Anda di halaman 1dari 12

ESOFAGITIS

Refluks esofagitis merupakan kerusakan mukosa esofagus yang diakibatkan oleh refluks cairan
lambung ke dalam esofagus. Refluks esofagitis ini bisa murni akibat gangguan secara fungsional
tanpa adanya kelainan lain. Bisa juga akibat adanya gangguan structural yang terdapat pada
esofagus maupun gaster yang mempengaruhi penutupan sfingter esophagus bawah (SEB), seperti
kelainan anatomi kongenital, tumor, komplikasi operasi, tertelan zat korosif dan lain-lain.
Refluks esofagitis adalah inflamasi mukosa esofagus akibat refluks. Penyakit ini merupakan
penyebab lazim gejala saluran cerna bagian atas, yakni heartburn dan regurgitasi. Perkembangan
refluks esofagitis menggambarkan ketidakseimbangan antara mekanisme anti refluks esofagus
dengan kondisi lambung. Anamnesis adalah faktor tunggal yang sangat berguna dalam diagnosis
refluks esofagitis. Pemeriksaan khusus hendaknya dilakukan bila gejala tidak spesifik atau tetap
muncul setelah diterapi. Tujuan terapi adalah mengendalikan gejala dan menyembuhkan
kerusakan mukosa. Sangatlah berguna untuk mempertimbangkan terapi dalam tiga tahap:
perubahan gaya hidup, medikamentosa dan pembedahan. Komplikasi lokal utama refluks
esofagitis adalah perdarahan, ulkus, formasi striktur dan terbentuknya epithelium Barrett (epitel
kolumner).
Refluks esofagitis sering dijumpai dalam kehidupan masyarakat sehari-hari; sekitar 36% dari
populasi pernah mengalami sedikitnya satu serangan dalam satu bulan dan 7% diantaranya
mengeluhkan tiap hari. Refluks esofagitis mempunyai implikasi klinis yang cukup penting
karena kronisitas gejala yang ditimbulkan serta beragamnya komplikasi yang dapat muncul.
Etiologi
Penyakit refluks gastroesofagus disebabkan oleh proses yang multifaktor. Pada orang dewasa
faktor-faktor yang menurunkan tekanan sfingter esofagus bawah
sehingga terjadi refluks gastroesofagus antara lain coklat, obat-obatan (misalnya
aspirin), alkohol, rokok, kehamilan. Faktor anatomi seperti tindakan bedah, obesitas,
pengosongan lambung yang terlambat dapat menyebabkan hipotensi sfingter esofagus bawah
sehingga menimbulkan refluks gastroesofagus.

Patofisiologi
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya,
dan hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus
bawah dalam keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan intraabdominal sehingga terbentuk rongga diantara esofagus dan lambung. Isi lambung
mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika isi lambung mencapai
esofagus bagian proksimal dan sfingter esofagus atas berkontraksi, maka isi
lambung tersebut tetap berada di esofagus dan peristaltik akan mengembalikannya
ke dalam lambung. Jika sfingter esofagus atas relaksasi sebagai respon terhadap
distensi esofagus maka isi lambung akan masuk ke faring, laring, mulut atau
nasofaring.

Manifestasi klinis
Manifestasi Klinis Mayoritas pasien berjenis kelamin laki-laki, biasanya dengan satu atau lebih
gejala klinis antara lain muntah, regurgitasi, nausea, nyeri dada atau epigastrium, nafsu makan
menurun, dapat juga terjadi gagal tumbuh, hematemesis, dismotilitas esofagus dan disfagia.
Gejala dapat lebih sering dan berat pada beberapa pasien sedangkan pada pasien yang lain gejala
lebih ringan. Umumnya pasien mengalami disfagia tiap hari atau nausea kronik atau regurgitasi
sementara yang lain mungkin memiliki disfagia episode jarang. Sekitar lebih 50% pasien dengan
gejala tambahan alergi seperti asma, eksema atau rhinitis, dan lebih 50% pasien memiliki orang.
Gejala klinis Mirip gejala GERD Muntah, regurgitasi

Nyeri dada dan epigastrium Disfagia

Gejala berbeda pada anak dan remaja Sering gejala intermitten Laki-laki>perempuan
Berhubungan dengan tanda dan gejala (>50% pasien) Bronkospasme Eksema Rhinitis alergi
Riwayat keluarga (35-45% pasien) Alergi makanan
Pemeriksaan penunjang
Untuk menegakkan diagnosis, selain berdasarkan hasil anamnesis serta gambaran keluhan dan
gejala seperti yang diuraikan di atas juga diperlukan pemeriksaan penunjang, seperti
pemeriksaan laboratorium, radiologik, esofagoskopi.

Pemeriksaan laboratorium
Peranan pemeriksaan laboratorium sangat sedikit, kecuali bila terdapat tanda-tanda gangguan
elektrolit, diperlukan pemeriksaan elektrolit darah.
Pemeriksaan radiologik
Foto Rontgen toraks postero-anterior dan lateral perlu dilakukan mendeteksi adanya mediastinitis
atau aspirasi pneumonia.Pemeriksaan Rontgen esofagus dengan kontras barium (esofagogram)
tidak banyak menunjukkan kelainan pada stadium akut. Esofagus mungkin terlihat normal. Jika
ada kecurigaan akan adanya perforasi akut esofagus atau lambung serta rupture esofagus akibat
trauma tindakan, esofagogram perlu dibuat. Esofagogram perlu dibuat setelah minggu kedua
untuk melihat ada tidaknya striktur esofagus dan dapat diulang setelah 2 bulan dievaluasi. Pada
kasus esofagitis korosif zat asam, penelitian telah dilakukan oleh Muhletaler dan didapatkan
hasil 6-50% penderita memperlihatkan adanya striktur sebagian lain memperlihatkan edema dan
ulserasi mukosa esophagus dengan atau tanpa pendarahan esophagus pada rontgen esofagogram.
Pemeriksaan esofagoskopi
Esofagoskopi diperlukan untuk melihat adanya luka bakar di esofagus. Pada esogoskopi akan
tampak mukosa yang hiperemis, edema dan kadang-kadang ditemukan ulkus. Esofagoskopi
sendiri akan membuat dokter lebih pasti dalam menegakkan diagnosis dan membuat perencanaan
pengobatan sesuai dengan patologi yang ada.

penatalaksanaan
Penatalaksanaan Terapi diet Beberapa cara terapi diet dan terapi obat tergantung kepada
gambaran penyakit. Penghentian makanan penyebab alergi telah terbukti berhasil menghilangkan
gejala dan kelainan histologist pada pasien eosinofilik esofagitis. Eliminasi makanan penyebab
dapat dilakukan mengikuti beberapa cara. Pertama, dengan mengeliminasi makanan spesifik
melalui uji khusus alergen yaitu skin prick dan patch test untuk mengidentifikasi makanan
penyebab alergi dan riwayat alergi makanan, selanjutnya menghentikan paparan

makanan

tersebut. Kedua, penghentian makanan secara empiris yaitu jenis makanan yang paling sering
menimbulkan alergi. Ketiga, dengan menggunakan diet elemental yaitu formula asam amino
(Neocate) terdiri dari asam amino bebas, sirup jagung dan minyak medium chain triglyceride
tanpa diberikan makanan yang lain. Penghentian secara empiris antigenik makanan juga telah

dicoba dan berhasil. Studi oleh Kawalwalla,dkk dikutip Furuta dkk9, membandingkan efektifitas
penghentian 6 makanan yang paling disuka oleh pasien eosinofilik esofagitis dengan
menggunakan formula asam amino tanpa diberikan makanan yang lain. Keenam makanan yang
paling dianggap antigenik untuk eosinofilik esofagitis adalah susu, kedelai, kacang-kacangan,
telur, gandum, ikan/kerang. Eliminasi 6 makanan ini dapat memperbaiki gejala klinis dan
kelainan histologi pada 74% pasien eosinofilik esofagitis pada anak. Pemberian kembali susu
adalah penyebab paling umum kambuhnya eosinofilik esofagitis diikuti gandum, telur dan
kedelai. Pada anak, susu 18 kali lebih mungkin menjadi pencetus eosinofilik esofagitis.13 Diet
formula asam amino yang digunakan secara statistik signifikan lebih baik dibanding penghentian
6 makanan secara empiris memperbaiki gejala klinis dan gambaran histologi esophagus. Pada
diet formula asam amino terjadi perbaikan secara klinis dan histologis pada 92-98% pasien,
sedangkan pada penghentian 6 jenis makanan terjadi perbaikan 74% pasien.

Penggunaan

formula asam amino dimana pasien diperbolehkan hanya minum air saat menelan formula asam
amino sampai perbaikan secara klinis dan histologis normal, kemudian setiap jenis makanan
secara bertahap kembali diberikan setiap 5-6 hari. Endoskopi dilakukan setelah pemberian 4-5
jenis makanan baru dan 3-4 minggu setelah makanan terakhir diberikan. Perbaikan klinis dan
histologi dengan terapi diet ini terjadi pada >95% pasien dan tidak ditemukan penurunan berat
badan, gangguan elektrolit dan perubahan parameter pertumbuhan yang signifikan pada pasien
yang menjalani terapi diet.Ini membutuhkan kerjasama tim yang terdiri dari ahli
gastroenterologi, alergi, gizi yang memastikan pasien mendapatkan kalori, cairan dan nutrisi
lainnya sesuai kebutuhan dan motivasi yang tinggi dari pasien dan keluarga.
Terapi farmakologis Kortikosteroid adalah pengobatan yang efektif untuk eosinofilik esofagitis.
Tetapi gejala klinis dan histologis eosinofil kembali berulang setelah obat dihentikan. Terapi
kortikosteroid sistemik jangka lama tidak dianggap terapi ideal karena efek samping yang
ditimbulkannya. Kortikosteroid oral jangka pendek dapat diberikan pada pasien dengan striktura
esofagus atau esofagus sempit, penurunan berat badan atau ketidakmampuan menelan
makanan/cairan. Prednison dosis 1-2 mg/kgbb/hari maksimum 60 mg/hari dapat diberikan.14
Perbaikan secara klinis dan histologis terjadi pada 90% pasien yang menggunakan kortikosteroid
sistemik dan rekuren 95% jika terapi telah dihentikan.16 Flutikason propionate adalah steroid
topikal hirup yang sering digunakan untuk terapi asma, juga telah digunakan untuk terapi

eosinofilik esofagitis. Flutikason aerosol semprot ditelan bukannya dihirup. Sebelum pemakaian
topikal steroid pasien tidak makan dan minum selama 20-30 menit setelah pemakaian obat.
Setelah terapi 6-8 minggu dilakukan endoskopi dan pemeriksaan histologis ulang, jika
didapatkan perbaikan dosis diturunkan sampai dosis efektif terendah.16 Pemakaian dosis tinggi
mencapai remisi histologis pada lebih dari 50% pasien, tapi penyakit kambuh setelah
penghentian pada mayoritas pasien. Efek samping antara lain kandidiasis esofagus, epistaksis
dan mulut kering. Efek jangka panjang terhadap pertumbuhan tulang, fibrosis belum diketahui.
Dosis yang dianjurkan 110 g per semprot (ditelan) untuk anak usia 10 tahun dan 220 g per
semprot untuk usia 11 tahun empat kali sehari diberikan selama 4 minggu.14,17,18 Penelitian
Schaeefer dkk, mendapatkan prednison oral dan fluticason topikal sama efektif mencapai
perbaikan secara klinis maupun histologis dan terjadinya relaps tidak ada perbedaan bermakna
secara statistik.18

Budesonide yang biasanya untuk terapi pada asma juga telah digunakan

untuk eosinofilik esofagitis dengan dosis 1 mg/hari pada anak usia <10 tahun dan 2 mg/hari
untuk usia >10 tahun. Budesonide yang digunakan berupa budesonide kental yang dibuat dengan
mencampurkan 0,5 mg budesonide respul (0,5 mg/2 ml) dengan 5 bungkus sucralose
(Splenda).Terapi tambahan yang telah diteliti adalah antagonis reseptor leukotrine (Montelukast)
dan monoklonal antibodi. Walaupun terapi reseptor leukotrine telah menunjukkan perbaikan
gejala klinis tetapi tidak secara histologis. Dosis awal 10 mg sekali sehari oral dosis ditingkatkan
sampai 100 mg/hari, bila gejala berkurang dosis diturunkan bertahap sampai dosis pemeliharaan
20-40 mg/hari. Dari penelitian gejala kembali muncul setelah penghentian terapi. Terapi
monoklonal antibodi penghambat IL-5 saat ini sedang dievaluasi. Penelitian terbaru pasien yang
mendapat anti IL-5 intravena yaitu Mepolizumab (10 mg/kgbb i.v 3 dosis dengan interval 4
minggu) menunjukkan perbaikan gejala dan eosinofilia esofagus secara signifikan dalam 4
minggu setelah dosis pertama.5 Terapi supresi asam bukanlah terapi untuk eosinoflik esofagitis,
tetapi penting untuk eosinofilik esofagitis. Pasien awalnya diberikan proton pump inhibitor (PPI)
untuk memastikan tidak adanya refluks esophageal. Mayoritas Gastroenterologist percaya jumlah
eosinofil esofagus tinggi pada eosinofilik esofagitis, penelitian yang dilakukan oleh Ngo dikutip
Franciosi14 mendapatkan sejumlah eosinofil dapat ditemukan pada pasien GERD. Telah
dilaporkan perbaikan gejala klinis setelah diberikan proton pump inhibitor walaupun tidak ada
perbaikan histologi jaringan. Dosis PPI yang dianjurkan pada anak 1-2 mg/kgbb/hari dengan
dosis maksimum mencapai dosis untuk dewasa.20

Respon klinis ini diduga refluks

gastroesofageal sekunder atau dismotilitas esophagus dapat terjadi pada pasien eosinofilik
esophagitis

aluani, AK. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and Neck
Surgery. United State of America : The McGraw-Hill Companies Inc. 2008. 486
Rothenberg ME. Biology and treatment of eosinophilic esophagitis. Dalam: Lynch JP, Metz DC,
penyunting. Reviews in Basical and Clinical Gastroenterology. Gastroenterology 2009;137:123849.

Gastroesofageal reflux
DEFINISI
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD) didefinisikan
sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus
yang menimbulkan berbagai gejala yang mengganggu (troublesome) di esofagus maupun ekstra
esofagus dan atau komplikasi (Susanto, 2002).
Pada orang normal, refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis makan. Karena sikap
posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik primer, isi lambung yang mengalir
masuk ke esofagus segera dikembalikan ke lambung. Refluks sejenak ini tidak merusak mukosa
esofagus dan tidak menimbulkan keluhan atau gejala. Oleh karena itu, dinamakan refluks
fisiologis. Keadaan ini baru dikatakan patologis, bila refluks terjadi berulang-ulang yang
menyebabkan esofagus distal terkena pengaruh isi lambung untuk waktu yang lama. Istilah
esofagitis refluks berarti kerusakan esofagus akibat refluks cairan lambung, seperti erosi dan
ulserasi epitel skuamosa esofagus (Susanto, 2002).
ETIOLOGI
Penyebab dari PRGE/GERD adalah kompleks. Mungkin ada berbagai penyebab-penyebab, dan
penyebab-penyebab yang berbeda mungkin bekerja pada individu-individu yang berbeda, atau
bahkan pada individu yang sama pada waktu-waktu yang berbeda. Sejumlah kecil pasien-pasien
dengan PRGE/GERD menghasilkan jumlah-jumlah asam yang besarnya abnormal, namun ini
adalah tidak umum dan bukan faktor yang berkontribusi pada mayoritas yang sangat luas dari
pasien-pasien. Faktor-faktor yang berkontribusi pada PRGE/GERD adalah sfingter esofagus
bagian bawah, hiatal hernias, kontraksi-kontraksi esofagus, dan pengosongan dari lambung.
C.

TANDA DAN GEJALA


Gejala yang paling umum-GERD adalah:

a.
b.
c.

Mulas
Regurgitasi
Kesulitan menelan ( disfagia )

gejala umum, termasuk:


a.
Nyeri dengan menelan ( odynophagia )
b. Peningkatan air liur (rasa ingin meludah)
c.
Mual
d. Nyeri dada
GERD kadang-kadang menyebabkan luka pada kerongkongan. Cedera ini mungkin termasuk:
a.
Refluks esofagitis - nekrosis epitel esofagus menyebabkan borok di dekat persimpangan dari
lambung dan kerongkongan.
b.
Terserang striktur - penyempitan terus-menerus dari esophagus yang disebabkan oleh refluks
c.

akibat peradangan.
Barrett esophagus - usus metaplasia . (perubahan sel epitel skuamosa dari epitel kolumnar ke

usus) dari esofagus distal.


d. Terserang adenokarsinoma -. bentuk yang jarang dari kanker
Beberapa gejala atipikal lainnya yang berhubungan dengan GERD, tetapi ada bukti yang baik
untuk penyebab hanya ketika mereka disertai dengan cedera kerongkongan. Gejala-gejala ini:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Kronis batuk
Laringitis (suara serak, tenggorokan kliring)
Asma
Erosi enamel gigi
Hipersensitivitas dentin
Sinusitis dan rusak gigi
Sakit tekak
Beberapa orang telah mengusulkan bahwa gejala seperti sinusitis , infeksi telinga berulang, dan
fibrosis paru idiopatik adalah karena GERD, namun peran penyebab belum ditetapkan.

PATOMEKANISME
Patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus
dan faktor efensif dari bahan reflukstat. Yang termasuk faktor defensif esophagus, adalah
pemisah antirefluks, bersihan asam dari lumen esophagus, dan ketahanan ephitelial esophagus.
Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik.
a.

Pemisah antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES dapat
menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya peningkatan tekanan
intraabdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal.
Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus hernia, panjang LES

(makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-obatan (misal antikolinergik, beta
adrenergik), dan faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat
menurunkan tonus LES.
b.

Bersihan asam dari lumen esophagus


Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus adalah gravitasi, peristaltik,
eksrkresi air liur, dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks sebagian besar bahan refluksat akan
kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang oleh proses menelan.

c.

Ketahanan epithelial esophagus


Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki lapisan mukus yang
melindungi mukosa esophagus. Mekanisme ketahanan ephitelial esophagus terdiri dari :
1)
2)
3)

Membran sel
Batas intraseluler (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke jaringan esophagus
Aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan bikarbonat, serta mengeluarkan

ion H+ dan CO2


4) Sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk mentransport ion H+ .
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan hubungannya
dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus bawah dalam keadaan relaksasi
atau melemah oleh peningkatan tekanan intra abdominal sehingga terbentuk rongga diantara
esofagus dan lambung. Isi lambung mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika isi
lambung mencapai esofagus bagian proksimal dan sfingter esofagus atas berkontraksi, maka isi
lambung tersebut tetap berada di esofagus dan peristaltik akan mengembalikannya ke dalam
lambung. Jika sfingter esofagus atas relaksasi sebagai responterhadap distensi esofagus maka isi
lambung akan masuk ke faring, laring, mulut atau nasofaring (Hadi, 2002).

1.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Endoskopi
Dewasa ini endoskopi merupakan pemeriksaan pertama yang dipilih oleh evaluasi pasien
dengan dugaan PRGE. Namun harus diingat bahwa PRGE tidak selalu disertai kerusakan
mukosa yang dapat dilihat secara mikroskopik dan dalam keadaan ini merupakan biopsi.

Endoskopi menetapkan tempat asal perdarahan, striktur, dan berguna pula untuk pengobatan
(dilatasi endoskopi).
2.

Radiologi
Pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada
kasus esofagitis ringan. Di samping itu hanya sekitar 25 % pasien PRGE menunjukkan refluks
barium secara spontan pada pemeriksaan fluoroskopi. Pada keadaan yang lebih berat, gambar
radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, tukak, atau penyempitan lumen.

3.
a.

Tes Provokatif
Tes Perfusi Asam (Bernstein) untuk mengevaluasi kepekaan mukosa esofagus terhadap asam.
Pemeriksaan ini dengan menggunakan HCL 0,1 % yang dialirkan ke esofagus. Tes Bernstein
yang negatif tidak memiliki arti diagnostik dan tidak bisa menyingkirkan nyeri asal esofagus.
Kepekaan tes perkusi asam untuk nyeri dada asal esofagus menurut kepustakaan berkisar antara

b.

80-90%.
Tes Edrofonium. Tes farmakologis ini menggunakan obat endrofonium yang disuntikan
intravena. Dengan dosis 80 g/kg berat badan untuk menentukan adanya komponen nyeri
motorik yang dapat dilihat dari rekaman gerak peristaltik esofagus secara manometrik untuk

4.

memastikan nyeri dada asal esofagus.


Pengukuran pH dan tekanan esofagus
Pengukuran pH pada esofagus bagian bawah dapat memastikan ada tidaknya RGE, pH
dibawah 4 pada jarak 5 cm diatas SEB dianggap diagnostik untuk RGE. Cara lain untuk
memastikan hubungan nyeri dada dengan RGE adalah menggunakan alat yang mencatat secara
terus menerus selama 24 jam pH intra esofagus dan tekanan manometrik esofagus. Selama
rekaman pasien dapat memeberi tanda serangan dada yang dialaminya, sehingga dapat dilihat
hubungan antara serangan dan pH esofagus/gangguan motorik esofagus. Dewasa ini tes tersebut
dianggap sebagai gold standar untuk memastikan adanya PRGE.

5.

Tes Gastro-Esophageal Scintigraphy


Tes ini menggunakan bahan radio isotop untuk penilaian pengosongan esofagus dan sifatnya non
invasif (Djajapranata, 2001).

6.

Pemeriksaaan Esofagogram
Pemeriksaan ini dapat menemukan kelainan berupa penebalan lipatan mukosa esofagus, erosi,
dan striktur.

7.

Tes PPI

Diagnosis ini menggunakan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu pada pasien yang diduga
menderita GERD. Tes positif bila 75% keluhan hilang selama satu minggu. Tes ini mempunyai
sensitivitas 75%.
8.

Manometri esofagus
Tes ini untuk menilai pengobatan sebelum dan sesudah pemberian terapi pada pasien NERD.
Pemeriksaan ini juga untuk menilai gangguan peristaltik/motilitas esofagus.

9.

Histopatologi
Pemeriksaan untuk menilai adanya metaplasia, displasia atau keganasan. Tetapi bukan untuk
memastikan NERD (Yusuf, 2009).

PENATALAKSANAAN
Terapi GERD ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan gejala-gejala pasien, mengurangi
frekuensi atau kekambuhan dan durasi refluks esofageal, mempercepat penyembuhan mukosa
yang terluka, dan mencegah berkembangnya komplikasi. Terapi diarahkan pada peningkatan
mekanisme pertahanan yang mencegah refluks dan atau mengurangi faktor-faktor yang
memperburuk agresifitas refluks atau kerusakan mukosa.
1. Modifikasi Gaya Hidup
a.
Tidak merokok
b.
Tempat tidur bagian kepala ditinggikan
c.
Tidak minum alkohol
d.
Diet rendah lemak
e.
Hindari mengangkat barang berat
f.
Penurunan berat badan pada pasien gemuk
g.
Jangan makan terlalu kenyang
h.
Hindari pakaian yang ketat, terutama di daerah pinggang
2. Terapi Endoskopik.
Terapi ini masih terus dikembangkan. Contohnya adalah radiofrekuensi, endoscopic suturing,
dan endoscopic emplatation. Radiofrekuensi adalah dengan memanaskan gastroesophageal
junction. Tujuan dari jenis terapi ini adalah untuk mengurangi penggunaan obat, meningkatkan
kualitas hidup, dan mengurangi reflux.
3.

Terapi medika mentosa.


Sampai pada saat ini dasar yang digunakan untuk terapi ini adalah supresi pengeluaran asam
lambung. Ada dua pendekatan yang biasa dilakukan pada terapi medika mentosa:

a.

Step up

Awal pengobatan pasien diberikan obat-obat yang kurang kuat menekan sekresi asam seperti
antacid, antagonis reseptor H2 ( simetidin, ranitidine, famotidin, nizatidin) atau golongan
prokinetik (metoklorpamid,domperidon,cisaprid) bila gagal berikan obat-obat supresi asam yang
lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (PPI).
b.

Step down
Pada terapi ini pasien langsung diberikan PPI dan setelah berhasil lanjutkan dengan supresi asam
yang lebih lemah untuk pemeliharaan.

4.

Terapi terhadap Komplikasi


Komplikasi yang sering terjadi adalah perdarahan dan striktur. Bila terjadi rangsangan asam
lambung yang kronik dapat terjadi perubahan mukosa esophagus dari squamous menjadi
kolumnar yang metaplastik sebagai esophagus barrets (premaligna) dan dapat menjadi
karsinoma barrets esophagus

a.

Striktur esophagus
Bila pasien mengeluh disfagia dan diameter strikturnya kurang dari 13 mm maka dapat
dilakukan dilatasi busi, bila gagal juga lakukanlah operasi.

b.

Barrets esophagus
Bila pasien telah mengalami hal ini maka terapi yang dilakukan adalah terapi bedah
(fundoskopi). Selain terapi bedah dapat juga dilakukan terapi endoskopi (baik menggunakan
energy radiofrekuensi, plikasi gastric luminal atau dengan implantasi endoskopi) walapun cara
ini masih dalam penelitian. (Djajapranata, 2001).

Djajapranata, Indrawan. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta :
FKUI.
Yusuf, Ismail. 2009. Diagnosis Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) Secara Klinis.PPDS
Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Vol. 22, No.3, Edition September - November 2009.
Susanto, Agus dkk. 2002. Gambaran Klinis dan Endoskopi Penyakit Refluks Gastroesofagus.
Jakarta : FKUI.

Anda mungkin juga menyukai