Anda di halaman 1dari 16

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kasus otitis eksterna diperkirakan sebesar 5-20% dari semua kasus


infeksi pada telinga1. Dimana prevalensi otomycosis mencapai 6% dari semua
pasien dengan gejala penyakit telinga dan juga sekitar 25% kasus otitis yang
disebabkan oleh agen infeksius. Lebih dari 21% dari semua kasus otitis
eksterna berasal jamur2. Data rumah sakit Sanglah pada tahun 2009
menunjukkan angka sebanyak 199 pasien3.
Otomikosis merupakan otitis eksterna yang disebabkan oleh jamur dan
digambarkan sebagai infeksi akut, subakut maupun kronik yang menginfeksi
epitel skuamosa pada kanalis auditorius eksternus dengan komplikasi yang
jarang melibatkan telinga tengah. Angka prevalen tinggi di daerah tropis dan
subtropis yang panas, lembab, dan berdebu. Walaupun melibatkan spektrum
luas dari jamur, tapi Aspergillus spp dan Candida sp merupakan penyebab
terbanyak2,4. Berdasarkan studi terhadap 95 pasien dengan diagnosis
otomikosis yang dilakukan di Departemen Otorhinolaryngology rumah sakit
LN dan Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Maulana Azad New
Delhi, sebanyak 71 sampel (74,7%) positif jamur. Patogen yang terbanyak
berupa Aspergillus fumigatus (41,1%), A. niger (36,9%), dan Candida
albicans (8,2%)4. Keluhan utama yang paling sering adalah sumbatan telinga,
dilaporkan sebesar 93,7% pasien. Keluhan lain berupa pruritus (71,5%),
otalgia (65,2%), discharge (50,5%), dan gangguan pendengaran (26,3%)2,4.
Otomikosis ditandai dengan gejala inflamasi pada telinga luar atau
telinga tengah, otorrhea persisten berwarna putih atau tidak berwarna dengan
perforasi tympanum, edema dan eritema di tympanic membrane residuum,
nyeri telinga, meningkatnya gangguan pendengaran, dan debris yang
keputihan, menyerupai kapas atau berminyak di dalam kanal auditori
eksternal, membran timpani, atau residual space. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa telinga tengah pasien immunocompetent dengan
inflamasi hiperplastik kronik (polypoid) harus dicurigai mengalami infeksi
2

dengan jamur patogen, disamping meningkatnya produksi dan jumlah dari


kolonisasi mucus. Dalam sebuah studi di Spanyol selama 1 tahun, C.
parapsilosis berkaitan dengan penyakit sebesar 42,9% dari 40 orang pasien
otomikosis, dimana memiliki faktor risiko diantaranya mandi di pantai (90%),
trauma (27,5%), dan pengobatan utama antimikrobial (40%). Dari tahun
1999-2000, tercatat 128 pasien otomikosis, dan C. parapsiposis dihitung lebih
dari setengah total jamur penyebab penyakit, dimana jumlahnya dua kali lipat
dibandingkan infeksi C. albicans. Sementara pasien otomikosis di Slovakia,
11 (27,5%) terinfeksi oleh C. parapsilosis, dan C. albicans tercatat 21
(52,5%). Antara tahun 1996-2003, 166 dari 1.242 anak-anak dengan otitis di
rumah sakit universitas di Wisconsin memiliki hasil kultur positif untuk
organisme fungal. Sebanyak 23,5% merupakan C. parapsilosis, sementara C.
albicans tercatat 43,4%. Perkembangan fungal otitis pada anak-anak
berhubungan dengan agen antibakteri oral dan ototopikal, dengan
peningkatan terbesar terlihat setelah penggunaan secara luas oflosaxin di
klinik5.
Pengobatan selama ini meliputi debridement lokal, penghentian
pemakaian antibiotik topikal dan anti jamur lokal atau sistemik6. Terdapat
hubungan antara infeksi jamur dan inflamasi kronik telinga, dimana pada
inflamasi seperti eritema, edema, dan desquamasi jaringan epitel meatal,
semua pasien yang dirawat dengan regimen antimikosis topikal sembuh.
Penggunaan agen antibakterial secara agresif seperti antibiotik quinolon
topikal di dalam telinga dapat merupakan faktor terjadinya infeksi jamur.
Walaupun sangat jarang mengancam nyawa, penyakit ini memerlukan waktu
yang lama dalam pengobatannya, terutama terjadi apabila infeksi sudah
meluas sampai ke membran timpani memerlukan waktu lebih dari 4 minggu 5.
Untuk itu harus selalu dilakukan follow up, terutama dalam hal menjaga
drainase dari saluran telinga agar tetap kering. Hal ini dapat mempengaruhi
dari tingkat kepatuhan pasien, sehingga berdampak pada rekurensi dan
komplikasi penyakit tersebut. Oleh karena itu diperlukan suatu pemahaman
yang lebih mendalam mengenai diagnosa dan metode pengobatan yang
efektif dalam penatalaksanaan penyakit otomikosis.
3

1.2 Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang dikaji dalam karya tulis ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana cara menegakkan diagnosis pada penyakit otomikosis?
2. Bagaimana penatalaksanaan yang tepat pada penyakit otomikosis?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai melalui penulisan karya ilmiah ini adalah antara
lain sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui cara menegakkan diagnosis pada penyakit otomikosis.
2. Untuk mengetahui penatalaksanaan yang tepat pada penyakit otomikosis.

1.4 Manfaat Penulisan

Hasil penulisan karya ilmiah ini diharapkan dapat memberikan manfaat


kepada berbagai pihak antara lain sebagai berikut:
1. Memberikan pengetahuan dan sumbangan pemikiran kepada kalangan
medis mengenai diagnosis penyakit otomikosis yang tepat dan dapat
memberikan pengobatan yang sesuai dalam penatalaksanaannya, sehingga
dapat mempercepat penyembuhan dan mencegah komplikasi.
2. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai penyakit otomikosis
dan diharapkan dapat melakukan pencegahan dan deteksi dini, sehingga
dapat dengan segera diberikan penanganan yang efektif.
4

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Diagnosis Penyakit Otomikosis

Diagnosis pada otomikosis harus dapat ditegakkan sejak dini.


Anamnesis dengan berdasar pada Sacred Seven dan Fundamental Four,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan di
laboratorium merupakan kunci dalam penegakan diagnosis. Oleh sebab itu
harus mengetahui dan memiliki pengetahuan dasar berikut ini.

2.1.1 Anatomi dan fisiologi telinga luar


Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran
timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga
berbentuk huruf S, dan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar,
sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang, dengan
panjang 2,5-3 cm. Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat
banyak kelenjar serumen (modifikasi kelenjar keringat) dan rambut. Kelenjar
keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian
dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen. Serumen memiliki sifat
antimikotik dan bakteriostatik dan juga repellant terhadap serangga1.
Serumen terdiri dari lemak (46-73%), protein, asam amino, ion-ion
mineral, dan juga mengandung lisozim, immunoglobulin, dan dan asam
lemak tak jenuh rantai ganda. Asam lemak ini menyebabkan kulit yang tak
mudah rapuh sehingga menginhibisi pertumbuhan bakteri. Oleh karena
komposisi hidrofobiknya, serumen dapat membuat permukaan kanal menjadi
impermeable, kemudian mencegah terjadinya maserasi dan kerusakan epitel1.

2.1.2 Gambaran umum


Otomikosis merupakan infeksi jamur pada squamous epithelium di
kanal auditori eksternal dengan komplikasi, dapat berupa infeksi akut,
subakut, atau kronik7,8,1,9. Walaupun jarang mengancam jiwa, proses
penyakitnya memerlukan pengobatan yang lama dan memerlukan follow-up,
dan rekurensinya cukup tinggi. Otomikosis adalah satu dari gejala umum
5

yang sering dijumpai pada klinik-klinik THT dan prevalensinya mencapai 9%


dari keseluruhan pasien yang menunjukkan gejala dan tanda otitis eksterna 8.
Angka prevalensinya cukup tinggi di daerah tropis dan subtropis, dimana
areanya panas, kelembaban tinggi, dan berdebu7,4.

Gambar 1. Gambaran klinis otomikosis8.

2.1.3 Etiologi
Terdapat perbedaan pendapat bahwa jamur sebagai penyebab infeksi,
pendapat lain menyatakan adanya koloni berbagai macam spesies sebagai
respon host yang immunocompromise terhadap infeksi bakteri. Namun hasil
studi laboratorium dan pengamatan secara klinis mendukung otomikosis
sebagai penyebab patologis yang sebenarnya, dengan Candida dan
Aspergillus sebagai spesies jamur yang terbanyak diperoleh dari
isolasinya7,8,1,4. Hanya Aspergillus niger organisme yang dapat diidentifikasi
dengan tepat sesuai dengan karakteristiknya yaitu whitish, material
menyerupai kapas terdiri dari hyphae jamur dan conidiophores kehitaman6.
Infeksi Candida lebih sulit untuk diidentifikasi secara klinis karena tidak jelas
tampilan karakterisktiknya, dapat muncul sebagai otorrhea yang tidak
berespon terhadap aural antimicrobial6.
6

Gambar 2. Otomikosis diakibatkan oleh Aspergillus6.

Banyak faktor yang dikemukakan sebagai predisposisi terjadinya


otomikosis, termasuk cuaca yang lembab, perubahan lualitatif dan kuantitatif
serumen, instrumentasi pada telinga, perubahan pH, dan status pasien yang
immunocompromised8,10. Peningkatan pemakaian preparat steroid, antibiotik
topikal untuk pengobatan otitis media dan otitis eksterna, penggunaan
antibiotik spektrum luas yang lama seperti quinolone dikaitkan dengan
peningkatan prevalensi otomikosis7,8. Serumen memiliki pH antara 4-5 yang
berfungsi menekan pertumbuhan bakteri dan jamur. Olah raga air misalnya
berenang dan berselancar sering dihubungkan dengan keadaan ini oleh karena
paparan ulang dengan air yang menyebabkan keluarnya serumen, dan
keringnya kanalis auditorius eksternus, kebiasaan membersihkan telinga
menggunakan korek api dan menambahkan minyak atau asam lemak di
telinga8,4.
Berdasarkan studi yang dilakukan di Departemen Otorhinolaryngology
rumah sakit LN dan Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Maulana
Azad New Delhi, bahwa otomikosis lebih sering terjadi pada laki-laki,
dimana sesuai dengan penemuan peneliti di negara lain. Hal ini disebabkan
karena laki-laki muda secara umum menghabiskan waktu di luar ruangan.
Diketahui bahwa udara di luar ruangan merupakan vektor penting dalam
prevalen flora jamur4.
7

2.1.4 Patofisiologi
Flora normal atau komensal ditemukan di dalam kanalis auditori
eksternus, terdiri dari berbagai mikroorganisme. Jenisnya berupa berbagai
bakteri yaitu: Staphylococcus epidermidis, Corynebacterium spp, Bacillus
spp, Gram-positive cocci (Staphylococcus aureus. Streptococcus spp, non-
pathogenic micrococci), Gram-negative bacilli (Pseudomonas aeruginosa,
Escherichia coli, Haemophilus influenzae, Moraxella cararralis etc) dan
jamur dari jenis genus Aspergillus atau Candida. Flora komensal ini tidak
bersifat pathogen selama keseimbangan antara bakteri dan jamur terjaga1.
Berbagai faktor mempengaruhi perubahan jamur saprofit menjadi jamur
pathogen, tetapi tidak sepenuhnya dipahami. Faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya infeksi jamur adalah dengan turunnya resistensi dari
meatus eksternus dan faktor-faktor yang mendukung pertumbuhan jamur,
yaitu: (1)perubahan epitel, akibat penyakit dermatologi atau mikrotrauma,
(2)peningkatan pH level di kanalis auditori eksternus, akibat mandi,
penggunaan antibiotik topikal, (3)faktor sistemik, akibat gangguan imunitas,
kortikosteroid, antibiotik, neoplasia, (4) faktor lingkungan, peningkatan suhu
dan kelembaban, (5)riwayat bacterial otomicosis, chronic secretory otitis
media (CSOM), postsurgical rongga mastoid1.

2.1.5 Gejala dan tanda


Gejalanya dapat berupa pruritus, otorrhea, otalgia, sumbatan, tinnitus,
gatal, gangguan pendengaran, dan adanya debris jamur pada telinga luar 2,6,4.
Gejala yang paling sering adalah sumbatan telinga, diikuti oleh otalgia.
Deposit dari debris jamur akan mengakibatkan sumbatan, selanjutnya dapat
menyebabkan nyeri. Gejala tersebut tidak spesifik untuk infeksi jamur4.

Dengan melakukan pemeriksaan fisik berupa inspeksi pada saluran


telinga menunjukkan conidiophores, yang merupakan spora aspergilli. Jika
jamur muncul sebagai mycelium, hyphae akan melekat pada debris dan
mungkin tidak dapat diambil dengan melakukan swab4. Selain itu juga dari
pemeriksaan fisik menunjukkan tumpukan berwarna putih, abu, hitam, atau
8

debris menyerupai krim keju pada meatus auditori eksternus yang kadang-
kadang menyebabkan inflamasi2.

Tabel 1. Gejala yang paling sering muncul8.

2.1.6 Pemeriksaan laboratorium


Prosedur aseptik dilakukan untuk mengambil debris ataupun sampel
dari telinga luar, dengan swab steril, forceps steril, atau menggunakan jarum
suntik dengan saline steril. Pemeriksaan 10% KOH dengan direct
microscopic dilakukan untuk menentukan ada atau tidak elemen jamur
(hyphae, spora, dan blastospora). Spesimen juga dikultur dalam 2 jenis
media: Sabouraud’s Dextrose agar (SDA) dan SDA dengan chloramphenicol
(0,05mg/ml). Masing-masing media diinkubasi pada suhu 25 o dan 37o. Media
diperiksa untuk melihat pertumbuhan jamur selama 1 minggu, paling lama 4
minggu, sampai tidak ditemukan suatu pertumbuhan. Isolasi jamur
diidentifikasi berdasarkan morfologi koloni, lactophenol cotton blue wet-
mount microscopy, dan kultur slide sesuai standar prosedur. Germ-tube
testing dan morfologi cornmeal dilakukan untuk identifikasi akurat pada
Candida spp4.

2.1.7 Diagnosis banding


Otomikosis dapat didiagnosa banding dengan otitis eksterna yang
disebabkan oleh bakteri, kemudian dengan dermatitis pada liang telinga yang
sering memberikan gejala-gejala yang sama.
9

2.2 Penatalaksanaan Penyakit Otomikosis

2.2.1 Penatalaksanaan
Hal yang penting dalam penatalaksanaan otomikosis yang tepat adalah
pengobatan disesuaikan identifikasi agen penyebabnya. Banyak agen telah
direkomendasikan untuk mengobati otomikosis. Pengobatan dengan agen
antifungal tidak cukup sebagai pengobatan secara menyeluruh. Pengobatan
harus ditujukan untuk mengembalikan fisiologis dari kanal auditori
eksternal1.
Sampai saat ini ada 4 kelas utama obat untuk pengobatan infeksi jamur:
polyene, triazole, nucleoside analogue, dan echinocandin. Golongan polyene
diantaranya amphotericin B dan nystatin. Golongan triazole atau disebut
azole yaitu: fluconazole, clotrimazole, miconazole. Mekanisme aksi dari
polyene dan azole melibatkan komponen kimia esensial disebut ergosterol
yang terdapat pada membrane sel jamur. Hal ini akan mengakibatkan ion-ion
(khususnya K+ dan H+) dan molekul lainnya keluar dari sel dan menyebabkan
kematian jamur. Nucleoside analogue seperti flucytosine bekerja dengan
menghalangi sintesis nucleotide (yang merupakan kunci dalam produksi
energi sel, metabolism, dan persinyalan). Golongan echinocandin memiliki
mekanisme aksi dengan mengganggu biosintesis dinding sel. Penggunaannya
dalam pengobatan otomikosis belum dilaporkan7.
Dengan menggunakan 4% larutan boric acid dalam alkohol dan
melakukan suction secara berulang dan teratur telah digunakan untuk
mengobati otomikosis, tapi 23% pasien mengalami kekambuhan 2. Larutan
antifungal, seperti clotrimazole atau nystatin, terbukti efektif terhadap infeksi
Candida tapi tidak terhadap Aspergillus. Infeksi Aspergillus terbukti sulit
untuk diobati, direkomendasikan dengan penggunaan oral itraconazole.
Beberapa studi menyebutkan bahwa Aspergillus merupakan agen etiologi
yang paling sering untuk otitis eksterna akibat jamur 2. Agen terapeutik selalu
digunakan dengan local debridement di telinga terhadap elemen jamur yang
terlihat pada kanalis auditory eksternus.
10

Sampai saat ini tidak ada bukti FDA berupa penggunaan ototopikal
antifungal dalam pengobatan otomikosis. Banyak agen dengan beragam jenis
antimikosis telah digunakan, dan dokter berusaha keras untuk
mengidentifikasi agen yang paling efektif untuk mengobati penyakit ini.
Agen antifungal biasanya dipakai dalam periode tertentu, sampai ditemukan
obat yang efek samping minimal atau obat baru muncul7.

Tabel 2. Deskripsi agen penyebab yang sering dan pengobatannya7.

Azole merupakan agen sintetis yang menurunkan konsentrasi


ergosterol, yang merupakan sterol esensial pada membran sitoplasmik
normal. Itu merupakan 1 golongan dari 5 kelompok gabungan cincin nitrogen
11

heterocyclic, terdiri dari paling sedikit 1 atom nonkarbon, nitrogen, sulfur,


atau oksigen. Clotrimazole adalah topikal azole yang paling luas
penggunaannya. Clotrimazole paling efektif untuk pengobatan otomikosis,
dengan kisaran rata-rata keefektifan 95-100% pada sebagian besar studi,
dengan perkecualian 1 studi melaporkan rata-rata keberhasilan yang rendah
sebesar 50%. Clotrimazole mempunyai efek antibakterial, dan ini merupakan
keunggulan ketika mengobati infeksi campuran bakteri-jamur. Selain itu juga
clotrimazole tidak memiliki efek toksik. Tidak ada laporan bukti klinis
mengenai ototoksik clotrimazole. Clotrimazole tersedia dalam bentuk bubuk,
lotion, dan larutan7.
Ketoconazole dan fluconazole adalah agen antifungal azole yang
memiliki aktivitas spektrum luas. Golongan komponen kimia ini efektif
dalam mengobati agen etiologi yang paling sering pada otomikosis.
Ketoconazole menunjukkan keberhasilan 95-100% in vitro terhadap
Aspergillus dan Candida albicans. Tersedia dalam bentuk krim 2%. Topikal
fluconazole menunjukkan keberhasilan sebesar 90% kasus. Suspensi
fluconazole tersedia dalam 350 mg dan 1400 mg. Miconazole krim 2% juga
menunjukkan angka keberhasilan sebesar 90%7. Dapat diberikan penambahan
cresylate secara topikal, 3 kali sehari. Tidak digunakan apabila terdapat
perforasi tympanic membrane (TM)8.
Nystatin adalah polyene macrolide antibiotik yang menghambat sintesis
sterol di dalam membran sitoplasma. Banyak jenis jamur yang sensitif
terhadap nystatin, termasuk spesies Candida. Keunggulan utama nystatin
adalah tidak diserap melalui kulit yang utuh. Nystatin tidak tersedia dalam
preparat otic, tapi sebagai preparat larutan atau suspensi untuk pengobatan
otomikosis. Nystatin dapat diberikan sebagai krim, salep, atau bubuk. Angka
keberhasilannya 50-80%. Amhotericin B termasuk golongan polyene. Obat ini
telah digantikan dengan agen yang lebih aman, dalam sebagian besar kasus
masih digunakan untuk infeksi jamur yang mengancam nyawa walaupun efek
sampingnya. Nong pada tahun 1999 melaporkan bahwa Aspergillus dan
Candida albicans sensitif terhadap penggunaan ampothericin B yang
ditunjukkan oleh antifungal susceptibility test7.
12

Tabel 3. Angka keberhasilan pengobatan otomikosis7.


13

5-Fluorocytocine (disebut juga flucytosine) bekerja dengan melakukan


penetrasi sel jamur dan diubah menjadi fluorouracil, yang berkompetisi
dengan uracil dan mengganggu sintesis protein dan RNA jamur7.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penggunaan anti jamur tidak
secara sempurna mengobati proses dari otomikosis ini, oleh karena agen di
atas tidak menunjukkan keefektifan untuk mencegah otomikosis ini kambuh
kembali. Hal ini penting bahwa pengobatan otomikosis selain memberikan
anti jamur topikal, juga harus dipahami fisiologi dari kanalis auditorius
eksternus, yakni dengan tidak melakukan manuver-manuver pada daerah
tersebut, mengurangi paparan dengan air agar tidak menambah kelembaban,
mendapatkan terapi yang adekuat ketika menderita otitis media, juga
menghindari situasi apapun yang dapat mengubah homeostasis lokal. Apabila
dijalankan dengan baik, maka akan memberikan kesembuhan dari penyakit
ini2.

2.2.2 Komplikasi
Komplikasi dari otomikosis yang pernah dilaporkan adalah perforasi
dari membran timpani dan otitis media serosa, tetapi hal tersebut sangat
jarang terjadi, dan cenderung sembuh dengan pengobatan. Patofisiologi dari
perforasi membran timpani mungkin berhubungan dengan nekrosis avaskular
dari membran timpani sebagai akibat dari trombosis pada pembuluh darah8,6.
Angka insiden terjadinya perforasi membran yang dilaporkan dari berbagai
penelitian berkisar antara 12-16% dari seluruh kasus otomikosis. Tidak
terdapat gejala dini untuk memprediksi terjadinya perforasi tersebut.
Keterlibatan membran timpani sepertinya merupakan konsekuensi inokulasi
jamur pada aspek medial dari telinga luar ataupun merupakan ekstensi
langsung infeksi tersebut dari kulit sekitarnya8.

2.2.3 Prognosis
Umumnya baik bila diobati dengan pengobatan yang adekuat. Pada saat
terapi dengan anti jamur dimulai, maka akan dimulai suatu proses resolusi
(penyembuhan) yang baik secara imunologi. Risiko kekambuhan sangat
14

tinggi jika faktor yang menyebabkan infeksi sebenarnya tidak dikoreksi dan
fisiologi lingkungan normal dari kanalis auditorius eksternus masih
terganggu.
15

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari hasil pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai
berikut:
1. Cara menegakkan diagnosis pada penyakit otomikosis adalah dengan cara
mengetahui terlebih dahulu mengenai anatomi dan fisiologi telinga,
gambaran umum otomikosis, etiologi, patofisiologi, gejala dan tanda dari
pasien, baik dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Untuk
lebih memastikan diagnosis kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan
laboratorium.
2. Penataksanaan yang tepat pada penyakit otomikosis adalah pengobatan
yang disesuaikan identifikasi agen penyebabnya dan menjaga fisiologis
dari kanalis auditori eksternus.

3.2 Saran

1. Penulisan yang diangkat dalam karya ilmiah ini masih memerlukan


pengkajian yang lebih mendalam sehingga dapat melakukan pencegahan
dan deteksi dini, dan dapat dengan segera diberikan penanganan yang
efektif.
16

DAFTAR PUSTAKA

1. Gutiérrez P. Hueso, Álvarez S. Jiménez, Gil-Carcedo Sañudo E., Gil-Carcedo


García L.M., Sánchez C. Ramos, VallejoValdezate L.A. Presumed Diagnosis:
Otomycosis. A Study of 451 Patients. Acta Otorrinolaringol Esp
2005;56:181-186.
2. Kiakojuri Kayvan, Hasanjani Roushan Mohammad Reza, Asghar Sepidgar
Seyed Ali. Suction Clearance and 2% Topical Miconazole Versus the Same
Cobination with Acidic Drops in the Treatment Otomycosis. Southeast Asian
J Trop Med Public Health 2007 Jul;38(4):749-753.
3. Buku Registrasi Pasien di Poliklinik THT Sanglah tahun 2009.
4. Kaur Ravinder, Mittal Nalini, kakkar Manish, Aggarwal Arun Kumar, mathur
Maheshwar Dayal. Otomycosi: A Clinicomicologic Study. Ear, Nose
&Throat Journal 2000 Aug;79(8):606-609.
5. Trofa David, Ga´cser Attila, Nosanchuk Joshua D. Candida parapsilosis, An
Emerging Fungal Pathogen. Clin Microbiol Rev 2008 Oct;21(4):606-625.
6. Rutt Amy L., Sataloff Robert T. Aspergillus Otomycosis in An
Immunocompromised Patient. Ear, Nose & Throat Journal 2008
Nov;87(11):622-623.
7. Munguia Raymundo, Daniel Sam J. Ototopical antifungals and otomycosis: A
review. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology 2008;72:453-
459.
8. Ho Tang, Vrabec Jeffrey T., Yoo Donald, Coker Newton J. Otomycosis:
Clinical Features and Treatment Implications. Otolaryngology-Head and
Neck Surgery 2006;135:787-791.
9. Jadhav Vijay J., Mishra G.S. Etiological Significance of Candida albicans in
Otitis Externa. Mycopathologia 2003 Dec;156(4):313-315.
10. Silva Pontes Zélia Braz Vieira da, Ferreira Silva Anna Débora, Oliveira Lima
Edeltrudes de, Holanda Guerra Márcio de, Cavalcanti Oliveira Neuza Maria,
Fátima Farias Peixoto Carvalho Maria de, et al. Otomycosis: a Retrospective
Study. Braz J Otorhinolaryngol 2009;75(3):367-70.

Anda mungkin juga menyukai