baik dan bermanfaat, dan terbatas sepenuhnya pada kemampuan dan
wawasan berpikir penulis. Akhir kata penulis mengharapkan referat ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca, khususnya bagi para dokter muda yang
memerlukan panduan dalam menjalani aplikasi ilmu.

Garut, Desember 2017

Penulis

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Osteoartritis merupakan penyakit sendi degeneratif kronik non inflamasi yang


berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Penyakit ini progresif lambat, ditandai
dengan adaya degenerasi tulang rawan sendi, hipertrofi tulang pada tepinya, sklerosis
tulang subkondral,disertai nyeri, biasanya setelah aktivitas berkepanjangan dan
kekakuan. Penyakit ini bentuk artritis yang paling umum terjadi mengenai usia lanjut
atau usia dewasa

Sedangkan fraktur neck femur sendiri sering terjadi karena kecelakaan lalu
lintas, jatuh pada tempat yang tidak tinggi, terpleset di kamar mandi dimana panggul
dalam keadaan fleksi dan rotasi. Kemudian suka terjadi pada usia 60 tahun ke atas,
biasana tulang bersifat osteoporotik, pada pasien awal menopause, dan jarang
berolahraga.

Kondisi pada osteoartritis disertai adanya fraktur dapat dilakukan tindakan


operasi untuk memperbaiki kondisi pasien dengan memperhatikan proses pemulihan
dari frakturnya serta menngurangi terjadinya suatu komplikasi.

3
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. E
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 57 tahun
Alamat : Karangpawitan
Agama : Islam
Status perkawinan : Sudah Menikah
Tanggal MRS : 21 November 2017
Tanggal KRS : 24 November 2017

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Kesulitan berjalan pada kaki kanan sejak 7 bulan SMRS

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke RSU dr. Slamet ke poli orthopedic beberapa kali. Lalu
pasien masuk ke IGD karena keluhan hipertensi. Kemudian pasien di rawat di
Marjan atas sejak 21 November 2017, dengan keluhan kaki sulit berjalan
sejak bulan SMRS. Hal ini disebabkan karena pasien terjatuh dari tangga
dirumahnya 7 bulan yang lalu. Pada saat terjatuh, pasien melewati 2 tangga
sekaligus dengan kaki kanan sebagai tumpuan tubuh pasien. Sehingga saat ini
kaki kanan pasien terasa nyeri dan bengkak, serta terasa kaku beberapa saat
pada pinggul jika di pagi hari. Tidak tampak luka ataupun perdarahan pada
kaki kanan pasien.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat darah tinggi sejak 5 tahun yang lalu hingga saat ini,
namun pengobatan tekanan darah tinggi tidak terkontrol. Kemudian sejak 3
tahun terakhir pasien memiliki keluhan kaki terkadanya terasa nyeri sesekali

4
serta ada rasa kaku pada bagian pinggul beberapa saat di pagi hari. Saat
beraktifitas terlalu lama, pasien mengeluh kaki terasa nyeri dan pegal serta
keluhan ini belum pernah diobat sebelumnya. Pasien menyangkal pernah
menderita penyakit jantung, TB paru, asma, alergi, penyakit jantung, dan
kencing manis. Riwayat operasi sebelumnya disangkal.

4. Riwayat Keluarga
Pasien mengaku dalam keluarganya tidak ada yang menderita penyakit
tekanan darah tinggi, asma atau kencing manis. Pasien mengaku tidak ada
keluarga yang pernah mengalami penyakit kanker atau pernah dioperasi
sebelumnya.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan Gizi : Baik
Kulit : Turgor baik

Tanda vital
Nadi : 84 x/menit
Tekanan darah : 160/100 mmHg
Suhu : 36,7oC
Respirasi : 20 x/menit
SpO2 : 97 %

Status Interna
Kepala : Normocephal, hematom (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera tidak ikterik, pupil bulat
isokor, refleks pupil +/+ normal
Leher : Trakhea di tengah, pembesaran KGB (-)
Toraks

5
 Cor Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada sela iga 5 linea mid clavicula
sinistra.
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

 Pulmo Inspeksi : Pergerakan hemitoraks dalam keadaan statis dan


dinamis simetris kanan dan kiri.
Palpasi : Fremitus vocal dan taktil simetris, massa (-), nyeri
tekan (-)
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler, Rhonki -/-, Wheezing -/-

Abdomen Inspeksi : Tampak datar simetris


Palpasi : Lembut, Nyeri tekan (-), Nyeri lepas (-), Hepar dan
lien tidak teraba besar, massa (-)
Perkusi : Timpani pada seluruh kuadran abdomen
Auskultasi : Bising usus (+) normal

Ekstremitas Atas : Akral hangat, edema -/-, sianosis -/-


Bawah : Akral hangat, edema +/- pada bagian femur dextra
joint nyeri tekan +/-, ROM terbatas pada kaki kanan, sianosis -
/-

Status Lokalis : regio femur dextra


Look : Edema (+), pemendekan (-), rotasi (-), angulasi (-), kulit utuh, luka
terbuka (-), warna kulit sama dengan warna kulit sekitarnya.
Feel : Arteri dorsalis pedis dextra teraba, Nyeri tekan (+), krepitasi (-).
Move : ROM terbatas, nyeri aktif (+), nyeri pasif (+), ankle joint kanan dapat
digerakan, digiti I-V pedis dextra bebas digerakan.

6
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan Laboratorium
17/11/2017 Hematologi
Hemoglobin 7.7 g/dL 12.0 – 16.0
Hematokrit 26 % 35-47
Leukosit 7.580 / mm3 3.800 – 10.600
Trombosit 377.000 / mm3 150.000 – 440.000
Eritrosit 3.81 juta/mm3 3.6 – 5.8

Kimia Kinik
Ureum 30 mg/dL 15-30
Kreatinin 1.1 mg/dL 0.3-1.3
Hematologi
Masa Perdarahan/BT 2 menit 1-3
Masa Pembekuan/CT 6 menit 5-11

22/11/2017 Hematologi
Hemoglobin 9.7 g/dL 12.0 – 16.0
Hematokrit 32 % 35-47
Leukosit 7.580 / mm3 3.800 – 10.600
Trombosit 443.000 / mm3 150.000 – 440.000
Eritrosit 3.81 juta/mm3 3.6 – 5.8

26/09/2017 Hematologi
Hemoglobin 10.1 g/dL 12.0 – 16.0
Hematokrit 33% 35 - 47
Leukosit 6.700 / mm3 3.800 – 10.600
Trombosit 179.000 / mm3 150.000 – 440.000
Eritrosit 4.03 juta/mm3 4.43 – 6.02

 Pemeriksaan Radiologis
Dilakukan pemeriksaan foto rontgen thorax pada tanggal 17/11/2017

7
Hasil rontgen:
- Cor membesar dengan apex tertanam, pinggang jantung mendatar,
elongasio aorta (+)
- Sinus dan diafragma normal
- Pulmo : hilus normal, corakan bronkovaskuler bertambah, tidak tampak
bercak lunak, kranialisasi (-)
- Kesan : Kardiomegali (LV, LA?) tanpa bendungan paru disertai elongasio
aorta

*) Untuk rontgen femur pasien tidak ditemukan di ruangan karena rontgen tertinggal
di rumah pasien

8
Gambar 1. Osteoartritis Hip Joint
(Sumber: www.medscape.com)

Gambar 2. Klasifikasi Fraktur Neck Femur


(Sumber: www.medscape.com)

Keterangan gambar untuk Klasifikasi fraktur neck femur:


1. tension
2. Compression

9
3. Displaced

*) Konsul dr. Penyakit Dalam


 pasien disetujui operasi setelah perbaikan tekanan darah tinggi terlebih dahulu,
jika TD kurang dari sama dengan 100/80

E. RESUME
Pasien perempuan umur 57 tahun datang ke poli orthopedi RSU dr. Slamet Garut
dengan sulit berjalan pada kaki kanan, kaki terasa nyeri dan ada kaku pada
pinggul saat pagi hari sejak ± 7 bulan yang lalu, kemudian pasien dirawat di
marjan. Pasien mengeluh terdapat bengkak pada paha kanan atas. Pada
pemeriksaan fisik terdapat edema (+) pada tungkai kanan, nyeri tekan (+), ROM
terbatas pada kaki kanan, krepitasi (+) dan tekanan darah tinggi . Pada
pemeriksaan laboratorium terdapat anemia. Pada pemeriksaan di poli orthopedi
didapatkan diagnosa osteoartritis hip joint et causa fraktur nonunion femur dextra

F. DIAGNOSIS KERJA
 osteoartritis hip joint et causa fraktur nonunion neck femur dextra
 Hipertensi grade 2
 Anemia ec ?

G. PENATALAKSANAAN
1) Tatalaksana Umum
 Memantau tanda- tanda vital pasien
 IVFD RL 20 tetes/menit.
 Transfuse PRC 2 labu hingga Hb > 10g/dL

2) Medikamentosa
 Ranitidin 2x50mg iv
 Na diklofenak 2x1 PO
 Herbesser CD 2x 100 PO

10
3) Operasi
Rencana operasi THR setelah perbaikan KU

4) Pemeriksaan Laboratorium : Darah rutin ulang post transfusi

H. PROGNOSIS
 Quo ad vitam : dubia ad bonam
 Quo ad functionam : dubia ad malam
 Quo ad sanationam : dubia ad malam

11
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan fisiologi
Sendi adalah semua persambungan tulang, baik yang memungkinkan tulang-
tulang tersebut dapatbergerak satu sama lain, maupun tidak dapat bergerak satu sama
lain.pada sendi sinovial dilapisi oleh suatu kartilago yang terbagi atas dua bagian
yaitu kondrosit dan matriks ekstraseluler. Matriksekstraseluler yang mengandung
banyak kolagen tipe II, IX, dan XI serta proteoglikan (terutama agregat). Agregat
adalah hubungan antara terminal sentral protein dengan asam hialuronatmebentuk
agreratyang dapat menghisap air. Sesudah kekuatan kompresi hilang maka air akan
kembali pada matriks dan kartilago kembali seperti semula. Jaringan kolagen
merupakan molekulprotein yang kuat. Kolagen ini berfungsi sebagai kerangka dan
mencegah pengembangan berlebihan dari agregat proteoglikan. 3
Rawan sendi hanya mempunyai sedikit kemampuan untuk penyembuhan
(reparasi). Agar tetap berfungsi dengan baik, rawan sendi hanya dapat menanggung
perubahan sebab fisis sedikit yaitusebesar 25kg/cm3. Fungsi utama rawan sendi yaitu
disamping memungkinkan gesekan padagerakan, juga menyerap energi beban
dengan mengubah bentuk dan dengan efektif menyebarkan beban tersebut pada suatu
daerah yang luas.1,3

Gambar 2.1 Sendi normal

Gambar 3. Hip Joint Normal


Sumber : www.emedicine.com

12
Mekanisme pertahanan sendi diperankan oleh pelindung sendi yaitu : Kapsula
dan ligamen sendi, otot-otot, saraf sensori aferen dan tulang di dasarnya. Kapsula dan
ligamen-ligamen sendi memberikan batasan pada rentang gerak (Range of motion)
sendi.
Cairan sendi (sinovial) mengurangi gesekan antar kartilago pada permukaan
sendi sehingga mencegah terjadinya keletihan kartilago akibat gesekan. Protein yang
disebut dengan lubricin merupakan protein pada cairan sendi yang berfungsi sebagai
pelumas. Protein ini akan berhenti disekresikan apabila terjadi cedera dan
peradangan pada sendi
Ligamen, bersama dengan kulit dan tendon, mengandung suatu
mekanoreseptor yang tersebar di sepanjang rentang gerak sendi. Umpan balik yang
dikirimkannya memungkinkan otot dan tendon mampu untuk memberikan tegangan
yang cukup pada titik-titik tertentu ketika sendi bergerak. Otot-otot dan tendon yang
menghubungkan sendi adalah inti dari pelindung sendi. Kontraksi otot yang terjadi
ketika pergerakan sendi memberikan tenaga dan akselerasi yang cukup pada anggota
gerak untuk menyelesaikan tugasnya. Kontraksi otot tersebut turut meringankan stres
yang terjadi pada sendi dengan cara melakukan deselerasi sebelum terjadi tumbukan
(impact). Tumbukan yang diterima akan didistribusikan ke seluruh permukaan sendi
sehingga meringankan dampak yang diterima. Tulang di balik kartilago memiliki
fungsi untuk menyerap goncangan yang diterima.7
Kartilago berfungsi sebagai pelindung sendi. Kartilago dilumasi oleh cairan
sendi sehingga mampu menghilangkan gesekan antar tulang yang terjadi ketika
bergerak. Kekakuan kartilago yang dapat dimampatkan berfungsi sebagai penyerap
tumbukan yang diterima sendi. Perubahan pada sendi sebelum timbulnya OA dapat
terlihat pada kartilago sehingga penting untuk mengetahui lebih lanjut tentang
kartilago.
Terdapat dua jenis makromolekul utama pada kartilago, yaitu Kolagen tipe
dua dan Aggrekan. Kolagen tipe dua terjalin dengan ketat, membatasi molekul –
molekul aggrekan di antara jalinan-jalinan kolagen. Aggrekan adalah molekul
proteoglikan yang berikatan dengan asam hialuronat dan memberikan kepadatan

13
pada kartilago. Kondrosit, sel yang terdapat di jaringan avaskular, mensintesis
seluruh elemen yang terdapat pada matriks kartilago. Kondrosit menghasilkan enzim
pemecah matriks, sitokin { Interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF)}, dan
faktor pertumbuhan. Umpan balik yang diberikan enzim tersebut akan merangsang
kondrosit untuk melakukan sintesis dan membentuk molekul-molekul matriks yang
baru. Pembentukan dan pemecahan ini dijaga keseimbangannya oleh sitokin faktor
pertumbuhan, dan faktor lingkungan.
Kondrosit mensintesis metaloproteinase matriks (MPM) untuk memecah kolagen
tipe dua dan aggrekan. MPM memiliki tempat kerja di matriks yang dikelilingi oleh
kondrosit. Namun, pada fase awal OA, aktivitas serta efek dari MPM menyebar
hingga ke bagian permukaan (superficial) dari kartilago.
Stimulasi dari sitokin terhadap cedera matriks adalah menstimulasi
pergantian matriks, namun stimulasi IL-1 yang berlebih malah memicu proses
degradasi matriks. TNF menginduksi kondrosit untuk mensintesis prostaglandin (PG),
oksida nitrit (NO), dan protein lainnya yang memiliki efek terhadap sintesis dan
degradasi matriks. TNF yang berlebihan mempercepat proses pembentukan tersebut.
NO yang dihasilkan akan menghambat sintesis aggrekan dan meningkatkan proses
pemecahan protein pada jaringan. Hal ini berlangsung pada proses awal timbulnya
OA. 3

2.2 Definisi Osteoarthritis


Osteoarthritis merupakan gangguan pada satu sendi atau lebih, bersifat lokal,
progresif dan degeneratif yang ditandai dengan perubahan patologis pada struktur
sendi tersebut yaitu berupa degenerasi tulang rawan/kartilago hialin. Hal
tersebut disertai dengan peningkatan ketebalan dan sklerosis dari subchondral yang
bisa disebabkan oleh pertumbuhan osteofit pada tepian sendi, peregangan kapsul
artikular, synovitis ringan pada persendian, dan lemahnya otot-otot yang
menghubungkan persendian.

14
2.3 Etiologi
Etiologi osteoarthritis belum diketahui secara pasti, namun faktor biomekanik
dan biokimia sepertinya merupakan faktor terpenting dalam proses terjadinya
osteoarthritis. Faktor biomekanik yaitu kegagalan mekanisme protektif, antara
lain kapsul sendi, ligamen, otot-otot persendian, serabut aferen, dan tulang-tulang.
Kerusakan sendi terjadi multifaktorial, yaitu akibat terganggunya faktor-faktor
protektif tersebut. Osteoarthritis juga bisa terjadi akibat komplikasi dari penyakit lain
seperti gout, rheumatoid arthritis, dan sebagainya.

2.4 Klasifikasi
Menurut penyebabnya osteoarthritis dikategorikan menjadi5 :
a. Osteoarhritis primer adalah degeneratif artikular sendi yang terjadi pada
sendi tanpa adanya abnormalitas lain pada tubuh. Penyakit ini sering
menyerang sendi penahan beban tubuh (weight bearing joint), atau tekanan
yang normal pada sendi dan kerusakkan akibatproses penuaan. Paling sering
terjadi pada sendi lutut dan sendi panggul, tapi ini juga ditemukan pada
sendi lumbal, sendi jari tangan, dan jari pada kaki

b. Osteoarthritis sekunder, paling sering terjadi pada trauma atau terjadi


akibat dari suatu pekerjaan, atau dapat pula terjadi pada kongenital dan
adanya penyakit sistem sistemik. Osteoarthritis sekunder biasanya terjadi
pada umur yang lebih awal daripada osteoarthritis primer.

2.5 Epidemiologi
Penyakit ini memiliki prevalensi yang cukup tinggi, terutama pada orang tua.
Prevalensinya meningkat seiring bertambahnya usia. Di Amerika Serikat,
prevalensi osteoartritis pada populasi dengan usia di atas 65 tahun mencapai 80%
dan diperkirakan akan meningkat pada tahun 2020. 1,2 OA terjadi pada 13,9%
orang dewasa berusia lebih dari 25 tahun dan 33,6% dari mereka yang berusia lebih
dari 65 tahun. Prevalensi sendi yang terkena OA menurut temuan radiologis adalah
pada tangan 7,3%, kaki 2,3%, lutut 0,9%, dan panggul 1,5%. Prevalensi OA menurut
gejala yang ditemui yaitu pada tangan 8%, kaki 2%, lutut 12,1% pada orang dewasa

15
berusia lebih dari 60 tahun dan 16% pada orang dewasa berusi 45 – 60 tahun, dan
panggul 4,4%. Angka kematian yang diakibatkan osteoarthritis adalah sekitar 0,2
hingga 0,3 kematian per 100.000 (1979-1988). Angka kematian akibat OA sekitar
6% dari semua kematian akibat arthritis. Hampir 500 kematian per tahun disebabkan
OA dan angka tersebut meningkat selama 10 tahun terakhir.2,4
2.6 Faktor resiko
a. Faktor resiko sistemik

1. Usia : merupakan faktor risiko paling umum pada OA. Proses penuaan
meningkatkan kerentanan sendi melalui berbagai mekanisme. Kartilago
pada sendi orang tua sudah kurang responsif dalam mensintesis matriks
kartilago yang distimulasi oleh pembebanan (aktivitas) pada sendi.
Akibatnya, sendi pada orang tua memiliki kartilago yang lebih tipis.
Kartilago yang tipis ini akan mengalami gaya gesekan yang lebih tinggi
pada lapisan basal dan hal inilah yang menyebabkan peningkatan resiko
kerusakan sendi. Selain itu, otot-otot yang menunjang sendi menjadi
semakin lemah dan memiliki respon yang kurang cepat terhadap impuls.
Ligamen menjadi semakin regang, sehingga kurang bisa mengabsorbsi
impuls. Faktor-faktor ini secara keseluruhan meningkatkan kerentanan
sendi terhadap OA.

2. Jenis kelamin : masih belum banyak diketahui mengapa prevalensi


OA pada perempuan usila lebih banyak daripada laki-laki usila.
Resiko ini dikaitkan dengan berkurangnya hormon pada perempuan
pasca menopause.

3. Faktor herediter juga berperan pada timbulnya osteoartritis. Adanya mutasi


dalam gen prokolagen atau gen-gen struktural lain untuk unsur-unsur
tulang rawan sendi seperti kolagen, proteoglikan berperan dalam
timbulnya kecenderungan familial pada osteoartritis.

b. Faktor intrinsik

1. Kelainan struktur anatomis pada sendi seperti vagus dan valrus.

16
2. Cedera pada sendi seperti trauma, fraktur, atau nekrosis.

c. Faktor beban pada persendian

1. Obesitas : beban berlebihan pada sendi dapat mempercepat


kerusakan pada sendi.

2. Penggunaan sendi yang sering : aktivitas yang sering dan


berulang pada sendi dapat menyebabkan lelahnya otot-otot yang
membantu pergerakan sendi.5,6,7

2.7 Patogenesis
Selama ini OA sering dipandang sebagai akibat dari proses penuaan dan tidak
dapat dihindari. Namun telah diketahui bahwa OA merupakan gangguan
keseimbangan dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur yang
penyebabnya masih belum jelas diketahui. Kerusakan tersebut diawali oleh
kegagalan mekanisme perlindungan sendi serta diikuti oleh beberapa mekanisme lain
sehingga pada akhirnya menimbulkan cedera.7
Pada Osteoarthritis terjadi perubahan-perubahan metabolisme tulang rawan
sendi. Perubahan tersebut berupa peningkatan aktifitas enzim-enzim yang merusak
makromolekul matriks tulang rawan sendi, disertai penurunan sintesis proteoglikan
dan kolagen. Hal ini menyebabkan penurunan kadar proteoglikan, perubahan sifat-
sifat kolagen dan berkurangnya kadar air tulang rawan sendi. Pada proses degenerasi
dari kartilago artikular menghasilkan suatu substansi atau zat yang dapat
menimbulkan suatu reaksi inflamasi yang merangsang makrofag untuk menhasilkan
IL-1 yang akan meningkatkan enzim proteolitik untuk degradasi matriks
ekstraseluler.5

Gambaran utama pada Osteoarthritis adalah : 8


1. Dektruksi kartilago yang progresif
2. Terbentuknya kista subartikular
3. Sklerosis yang mengelilingi tulang
4. Terbentuknya osteofit

17
5. Adanya fibrosis kapsul

Perubahan dari proteoglikan menyebabkan tingginya resistensi dari tulang


rawan untuk menahan kekuatan tekanan dari sendi Penurunan kekuatan dari tulang
rawan disertai degradasi kolagen memberikan tekanan yang berlebihan pada serabut
saraf dan tentu saja menimbulkan kerusakan mekanik. Kondrosit sendiri akan
mengalami kerusakan. Selanjutnya akan terjadi perubahan komposisi molekuler dan
matriks rawan sendi, yang diikuti oleh kelainan fungsi matriks rawan sendi. Melalui
mikroskop terlihat permukaan mengalami fibrilasi dan berlapis-lapis. Hilangnya
tulang rawan akan menyebabkan penyempitan rongga sendi. Pada tepi sendi akan
timbul respons terhadap tulang rawan yang rusak dengan pembentukan osteofit.
Pembentukan tulang baru (osteofit) dianggap suatu usaha untuk memperbaiki dan
membentuk kembali persendian. Dengan menambah luas permukaan sendi yang
dapat menerima beban, osteofit diharapkan dapat memperbaiki perubahan-perubahan
awal tulang rawan sendi pada Osteoarthritis. Lesi akan meluas dari pinggir sendi
sepanjang garis permukaan sendi. Adanya pengikisan yang progresif menyebabkan
tulang yang dibawahnya juga ikut terlibat. Hilangnya tulang-tulang tersebut
merupakan usaha untuk melindungi permukaan yang tidak terkena. Sehingga tulang
subkondral merespon dengan meningkatkan selularitas dan invasi vaskular,akibatnya
tulang menjadi tebal dan padat (eburnasi). Pada akhirnya rawan sendi menjadi aus,
rusak dan menimbulkan gejala-gejala Osteoarthritis seperti nyeri sendi, kaku, dan
deformitas.6,7,8
Patologik pada OA ditandai oleh kapsul sendi yang menebal dan mengalami
fibrosis serta distorsi. Pada rawan sendi pasien OA juga terjadi proses peningkatan
aktivitas fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan
terjadinya penumpukan trombus dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral
yang menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan subkondral tersebut. Ini
mengakibatkan dilepaskannya mediator kimiawi seperti prostaglandin dan
interleukin yang selanjutnya menimbulkan bone angina lewat subkondral yang
diketahui mengandung ujung saraf sensibel yang dapat menghantarkan rasa sakit.6

18
Penyebab rasa sakit itu dapat juga berupa akibat dari dilepasnya mediator
kimiawi seperti kinin dan prostaglandin yang menyebabkan radang sendi,
peregangan tendon atau ligamentum serta spasmus otot-otot ekstraartikuler akibat
kerja yang berlebihan. Sakit pada sendi juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang
menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta
kenaikan tekanan vena intrameduler akibat stasis vena intrameduler karena proses
remodelling pada trabekula dan subkondral.
Sinovium mengalami keradangan dan akan memicu terjadinya efusi serta
proses keradangan kronik sendi yang terkena. Permukaan rawan sendi akan retak dan
terjadi fibrilasi serta fisura yang lama-kelamaan akan menipis dan tampak kehilangan
rawan sendi fokal. Selanjutnya akan tampak respon dari tulang subkhondral berupa
penebalan tulang, sklerotik dan pembentukkan kista. Pada ujung tulang dapat
dijumpai pembentukan osteofit serta penebalan jaringan ikat sekitarnya. Oleh sebab
itu pembesaran tepi tulang ini memberikan gambaran seolah persendian yang terkena
itu bengkak.5,7

Gambar 4. Osteoarthritis
Sumber: www.emedicine.com

19
2.8 Tanda dan Gejala Klinis

Pada umumnya, pasien OA mengatakan bahwa keluhan-keluhan yang


dirasakannya telah berlangsung lama, tetapi berkembang secara perlahan Berikut
adalah keluhan yang dapat dijumpai pada pasien OA :
a. Nyeri sendi
Keluhan ini merupakan keluhan utama pasien. Nyeri biasanya bertambah dengan
gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan dan tertentu
terkadang dapat menimbulkan rasa nyeri yang melebihi gerakan lain. Perubahan ini
dapat ditemukan meski OA masih tergolong dini ( secara radiologis ). Umumnya
bertambah berat dengan semakin beratnya penyakit sampai sendi hanya bias
digoyangkan dan menjadi kontraktur, Hambatan gerak dapat konsentris ( seluruh
arah gerakan ) maupun eksentris ( salah satu arah gerakan saja ).7
Kartilago tidak mengandung serabut saraf dan kehilangan kartilago pada sendi tidak
diikuti dengan timbulnya nyeri. Sehingga dapat diasumsikan bahwa nyeri yang
timbul pada OA berasal dari luar kartilago.7
Pada penelitian dengan menggunakan MRI, didapat bahwa sumber dari nyeri
yang timbul diduga berasal dari peradangan sendi ( sinovitis ), efusi sendi, dan
edema sumsum tulang.
Osteofit merupakan salah satu penyebab timbulnya nyeri. Ketika osteofit
tumbuh, inervasi neurovaskular menembusi bagian dasar tulang hingga ke kartilago
dan menuju ke osteofit yang sedang berkembang Hal ini menimbulkan nyeri.6
Nyeri dapat timbul dari bagian di luar sendi, termasuk bursae di dekat sendi. Sumber
nyeri yang umum di lutut adalah akibat dari anserine bursitis dan sindrom iliotibial
band.7,8

b. Hambatan gerakan sendi

Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat secara perlahan sejalan


dengan pertambahan rasa nyeri.7
c. Kaku pagi

Rasa kaku pada sendi dapat timbul setelah pasien berdiam diri atau

20
tidak melakukan banyak gerakan, seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu
yang cukup lama, bahkan setelah bangun tidur di pagi hari.7
d. Krepitasi

Krepitasi atau rasa gemeratak yang timbul pada sendi yang sakit. Gejala
ini umum dijumpai pada pasien OA lutut. Pada awalnya hanya berupa perasaan akan
adanya sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang memeriksa.
Seiring dengan perkembangan penyakit, krepitasi dapat terdengar hingga jarak
tertentu.7
e. Pembesaran sendi (deformitas)

Sendi yang terkena secara perlahan dapat membesar.7


f. Pembengkakan sendi yang asimetris

Pembengkakan sendi dapat timbul dikarenakan terjadi efusi pada sendi yang
biasanya tidak banyak ( < 100 cc ) atau karena adanya osteofit, sehingga bentuk
permukaan sendi berubah.7
g. Tanda – tanda peradangan
Tanda – tanda adanya peradangan pada sendi ( nyeri tekan, gangguan gerak, rasa
hangat yang merata, dan warna kemerahan ) dapat dijumpai pada OA karena adanya
synovitis. Biasanya tanda – tanda ini tidak menonjol dan timbul pada perkembangan
penyakit yang lebih jauh. Gejala ini sering dijumpai pada OA lutut.7
h. Perubahan gaya berjalan
Gejala ini merupakan gejala yang menyusahkan pasien dan merupakan ancaman
yang besar untuk kemandirian pasien OA, terlebih pada pasien lanjut usia. Keadaan
ini selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi tumpuan berat badan terutama
pada OA lutut.

21
2.9 Diagnosis
Diagnosis osteoarthritis lutut berdasrkan klinis, klinis dan radiologis, serta klinis
dan laboratoris (JH Klippel, 2001) :10
a. Klinis: Nyeri sendi lutut dan 3 dari kriteria di bawah ini:

1. umur > 50 tahun

2. kaku sendi < 30 menit

3. krepitus

4. nyeri tekan tepi tulang

5. pembesaran tulang sendi lutut

6. tidak teraba hangat pada sendi

Catatan: Sensitivitas 95% dan spesifisitas 69%.

b. Klinis, dan radiologis: Nyeri sendi dan paling sedikit 1 dari 3 kriteria di
bawah ini:

1. umur > 50 tahun

2. kaku sendi <30 menit

3. krepitus disertai osteofit

Catatan: Sensitivitas 91% dan spesifisitas 86%.

c. Klinis dan laboratoris: Nyeri sendi ditambah adanya 5 dari kriteria di


bawah ini:

1. usia >50 tahun

2. kaku sendi <30 menit

3. Krepitus

22
4. nyeri tekan tepi tulang

5. pembesaran tulang

6. tidak teraba hangat pada sendi terkena

7. LED<40 mm/jam

8. RF <1:40

9. analisis cairan sinovium sesuai osteoarthritis

Catatan: Sensitivitas 92% dan spesifisitas 75%.

Kriteria diagnosis osteoarthritis tangan adalah nyeri tangan, ngilu atau kaku dan
disertai 3 atau 4 kriteria berikut:10
1. pembengkakan jaringan keras > 2 diantara 10 sendi tangan

2. pembengkakan jaringan keras > 2 sendi distal interphalangea (DIP)

3. pembengkakan < 3 sendi metacarpo-phalanea (MCP)

4. deformitas pada ≥ 1 diantara 10 sendi tangan

Catatan: 10 sendi yang dimaksud adalah: DIP 2 dan 3, PIP 2 dan 3 dan CMC 1
masing-masing tangan. Sensitivitas 94% dan spesifisitas 87%.

2.10 Pemeriksaan penunjang


2.10.1Pemeriksaan Radiologi
Diagnosis OA selain dari gambaran klinis, juga dapat ditegakkan dengan
gambaran radiologis, yaitu menyempitnya celah antar sendi, terbentuknya
osteofit, terbentuknya kista, dan sklerosis subchondral. 10

23
Keterangan :
a. Gambar atas kiri : pandangan anteroposterior menunjukkan
menyempitnya celah sendi (tanda panah)

b. Gambar bawah kiri : pandangan lateral menunjukkan sklerosis yang


ditandai terbentuknya osteofit (tanda panah)

c. Gambar atas kanan : menyempitnya celah sendi (tanda panah


putih) menyebabkan destruksi padapada kartilago dan sunchondral
(tanda panah terbuka)

d. Gambar bawah kanan : ditemukan kista subchondral (tanda panah)

24
Gambar 5. Pencitraan radiologis sinar-x osteoarthritis pada jari kaki.
Sumber : Jacobson, JA, et al. 2008. Radiographic Evaluation of
Arthritis :Degenerative Joint Disease and Variation. Radiology. 248(3) : 737-747.

Keterangan : gambaran radiologis anteroposterior kaki menunjukkan


menyempitnya celah sendi metatarsophalangeal pertama, sklerosis, dan
pembentukan osteofit (panah).

25
Gambar 6. Pencitraan radiologis sinar-x osteoarthritis pada lutut.
Sumber : Jacobson, JA, et al. 2008. Radiographic Evaluation of Arthritis :
Degenerative Joint Disease and Variation. Radiology. 248(3) : 737-747

Keterangan :Gambaran radiologis anteroposterior lutut menunjukkan


penyempitan ruang sendi, sklerosis, dan pembentukan osteofit (panah).10

Gambar 7. Pencitraan radiologis sinar-x osteoarthritis pada pinggul.


Sumber : Jacobson, JA, et al. 2008. Radiographic Evaluation of Arthritis :
Degenerative Joint Disease and Variation. Radiology. 248(3) : 737-747.

Keterangan : Kedua gambar di atas menunjukkan penyempitan ruang


superolateral sendi, sklerosis, kista subkondral, dan pembentukan osteofit
(panah).10

25
2.10.2 Pemeriksaan Laboratorium dan MRI
Hasil pemeriksaan laboratorium pada OA biasanya tidak banyak berguna.
Pemeriksaan darah tepi masih dalam batas – batas normal. Pemeriksaan
imunologi masih dalam batas – batas normal. Pada OA yang disertai peradangan
sendi dapat dijumpai peningkatan ringan sel peradangan ( < 8000 / m ) dan
peningkatan nilai protein. 10
Pemeriksaan tambahan lain yang dapat dilakukan adalah MRI yaitu untuk
mengetahui derajat patologisnya, namun pemeriksaan ini jarang dilakukan
sebagai penunjang diagnostik dalam osteoarthritis, karena sebagian besar
gambaran penyakit ini sudah bisa dinilai berdasarkan pemeriksaan sinar-x.

2.11 Penatalaksanaan
Strategi pengelolaan pasien dan pilihan jenis pengobatan ditentukan oleh
letak sendi yang mengalami OA, sesuai dengan karakteristik masing-masing serta
kebutuhannya. Oleh karena itu diperlukan penilaian yang cermat pada sendi dan
pasiennya secara keseluruhan, agar pengelolaannya aman, sederhana,
memperhatikan edukasi pasien serta melakukan pendekatan multidisiplin atau
holistic.11
Tujuan penatalaksanaan pasien dengan osteoarthritis adalah:11
1. Meredakan nyeri
2. Mengoptimalkan fungsi sendi
3. Mengurangi ketergantungan kepada orang lain dan meningkatkan kualitas
hidup
4. Menghambat progresivitas penyakit
5. Mencegah terjadinya komplikasi

Penatalaksanaan pada pasien dengan osteoarthritis yaitu:


2.11.1 Nonfarmakologis: 11

a. Modifikasi pola hidup


b. Edukasi
c. Istirahat teratur yang bertujuan mengurangi penggunaan beban pada sendi
d. Modifikasi aktivitas

26
e. Menurunkan berat badan
f. Rehabilitasi medik/ fisioterapi
o Latihan statis dan memperkuat otot-otot
o Fisioterapi, yang berguna untuk mengurangi nyeri, menguatkan
otot, dan menambah luas pergerakan sendi
g. Penggunaan alat bantu (Mairunzi, 2010).

2.10.2 Farmakologis
1. Sistemik
a. Analgetik
- Non narkotik: parasetamol
- Opioid (kodein, tramadol)

b. Antiinflamasi nonsteroid (NSAIDs)


- Oral
- injeksi
- suppositoria

c. Chondroprotective
Yang dimaksud dengan chondoprotectie agent adalah obat-obatan yang
dapat menjaga dan merangsang perbaikan (repair) tuamg rawan sendi pada pasien
OA, sebagian peneliti menggolongkan obat-obatan tersebut dalam Slow Acting
Anti Osteoarthritis Drugs (SAAODs) atau Disease Modifying Anti Osteoarthritis
Drugs (DMAODs). Sampai saat ini yang termasuk dalam kelompok obat ini
adalah: tetrasiklin, asam hialuronat, kondrotin sulfat, glikosaminoglikan, vitamin-
C, superoxide desmutase dan sebagainya.
a. Tetrasiklin dan derivatnya mempunyai efek menghambat kerja
enzime MMP. Salah satu contohnya doxycycline. Sayangnya obat
ini baru dipakai oleh hewan belum dipakai pada manusia.

b. Glikosaminoglikan, dapat menghambat sejumlah enzim yang


berperan dalam degradasi tulang rawan, antara lain: hialuronidase,
protease, elastase dan cathepsin B1 in vitro dan juga merangsang

27
sintesis proteoglikan dan asam hialuronat pada kultur tulang rawan
sendi. Pada penelitian Rejholec tahun 1987

c. pemakaian GAG selama 5 tahun dapat memberikan perbaikan


dalam rasa sakit pada lutut, naik tangga, kehilangan jam kerja
(mangkir), yang secara statistik bermakna.

d. Kondroitin sulfat, merupakan komponen penting pada jaringan


kelompok vertebra, dan terutama terdapat pada matriks
ekstraseluler sekeliling sel. Menurut penelitian Ronca dkk (1998),
efektivitas kondroitin sulfat pada pasien OA mungkin melalui 3
mekanisme utama, yaitu : 1. Anti inflamasi 2. Efek metabolik
terhadap sintesis hialuronat dan proteoglikan. 3. Anti degeneratif
melalui hambatan enzim proteolitik dan menghambat oksigen
reaktif.

e. Vitamin C, dalam penelitian ternyata dapat menghambat aktivitas


enzim lisozim dan bermanfaat dalam terapi OA

f. Superoxide Dismutase, dapat diumpai pada setiap sel mamalia dam


mempunyai kemampuan untuk menghilangkan superoxide dan
hydroxyl radicals. Secara in vitro, radikal superoxide mampu
merusak asam hialuronat, kolagen dan proteoglikan sedang
hydrogen peroxyde dapat merusak kondroitin secara langsung.
Dalam percobaan klinis dilaporkan bahwa pemberian superoxide
dismutase dapat mengurangi keluhan-keluhan pada pasien OA.

2. Topikal
a. Krim rubefacients dan capsaicin.
Beberapa sediaan telah tersedia di Indonesia dengan cara kerja pada umumnya
bersifat counter irritant.

b. Krim NSAIDs
Selain zat berkhasiat yang terkandung didalamnya, perlu diperhatikan
campuran yang dipergunakan untuk penetrasi kulit. Salah satu yang dapat
digunakan adalah gel piroxicam, dan sodium diclofenac.

28
3. Injeksi intraartikular/intra lesi
Injeksi intra artikular ataupun periartikular bukan merupakan pilihan
utama dalam penanganan osteoartritis. Diperlukan kehati-hatian dan selektifitas
dalam penggunaan modalitas terapi ini, mengingat efek merugikan baik yang
bersifat lokal maupun sistemik. Pada dasarnya ada 2 indikasi suntikan intra
artikular yakni penanganan simtomatik dengan steroid, dan viskosuplementasi
dengan hyaluronan untuk modifikasi perjalanan penyakit. Dengan pertimbangan
ini yang sebaiknya melakukan tindakan, adalah dokter yang telah melalui
pendidikan tambahan dalam bidang reumatologi.
a. Steroid: ( triamsinolone hexacetonide dan methyl prednisolone )

Hanya diberikan jika ada satu atau dua sendi yang mengalami nyeri dan
inflamasi yang kurang responsif terhadap pemberian NSAIDs, tak dapat
mentolerir NSAIDs atau ada komorbiditas yang merupakan kontra indikasi
terhadap pemberian NSAIDs. Teknik penyuntikan harus aseptik, tepat dan benar
untuk menghindari penyulit yang timbul. Sebagian besar literatur tidak
menganjurkan dilakukanpenyuntikan lebih dari sekali dalam kurun 3 bulan atau
setahun 3 kali terutama untuk sendi besar penyangga tubuh. Dosis untuk sendi
besar seperti lutut 40-50 mg/injeksi, sedangkan untuk sendi-sendi kecil
biasanya digunakan dosis 10 mg.
b. Hyaluronan: high molecular weight dan low molecular weight

Di Indonesia terdapat 3 sediaan injeksi Hyaluronan. Penyuntikan intra


artikular biasanya untuk sendi lutut (paling sering), sendi bahu dan koksa.
Diberikan berturut-turut 5 sampai 6 kali dengan interval satu minggu masing-
masing 2 sampai 2,5 ml Hyaluronan. Teknik penyuntikan harus aseptik, tepat dan
benar. Kalau tidak dapat timbul berbagai penyulit seperti artritis septik, nekrosis
jaringan dan abses steril. Perlu diperhatikan faktor alergi terhadap unsur/bahan
dasar hyaluronan misalnya harus dicari riwayat alergi terhadap telur. Ada 3
sediaan di Indonesia diantaranya adalah Hyalgan, dan Osflex.

29
4. Pembedahan
Sebelum diputuskan untuk terapi pembedahan, harus dipertimbangkan
terlebih dahulu risiko dan keuntungannya. Pertimbangan dilakukan tindakan
operatif bila :
1. Deformitas menimbulkan gangguan mobilisasi

2. Nyeri yang tidak dapat teratasi dengan penganan medikamentosa dan


rehabilitatif

Ada 2 tipe terapi pembedahan : Realignment osteotomi dan replacement joint


1. Realignment osteotomi
Permukaan sendi direposisikan dengan cara memotong tulang dan
merubah sudut dari weightbearing. Tujuan : Membuat karilago sendi yang sehat
menopang sebagian besar berat tubuh. Dapat pula dikombinasikan dengan
ligamen atau meniscus repair (Thomas, 2000).
2. . Arthroplasty
Permukaan sendi yang arthritis dipindahkan, dan permukaan sendi yang
baru ditanam. Permukaan penunjang biasanya terbuat dari logam yang berada
dalam high-density polyethylene (Thomas, 2000).
Macam-macam operasi sendi lutut untuk osteoarthritis :
a. Partial replacement/unicompartemental

b. High tibial osteotmy : orang muda

c. Patella &condyle resurfacing

d. Minimally constrained total replacement : stabilitas sendi


dilakukan sebagian oleh ligament asli dan sebagian oelh sendi
buatan.

e. Cinstrained joint : fixed hinges : dipakai bila ada tulang


hilang&severe instability

30
Indikasi dilakukan total knee replacement apabila didapatkan nyeri,
deformitas, instability akibat dari Rheumatoid atau osteoarthritis. Sedangankan
kontraindikasi meliputi non fungsi otot ektensor, adanya neuromuscular
dysfunction, Infeksi, Neuropathic Joint, Prior Surgical fusion.11

31
Fraktur femur
A. Anatomi Femur

Femur adalah tulang terkuat, terpanjang, dan terberat di tubuh dan amat
penting untuk pergerakan normal. Tulang ini terdiri atas tiga bagian, yaitu femoral
shaft atau diafisis, metafisis proximal, dan metafisis distal. Femoral shaft adalah
bagian tubular dengan slight anterior bow, yang terletak antara trochanter minor
hingga condylus femoralis. Ujung atas femur memiliki caput, collum, dan
trochanter major dan minor. Bagian caput merupakan lebih kurang dua pertiga
bola dan berartikulasi dengan acetabulum dari os coxae membentuk articulatio
coxae. Pada pusat caput terdapat lekukan kecil yang disebut fovea capitis, yaitu
tempat perlekatan ligamen dari caput. Sebagian suplai darah untuk caput femoris
dihantarkan sepanjang ligamen ini dan memasuki tulang pada fovea. 11
Bagian collum, yang menghubungkan kepala pada batang femur, berjalan
kebawah, belakang, lateral dan membentuk sudut lebih kurang 125 derajat (pada
wanita sedikit lebih kecil) dengan sumbu panjang batang femur. Besarnya sudut
ini perlu diingat karena dapat dirubah oleh penyakit. Trochanter major dan minor
merupakan tonjolan besar pada batas leher dan batang. Yang menghubungkan dua
trochanter ini adalah linea intertrochanterica di depan dan crista intertrochanterica

32
yang mencolok di bagian belakang, dan padanya terdapat tuberculum
quadratum.11
Bagian batang femur umumnya menampakkan kecembungan ke depan. Ia
licin dan bulat pada permukaan anteriornya, namun pada bagian posteriornya
terdapat rabung, linea aspera. Tepian linea aspera melebar ke atas dan ke bawah.
Tepian medial berlanjut ke bawah sebagai crista supracondylaris medialis menuju
tuberculum adductorum pada condylus medialis. Tepian lateral menyatu ke bawah
dengan crista supracondylaris lateralis. Pada permukaan posterior batang femur,
di bawah trochanter major terdapat tuberositas glutealis, yang ke bawah
berhubungan dengan linea aspera. Bagian batang melebar ke arah ujung distal dan
membentuk daerah segitiga datar pada permukaan posteriornya, disebut fascia
poplitea.11
Ujung bawah femur memiliki condylus medialis dan lateralis, yang di
bagian posterior dipisahkan oleh incisura intercondylaris. Permukaan anterior
condylus dihubungkan oleh permukaan sendi untuk patella. Kedua condylus ikut
membentuk articulatio genu. Di atas condylus terdapat epicondylus lateralis dan
medialis. Tuberculum adductorium berhubungan langsung dengan epicondylus
medialis.11

B. Definisi dan Penyebab Fraktur

Fraktur adalah hilangnya kontinuitas jaringan tulang, tulang rawan epifisis


dan atau tulang rawan sendi baik yang bersifat total maupun yang parsial. Fraktur
dapat terjadi akibat peristiwa trauma tunggal, tekanan yang berulang-ulang, atau
kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik).12
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan
berlebihan, yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran,
atau penarikan. Fraktur dapat disebabkan trauma langsung atau tidak langsung.
Trauma langsung berarti benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur di
tempat itu. Trauma tidak langsung bila titik tumpu benturan dengan terjadinya
fraktur berjauhan.12,13
Tekanan yang berulang-ulang dapat menyebabkan keretakan pada tulang.
Keadaan ini paling sering ditemui pada tibia, fibula, atau metatarsal. Fraktur dapat

33
pula terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu lemah (misalnya oleh
tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh (misalnya pada penyakit paget).12

C. Proses Terjadinya Fraktur

Untuk mengetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami kepatahan,


kita harus mengetahui keadaan fisik tulang dan keadaan trauma yang dapat
menyebabkan tulang patah. Tulang kortikal mempunyai struktur yang dapat
menahan kompresi dan tekanan memuntir (shearing). Kebanyakan fraktur terjadi
karena kegagalan tulang menahan tekanan terutama tekanan membengkok,
memutar dan tarikan.12,13
Trauma dapat bersifat: 12,13
 Trauma langsung

Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur
pada daerah tekanan.
 Trauma tidak langsung

Disebut trauma tidak langsung bila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh
dari daerah fraktur misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan
fraktur pada klavikula.
Tekanan pada tulang dapat berupa: 12,14
 Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat oblik atau spiral

 Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal

 Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur


impaksi, dislokasi, atau fraktur dislokasi

 Kompresi vertikal dapat menyebabkan fraktur kominutif atau


memecah, misalnya pada badan vertebra talus atau fraktur buckle pada
anak-anak

 Trauma langsung disertai dengan resistensi pada satu jarak tertentu


akan menyebabkan fraktur oblik atau fraktur Z

 Fraktur oleh karena remuk

34
 Trauma karena tarikan pada ligamen atau tendo akan menarik sebagian
tulang

D. Klasifikasi Fraktur

Klasifikasi Etiologis: 12,13,14


 Fraktur traumatik: terjadi karena trauma yang tiba-tiba

 Fraktur patologis: terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya akibat


kelainan patologis di dalam tulang

 Fraktur stres: terjadi karena adanya trauma yang terus menerus pada
suatu tempat tertentu.

Klasifikasi Klinis: 12,15


 Fraktur tertutup (simple fracture)

Fraktur tertutup adalah suatu fraktur yang tidak mempunyai hubungan dengan
dunia luar.
 Fraktur terbuka (compound fracture)

Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar
melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk from within (dari
dalam) atau from without (dari luar).

Fraktur terbuka dibagi menjadi 3 derajat: 12,13


 Derajat I : Terdapat hubungan dengan dunia luar, timbul luka kecil
(<1 cm), biasa diakibatkan tusukan fragmen tulang dari dalam
menembus keluar.

 Derajat II : Lukanya lebih besar (>1 cm), biasa disebabkan benturan


dari luar

 Derajat III: Luka lebih luas dari derajat II, lebih kotor, jaringan lunak
banyak yang ikut rusak(otot,saraf,pembuluh darah). Adapun derajat III
dibagi lagi menjadi:

35
A. Adekuat penutupan kulit dari tulang fraktur. Fraktur berhubungan
dengan ukuran dari luka.

B. Kerusakan soft tissue yang hebat dengan stripping periosteal dan


bone exposed. Biasanya berhubungan dengan kontaminasi yang
massif.

C. Fraktur terbuka yang berhubungan dengan kerusakan arteri yang


memerlukan repair.

 Fraktur dengan komplikasi (complicated fracture)

Fraktur dengan komplikasi adalah fraktur yang disertai dengan komplikasi


misalnya malunion, union, nonunion, infeksi tulang.
Klasifikasi Radiologis, yang dibuat berdasarkan atas: 14
1. Lokalisasi

- Diafisial
- Metafisial
- Intra-artikuler
- Fraktur dengan dislokasi
2. Konfigurasi

- Fraktur transversal
- Fraktur oblik
- Fraktur spiral
- Fraktur Z
- Fraktur segmental
- Fraktur kominutif, fraktur lebih dari dua fragmen
- Fraktur baji biasanya pada vertebra karena trauma kompresi
- Fraktur avulsi, fragmen kecil tertarik oleh otot atau tendo misalnya
fraktur epikondilus humeri, fraktur trokanter mayor, fraktur patella
- Fraktur depresi, karena trauma langsung misalnya pada tulang
tengkorak
- Fraktur impaksi

36
- Fraktur pecah (burst) dimana terjadi fragmen kecil yang berpisah
misalnya pada fraktur vertebra, patella, talus, kalkaneus
- Fraktur epifisis
3. Menurut ekstensi

- Fraktur total
- Fraktur tidak total
- Fraktur buckle atau torus
- Fraktur garis rambut
- Fraktur green stick

4. Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnya

- Bersampingan
- Angulasi
- Rotasi
- Distraksi
- Over-riding
- Impaksi

E. Gambaran Klinis Fraktur

1. Anamnesis

Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik fraktur), baik


yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidak mampuan untuk
menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan cermat, karena
fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan mungkin fraktur terjadi pada
daerah lain. Trauma dapat terjadi karena kecelakaan lalu lintas, jatuh dari
ketinggian, atau jatuh di kamar mandi pada orang tua, penganiayaan, tertimpa
benda berat, kecelakaan pada pekerja oleh karena mesin atau karena trauma olah
raga. Penderita biasanya datang karena adanya nyeri, pembengkakan, gangguan
fungsi anggota gerak, deformitas, kelainan gerak, krepitasi atau datang dengan
gejala lain.12,15,16
2. Pemeriksaan fisik

37
Pada pemeriksaan awal penderita perlu diperhatikan: 6
 Pemeriksaan terhadap tanda-tanda vital untuk menilai adanya tanda syok,
anemia atau perdarahan

 Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang


atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen

 Faktor predisposisi, misalnya pada fraktur patologis

3. Pemeriksaan lokal 2,3,6

a. Inspeksi (look)

 Bandingkan dengan bagian yang sehat

 Perhatikan posisi anggota gerak secara keseluruhan

 Ekspresi wajah karena nyeri

 Lidah kering atau basah

 Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan

 Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk


membedakan fraktur tertutup atau terbuka

 Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa


hari

 Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan pemendekan

 Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-
organ lain

 Perhatikan kondisi mental penderita

 Keadaan vaskularisasi

b. Palpasi (feel)

Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya


mengeluh sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan:

38
 Temperatur setempat yang meningkat

 Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan


oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang

 Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara


hati-hati

 Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri


radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan
anggota gerak yang terkena. Refilling (pengisian) arteri pada kuku,
warna kulit pada bagian distal daerah trauma, temperatur kulit

 Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui


adanya perbedaan panjang tungkai.

c. Pergerakan (move)

Periksa pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan


secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami
trauma. Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri
hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu
juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah
dan saraf.
d. Pemeriksaan neurologis

Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan


motoris serta gradasi kelainan neurologis yaitu neuropraksia, aksonotmesis atau
neurotmesis.
e. Pemeriksaan radiologis

Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi


serta ekstensi fraktur. Tujuan pemeriksaan radiologis: 7
 Untuk mempelajari gambaran normal tulang dan sendi

 Untuk konfirmasi adanya fraktur

39
 Untuk melihat sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen
serta pergerakannya

 Untuk menentukan teknik pegobatan

 Untuk menentukan apakah fraktur itu baru atau tidak

 Untuk menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstra-


artikuler

 Untuk melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang

 Untuk melihat adanya benda asing, misalnya peluru.

Pemeriksaan radiologis dilakukan dengan beberapa prinsip : 6,7


 Dua posisi proyeksi: dilakukan sekurang-kurangnya yaitu pada
antero-posterior dan lateral

 Dua sendi pada anggota gerak dan tungkai harus difoto, di atas dan
di bawah sendi yang mengalami fraktur

 Dua anggota gerak. Pada anak-anak sebaiknya dilakukan foto pada


ke dua anggota gerak terutama pada fraktur epifisis

 Dua trauma, pada trauma yang hebat sering menyebabkan fraktur


pada dua daerah tulang. Misalnya pada fraktur kalkaneus atau femur,
maka perlu dilakukan foto pada panggul dan tulang belakang

 Dua kali dilakukan foto. Pada fraktur tertentu musalnya fraktur


tulang skafoid foto pertama biasanya tidak jelas sehingga biasanya
diperlukan foto berikutnya 10-14 hari kemudian.

f. Pemeriksaan radiologis lainnya, pemeriksaan khusus dengan: 6,7

 Tomografi, misalnya fraktur vertebra atau kondilus tibia

 CT-scan

 MRI

 Radioisotop scanning

40
F. Komplikasi 2,10

1. Komplikasi Dini

a. Infeksi

Fraktur terbuka selalu menghadapi resiko; perforasi yang kecil sekalipun


harus diterapi dengan seksama dan debridemen harus dilakukan sebelumm luka
ditutup. Laserasi yang besar membutuhkan eksisi yang lebar dan luka harus
dibiarkan terbuka sampai resiko infeksi telah lewat.
b. Cedera Vaskular

Fraktur pada setengah bagian proksimal tibia dapat merusak arteri


popliteus. Keadaan ini merupakan kedaruratan tingkat pertama, memerlukan
eksplorasi dan perbaikan.
c. Sindrom Kompartemen

Fraktur sepertiga bagian proksimal cenderung menyebabkan pendarahan


dan perluasan jaringan lunak dalam kompartemen fasial kaki, sehingga
menyebabkan ischemia otot. Gips yang ketat pada kaki yang bengkak dapat
mempunyai efek yang sama. Dekompresi lewat operasi pada semua kompartemen
perlu dilakukan. Fraktur itu kemudian diterapi seperti fraktur terbuka tingkat III
dan memerlukan fikstator luar dan penundaan penutupan luka.

2. Komplikasi Lanjut

a. Malunion

Sedikit pemendekan (sampai 1,5 cm) biasanya tidak banyak membawa


akibat, tetapi rotasi dan deformitas angulasi, selain buruk, mengakibatkan cacat
karena lutut dan pergelangan kaki tidak dapat bergerak dalam bidang yang sama.
Dalam jangka panjang deformitas dapat menyebabkan predisposisi untuk
osteoartritis pada lutut atau pergelangan kaki. Angulasi harus dicegah di semua
stadium, angulasi bila lebih dari 7 derajat pada bidang manapun tak dapat
diterima; penjajaran rotasi harus sempurna. Angulasi kebelakang (akibat fraktur
dibiarkan melengkung kebawah disaat memasang gips) sering terjadi, jika disertai
pergelangan ekuinus yang kaku, akan berbahaya, karena kalau pasien mencoba

41
memaksa mengangkat kaki saat berjalan tibia cenderung mengalami fraktur ulang.
Hal ini dapat terjadi secara pelan-pelan dan mengakibatkan non union. Deformitas
belakangan, jika tampak jelas, harus dikoreksi dengan osteotomi tibia.

b. Delayed union

Penyatuan akan lambat jika fraktur terbuka (terutama jika disertai infeksi)
jika pergesearan awal banyak, jika tibia mengalami fraktur pada dua tempat, atau
jika fraktur bersifat kominutif. Penyatuan dapat dipercepat dengan pembebanan
tetapi kalau kelambatan tampak terlalu lama, pencangkokan tulang dan fiksasi
intramedullary diindikasikan. Kalau fraktur fibula telah menyambung dan tibia
dibebat secara terpisah, maka 2,5 cm fibula dapat di eksisi dan cangkokan tulang
peluncur dipasang pada fraktur tibia.

c. Non-union

Penyatuan tulang tidak terjadi, bagian fraktur diisi oleh jaringan fibrosa.
terkadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor- faktor yang dapat
menyebabkan non union adalah tidak adanya imobilisasi, interposisi jaringan
lunak, pemisahan lebar dari fragmen contohnya patella dan dan fraktur yang
bersifat patologis

Sekali nonunion terjadi, pasien harus memakai bebat permanen atau


fraktur harus di operasi. Non union hipertrofi dapat diterapi dengan pemasangan
paku intramedulla atau pemasangan plate kompresi. Selain itu non union atrofi
memerlukan pencangkokan tulang. Kalau fibula telah menyatu, segmen yang
kecil harus di eksisi untuk memungkinkan kompresi pada fragmen tibia.
Bila keterlambatan penyatuan tidak diketahui, meskipun fraktur telah
diterapi dengan memadai, cenderung terjadi non-union. Penyebab lain ialah
adanya celah yang terlalu lebar dan interposisi jaringan.
Celah terlalu lebar, kalau permukaan fraktur terpisah terlalu jauh,
penyatuan sangat lama atau mungkin tidak pernah terjadi. Celah dapat diakibatkan
oleh fraktur tembakan yang menghancurkan banyak bagian tulang. Akibat bagian
tulang yang lepas dalam kecelakaan yang menyebabkan fraktur. Reaksi otot

42
dimana otot pasien sendiri menarik kedua fragmen hingga terpisah (seperti pada
fraktur patela), atau akibat terapi dengan traksi yang berlebih.
Interposisi non-union dapat terjadi bila salah satru dari jaringan berikut ini
berada di antara ujung-ujung tulang periosteum (misalnya selapis periosteum pada
fraktur mata kaki), otot (misalnya fraktur femur dapat menembus otot kuadriseps),
kartilago (misalnya fraktur kondilus lateral humerus dapat demikian terputar
sehingga permukaan sendi kartilaginosa menghadap bahannya). Hal yang dapat
meningkatkan nonunion yaitu perokok, diabetes, obesitas, infeksi, dan
osteoporosis
Macam- macam non union fraktur :
 Hipertropi/ elephant foot
 Oligotropi
 atrofi

d. Kekakuan sendi

Sering diakibatkan oleh kelalaian dalam terapi jaringan lunak; tetapi bila
pembebatan yang lama diperlukan, dan terutama bila terdapat sepsis, kekauan
mungkin tak dapat dihindari. Keterbatasam gerakan pada pergelangan kaki dan
kaki dapat berlanjut dalam 6-12 bulan setelah gips dilepas, meskipun telah
dilakukan latihan aktif.
e. Osteoporosis

Osteoporosis pada fragmen distal dan kadang-kadang juga tulang tarsal,


demikian sering menyertai semua bentuk terapi sehingga dianggap sebagai
penyerta yang normal pada fraktur tibia. Pembebanan aksial pada tibia diperlukan
dan penahanan berat harus dilakukan secepat mungkin. Setelah fiksasi luar yang
lama, perawatan khusus harus dilakukan untuk mencegah fraktur tekanan distal.
f. Algodistrofi

Pada fraktur sepertiga bagian distal, alfodistrofi sering terjadi. Harus


dilakukan latihan sepanjang masa terapi.

43
FRAKTUR FEMORAL NECK

Fraktur leher femur merupakan jenis fraktur yang sering ditemukan pada orang
tua terutama wanita umur 60 tahun keatas disertai tulang yang osteoporosis.

A. Mekanisme Trauma
Jatuh pada daerah trokanter baik karena kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari
tempat yang tidak terlalu tinggi seperti terpeleset di kamar mandi dimana panggul
daalm keadaan fleksi dan rotasi.

B. Klasifikasi
1. Lokasi
Menurut lokasi fraktur dapat berupa fraktur subkapital, transervikal dan
basal, yang kesemuanya terletak di dalam simpai sendi panggul atau
intrakapsular; fraktur intertrokanter dan subtrokanter terletak
ekstrakapsuler.

Patah tulang intrakapsuler umumnya sukar mengalami pertautan


dan cenderung terjadi nekrosis avaskular kaput femur. Perdarahan kolum

44
yang terletak intraartikuler dan pendarahan kaput femur berasal dari
proksimal a. sirkumfleksa femoris lateralis melalui simpai sendi. Sumber
pendarahan ini putus pada patah tulang intraartikuler.

Pendarahan oleh arteri di dalam ligamentum teres sangat terbatas


dan dan sering tidak berarti. Pada luksasi arteri ini robek. Epifisis dan
daerah trokanter cukup kaya pendarahannya, karena mendapat darah dari
simpai sendi, periost, dan a. nutrisia diafisis femur.
Patah tulang kolum femur yang terletak intraartikuler sukar
sembuh karena bagian proksimal pendarahannya sangat terbatas, sehingga
memerlukan fiksasi kokoh untuk waktu yang cukup lama. Semua patah
tulang di daerah ini umumnya tidak stabil sehingga tidak ada cara reposisi
tertutup terhadap fraktur ini, kecuali jenis fraktur yang impaksi, baik yang
subservikal atau yang basal.
Adanya oeteoporosis pada tulang mengakibatkan tidak tercapainya
fiksasi kokoh oleh pin pada fiksasi intern. Tambahan lagi periosteum
fragmen interkapsular leher femur tipis sehingga kemampuannya terbatas
dalam penyembuhan tulang. Oleh karena itu pada pertautan fraktur hanya
tergantung pada pembentukan kalus endosteal. Yang penting sekali ialah

45
aliran darah ke kolum dan kaput femur yang robek pada saat terjadinya
fraktur.
Fraktur regio intertrokanterika pada femur lazim ditemukan.
Nekrosis avaskular tidak mengancam, karena kapsula koksa dan pembuluh
darahnya tetap utuh. Fraktura intertrokanterika paling baik diterapi secara
bedah untuk menghindari 12 sampai 14 minggu immobilisasi yang
diperlukan untuk terapi konservatif. Terutama pada orang tua, morbiditas
terapi bedah kurang dari yang menyertai perawatan konservatif lama.
Karena fraktura ini biasa timbul pada orang tua, maka diperlukan evaluasi
prabedah yang cermat.
Fraktura intertrokanterika diklasifikasikan menurut lokasi garis
fraktura dan derajat kominuta (Boyd)
1. Fraktura tipe I, adalah fraktura tunggal sepanjang linea
intertrokanterika. Fraktrus ini dapat direduksi dengn traksi
longitudinal dan rotasi interna serta immobilisasi dengan
pemasangan sekrup dan plat samping.
2. Fraktura tipe II, adalah kominutif dan bisa lebih sulit direduksi.
Fiksasi dengan sekrup dan plat samping, tetapi reduksi fragmen
proksimal (kaput dan kollum0 pada vagus bisa diperlukan untuk
mencapai kontak tulang medial danstabilitas.
3. Fraktura tipe III dan IV, timbul pada regio subtrokanterika femur
dan tidak stabil, yang menjadi sifatnya. Fraktura ini mungkin
disokong adekuat dengan sekrup dan plat samping konvensional,
serta penggunaan batang intramedulla bersama dengan batang
kollum femoris memberikan stabilitas lebih baik.

Pada fraktur subtrokanter fraktur berada pada atau dibawah trokanter


minor, fraktur mungkin bersifat melintang, oblik atau spiral dan sering kominutif.
Fragmen bagian atas berfleksi dan tampak seakan-akan pendek; batang
beradduksi dan bergeser ke bagian proksimal.
Pada fraktur subtrokanter reduksi terbuka dan fiksasi internal merupakan
terapi pilihan. Untuk fraktur pada tinggak trokanter minor, sekrup dan plat
pinggul kompresi (dinamis) hasilnya memuaskan. Pada fraktur yang lebih rendah

46
daripada tingkat ini, daya penekukan jauh lebih hebat, sehingga lebih baik
menggunakan paku intramedular dengan pen atau skrup pengunci yang
dimasukkan pada leher femur dan kaput. Kalau korteks medial bersifat kominutif
atau defisien, harus ditambah cangkokan tulang.
Reduksi tertutup dapat dilaksanakan pada fraktur subtrokanter, dan dapat
diindikasikan untuk fraktur kominutif berat bila fiksasi internal tak dapat
dilaksanakan atau tidak aman, dan juga diindikasikan untuk fraktur terbuka.
Traksi kerangka dipasang lewat pen femur distal, sehingga memungkinkan
gerakan lutut secara bebas. Karena fragmen proksimal ditarik ke dalam keadaan
duduk atau terbaring dengan pinggul dan lutut difleksikan 90˚ dan sedikit
terabduksi. Traksi perlu dipertahankan selama tiga bulan; karena itu metode itu
kurang coccok untuk manula.
2. Radiologis
1. Berdasarkan keadaan fraktur
 Tidak ada pergeseran fraktur
 Fragmen distal, rotasi eksterna, abduksi dan dapat bergeser
ke proksimal
 Fraktur impaksi
2. Klasifikasi menurut Garden
 Tingkat I : fraktur impaksi yang tidak total
 Tingkat II : fraktur total tetapi tidak bergeser
 Tingkat III : fraktur total disertai sedikit pergeseran
 Tingkat IV : fraktur disertai dengan pergeseran ynag hebat

47
3. Klasifikasi menurut Pauwel
 Tipe I : fraktur dengan garis fraktur 30˚
 Tipe II : fraktur dengan garis fraktur 50˚
 Tipe III : fraktur dengan garis fraktur 70˚

C. Patologi
Kaput femur mendapat aliran darah dari tiga sumber, yaitu :
1. Pembuluh darah intrameduler di dalam leher femur
2. Pembuluh darah servikal asendens dalam retinakulum kapsul sendi

48
3. Pembuluh darah dari ligamen yang berputar

Pasokan intramedula selalu terganggu oleh fraktur; pembuluh retinakular


juga dapat terobek kalau terdapat banyak pergeseran. Pada manula, pasokan yang
tersisa dalam ligamentum teres sangat kecil dan pada 20% kasus, tidak ada. Itulah
yang menyebabkan tingginya insidensi nekrosis avaskular pada fraktur leher
femur yang disertai pergeseran.
Fraktur transervikal, menurut definisi, bersifat intrakapsular. Fraktur ini
penyembuhannya buruk karena :
1. Dengan robeknya pembuluh kapsul, cedera itu melenyapkan persendian
darah utama pada kaput;
2. Tulang-tulang intraartikular hanya mempunyai periosteum yang tipis dan
tidak ada kontak dengan jaringan lunak yang dapat membantu
pembentukan kalus;
3. Cairan sinovial mencegah pembekuan hematoma akibat fraktur itu.

Oleh karena itu ketetapan aposisi dan impaksi fragmen tulang menjadi
lebih penting dari biasanya. Terdapat bukti bahwa aspirasi hemartrosis dapat
meningkatkan aliran darah dalam kaput femoris dengan mengurangi tamponade.

D. Gambaran Klinis
Biasanya terdapat riwayat jatuh, yang diikuti nyeri pinggul. Tungkai pasien
terletak pada rotasi lateral, dan terlihat pemendekan bila dibandingkan tungkai kiri
dengan tungkai kanan. Jarak antara trochanter mayor dan spina iliaka anterior
superior lebih pendek, karena trokanter terletak lebih tinggi akibat pergeseran
tungkai ke kranial. Namun, tidak semua fraktur nampak demikian jelas. Pada
fraktur yang terimpaksi pasien mungkin masih dapat berjalan; dan pasien yang
sangat lemah atau cacat mental mungkin tidak mengeluh sekalipun mengalami
fraktur bilateral.

F. Pemeriksaan Radiologis
Pada foto rontgen dapat diketahui apakah ada fraktur dan pergeseran. Biasanya
patahan itu jelas tapi fraktur yang terimpaksi dapat terlewatkan bila tidak hati-hati.

49
Pergeseran dinilai melalui bentuk bayangan tulang yang abnornal dan tingkat
ketidakcocokan garis trabekular pada kaput femoris dan ujung leher femur.
Penilaian ini penting karena fraktur yang terimpaksi atau tak bergeser (stadium I
dan II Garden) dapat membaik setelah fiksasi interna, sementara fraktur yang
bergeser sering mengalami non-union dan nekrosis avaskular.

G. Pengobatan
Pengobatan operatif hampir selalu dilakukan pada penderita fraktur leher femur
baik orang dewasa muda maupun dewasa tua karena :
 Perlu reduksi yang akurat dan stabil
 Diperlukan mobilisasi yang cepat pada orang tua untuk mencegah
komplikasi paru-paru dan ulkus dekubitus.

Fraktur yang bergeser tidak akan menyatu tanpa fiksasi interna. Fraktur
yang terimpaksi dapat dibiarkan menyatu, tetapi selalu terdapat resiko pergeseran
pada fraktur-fraktur itu, sekalipun berada di tempat tidur; jadi fiksasi akan lebih
aman.
Prinsip terapi adalah reduksi yang tepat, fiksasi secara erat dan aktivitas
dini. Bila pasien dibawah anestesi, pinggul dan lutut difleksikan dan paha yang
mengalami fraktur ditarik ke atas, kemudian dirotasikan secara internal, lalu
diekstensikan dan diabduksi; akhirnya kaki diikat pada footpiece. Pengawasan
dengan sinar-X diguanakan untuk memastikan reduksi pada foto anteroposterior
dan lateral. Diperlukan reduksi yang tepat pada fraktur stadium III dan IV; fiksasi
pada fraktur yang tak tereduksi hanya mengundang kegagalan. Kalau fraktur
stadium III dan IV tidak dapat direduksi secara tertutup, dan pasien berumur
dibawah 60 tahun, dianjurkan untuk melakukan reduksi terbuka melalui
pendekatan anterolateral.

50
Tetapi, pada pasien tua (yang berusia lebih dari 70 tahun) cara ini jarang
diperbolehkan; kalau dua usaha yang cermat untuk melakukan reduksi tertutup
gagal, lebih baik dilaksanakan pergantian prostetik.
Sekali direduksi, fraktur dipertahankan dengan pen atau skrup berkanula
atau, kadang-kadang dengan sekrup kompresi geser (sekrup pinggul yang
dinamis) yang ditempelkan pada batang femur. Insisi lateral digunakan untuk
membuka femur bagian atas. Kawat pemandu, yang disisipkan di bawah kendali
fluoroskopik, digunakan untuk memastikan bahwa penempatan alat pengikat telah
tepat. Dua sekrup berkanula sudah mencukupi; keduanya harus terletak sejajar
dan memanjang sampai plat tulang subkondral; pada foto lateral keduanya berada
di tengah-tengah pada kaput dan leher, tetapi pada foto anteroposterior sekrup
distal terletak pada dengan korteks inferior leher.
Bila tidak dilakukan operasi ini cara konservatif terbaik adalah langsung
immobilisasi dengan pemberian anastesi dalam sendi dan bantuan tongkat.
Mobilisasi dilakukan agar terbentuk pseudoartrosis yang tidak nyeri sehingga
penderita diharapkan bisa berjalan dengan sedikit rasa sakit yang dapat ditahan,
serta sedikit pemendekan.
Sejak hari pertama pasien harus duduk di tempat tidur atau kursi. Dia
dilatih melakukan latihan pernafasan, dianjurkan berusaha sendiri dan memulai
berjalan (dengan alat penopang atau alat berjalan) secepat mungkin. Secara
teoritis, idealnya adalah menunda penahanan beban, tetapi ini jarang dapat
dipraktekkan.
Jenis-jenis operasi :
a. Pemasangan pin
b. Pemasangan plate and screw

Beberapa ahli mengusulkan bahwa prognosis untuk fraktur stadium III dan
IV tak dapat diramalkan sehingga penggantian prostetik selalu lebih baik. Karena
itu, kebijaksanaan kita adalah mencoba reduksi dan fiksasi pada semua pasien
yang berumur dibawah 75 tahun dan mempersiapkan penggantian untuk pasien
yang sangat tua dan sangat lemah dan pasien yang gagal menjalani reduksi
tertutup. Penggantian yang paling sedikit traumanya adalah prostesis femur atau
prostesis bipolar tanpa semen yang dimasukkan dengan pendekatan posterior.

51
Penggantian pinggul total mungkin lebih baik kalau terapi telah tertunda selama
beberapa minggu dan dicurigai ada kerusakan asetabulum, atau pada pasien
dengan penyakit metastatik atau penyakit paget.
Artroplasti; dilakukan pada penderita umur diatas 55 tahun, berupa :
 Eksisi artroplasti (pseudoartrosis menurut Girdlestone)
 Hemiartroplasti
 Artroplasti total

H. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi adalah :
1. Komplikasi yang bersifat umum ; trombosis vena, emboli paru,
pneumonia, dekubitus
2. Nekrosis avaskuler kaput femur
Nekrosis avaskular terjadi pada 30% penderita dengan fraktur yang
disertai pergeseran dan 10% pada fraktur tanpa pergeseran.tidak ada
cara untuk mendiagnosis hal ini pada saat terjadi fraktur. Beberapa
minggu kemudian, scan nanokoloid dapat memperlihatkan
berkurangnya vaskularitas. Perubahan pada sinar-X, meningkatnya
kepadatan pada kaput femoris mungkin tidak nyata selama berbualan-
bulan atau bahkan bertahun-tahun. Baik fraktur itu menyatu atau tidak,
kolapsnya kaput femoris akan menyebabkan nyeri dan semakin
hilangnya fungsi. Apabila lokalisasi fraktur lebih ke proksimal maka
kemungkinan untuk terjadi nekrosis avaskular lebih besar.
Penanganan nekrosis avaskular kaput femur dengan atau tanpa gagal
pertautan juga dengan eksisi kaput dan leher femur dan kemudian
diganti dengan protesis metal.
3. Nonunion

52
Lebih dari 1/3 penderita dengan fraktur leher femur tidak dapat
mengalami union terutama pada fraktur yang bergeser. Komplikasi
lebih sering pada fraktur dengan lokasi yang lebih ke proksimal. Ini
disebabkan kareana vaskularisasi yang jelek, reduksi yang tidak
adekuat, fiksasi yang tidak adekuat dan lokasi fraktur adalah intra-
artikuler.
Tulang di tempat fraktur remuk, fragmen terpecah dan paku atau
sekrup menjebol keluar dari tulang atau terjulur ke lateral. Pasien
mengeluh nyeri, tungkai memendek dan sukar berjalan. Metode
pengobatan nekrosis avaskuler tergantung penyebab terjadinya
nonunion dan umur penderita.
Pada pasien yang relatif muda, terdapat tiga prosedur, yaitu :
1. Kalau fraktur terlalu vertikal, tetapi kaput tetap hidup, osteotomi
subtrokanter dengan fiksasi paku-plat mengubah garis fraktur
sehingga membentuk sudut yang lebih horizontal.
2. Kalau reduksi atau fiksasi salah dan tidak terdapat tanda-tanda
nekrosis, sekrup itu pantas dibuang, fraktur direduksi, sekrup yang
baru disisipkan dengan bener dan juga menyisipkan cangkokan
fibula pada fraktur itu;
3. Kalau kaput bersifat avaskular, kaput ini dapat diganti dengan
prostesis logam; kalau sudah terdapat atritis, diperlukan pergantian
total.

Pada pasien yang berusia lanjut, hanya dua proses yang harus
dipertimbanagkan, yaitu ;
1. Kalau nyeri tidak hebat, pengankatan tumit dan penggunaan
tongkat yang kuat atau kruk penopang siku sering sudah
mencukupi.
2. Kalau nyerimya hebat, maka tak perduli apakah caput
avaskular atau tidak, kaput ini terbaik dibuang; kalau pasien
cukup sehat, dilakukan pergantian sendi total.
4. Osteoartritis

53
Osteoartritis sekunder terjadi karena adanya kolaps kaput femur atau
nekrosis avaskuler. Kalau terdapat banyak kehilangan gerakan sendi
dan kerusakan meluas ke permukaan sendi, diperlukan pergantian
sendi total.
5. Anggota gerak memendek
6. Malunion
7. Malrotasi berupa rotasi eksterna
8. Koksavara

I. Fraktur Leher femur pada Anak-Anak


Fraktur ini jarang terjadi pada anak-anak, tetapi jika terjadi fraktur ini sangat
berbahaya. Fraktur itu selalu diakibatkan oleh cedera hebat; contohnya, jatuh dari
ketinggian atau kecelakaan mobil.
Terapi fraktur yangn tak bergeser dapat diterapi dengan immobilisasi
dalam spikagips selama 6 minggu. Fraktur pergeseran termasuk kasus yanng
meragukan dan fraktur dengan pergeseran ringan harus diterapi dengan reduksi
tertutup dan fiksasi internal dengan dua pen berulir. Karena terdapat risiko
nekrosis avaskular, penahanan beban harus ditunda hingga fraktur menyatu
dengan kuat dan kaput femoris tampak normal.
Komplikasi yang utama adalah nekrosis avaskular pada kaput femoris, yang
menimbulkan perubahan fraktur pada sinar-X dalam satu atau dua bulan. Terapi
merupakan persoalan. Menghindari penahanan beban, atau “pembebatan
penahanan” dalam abduksi dan rotasi internal, biasanya dianjurkan. Hasilnya
tidak dapat diramalkan; pemyembuhan kadang-kadang sangat baik, tetapi kalau
seluruh kaput terlibat, anak ini akhirnya akan mengalami kekakuan pinggul.
Mingkin sebaiknya dilakukan artrodesis, sebagai prosedur penyelamatan yang
terakhir.

54
55
TOTAL HIP REPLACEMENT (ARTHROPLASTY)

A. DEFINISI
Arthroplasty = rekonstruksi sendi yang mengalami penyakit, kerusakan,
atau ankilosis dengan cara modifikasi natural atau pemberian materi artifisial.
Etiololgi tersering kelainan panggul individu dewasa antara lain: osteoartritis,
rheumatoid artritis, nekrosis avaskular, penyakit degeneratif sendi pasca trauma
(posttraumatic degenerative joint disease), kelainan kongenital, dan infeksi dalam
sendi atau pada tulang di sekitarnya.

B. INDIKASI
 Nyeri dan disfungsi progresif (dan/atau):
 Penurunan mobilitas, rawat diri, dan AKS sekalipun telah mendapat terapi
konservatif.
Indikasi berdasarkan penyakitnya:
 Artritis: RA, juvenile rheumatoid (Still’s disease), artiritis piogenik
(dengan infeksi yang sudah mereda)
 Ankylosing spondylitis
 Nekrosis avaskular (pasca fraktur / dislokasi, idiopatik)
 Tumor tulang
 Cassion’s disease
 Penyakit sendi degeneratif (osteoartritis)
 Developmental dysplasia of the hip (DDH)
 Failed hip reconstruction (cup arthroplasty; femoral head prosthesis;
girdlestone procedure; resurfacing arthroplasty; total hip replacement)
 Fraktur / dislokasi (asetabulum, femur proksimal)
 Fusi atau pseudoarthrosis pangggul
 Gaucher’s disease
 Hemoglobinopati (sickle cell disease)
 Kelainan herediter

56
 Legg-Calvé-Perthes disease (LCPD)
 Osteomielitis (pada lokasi yang jauh, dan tidak aktif) → hematogenik,
pasca operatif osteotomi
 Penyakit ginjal (terinduksi kortison, alkoholisme)
 Slipped capital femoral epiphysis (SCFE)
 Tuberculosis

C. KONTRAINDIKASI
Absolut
 Infeksi aktif dalam sendi, (“unless carrying out a revision as either an
immediate exchange or an interval procedure).
 Infeksi sistemik atau sepsis.
 Neuropati pada sendi
 Tumor malignan yang tidak memungkinkan dilakukannya fiksasi
komponen
Relatif
 Infeksi yang terlokalisir, khususnya infeksi saluran kemih, kulit, dada, atau
infeksi lokal lainnya.
 Absen atau insufisiensi relatif otot-otot abduktor.
 Defisit neurologis progresif.
 Setiap proses yang dapat menghancurkan tulang secara cepat.
 Pasien yang memerlukan prosedur dental atau urologik yang ekstensif,
seperti TUR prostat; sebaiknya sudah menjalaninya sebelum mendapat
THR.

D. TINDAKAN OPERATIF
Komponen THR yang umum diberikan:
1. unipolar endoprosthesis
2. bipolar endoprosthesis
3. true total hip components (komponen femoral & asetabular terpisah)
Implan Unipolar

57
Disebut juga endoprosthesis Moore atau Austin-Moore. Merupakan
komponen logam campuran tunggal bermesin (single, machined metal alloy) yang
terdiri atas bagian femoral stem (batang), leher, dan kepala. Kepala implan
diartikulasi dengan kartilago asetabulum asal.
Prosthesis ini umumnya digunakan pada pasien usia lanjut dengan
mobilitas minimal, yang mengalami fraktur collum femur intrakapsular
(subkapital) yang mengalami pergeseran (displaced).

Implan Bipolar
Endoprosthesis bipolar terdiri atas komponen asetabulum dengan bahan
logam campuran bersaput (polished metal alloy), yang secara anatomis disamakan
dengan asetabulum agar dapat memberikan pembebanan permukaan (surface
bearing). Kepala komponen ini berbentuk sferikal serta berukuran besar. Di dalam
komponen terdapat pelapis polyethylene (polyethylene liner), sehingga padanya
dapat dipasang komponen femoral.
Struktur ini menyebabkan terjadinya pembebanan luar (outer bearing
interface) antara permukaan implan dan asetabulum asal; serta pembebanan dalam
(inner bearing interface) antara lapisan polyethylene dan komponen femoral.
Desain seperti ini secara teori mengurangi gerakan pada asetabulum asal
(pertemuan kartilago-metal), dengan cara meningkatkan pergerakan pada bagian
prosthetik yang bebas bergerak (moveable); dan dengannya mengurangi
pembebanan (stress), aus (wear), atau erosi.
Penggunaan endoprosthesis bipolar sama dengan unipolar, atau dapat pula
digunakan pada arthroplasti revisi (revision arthroplasty).

Total Hip Arthroplasty


Komponen THA terdiri atas femoral stem (dalam berbagia ukuran dan
bentuk), leher femoral (dalam berbagai sudut dan panjang), serta mangkuk (cup)
asetabular dengan pelapis polyethylene dalam berbagai ukuran dan inklinasi.
Komposisi ini memungkinkan dilakukannya pelapisan ulang (resurfacing) kedua
sisi pada sendi panggul, serta memungkinkan pencetakan individual dalam
ketepatan tertinggi.

58
Dibanding endoprosthesis lainnya, komponen THA merupakan alat yang
paling kompleks untuk dipasang secara benar, namun merupakan teknik yang
paling sering digunakan.

Cemented vs. Cementless


Cemented
Teknik rehabilitasi akan sangat bergantung pada jenis fiksasinya. Dikenal
2 jenis teknik fiksasi yang umum digunakan, yaitu: cemented dan cementless atau
Press-Fit.
Secara umum, teknik cemented digunakan hanya pada komponen femoral.
Semen merupakan bahan yang cepat mengeras dalam 15 menit setelah
pemasangan. Beberapa ahli bedah berpendapat bahwa proteksi terhadap
pembebanan (weight-bearing) harus diberikan hingga tulang (setelah mengalami
trauma mekanik dan termal), pada pertemuannya dengan lapisan semen,
mengalami rekonstitusi dengan pembentukan peri-implant bone plate. Fenomena
ini memakan waktu hingga 6 minggu. Bagaimanapun, kebanyakan ahli bedah
percaya, bahwa stabilitas awal yang diciptakan fiksasi semen sudah cukup untuk
memungkinkan dilakukannya full weight-bearing dengan tongkat atau walker.
Teknik cemented dilakukan dengan cara sebagai berikut: setelah cement
restrictor plug dipasang pada kanal femoral distal, segera dibuat
polymethylmethacrylate (PMMA) – yang kemudian dimasukkan ke dalam kanal
femoral menggunakan pressurization cementing technique. Dengan demikian bila
femoral stem dipasang akan tercipta ikatan yang erat dari prosthesis pada kanal
intramedular dengan mantel semen melingkar (circumferential cement mantle).
Bahan semen polimerisasi secara rigid akan memfiksasi komponen femoral.
Secara umum, dengan teknik ini pasien diizinkan untuk melakukan
weight-bearing sesuai toleransi, sesegera mungkin setelah operasi.

Cementless (Noncemented)
Pada teknik cementless (tanpa semen), fiksasi awal dilakukan dengan
menggunakan Press-Fit. Pada teknik ini, digunakan komponen femoral yang
memiliki lapisan permukaan yang berpori, untuk menciptakan pertumbuhan

59
(ingrowth) dan stabilitas tulang. Teknik Press-Fit umumnya digunakan pada
pasien yang berusia lebih muda dan lebih aktif.
Dengan teknik ini fiksasi implan maksimal cenderung belum akan tercapai,
hingga ditemukannya pertumbuhan jaringan pada implan atau ke dalam implan
(ongrowth or ingrowth). Stabilitas umumnya akan cukup setelah 6 minggu.
Bagaimanapun, stabilitas maksimal mungkin tidak akan dicapai hingga sedikitnya
6 bulan. Dengan alasan ini, banyak ahli bedah menganjurkan agar weight-bearing
dalam 6 minggu pertama hanya dilakukan dengan teknik toe-touch weight bearing.
Dengan demikian, secara umum pasien yang diberikan teknik ini harus
menunggu sedikitnya 6-8 minggu sebelum diizinkan melakukan full weight-
bearing, agar pertumbuhan tulang dapat berjalan stabil.
Catatan: dalam sebagian besar kasus, mangkuk asetabular merupakan
bahan Press-Fit. Komponen pelapis berpori seperti ini dalam banyak kasus
dibuktikan memberikan hasil yang sangat baik, dibanding pelapis implan
asetabular yang tidak berpori (non-porous). Untuk menambah stabilitas dapat
dipasang 1 atau 2 skrup (scews).
Manuver SLR (straight leg raising) dapat menyebabkan pembebanan
“keluar” (out-of-plane) yang sangat besar pada panggul; begitu pula dengan
angkat-samping (side-leg-lifting) pada posisi tidur, dan karenanya kedua manuver
ini harus dihindari. Selain itu kontraksi isometrik yang besar pada otot-otot
abduktor panggul, (terutama latihan tahanan/resistance) harus dilakukan secara
berhati-hati; dan sebaiknya dihindari pada tindakan osteotomi trokanter.
Pada teknik non-cemented, tahanan rotasional awal panggul umumnya
rendah, karena itu selama 6 minggu pertama atau lebih, panggul harus dilindungi
dari gaya rotasional yang besar. Beban gaya rotasional seperti ini sering terjadi
ketika seseorang akan bangun dari posisi duduk. Karena itu, pada posisi duduk,
pasien harus mendorong badannya dengan menggunakan tangan.
Setelah tercapai full weight-bearing, pasien harus tetap menggunakan
tongkat pada sisi kontralateral hingga dapat berjalan tanpa pincang (limp). Hal ini
membantu mencegah terbentuknya pola jalan Trendelenburg.

60
DAFTAR PUSTAKA
1. Fauci, Anthony S, et al. 2012. Osteoarthritis. Dalam : Harrison’s
Principles Of Internal Medicine Eighteenth Edition. The McGraw-Hill
Companies.

2. Lawrence RC, Felson DT, Helmick CG, et al. 2008. Estimates of the
prevalence of arthritis and other rheumatic conditions in the United States.
Part II. Arthritis Rheum. 58(1):26–35.

3. Christine G, 1922, Bones and Joint. A Guide for student, second edition,
Tokyo, Churchill Livingstone.

4. Dillon CF, Rasch EK, et al. 2006. Prevalence of knee osteoarthritis in the
United States: arthritis data from the Third National Health and Nutrition
Examination Survey 1991–1994. J Rheumatol. 33(11):2271–2279.

5. David, T. 2006. Osteoarthritis of the knee. The New England Journal of


Medicine.

6. Lozada, Carlos J. 2009. Osteoarthritis. http://emedicine.medscape.com.


Diakses tanggal 11 Oktober 2017.

7. Iannone F, Lapadula G. 2003. The pathophysiology of osteoarthritis.


Aging Clin Exp Res. 15(5):364–372.

8. Tjokroprawiro, Askandar, 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya:


Airlangga University Press.

9. Jacobson, JA, et al. 2008. Radiographic Evaluation of Arthritis :


Degenerative Joint Disease and Variation. Radiology. 248(3):737–747.

10. LS, Daniel, Deborah Hellinger. 2001. Radiographic Assessment of


Osteoarthritis. American Family Physician. 64(2):279–286

11. Kasmir, Yoga. 2009. Penatalaksanaan Osteoartritis. Sub-bagian Reumatologi,


Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI / RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta

12. Snell, Anatomi Klinik. Bagian 2. Edisi ketiga. Jakarta: EGC. 1998

61
13. Apley AG, Solomon L. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley.
Jakarta: Widya Medika. 1995.

14. Sjamsuhidajat R, Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta: EGC.
2004.

15. Bergman, Ronald, Ph.D. Anatomy of First Aid: A Case Study Approach.
Available from: http://www.anatomyatlases.org/firstaid/ThighInjury.shtml

16. Doherty M. Gerard. Current Diagnosis and Treatment Surgery.13th Edition.


New York: Mc Grow Hill. 2009

17. Keany E. James. Femur Fracture. Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/824856-treatment

18. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi ketiga. Jakarta:
Media Aesculapius. 2000.

19. Rasjad, Chairuddin. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makassar: Bintang


Lamumpatue. 2003.

20. Reksoprodjo, Soelarto. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Fakultas Kedoktran


Universitas Indonesia. Jakarta: Binarupa Aksara. 1995

21. Ruedi. P. Thomas. AO Principles of Fractures Management. New York: AO


Publishing. 2000.

62
BAB III

ANALISIS KASUS

Pada kasus ini, pasien perempuan berusia 56 tahun, mendapat diagnosis


osterartritis hip joint et causa fraktur neck femur kanan dengan anemia dan
hipertensi derajat 1. Diagnosis tersebut ditegakkan berdasarkan :

1. Anamnesis :
Pasien mengeluhkan sulit berjalan pada kaki kanannya sejak 7 bulan yang
lalu, dikarenakan pasien terpleset saat sedang dirumah. Semenjak itu pasien
mengeluhkan nyeri pada kaki kanannya, sulit berjalan, dan erkadang kaku saat
pagi hari belakangan ini,.

Menurut teori, Leher femur adalah tempat yang paling sering terkena fraktur pada
manula. Sebagian besar pasien adalah wanita berusia delapan puluh atau sembilan
puluhan, dan kaitannya dengan osteoporosis demikian nyata sehingga insidensi
fraktur leher femur digunakan sebagai ukuran osteoporosis yang berkaitan dengan
umur dalam pengkajian kependudukan.
Namun hal ini bukan semata-mata akibat penuaan; fraktur cenderung
terjadi pada penderita osteopenia diatas rata-rata, banyak diantaranya mengalami
kelainan yang menyebabkan kehilangan jaringan tulang dan kelemahan tulang
misalnya osteomalsia, diabetes, stroke, alkoholisme dan penyakit kronis lain;
beberapa keadaan ini juga menyebabkan meningkatnya kecenderungan jatuh.
Sebaliknya, fraktur leher femur jarang terjadi pada orang-orang negroid dan
pasien dengan osteoartritis pinggul.

Pemeriksaan fisik :

Pemeriksaan fisik pasien menunjukkan tekanan darah 160/100 mmHg, tanda-


tanda vital lain dalam batas normal. Penilaian konjungtiva menunjukkan tidak
anemis. Pemeriksaan status lokalis regio femoralis dextra ditemukan kulit utuh,

63
edema, perabaan arteri dorsalis pedis sinistra baik, namun terdapat nyeri tekan,
krepitasi, ROM terbatas, nyeri aktif dan nyeri pasif.

Menurut teori, tulang femur adalah tulang yang paling besar dan mengandung
banyak pembuluh darah. Fraktur pada tulang femur dapat menyebabkan pecah
pada pembuluh darah dan kehilangan darah sebanyak 1.5 liter sampai 2 liter,
sehingga dapat berujung pada syok yang ditandai dengan gangguan sirkulasi
hemodinamika. Pemeriksaan status lokalis femur harus dibandingkan dengan
yang sehat, memperhatikan posisi anggota gerak secara keseluruhan, adanya
tanda-tanda anemia akibat perdarahan, adanya luka pada kulit dan jaringan lunak
untuk membedakan fraktur tertutup atau terbuka. Menilai deformitas berupa
angulasi, rotasi dan pemendekan.

Pada palpasi ditemukan nyeri tekan perabaan denyut nadi di bagian distal
fraktur yaitu arteri dorsalis pedis. Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna
kulit pada bagian distal fraktur, temperatur kulit dan pengukuran panjang tungkai
untuk menilai adanya perbedaan panjang tungkai. Pergerakan secara aktif dan
pasif sendi proksimal dan distal daerah fraktur akan timbul nyeri hebat sehingga
uji pergerakan harus dilakukan secara perlahan dan hati-hati, agar mencegah
kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.

2. Pemeriksaan penunjang :
Pada kasus ini dilakukan pemeriksaan laboratorium hematologi, yang
menunjukkan pasien mengalami anemia ringan. Kondisi anemia disebabkan oleh
berbagai hal, salah satunya adalah disebabkan kehilangan banyak darah akibat
fraktur pada tulang panjang seperti femur.

Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien adalah monitoring jalan nafas,


pernafasan, sirkulasi pasien serta tanda vital lainnya, transfusi PRC 2 labu hingga
hb > 10 gr/dL, pemasangan infus RL 20 tetes/menit. Manajemen nyeri dengan
analgetik injeksi Dexketoprofen 2x1 PO, ranitidin 2x50 mg PO, Herbesser CD
2x100 PO. Pasien direncanakan untuk dilakukan operasi THR (total hip
replacement) dengan imobilisasi. Rencana akan dilakukan pemeriksaan lanjutan

64
rontgen ulang regio femur dextra pasca operasi. Akan tetapi pasien harus
menurunkan terlebih dahulu
Prognosis pada pasien ini adalah, dari segi vitam ialah bonam, sedangkan
sanationam maupun fungtionam yaitu ad malam. Dikarenakan faktor usia dari
pasien yang sudah lanjut usia dan terjadinya osteoartritis.

65

Anda mungkin juga menyukai