Oleh:
Rakhmat Ramadhani 132011101055
Hilda Khairinnisa 132011101081
Pembimbing:
dr. Bagas Kumoro, Sp.M
i
DAFTAR ISI
ii
BAB 1. PENDAHULUAN
Sklera merupakan bagian putih pada bola mata yang bersama-sama dengan
kornea menjadi pembungkus dan pelindung isi bola mata. Sklera berhubungan
dengan kornea membentuk lingkaran yang disebut dengan limbus sclera. Limbus
sclera berjalan mulai dari papil saraf optik sampai dengan kornea.1 Selain sebagai
pembungkus dan pelindung isi bola mata, sclera juga berperan dalam
mempertahankan bentuk bola mata ketika terjadi peningkatan tekanan intraokuler
maupun ekstraokuler.2
Sklera memiliki ukuran ketebalan 1mm ke posterior dan 0,3-0,4 mm
ketebalan ke aponeurosis tendon otot ekstraokuler. Sklera dilapisi oleh fascia
bulbi di posterior dan konjungtiva di anterior.2 Sklera tersusun dari jaringan ikat
ireguler dengan matriks ekstraseluler terbentuk dari materi kolagen (mayoritas
kolagen tipe 1), proteoglikan, elastin, glikoprotein, dan fibroblas.3 Lapisan dalam
dari sclera (lamina fusca) berbatasan dengan uvea. Pada bagian depan terdapat
episklera yang terdiri atas jaringan ikat di antara lapisan stroma superfisial dan
Kapsul Tenon.4
Kondisi sklera normal relatif avaskuler dan tampak sebagai jaringan padat
berwarna putih dari luar. Sklera mempunyai sifat kekauan tertentu yang
membatasi distensi dan kontraksinya sehingga mempengaruhi tekanan intraokuler.
Kekakuan sklera tersebut dapat berubah pada kondisi diabetes mellitus, perubahan
konsentrasi air, eksoftalmos goiter, dan miotika.1 Penyakit pada sklera dapat
terjadi akibat reaksi imun (immune-mediated), infeksi, penyakit kongenital,
penyakit degeneratif, dan penyakit idiopatik.4
Adapun kelainan yang paling sering ditemukan pada sklera adalah
episkleritis dan skleritis. Episkleritis merupakan reaksi radang pada jaringan ikat
vaskuler episklera sedangkan skleritis merupakan reaksi radang pada sklera.
Apabila penyakit tersebut tidak tertangani dengan baik dapat berakibat pada
komplikasi sekunder, yaitu keratitis perifer (37%), penipisan sklera (33%), uveitis
(30%), glaukoma (18%), dan katarak (7%). Pada sepertiga pasien yang mengalami
1
skleritis dapat muncul nekrotisasi kemudian berkembang jadi scleromalacia
perforans yaitu penipisan sklera secara progresif. Akibat dari penipisan sklera
selanjutnya mengakibatkan jaringan dibawahnya mudah terpapar oleh benda
asing.3 Karena penyebab dari kelainan sklera yang luas, maka dibutuhkan
ketramplian tenaga medis dalam mendiagnosis serta melakukan penatalaksanaan
kelaianan sklera. Evaluasi diagnosis dan tatalaksana yang baik dapat
mempengaruhi prognosis dari pasien dengan kelainan sklera.
2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
3
berkas jaringan fibrosa yang teranyam, yang masing-masing mempunyai tebal 10-
16 mikrometer dan lebar100-150 mikrometer.5
Sklera mempunyai kekakuan tertentu sehingga mempengaruhi pengukuran
tekanan bola mata walaupun sklera kaku dan tebalnya 1mm sklera masih tahan
terhadapkontusio trauma tumpul. Pita-pita kolagen dan jaringan elastin
membentang di sepanjang foramen sklera posterior, membentuk lamina kribrosa,
yang diantaranya dilalui oleh berkas akson nervus optikus. Opasitas sklera
dikarenakan susunan serabut kolagen yang tidak teratur yang fungsinya untuk
melindungi dan menjaga bentuk bola mata. Sklera dibagi menjadi tiga bagian:6
a. Episklera
Bagian terluar dari sklera, terdiri dari serat kolagen, jaringan longgar dan
elastis yang menempel pada kapsul tenon. Ada tiga jenis pembuluh darah
di episclera:
• Pleksus bulbar konjungtiva: pleksus superfisial pembuluh halus (arteri)
yang berada di atasnya dan bebas bergerak di atas episklera.
• Pleksus episkleral: pembuluh radial lurus (vena) di superfisial episklera.
Mereka juga dapat dipindahkan di atas lapisan yang dalam (meskipun
kurang mudah dibandingkan dengan pembuluh konjungtiva bulbar).
• Pleksus episkleral yang dalam (juga disebut pleksus sklera): pembuluh
darah yang bersilangan dekat dengan sklera.
b. Stroma Sklera
Mengandung susunan serat kolagen irreguler, proteoglikan, glikoprotein,
dan fibroblast yang berperan penting dalam sintesis proteoglikan dan
glikoprotein.
c. Lamina Fusca
Lapisan paling dalam dari sklera yang mengandung sel berpigmen atau
melanosit yang bermigrasi dari koroid. Ruang suprakoroidal
memisahkannya dari koroid.
Sklera mengandung cukup banyak pasokan saraf, terutama di sekitar
pembuluh darah episklera dan karena tidak memiliki saluran limfatik, meskipun
konjungtiva di atasnya memiliki dua lapisan limfatik yang terbentuk dengan baik.
4
Dibandingkan dengan kornea, perbedaan utama pada sklera yaitu memiliki
diameter fibril kolagen yang lebih tebal dan ruang interfibrillar yang lebih opaque,
berserat-serat, kaku, memiliki zona regional vaskularisasi di episklera dan tidak
memiliki penghalang lapisan eksternal atau internal seluler yang berdekatan.7
5
bentuk episkleritis dan skleritis. Episkleritis dapat pula muncul secara tiba-tiba
dengan penyebab yang tidak diketahui atau idiopatik.3 Kelainan sklera karena
infeksi dapat muncul dalam bentuk skleritis. Penyebab infeksinya adalah bakteri
dan virus. Penyakit kongenital yang terjadi pada sklera muncul dengan tanda
berupa perubahan warna pada sklera. Penyebab perubahan warna tersebut yaitu
alkaptonuria, haemochromatosis, dan blue sclera. Penyakit degeneratif yang
dapat terjadi pada sklera, yaitu kalsifikasi sklerokoroid idiopatik, scleral hyaline
plaque, dan skleromalasia senilis.4 Berikut akan dibahas secara lebih rinci
mengenai kelainan pada sklera.
2.3.1 Episkleritis
Episkleritis merupakan reaksi peradangan jaringan ikat vaskuler diantara
konjungtiva dan permukaan sklera.1 Peradangan pada episklera umumnya bersifat
jinak, rekuren, dan bilateral. 4 Episkleritis lebih sering terjadi pada wanita dengan
penyakit rematik dengan usia paruh baya (20-40 tahun).8 Episkleritis jarang
menyerang pada usia anak-anak. Insidensi yang terjadi di daerah Hawaii meliputi
21,7 per 100.000 orang dengan usia rata-rata 45 tahun.9
Penyebab dari episkleritis umumnya idiopatik pada 2/3 kasus, sedangkan
1.3 kasus sisanya berhubungan dengan penyakit lain pada mata (contohnya dry
eye, rosasea, dan lensa kontak) atau penyakit sistemik (penyakit rematik atau
infeksi). Episkleritis umumnya bersifat self limiting dan akan menghilang setelah
beberapa hari hingga 3 minggu.4
Berdasarkan klinisnya, episkleritis dibagi menjadi 2 macam, yaitu
episkleritis simpel dan noduler. Secara umum gejala yang muncul adalah mata
merah visus normal tanpa iritasi yang terjadi dengan onset tiba-tiba dan pulih
dalam waktu beberapa hari hingga minggu pada wanita usia 20-50 tahun.3
Episkleritis simpel muncul pada 75% kasus dan cenderung untuk mengalami
rekurensi hingga 60%. Episkleritis simpel mulai muncul tanda dan gejala dalam
waktu 30 menit yang memuncak dalam waktu 24 jam kemudian akan menghilang
setelah beberapa hari.
6
Tanda dan gejala yang muncul berupa mata merah dengan rasa tidak
nyaman terasa kering skala sedang hingga berat muncul bilateral, dapat diikuti
fotofobia, visus normal, dapat muncul kemosis konjungtiva, hipertensi okuli,
uveitis anterior, dan keratitis (jarang).4 Kemerahan mata umumnya dapat terjadi di
seluruh permukaan sklera (30% kasus) ataupun sektoral di globus (70% kasus),
sering pada daerah intraplapebra dengan konfigurasi triangular (seperti area
pingecula) berdasar di limbus sclera.3
7
Gambar 3. Episkleritis Noduler (Len Koh, 2017)
Pada episkleritis noduler gejala yang muncul berupa mata kemerahan saat
pasien bangun tidur kemudian secara progresif dalam 2-3 hari, area kemerahan
membesar disertai rasa tidak nyaman. Tanda yang muncul yaitu nodul kemerahan
dengan kongesti vaskuler hampir selalu muncul pada fisura intrapalpebra dengan
lebih dari satu fokus. Nodul bersifat mobile dan hangat. Pada pemeriksaan slit
lamp sklera anterior tampak datar. Tekanan intraokuler (TIO) kadang-kadang
dapat meningkat. Dilatasi vaskuler permanen dapat terjadi pada episode
episkleritis noduler berulang. Penanganan pada episkleritis noduler pada dasarnya
sama dengan episkleritis simple.4
8
2.3.2 Skleritis
Skleritis adalah reaksi peradangan pada sklera yang ditandai dengan oedema
dan infiltrasi sel pada seluruh lapisan sklera. Skleritis merupakan kondisi
inflamasi yang lebih berat dibandingkan episkleritis dan dapat melibatkan kornea,
episklera, dan uvea.11 Skleritis berdasarkan penyebabnya dapat dikelompokkan
menjadi immune-mediated scleritis dan infectious scleritis.4
Sekitar setengah dari pasien skleritisimmune-mediateddiketahui memiliki
penyakit autoimun sistemik atau beberapa kondisi terkait lainnya. Sekitar 40%
dari pasien yang memiliki skleritis akan memiliki atau mengembangkan
rheumatoid arthritis.12 Skleritis dapat menjadi tanda awal penyakit rheumatoid,
biasanya muncul lebih dari sepuluh tahun setelah timbulnya arthritis. Rheumatoid
arthritis adalah penyakit autoimun sistemik yang paling umum yang
mempengaruhi sekitar1% dari populasi. Perempuan 3x lebih mungkin terkena
dibandingkan laki-laki, dengan 80% pasien mengembangkan penyakit antara usia
35 dan 50. Pasien dengan RA yang memiliki titer tinggi faktor rheumatoid
kemungkinan besar memiliki manifestasi ekstra-artikular termasuk nodul
rheumatoid, rheumatoid vaskulitis, dan pleuropulmonary, neurologis, pencernaan,
kardiovaskular, kulit, hematologi, dan komplikasi ocular.13
Patofisiologi skleritis yang diamati pada dinding vaskular mata dengan
skleritis dianggap sebagai reaksi kompleks imun tipe III oleh karena deposisi
kompleks imun dan infiltrasi neutrofil. Dalam kasus teknik pembedahan yang
menimbulkan necrotizing scleritis, trauma bedah dapat mengaktifkan atau
menginduksi fibroblast sklera untuk menghasilkan komplemen komponen C1
yang dapat menginduksi kaskade permeabilitas pembuluh darah dan kemotaksis
sel-sel inflamasi. Ditambah, ekspresi leukosit antigen-DR serta
peningkatanekspresi reseptor interleukin-2 dapat ditingkatkan pada sel-T dan
mengaktifkant respon imun seluler.14
Selain itu, dapat pula dijumpai skleritis posterior pada penyakit-penyakit
autoimun sistemik seperti rematoid arthritis, lupus eritematosus sistemik (SLE),
atau vaskulitis sistemik. Skleritis posterior adalah bentuk langka skleritis yang
ditandai dengan peradangan sklera posterior ke ora serrata atau posterior ke
9
penyisipan otot rekti. Usia onset sangat bervariasi, mulai dari usia 7 bulan - 87
tahun. Sebagian besar kasus terjadi dalam 4 - 5 dekade kehidupan dengan usia
rata-rata yang dilaporkan kasus berkisar antara 45-49 tahun. Manifestasi klinis
yang paling umum dari skleritis posterior adalah nyeri periokular, penglihatan
kabur, dan sakit kepala. Peradangan skleral dapat mempengaruhi serabut saraf
trigeminal yang dihasilkan di alis, dahi, wajah, atau nyeri rahang.15
Beberapa modalitas yang berbeda telah dilaporkan bermanfaat dalam
mengobati skleritis posterior autoimun seperti obat NSAID, kortikosteroid
sistemik, periokuler kortikosteroid, dan imunosupresi. Dosis NSAID awal
biasanya 50mg diberikan 3-4 kali sehari. Perbaikan yang signifikan umumnya
terlihat dalam 2 minggu setelah memulai pengobatan. Untuk kortikosteroid
sistemik diberikan pada saat onset skleritis akut karena dapat mengurangi proses
inflamasi dengan baik. Dosis prednison biasanya dimulai pada 1mg / kg.Untuk
menghindari reaksi simpang maupun memberi pengobatan pada pasien dengan
gangguan sistemik seperti diabetes mellitus, maka pemberian obat kortikosteroid
sistemik dapat diganti secara periokuler yaitu dengan injeksi subtenon. Apabila
penggunaan obat prednison melebihi 10mg per hari selama lebih dari tiga bulan
maka dipertimbangkan untuk kombinasi dengan obat-obatan immunosuppressive
(methotrexate, azathioprine, cyclosporine, cyclophospamide, rituximab, dsb.).15
Skleritis infeksius merupakan bentuk yang jarang terjadi namun sulit untuk
terdiagnosis karena tanda dan gejala klinis awal yang mirip dengan immune-
mediated scleritis. Pada beberapa kasus, skleritis infeksius terjadi setelah tindakan
operasi, trauma oculi, endoftalmitis, dan infeksi pada kornea.
Penyebab infeksi pada sklera dapat berasal dari virus, bakteri, dan jamur.
Virus penyebab skleritis adalah virus varicella zoster (VZV). Varicella Zoster
yang teraktivasi kembali akan mengakibatkan Herpes Zoster. Herpes Zoster
merupakan penyebab infeksi tersering pada sklera. Infeksi sklera et causa VZV
sering menimbulkan respon imun yang kemudian mencetuskan inflamasi.
Munculnya respon imun tersebut diduga berhubungan dengan HLA-B27 yang
positif pada pasien. HLA-B27 tersebut diduga berperan pada reaksi silang antigen
virus VZV dengan jaringan tubuh. Antigen tersebut akan bermimikri menyerupai
10
sel tubuh, menyebabkan reaksi autoimun (Loureio et al., 2016). Necrotizing
scleritis dapat muncul dan sangat resisten terhadap terapi pengobatan sehingga
terjadi penipisan pada lapisan sklera. Terapi pada pasien dengan skleritis infeksius
et causa virus dapat diberikan antiviral dengan valacyclovir 1g 3 kali sehari
selama 2 minggu disertai dengan obat-obatan imunosupresif (contohnya
methrotrexate 15 mg) untuk menekan reaksi autoimun pada pasien.16
Gambar 4. Evolusi Klinis Nodular Skleritis akibat VZV (Lourerio et al., 2016)
Penyebab bakteri pada skleritis infeksius adalah Mycobacterium
tuberculosis, Mycobacterium leprae, Trepanoma pallidum, Pseudomonas
Aeruginosa, dan Borrelia burgdorferi. Skleritis tuberculosis jarang terjadi dan
sulit untuk terdiagnosis. Tuberculosis muncul dalam bentuk skleritis pada 1-2%
kasus skleritis.29 Penyebaran dari bakteri tuberculosis (TB) ke sklera dapat terjadi
secara direk melalui lesi di area koroid atau konjungtiva. Bentuk klinis yang
muncul berupa nodular scleritis atau necrotizing scleritis (Bowling, 2016).
Diagnosis skleritis saat ini berpacu pada riwayat TB pada pasien, hasil
pemeriksaan slit lamp yang mengindikasikan adanya skleritis, serta polymerase
chain reaction (PCR). Pada pemeriksaan PCR dapat ditemukan protein MPB 64
yang spesifik untuk bakteri TB. Pengobatan pada skleritis tuberculosis
menggunakan OAT dengan waktu penggunaan selama 6 bulan.17
Infeksi sklera akibat leprosy menyebabkan necrotizing scleritis yang rekuren
bahkan setelah pengobatan sistemik. Selain leprosy infeksi akibat Trepanoma
pallidum pada penyakit sifilis juga dapat mengakibatkan skleritis infeksius dalam
bentuk nodular scleritis. Borrelia burgdorferi yang menyebakan lyme disease
juga dapat menyebabkan skleritis infeksius namun setelah pajanan yang lama.
Pseudomonas aeruginosadapat menyebabkan skleritis infeksius berhubungan
11
dengan tindakan operasi. Skleritis infeksius akibat Pseudomonas aeruginosa
muncul dalam bentuk necrotizing scleritis.4
12
mengalami mutasi adalah COL1A1 dan COL1A2. Kedua gen tersebut
bertanggung jawab pada pembentukan kolagen di tubuh. Mutasi pada kedua gen
tersebut dapat terjadi secara sporadis atau diturunkan dari orang tua. Pasien
dengan osteogenesis imperfecta 50% berisiko menurunkan defek gennya kepada
anaknya.
13
IV, V, VI, dan VIII dengan tipe I sebagai pembentuk utama. Akibat kegagalan
pembentukan kolagen yang sempurna, struktur sklera menjadi lebih rapuh.19
Berdasarkan klinis, genetik, dan biokimia, osteogenesis imperfecta dibagi jadi
4tipe klasifikasi oleh Sillence tahun 1981, yaitu osteogenesis imperfecta tipe I, II,
III, dan IV.20 Pada tipe I kelainan terjadi pada gen autosomal dominan. Pada tipe
II kelainan terjadi pada gen autosomal secara sporadis. Pada tipe III mutasi terjadi
pada beberapa autosomal dominan dan resesif. Pada tipe IV mutasi terjadi pada
gen autosomal resesif.20 Bentuk yang diketahui diser paling sering munculadalah
osteogenesis imperfecta tipe I.3
Pasien dengan osteogenesis imperfecta tipe I pasien mengalami fraktur di
beberapa tulang usia 1-2 tahun disertai dengan sedikit atau tanpa deformitas, sendi
yang hiperekstensi, postur tubuh yang sedikit lebih pendek, hipoplasia dental,
>50% mengalami tuli pada usia dewasa, sering lebam pada tubuh, blue sclera
persisten, megalocornea, dan arcus cornea. Osteogenesis imperfecta tipe II atau
disebut juga tipe perinatal lethal dicirikan oleh fraktur multipel dapat terjadi in
utero atau saat persalinan, anomali dental, tuli, postur pendek, blue sclera, dan
orbita yang dangkal.4
14
Gambar 8. Gambaran Klinis pada Pasien Osteogenesis Imperfecta19
15
secara berkala juga direkomendasikan untuk deteksi tuli pada pasien, Tindakan
operasi dapat dilakukan untuk koreksi fraktur dan deformitas tulang.3
Dari segi prognosis, tipe I dan II memiliki prognosis yang baik dimana usia
harapan hidup anak tinggi dan kualitas hidupnya baik. Tipe III memiliki prognosis
buruk dimana kualitas hidup pasien buruk namun masih dapat bertahan hidup.
Sedangkan pada tipe II prognosisnya sangat buruk dimana pasien sering
meninggal dini atau beberapa minggu setelah kelahiran.20 Penyebab meninggal
tersering diakibatkan oleh infeksi pada saluran pernafasan.4
Penyebab tersering blue sclera selain osteogenesis imperfecta adalah
sindrom Ehlers-Danlos tipe VI. Sindrom ini pertama kali ditemukan pada dekade
pertama abad ke-20, sebagai penyakit kongenital dengan manifestasi klinis
terutama pada kulit.22 Saat ini sindrom Ehlers Danlos dikenal sebagai kumpulan
gejala pada tubuh yang diakibatkan kelainan genetik pada formasi kolagen tubuh.
Kumpulan gejala yang muncul akibat kelainan formasi kolagen tersebut adalah
blue sclera, keratoglobus, keratoconus, struktur kulit yang rapuh dan hiperplastik,
hiperekstensi sendi, kifoskoliosis, serta anomali jantung dan pembuluh darah
(aneurisma vaskular, diseksi vaskular, ruptur spontan vaskular, dan prolapse katup
mitral).4 Dari segi epidemiologi, penyakit ini terjadi pada 1:50.000 kelahiran.22
Penyakit ini merupakankelainan autosomal dapat terjadi pada gen dominan
maupun resesif. Pada penyakit ini terjadi mutasi pada gen pengkode rantai
kolagen atau protein yang terlibat pada biogenesis kemudian gen yang mengalami
mutasi akan berekspresi dan aktif pada lokasinya masing-masing sehingga akan
muncul kelainan pada organ yang terdampak. Berdasarkan jenis gen yang
mengalami mutasi serta tanda dan gejala klinis yang muncul, sindrom Ehlers-
Danlos dibagi menjadi 8 tipe mayor, yaitu tipe I dan II/klasik, tipe III/joint
hypermobility syndrome (JHS), tipe IV/vaskuler, tipe V/X-linked, tipe VI/
ocularatau skoliosis, tipe VII A dan VIIB/ artrochalasis, tipe VII
C/dermatosparaxis, dan tipe VIII/periodontal. Sindrom Ehlers-Danlos yang
paling paling sering berhubungan dengan kelainan pada bidang okuler khususnya
sklera adalah tipe VI dan diikuti oleh tipe IV.22
16
Sindrom Ehlers-Danlos tipe VI termasuk dalam kelainan autosomal resesif,
dimana terjadi mutasi pada gen PLOD1, dimana gen ini bertanggung jawab pada
proses codinglysyl hydroxylase (American Academy of Ophthalmology, 2015).
Lysyl hydroxylasepada kondisi normal digunakan untuk proses hidroksilasi residu
lysin pada kolagen tipe I dan II. Kolagen yang telah terhidroksilasi selanjutnya
akan ditransfer menuju badan golgi lalu disusun menjadi satu wadah untuk
disekresikan ke matriks ekstraseluler (ECM). Pada ECM, kolagen akan berperan
untuk memperkuat ikatan jaringan. Mutasi yang terjadi pada proses coding lysyl
hydroxylase menyebabkan kolagen tidak terhidroksilasi. Kolagen tersebut ketika
dilepas di ECM tidak dapat memperkuat ikatan jaringan sehingga jaringan lebih
rapuh, tipis dan lebih mudah mengalami kerusakan.22
Pada sindrom Ehlers-Danlos tipe IV terjadi mutasi pada gen yang mengkode
kolagen tipe III, yaitu COL3A1. Gen ini diekspresikan kebanyakan pada
pembuluh darah. Akibat dari mutasi gen tersebut terjadi kerapuhan pada struktur
pembuluh darah sehingga dapat terjadi robekan pembuluh di berbagai organ.
17
Tabel 2. Klasifikasi Sindrom Ehlers-Danlos23
18
Tabel 3. Kriteria Diagnostik Villefranche22
19
Penatalaksanaan untuk penyakit blue sclera et causa EDS saat ini terbatas
pada terapi untuk memperbaiki kualitas hidup pasien sama seperti pada kasus
osteogenesis imperfecta. Sampai saat ini masih belum terdapat terapi yang dapat
menangani penyebab genetik pada EDS. Penelitian mengenai terapi gen dan
transplantasi sel stem masih terus dikembangkan untuk menangani penyebab
genetik penyakit tersebut.3
Prognosis pada penyakit EDS ini bervariasi tergantung tipe yang muncul
pada pasien. Tipe IV memiliki prognosis yang paling buruk karena kematian
paling sering dialami akibat komplikasi vaskuler pada pasien seperti diseksi dan
ruptur vaskuler. Tipe VI juga memiliki prognosis yang buruk akibat keterlibatan
dari pembuluh darah pada tipe tersebut.
B. Alkaptonuria
Alkaptonuria atau disebut juga ochronosis didefinisikan sebagai kelainan
autosomal resesif dimana terjadi mutasi homogentisic acid oxidase sehingga
terjadi gangguan metabolisme tirosin mengakibatkan deposit asam homogentisic
(pigmen berwarna kuning tua) di jaringan kolagen.24 Insidensi dari kelainan ini
diperkirakan pada 1-9/1.000.000 kelahiran. Alkaptonuria merupakan kelainan
kongenital namun baru menunjukkan morbiditas bertahun-tahun setelahnya
diperkirakan muncul pada usia diatas 30 tahun.25
20
Gambar 9. Jalur Metabolisme Tyrosine24
Pada anak-anak gejala utama yang muncul adalah warna urin yang berubah
jadi gelap setelah kontak dengan udara luar atau adanya bintik-bintik berwarna
hitam pada popok anak. Gejala tersebut berubah saat dewasa dimana gejala yang
muncul berupa osteoarthritis akibat deposit HGA di kartilago disertai dengan
gejala sistemik pada organ lain yaitu mata, telinga, kulit (berubah jadi gelap),
gangguan katup jantung, serta gangguan genital dan saluran kencing.25 Gangguan
yang muncul pada mata berupa warna abu-abu kebiruan atau pigmentasi hitam
secara generalisata di sklera kedua mata dan tendon muskulus rectus.4 Ada 4 tipe
pigmentasi yang dapat muncul pada sklera, yaitu vermiform kecil/tube-like,
pingecula-like/coktlat, dot-like, dan laminar. Disamping pigmentasi sklera, gejala
lain juga dapat muncul, yaitu astigmatisme berat yang progresif (muncul diatas
usia 70 tahun), hiperpigmentasi sudut bilik mata, dan peningkatan tekanan
intraokuler.24
21
Gambar 10. Pigmentasi Sklera akibat Alkaptonuria
Diagnosis dini dari alkaptonuria masih sulit ditegakkan karena hanya pada
minoritas pasien muncul dengan keluhan urin yang berubah warna gelap.
Mayoritas dari diagnosis ditemukan pada saat pasien dewasa diatas 30 tahun.
Diagnosis pada alkaptonuria dapat ditegakkan lewat munculnya tanda klinis pada
aspek okuler dan dipastikan dengan ditemukannya asam homogentisic di plasma
atau urin.
Penanganan yang dapat dilakukan pada mengurangi produksi HGA menjadi
asam benzoquinoneacetic (BQA) yang berbahaya di jaringan. BQA dapat
menyebabkan disfungsi pada jaringan. Untuk mecegah konversi HGA dapat
menggunakan terapi medikamentosa, yaitu nitisonone (inhibitor 4-hydroxyphenyl
pyruvatedioxygenase yang memblokade metabolisme tyrosine pada bagian awal
sehingga mengurangi produksi HGA), vitamin C (memunculkan efek antioksidan
pada HGA sehingga mengurangi konversinya menjadi BQA), dan restriksi dari
tyrosin serta fenilalanin.
Prognosis pada pasien dengan alkaptonuria umumnya. Komplikasi yang
dapat terjadi pada pasien dengan alkaptonuria adalah astigmatisme, oklusi vena
sentral, dan glaucoma.24
C. Haemochromatosis
Haemochromatosis merupakan kelainan hematologis dimana terjadi sindrom
overload besi pada tubuh. Kelainan sistemik yang muncul bergantung pada bagian
organ yang mengalami penumpukan besi. Penyakit ini terjadi secara primer
kongenital atau akibat sekunder dari penyakit sistemik yang menyebabkan
eritropoiesis tidak efektif (contohnya penyakit liver kronis dan porfiria).26
22
Penyebab kongenital dari haemochromatosis adalah kelainan autosomal
resesif dimana terjadi mutasi dari fenotip yang mengatur absorpsi besi, yaitu pada
haemojuvelin, hepsidin atau ferroportin. Akibat abnormalitas dari absorpsi besi,
besi menjadi menumpuk di tubuh, kemudian menyebabkan gangguan fungsional
dan perubahan anatomis di target organ.26 Secara klasik gejala muncul dalam trias
warna kulit menjadi perunggu, hepatomegaly, dan diabetes.4 Gejala mata kering,
sklera yang ikterik, dan konjungtiva berwarna karat dapat terjadi.
23
Penatalaksanaan dari penyakit ini meliputi diagnosis dini dan program
manajemen komprehensif untuk mencegah penumpukan besi di jaringan tubuh.
Penatalaksanaan secara umum meliputi phlebotomy, pemberian agen kelasi besi,
dan reduksi konsumsi makanan dengan kandungan besi. Phlebotomy digunakan
sebagai sarana diagnosis dan terapi yang penting untuk menghindari jejas akibat
besi. Prognosis yang muncul pada pasien ini umumnya baik. Komplikasi yang
dapat muncul pada pasien haemochromatosis adalah kardiomiopati,
atherosclerosis, atrofi testis, amenorrhea, dan disfungsi seksual.
D. Congenital Ocular Melanocytosis
Congenital Ocular Melanocytosis adalah kelainan kongenital pada okuler
yang ditandai dengan peningkatan jumlah, ukuran dan pigmentasi melanosit
dalam sklera serta uvea. Kulit daerah periokuler, orbita, meninges, dan palatum
molle dapat terlibat juga. Insidensinya terjadi pada 1/5.000 kelahiran dan menjadi
faktor risiko melanoma uvea. Penyebab dari melanositosis oculi adalah
peningkatan melanosit dalam iris, koroid, dan struktur sekitarnya.4
Berdasarkan klinis dan lokasinya dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu
melanositosis okuler, melanositosis dermal, melanositosis okulodermal, dan
melanositosis ipsilateral. Melanositosis okuler adalah bentuk yang paling jarang.
Tanda klinis yang muncul tampak sebagai pigmentasi keabuan di sklera dan
episklera. Konjungtiva dibawahnya mobile diatas pigmentasi episklera. Melanosit
yang terdeposit di mata dapat mengakibatkan blokade trabecular meshwork
sehingga menimbulkan glaukoma.4
24
2.3.4 Penyakit Degeneratif
Penyakit ini merupakan penyakit yang berhubungan dengan usia dan sering
melibatkan kedua mata. Pada usia lebih tua, kekakuan sklera dapat bertambah
diikuti dengan penurunan hidrasi dan jumlah mukopolisakarida. Perubahan ini
juga diikuti dengan deposit lemak di daerah subkonjungtiva sehingga sklera
tampak berwarna kuning. Kalsium juga dapat menumpuk secara difus diantara
kolagen sklera dalam bentuk kristal atau granul atau plak anterior dari muksulus
rectus horizontal (media dan lateralis).3
Kalsium yang menumpuk seringkali terkalsifikasi di bagian tengah sklera
hingga ke koroid dan dikelilingi oleh kolagen aseluler. Hal ini disebut dengan
kalsifikasi sklerokoroid. Tanda yang muncul pada kalsifikasi sklerokoroid adalah
lesi fundus berwarna putih kekuningan multipel, berlokasi dalam regio mid perifer
superotemporal atau inferotemporal. Lokasi ini berhubungan dengan vaskuler di
bagian tersebut. Untuk deteksi adanya kalsifikasi sklerakoroid dapat dilakukan
USG bola mata, menunjukkan refleksilesi plak koroid dengan bayangan pada
orbita.4
Disamping dari kalsifikasi sklerokoroid, kelainan degeneratif yang dapat
muncul pada usia tua adalah terbentuknya plak hialin sklera. Penyebab
terbentuknya plak tersebut karena adanya degenerasi dari kolagen hialin akibat
paparan lama sinar matahari. Tanda yang muncul yaitu sklera yang tipis berwarna
keabuan dengan area yang mengalami depresi di insersio muskulus rectus media
et lateralis. Plak terbentuk secara bilateral di kedua mata, well defined, dengan
bentuk ovoid ke arah vertikal. Berdasarkan ukuran plaknya, dapat diklasifikasikan
menjadi 2 bentuk, yaitu inkomplit dan komplit. Plak hialin komplit terbentuk
bilateral dan simetris dengan ukuran >2mm, sedangkan plak hialin inkomplit
terbentuk bilateral dan simetris dengan ukuran <2mm.27
Bentuk lain dari proses degeneratif sklera adalah skleromalasia senilis.
Skleromalasia senilis merupakan istilah untuk terbentuknya defek partial
thickness pada sklera berbentuk ireguler, atau oval atau seperti ginjal secara
spontan. Pada skleromalasia senilis umumnya juga diikuti oleh pembentukan plak
hialin di kedua mata.4 Belum ada terapi pasti yang dapat diberikan untuk
25
menangani proses degeneratif pada sklera. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan
adalah dengan pemberian agen anticollagenase sistemik dan proteksi mata
terhadap trauma.
26
BAB 3. KESIMPULAN
Kelainan yang disebabkan oleh reaksi imun tersebut muncul dalam bentuk
episkleritis dan skleritis. Kelainan sklera karena infeksi dapat muncul dalam
bentuk skleritis. Penyakit kongenital yang terjadi pada sklera muncul dengan
tanda berupa perubahan warna diantaranya alkaptonuria, haemochromatosis, dan
blue sclera. Penyakit degeneratif yang dapat terjadi pada sklera, yaitu kalsifikasi
sklerokoroid idiopatik, scleral hyaline plaque, dan skleromalasia senilis.
27
DAFTAR PUSTAKA
1.Ilyas, Sidarta dan Yulianti. 2015. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta:
FKUI.
2. Forrester JV, Dick AD, McMenamin PG, Roberts F, Pearlman E. 2016. The
Eye Basic Sciences in Practice 4th Edition. Elsevier.
6. Addo E, Basiro OA, Siwale R. 2016. Anatomy of The Eye and Common
Diseases Affecting The Eye. USA: Springer Intl. Publishing.
7. Dawson DG, Ubels JL, Edelhauser HF. 2015. Cornea and Sclera In: Alder’s
Physiology of The Eye. Elsevier.
10. Len Koh. 2017. Diagnosis and Treatment of Episcleritis. Pacific University
Collage of Optometry.
28
12. Acharya, Nisha. 2016. Basic management of anterior scleritis. Retina Today
Journal.
13. Lamba N, Lee S, Chaudhry H, Foster CS. 2016. A review of the ocular
manifestations of rheumatoid arthritis. Cogent Medicine Journal Vol (3):
1-5.
14. Ryu SJ, Kang MH, Seong M, Cho H, Shin YU. 2017. Anterior scleritis
following intravitreal injections in a patient with rheumatoid arthritis.
Medicine Journal (1): 1-4.
15. Sielert LA, Harris AR, Pyun JM, Campbell BJ, Swan RT. 2016. Posterior
scleritis. Expert Review of Ophthalmology Journal.
18. Hassen GW, Chirurgi R, Kalantari H. 2017. Blue sclera secondary to severe
iron deficiency anemia. Int. J. of Med.: 1-2.
19. Das, Sujit dan Bhatnagar, Kavita. 2018. Blue Sclera and Osteogenesis
Imperfecta A Rare Association. Kerala Journal of Ophthalmology Vol
29: 240-243.
21. Shukri N, Muhammad I, Salim R. 2015. A boy with blue sclera and recurrent
fractures. Malaysian Family Physician Vol 10 (1): 52-53.
29
25. Islam N, Kamal SM, Hossain, Amir S, Islam S. 2016. Alkaptonuria.
Bangladesh Medical Journal Khulna Vol. 49: 37-39.
28. Coussa RG, Wakil SM, Saheb H, Lederer DE, Oliver KM, Cheema DP. 2017.
Anterior infectious necrotizing scleritis secondary to
Pseudomonasaeruginosa infection following intravitreal ranibizumab
injection. American Journal of Ophthalmology Case ReportsVol (5): 16-
19.
30