Anda di halaman 1dari 39

Hipertrofi

Adenoid
Disusun oleh:
Nurilma 09700063
Ni Made Oktavia Premani 09700167
Erlinda Krida R 09700252

Pembimbing
dr. Hendro Dwi Purwanto Sp. THT-KL

Adenoid

merupakan massa limfoid yang


berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang
sama dengan yang terdapat pada tonsil.
Adenoid terletak pada dinding posterior
nasofaring, berbatasan dengan kavum nasi
dan sinus paranasalis pada bagian anterior,
serta kompleks tuba Eustachius telinga
tengah kavum mastoid pada bagain lateral

Fungsi adenoid adalah bagian dari imunitas

tubuh. Adenoid merupakan jaringan limfoid


bersama dengan struktur lain dalam cincin
Waldeyer. Adenoid memproduksi IgA sebagai
bagian penting sistem pertahanan tubuh lini
terdepan dalam memproteksi tubuh dari
invasi mikroorganisme dan molekul asing

Akibat sumbatan koana pasien akan bernapas

melalui mulut sehingga terjadi


Fasies adenoid, yaitu tampak hidung kecil, gigi

insisivus ke depan (prominen), arkus faring


tinggi yang menyebabkan kesan wajah pasien
tampak seperti orang bodoh;
Faringitis dan bronkitis
Gangguan
ventilasi
dan
drainase
sinus
paranasal sehingga menimbulkan sinusitis
kronik.

Obstruksi

dapat mengganggu pernapasan


hidung dan menyebabkan perbedaan dalam
kualitas suara.
Akibat sumbatan tuba Eustachius akan terjadi
otitis media akut berulang dan akhirnya dapat
terjadi otitis media supuratif kronik.

Akibat

hipertrofi
adenoid
juga
dapat
menimbulkan retardasi mental, pertumbuhan
fisik berkurang, gangguan tidur dan tidur
ngorok.
Hipertrofi
adenoid
juga
dapat
menyebabkan beberapa perubahan dalam
struktur gigi dan maloklusi

Etiologi
Etiologi pembesaran adenoid dapat diringkas

menjadi 2, yaitu secara fisiologis dan faktor


infeksi.
Secara

fisiologis, adenoid akan mengalami


hipertrofi pada masa puncaknya, yaitu 3-7
tahun. Biasanya asimptomatik, namun jika
cukup membesar akan menimbulkan gejala.
Hipertrofi adenoid juga didapatkan pada anak
yang mengalami infeksi kronik atau rekuren
pada saluran pernapasan atas (ISPA). Hipertrofi
adenoid terjadi akibat adenoiditis yang
berulang kali antara usia 4-14 tahun

Patofisiologi
Balita

: jaringan limfoid cincin waldeyer


sangat kecil bertambah besar karena tonsil
dan adenoid memfagosit kuman-kuman
patogen sebagai aktivitas imun.
Oleh karena itu, hipertrofi dari jaringan
merupakan respon terhadap kolonisasi dari
flora normal itu sendiri dan mikroorganisme
patogen

Gejala klinis
Obstruksi Nasi
Sleep apnea
Facies adenoid
Efek pembesaran adenoid pada telinga

Diagnosis
Anamnesa
Pasien dengan hipertrofi adenoid biasanya
datang dengan keluhan rhinore, kualitas suara
yang berkurang (hiponasal), dan obstruksi nasal
berupa pernapasan lewat mulut yang kronis
(chronic mouth breathing), mendengkur, bisa
terjadi gangguan tidur (obstructive sleep
apnea), tuli konduktif (merupakan penyakit
sekunder otitis media rekuren atau efusi telinga
tengah yang persisten) dan facies adenoid.

Sebuah

penelitian
mengklasifikasikan
hipertrofi adenoid menurut gejalanya antara
lain sebagai berikut:
Mendengkur (grade 0 = tidak ada, grade 1 = 1

2 malam dalam seminggu, grade 2 = 35


malam dalam seminggu, dan grade 3 = 67
malam dalam seminggu),
Hidung tersumbat (chronic mouth breathing)
(grade 0 = tidak ada, grade 1 = hingga
hari, grade 2 = hingga hari, dan grade 3 =
hingga sehari penuh)

Sleep apnea (grade 0 = tidak ada, grade 1 = 12

malam dalam seminggu, grade 2 = 35 malam dalam


seminggu, dan grade 3 = 67 malam dalam
seminggu),
Otitis media (grade 0 = tidak ada, grade 1=13

episode per tahun, grade 2 = 46 episode per


tahun, dan grade3 = lebih dari 6 episode per
tahun), serta
Faringitis rekuren (grade 0 = tidak ada, grade 1
= 13 episode per tahun, grade 2 = 46 episode
per tahun, dan grade3 = lebih dari 6 episode per
tahun).

Pemeriksaan fisik
Langsung:
Dengan melihat trans oral langsung ke dalam
nasofaring setelah palatum molle di retraksi.
Dengan rhinoskopi anterior melihat gerakan keatas
palatum molle waktu mengucapkan "iiii" yang
terhambat oleh pembesaran adenoid, hal ini disebut
fenomena palatum molle yang negative.

Tidak langsung:
Dengan cermin dan lampu kepala melihat nasofaring
dari arah orofaring dinamakan rhinoskopi posterior.
Dengan nasofaringioskop, suatu alat seperti
scytoskop yang mempunyai sistem lensa dan prisma
dan lampu diujungnya, dimasukkan lewat cavum
nasi, seluruh nasofaring dapat dilihat.

Pemeriksaan penunjang
Foto polos. (Ukuran adenoid biasanya dideteksi
dengan menggunakan foto polos true lateral.
Hal ini memiliki kekurangan karena hanya
menggambarkan ukuran nasofaring dan massa
adenoid dua dimensi).

Terdapat beberapa metode untuk mengukur

besar adenoid, antara lain :


Ketebalan adenoid
Rasio jalan napas dan palatum molle
Rasio adenoid-nasofaring (rasio A/N)]
Presentasi oklusi jalan napas
Faring superior

Ketebalan adenoid
Ketebalan

adenoid,
seperti
yang
dideskripsikan oleh Johannesson, didefinisikan
sebagai jarak yang diukur (mm) tegak lurus
dari tuberkel faring di basis cranii ke puncak
adenoid. Skema ditunjukan pada gambar
dibawah ini :

Resiko jalan napas dan palatum


molle
Rasio jalan napas dan palatum molle, merupakan

perbandingan antara lebar kolom udara (AC) dan titik


kelengkungan tertinggi adenoid dan ketebalan
palatum molle (SfP; 10mm dibawah palatum durum
atau 5 mm pada anak < 3 tahun) dengan
menggunakan cavum x-ray.
Cohen dan Konak mengkategorikan adenoid ke
dalam kelompok berdasarkan perhitungan pada
skema yakni:
Kecil : AC/SfP 1,0
Medium :0,5 AC/SfP < 1,0
Besar : AC/SfP < 0,5

Rasio adenoid-nasofaring (rasio


A/N)
Rasio

adenoid nasofaring didefinisikan


sebagai rasio antara ketebalan adenoid (A)
dengan nasofaring (N) dengan menggunakan
cavum x ray, dimana A adalah garis tepi
anterior tulang basiooksipital yang tegak lurus
ke puncak tonsil faring (adenoid), dan N
adalah jarak antara bagian posterosuperior
dari palatum durum dan tepi anterior dari
sinkondrosis sfenooksipital.

Skema dibawah ini ditunjukan oleh gambar

dibawah ini menurut fujioka adalah :


A/N 0,8
A/N > 0,8

: Normal
: Pembesaran

Persentase oklusi jalan


napas
Persentase oklusi jalan napas

yang diukur
dengan lateral neck soft tissue radiographs
(LNXR), yang dinilai sebagai rasio tebal
adenoid yang didefinisikan oleh Johanneson
dengan jarak dari tuberkel faring di basis
cranii ke permukaan superior dari palatum
molle. Skema ini ditunjukkan oleh gambar 7D.

Adapun klasifikasi menurut persentase oklusi

jalan napas, yang juga ditunjukkan oleh


gambar dibawah ini, adalah:
Grade I: Besar adenoid kurang dari 25% dari

jalan napas nasofaring


Grade II: Adenoid sebesar 25% hingga 50% dari
jalan napas nasofaring
Grade III: Adenoid sebesar 50% hingga 75% dari
jalan napas nasofaring
Grade IV: Besar adenoid lebih dari 75% jalan
napas nasofaring.

Faring superior
Faring

superior, yang didefinisikan oleh


McNamara
(gambar
9),
adalah
jarak
terpendek (mm) antara satu titik pada batas
superior palatum molle dan satu titik pada
tepi tonsil faring (adenoid). McNamara pun
mengkategorikannya ke dalam dua kategori
jalan napas, yakni :
Non obstructive
: SP > 5mm
Apparently obstructive
: SP 5mm

Penegakka Diagnosis
1.

Anamnesa
Pasien

dengan hipertrofi adenoid biasanya


datang dengan keluhan rhinore, kualitas suara
yang berkurang (hiponasal), dan obstruksi nasal
berupa pernapasan lewat mulut yang kronis
(chronic mouth breathing), mendengkur, bisa
terjadi gangguan tidur (obstructive sleep
apnea), tuli konduktif (merupakan penyakit
sekunder otitis media rekuren atau efusi telinga
tengah yang persisten) dan facies adenoid.

2. Tanda dan gejala klinik


Bila hipertrofi adenoid berlangsung lama, akan

timbul wajah adenoid, yaitu pandangan kosong


dengan mulut terbuka. Biasanya langit-langit
cekung dan tinggi. Karena pernapasan melalui
hidung terganggu akibat sumbatan adenoid
pada koana, terjadi gangguan pendengaran dan
penderita sering beringus.

2. Pemeriksaan

rinoskopi anterior dengan


melihat tertahannya gerakan velum palatum
mole pada waktu fonasi. Pada pemeriksaan
tepi anterior adenoid yang hipertrofi terlihat
melalui lubang hidung bila sekat hidung
lurus
dan
konka
mengerut.
Dengan
meletakkan ganjal di antara deretan gigi
atas dan bawah, adenoid yang membesar
dapat diraba.

3. Pemeriksaan rinoskopi posterior (pada anak

biasanya sulit).
4. Pemeriksaan
nasoendoskopi
dapat
membantu untuk melihat ukuran adenoid
secara langsung.
5. Pemeriksaan radiologi dengan membuat foto
polos lateral kepala agar dapat melihat
pembesaran adenoid.

Rasio adenoid nasofaring diperoleh dengan

membagi ukuran adenoid dengan ukuran ruang


nasofaring, yaitu Rasio AN = A/N.
Dengan kriteria sebagai berikut :
Rasio adenoid nasofaring 0 0,52 : tidak ada

pembesaran
Rasio adenoid nasofaring 0,52 0,72 :
pembesaran sedang non obstruksi
Rasio adenoid nasofaring > 0,72 :
pembesaran dengan obstruksi

6. CT scan merupakan modalitas yang lebih

sensitif daripada foto polos untuk identifikasi


patologi jaringan lunak, tapi kekurangannya
karena biaya yang mahal

Tata laksana
Terapinya terdiri atas adenoidektomi untuk

adenoid
hipertrofi
yang
menyebabkan
obstruksi hidung, obstruksi tuba Eustachius,
atau yang menimbulkan penyulit lain. Operasi
dilakukan dengan alat khusus (adenotom).

Indikasi adenoidektomi :
Sumbatan
:
sumbatan
hidung
yang
menyebabkan bernapas melalui mulut, sleep
apnea,
gangguan
menelan,
gangguan
berbicara, kelainan bentuk wajah muka dan gigi
(adenoid face).
Infeksi : adenoiditis berulang/kronik, otitis
media efusi berulang/kronik, otitis media akut
berulang.
Kecurigaan neoplasma jinak/ganas

Kontra indikasi operasi


Kontraindikasi operasi adalah celah palatum

atau insufisiensi palatum karena operasi ini


dapat
mengakibatkan
rinolalia
aperta.
Kontraindikasi
relatif
berupa
gangguan
perdarahan, anemia, infeksi akut yang berat,
dan adanya penyakit berat lain yang
mendasari

Komplikasi
Komplikasi tindakan adenoidektomi adalah

perdarahan bila pengerokan adenoid kurang


bersih. Bila terlalu dalam menguretnya akan
terjadi kerusakan dinding belakang faring. Bila
kuretase terlalu ke lateral maka torus tubarius
akan rusak dan dapat mengakibatkan oklusi
tuba Eustachius dan akan timbul tuli konduktif

Prognosis
Adenotonsilektomi merupakan suatu tindakan

yang kuratif pada kebanyakan individu. Jika


pasien ditangani dengan baik diharapkan
dapat sembuh sempurna, kerusakan akibat
cor pulmonal tidak menetap dan sleep apnea
dan obstruksi jalan napas dapat diatasi

Terimakasih...

Anda mungkin juga menyukai