Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

SKLERITIS

Disusun Oleh:

Tri Bakti Oktarizal

(1102014267)

Pembimbing:

dr. Surtiningsih, Sp.M

Ilmu Kesehatan Mata RSUD Arjawinangun

Fakultas Kedokteran Universitas YARSI

Tahun 2019
BAB 1
PENDAHULUAN

Skleritis adalah gangguan granulomatosa kronik yang ditandai oleh destruksi


kolagen, sebukan sel, dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya vaskulitis. Skleritis
disebabkan oleh berbagai macam penyakit baik penyakit autoimun ataupun penyakit sistemik.

Adapun gejala-gejala umum yang biasa terjadi pada skleritis yaitu rasa nyeri berat yang
dapat menyebar ke dahi, alis, dan dagu. Rasa nyeri ini terkadang dapat membangunkan dari
tidur akibat sakitnya yang sering kambuh. Pergerakan bola mata dan penekanan pada bulbus
okuli juga dapat memperparah rasa nyeri tersebut. Rasa nyeri yang berat pada skleritis dapat
dibedakan dari rasa nyeri ringan yang terjadi pada episkleritis yang lebih sering dideskripsikan
pasien sebagai sensasi benda asing di dalam mata. Selain itu terdapat pula mata merah berair,
fotofobia, dan penurunan tajam penglihatan.

Skleritis dapat menimbulkan berbagai komplikasi jika tidak ditangani dengan baik
berupa keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina, ablasio retina eksudatif, proptosis,
katarak, dan hipermetropia. Penatalaksanaan skleritis tergantung pada penyakit yang
mendasarinya. Oleh karena itu perlu diagnosis yang tepat sesuai dengan etiologinya guna
penatalaksanaan lebih lanjut.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sklera
2.1.1 Anatomi sklera1 2
Sklera yang juga dikenal sebagai bagian putih bola mata, merupakan kelanjutan
dari kornea. Sklera berwarna putih buram dan tidak tembus cahaya, kecuali di bagian
depan bersifat transparan yang disebut kornea. Sklera merupakan dinding bola mata
yang paling keras dengan jaringan pengikat yang tebal, yang tersusun oleh serat
kolagen, jaringan fibrosa dan proteoglikan dengan berbagai ukuran. Pada anak-anak,
sklera lebih tipis dan menunjukkan sejumlah pigmen, yang tampak sebagai warna
biru. Sedangkan pada dewasa karena terdapatnya deposit lemak, sklera tampak sebagai
garis kuning.

Gambar 1. Anatomi Mata

Sklera dimulai dari limbus, dimana berlanjut dengan kornea dan berakhir pada
kanalis optikus yang berlanjut dengan dura. Enam otot ekstraokular disisipkan ke
dalam sklera. Jaringan sklera menerima rangsangan sensoris dari nervus siliaris
posterior. Sklera merupakan organ tanpa vaskularisasi, menerima rangsangan tersebut
dari jaringan pembuluh darah yang berdekatan. Pleksus koroidalis terdapat di bawah
sklera dan pleksus episkleral di atasnya. Episklera mempunyai dua cabang, yang
pertama pada permukaan dimana pembuluh darah tersusun melingkar, dan yang
satunya lagi yang lebih di dalam, terdapat pembuluh darah yang melekat pada sklera

Sklera membentuk 5/6 bagian dari pembungkus jaringan pengikat pada bola
mata posterior. Sklera kemudian dilanjutkan oleh duramater dan kornea, untuk
menentukan bentuk bola mata, penahan terhadap tekanan dari luar dan menyediakan
kebutuhan bagi penempatan otot-otot ekstra okular. Sklera ditembus oleh banyak saraf
dan pembuluh darah yang melewati foramen skleralis posterior. Pada cakram optikus,
2/3 bagian sklera berlanjut menjadi sarung dural, sedangkan 1/3 lainnya berlanjut
dengan beberapa jaringan koroidalis yang membentuk suatu penampang yakni lamina
kribrosa yang melewati nervus optikus yang keluar melalui serat optikus atau
fasikulus. Kedalaman sklera bervariasi mulai dari 1 mm pada kutub posterior hingga
0,3 mm pada penyisipan muskulus rektus atau akuator.

Sklera mempunyai 2 lubang utama yaitu:

1) Foramen sklerasis anterior, yang berdekatan dengan kornea dan merupakan


tempat meletaknya kornea pada sklera.

2) Foramen sklerasis posterior atau kanalis sklerasis, merupakan pintu keluar


nervus optikus. Pada foramen ini terdapat lamina kribosa yang terdiri dari sejumlah
membran seperti saringan yang tersusun transversal melintas foramen sklerasis
posterior. Serabut saraf optikus lewat lubang ini untuk menuju ke otak.

Gambar 2. Struktur Sklera

Secara histologis, sklera terdiri dari banyak pita padat yang sejajar dan berkas-
berkas jaringan fibrosa yang teranyam, yang masing-masing mempunyai tebal 10-16
µm dan lebar 100-140 µm, yakni episklera, stroma, lamina fuska dan endotelium.
Struktur histologis sklera sangat mirip dengan struktur kornea.
Gambar 3. Histologi Sklera

2.1.2 Fisiologi sklera1 2

Sklera berfungsi untuk menyediakan perlindungan terhadap komponen intra okular.


Pembungkus okular yang bersifat viskoelastis ini memungkinkan pergerakan bola mata tanpa
menimbulkan deformitas otot-otot penggeraknya. Pendukung dasar dari sklera adalah adanya
aktifitas sklera yang rendah dan vaskularisasi yang baik pada sklera dan koroid. Hidrasi yang
terlalu tinggi pada sclera menyebabkan kekeruhan pada jaringan sklera. Jaringan kolagen
sklera dan jaringan pendukungnya berperan seperti cairan sinovial yang memungkinkan
perbandingan yang normal sehingga terjadi hubungan antara bola mata dan socket.
Perbandingan ini sering terganggu sehingga menyebabkan beberapa penyakit yang mengenai
struktur artikular sampai pembungkus sklera dan episklera.

2.2 Skleritis

2.2.1 Definisi6

Skleritis merupakan inflamasi ocular yang cukup berat yang terjadi pada sklera, bagian
yang melindungi mata. Skleritis dapat dikategorikan sebagai anterior dengan difus, nodular, atau
tipe necrotizing. Skleritis menyebabkan perubahan mata yang dapat dilihat secara signifikan.
Presentasi dapat terjadi unilateral maupun bilateral.
2.2.2 Epidemiologi 6

Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menjelaskan bahwa terdapat 10.500 kasus
skleritis tiap tahunnya, dengan estimasi 4 – 6 kasus per 100.000 manusia. Skleritis paling sering
terjadi pada usia pertengahan, antara 47 tahun sampai 60 tahun. Skleritis lebih sering terjadi pada
wanita dengan angka kejadian 60 – 74% lebih banyak dibandingkan laki laki. Sedikit penelitian
yang mengatakan skleritis dapat terjadi pada anak anak, namun ada beberapa kasus dimana skleritis
terjadi pada pasien dengan juvenile idiopathic arthritis.

2.2.3 Etiologi 6

Skleritis diperkirakan berhubungan dengan beberapa kondisi sistemik diantaranya adalah :

1. Autoimmune collagen disorders, terutama rheumatoid arthritis, yang paling sering


terjadi bersama dengan skleritis. 5% dari seluruh kasus skleritis berhubungan erat
dengan penyakit jaringan ikat. Sekitar 0.5% dari pasien skleritis juga menunjukkan
hasil serologi positive rheumatoif arthritis. Penyakit kolagen lainnya yaitu wegener’s
granulomatosis, polyarteritis nodosa, systemic lupus erythematosus, dan ankylosing
spondylitis.
2. Metabolic disorders seperti gout dan tirotoksikosis berkaitan dengan kejadian skleritis
3. Infeksi seperti herpes zoster optalmikus, stafilokokus kronis, dan infeksi streptokokus
dipercaya berperan dalam terjadinya skleritis.
4. Granulomatous diseases seperti tuberkulosis, sifilis, sarcoidosis, dan leprosy juga dapat
menyebabkan skleritis.
5. Kondisi lain seperti radiasi, luka kimia, dan rosasea juga dianggap berpengaruh
terhadap kejadian skleritis meskipun belum dapat dibuktikan.
6. Surgically induced scleritis dapat terjadi akibat operasi yang dilakukan pada mata. Hal
ini terjadi 6 bulan post operasi.
7. Idiopatik

2.2.4 Patofisiologi 34

Skleritis adalah peradangan primer pada sklera, yang biasanya (sekitar 50 persen kasus)
berhubungan dengan penyakit sistemik. Penyakit tersering yang menyebabkan skleritis antara
lain adalah rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis, systemic lupus erythematosus,
polyarteritis nodosa, Wegener's granulomatosis, herpes zoster virus, gout dan sifilis.
Karena sklera terdiri dari jaringan ikat dan serat kolagen, skleritis adalah gejala utama
dari gangguan vaskular kolagen pada 15% dari kasus. Gangguan regulasi autoimun pada pasien
yang memiliki predisposisi genetik dapat menjadi penyebab terjadinya skleritis. Faktor
pencetus dapat berupa organisme menular, bahan endogen, atau trauma. Proses peradangan
dapat disebabkan oleh kompleks imun yang mengakibatkan kerusakan vaskular
(hipersensitivitas tipe III) ataupun respon granulomatosa kronik (hipersensitivitas tipe IV).

Hipersensitivitas tipe III dimediasi oleh kompleks imun yang terdiri dari antibody IgG
dengan antigen. Hipersensitivitas tipe III terbagi menjadi reaksi lokal (reaksi Arthus) dan reaksi
sistemik. Reaksi lokal dapat diperagakan dengan menginjeksi secara subkutan larutan antigen
kepada penjamu yang memiliki titer IgG yang signifikan. Karena FcgammaRIII adalah reseptor
dengan daya ikat rendah dan juga karena ambang batas aktivasi melalui reseptor ini lebih tinggi
dari pada untuk reseptor IgE, reaksi hipersensitivitas lebih lama dibandingkan dengan tipe I,
secara umum memakan waktu maksimal 4 – 8 jam dan bersifat lebih menyeluruh. Reaksi
sistemik terjadi dengan adanya antigen dalam sirkulasi yang mengakibatkan pembentukan
kompleks antigen – antibodi yang dapat larut dalam sirkulasi. Patologi utama dikarenakan
deposisi kompleks yang ditingkatkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular yang
diakibatkan oleh pengaktivasian dari sel mast melalui FcgammaRIII. Kompleks imun yang
terdeposisi menyebabkan netrofil mengeluarkan isi granul dan membuat kerusakan pada
endotelium dan membran basement sekitarnya. Kompleks tersebut dapat terdisposisi pada
bermacam – macam lokasi seperti kulit, ginjal, atau sendi. Contoh paling sering dari
hipersensitivitas tipe III adalah komplikasi post – infeksi seperti arthritis dan glomerulonefritis.

Hipersensitivitas tipe IV adalah satu – satunya reaksi hipersensitivitas yang disebabkan


oleh sel T spesifik – antigen. Tipe hipersensitivitas ini disebut juga hipersensitivitas tipe
lambat. Hipersensitivitas tipe lambat terjadi saat sel jaringan dendritik telah mengangkat
antigen lalu memprosesnya dan menunjukkan pecahan peptida yang sesuai berikatan dengan
MHC kelas II, kemudian mengalami kontak dengan sell TH1 yang berada dalam jaringan.
Aktivasi dari sel T tersebut, membuatnya memproduksi sitokin seperti kemokin untuk
makrofag, sel T lainnya, dan juga kepada netrofil. Konsekuensi dari hal ini adalah adanya
infiltrasi seluler yang mana sel mononuklear (sel T dan makrofag) cenderung mendominasi.
Reaksi maksimal memakan waktu 48 – 72 jam. Contoh klasik dari hipersensitivitas tipe lambat
adalah tuberkulosis. Contoh yang paling sering adalah hipersensitivitas kontak yang
diakibatkan dari pemaparan seorang individu dengan garam metal atau bahan kimia reaktif.
Jaringan imun yang terbentuk dapat mengakibatkan kerusakan sklera, yaitu deposisi
kompleks imun di kapiler episklera, sklera dan venul poskapiler (peradangan mikroangiopati).
Tidak seperti episkleritis, peradangan pada skleritis dapat menyebar pada bagian anterior atau
bagian posterior mata.

2.2.5 Klasifikasi 345

Tabel 1. Klasifikasi skleritis

Anterior non-necrotizing scleritis dibagi menjadi 2 yaitu tipe diffuse dan nodular.
Untuk tipe diffuse biasa terjadi pada wanita dan muncul pada dekade kelima. Gejala yang biasa
muncul yaitu kemerahan pada mata yang progresif dan beberapa hari kemudian mata menjadi
nyeri yang dapat menjallar sampai ke wajah. Kejadian ini dapat membangunkan pasien di pagi
hari dan keluhan akan berkurang di siang hari. Tipe diffuse biasa tidak memberikan respon
yang baik terhadap terapi analgesi. Tanda yang dapat muncul yaitu dapat ditemukan adanya
kongesi vaskular dan dilatasi yang mengakibatkan edema. Kemerahan yang timbul juga
bersifak merata pada seluruh sklera. Keluhan lain yaitu dapat terjadi kemosis, pembengkakan
kelopak mata, uveitis anterior, dan meningkatnya tekanan intraokular. Proses penyembuhan
biasa memakan waktu yang lama untuk benar benar tuntas karena biasanya penyakit ini dapat
rekurensi sampai dengan 6 tahun.

Pada skleritis non-necrotizing tipe nodular insidensinya sama dengan tipe difuse namun
biasanya pada tipe ini pasien memiliki riwayat penyakit herpes zoster optalmikus sebelumnya.
Gejala yang ditimbulkan yaitu nyeri yang timbul secara mendadak disertai kemerahan pada
mata, selain itu yang khas pada tipe ini adalah dapat ditemukan nodul pada sklera. Tanda yang
dapat ditemukan yaitu adanya nodul sklera baik satu ataupun banyak dan biasanya tumbuh di
daerah intrapalperba mendekati limbus. Proses penyembuhan sama dengan tipe difusa. Sekitar
lebih dari 10% pada pasien dengan tipe ini berlanjut menjadi tipe necrotizing.

Tipe anterior necrotizing skleritis merupakan bentuk agresif dari skleritis. Onset pada
penyakit ini biasa diatar usia 60 tahun. Kondisi ini bilateral pada 60% pasien dan apabila tidak
segera ditangani dapat mengakibatkan morbiditas yang berujung pada kebutaan. Gejala yang
timbul biasanya adalah nyeri yang sangat hebat dan persisten dan menjalar ke sekitar wajah,
hal ini dapat mengganggu aktifitas pasien seperti tidur maupun lainnya. Tanda yang dapat
ditemukan yaitu adanya injeksi yang menyebar sampai ke limbus. Selanjutnya dapat ditemuka
sklera, episklera, konjungtifa, dan kornea bentuknya menjadi tidak rata dan terjadi edema.

Tipe skleritis posterior merupakan kondisi yang dapat mengakibatkan kebutaan apabila
telat mendiagnosa. Perubahan yang diakibatkan oleh inflamasi pada posterior dan anterior
hampir mirip. Onset pada penyakit ini terjadi pada usia 40 tahun. Gejala yang dapat ditemukan
yaitu adanya nyeri dan juga fotofobia. Tanda yang ditemukan yaitu penyakit ini terjadi pada
bilateral pada. Dapat pula ditemukan adanya choroidal fold dan exudative retinal detachment
(gambar 5)

Gambar 5. Choroidal folds

Dapat pula ditemukan adanya efusi uvea (gambar 6). Edema pada diskus dapat terjadi sehingga
mengakibatkan penurunan penglihatan dan apabila hal ini tidak ditangani dapat berujung
kepada hilangnya penglihatan. Keluhan lain yang dapat muncul yaitu nyeri saat menggerakkan
bola mata, hal ini disebabkan karena myositis.
Gambar 6. Efusi uvea

2.2.6 Diagnosis 26

Pada saat anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien, perjalanan penyakit,
riwayat penyakit dahulu termasuk riwayat infeksi, trauma ataupun riwayat pembedahan
juga perlu pemeriksaan dari semua sistem pada tubuh. Gejala-gejala dapat meliputi rasa
nyeri, mata berair, fotofobia, spasme, dan penurunan ketajaman penglihatan. Tanda
primernya adalah mata merah. Nyeri adalah gejala yang paling sering dan merupakan
indikator terjadinya inflamasi yang aktif.. Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan
peregangan ujung saraf akibat adanya inflamasi. Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu nyeri
terasa berat, nyeri tajam menyebar ke dahi, alis, rahang dan sinus, pasien terbangun sepanjang
malam, kambuh akibat sentuhan. Nyeri dapat hilang sementara dengan penggunaan
obat analgetik. Mata berair atau fotofobia pada skleritis tanpa disertai sekret mukopurulen.
Penurunan ketajaman penglihatan biasa disebabkan oleh perluasan dari skleritis ke struktur
yang berdekatan yaitu dapat berkembang menjadi keratitis, uveitis, glaucoma, katarak dan
fundus yang abnormal.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan sklera bisa terlihat merah kebiruan atau
keunguan yang difus. Setelah serangan yang berat dari inflamasi sklera, daerah penipisan sklera
dan translusen juga dapat muncul dan juga terlihat uvea yang gelap. Area hitam, abu-abu dan
coklat yang dikelilingi oleh inflamasi yang aktif yang mengindikasikan adanya proses nekrotik.
Jika jaringan nekrosis berlanjut, area pada sklera bisa menjadi avaskular yang menghasilkan
sekuester putih di tengah yang dikelilingi lingkaran coklat kehitaman. Proses pengelupasan
bisa diganti secara bertahap dengan jaringan granulasi meninggalkan uvea yang kosong atau
lapisan tipis dari konjungtiva

Pada pemeriksaan slitlamp skleritis, terjadi bendungan yang masif di jaringan dalam
episklera dengan beberapa bendungan pada jaringan superfisial episklera. Pada tepi anterior
dan posterior cahaya slit lamp bergeser ke depan karena episklera dan sklera edema. Pada
skleritis dengan pemakaian fenilefrin hanya terlihat jaringan superfisial episklera yang
pucat tanpa efek yang signifikan pada jaringan dalam episklera.

2.2.7 Diagnosis banding 2 5

Episkleritis
Episkleritis adalah reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak antara konjungtiva
dan permukaan sklera. Episkleritis dapat merupakan suatu reaksi toksik, alergik, bagian dari
infeksi, serta dapat juga terjadi secara spontan dan idiopatik. Episkleritis umumnya mengenai
satu mata, terutama pada wanita usia pertengahan dengan riwayat penyakit reumatik.
Episkleritis sering tampak seperti skleritis. Namun, pada episkleritis proses peradangan dan
eritema hanya terjadi pada episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan konjungtiva.
Episkleritis mempunyai onset yang lebih akut dan gejala yang lebih ringan dibandingkan
dengan skleritis. Selain itu episkleritis tidak menimbulkan turunnya tajam penglihatan.

Gambar 7. Episkleritis
Keluhan pasien episkleritis berupa mata kering, rasa nyeri ringan, dan rasa mengganjal.
Terdapat pula konjungtiva yang kemotik. Bentuk radang pada episkleritis mempunyai
gambaran benjolan setempat dengan batas tegas dan warna merah ungu di bawah konjungtiva.
Bila benjolan ini ditekan dengan kapas atau ditekan pada kelopak di atas benjolan, maka akan
timbul rasa sakit yang dapat menjalar ke sekitar mata. Terlihat mata merah satu sektor yang
disebabkan melebarnya pembuluh darah di bawah konjungtiva. Pembuluh darah episklera ini
dapat mengecil bila diberi fenilefrin 2,5% topikal. Sedangkan pada skleritis, melebarnya
pembuluh darah sklera tidak dapat mengecil bila diberi fenilefrin 2,5% topikal.

Diagnosis banding lainnya selain episkleritis adalah konjungtifitis alergi, herpes zostes
oftalmikus, rosasea ocular, uveitis anterior, karsinoma sel skuamosa pada konjungtiva maupun
pada palpebral.

Gambar 8. Pelebaran pembuluh darah sklera yang tidak mengecil dengan pemberian
fenilefrin 2,5% topikal.

Gambar 9. Pelebaran pembuluh darah episklera yang mengecil dengan pemberian fenilefrin 2,5%
topikal.
2.2.8 Pemeriksaan penunjang 3

Pemeriksaan laboratorium berguna untuk dapat identifikasi penyakit sistemik penyerta atau
untuk menentukan apakah terjadi reaksi imunologis. Pemeriksaan yang dianjurkan antara lain
adalah :

1. TLC, DLC, dan ESR


2. Level serum dari komplemen (C3), kompleks imun, faktor rheumatoid, antibody
antinuclear, dan sel LE
3. VDRL dan TPHA untuk sifilis
4. Kadar asam urat untuk gout
5. Analisa urin
6. Tes mantoux
7. Pemeriksaan rontgen toraks

2.2.9 Komplikasi 3

Komplikasi yang dapat timbul diantaranya adalah:

1. Acute infiltrative stromal keratitis


2. Sclerosing keratitis, dikarakteristik sebagai penipisan dan opasitas dari kornea tempat
terjadinya skleritis
3. Peripheral ulcerative keratitis, dikarakteristik sebagai ulserasi progresif dan dapat
mengakibatkan kerusakan permanen pada mata. Penyakit ini dapat terjadi pada skleritis
necrotizing
4. Uveitis
5. Glaukoma merupakan penyebab tersering dari kehilangan penglihatan
6. Perforasi sklera sangat jarang terjadi

2.2.10 Tatalaksana 3 4

Terapi skleritis disesuaikan dengan penyebabnya. Terapi awal skleritis adalah obat
anti inflamasi non-steroid sistemik. Obat pilihan adalah indometasin 100 mg perhari atau
ibuprofen 300 mg perhari. Pada sebagian besar kasus, nyeri cepat mereda diikuti oleh
pengurangan peradangan. Apabila tidak timbul respon dalam 1-2 minggu atau segera setelah
tampak penyumbatan vaskular harus segera dimulai terapi steroid sistemik dosis tinggi. Steroid
ini biasanya diberikan peroral yaitu prednison 80 mg perhari yang ditirunkan dengan cepat
dalam 2 minggu sampai dosis pemeliharaan sekitar 10 mg perhari. Kadangkala, penyakit
yang berat mengharuskan terapi intravena berdenyut dengan metil prednisolon 1 g setiap
minggu.

Obat-obat imunosupresif lain juga dapat digunakan. Siklofosfamid sangat bermanfaat


apabila terdapat banyak kompleks imun dalam darah. Tetapi steroid topikal saja tidak
bermanfaat tetapi dapat dapat menjadi terapi tambahan untuk terapi sistemik. Apabila dapat
diidentifikasi adanya infeksi, harus diberikan terapi spesifik. Peran terapi steroid sistemik
kemudian akan ditentukan oleh sifat proses penyakitnya, yakni apakah penyakitnya merupakan
suatu respon hipersensitif atau efek dari invasi langsung mikroba.

Tindakan bedah jarang dilakukan kecuali untuk memperbaiki perforasi sklera atau
kornea. Tindakan ini kemungkinan besar diperlukan apabila terjadi kerusakan hebat akibat
invasi langsung mikroba, atau pada granulomatosis Wegener atau poliarteritis nodosa
yang disertai penyulit perforasi kornea. Penipisan sklera pada skleritis yang semata-mata
akibat peradangan jarang menimbulkan perforasi kecuali apabila juga terdapat galukoma atau
terjadi trauma langsung terutama pada usaha mengambil sediaan biopsi. Tandur sklera pernah
digunakan sebagai tindakan profilaktik dalam terapi skleritis, tetapi tandur semacam itu
tidak jarang mencair kecuali apabila juga disertai pemberian kemoterapi.

Skleromalasia perforans tidak terpengaruh oleh terapi kecuali apabila terapi


diberikan pada stadium paling dini penyakit. Karena pada stadium ini jarang timbul gejala,
sebagian besar kasus tidak diobati sampai timbul penyulit.
BAB III

KESIMPULAN

Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya infiltrasi
seluler, kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler. Skleritis merupakan penyakit yang jarang
terjadi. Skleritis biasanya terjadi bersama dengan penyakit sistemik, yaitu penyakit autoimun
dan infeksi, namun bisa juga terjadi secara idiopatik. Adapun gejala-gejala umum yang biasa
terjadi pada skleritis yaitu rasa nyeri berat yang dapat menyebar ke dahi, alis, dan dagu. Selain
itu terdapat pula mata merah berair, fotofobia, dan penurunan tajam penglihatan.

Skleritis dapat digolongkan menjadi skleritis anterior dan skleritis posterior. Sekitar
94% kasus skleritis merupakan skleritis anterior dan sisanya adalah skleritis posterior. Skleritis
anterior sendiri dapat dibagi lagi menjadi 4 macam yaitu diffuse anterior scleritis, nodular
anterior scleritis, necrotizing scleritis with inflammation, dan necrotizing scleritis without
inflammation (scleromalacia perforans). Untuk mendiagnosa skleritis diperlukan adanya
anamnesis, pemeriksaan fisik dan oftalmologi, serta pemeriksaan penunjang.

Skleritis dapat didiagnosa banding dengan episkleritis. Namun kedua penyakit ini dapat
dibedakan melalui lokasi terjadinya peradangan. Pada episkleritis, proses peradangan hanya
terlokalisir di daerah episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan konjungtiva. Sedangkan pada
skleritis proses peradangan dapat meluas ke seluruh bagian sklera. Selain itu, rasa nyeri yang
berat pada skleritis dapat dibedakan dari rasa nyeri ringan yang terjadi pada episkleritis yang
lebih sering dideskripsikan pasien sebagai sensasi benda asing di dalam mata.

Tatalaksana skleritis membutuhkan pengobatan sistemik. Obat-obatan yang biasa


dipakai yaitu NSAIDs, kortikosteroid, agen imunosupresan, dan imunomodulator. Apabila
terdapat penyakit penyerta, harus dikonsultasikan ke bagian terkait. Komplikasi yang dapat
terjadi pada penyakit skleritis yaitu edema makular, perforasi sklera, glaukoma, uveitis,
katarak, dan keratitis. Prognosis skleritis seringkali tergantung pada penyakit sistemik yang
menyertainya. Necrotizing scleritis dapat menyebabkan hilangnya penglihatan secara
permanen
DAFTAR PUSTAKA

1. Riordan-Eva, Paul, John P.Whitcher. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology.


USA: Mc.GrawHill; 2008.
2. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2010.
3. Khurana A K. Comprehensive Ophthalmology 4th ed. India: New Age International
Limited Publishers; 2007
4. Bowling B. Kanski’s Clinical Ophtalmology : A Systematic Approach 8th ed : Elsevier
; 2016
5. Lagina A. Ramphul K. Scleritis. StatPearls Publishing; 2018
6. Augburger J J. Azar D T. Bakri S J. Ophthalmology 5th ed: Elservier; 2019

Anda mungkin juga menyukai