Anda di halaman 1dari 35

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2022


UNIVERSITAS HASANUDDIN

KONJUNGTIVITIS

Oleh:
Muhammad Firman Pratama Salama S.Ked
C014192028

RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Geraldi Ayub Fujiwan Tombe

SUPERVISOR:
dr. Muhammad Irfan, M. Kes, Sp.M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN


KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNVERSITAS HASANUDDIN
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Muhammad Firman Pratama Salama

NIM : C014192028

Judul Referat : Konjungtivitis

Adalah benar telah menyelesaikan refarat dengan judul “Konjungtivitis” dan telah disetujui serta
telah dibacakan di hadapan supervisor pembimbing dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian
Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Periode 19 September – 15
Oktober 2022.

Makassar, 6 Oktober 2022

Residen Pembimbing Supervisor Pembimbing

dr. Geraldi Ayub Fujiwan Tombe dr. Muhammad Irfan, M. Kes, Sp.M

i
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. i

DAFTAR ISI ..................................................................................................ii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN… .......................................................................... 1

Pendahuluan ............................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 2

A. Definisi .............................................................................................. 2
B. Anatomi ............................................................................................. 2
C. Epidemiologi ..................................................................................... 5
D. Etiologi & Faktor resiko .................................................................... 5
E. Patogenesis ........................................................................................ 6
F. Klasifikasi .......................................................................................... 8
G. Diagnosis ......................................................................................... 24
H. Diagnosis Banding........................................................................... 25
I. Komplikasi ...................................................................................... 26
J. Prognosis ......................................................................................... 26
K. Edukasi ........................................................................................... 27
BAB III KESIMPULAN ............................................................................. 28
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 29

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

Mata merupakan salah satu organ yang memiliki peranan penting bagi
tubuh, terutama sebagai indera penglihatan. Dalam menjalankan fungsinya, mata di
tunjang oleh berbagai struktur, termasuk konjungtiva sebagai struktur terluarnya.
Hal ini membuat konjungtiva rentan terhadap paparan bahan atau zat serta agen-
agen infeksi. Berbagai reaksi inflamasi dapat terjadi sebagai respon utama terhadap
adanya paparan bahan atau agen infeksi yang menyerang mata. Hal ini biasanya
bermanifestasi sebagai gejala berupa mata merah.1
Konjungtivitis ditandai dengan peradangan dan pembengkakan jaringan
konjungtiva, disertai dengan pembengkakan pembuluh darah, sekret, dan nyeri.
Banyak orang yang terdiagnosis dengan konjungtivitis di seluruh dunia, dan itu
adalah salah satu alasan paling sering untuk kunjungan ke klinik dokter umum dan
oftalmologi. 1

Radang konjungtiva atau konjungtivitis adalah penyakit mata paling umum


di dunia dan bervariasi dari hiperemia ringan dengan mata berair hingga
konjungtivitis berat dengan sekret purulen kental. Konjungtivitis dapat menyerang
seluruh kelompok umur, akut maupun kronis, serta disebabkan oleh berbagai faktor
baik eksogen maupun endogen. Faktor eksogen meliputi bakteri, virus, jamur,
maupun zat kimiawi irritatif, seperti asam, basa, asap, angin, sinar ultraviolet hingga
iatrogenik. Faktor endogen penyebab konjungtivitis berupa reaksi hipersensitivitas,
baik humoral maupun selular, serta reaksi autoimun1

Untuk menjalankan fungsinya, mata ditunjang oleh berbagai struktur


termasuk konjungtiva sebagai struktur terluarnya. Oleh karena itu, konjungtiva
sangat rentan terpapar bahan, zat, atau agen asing yang memicu terjadinya infeksi.
Infeksi yang biasanya terjadi pada mata paling rentan mengenai konjungtiva,disebut
konjungtivitis. Penyakit konjungtivitIs saat ini berada pada peringkat ke-3 penyakit
mata terbesar di dunia setelah penyakit katarak dan glaukoma.Konjungtivitis dapat
terjadi pada berbagai kalangan, bisa menyerang orang dewasa,anak, bahkan bayi.2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Konjungtivitis adalah peradangan atau infeksi pada konjungtiva. Bisa
bersifat akut atau kronis. Konjungtivitis akut mengacu pada durasi kurang 4 minggu
(biasanya hanya berlangsung 1 sampai 2 minggu) sedangkan kronis didefinisikan
sebagai berlangsung lebih dari 4 minggu.1

B. ANATOMI

Konjungtiva adalah membran mukosa transparan dan tipis yang membungkus


permukaan posterior kelopak mata dan anterior sklera. Secara umum konjungtiva
dibagi menjadi konjungtiva palpebralis, konjungtiva bulbaris dan forniks.
Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat
erat pada tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior
(pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi
konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di
fornices dan melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola
mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik (duktus-duktus
kelenjar lakrimal bermuara ke forniks temporal superior).3

Konjungtiva terdiri dari tiga bagian:3

1. Konjungtiva palpebralis : menutupi permukaan posterior dari palpebra dan


dapat dibagi menjadi marginal, tarsal, dan orbital konjungtiva.

• Marginal konjungtiva memanjang dari tepi kelopak mata sampai


sekitar 2mm di belakang kelopak mata menuju lengkung dangkal,
sulkus subtarsalis. Sesungguhnya merupakan zona transisi antara
kulit dan konjungtiva sesungguhnya.

• Tarsal konjungtiva bersifat tipis, transparan, dan sangat vaskuler.


Menempel ketat pada seluruh tarsal plate pada kelopak mata atas.

2
Pada kelopak mata bawah, hanya menempel setengah lebar tarsus.
Kelenjar tarsal terlihat lewat struktur ini sebagai garis kuning.

• Orbital konjungtiva berada diantara tarsal plate dan forniks.

2. Konjungtiva bulbaris : menutupi sebagian permukaan anterior bola mata.


Terpisah dari sklera anterior oleh jaringan episklera dan kapsula Tenon.
Tepian sepanjang 3mm dari konjungtiva bulbar disekitar kornea disebut
dengan konjungtiva limbal. Pada area limbus, konjungtiva, kapsula Tenon,
dan jaringan episklera bergabung menjadi jaringan padat yang terikat secara
kuat pada pertemuan korneosklera di bawahnya. Pada limbus, epitel
konjungtiva menjadi berlanjut seperti yang ada pada kornea. konjungtiva
bulbar sangat tipis. Konjungtiva bulbar juga bersifat dapat digerakkan,
mudah melipat ke belakang dan ke depan. Pembuluh darah dengan mudah
dapat dilihat di bawahnya. Di dalam konjungtiva bulbar terdapat sel goblet
yang mensekresi musin, suatu komponen penting lapisan air mata pre-
kornea yang memproteksi dan memberi nutrisi bagi kornea.

3. Forniks : bagian transisi yang membentuk hubungan antara bagian posterior


palpebra dan bola mata. Forniks konjungtiva berganbung dengan
konjungtiva bulbar dan konjungtiva palpebra. Dapat dibagi menjasi forniks
superior, inferior, lateral, dan medial forniks.

Gambar 1. Anatomi konjungtiva11

3
Berdasarkan struktur histologinya, konjungtiva terdiri dari lapisan epitel dan
stroma (adenoid dan fibrosa). Lapisan epitel terdiri atas dua hingga lima lapisan sel
epitel silindris bertingkat, superfisial, dan basal. Sel-sel epitel superficial mengandung
sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus dimana sel-sel ini akan mendorong
inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata. Sel-sel epitel
basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superficial dan mengandung pigmen.
Stroma konjungtiva terdiri atas lapisan adenoid (superficial) dan satu lapisan fibrosa
(profundus). Lapisan adenoid tidak berkembang setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan
serta mengandung jaringan limfoid. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata
dan tersusun atas jaringan penyambung yang melekat pada tarsus.3

Gambar 2. Histologi konjungtiva11

Konjungtiva mendapat suplai aliran darah baik mealui arteri maupun vena.
Pembuluh darah arteri yang menyuplai konjungtiva berasal dari cabang arteri
ophtalmikus, yaitu arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis. Pembuluh darah vena
umumnya mengikuti pola arteri, dimana vena konjungtiva posterior mengaliri vena pada
kelopak mata dan vena konjungtiva anterior mengaliri ciliari anterior menuju vena
ophthalmikus. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun di dalam lapisan superfisial dan
profundus dan bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus
limfatikus. Persarafan konjungtiva dari percabangan (oftalmik) pertama nervus 5
dengan relatif sedikit serabut nyeri .3

4
Gambar 3. Vaskularisasi konjungtiva11

C. EPIDEMIOLOGI
Konjungtivitis umumnya disebabkan oleh reaksi alergi, infeksi bakteri dan virus,
serta jamur yang dapat bersifat akut atau menahun. Penelitian yang dilakukan di
Belanda menunjukkan penyakit ini tidak hanya mengenai satu mata saja, tetapi bisa
mengenai kedua mata, dengan rasio 2,96 pada satu mata dan 14,99 pada kedua mata.
Konjungtivitis dapat dijumpai di seluruh dunia, pada berbagai ras, usia, jenis
kelamin dan strata sosial. Walaupun tidak ada data yang akurat mengenai insidensi
konjungtivitis, penyakit ini diestimasi sebagai salah satu penyakit mata yang paling
umum. Pada 45% kunjungan di departemen penyakit mata di Amerika serikat, 30%
adalah keluhan konjungtivitis akibat bakteri dan virus, dan 15% adalah keluhan
konjungtivitis alergi. 5

Konjungtivitis juga diestimasi sebagai salah satu penyakit mata yang paling
umum di Nigeria bagian timur, dengan insidensi 32,9% dari 949 kunjungan di
departemen mata Aba Metropolis, Nigeria. Di Indonesia dari 135.749 kunjungan ke
departemen mata, total kasus konjungtivitis dan gangguan lain pada konjungtiva
sebanyak 99.195 kasus dengan jumlah 46.380 kasus pada laki-laki dan 52.815 kasus
pada perempuan. Konjungtivitis termasuk dalam 10 besar penyakit rawat jalan
terbanyak, tetapi belum ada data statistik mengenai jenis konjungtivitis yang paling
banyak yang akurat5

D. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO


Konjungtivitis (pink eye) adalah radang konjungtiva yang dapat disebabkan
oleh mikroorganisme (virus, bakteri), iritasi atau reaksi alergi. Umumnya penderita

5
konjungtivitis mengalami pembengkakkan kelopak mata dikarenakan struktur
dibawah kelopak mata memiliki jaringan yang lemah dan membentuk lekukan serta
kaya akan pembuluh darah.6
Faktor risiko predisposisi diantaranya adanya riwayat kedinginan atau infeksi
saluran napas bagian atas, higienitas kurang, kontak dengan orang yang terinfeksi
dalam lingkungan yang ramai, dan penularan virus dari tangan atau instrument
kontak6.

E. PATOGENESIS
Mikroorganisme masuk ke dalam tubuh dengan cara adhesi, evasi, dan
invasi. Adhesi adalah penempelan molekul mikroorganisme ke epitel mata yang
dimediasi oleh protein permukaan mikroorganisme. Evasi adalah upaya
mikroorganisme untuk menembus pertahanan sistem imun. Hampir semua
mikroorganisme hanya menginvasi bila terdapat kerusakan epitel kecuali beberapa
bakteri seperti Neissseria gonorhoeae dan Shigella spp. Pada infeksi bakteri dapat
disebabkan oleh S. aureus Staphylococcus epidermidis, H. influenzae,
Streptococcus pneumoniae, Streptococus viridans, Moraxella catarrhalis dan
bakteri gram negative dari usus. Penyebab konjungtivitis bakteri paling sering
adalah S. aureus. Pada infeksi virus, adhesi sekaligus memfasilitasi proses invasi
melalui interaksi molekul virus dengan sel hospes seperti interaksi kapsul
adenovirus dengan integrin sel hospes yang menyebabkan proses endositosis virus
oleh sel. Mikroorganisme juga dapat bertahan melewati sistem pertahanan tubuh
dan bereplikasi seperti pada infeksi HSV, virus varisela serta herpes zoster namun
sebagian besar infeksi lainnya dapat dieradikasi oleh sistem imun tubuh.3
Pada Konjungtivitis alergen bukan hanya disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas tipe I fase cepat, melainkan merupakan kombinasi tipe I dan IV.
Faktor lain yang berperan adalah aktivitas mediator non Ig E oleh sel mast. Reaksi
hipersensitivitas tipe I dimulai dengan terbentuknya antibodi IgE spesifik terhadap
antigen bila seseorang terpapar pada antigen tersebut. Antibodi IgE berperansebagai
homositotropik yang mudah berikatan dengan sel mast dan sel basofil. Ikatan
antigen dengan antibodi IgE ini pada permukaan sel mast dan basofil akan

6
menyebabkan terjadinya degranulasi dan dilepaskannya mediator-mediator kimia
seperti histamin, slow reacting substance of anaphylaxis, bradikinin, serotonin,
eosinophil chemotactic factor, dan faktor-faktor agregasi trombosit. Histamin
adalah mediator yang berperan penting, yang mengakibatkan efek vasodilatasi,
eksudasi dan hipersekresi pada mata. Keadaan ini ditandai dengan gejala seperti
mata gatal, merah, edema, berair, rasa seperti terbakar dan terdapat sekret yg
bersifat mukoid.Terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat mempunyai
karakteristik, yaitu dengan adanya ikatan antara antigen dengan IgE pada
permukaan sel mast, maka mediator kimia yang terbentuk kemudian akan
dilepaskan seperti histamin, leukotrien C4 dan derivat-derivat eosinofil yang dapat
menyebabkan inflamasi di jaringan konjungtiva. Reaksi hipersensitivitas tipe IV,
terjadi karena sel limfosit T yang telah tersensitisasi bereaksi secara spesifik dengan
suatu antigen tertentu, sehingga menimbulkan reaksi imun dengan manifestasi
infiltrasi limfosit dan monosit (makrofag) serta menimbulkan indurasi jaringan pada
daerah tersebut. Setelah paparan dengan alergen, jaringan konjungtiva akan
diinfiltrasi oleh limfosit, sel plasma, eosinofil dan basofil. Bila penyakit semakin
berat, banyak sel limfosit akan terakumulasi dan terjadi sintesis kolagen baru
sehingga timbul nodul-nodul yang besar pada lempeng tarsal. Aktivasi sel mast
tidak hanya disebabkan oleh ikatan alergen IgE, tetapi dapat juga disebabkan oleh
anafilatoksin, IL-3 dan IL-5 yang dikeluarkan oleh sel limfosit. Selanjutnya
mediator tersebut dapat secara langsung mengaktivasi sel mast tanpa melalui ikatan
alergen IgE. Reaksi hiperreaktivitas konjungtiva selain disebabkan oleh rangsangan
spesifik, dapat pula disebabkan oleh rangsangan non spesifik, misal rangsangan
panas sinar matahari, angin.7
Pada Chlamydial conjunctivitis disebabkan oleh infeksi Chlamydia
trachomatis, parasit intra-seluler yang memiliki DNA dan RNA. Parasit ini
menggunakan energi sel inang supaya mampu berkembang biak. Transmisi
Chlamydia terjadi jika ada kontak intim, khususnya secara seksual. Infeksi
Chlamydia pada mata disebabkan oleh terpaparnya sekret genital melalui auto-
inokulasi atau kontak seksual.7

7
F. KLASIFIKASI
1. Konjugtivitis Bakteri
Konjungtivitis bakteri didefinisikan sebagai konjungtivitis yang berlangsung
kurang dari 3 minggu, dan merupakan penyakit mata yang paling sering ditemui.
Konjungtivitis bakteri dapat disebabkan oleh S. aureus, Staphylococcus
epidermidis, H. influenzae, Streptococcus pneumoniae, Streptococus viridans,
Moraxella catarrhalis dan bakteri gram negative dari usus. Penyebab konjungtivitis
bakteri paling sering adalah S. aureus. Sindroma imunodefisiensi dan imunosupresi
sistemik dapat menjadi predisposisi dari konjungtivitis bakteri. Konjungtivitis
bakteri mudah menular dari satu mata ke mata sebelahnya dan juga mudah menular
ke orang lain melalui kontak langsung dan benda yang kontak dengan mata.8
Beberapa tanda dan gejala yang timbul pada konjungtivitis bakteri adalah
kemerahan, rasa mengganjal, perih dan timbul secret dapat mengenai kedua mata
meskipun biasanya satu mata terinfeksi 1-2 hari sebelum mata yang lain, pada saat
bangun tidur kelopak mata sering lengket dan susah untuk membuka mata akibat
sekret yang menumpuk, adanya hiperemi pada konjungtiva yang difus, dan sekret
pada awalnya berair mirip konjungtivitis viral tetapi kemudan menjadi
mucopurulent8

1.1 Etiologi

Faktor predisposisi terjadinya konjungtivitis bakteri, terutama dalam bentuk


epidemik, diantaranya lalat, buruknya higienitas, iklim panas dan kering, sanitasi
yang buruk dan kebiasaan untuk tidak hidup bersih. Faktor-faktor inilah yang
membantu timbulnya penyakit ini sebagai suatu penyakit yang sangat menular.
Konjungtivitis oleh bakteri dapat disebabkan oleh berbagai organisme.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri tersering yang mengakibatkan
konjungtivitis dan blefarokonjungtivitis.(9,10) Staphylococcus pneumoniae
menghasilkan konjuntivitis akut dan berhubungan dengan kejadian perdarahan
subkonjungtival. Haemophilus influenzae scara kalsik menyebabkan konjungtivitis
mukopurulen, yang dikenal dengan red-eye terutama pada negara
semitropikal.Terdapat pula bebrapa bakteri lain, seperti Moraxella lacunate,
Pseudomonas pycyanea, Neisseria gonorrhoeae dan Corynebacterium
diphteriae.(11,12)

8
1.2 Manifestasi Klinis

Berdasarkan bakteri penyebabnya dan keparahan dari infeksi, bakerial


konjungtivitis memiliki beberapa bentuk klinis:

1.2.1 Konjungtivitis Mukopurulen

Konjungtivitis mukopurulen akut merupakan tipe konjungtivitis


bakterial akut yang paling umum terjadi. Konjungtivitis ini dikarakteristikan
dengan adanya hiperemia konjungtiva yang bermakna dan sekret
mukopurulen dari mata. Bakteri yang umum terlibat pada tipe ini,
diantaranya Staphylococcus aureus, Koch-Weeks bacillus, Pneumococcus
dan Streptococcus. Konjungtivitis mukopurulen biasanya disertai dengan
eksantemata seperti measles dan demam skarlet.(10,11)

Gejala yang dirasakan oleh pasien bermula dari rasa tidak nyaman dan
sensasi benda asing oleh karena adanya pelebaran pembuluh darah.
Fotofobia ringan sehingga pasien susah mentoleransi adanya cahaya. Sekret
mukopurulen dari mata. Menempelnya tepi kelopak mata satu sama lain
oleh karena adanya sekret berlebih sewaktu tidur. Pandangan yang cendrung
kabur oleh karena adanya serpihan mukoid pada bagian depan kornea.
Terkadang pasien melihat halo berwarna oleh karena efek prismatikakibat
adanya mukus pada kornea. Tanda yang dapat diamati dari pasien adanya
kongesti konjungtiva yang akan sangat terlihat pada konjungtiva palpebral,
forniks dan bagian perifer dari konjungtiva bulbi, sehingga memberikan
gambaran fiery red eye. Terdapat kemosis, yakni pembengkakan dari
konjungitva. Dapat menimbulkan perdarahan berupa peteki apabila
organisme penyebabnya ialah pneumococcus.(13)

Pengobatan konjungtivitis mukopurulen dapat diberikan antibiotik


topikal untuk mengontrol infeksi. Secara ideal antibiotik harus diberikan
sesuai dengan hasil kultur dan tes sensitivitas antibiotik. Namun,
kebanyakan pasien memberikan respon yang baik dengan pemberian
antibiotik spektrum luas, kloramfenikol 1%, gentamisin 0.3%. Selanjutnya
irigasi pada sakus konjungtiva dengan larutan fisiologis hangat satu atau dua
kali sehari.

9
Menggunakan kaca mata hitam juga dapat membantu dalam fotofobia.
Tidak membebat mata pasien, dan tidak memberikan steroid. Dapat
diberikan anti inflamasi dan analgetik, seperti ibuprofen dan
parasetamol.11,12

Gambar 4. Fiery red eye pada konjungtivitis


mukopurulen11

1.2.2 Konjungtivitis Purulen

Umumnya terdapat dua bentuk dari konjungtivitis ini, yakni


konjungtivitis purulen pada dewasa dan oftalmia neonatorum pada
neonatus. Dapat disebabkan oleh N Gonorrhoeae, N. kochii, dan N.
meningitidis. Pada dewasa, terdapat beberapa stadium, yakni yang pertama
stadium infiltrasi, terjadi selama 4-5 hari dan memiliki gambaran nyeri pada
bola mata, warna merah velvet cerah pada konjungtiva, tepi kelopak mata
bengkak, sekret cair atau sanguinos, dan disertai dengan pembesaran
kelenjar limfe pre-aurikuler.2

Pada stadium blenorea, terjadi sekitar hari ke lima dan bertahan


beberapa hari. Memiliki gambaran sekret purulent yang banyak dan tebal
yang dapat menetes ke pipi. Gejala lainnya meningkat, namun
pembengkakan pada tepi kelopak menurun. Pada stadium penyembuhan
lambat, nyeri dan bengkak berkurang. Konjungtiva tetap merah dan
bengkak. Sekret berkurang perlahan dan akhirnya tidak ada. Pada oftalmia
neonatorum terdapat nyeri pada bola mata, sekret konjungtival yang
purulen, dan tepi kelopak bengkak. Konjungtiva dapat hiperemi dan
kemosis. Kornea juga dapat terlibat walaupun jarang terjadi, yakni keratitis
10
superisialis pungtata.2

Penatalaksanaan pada konjungtivitis purulen pemilihan terapi sistemik


lebih dipilih dari pada topikal oleh karena agen penyebab N. gonorrhoeae.
Regimen yang dapat diberikan diantaranya norfloksasin 1.2 gm secara oral
4 kali sehari selama 5 hari, cefoxitim 1 gm atau cefotaxim 500 mg secara
intravena 4 kali sehari selama 5 hari. Semua regimen ini diikuti dengan
pemberian doksisiklin 100 mg 2 kali sehari atau eritromisin 250-500 mg oral
4 kali sehari selama satu minggu. Terapi topikal juga dapat diberikan. Irigasi
dengan menggunakan larutan fisiologis. Pasien dan pasangan seksualnya
perlu diperiksakan untuk dievaluasi.2

Pada oftalmia neonatorum, terapi profilaksis dapat dilakukan saat


antenatal, natal maupun postnatal. Terapi kuratif dapat dilakukan secara
topikal maupun sistemik. Terapi topikal diantaranya irigasi larutan fisiologis
hingga sekret tereliminasi, salep mata basitrasin 4 kali sehari, apabila kornea
terlibat maka dapat diberikan salep atropin sulfat. Sistemik terapi dilakukan
dalam 7 hari dengan salah satu regimen, yakni ceftriaxon 75-100 mg/kg/hari
intravena/intramuskular 4 kali sehari, cefotaxim 100-150 mg/kg/hari
intravena/intramuskular tiap 12 jam, siprofloksasin atau norfloksasin.
Apabila isolat gonococcal sensitif dengan penisilin maka dapat diberikan
kristalin benzil penisilin G.11

Gambar 5. a) konjungtivitis akut purulen dewasa, b) oftalmia neonatorum11

1.2.3 Konjungtivitis Membranous

Merupakan konjungtivitis akut dengan karakteristik adanya


pembentukan membran sejati pada konjungtiva. Saat ini sudah jarang terjadi
oleh karena penurunan insidensi difteri. Secara tipikal disebabkan oleh
Corynebacterium diphteriae dan sesekali daapat disebabkan oleh
11
Streptococcus haemolyticus. Corynebacterium diphteriae menghasilkan
inflamasi yang hebat pada konjungtiva disertai dengan adanya deposisi dari
eksudat fibrin pada permukaan konjungtiva menghasilkan membran.
Biasanya membran terdapat pada konjungtiva palpebra.(12)

Biasanya penyakit ini terdapat pada anak usia 2-8 tahun yang tidak
memiliki imunitas terhadap difteri. Terdapat tiga stadium, yakni stadium
infiltrasi, terdapat sedikit sekret konjungtiva dan nyeri hebat pada mata.
Tepi kelopak mata bengkak dan keras, konjuntiva merah, bengkak dan
ditutupi oleh membran kuning abu- abu, yang ketika diangkat akan memicu
perdarahan dan meninggalkan ulkus. Stadium supurasi nyeri telah
berkurang dan kelopak mata menjadi lembek, membran terkelupas dan
masih terdapat sekret purulen. Stadium sikatriksasi, ulkus yang tertinggal
diisi oleh jaringan granulasi. Penyembuhan terjadi dengan pembentukan
sikatriks, yang dapat memicu trikiasis dan serosis konjungtiva.(11)

Terapi pada konjungtivitis membranous berupa terapi topikal,


sistemik, dan prevensi terhadap simblefaron. Terapi topikal dapatdiberikan
dengan tetes mata penisilin (1:10000 unit/ml) setiap setengah jam, serum
anti difteri (ADS) setiap satu jam, atau atropin sulfat 1% ditambahkan
apabila kornea mengalami ulserasi. Antibiotik spektrum luas dapat
diberikan sebelum tidur. Terapi sistemik berupa penisilin kristalin 5 lac unit
intramuskular 2 kali sehari selama 10 hari, ADS (50.000 unit) diberikan
secara intramuskular. Simblefaron terjadi ketika membran terkelupas,
maka penyembuhan dasar luka akan menghasilkan simblefaron. Hal ini
dapat dicegah dengan menyapu forniks batang kaca yang telah diolesi salep
mata.(11)

Gambar 6. Konjungtivitis Membranous11


12
1.2.4 Konjungtivitis Pseudomembran

Konjungtivitis pseudomembran dikarakteristikan dengan


adanya formasi psudomembran yang mudah untuk dikeluarkan pada
epitel konjungtiva yang intak. Dapat disebabkan oleh
Corynebacterium diphteriae dengan vurulensi yang rendah,
staphylococcus, Neisseria gonorrhoeae dan bakteri lainnya. Dapat
pula diakibatkan oleh adanya infeksi virus dan iritasi bahan kimia.
Semua agen ini akan menyebabkan inflamasi pada konjungtiva
disertai adanya eksudat fibrin pada permukaannya yang mengalami
koagulasi sehingga tampak pseudomembran. Konjungtivitis ini akan
memberikan gambaran konjungtivitis mukopurulen akut
denganadanya pseudomembran tipis berwarna kuning keputihan pada
forniks dan konjungtiva palpebra. Psudomembran dapat dengan
mudah dikupas tanpa menimbulkan perdarahan. Terapi pada
konjungtivitis pseudomembran sama halnya dengan konjungtivitis
mukopurulen.11

Gambar 7. Konjungtivitis Pseudomembran11

1.2.5 Konjungtivitis Kataralis Kronik

Paling sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus, tetapi


juga dapat disebabkan oleh bakteri gram negative seperti Proteus
mirabilis, Klebsiella pneumoniae, Escherichia coli dan Moraxella
lacunata. Sering terkait dengan konjungtiva dan sekret mukopurulen
berbusa yang terbatas pada kedua sisi sudut mata serta adanya
ekskoriasi kulit sekitar sudut mata. Terapi pada konjungtivitis tipe ini
terdiri atas terapi profilaksis dan kuratif. Terapi profilaksis termasuk
dalam mengobati infeksi nasa dan menjaga higienitas diri yang baik.
Terapi kuratif terdiri dari, pemberian salep mata oksitetrasiklin 1% 2-3
kali sehari selama 9-14 hari untuk mengeradikasi infeksi. Zinc lotion

13
diberikan pada siang hari dan salep zinc oxide diberikan saat tidur
malam hari untuk mencegah fermentasi proteolitik, sehingga
mengurangi proses maserasi.11

1.2.6 Diagnosis
Diagnosis konjungtivitis bakteri dapat ditegakkan melalui riwayat
pasien dan pemeriksaan mata secara menyeluruh, seperti pemeriksaan mata
eksternal, biomikroskopi menggunakan slit-lamp dan pemeriksaan
ketajaman mata. Kerokan konjungtiva untuk pemeriksaan mikroskopik dan
biakan disarankan untuk semua kasus dan diharuskan jika penyakitnya
purulen, bermembran atau berpseudomembran. Pemeriksaan gram untuk
identifikasi organisme melalui kerokan konjungtiva dan pengecatan dengan
Giemsa menampilkan banyak neutrofil polimorfonuklear.11

2. Konjungtivitis Virus

Gejala konjungtivitis viral biasanya ringan, dapat sembuh sendiri


dan tidak disertai penurunan tajam penglihatan. Penyebab tersering
konjungtivitis yang lain yaitu virus. Infeksi virus tertentu cenderung
mengenai konjungtiva misalnya pharyngoconjunctival fever sedangkan
virus lainnya lebih sering menginfeksi kornea misalnya virus herpes
simpleks.3

2.1 Manifestasi Klinis

Berdasarkan manifestasi klinisnya, konjungtivitis virus terdiri dari


tiga tipe yaitu konjungtivitis serosa akut (infeksi virus dengan gejala
inflamasi ringan), konjungtivitis hemoragika akut (pernah menjadi epidemic
di Afrika dan Inggris dengan tanda khas adanya hemoragik di konjungtiva
bulbar) dan konjungtivitis folikular (Khas ditemukannya tonjolan pada
konjungtiva oleh agregasi dari sel-sel limfosit di lapisan adenoid).
Konjungtivitis folikular yang akut disebabkan oleh adenovirus dan herpes
simpleks, sedangkan yang kronik terkait dengan malnutrisi, hygiene yang
buruk dan penyakit sistemik, sering mengenai usia anak sekolah sehingga
disbeut sebagai “school folliculosis” dan pada kasus defisiensi imun
disebabkan oleh molluscum contangiosum.11
14
2.1.1 Konjungtivitis Adenovirus

Virus yang paling sering menginfeksi konjungtiva adalah


adenovirus, dan termasuk tipe konjungtivitis folikular akut. Adenovirus
dengan serotipe 3, dan 7 menyebabkan jenis demam faringokonjungtiva
sedangkan adenovirus serotipe 8 dan 19 menyebabkan jenis
keratokonjungtivitis epidemika.2 Pada demam faringokonjungtival, sering
ditemukan pada anak-anak dan sering dikaitkan dengan infeksi saluran
pernafasan atas. Terdapat demam 38,3°C-40°C, sakit tenggorokan dan
ditemukannya folikel pada konjungtiva. Limfadenopati preaurikular (tidak
nyeri tekan) merupakan tanda yang khas.12

Keratokonjungtivitis epidemika umumnya bersifat bilateral.


Awalnya hanya mengenai satu mata saja dan biasanya mata pertama yang
terkena cenderung lebih parah. Temuan klinis pada pasien ini adalah nyeri
pada mata, dan mata berair yang dalam 5-14 hari akan diikuti oleh fotofobia,
keratitis epitel dan kekeruhan pada subepitelial kornea membentuk keratitis
superficial pungtata. Nodus preaurikular positif adalah tanda yang khas.
Pada anak-anak, mungkin terdapat gejala sistemik infeksi virus, seperti
demam, sakit tenggorokan, otitis media dan diare.11,12

2.1.2 Konjungtivitis Herpes Simpleks

Infeksi virus ini termasuk tipe konjungtivitis folikular akut dan


bersifat keratokonjungtivitis, biasanya mengenai anak kecil dan ditandai
dengan injeksi konjungtiva, sekret mukoid, nyeri dan fotofobia. Penyakit ini
terjadi pada infeksi primer HSV atau saat episode kambuh herpes mata,
sering disertai keratitis herpes simpleks dan menyebabkan lesi-lesi kornea
yang membentuk difus pungtata, ulkus dendritik atau ulkus geografik.12,14

2.1.3 Konjungtivitis Herpes Zooster

Pada causa herpes zooster adanya penyerta lesi pada kulit sepanjang
dermatom nervus opthalmika (Cabang pertama nervus trigeminus) dan
mencapai ujung hidung (nervus nasosiliaris) disebut sebagai Hutchinson
sign. Lesi tersebut berbentuk erupsi vesikel bersifat nyeri.11

15
2.1.4 Diagnosis
Dalam penegakan diagnosis, anamnesis dan pemeriksaan (baik
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan mata) harus dilakukan secara
komprehensif. Perlu ditanyakan mengenai onset, lokasi (unilateral atau

bilateral), durasi, penyakit penyerta seperti gangguan saluran nafas bagian


atas, gejala penyerta seperti fotofobia, riwayat penyakit sebelumnya, serta
riwayat keluarga. Pemeriksaan sel-sel radang terlihat dalam eksudat atau
kerokan yang diambil dari permukaan konjungtiva di pulas dengan pulasan
Gram (untuk mengidentifikasi organisme) dan dengan pulasan Giemsa
(untuk menetapkan jenis dan morfologi sel). Pada konjungtivitis virus
biasanya banyak ditemukan sel mononuklear khususnya limfosit dalam
jumlah yang banyak dan sel raksasa multinuklear pada causa herpes.12

Gambar 8. Hutchinson Sign12

2.1.5 Terapi

Pada konjungtivitis virus yang menyerang anak-anak di atas 1


tahun dan dewasa dapat sembuh sendiri dan mungkin tidak memerlukan
terapi. Demam faringokonjungtival biasanya sembuh sendiri dalam 2
minggu tanpa pengobatan.9 Penatalaksanaan konjungtivitis virus biasanya
menggunakan kompres air dingin, artificial tears, dan pada beberapa kasus
berat digunakan topical steroid. Topical antibiotic dapat diberikan untuk
preventif infeksi sekunder. Paling penting mengedukasi pasien untuk

16
menjaga kontak dengan orang lain dan tidak menggunakan barang
bersama.16

3. Konjungtivitis Alergi

3.1. Manifestasi Klinis

Konjungtivitis alergi dibagi menjadi Konjungtivits Alergi Simpel,


Keratokonjungtivitis Vernal, Keratokonjungtivitis Atopik, dan
Keratokonjungtivitis Flinkten.11

3.1.1 Konjungtivitis Alergi Simpel

Konjungtivitis alergi simple terdiri dari dua subtipe yaitu


konjuntivitis alergi seasonal dan perennial. Pada konjungtivitis alergi
seasonal biasanya di sebabkan oleh adanya serbuk sari (pollen) dimana
alergen ini hanya muncul pada musim tertentu saja. Konjungtivitis alergi
perennial biasanya disebabkan oleh alergen yang biasa kita temui (tidak
memerlukan musim tertentu), seperti tungau. Pasien dengan konjungtivitis
seasonal disebut juga“Hay Fever eyes” biasanya mengeluhkan gatal,
kemerahan, mata berair, dan merasa “mata seolah-olah tenggelam dalam
jaringan sekitarnya”, injeksi ringan konjungtiva. Selama serangan akut
sering ditemukan kemosis berat. Tanda khas pada konjungtivitis alergi
perennial adalah gatal, kemerahan, dan mata bengkak (puffy eyes), mata
berair, ada sekret mukus, dan rasa terbakar pada mata.11,12

3.1.2 Keratokonjungtivitis Vernal

Perburukan gejala gatal pada mata, mata berair dan terdapat sensasi
terbakar, hampir selalu terjadi selama musim panas. Pada konjungtivitis
vernal ditemukan dua bentuk tanda khas yaitu bentuk palpebra/tarsal dan
limbal. Pada bentuk palpebra terdapat papila raksasa mirip batu kali pada
konjungtiva tarsalis superior (Cobblestone appearance). Sedangkan pada

17
bentuk limbal terlihat bintik-bintik keputihan di limbus (trantas dot). Pada
beberapa kasus ditemukan kedua bentuk tersebut(mixed).11,12

a
Gambar 9. a. Cobblestone appearance b. Trantas dot11

3.1.3 Keratokonjungtivitis Atopik


Memiliki kaitan erat dengan adanya riwayat keluarga seperti
alergi, asma, dan urtikaria. Biasanya pasien memiliki atopik dermatitis atau
eczema ketika kecil yang kemudian berkembang menjadi gejala okuler
ketika dewasa.2,9 Gejala pada keratokonjungtivitis atopik adalah gatal
pada kedua mata dan kulit kelopak mata, mata berair dan terdapat sensasi
terbakar, fotofobia, hingga sekret mukus yang berbentuk menyerupai tali.
Pada atopik blefaritis sering ditemukan pembengkakan dan lipatan pada
kelopak mata dengan tanda Dennie-Morgan fold oleh karena riwayat
menggaruk mata terlalu sering.11,12

3.1.4 Konjungtivitisk Flinktenularis

Keratokonjungtivitis fliktenularis merupakan radang pada


konjungtiva dengan pembentukan satu atau lebih tonjolan kecil (flikten)
yang diakibatkan oleh reaksi alergi (hipersensitivitas tipe IV) terhadap
endogen protein mikroba (paling sering M.tuberculosis). flikten adalah
kumpulan sel leukosit neutrofil dikelilingi sel limfosit, makrofag dan
kadang-kadang sel datia berinti banyak. Berukuran diameter 1-3 mm,keras,
merah, menonjol terutama terletak di daerah limbus, dan dikelilingi

18
zona hyperemia. Di limbus sering berbentuk segitiga dengan
apeksmengarah ke kornea, pusatnya putih kelabu dan dapat

terjadi ulkus.15
Gambar 10. Konjungtivitis Flinktenularis11

3.1.5 Diagnosis
Penetapan diagnosis konjungtivitis alergi didasarkan pada anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang komprehensif. Pada anamnesis, ditanyakan
mengenai onset, durasi, unilateral atau bilateral, gejala penyerta, riwayat
penyakit sebelumnya, sertariwayat keluarga. Hal ini memiliki peran penting,
dimana pasien dengan riwayat alergi pada keluarga (hay fever, eksim,dll)
memiliki kecenderungan mengalami konjungtivitis alergi.9 Pada kerokan
konjungtiva dijumpai banyak sel eosinophil.11

3.1.6 Terapi

Penatalaksanaan Konjungtivitis alergi dengan kompres dingin


membantu mengatasi gejala gatal-gatal pada pasien dengan konjungtivitis
alergi. Pada konjungtivitis vernal, pemulihan terbaik dicapai dengan pindah
ke tempat beriklim sejuk sehingga pasien merasa nyaman. Gejala akut sering
di atasi dengan penggunaan steroid sistemik atau topikal jangka pendek, anti
dekogestan topical, dan anti histamin topical serta antiinflamasi non steroid
topical (Hati-hati ketorolacdan lodoxamide bisa memperlambat reepitelisasi
ulkus).16

19
4. Konjungtivitis Chlamydia

Disebabkan oleh infeksi Chlamydia trachomatis, parasit intra-seluler


yang memiliki DNA dan RNA. Parasit ini menggunakan energi sel inang
supaya mampuberkembang biak. Transmisi Chlamydia dapat terjadi melalui
eye to eye (disebut sebagai tipe hiperendemik trachoma) ataupun
genitals to eye (disebut sebagai paratrachoma, terdiri dari Optalmia
neonatorum dan konjungtivitis dewasa inklusi).9,14 Center for Disease
Control and Prevention (CDC) menyebutkan bahwa ophthalmia neonatorum
11
dapat terjadi 5-12 hari setelah lahir dan jarang terjadi segera setelah lahir.

Gambar 11. Transmisi Kongjungtivitis Chlamydia11

1. Trachoma

Masa inkubasi trachoma bervariasi, biasanya 5 – 21 hari. Onsetnya


sering asimptomatik, jarang akut. Jika infeksi sekunder menyertai trachoma,
dijumpai berbagai komplikasi yang mungkin pada awalnya sulit dibedakan
dari konjungtivitis bakteri akut/mukopurulen. Pada trachoma tanpa infeksi
sekunder, gejalanya minimal berupa sensasi benda asing yang ringan, sesekali
11
ada lakrimasi,dan sekret mukoid sedikit.

Tanda trachoma dibagi menjadi tanda konjungtiva dan tanda kornea.


Tandakonjungtiva meliputi kongesti tarsus superior dan forniks konjungtiva,
folikelkonjungtiva, hiperplasia papil, skar pada konjuntiva (bentuk ireguler
atau seperti bintang. Jika terletak pada sulkus subtarsalis, disebut Arlt's line),
dan eksudat akumulasi sel epitel mati dan mukus pada konjungtiva. Pada
tanda kornea terdiri atas: keratitis superfisial, Herbert's follicle (folikel di

20
limbus), Pannus (infiltrasi kornea yang berhubungan dengan vaskularisasi dan
terlihat di bagian atas), Herbert pit (lesi sirkular/oval sisa dari Herbert's
follicle), ulkus kornea, serta corneal opacity (lesi sikatriks). Berikut
merupakan derajat trachoma berdasarkan WHO11 :

1. TF: Peradangan-folikel trachomatous. Tahap trakoma aktif


dengan dominan peradangan folikel. Untuk mendiagnosis tahap ini
disedikitnya lima atau lebih folikel (masing-masing diameter 0,5 mm
atau lebih) harus ada pada tarsal atas serta pembuluh darah di
konjungtiva tarsal superior harus masih terlihat melalui folikel dan
papila.

2. TI: Peradangan trachomatous intens. penebalan radang konjungtiva


tarsalsuperior telah mengaburkan lebih dari setengah pembuluh darah.

3. TS: Jaringan parut trachomatous. Tahap ini didiagnosis dengan


adanya jaringan parut di konjungtiva tarsal. Bekas luka ini mudah
terlihat, berwarnaputih, bentuk pita atau lembaran (fibrosis).

4. TT: Trikomatous trichiasis. setidaknya satu bulu mata masuk


mengenai permukaan bola mata (trichiasis trakomatosa).

5. CO: Opacity kornea. Tanda ini mengacu pada jaringan parut kornea
yangbegitu padat sehingga menyebabkan gangguan penglihatan yang
signifikan(kurang dari 6/18).

Gambar 12. Panus Trakomatous11


Terapi pada trachoma dilakukan dengan pemberian antibiotik
baik secara lokal maupun sistemik, namun pemberian secara topikal
lebih direkomendasikan. Regimen topikal yang dapat diberikan
berupa salep mata tetrasiklin 1% atau eritromisin 1% 4 kali sehari

21
selama 6 minggu. Regiemen terapi sistemik berupa tetrasiklin 250 mg
per oral, 4 kali sehari selama 3-4 minggu atau doksisiklin 100 mg per
oral dua kali sehari.11

2. Paratrachoma

Terdiri dari Konjungtivitis inklusi dewasa dan oftalmia neonatorum.


Pada konjungtivitis inklusi dewasa memiliki manifestasi klinis meyerupai
konjungtivitisfolikular akut tetapi dengan sekret yang mukopurulen. Terdapat
folikel pada konjungtiva palpebra inferior, injeksi konjungtiva yang dominan
pada fornix, dapatterjadi keratitis superficial, kadang-kadang disertai adanya
pannus, dan ada limfadenopati preauricular. Sedangkan pada Oflamia
neonatorum causa Chlamydiajarang terjadi segera setelah lahir, paling sering
5 – 14 hari postpartum. Pada neonatus, sering dijumpai pseudo-membranes
dan sekret hiper purulen. Reaksi folikuler tidak dijumpai karena jaringan
limfoid belum sempurna.11

Terapi pada paratrachoma berupa topikal dan sistemik. Terapi topikal


berisisalep mata tetrasiklin 1% 4 kali sehari selama 6 minggu. Terapi sistemik
memiliki beberapa regimen, diantaranya tetrasiklin 250 mg 4 kali sehari
selama 3-4 minggu,eritromisin 250 mg 4 kali sehari selama 3-4 minggu dan
doksisiklin 100 mg dua kali sehari selama 1-2 minggu.11

5. Konjungtivitis Jamur
5.1 Konjungtivitis Candida
Konjungtivitis yang disebabkan oleh Candida spp (candida albicans)
termasuk infeksi yang jarang terjadi. Umumnya tampak sebagai bercak putih.
Keadaan ini dapat timbul pada pasien diabetes atau pasien yang terganggu
sistem imunnya, sebagai konjungtivitis ulseratif atau granulomatousa.17

Kerokan menunjukan reaksi radang sel polimorfonuklear. Organisme


mudah tumbuh pada agar darah dan mudah diidentifikasi sebagai ragi betunas
(budding yeast) atau sebagai pseudohifa. Infeksi ini berespons terhadap
amphotericin B (3-8 mg/mL) dalam larutan air atau terhadap krim kulit
nystatin (100.000 U/g) 4-6 kali sehari.17

22
6. Konjungtivitis Parasit

6.1 Infeksi Thelazia Californiensis


Habitat alami cacing gilig ini adalah pada mata anjing, tetapi cacing ini juga bisa
menginfeksi mata kucing, domba, beruang hitam, kuda, dan rusa. Infeksi aksidental
pada saccus conjungtivalis manusia pernah juga terjadi. Penyakit ini dapat disembuhkan
secara efektif dengan menyingkirkan cacing dari saccus konjungtivalis dengan
forceps.17

5.2 Infeksi Loa Loa


L loa adalah cacing mata di afrika. Cacing ini hidup di jaringan ikat manusia dan
kera; kera diperkirakan merupakan reservoarnya. Parasit ini ditularkan oleh gigitan lalat
kuda atau lalat mangga. Cacing dewasa kemudian bermigrasi ke palpebra, konjungtiva,
atau orbita. Pada 60-80% infeksi L loa, terdapat eusinoflia, tetapi diagnosis ditegakan
dengan menemukan cacing atau dengan menemukan mikrofilaria dalam darah yang
diperiksa siang hari. Obat pilihan untuk infeksi L loa adalah diethylcarbamazine dengan
dosis 2mg/kgBB dibagi 3 dosis atau 150-500mg seharinya selama 14 hari.18

5.3 Infeksi Ascaris Lumbricoides (Konjungtivitis Butcher)


Ascaris dapat menimbulkan sejenis konjungtivitis berat, meskipun jarang. Saat
tukang jagal atau orang yang melakukan pemeriksaan post-mortem memotong jaringan
yang mengandung ascaris, cairan jaringan bagian organisme itu bisa mengenai matanya.
Kejadian ini bisa diikuti oleh konjungtivitis toksik yang nyeri dan berat, yang ditandai
dengan kemosis hebat dan edema palpebra. Pengobatannya berupa irigasi cepat dan
menyeluruh pada saccus conjungtivalis.18

5.4 Infeksi Taenia Solium


Parasit ini jarang menimbulkan konjungtivitis, tetapi lebih sering menyerang retina,
koroid, atau vitreus, dan menimbulkan sistiserkosis mata. Umumnya konjungtiva yang
terkena menampilkan suatu kista subkonjungtiva dalam bentuk pembengkakan
hemisferik setempat, biasanya di sudut dalam forniks inferior, yang melekat pada sklera
dibawahnya dan nyeri tekan. Diagnosis berdasarkan atas uji fiksasi komplemen atau uji
presipitasi atau temuan organisme dalam saluran cerna. Selalu ditemukan eusinofilia.
Pengobatan terbaik adalah eksisi lesi dan mengobati keadaan intestinalnya dengan
albendazole 400mg single dosis tunggal selama 3 hari.18

23
G. DIAGNOSIS
Anamnesis

Pada anamnesis, ditanyakan mengenai onset, durasi, unilateral


atau bilateral, gejala penyerta, riwayat penyakit sebelumnya, serta
riwayat keluarga. Hal ini memiliki peran penting, dimana pasien
dengan riwayat alergi pada keluarga (hay fever, eksim, dll) memiliki
kecenderungan mengalami konjungtivitis alergi.12

Pemeriksaan Fisik :
1. Visus normal
2. Injeksi konjungtival
3. Dapat disertai edema kelopak, kemosis
4. Eksudasi; eksudat dapat serous, mukopurulen, atau purulen
tergantung penyebab
5. Pada konjungtiva tarsal dapat ditemukan folikel, papil atau papil
raksasa, flikten, membrane, atau pseudomembran.

Pemeriksaan Penunjang (bila diperlukan)


1. Sediaan langsung swab konjungtiva dengan perwarnaan Gram atau Giemsa
2. Pemeriksaan sekret dengan perwarnaan biru metilen pada kasus
konjungtivitis gonore
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Klasifikasi Konjungtivitis:9
1. Konjungtivitis bakterial: Konjungtiva hiperemis, sekret purulen atau
mukopurulen dapat disertai membran atau pseudomembran di konjungtiva
tarsal. Curigai konjungtivitis gonore, terutama pada bayi baru lahir, jika
ditemukan konjungtivitis pada dua mata dengan sekret purulen yang
sangat banyak.
2. Konjungtivitis viral: Konjungtiva hiperemis, sekret umumnya
mukoserosa, dan pembesaran kelenjar preaurikular
3. Konjungtivitis alergi: Konjungtiva hiperemis, riwayat atopi atau alergi,dan
keluhan gatal.

24
4. Konjungtivitis chlamydial berupa rasa tak nyaman pada mata atau sensasi
benda asing, fotofobia ringan, dan mucopurulent discharge. Tanda
meliputi konjungtiva hiperemis terutama di forniks, hipertrofi folikel akut
yang dominan di konjungtiva palpebralis inferior, keratitis superfisial, dan
limfadenopati pre-aurikula.

Gambar 13. Alogaritma Penanganan Konjungtivitis9

H. Diagnosis Banding

1. Keratitis
Keratitis merupakan peradangan kornea yang dapat disebabkan oleh berbagai hal
seperti kurangnya air mata, keracunan obat, reaksi alergi terhadap terapi topikal dan
konjungtivitis menahun.. Gejala-gejala yang timbul pada keratitis memberikan gejala mata
merah, rasa silau, merasa kelilipan serta mengalami penurunan ketajaman penglihatan.
Pada pemeriksaan fisik dijumpai injeksi siliar dan infiltrat pada kornea.15
2. Uveitis
Uveitis merupakan peradangan pada uvea yang dapat mengenai jaringan iris atau
badan siliar dan korois. Iritis dan iridosiklitis merupakan suatu manifestasi klinik reaksi
imunologi terlambat, dini atau sel mediated terhadap jaringan uvea anterior. Bakteremia
atau viremia dapat menimbulkan iritis ringan, yang bila kemudian terdapat antigen yang
sama dalam tubuh dapat menimbulkan kekambuhan. Keluhan pasien dengan uveitis mata
sakit, merah, foto fobia, penurunan tajam penglihatan dengan mata berair serta sukar

25
melihat dekat akibat peradangan otot-otot akomodasi.15
3. Glaukoma Akut
Mata merah dengan penglihatan turun mendadak biasanya merupakan glaukoma
sudut tertutup akut. Pada glaukoma sudut tertutup akut tekanan intraokuler meningkat
mendadak. cairan mata di belakang iris tidak dapat mengalir melalui pupil sehingga
mendorong iris ke depan. serangan glaukoma akut terjadi tiba-tiba dengan rasa sakit hebat
di mata dan kepala, perasaan mual dengan muntah, mata menunjukkan peradangan
(kongestif) dengan kelopak mata bengkak, mata merah, dilatasi pupil, kornea suram dan
edema, papil saraf optik hiperemis danpenyempitan lapangan pandang.15

I. KOMPLIKASI
1. Blefaritis Marginal Kronik
Sering menyertai konjungtivitis bateri, Parut di konjungtiva paling sering terjadi dan
dapat merusak kelenjar lakrimal aksesorius dan menghilangkan duktulus kelenjar
lakrimal. Hal ini dapat mengurangi komponen akueosa dalam film air mata. Luka parut
juga dapat mengubah bentuk palpebra superior dan menyebabkan trikiasis dan entropion
sehingga bulu mata dapat menggesek kornea dan menyebabkan ulserasi, infeksi dan
parut pada kornea.15

2. Keratitis
Merupakan inflamasi pada lapisan kornea yang ditandai dengan adanya trias
keratitis berupa fotofobia, lakrimasi dan blefarospasme) dan paling sering disebabkan
oleh tipe keratokonjungtivitis.15
3. Ulkus pada kornea

Merupakan inflamasi pada lapisan kornea yang ditandai dengan adanya trias
keratitis berupa fotofobia, lakrimasi dan blefarospasme) dan paling sering disebabkan
oleh tipe keratokonjungtivitis.15

J. PROGNOSIS
Prognosis konjungtivitis virus umumnya baik karena akan sembuh dengan
sendirinya. Meskipun demikian untuk mencegah penularan perlu diperhatikan kebersihan
diri dan lingkungan begitu juga dengan konjungtivitis bakteri tetapi dapat menimbulkan
komplikasi jika tidak ditangani secara tepat. Pada konjungtivitis allergen dimana kondisi ini
dapat terus berlanjut dari waktu ke waktu, dan dapat semakin memburuk selama musim-

26
musim tertentu. Prognosis pada konjungtivitis terkait dengan fungsi, kesembuhan, dan
kehidupan bergantung pada kecepatan pasienmendapatkan terapi adekuat(3,4,10)

K. EDUKASI
Konjungtivitis virus mudah menular dari satu mata ke mata sebelahnya dan juga
mudah menular ke orang lain melalui kontak langsung dan benda yang kontakdengan mata.
Konjungtivitis virus memiliki risiko transmisi sekitar 10%-50%. Dapat menyebar melalui
jari tangan yang tercemar, peralatan medis, air kolam renang, atau barang-barang pribadi.
Berdasarkan tingginya angka penularan, maka perlu dibiasakan cuci tangan, desinfeksi
peralatan medis, dan isolasi penderita. Pasien tidak boleh saling bertukar barang pribadi
dengan orang lain dan harus menghindari kontak langsung atau tidak langsung (seperti di
kolam renang) selama dua minggu. Pada konjugtivitis allergen berupa penghindaran
terhadap semua kemungkinan alergen penyebab Kebersihan menjadi aspek paling penting
untuk menurunkan transmisi Chlamydia,(3,4,8)
Cara pencegahan penularan yang paling efektif adalah meningkatkan daya tahan
tubuh, menghindari bersentuhan dengan sekret atau air mata pasien, mencuci tangan setelah
menyentuh mata pasien sebelum dan sesudah menggunakan obat tetes mata. Selain itu,
hindari penggunaan tetes mata dari botolyang telah digunakan pasien konjungtivitis, hindari
penggunaan alat mandi dan bantal kepala yang sama, kebersihan wajah penting, terutama
untuk pencegahan. Juga penyediaan akses air bersih, memperbaiki higienitas personal
diikuti sanitaslingkungan(10)

27
BAB III

KESIMPULAN

Konjungtivitis adalah inflamasi jaringan konjungtiva yang dapat disebabkan oleh invasi
mikroorganisme, reaksi hipersensitivitas atau perubahan degeneratif di konjungtiva. Beberapa
jenis konjungtivitis dapat hilang dengan sendiri, tapi ada juga yang memerlukan
pengobatan. Berdasarkan penyebab terjadinya, konjungtivitis dapat dibagi menjadi
konjungtivitis bakteri, virus, Chlamydia, alergi, dan iritan/kimiawi. Penting artinya
untuk mengetahui setiap ciri khas kelainan konjungtivitis karena pengobatan dengan
tiap etiologi yang berbeda memerlukan terapi yang berbeda pula. Pengobatan yang
tidak adekuat dari konjungtivitis tipe tertentu seperti trakoma akan dapat memberikan
prognosa yang buruk (mengakibatkan kebutaan).

28
DAFTAR PUSTAKA

1. A. Azari A, Arabi A. Conjunctivitis: A Systematic Review. JOVR [Internet].


2020Jul.29 [cited 2022May24];15(3):372–395. Available from:
https://knepublishing.com/index.php/JOVR/article/view/7456

2. Pratasik CTJM, Najoan IHM, Manoppo RDP. Konjungtivitis pada Bayi (Oftalmia
Neonatorum). e-CliniC. 2021;9(1):15–9.

3. Sitompul R. Konjungtivitis Viral: Diagnosis dan Terapi di Pelayanan Kesehatan


Primer. eJournal Kedokteran Indonesia. 2017;5(1).

4. Cinthiadewi MD. Konjungtivitis Vernal. J Kedokt Indones Vol 5, No 1. 2019;5(1):1–


40.

5. Shakira IG, Azhar MB ZS. Karakteristik klinis dan demografis penderita


konjungtivitis yang berobat. Fak Kedokt dan ilmu Kesehat rumah sakit radenmattaher
jambi. 2016;

6. Lovensia. Oculi Dextra Conjunctivitis ec. Suspect Viral. J Medula Unila.


2014;3(September):168–73.

7. Widyastuti SB, Siregar SP. Konjungtivitis Vernalis. Sari Pediatr. 2016;5(4):160.

8. Abdurrauf M. Memutus Mata Rantai Penularan Konjungtivitis Bakteri Akut. Idea


Nurs J [Internet]. 2016;16(3):180–4. Available from:
http://jurnal.unsyiah.ac.id/INJ/article/view/6447/5286

9. Wei-Jie G, Zheng-Yi N, Yu H, Wen-Hua L, Chun-Quan O, Jian-Xing H, etalClinical


Characteristics of Coronavirus Disease 2019 in China.

10. Francesca C, Daniele L, Fabrizio C, Eleonora L, Licia B, Patrizia M,et al. SARS-
CoV-2 Isolation From Ocular Sekretions of a Patient With COVID-
19 in Italy With Prolonged Viral RNA Detection. AnnIntern Med
2020.doi:10.7326/M20-1176

11. Khurana AK. Comprehensive ophthalmology. Edisi ke-4. New Delhi: New

29
Age International. 2007

12. Kanski, J. J.Clinical ophthalmology: A systematic approach. Edinburgh:


Butterworth- Heinemann/Elsevier.edisi 9.2019

13. Hoffmann M, Kleine-Weber H, Schroeder S, Krüger N, Herrler T, Erichsen S, et al.


SARS- CoV-2Cell Entry Depends on ACE2 and TMPRSS 2 and Is Blocked by a
Clinically Proven Protease Inhibitor Cell 2020;181(2):271–
280.e8.doi:10.1016/j.cell.2020.02.052.

14. Voughan, DanielG, Asbury, TaylorRE, Paul. OftalmologiUmum (General


Ophthalmology). Edisi 17. Jakarta : EGC. 2000. p45-51

15. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.

16. Kellerman, R & Rakel, D. Conn's Current Therapy 2019. Philadelphia :


Elsevier.2019
17. Vaughan D. 2010. Oftalmologi Umum.Edisi 17. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta.
18. Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2015, Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan
dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi Ketujuh, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta

30

Anda mungkin juga menyukai