Anda di halaman 1dari 30

PRESENTASI KASUS

SPINAL ANESTESI PADA PASIEN GANGREN PEDIS DENGAN


RIWAYAT DIABETES MELITUS, UNBALANCE ELEKTROLIT DAN
HIPOALBUMINEMIA
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Anestesi
Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh:

Rizka Ayuditha Putri

201704011063

Diajukan Kepada:

dr. Totok Kristiyono, M. Kes., Sp.An

BAGIAN ILMU ANESTESI


RSUD SETJONEGORO WONOSOBO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017

i
HALAMAN PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS

SPINAL ANESTESI PADA PASIEN GANGREN PEDIS DENGAN

RIWAYAT DIABETES MELITUS, UNBALANCE CAIRAN DAN

HIPOALBUMINEMIA

Telah Dipresentasikan pada tanggal :

Oleh :

Rizka Ayuditha Putri

201704011063

Telah Disetujui Oleh :

Dosen Pembimbing Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Anestesi

RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo

dr. Totok Kristiyono, M.Kes, Sp.A

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan presus dengan
judul “Spinal Anestesi Pada Pasien Gangren Pedis dengan Riwayat Diabetes
Melitus, Unbalance Elektrolit dan Hipoalbuminemia”. Presus ini disusun untuk
memenuhi sebagian persyaratan Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu Anestesi di
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta.
Dalam penulisan presus ini, penulis banyak mendapatkan bantuan,
bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terimakasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu,
khususnya kepada:
1. dr. Totok Kristiyono., M.Kes.,Sp.An., selaku pembimbing Kepaniteraan
Klinik bagian Ilmu Anestesi sekaligus pembimbing presus di RSUD KRT
Setjonegoro, Wonosobo.
2. Ny. T selaku pasien operasi yang sudah bersedia meluangkan waktunya
untuk dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh.
3. dr. Zuhal selaku residen anestesi yang telah membagi ilmu, mengarahkan
dan membantu dalam proses Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu Anestesi.
4. Seluruh penata anestesi, perawat IBS, dan tenaga medis lainnya yang telah
berkenan membantu berjalannya Kepaniteraan Klinik bagian Anestesi.
5. Ayah dan Ibu masing-masing dari kami yang telah mencurahkan kasih
sayang yang tiada henti bagi kami dan telah memberikan dukungan financial
dalam penyelesaian presus ini.
Semoga pengalaman dalam membuat presus ini dapat memberikan hikmah
bagi semua pihak. Mengingat penyusunan presus ini masih jauh dari kata
sempurna, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat menjadi masukan
berharga sehingga menjadi acuan untuk penulisan presus selanjutnya.

Wonosobo, 15 Oktober 2017

Penulis

iii
DAFTAR ISI

PRESENTASI KASUS ............................................................................................ i


HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................. iii
BAB I ...................................................................................................................... 1
STATUS PASIEN .................................................................................................... 1
BAB II ..................................................................................................................... 8
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 8
BAB III ................................................................................................................. 23
PEMBAHASAN ................................................................................................... 23
BAB IV ................................................................................................................. 25
KESIMPULAN ..................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 26

iv
BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama Ny. T

Umur 55 th

Jenis Kelamin Perempuan

Alamat Kalibawang

Pekerjaan Ibu Rumah Tangga

Berat badan 45 kg

Diagnosis Gangrene Pedis dengan unbalance elektrolit, hipo albumin, dan riwayat DM

B. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama

Badan terasa lemas dan terdapat luka di kaki

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Terdapat gangrene di pedis kiri yang akan dilakukan amputasi

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat Asma : disangkal

Riwayat Hipertensi : disangkal

Riwayat Diabetes Melitus : iya

Riwayat Alergi : disangkal

Riwayat Operasi : amputasi digiti pedis sinistra

1
4. Riwayat Keluarga

Riwayat penyakit serupa pada keluarga disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Lemah

Kesadaran : Compos mentis

Vital Sign

TD : 110/70 mmHg

N : 88x/mnt

RR : 17x/mnt

T : 36.8 0C

Status Generalisata

a. Kulit

Keseluruhan tampak warna sawo matang, tidak tampak ikterik, tampak

pucat, tidak hipo atau hiper pigmentasi. Di tempat luka tampak terlihat warna

kehitaman.

b. Kepala

Bentuk kepala mesochepal, simetris, tidak ditemukan deformitas, di muka

tidak terdapat luka maupun jejas, konjungtiva tampak anemis, sklera tidak ikterik,

bibir tampak pucat, jvp tidak meningkat, tidak terlihat adanya benjolan.

c. Thorax

Inspeksi : simetris (+/+)

Palpasi : simetris (+/+), nyeri tekan (-/-), fremitus simetris

Perkusi : sonor di semua lapang thorax

2
Auskultasi : Vesikuler (+/+)

Cor :

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis tidak teraba

Perkusi :

 batas atas jantung : ICS II parasternalis sinistra.

 batas pinggang jantung : ICS III parasternalis sinistra.

 Batas kanan bawah jantung : ICS V sternalis dextra

 batas kiri bawah jantung: ICS IV 1-2 cm ke arah medial

midclavicula kiri.

Auskultasi : Suara jantung --> SI, SII (normal) reguler. Suara

jantung tambahan (-)

d. Abdomen

 Inspeksi : datar/ sejajar dinding dada, masa (-)

 Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor

baik, masa (-), asites (-).

 Perkusi : timpani

 Auskultasi : bising usus (+)

e. Ekstremitas

Akral dingin, ketiga ekstremitas bentuk normal anatomis,

ekstremitas bawah sinistra abnormal dg warna menghitam, terdapat ulkus

dan gangren.

3
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium

Hemoglobin : 16.2 g/dL (11.7 – 15.5)

Leukosit : 7.2. 103 / µL (3.6 - 11.0)

Hematokrit : 49 % (35 - 47)

Eritrosit : 6.3.106/ µL (3.80 – 5.20)

MCV : 77 fL (80 - 100)

MCH : 26 pg (26 - 34)

MCHC : 33 g/dL (32 - 36)

Trombosit : 229. 103 / µ (150 – 400)

Natrium : 134.0 mmol/L (135.0 – 147.0)

Kalium : 2.20 mmol/L (3.5 – 5.0)

Chlorida : 95.0 mmol/L (95.0 – 105.0)

E. DIAGNOSIS KERJA

 Gangren pedis sinistra dengan unbalance elektrolit, hipoalbuminemia dan

riwayat DM status fisik ASA III

 Rencana Regional Anestesi Sub Arachnoid Blok

F. PENATALAKSANAAN

1. Pre Operasi

- Koreksi kalium 1.5 x 40 x 0.4 = 24 mEq. Kcl 25 mEq dalam Nacl 0.9% 500 mL

30 tpm hingga > 3,0

- Koreksi Albumin hingga > 2,5

4
2. Persiapan Operasi

- Lengkapi Informed Consent Anestesi

- Puasa min 6 jam sebelum operasi

- Tidak menggunakan perhiasan/ kosmetik

- Tidak menggunakan gigi palsu

- Memakai baju khusus kamar bedah

3. Diagnosis Pra Bedah : Gangren pedis sinistra dengan unbalance

elektrolit, hipoalbuminemia, dan riwayat DM.

4. Diagnosis Pasca Bedah : Post amputatum pedis sinistra

5. Jenis Anestesi : Regional Anestesi

6. Teknik : Sub-Arachnoid Block

7. Mulai Anestesi : 28 September 2017, pukul 13.00

8. Mulai Operasi : 28 September 2017, pukul 13.10

9. Premedikasi : Ondansetron 8 mg, Ketorolac 30 mg

10. Induksi : Bupivacain 12,5 mg

11. Pemeliharaan : O2 3 liter per menit

12. Jenis Cairan : Asering

13. Kebutuhan Cairan selama operasi

Maintenance Operasi : 2cc/kgBB/jam --> 2x45 = 90 cc

Pengganti Puasa : 8 x maintenance --> 8x90 = 720cc

Stress Operasi : operasi sedang 6cc/kgBB/jam --> 4x45 = 180 cc

Keb. Cairan jam I : (50% kebutuhan puasa) + MO + SO

(50% x 720) + 90 + 180 = 630cc

5
14. Pemantauan Selama Tindakan Anestesi

- Pasien dilakukan anestesi pada tanggal 28 September 2017 pada jam 13.00 dan

operasi dimulai jam 13.10

- Pasien dipasang alat pantau untuk mengawasi tanda vital dan saturasi oksigen.

- Dilakukan premedikasi dengan memasukkan Ondansetron 8 mg dan Ketorolac

30 mg secara IV.

- Maintenance diberikan O2 3 lpm kemudian dilakukan kontrol pada tanda vital

dan saturasi oksigen setiap 15 menit.

- Selama operasi cairan masuk asering 500ml

- Lama anestesi 1 jam 35 menit

- Lama operasi 1 jam 30 menit

15. Selesai operasi : 14.40 WIB

16. Instruksi Pasca Bedah

Posisi Pasien : Supine head up 300

Awasi Tekanan darah post op : tiap 15 menit selama 2 jam, bila TD < 80/50

Terapo Efedrin 20 mg

Lain- lain : Deksketoprofen dan Granisetron dalam Tutofusin

20 tpm

17. Maintenance anestesi

B1 (Breathing) : Suara nafas vesikuler, nafas spontan

B2 (Bleeding) : Perdarahan ± 50cc

B3 (Brain) : Pupil Isokor

B4 (Bladder) : terpasang kateter

6
B5 (Bowel) : BU (+)

B6 (Bone) : Intak

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Anestesi regional adalah menginjeksikan obat anestesi lokal ke sejumlah

sel saraf dengan tujuan untuk memblok saraf mengantarkan sensasi dan

mencegahnya mencapai otak. Adapun bentuk anestesi regional yaitu anestesi

spinal, anestesi epidural, anestesi kaudal dan kombinasi anestesi spinal- epidural.

Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal

yang menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang

intratekal atau ruang subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5

untuk menghasilkan onset anestesi yang cepat dengan derajat keberhasilan yang

tinggi. Obat anestesi lokal adalah suatu senyawa amino organik. Anestesi lokal

yang sering dipakai adalah bupivakain. Lidokain 5% sudah ditinggalkan karena

mempunyai efek neurotoksisitas, sehingga bupivakain menjadi pilihan utama

untuk anestesi spinal saat ini.

Faktor- faktor yang mempengaruhi penyebaran larutan bupivakain

hiperbarik pada Anestesi spinal:

1. Gravitasi : Cairan serebrospinal pada suhu 370C mempunyai BJ 1,003-

1,008. Jika larutan hiperbarik yang diberikan kedalam cairan serebrospinal

akan bergerak oleh gaya gravitasi ke tempat yang lebih rendah, sedangkan

larutan hipobarik akan bergerak berlawanan arah dengan gravitasi seperti

menggantung dan jika larutan isobarik akan tetap dan sesuai dengan

tempat injeksi.

8
2. Postur tubuh : Makin tinggi tubuh seseorang, makin panjang medula

spinalisnya dan volume dari cairan serebrospinal di bawah L2 makin

banyak sehingga penderita yang lebih tinggi memerlukan dosis yang lebih

banyak dari pada yang lebih pendek.

3. Tekanan intra abdomen :Peningkatan tekanan intra abdomen menyebabkan

bendungan pembuluh darah vena abdomen dan pelebaran vena di ruang

epidural yang menyebabkan ruang epidural menyempit.

4. Anantomi kolumna vertebralis : mempengaruhi tinggi anestesi spinal.

5. Tempat penyuntikan : makin tinggi tempat penyuntikan, maka analgesia

yang dihasilkan makin tinggi.

6. Manuver valsava : setelah obat disuntikkan penyebaran obat akan lebih

besar jika tekanan dalam cairan serebrospinal meningkat yaitu dengan cara

mengedan.

7. Volume obat : makin besar volume obat makin tinggi level blok

sensoriknya.

8. Konsentrasi obat : semakin tinggi konsentrasi obat semakin lama obat

dapat bekerja.

9. Posisi tubuh : Pada larutan hiperbarik posisi terlentang bisa mencapai level

blok T4 pada posisi duduk hanya mencapai T8.

10. Lateralisasi : Lateralisasi pada larutan dengan posisi berbaring miring

(lateral dekubitus). Pada percobaan oleh J.A.W. Wildsmith disimpulkan

bahwa 5 menit setelah penyuntikan obat, penyebaran obat pada sisi bawah

mencapai T6, sedangkan pada sisi atas mencapai T7.

9
Diabetes Melitus (DM) adalah sindrom yang ditandai dengan gangguan

metabolisme dan peningkatan gula darah secara tidak normal disebabkan oleh

level yang rendah dari hormon insulin atau resistensi abnormal terhadap insulin

sementara kompensasi peningkatan sekresinya tidak adekuat. Ciri khas gejalanya

adalah produksi urin, rasa haus dan lapar yang berlebihan, penglihatan kabur,dan

badan lemah. Selain itu DM dapat menyebabkan komplikasi kronis termasuk

gagal ginjal, penyakit jantung,gangguan neurologi, gangguan penyembuhan luka

dan kebutaan.

Klasifikasi

Diabetes Melitus diklasifikasikan sbb:

1.DM tipe 1, ditandai dengan hilangnya sel-sel beta penghasil insulin di

pulau langerhans kelenjar pancreas, onset dapat terjadi saat anak-anak atau

dewasa, tanpa insulin eksogen mudah terjadi diabetes ketoasidosis,

disebabkan infeksi dan autoimun

2.DM tipe 2, ditandai dengan resisten atau berkurangnya sensifitas sel

terhadap insulin sementara sekresi insulin relatif kurang, onset saat

dewasa, dapat dikontrol dengan pengaturan pola makan, olah raga, dan

obat oral, penyebab berhubungan dengan usia, kegemukan dan riwayat

keluarga.

3.Diabetes Gestasional, ditandai dengan respon dan sekresi insulin yang

berkurang, biasanya onset pada trimester-2 atau 3 dari 2-5% kehamilan,

biasanya diterapi dengan pengaturan pola makan dan insulin, dan

umumnya sembuh setelah bayi lahir.

10
4.Tipe lain, mencakup diabetes melitus yang penyebabnya tidak termasuk

pada ketiga tipe diatas seperti: mutasi gen, insulin abnormal, penyakit

pancreas, obat dan lain-lain.

Patofisiologi

Mekanisme pelepasan insulin dari sel-sel beta pankreas normal, jumlahnya

tergantung level glukosa darah. Insulin ditampung dalam vakuola-vakuola

sebelum pelepasannya yang dicetuskan oleh peningkatan gula darah. Insulin

adalah hormon utama yang meregulasi pengambilan darah ke hampir semua sel

tubuh (terutama otot dan jaringan lemak tapi tidak pada sel-sel saraf pusat).

Kekurangan insulin atau berkurangnya sensivitas reseptor sel terhadap insulin

berperan pada semua bentuk diabetes mellitus.

Karbohidrat dalam makanan dirubah dalam beberapa jam menjadi glukosa

monosakarida, sebagai karbohidrat utama dalam darah yang dibutuhkan sel

sebagai bahan bakar.Beberapa karbohidrat tidak dikonversi contohnya fruktosa

juga dapat digunakan sel dan tidak dipengaruhi hormon insulin. Sebagai tambahan

karbohidrat selulosa tidak dikonversi menjadi glukosa dan tidak dapat dicerna

oleh manusia dan sejumlah besar hewan.

Insulin dibutuhkan oleh 2/3 sel-sel tubuh untuk menyerap glukosa dari dlm darah.

Insulin berikatan dengan reseptornya di dinding luar sel dan berperan seperti

kunci untuk membuka pintu masuk kedalam sel bagi glukosa. Sebagian glukosa

disimpan sebagai cadangan energy dalam bentuk glikogen atau asam lemak. Saat

produksi insulin tidak mencukupi atau saat kunci insulin sulit membuka pitu sel

banyak glukosa akan tinggal dalam darah dan tidak dapat masuk ke dalam sel

11
menyebabkan hiperglikemia. Hiperglikemia melebihi ambang batas reabsorbsi

ginjal oleh tubulus proksimal sehingga sebagian glukosa terbuang bersama urine.

Peningkatan osmotik urin menghambat seabsorbsi air oleh ginjal . Hal ini juga

menyebabkan peningkatan jumlah urine yang berlebihan dan glukosuria .

Peningkatan kadar glukosa darah dalam waktu lama menyebabkan

penyerapan oleh lensa mata sehingga penglihatan menjadi kabur.

Tubuh mengatasi peningkatan level glukosa dalam darah (hiperglikemia)

dengan menyerap air dari dalam sel sehingga kadar glukosa darah mengalami

dilusi selanjutnya diekskresi di urin. Hal ini manyebabkan rasa haus yang menetap

dan produksi urine yang berlebihan. Pada saat yang sama terjadi “puasa” sel

terhadap glukosa dan memberi signal ke tubuh untuk mendapatkan makanan yang

lebih banyak sehingga pasien merasakan lapar yang berlebihan.

Untuk mendapatkan energi sel menggunakan protein dan lemak.

Penguraian protein dan lemak menghasilkan kompleks asam yang disebut keton.

Keton dapat diekskresi di urine. Peningkatan keton di dalam darah dapat

menyebabkan kondisi ketoasidosis yang bila tidak ditangani menyebabkan koma

dan kematian.

Etiologi

Penyebab DM belum jelas, tampaknya kedua faktor baik herediter maupun

lingkungan berperan didalamnya. Penelitian menunjukkan beberapa penderita DM

memiliki tanda genetik yang sama. Pada tipe 1 sistim imun, sistim pertahanan

tubuh melewan infeksi yang disebabkan virus atau mikroorganisme lain, merusak

sel-sel pankreas yang menghasilkan insulin.

12
Pada tipe 2 DM, umur, kegemukan, dan riwayat keluarga memegang peranan

penting. Pankreas mungkin memproduksi cukup insulin tetapi sel menjadi resisten

sehingga kerja insulin tidak efektif. DM tipe 2 terjadi perlahan sehingga penderita

tidak menyadarinya. Tanda awal adalah badan lemah disertai rasa haus dan buang

air kencing yang berlebihan.

Individu yang mempunyai resiko tinggi terjadinya DM tipe 2:

- Kegemukan (lebih dari 20% diatas berat ideal)

- Berasal dari etnik resiko tinggi( African-American, Native-American,

Hispanic, or Native Hawaiian)

- Pernah didiagnosa DM gestasional atau riwayat melehirkan bayi dgn berat

badan >4kg.

- Memiliki tekanan darah tinggi(140/90 mmHg atau lebih)

- Level lipoprotein kolesterol kurang atau sama dengan 35 mg/dL atau

trigliserida >250mg/dL

- Memiliki kelainan laboratorium gangguan toleransi glukosa sewatu atau

saat puasaa.

Beberapa obat dapat menginduksi intoleransi glukosa baik dengan

menghambat sekresi insulin atau mengganggu fungsinya di perifer. Dalam

anestesia glukokortikoid dan adrenergik gonis paling sering berpengaruh. Obat

kortikosteroid baru seperti deflazacort lebih kurang diabetogenik dibanding

prednisolon dan betametason.

Siondrom metabolik (juga disebut syndrom X atau syndrom resisten

insulin) sekumpulan gejala yang saling berhubungan dengan penyebab yang tidak

13
diketahui . Gejala-gejala tersebut termasuk intoleransi glukosa atau diabetes,

resistensi insulin, tekanan darah tinggi, peningkatan trigliserida plasma, obesitas

sentral dan mikroalbuminuria

Gejala Klinis

Gejala DM dapat terjadi tiba-tiba (bbp hari/minggu) pada anak atau

dewasa atau dapat terjadi perlahan-lahan pada penderita dewasa gemuk dgn usia

diatas 40 thn. Gejala klasik adalah rasa capek dan sakit, kencing berulang-ulang,

rasa haus dan lapar yang berlebihan dan berat badan menurun.

Pada kondisi ketoasidosis member gejala nyeri perut, muntah, pernapasan

cepat dan lemah badan yang berlebihan yang bila tidak ditangani dapat menjadi

coma dan meninggal.

Pada penderita DM tipe 2 gejala klasik tsb kadang tidak dihiraukan

penderita sampai penderita tsb datang untuk pengobatan penyakit lain seperti

infeksi kronik, penyakit jantung, ginjal, dan mata kabur.

Diagnosa

Diabetes mellitus dapat diketahui dengan adanya gejala yang timbul

sebagai akibat hiperglikemia seperti poliuria, polidifsia, polifagia, penurunan berat

badan, gangguan kesadaran, ketosis dan gangguan degeneratif (neuropati,

retinopati, nefropati).

Diagnosis diabetes dapat ditegakkan metafii 3 cara. Dua dari 3 cara ini dapat

dikerjakan dengan mudah oleh dokter di bagian emergensi .

Gejala diabetes + konsentrasi glukosa plasma sewaktu >= 200 mg/dl (11,1

mmol/k). Sewaktu didefinisikan sebagai setiap saat tanpa memperhatikan

14
waktu terakhir makan. Kadar glnkosa plasma puasa >= 126 mg/dl (7,0

,mmmo/L). Puasa didefinisikan sebagai tidak ada asupan kalori dalam 8 jam

terakhir, atau

Kadar glukosa plasma 2 jam setelah minum 75 gram glukosa oral pada tes

toleransi glukosa oral >= 200 mg/dl.

Apabila tidak terdapat hiperglikemia yang nyata pada keadaan

dekompensasi metabolik akut (seperti diabetes ketoasidosis atau sindrom

hiperglikemik- hiperosmolar-nonketotik), kriteria ini harus dikonfirmasi

dengan mengulang penilaian pada hari yang berbeda. Penilaian yang ketiga

(tes toleransi glukosa oral) tidak dianjurkan untuk penggunaan klinis rutin.

Pada pemeriksaan tes toleransi glukosa oral usia juga harus

diperhitungkan, karena respon insulin terhadap rangsangan karbohidrat akan

menurun untuk setiap dekade kehidupan. Penyebab sekunder intoleransi

karbohidrat harus selalu diperhitungkan sebagai diagnosis banding. Penyakit

tertentu seperti pankreatitis, hemokromatosis, feokromositoma dan

hipertiroidisme harus selalu disingkirkan terlebih dahulu. Gangguan primer

metabolisme lemak seperti hiperlipidemia primer dapat pula menyebabkan

intoleransi karbohidrat sekunder. Semua penderita hiperglikemia tanpa ketosis

harus dicari kemungkinan hipertrigliseridemia.

Hipoalbuminemia adalah kadar albumin yang rendah atau di bawah nilai

normal atau keadaan dimana kadar albumin serum <3,5 g/dL. Hipoalbumin

menunjukkan pasokan asam amino yang tidak memadai dari protein, sehingga

mengganggu sintesis albumin serta protein lain oleh hati.

15
Hipoalbuminemia dalah suatu masalah umum yang terjadi pada pasien.

Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh masukan protein yang rendah,

pencernaan atau absorbsi protein yang tak adekuat an penngkatan kehilangan

protein yang dapat ditemukan pada pasien dengan kondisi medis kronis dan akut :

 Kurang energi protein

 kanker

 Preitonitis

 Luka bakar

 sepsis

 Luka akibat pembedahan

 Penyakit hati yang berat atau kronis

 Penyakit ginjal

 Penyakit saluran cerna

 Radang atau infeksi tertentu

 Diabetes melitus dengan gangren

 TBC paru

Elektrolit adalah zat kimia yang menghasilkan artikel- partikel bermuatan

listrik yang disebut ion jika berada dalam larutan. Elektrolit terdapat pada seluruh

cairan tubuh.

Ketidakseimbangan elektrolit adalah ketika jumlah natrium dan kalium

dalam tubuh terlalu banyak atau terlalu sedikit.

Gangguan/ Masalah Kebutuhan Elektrolit :

 Hiponatremia : merupakan suatu keadaan kekurangan kadar natrium

16
dalam plasma darahyang ditandai dengan adanya kadar natrium plasma

yang kurang dari 35 mEq/Lt. Mual, muntah dan diare.

 Hipernatremia : merupakan suatu keadaan diamana kadar natrium

dalam plasma tinggi, yang ditandai dengan adanya mukosa kering,

oliguria/anuria, turgor kulit buruk, kadar natrium dalam plasma lebih

dari 145mEq/Lt.

 Hipokalemia : suatu keadaan kekurangan kadar kalium dalam darah.

Kadar kalium plasma menurun kurang dari 3,5 mEq/Lt.

 Hiperkalemia : suatu keadaan dimana kadar kalium dalam plasma

tinggi yang dapat mencapai lebih dari 5 mEq/L.

 Hiperkalsemia : merupakan suatu keadaan kelebihan kadar kalsium

dalam darah. Kadar kalsium dalam plasma lebih dari 4,3 mEq/Lt.

 Hipokalsemia : merupakan suatu keadaan kekurangan kadar kalsium

dalam plasma darah. Kadar kalsium dalam plasma <4,3 mEq/Lt.

 Hipomagnesia : merupakan keadaan dimana kekurangan kadar

magnesium dalam darah. Kadar magnesium dalam darah < 1,3mEq/Lt.

 Hipermagnesia : merupakan kondisi kelebihan kadar magnesium

dalam darah, dengan kadar magnesium dalam darah >2,5 mEq/Lt.

Faktor yang berpengaruh pada keseimbangan Cairan dan elektrolit :

 Umur

 Iklim

 diet

 Stress

17
 Kondisi sakit : yang berpengaruh terhadap keseimbangan cairan dan

elektrolit.

 Tindakan medis

 Pengobatan

 Pembedahan

Pemeriksaan Umum Perioperatif

Pencapaian yang diharapkan dari manajemen pasien diabetes adalah

mendapatkan hasil akhir yang sama dengan pasien yang bukan DM. Metaanalisa

dari 15 penelitian, dilaporkan bahwa hiperglikemia(glukosa darah >110mg/dL)

menambah angka kematian pada pasien rawat inap dan juga insiden gagal jantung

pasien yang dirawat dengan infark miokard akut yang terdiagnosa DM secara

tersendiri .

Penilaian preoperatif yang komperhensif,monitoring ketat, dan manajemen

intensif intraoperati hingga post operatif tim multidisiplin telah

direkomendasikan. Hubungan yang erat dan kompleks antar glukosa insulin serta

pengaruh anestesi dan operasi adalah hal yang pokok dalam penanganan dan hasil

akhir yang optimal.

Dasar pemeriksaan perioperatif adalah anamnesa dan pemeriksaan fisik

yang komperhensif. Sebagaimana diperkirakan bahwa sepertiga pasien diabetik

tidak menyadari penyakitnya, mungkin penting untuk menskrining semua pasien

rencana operasi sedang atau besar dengan memeriksa glycosylate

hemoglobin(HbA1c). Pada penelitian pasien nondiabetik yang datang untuk

penangana emergensi infeksi jaringan lunak, kurang dari 5% memiliki GDS

18
>180mg/dL. Sebagai tambahan untuk informasi perioperatif yang standar,

penanganan dari penyakit DM harus didokumentasikan lamanya pengobatan,

pengobatan spesifik, dan isu resistensi insulin.

Anamnesa seharusnya mencakup gejala- gejala penyakit jantung iskemia,

etinal, neurologis, dan penyakit vaskular perifer.

Pemeriksaan klinis termasuk penilaian adanya hipotensi orthostatik

sebagai potensial dari neuropati otonom. Pemeriksaan funduskopi memberi

informasi adanya kemungkinan pesien buta post operatif khususnya pada pasien

operasi spinal yang memanjang (posisi prone) dan operasi jantung bypass.

Pokok- pokok pemeriksaan fisik mencakup :

 Tekanan darah termasuk pemeriksaan orthostatik

 pemeriksaan funduskopi

 penilaian airway

 palpasi kelenjar tiroid

 pemeriksaan jantung

 pemeriksaan abdominal

 evaluasi nadi secara palpasi dan auskultasi

 pemeriksaan kaki

 pemeriksaan kulit

 pemeriksaan neurologis

Evaluasi laboratorium perioperatif pada semua pasien diabetes rencana

perasi sedang atau mayor, perasi jantung atau non-jantungeharusnya termasuk

konsentrasi gula serum, HbA1c, elektrolit, BUN, dan kreatinin. Sebagai tambahan

19
urinalisis seharusnya dinilai proteinuria an mikroalbuminuria.

Tujuan pokok kontrol metabolik perioperatif adalah :

 mengoreksi kelainan asam basa, cairan, dan elektrolit sebelum

pembedahan.

 Memberikan kecukupan karbohidrat untuk mencegah metabolisme

katabolik dan ketoasidosis.

 Menentukan kebutuhan insulin untuk mencegah hiperglikemia.

Pembedahan pada penderita DM tipe II tidak meningkatkan risiko,

sehingga hanya membutuhkan sedikit perubahan terapi yang sudah ada

sebelumnya. Untuk bedah yang relatif kecil, jangan diberikan obat anti diabetes

oral kerja pendek pada hari operasi, dan obat kerja lama 2 hari sebelum

pembedahan. Untuk bedah besar, dosis kecil insulin mungkin dibutuhkan untuk

mengontrol kadar gula darah dan glikosuria.

Di dalam ruang operasi

Siapkan akses intravena lain untuk infus dextrose 5% sehingga terpisah

dari jalur pemberian cairan lain, periksa gula darah setiap 2 jam dimulai setelah

pemberian insulin, setiap 1 jam intra operasi dan 2-4 jam setelah operasi, bila

pasien mulai hipoglikemia, gula darah < 100mg/dL, berikan suplemen dextrose

(setiap cc glukosa 50% dapat menaikkan glukosa darah kira- kira sebesar 2 mg/dL

pada orang dengan BB 70kg. Sebaliknya bila terjadi intraoperatif hiperglikemia

(>150-180 mg/dL) dapat diberikan insulin intravena dengan dosis menggunakan

sliding scale. Satu unit insulin dapat menurunkan gula darah sebesar 20-30

mg/dL.

20
Terapi Hipoalbuminemia

Hipoalbuminemia dikoreksi dengan Albumin intravena dan diet tinggi

albumin, dapat dilakukan dengan pemberian diet ekstra putih telur, atau ekstrak

albumin dari bahan makan yang mengandung albumin dalam kadar yang cukup

tinggi. Untuk terapi hipoalbuminemia (kadar albumin <3,5 g/dL) diberikan infus

Aminovel 1 flabot/hari dan diet putih telur 6 butir/hari.

Terapi Unbalance Elektrolit

Pada hipokalemi, dapat diberikan kalium secara oral. Pemberian 40-

60mmol/L dapat meningkatkan kadar kalium 1-1,5mmol/L. Pemberian kalium

intravena diberikan dalam larutan KCl dengan kecepatan 10-20mmol/jam. KCl

dilarutkan dalam NaCl isotonik dengan perbandingan 20mmol Kcl dalam 100 ml

NaCl isotonik melalui vena besar. Jika melalui vena perifer pemberian Kcl

maksimal 60mmol dilarutkan dalam NaCl isotonik 1000 ml.

Pada hiponatremia prinsip penatalaksanaannya adalah dengan mengatasi

penyakit dasar dan menghentikan setiap obat yang ikut menyebabkan

hiponatremia. Sebelum memberikan terapi sebaiknya ditentukan apakah

hiponatremia merupakan hiponatremia hipoosmolalitas atau hiperosmolalitas.

Untuk hiponatremia hiperosmolalitas, koreksi yang diberikan hanya berupa air

saja. Larutan yang diberikan adalah natrium hipertonik, bisa berupa NaCl 3% atau

5% NaCl. Koreksi pada hiponatremia kronik yang tanpa gejala, dapat diberikan

sediaan oral, yaitu berupa tablet garam. Koreksi natrium secara intravena harus

diberikan secara lambat, untuk mencegah central pontin myelinolysis (CPM).

Untuk hiponatremia akut dengan gejala serius, koreksi dilakukan agak cepat.

21
Kadar natrium plasma harus dinaikkan sebanyak 1,5-2 mmol/L dalam waktu 3-4

jam pertama, sampai gejala menghilang. Kecepatan cairan infus diberikan 2-3

ml/kg/jam, setelah itu dilanjutkan dengan 1ml/kg/jam, sampai kadar Na 130

mmol/L.

Perawatan Pasca Bedah

Setelah pembedahan besar, infus glukosa dan insulin harus diteruskan

sampai pasien dapat makan makanan padat. Perlu diwspadai kemungkinan

terjadinya hipoglikemia atau hiperglikemia pasien pasca beda terutama bite

terdapat keterlambatan bangun atau penurunan kesadaran. Harus dipantau kadar

gula darah pasca bedah.

22
BAB III

PEMBAHASAN

Pasien pada kasus ini didiagnosis dengan gangren pedis sinistra dengan

riwayat DM, status fisik ASA III dan telah dilakukan amputasi. Pemeriksaan vital

sign pre-operasi dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya

conjunctiva anemis, akral dingin dan pasien tampak lemah. Pada pemeriksaan

laboratorium didapati adanya ketidakseimbangan elektrolit yang dapat dilihat dari

rendahnya kadar Kalium dan Natrium. Pasien juga mengalami Hipoalbuminemia.

Hemoglobin, Hematokrit, dan Eritrosit lebih dari normal. Berdasarkan hasil dari

vital sign, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium pasien termasuk

dalam ASA III. Pada pre-operatif pasien dilakukan koreksi kalium 1.5 x 40 x 0.4 =

24 mEq. Kcl 25 mEq dalam Nacl 0.9% 500 mL 30 tpm hingga > 3,0 dan koreksi

Albumin hingga > 2,5.

Sebelum dilakukan pembedahan pasien diberikan premedikasi

Ondansetron 8 mg yang berfungsi sebagai antiemetis dan Ketorolac dengan dosis

30mg sebagai agen analgetik. Setelah diberikan premedikasi, pasien dilakukan

anestesi spinal dengan Bupivacain 12,5 mg pada L 4-5. Selama operasi, semua

tanda- tanda vital dipantau mulai dari tekanan darah, saturasi O2, dan nadi.

Pembedahan berlangsung kurang lebih 2 jam, tanda vital dan saturasi baik selama

operasi. Sebelum dan selama pembedahan pasien dilakukan pemantauan

kebutuhan cairan. Cairan yang digunakan adalah Asering.

23
Pada saat pasien sudah berada di recovery room (RR) oksigenasi dengan

O2 tetap diberikan, kemudian dilakukan pemantauan fungsi vital. Tekanan darah

110/70 mmHg, nadi 90x/menit, O2 3L/menit dengan saturasi 100%.

24
BAB IV

KESIMPULAN

Diabetes Melitus (DM) adalah sindrom yang ditandai dengan gangguan

metabolisme dan peningkatan gula darah secara tidak normal disebabkan oleh

level yang rendah dari hormon insulin atau resistensi abnormal terhadap insulin

sementara kompensasi peningkatan sekresinya tidak adekuat. Ciri khas gejalanya

adalah produksi urin, rasa haus dan lapar yang berlebihan, penglihatan kabur,dan

badan lemah. Selain itu DM dapat menyebabkan komplikasi kronis termasuk

gagal ginjal, penyakit jantung,gangguan neurologi, gangguan penyembuhan luka

dan kebutaan.

Pencapaian yang diharapkan dari manajemen pasien diabetes adalah

mendapatkan hasil akhir yang sama dengan pasien yang bukan DM. Sebelum

dilakukan pembedahan dan anestesi dilakukan penilaian dan persiapan pre-

operatif meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan leboratorium, puasa,

dan premedikasi. Setelah operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruangan dengan

tetap dipantau kondisi dan tanda- tanda vital pasien.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Pramono, A. Buku Kuliah Anestesi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. 2014

2. Arauz C, Raskin P. Surgery and Anesthesia in Lebovitz HE ed. Therapy for

Diabetes Mellitus and Related Disorder, American Diabetes Association Inc,

Virginia, 1991: 147-

3. The Fundraising blog-Engine of Collaboration. Diabetes Melitus. Wikipedia A

look Under the Hood wikimedia 29-3-2007

4. Alwi I, Sudoyo A, Simadibrata M, Setyohadi B, Syam A. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing. 2014

26

Anda mungkin juga menyukai