OLEH :
PEMBIMBING :
DWI NAWALUDDIN NAPRISAL, S.Ked NRA : TBM-110.534.XV.16
2.2 Epidemiologi
Tension pneumotoraks dapat berkembang pada 1 hingga 2% kasus yang
awalnya muncul dengan pneumotoraks spontan idiopatik. Sulit untuk menentukan
kejadian sebenarnya dari tension pneumotoraks karena pada saat pasien trauma
diangkut ke pusat trauma, mereka telah menerima torakotomi jarum dekompresi.
Pasien dengan trauma cenderung memiliki pneumotoraks terkait atau
pneumotoraks ketegangan 20% dari waktu. Dalam kasus trauma dada yang parah,
ada pneumotoraks terkait 50% dari waktu. Insiden pneumotoraks traumatis
tergantung pada ukuran dan mekanisme cedera trauma toraks menunjukkan
bahwa hingga 5% dari korban pertempuran dengan trauma toraks memiliki
tension pneumothorax pada saat kematian.1
2.3 Etiologi
Etiologi Tension Pneumothorax yang sering terjadi, yaitu : 3,4,5
2.3.1 Iatrogenik (Diinduksi oleh prosedur medis) :
1. Kateterisasi vena sentral di subklavia atau vena jugularis interna
2. Biopsi paru-paru
3. Barotrauma karena ventilasi tekanan positif
4. Trakeostomi perkutan
5. Torasentesis
6. Pemasangan alat pacu jantung
7. Bronkoskopi
8. Resusitasi jantung paru
9. Blok saraf interkostal
2.4 Patofisiologi
Sebelum memahami patofisiologi dari tension pneumotoraks, penting untuk
memahami fisiologi paru-paru normal. Tekanan di rongga pleura (atau
intrapleural) lebih rendah dibandingkan dengan tekanan di paru-paru dan tekanan
atmosfer. Paru-paru cenderung mengalami recoil yaitu paru-paru kembali pada
posisi semula ke arah dalam dan dinding dada kembali mengembang kearah luar.
Gradien tekanan antara paru-paru dan rongga pleura mencegah paru-paru kolaps.
Pada kejadian pneumotoraks, interaksi antara rongga pleura dan paru-paru
meningkat sehingga udara berpindah dari paru-paru ke dalam rongga pleura. Hal
ini menyebabkan peningkatan tekanan intrapleural secara progresif. Peningkatan
tekanan ini semakin menekan paru-paru dan menurunkan volumenya. Paru-paru
ipsilateral tidak dapat berfungsi pada kapasitas normalnya, dan ventilasinya pun
berkurang sehingga mengakibatkan hipoksemia.6
Tension pneumothorax sering terjadi pada pasien dengan ventilasi ICU.
Tension pneumothorax terjadi ketika udara masuk ke dalam rongga pleura tetapi
tidak dapat keluar sepenuhnya,. Selama inspirasi, kumpulan udara bertekanan
tinggi yang cukup besar terakumulasi di ruang intrapleural dan tidak dapat keluar
sepenuhnya selama ekspirasi. Hal ini akan menyebabkan paru-paru kolaps pada
sisi ipsilateral. Saat tekanan meningkat akan menyebabkan mediastinum bergeser
ke sisi kontralateral, dan secara perlahan mengakibatkan hipoksemia. Pada kasus
yang parah, peningkatan tekanan juga dapat menekan jantung yakni disebabkan
karena paru-paru kontralateral, dan pembuluh darah yang menyebabkan
ketidakstabilan hemodinamik. Hal ini disebabkan oleh gangguan pengisian
jantung dan penurunan aliran balik vena. Hipoksemia juga memicu vasokonstriksi
paru dan meningkatkan resistensi pembuluh darah paru. Akibatnya, hipoksemia,
asidosis, dan penurunan curah jantung dapat menyebabkan henti jantung dan,
pada akhirnya, kematian jika tension pneumotoraks tidak ditangani dengan tepat
waktu.6
Pneumotoraks traumatis sekunder terjadi akibat penetrasi (misalnya, luka
tembak, luka tusuk) atau trauma dada tumpul. Tergantung pada kedalaman luka
tembus dada, udara akan mengalir ke rongga pleura baik melalui dinding dada
atau dari pleura visceral traktus trakeobronkial. Dengan trauma benda tumpul,
pneumotoraks dapat terjadi jika tulang rusuk patah atau dislokasi sehingga
merobek pleura visceral. Mekanisme alternatifnya adalah melalui trauma tumpul
toraks, dimana peningkatan tekanan alveolus dapat menyebabkan alveolus ruptur
yang mengakibatkan udara masuk ke rongga pleura.6
2.5 Diagnosis
2.5.1 Manifestasi Klinis
Gejala pneumotoraks akan tergantung pada jenis dan batas . Biasanya ,
pasien mengalami sakit parah. seringkali, pneumotoraks kecil asimtomatik.
Tension pneumothoraks ditandai dengan adanya sesak progresif dengan rasa sakit
dan sesak di sisi dada yang terkena.6
Untuk mengidentifikasi gejala pneumotoraks, terlebih dahulu kita harus
mengetahui manifestasi klinis dan kriteria diagnosis dari pneumotoraks. Pertama
kita melihat penyebab dari terjadinya pneumotoraks untuk mengetahui tipe-tipe
pneumotoraks apa yang kemungkinan terjadi ada penderita.6
Keluhan yang sering di temukan : 6,7,8
Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah :
1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak
dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita bernapas
tersengal, pendek-pendek, dengan mulut terbuka.
2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam
pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak
pernapasan.
3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
4. Denyut jantung meningkat.
5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang.
6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien,
biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer.
Berat ringannya keadaan penderita tergantung pada tipe pneumotoraks tersebut.
Pneumotoraks ventil dengan tekanan positif tinggi, sering dirasakan lebih berat.7
2.6.3 Pneumonia
Pada pneumonia, pasien juga akan merasa sesak napas. Hipotensi dapat
ditemukan pada pneumonia yang parah. Batuknya biasanya mempunyai dahak
yang purulent. Dari hasil pemeriksaan fisik, pada pneumonia dapat ditemukan
fremitus tektil yang menurun, tetapi suara perkusi akan redup.8
2.6.4 Pneumomediastinum
Pneumothorax dapat dibedakan dengan pneumomediastinum bila dilihat
dengan foto posisi lateral decubitus. Pada pneumothorax, posisi lateral decubitus
membuat udara akan berpindah ke bagian atas, sedangkan pada
pneumomediastinum, udara akan tetap berada di posisinya dan tidak berpindah.
Selain itu, terdapat gambaran garis yang jelas (clear delineation) pada struktur
intramediastinal (Arteri pulmonary, aorta, esophagus, dan airway) pada
pneumomediastinum yang tidak ditemukan pada pneumothorax.9
2.7 Tatalaksana
Bantuan hidup dasar merupakan suatu tindakan atau penatalaksanaan awal
yang dapat dilakukan pada saat kita menemukan korban diluar rumah sakit.
Penanganan bantuan hidup dasar ini bertujuan untuk dapat mengembalikan atau
mempertahankan oksigenasi pada korban. Bantuan hidup dasar ini digunakan
untuk mempertahankan aliran napas (airway), memberikan bantuan pernapasan
(breathing), dan evaluasi dari sistem sirkulasi darah (circulation) apakah sudah
cukup untuk memberikan perfusi oksigen yang adequat keseluruh jaringan.
Tahapan-tahapan dari pemberian bantuan hidup dasar kepada korban, jika kita
menemukan seorang korban dijalan atau dimanapun, pertama jika sendiri mintalah
pertolongan dari orang-orang sekitar, serta menghubungi pelayanan kesehatan
terdekat. Sebelum kita menolong korban pastikan diri kita sendiri aman dari
lingkungan sekitar, agar kita tidak menjadi korban selanjutnya. Kemudian setelah
meminta pertolongan kepada orang disekitar barulah kita mendekati korban.10
Penilaian awal yang dilakukan, mengevaluasi kesadaran korban dengan
memberikan rangsangan suara, seperti memanggil sambil menepuk-nepuk bahu
korban, jika tidak berespon kita berikan rangsangan nyeri seperti cubitan. Jika
berespon segera pindahkan pasien ketempat yang lebih aman. Setelah
memberikan rangsangan suara dan nyeri pasien tidak berespon, pertama kita lihat
aliran napasnya (airway) dengan menggunakan manuver head tilt, menaruh tangan
didahi korban kemudian mendorongnya kebelakang, dan chin lift, mengangkat
dagu korban kedua gerakan ini dilakukan secara simultan dan gentle. Setelah itu
kita evaluasi hembusan napas dan apakah terdengar suara napas tambahan seperti
mengorok. Dilihat apa terdapat benda asing pada jalan napas yang menghambat
jalan napas seperti, sisa makanan, lidah yang terjatuh kebelakang, cairan atau
darah, jika terdapat sumbatan kita bersihkan atau hilang benda asing itu dari jalan
napas. Jika korban dicurigai adanya trauma pada leher (cervical) kita gunakan
manuver jaw thrus, yaitu menempatkan dua atau tiga jari pada sudut kedua
mandibular kemudian mengangkatnya keatas dan kedepan.10
Setelah (airway) jalan napas sudah lapang, kemudian kita menilai
pernapasan (breathing), disini kita mengevaluasi dari pergerakan dada korban
yang naik turun, adakah pergerakan dada yang tertingal (asimetris), pergerakan
dada yang cepat dan terdapat retraksi dari otot-otot pernapasan, atau pergerakan
dada yang tidak ada. Jika tidak ada pergerakan dada, kita lakukan pemberian
napas bantuan sebanyak dua kali kepada korban, secara mulut kemulut, 1 kali
napas bantuan dalan satu detik. Pada saat memberi napas bantuan tutup hidung
pasien dengan mempertahankan maneuver head tilt dan chin lift.10
Tujuan dari pemberian napas bantuan ini untuk memberikan napas
pancingan kepada korban yang henti napas, karena penyebab utama terjadinya
kesulitan bernapas adalah kurang lapangnya jalan napas.10 Pada pemberian dua
kali napas bantuan, juga tidak berhasil, kita lanjutkan pada evaluasi dari sirkulasi
korban (circulation). Disini kita evaluasi sirkulasi dengan meraba nadi karotis,
brakialis, atau femoralis, dievalusi selama 10 detik. Jika denyut nadi teraba
spontan kita lanjutkan pemberian napas bantuan, satu napas batuan diberikan
setiap 5-6 detik, jadi pada satu menit deberikan 10 sampai 12 kali napas buatan.10
jika pada perabaan tidak teraba denyut nadi dari korban kita langsung melakukan
kompresi (cardiopulmonary resuscitation). Kompresi dilakukan pada sternum,
tepatnya dua atau tiga jari diatas taju pedang (proccesus cipoideus). Kita taruh
telapak tangan kita yang lebih kuat pada titik kompresi dengan tangan yang lain
diletakkan diatas tangan yang menjadi tumpuan, tujannya agar sebagai pengunci,
supaya tidak bergeser pada saat melakukan kompresi. Kompresi dilakukan
sebanyak 30 : 2 yaitu, 30 kali kompresi diselingi dengan pemberian napas bantuan
sebanyak 2 kali. Kompresi ini bertujuan untuk meningkatkan oksigenasi ke
jaringan dan mengeluarkan CO2 . Kompresi Ini dilakukan sampai adanya tanda-
tanda kehidupan, dating pengganti untuk melakukan kompresi, ponolong
kelelahan, datang petugas medis yang telah dihubungi.10
Fokus utama untuk menilai bagaimana tanda dan gejala klinis dari
pneumotoraks serta untuk memberikan bantuan hidup dasar pada korban di tempat
korban tersebut ditemukan, sebelum membawa korban ke pusat pelayanan medis
terdekat. Pemberian bantuan hidup dasar pada korban yang menderita
pneumotoraks secara garis besar termasuk dalam pemberian bantuan hidup dasar
pada penderita trauma dada. Pada trauma dada ada 3 faktor penyebab yang
menyebabkan nyawa korban terancam yaitu, perdarahan, penurunan cardiac
output, dan distress pernapasan. Pada perdarahan sangat sulit untuk diidentifikasi,
akibat trauma tumpul atau trauma tajam yang mengenai pembuluh darah pada
rongga toraks. Penurunan cardiac output mungkin diakibatkan penekananan yang
disebabkan oleh udara yang menumpuk pada rongga pleura dan mendesak
mediastinum sehingga menekan dari cabang vena cava, penurunan dari aliran
darah balik vena sehingga cardiac output menurun.11
Distress respirasi disebabkan oleh desakan dari penumpukan udara pada
rongga pleura sehingga paru-paru yang terdesak akan menjadi kolaps. Penderita
dengan dengan trauma dada, fokus utama yang kita perhatikan pada breathing,
gejala harus dapat ditangani pada awal penilaian. Bantuan hidup dasar yang
diberikan, pertama, melihat lapang tidaknya jalan napas (airway), dengan
melakukan manuver head tilt, chin lift, dan jaw thrus jika korban dicurigai
mengalami cedera cervical. Disini dilihat apakah ada sumbatan jalan napas, yang
diakibatkan oleh trauma, dilihat pergerakan napas korban ada atau tidak, terdapat
sumbatan atau tidak dari jalan napas korban seperti benda asing atau cairan,
sehingga sumbatan jalan napas dari benda asing dapat dihilangkan 3,11 Setelah itu
kita berlanjut pada breathing, disini kita evaluasi dari pergerakan dada korban
apakah simetris atau tidak, kita lihat juga distensi dari pembuluh darah vena pada
leher, luka yang terbuka, penderita biasanya akan terlihat gelisah akibat kesulitan
bernapas. Dari gejala – gejalanya kemungkinan mengarah ke pneumotoraks
terdesak (tension pneumothorax) yang merupakan suatu kegawat daruratan pada
trauma dada. Pemberian oksigen terapi sangat diperlukan pada keadaan ini, karena
pemberian terapi oksigen 100% dapat meningkatkan absropsi udara pada pleura,
oksigen terapi 100% diberikan untuk menurunkan tekanan alveolar terhadap
nitrogen, sehingga nitrogen dapat dikeluarkan dan oksigen dapat masuk melalui
sistem vaskular, terjadi perbedaan tekanan antara pembuluh kapiler jaringan
dengan udara pada rongga pleura, sehingga terjadi peningkatan absorpsi dari
udara pada rongga pleura.11
Prinsip Penatalaksanaan Tension Pneumothorax10,11
1. Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah
menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan
diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan
tambahan O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan foto
toraks serial tiap 12- 24 jam pertama selama 2 hari (2). Tindakan ini
terutama ditujukan untuk pneumotoraks tertutup dan terbuka
2. Tindakan dekompresi
Tindakan yang sangat seirng dilakukan yaitu dekompresi dengan tujuan
mengurangi tekanan intra pleura dengan membuat hubungan antara udara
luar dengan rongga pleura;
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura,
dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan
berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar melalui jarum
tersebut
b. Melalui kontra vetil ;
• Infus set
Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam rongga pleura,
kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal saringan
tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem
penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari
ujung infus set yang berada di dalam botol
• Abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum
dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di
dinding toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut
dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan
dengan pipa plastik infus set. Pipa infuse ini selanjutnya
dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat
dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung
infuse set yang berada di dalam botol.
• Pipa Water Sealed Drainage (WSD)
Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke rongga pleura
dengan perantaraan troakar atau dengan bantuan klem penjepit.
Pemasukan troakar dapat dilakukan melalui celah yang telah dibuat
dengan bantuan insisi kulit di sela iga ke-4 pada linea mid aksilaris
atau pada linea aksilaris posterior. Selain itu dapat pula melalui
sela iga ke-2 di garis mid klavikula. Setelah troakar masuk, maka
toraks kateter segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian
troakar dicabut, sehingga hanya kateter toraks yang masih
tertinggal di rongga pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks yang
ada di dada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastik
lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol sebaiknya
berada 2 cm di bawah permukaan air supaya gelembung udara
dapat dengan mudah keluar melalui perbedaan tekanan tersebut.
Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan intrapleura
tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan negatif
sebesar 10-20 cm H2O, dengan tujuan agar paru cepat mengembang.
Apabila paru telah mengembang maksimal dan tekanan intra pleura sudah
negatif kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji coba terlebih
dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk selama 24 jam. Apabila
tekanan dalam rongga pleura kembali menjadi positif maka pipa belum
bisa dicabut. Pencabutan WSD dilakukan pada saat pasien dalam keadaan
ekspirasi maksimal.
3. Torakospkopi
Menggunakan alat bantu torakoskop untuk melihat langsung dalam rongga
toraks
4. Torakotomi
a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian dicari
lubang yang menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit
b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang
menyebabkan paru tidak bias mengembang, maka dapat dilakukan
dekortikasi.
c. Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang mengalami robekan
atau terdapat fistel dari paru yang rusak
d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang,
kemudian kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel.
2.8 Prognosis
Kasus ini harus segera diobati untuk menghindari morbiditas dan mortalitas
terkait lebih lanjut. Keterlambatan dalam diagnosis dan manajemen dikaitkan
dengan prognosis yang buruk. Tension pneumothorax timbul dari banyak
penyebab dan dengan cepat berkembang menjadi insufisiensi pernapasan, kolaps
kardiovaskular, dan akhirnya kematian jika tidak dikenali dan diobati. Pada
pneumotoraks tanpa komplikasi, kekambuhan dapat terjadi dalam waktu enam
bulan hingga tiga tahun. Kekambuhan lebih sering terjadi pada perokok, PPOK,
dan pasien dengan AIDS.1
BAB 3
KESIMPULAN
1956;41(5):167–9.
2020;11(2):113.
[PubMed]
Dec;120(6):1379-82. [PubMed]
[PubMed]
6. Ruchi Jalota, Edouard Sayad. Tension Pneumothorax. Updated : 2021 August 11;
2020 April 28; cited 2021 October 02. From Pneumothorax Clinical Presentation:
8. Sudoyo, Aru W, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6, Jilid 2.
10. Punarwarba I.W.A, Suarjaya, P.P. 2016. Identifikasi awal dan bantuan hidup
dasar pada pneumothorax. Bagian /SMF Ilmu anestesiologi dan terapi intensif.
11. Bowman, Jeffrey, Glenn. Pneumothorax, Tension and Traumatic. Updated: 2020
http://emedicine.medscape.com/article/827551