Anda di halaman 1dari 8

LO Pemeriksaan penunjang Hipertrofi Adenoid dan Tonsil.

Pemeriksaan Penunjang Hipertofi Tonsil


Pemeriksaan laboratorium berupa kultur dan uji resistensi kuman dari sediaan apusan
tonsil untuk mengetahui kuman penyebab.

Pemeriksaan Penunjang Hipertrofi Adenoid

a. Foto polos (4,5)

Ukuran adenoid biasanya dideteksi dengan menggunakan foto polos true


lateral. Hal ini memiliki kekurangan karena hanya menggambarkan ukuran
nasofaring dan massa adenoid dua dimensi. Namun, Holmberg dan Linder-
Aronson (1979) menemukan hubungan yang signifikan antara ukuran adenoid
yang diukur pada foto kepala lateral dan adenoid yang diukur secara klinis
menggunakan nasofaringoskopi.3,4
Pengambilan foto polos leher lateral juga bisa membantu dalam
mendiagnosis hipertrofi adenoid jika endoskopi tidak dilakukan karena ruang
postnasal kadang sulit dilihat pada anak-anak, dan dengan pengambilan foto
lateral bisa menunjukkan ukuran adenoid dan derajat obstruksi.4
Terdapat beberapa metode untuk mengukur besar adenoid, antara lain
yang pernah diteliti adalah:10
1. Ketebalan adenoid

Ketebalan adenoid, seperti yang dideskripsikan oleh Johannesson,


didefinisikan sebagai jarak yang diukur (mm) tegak lurus dari tuberkel faring
di basis cranii ke puncak adenoid dengan menggunakan cavum x-ray. Skema
ditunjukkan oleh gambar 4 dan 7C.
Gambar 4. Skema tebal adenoid menurut Johannesson. PT: Tonsil faring (adenoid),
NF: nasofaring

1. Rasio jalan napas dan palatum molle

Rasio jalan napas dan palatum molle, seperti yang dideskripsikan oleh Cohen dan
Konak, merupakan perbandingan antara lebar kolom udara (AC) antara palatum
dan titik kelengkungan tertinggi adenoid dan ketebalan palatum molle (SfP; 10

mm di bawah palatum durum atau 5 mm pada anak < 3 tahun) dengan

menggunakan cavum x-ray. Adenoid disebut sebagai kecil, ketika kolom udara
lebih sempit daripada ketebalan palatum; medium, ketika kolom udara sempit
namun lebih lebar dari setengah tebal palatum; dan besar, ketika kolom udara lebih
sempit dari setengah tebal palatum. Skema ditunjukkan oleh gambar 5 dan

7B. Sementara itu, Cohen dan Konak mengkategorikan adenoid ke dalam 3


kelompok berdasarkan perhitungan pada skema, yakni:9,12

Kecil : AC/ fP ≥ 1,0

Medium : 0,5 ≤ AC/SfP < 1,0

Besar : AC/ fP < 0,5


Gambar 5. Metode Cohen dan Konak. A. Pengukuran dilakukan 10 mm dari
posterior nasal spine B. Gambaran adenoid yang besar.

1. Rasio adenoid-nasofaring (rasio A/N)

Rasio adenoid-nasofaring, yang diusulkan oleh Fujioka dkk, didefinisikan sebagai


rasio antara ketebalan adenoid (A) dengan nasofaring (N) dengan menggunakan
cavum x-ray. Di mana A adalah garis tepi anterior tulang basiooksipital yang tegak
lurus ke puncak tonsil faring (adenoid); dan N adalah jarak antara bagian
posterosuperior dari palatum durum dan tepi anterior dari sinkondrosis
sfenooksipital. Skema ini ditunjukkan oleh gambar 6 dan 7A. Adapun kategori
menurut Fujioka adalah:13

A/N ≤ 0,8 : normal A/N > 0,8 : pembesaran

Gambar 6. Skema adenoid-nasofaring menurut Fujioka dkk. A: adenoid, N:


nasofaring.

1. Persentase oklusi jalan napas

Persentase oklusi jalan napas yang diukur dengan lateral neck soft tissue
radiographs (LNXR), yang dinilai sebagai rasio tebal adenoid yang didefinisikan
oleh Johanneson dengan jarak dari tuberkel faring di basis cranii ke permukaan
superior dari palatum molle. Skema ini ditunjukkan oleh gambar 7D. Adapun
klasifikasi menurut persentase oklusi jalan napas, yang juga ditunjukkan oleh
gambar 8, adalah:10,14

Grade I: Besar adenoid kurang dari 25% dari jalan napas nasofaring Grade II:
Adenoid sebesar 25% hingga 50% dari jalan napas nasofaring Grade III: Adenoid
sebesar 50% hingga 75% dari jalan napas nasofaring Grade IV: Besar adenoid lebih
dari 75% jalan napas nasofaring.

Gambar 7. Metode untuk menilai pembesaran adenoid pada lateral neck


radiography A. Rasio adenoid dan nasofaring oleh Fujioka dkk B. Rasio jalan napas
dan palatum molle oleh Cohen dan Konak C. Ketebalan adenoid oleh Johannesson
D. Persentase oklusi jalan napas, diukur dari rasio ketebalan adenoid dan jarak
tuberkel faring-permukaan superior palatum molle.
Gambar 8. Foto sefalograf lateral pada 3 anak dengan mouth breathing kronis,
gambar menunjukkan perbedaan tingkatan obstruksi jalan napas yang dihubungkan
dengan ukuran adenoid. A. Grade I pada anak perempuan usia 12 tahun 3 bulan. B.
Grade II pada anak laki-laki usia 4 tahun 4 bulan. C. Grade III anak usia 4 tahun 9
bulan yang juga memiliki morfologi khas gigi dan long face syndrome.

1. Faring Superior

Faring superior, yang didefinisikan oleh McNamara (gambar 9), adalah jarak
terpendek (mm) antara satu titik pada batas superior palatum molle dan satu titik
pada tepi tonsil faring (adenoid). McNamara pun mengkategorikannya ke dalam
dua kategori jalan napas, yakni:21

Non obstructive : SP > 5 mm

Apparently obstructi e : SP ≤ 5 mm

Gambar 9. Skema faring superior menurut McNamara.

Foto cavum x-ray sering digunakan oleh ahli telinga, hidung, dan

tenggorokan, ketika ahli ortodonsia lebih sering menggunakan foto sefalometrik


lateral. Walaupun hal ini merupakan dua jenis foto yang berbeda, foto ini memiliki
tujuan yang sama, yaitu untuk mengevaluasi jalan napas nasofaring.

Namun penilaian ukuran adenoid dengan menggunakan foto polos lateral


dianggap kontroversial, bahkan manfaatnya untuk penentuan adenoidektomi pada
beberapa kasus juga dipertanyakan. Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh
Mlynarek dkk, menunjukkan bahwa persentase oklusi jalan napas yang
menggunakan foto lateral memiliki korelasi yang tinggi bila dihubungkan dengan
gejala klinis penderita. Bila seluruh sistem pengkategorian dibandingkan, metode
pengukuran dari McNamara memiliki kemampuan yang paling baik dalam hal
subyektivitas pemeriksa, dan dimungkinkan untuk tidak terjadi kesalahpahaman
antar pemeriksa. Meskipun demikian terdapat korelasi signifikan antara volume
adenoid absolut yang ditemukan pada saat pembedahan dengan skor obstruksi
nasal, dan hasil pemeriksaan radiologis. Bagaimanapun juga, metode sefalometrik,
dengan pengukuran adenoid dan lebar jalan napas post nasal yang hati-hati perlu
dilakukan, sesuai dengan pengalaman pemeriksa.

Pemeriksaan hipertrofi adenoid harus dilakukan dengan hati-hati.

Perubahan posisi pasien, seperti halnya tipe pernapasan pada saat pengambilan
foto, memiliki efek yang signifikan pada penampang jaringan lunak nasofaring,
seperti ditunjukkan oleh gambar 10. Oleh karena itu, foto dua dimensi dapat
menjadi sangat tidak akurat untuk mendeteksi pembesaran adenoid dan dapat
menyebabkan perbedaan pendapat antar pemeriksa.

Gambar 10. Foto polos leher lateral yang dilakukan pada anak yang sama dengan
gambar 7, namun dengan mulut terbuka. Tampak perbedaan penampang adenoid.
Gambar 11. MRI dan CT scan nasofaring. A. potongan axial MRI T1 pada nasofaring
B. potongan sagittal CT scan yang menunjukkan soft tissue shadow pada nasofaring

a. Endoskopi

Endoskopi cukup membantu dalam mendiagnosis hipertrofi adenoid, infeksi adenoid, dan
insufisiensi velopharyngeal (VPi), serta untuk menyingkirkan penyebab lain dari menurut
klasifikasi obstruksi nasal. Adapun ukuran adenoid Clemens et al, yang mana
adenoid grade diklasifikasikan I adalah ketika jaringan adenoid mengisi sepertiga dari
apertura nasal posterior bagian vertikal (choanae), grade II ketika mengisi sepertiga hingga
dua per tiga dari koana, grade III ketika mengisi dua per tiga hingga obstruksi koana yang
hampir lengkap dan grade IV adalah obstruksi koana sempurna.

Gambar 12. A. Gambaran endoskopi adenoid pada orang dewasa B.


Gambaran CT scan potongan aksial pada pasien yang sama, menunjukkan
adenoid yang kontak dengan konka inferior
SUMBER PUSTAKA :

1. Alex Mlynarek, Marc A. Tewfik, Abdulrahman Hagr. Lateral Neck


Radiography versus Direct Video Rhinoscopy in Assessing Adenoid Size.
The Journal of Otolaryngology. 2004;33:360–6.
2. Mariana de Aguiar Bulhões Galvão, Marco Antonio de Oliveira Almeida.
Comparison of two extraoral radiographic techniques used for
nasopharyngeal airway space evaluation. Dental Press J. Orthod. 2010;
15:2176–4
3. Karodpati N, Shinde V, Deogawkar S, Ghate G. Adenoid Hypertrophy in
Adults - A Myth or Reality. WebmedCentral
OTORHINOLARYNGOLOGY 2013;4(3):WMC004079
4. H. Ric Harnsberger et al. 2004. Diagnostic Imaging: Head and Neck 1st ed.
Utah: Amirsys Inc.
5. Nyildirim, M Sahan, Y Karslioglu. Adenoid Hypertrophy in Adults: Clinical
and Morphological Characteristics. The Journal of International Medical
Research. 2008; 36: 157–5

Anda mungkin juga menyukai