Anda di halaman 1dari 32

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2020


UNIVERSITAS HALU OLEO

KONJUNGTIVITIS

Oleh :
LM Yakdatamare Yakub, S.Ked
K1A1 13 152

Pembimbing :
dr. Suryani Rustam, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama : LM Yakdatamare Yakub, S.Ked

NIM : K1A1 13 152

Program Studi : Profesi Dokter

Fakultas : Kedokteran

Referat : Konjungtivitis

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepanitraan klinik pada Bagian
Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Juni 2020


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Suryani Rustam, Sp.M

2
KONJUNGTIVITIS
LM Yakdatamare Yakub, Suryani Rustam

A. Pendahuluan

Mata merupakan salah satu organ yang memiliki peranan penting bagi

tubuh, terutama sebagai indera penglihatan. Dalam menjalankan fungsinya,

mata di tunjang oleh berbagai struktur, termasuk konjungtiva sebagai struktur

terluarnya. Hal ini membuat konjungtiva rentan terhadap paparan bahan atau

zat serta agen-agen infeksi. Berbagai reaksi inflamasi dapat terjadi sebagai

respon utama terhadap adanya paparan bahan atau agen infeksi yang

menyerang mata. Hal ini biasanya bermanifestasi sebagai gejala berupa mata

merah.1

Radang konjungtiva atau konjungtivitis adalah penyakit mata paling

umum di dunia dan bervariasi dari hiperemia ringan dengan mata berair

hingga konjungtivitis berat dengan sekret purulen kental. Konjungtivitis dapat

menyerang seluruh kelompok umur, akut maupun kronis, serta disebabkan

oleh berbagai faktor baik eksogen maupun endogen. Faktor eksogen meliputi

bakteri, virus, jamur, maupun zat kimiawi irritatif, seperti asam, basa, asap,

angin, sinar ultraviolet hingga iatrogenik. Faktor endogen penyebab

konjungtivitis berupa reaksi hipersensitivitas, baik humoral maupun selular,

serta reaksi autoimun.1

B. Anatomi

1. Gerakan Bola Mata

a. lstilah yang Digunakan untuk Menguraikan Gerakan Mata

3
Pusat cornea atau pusat pupil digunakan sebagai "kutub

anterior" mata. Dengan demikian semua gerakan mata dikaitkan dengan

arah gerakan kutup anterior pada saat kutup ini berputar pada 3 sumbu

(horizontal, vertical, dan sagittal). Terminologi menjadi sebagai berikut:

elevasi adalah rotasi mata ke atas, depresi adalah rotasi mata ke bawah,

abduksi adalah rotasi mata ke lateral, dan aduksi adalah rotasi mata ke

medial. Gerakan memutar bola mata menggunakan pinggir atas cornea

(atau pupil) sebagai penanda. Mata berputar ke medial atau lateral.2

b. Otot-Otot Ekstrinsik Penghasil Gerakan Mata

Terdapat enam otot-otot volunter yang berjalan dari dinding

posterior cavitas orbitalis ke bola mata. Otot-otot itu adalah musculus

rectus superior, musculus rectus inferior, musculus rectus medius,

musculus rectus lateral, serta musculus obliquus superior dan musculus

obliquus inferior.2

Karena musculus rectus superior dan inferior berinsersi pada sisi

medial sumbu vertical bola mata, otot-otot ini tidak hanya mengangkat

dan menurunkan cornea, tetapi juga memutar bola mata ke medial. Agar

musculus rectus superior dapat menaikkan cornea langsung ke atas, otot

ini harus dibantu oleh musculus obliquus inferior. Agar musculus rectus

inferior dapat menurunkan cornea secara langsung, otot ini harus

dibantu oleh musculus obliquus superior. Perhatikan bahwa tendo

musculus obliquus superior berjalan melalui trochlea fibrocartilaginosa

4
melekat ke os frontaie. Tendo kemudian berbelok ke belakang dan

lateral dan dilekatkan ke sclera di bawah musculus rectus superior.2

c. Otot-Otot lntrinsik

Otot-otot intrinsik tidak volunter adalah musculus ciliaris dan

musculus constrictor serta musculus dilatator papillae. Otototot ini tidak

ikut berperan pada gerakan bola mata dan akan dibicarakan kemudian.2

2. Selubung Fascial Bola Mata

Selubung fascial meliputi bola mata dari nervus opticus sampai ke

limbus corneae. Selubung ini memisahkan bola mata dari corpus adiposum

orbitae dan menyediakan wadah agar bola mata dapat bergerak dengan

bebas. Selubung fascial ini ditembus oleh tendo otot-otot orbita dan

rnelipat pada masing, masing tendo sebagai selubung tubular. Selubung

untuk tendo musculus rectus medialis dan lateralis melekat pada dinding

medial dan lateral orbita melalui ligamentum berbentuk segitiga yang

disebut lacertus musculi recti medialis dan lateralis. Bagian bawah

selubung fascial yang berjalan di bawah bola mata dan menghubungkan

ligamentum lacertus musculi recti medialis dan lateralis menebal dan

berfungsi menahan bola mata; bagian ini disebut ligamentum

suspensorium bulbi. Dengan perantaraan ligamentum ini, bola mata seperti

tergantung di antara dinding medial dan lateral orbita.2

3. Struktur Mata

Bola mata tertanam di dalam corpus adiposum orbitae, tetapi

dipisahkan dari corpus adiposum ini oleh selubung fascial bola mata. Bola

5
mata terdiri dari tiga lapisan, dari luar ke dalam adalah tunica fibrosa,

tunica vasculosa yang berpigmen, dan tunica nervosa.2

a. Lapisan Bola Mata

1) Tunica Fibrosa

Tunica fibrosa terdiri atas bagian posterior yang opak, sclera,

dan bagian anterior yang transparan, cornea.2

Sclera

Sclera yang opak terdiri dari jaringan fibrosa padat dan

berwarna putih. Di posterior, sclera ditembus oleh nervus opticus

dan menyatu dengan selubung dura nerlrrs ini. Lamina cribrosa

adalah daerah sclera yang ditembus oleh serabut-serabut nervus

opticus. Sclera juga ditembus oleh arteri dan nervus ciliaris dan

pembuluh venanya, yaitu venae vorticosae. Ke arah depan sclera

langsung beralih menjadi cornea pada pertemuan sklera-kornea atau

limbus.2

Cornea

Cornea yang transparan, mempunyai fungsi utama

merefleksikan cahaya yang masuk ke mata. Di posterior

berhubungan dengan humor aquosus.2

Suplai darah: Cornea adalah avaskular dan sama sekali tidak

mempunyai aliran limfe. Cornea mendapatkan nutrisi dengan cara

difusi dari humor aqueus dan dari kapiler yang terdapat

dipinggirnya.2

6
Persarafan: Nervi ciliares longi dari divisi ophthalmica nervus

trigeminus.2

2) Tunica Vasculosa Pigmentosa

Tunica vasculosa pigmentosa dari belakang ke depan terdiri dari

choroidea. corpus ciliare, dan iris.2

Choroideo

Choroidea terdiri atas lapisan luar berpigmen dan lapisan dalam

yang sangat vascular.2

Corpus Ciliare

Corpus ciliare ke arah posterior dilanjutkan oleh choroidea, dan

ke anterior terletak di belakang batas perifer iris. Corpus ciliare

terdiri atas corona ciliaris, processus clliarls, dan musculus ciliaris.

Corona ciliaris adalah bagian posterior corpus ciliare, dan

permukaannya mempunyai alur-alur dangkal disebut striae ciliares.

Processus ciliaris adalah lipatan-lipatan yang teisusun radier, di

mana pada permukaan posteriornya melekat ligamentum

suspensorim lentis. Musculus ciliaris terdiri atas serabut-serabut

otot polos merldianal dan sirkular. Serabut meridianal berjalan ke

belakang dari area limbus corneae menuju ke processus ciliaris.

Serabut-serabut sirkular berjumlah sedikit dan terletak di sebelah

dalam serabut meridianal.2

Persarafan: Musculus ciliaris disarafi oleh serabut parasimpatik

dari nervus oculomotorius. Setelah bersinaps di ganglion ciliare,

7
serabut-serabut posganglionik berjalan ke depan ke bola mata di

dalam nervus ciliaris brevis.2

Fungsi: Kontraksi musculus ciliaris, terutama serabutserabut

meridianal menarik corpus ciliare ke depan. Hal ini menghilangkan

tegangan yang ada pada ligamentum suspensorium, dan lensa yang

elastis menjadi lebih cembung. Keadaan ini meningkatkan daya

refraksi lensa.2

lris dan Pupil

Iris adalah diaphragma berpigmen yang tipis dan kontraktil

dengan lubang di tengahnya, yaitu pupil. Iris terletak di dalam humor

aquosus di antara cornea dan lensa. Pinggir iris melekat pada

permukaan anterior corpus ciliaris. Iris membagi ruang antara lensa

dan cornea menjadi camera anterior dan camera posterior. Serabut-

serabut otot iris bersifat involunter dan terdiri dari serabut-serabut

sirkular dan radial. Serabut-serabut sirkular membentuk musculus

sphincter pupillae dan tersusun di sekitar pinggir pupil. Serabut-

serabut radial membentuk musculus dilator pupillae, yang

merupakan lembaran tipis serabut-serabut radial dan terletak dekat

permukaan posterior.2

Persarafan: musculus sphincter pupillae disarafi oleh serabut

parasimpatik nervus oculomotodus. Setelah bersinaps di ganglion

ciliare, serabut-serabut posganglionik berjalan ke depan ke bola mata

di dalam nervi ciliares breves. Musculus dilatator pupiliae disarafi

8
oleh serabut simpatik, yang berjalan ke depan ke bola mata di dalam

nervi ciliares longi.2

Fungsi: Musculus sphincter pupillae mengecilkan pupil dalam

keadaan cahaya terang dan selama berakomodasi. Musculus dilatator

pupillae melebarkan pupil dalam keadaan cahaya kurang terang atau

keadaan di mana terdapat aktivitas simpatik yang berlebihan seperti

dalam keadaan takut.2

3) Tunica Nervosa: Retina

Retina terdiri dari pars pigmentosa di sebelah luar dan pars

nervosa di sebelah dalam. Permukaan luar berhubungan dengan

choroidea dan permukaan dalam berhubungan dengan corpus

vitreum. Tiga perempat posterior retina merupakan organ receptor.

Pinggir anteriornya membentuk cincin berombak, ora serrata, yang

merupakan ujung akhir pars nervosa. Bagian anterior retina bersifat

bukan merupakan reseptor dan hanya terdiri dari sel-sel berpigmen

dengan lapisan epitel silindris di lapisan dalam. Bagian anterior

retina ini menutupi processus ciliaris dan beiakang iris.2

Pada pusat bagian posterior retina terdapat daerah lonjong

kekuningan, macula lutea, yang merupakan area retina dengan daya

lihat yang palingjelas. Ditengahnya terdapat lekukal, disebut fovea

centralis.2

Nervus opticus meninggalkan retina kira-kira 3 mm dari sisi

medial macula lutea melalui discus nervi optici. Discus nervi optici

9
agak cekung pada bagian tengahnya, yaitu merupakan tempat di

mana nervus opticus ditembus oleh arteria centralis retinae. Pada

discus nervi optici tidak terdapat selsel batang dan kerucut, sehingga

tidak peka terhadap cahaya dan disebut sebagai "bintik buta". Pada

pemeriksaan oftalmoskop, discus nervi optici tampak berwarna

merah muda pucat, jauh lebih pucat dari area retina di sekitamya.2

4. lsi Bola Mata

a. Humor Aquosus

Humor aquosus adalah cairan bening yang mengisi camera

anterior dan camera posterior bulbi, merupakan sekret dari processus

ciliaris, dari tempat ini mengalir ke camera posterior. Kemudian humor

aquosus mengalir ke dalam camera anterior melalui pupil dan keluar

melalui celah yang ada di angulus iridocornealis masuk ke dalam sinus

venosus sclerae (canal of S chlemm). Hambatan aliran keluar humor

aquosus mengakibatkan peningkatan tekanan intraocular, disebut

glaukoma. Keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan degeneratif pada

retina, yang berakibat kebutaan. Fungsi humor aquosus adalah untuk

menyokong dinding boia mata dengan memberikan tekanan dari dalam,

sehingga menjaga bentuk bola matanya. Cairan ini juga memberi

makanan pada cornea dan lensa dan mengangkut hasil-hasil

metabolisme. Fungsi ini penting, karena comea dan lensa tidak

mempunyai pembuluh darah.2

b. Corpus Vitreum

10
Corpus vitreum mengisi bola mata di belakang lensa dan

merupakan gel yang transparan. Canalis hyaloideus adalah saluran

sempit yang berjalan melalui corpus vitreum dari discus nervi optici ke

permukaan posterior lensa. Pada janin saluran ini berisi A. hyaioidea,

yang menghilang beberapa saat sebelum lahirFungsi corpus vitreum

adalah membantu meningkatkan daya pembesaran mata. juga

menyokong permukaan posterior leirsa dan membantu melekatkan pars

nervosa ke pars pigmentosa retina.2

c. Lensa (Lens)

Lensa adalah struktur bikonveks yang transparary yang

dibungkus oleh kapsul yang transparan. Terletak di belakang iris dan di

depan corpus vitreum, serta dikelilingi processus ciliaris. Lensa terdiri

dari capsula elastis, yang membungkus epitheliun cuboideum, yang

terbatas pada permukaan anterior lensa; dan fibrae lentis yang dibentuk

dari epithelium cuboideum pada equator lentis. Fibrae lentis men1,'usun

bagian terbesar lensa.2

d. Konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran mukosa tipis dan transparan

yang melapisi bagian anterior bola mata dan bagian dalam palpebra.

Konjungtiva dibagi tiga bagian yaitu konjungtiva palpebra, konjungtiva

bulbar dan forniks. Konjungtiva palpebra melapisi bagian dalam

palpebra, dibagi lagi menjadi tiga bagian yaitu marginal, tarsal dan

orbital. Bagian marginal terletak di tepi palpebra hingga 2 mm ke dalam

11
palpebra, bagian tarsal melekat di tarsal plate, sedangkan bagian orbital

terletak di antara konjungtiva tarsal dan forniks. Di konjungtiva

palpebra terdapat kelenjar henle dan sel goblet yang memproduksi

musin. Konjungtiva bulbar melapisi bagian anterior bola mata dan

dipisahkan dengan sklera anterior oleh jaringan episklera. Konjungtiva

yang berbatasan dengan kornea disebut limbal conjunctiva. Di

konjungtiva bulbar terdapat kelenjar manz dan sel goblet. Konjungtiva

forniks merupakan penghubung konjungtiva palpebra dengan

konjungtiva bulbar. Daerah tersebut memiliki kelenjar lakrimal

aksesoris yaitu kelenjar krause dan wolfring yang menghasilkan

komponen akuos air mata.3

Gambar 1. Anatomi Mata2

12
C. Definisi

Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva, selaput lendir

yang menutupi bagian depan mata. Biasanya disebabkan oleh infeksi virus

atau bakteri tetapi alergi juga terlibat. Kondisi ini biasanya sembuh sendiri

dan biasanya akan sembuh secara spontan pada individu yang sehat.4

Konjungtivitis merupakan penyakit mata yang paling umum di dunia.

Konjungtivitis merupakan proses inflamasi yang ditandai dengan dilatasi

vaskuler, sel infiltrat, dan eksudat. Penyakit ini bervariasi mulai dari

hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat dengan

banyak sekret purulen kental. Konjungtivitis dapat ditandai dengan mata

berwarna sangat merah dan menyebar begitu cepat dan biasanya

menyebabkan mata rusak.5

D. Epidemiologi

Konjungtivitis dapat dijumpai di seluruh dunia, pada berbagai ras,

usia, jenis kelamin, dan strata sosial. Walaupun tidak ada data yang akurat

mengenai insiden konjungtivitis, namun penyakit ini diestimasi sebagai salah

satu penyakit mata yang paling umum. Pada 30% kunjungan di Departemen

Penyakit Mata di Amerika Serikat, 15% di antaranya adalah keluhan

konjungtivitis akibat bakteri dan virus, dan 15% lainnya adalah keluhan

konjungtivitis akibat alergi. Konjungtivitis juga diestimasi sebagai salah satu

penyakit mata yang paling umum di Nigeria bagian Timur, dengan insidensi

32,9% dari 949 kunjungan di Departemen Mata Aba Metropolis, Nigeria,

pada tahun 2004, hingga 2006.6 Di Amerika Serikat, dari 30% kunjungan di

13
Departemen Penyakit Mata, 15% di antaranya merupakan keluhan

konjungtivitis akibat alergi.6

Di Indonesia konjungtivitis termasuk dalam 10 besar penyakit rawat

jalan terbanyak pada tahun 2009, tetapi belum ada data statistik mengenai

jenis konjungtivitis yang paling banyak dan akurat yang diderita oleh

masyarakat Indonesia. Di Rumah Sakit DKT Dr. Soetarto Yogyakarta,

ditemukan konjungtivitis alergi (30,7%), konjungtivitis bakteri (26,7%),

glaukoma (22,7%), konjungtivitis virus (14,7%), dan sindroma mata kering

(5,3%). Walaupun tidak ada dokumen yang secara rinci menjelaskan tentang

prevalensi konjungtivitis, tetapi keadaan ini sudah ditetapkan sebagai

penyakit yang sering terjadi pada masyarakat.6

E. Etiologi

Paling sering disebabkan oleh virus, dan sangat menular. Banyak

sebab lain konjungtivitis, antara lain klamidia, parasit (jarang terjadi, namun

bila terjadi sifatnya kronis), autoimunitas, zat kimia, idiopatik, dan sebagai

penyulit dari penyakit lain. Penyebab bacterial untuk yang hiperakut atau

purulen adalah Neisseria gonorrhoe dan N. Meningitidis. Untuk yang

perjalanannya akut dengan sekret mukopurulen, penyebabnya adalah

pneumokokus dan Haemophillus aegyptius. Untuk yang subakut

penyebabnya H. influenza. Adapun konjungtivitis bacterial kronik, termasuk

blefarokonjungtivitis, umumnya disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan

Moraxella lacunata. Bentuk yang jarang (akut, subakut, kronik) disebabkan

14
oleh streptococci, coliforms, Moraxella catarrhalis, Proteus spp,

Corynebacterium diphteriae, dan Mycobacterium tuberculosis.7

Suatu konjungtivitis nonpurulen dengan hiperemia dan infiltrasi

minimal, sering merupakan penyerta penyakit-penyakit rickettsial sistemik

yang jarang misalnya tifus, tifus Murine, Scrub typhus, Rocky mountain

spotted fever, demam mediteran, dan demam Q. Adapun jamur jarang

menyebabkan konjungtivitis. Candida spp. dapat menyebabkan suatu

konjungtivitis eksudatif yang kronik. Reaksi granulomatosa bisa terjadi akibat

infeksi jamur oleh spesies-spesies Rhinosporidium seeberi, Coccidioides

immitis, dan Sporothrix schenckii.7

F. Patofisiologi

Mikroorganisme masuk ke dalam tubuh dengan cara adhesi, evasi, dan

invasi. Adhesi adalah penempelan molekul mikroorganisme ke epitel mata

yang dimediasi oleh protein permukaan mikroorganisme. Evasi adalah upaya

mikroorganisme untuk menembus pertahanan sistem imun.3

Hampir semua mikroorganisme hanya menginvasi bila terdapat

kerusakan epitel kecuali beberapa bakteri seperti Neissseria gonorhoeae dan

Shigella spp. Pada infeksi virus, adhesi sekaligus memfasilitasi proses invasi

melalui interaksi molekul virus dengan sel hospes seperti interaksi kapsul

adenovirus dengan integrin sel hospes yang menyebabkan proses endositosis

virus oleh sel.3

Mikroorganisme juga dapat bertahan melewati sistem pertahanan

tubuh dan bereplikasi seperti pada infeksi HSV, virus varisela serta herpes

15
zoster namun sebagian besar infeksi lainnya dapat dieradikasi oleh sistem

imun tubuh.3

G. Klasifikasi

Konjungtivitis berdasarkan penyebab dapat dibagi menjadi menular

dan tidak menular. Virus dan bakteri merupakan penyebab infeksi menular

yang paling umum. Pathogen yang paling sering menyebabkan konjungtivitis

bakterial pada dewasa adalah staphylococcal sp., diikuti dengan

Streptococcus pneumonia dan Haemophilus influenzae.8

Konjungtivitis tidak menular termasuk alergi, racun, dan sikatrik

konjungtivitis, serta peradangan sekunder untuk penyakit immune- mediated

dan proses neoplastik. Penyakit ini juga dapat diklasifikasikan menjadi akut,

hiperakut, dan kronis sesuai dengan onset dan tingkat keparahan klinis. Selain

itu dapat berupa primer atau sekunder untuk penyakit sistemik seperti gonore,

klamidia, dan sindrom Reiter.8

1. Konjungtivitis Bakteri

a. Definisi

Konjungtivitis bakteri adalah penyebab paling umum kedua dari

konjungtivitis infeksi. Sebagian besar kasus meningitis bakteri tanpa

komplikasi dapat sembuh dalam waktu 1 hingga 2 minggu. Hampir

semua kasus konjungtivitis bakteri sembuh sendiri dan tidak

menyebabkan morbiditas yang signifikan.9

b. Etiologi

16
Gambar 2. Penyebab Konjungtivitis Bakterial9

c. Epidemiologi

Insiden konjungtivitis bakteri diperkirakan 135 dari 10.000

dalam satu penelitian. Konjungtivitis bakteri didapat langsung dari

orang yang terinfeksi atau dapat terjadi akibat proliferasi transmisi flora

normal konjungtiva yang tidak normal. Selain itu, kondisi tertentu

seperti produksi air mata terganggu, gangguan penghalang epitel alami,

kelainan struktur adneksa, trauma, dan status imunosupresan

merupakan predisposisi konjungtivitis bakteri. Penyakit biasanya

berlangsung 7 hingga 10 hari.10

d. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala termasuk mata merah, keluarnya purulen atau

mukopurulen, dan kemosis (Gambar 3). Masa inkubasi penularan

diperkirakan 1 hingga 7 hari dan 2 hingga 7 hari. Purulen harus dikultur

dan konjungtivitis gonokokal harus dipertimbangkan. Konjungtivitis

17
tidak merespons untuk terapi antibiotik standar pada pasien yang aktif

secara seksual. Kemungkinan keratitis bakteri tinggi pada pemakai

lensa kontak, yang harus dirawat dengan antibiotic topical dan dirujuk

ke dokter spesialis mata.10

Gambar 3. Konjungtivitis Bakterial10

e. Tatalaksana

Setidaknya 60% dari kasus konjungtivitis bakteri akut yang

telah di kultur sembuh sendiri dalam 1 sampai 2 minggu. Meskipun

antibiotik topikal mengurangi durasi penyakit, tidak ada perbedaan

yang diamati dalam hasil antara pengobatan dan kelompok plasebo.

Dalam analisis besar-besaran, yang terdiri dari 3673 pasien dalam 11 uji

klinis acak, ada peningkatan sekitar 10% dalam tingkat perbaikan klinis

dibandingkan dengan yang untuk plasebo untuk pasien yang menerima

baik 2 sampai 5 hari atau 6 sampai 10 hari pengobatan antibiotik

dibandingkan dengan plasebo.10

18
Gambar 4. Konjungtivitis Bakterial20

Antibiotik topikal tampaknya lebih efektif pada pasien yang

memiliki hasil kultur bakteri positif. Dalam tinjauan sistemik yang

besar, antibiotik topikal ditemukan efektif dalam meningkatkan angka

kesembuhan klinis dan mikrobiologis pada kelompok pasien dengan

konjungtivitis bakteri yang terbukti kultur, sedangkan hanya angka

kesembuhan mikroba yang lebih baik diamati pada kelompok pasien

dengan konjungtivitis bakteri yang dicurigai secara klinis. Penelitian

lain tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam tingkat

kesembuhan klinis ketika frekuensi yang diberikan antibiotik sedikit

berubah.10

2. Konjungtivitis Viral

a. Definisi

Konjungtivitis virus adalah penyakit mata yang umum

ditemukan baik di Indonesia maupun di seluruh dunia. Karena begitu

19
umum dan banyak kasus yang tidak dibawa ke perhatian medis, statistik

yang akurat pada frekuensi penyakit tidak tersedia.11

Gambar 5. Konjungtivitis Viral11

b. Etiologi

Tidak seperti konjungtivitis bakteri, ada banyak patogen yang

terkait dengan infeksi konjunctivitis virus, meskipun sebagian besar

kasus konjungtivitis virus dicakup oleh beberapa patogen umum. Virus

spesifik sangat tergantung pada wilayah geografis di dunia. Dalam

sebuah penelitian yang dilakukan di negara-negara Timur Jepang,

Korea dan Taiwan paling banyak patogen umum yang diisolasi dari

1105 kasus adalah adenovirus 8 dan enterovirus 70.12

c. Epidemiologi

Pada penelitian di Philadelphia 62% dari kasus konjungtivitis

penyebabnya adalah virus terutama adenovirus. Sedangkan di Asia

Timur, adenovirus dapat diisolasi dari 91,2% kasus yang didiagnosa

20
keratokonjungtivitis epidemik.Lebih dari 50 serotipe adenovirus yang

telah diidentifikasi dan terbagi menjadi 6 subkelompok.11

d. Manifestasi Klinis

Pada konjungtivitis ini, mata sangat berair. Kotoran mata ada,

namun biasanya sedikit. Konjungtivitis bakteri biasanya mengenai

kedua mata. Ciri khasnya adalah keluar kotoran mata dalam jumlah

banyak, berwarna kuning kehijauan. Konjungtivitis alergi juga

mengenai kedua mata. Tandanya, selain mata berwarna merah, mata

juga akan terasa gatal. Gatal ini juga seringkali dirasakan dihidung.

Produksi air mata juga berlebihan sehingga mata sangat berair.

Konjungtivitis papiler raksasa adalah konjungtivitis yang disebabkan

oleh intoleransi mata terhadap lensa kontak. Biasanya mengenai kedua

mata, terasa gatal, banyak kotoran mata, air mata berlebih, dan kadang

muncul benjolan di kelopak mata.11

e. Tatalaksana

Konjungtivitis virus biasanya tidak diobati, karena akan sembuh

sendiri dalam beberapa hari. Walaupun demikian, beberapa dokter tetap

akan memberikan larutan astringen agar mata senantiasa bersih

sehingga infeksi sekunder oleh bakteri tidak terjadi dan air mata buatan

untuk mengatasi kekeringan dan rasa tidak nyaman di mata. Beberapa

sumber lain menyebutkan bahwa tidak ada pengobatan yang efektif

untuk infeksi adenovirus, namun air mata buatan, antihistamin topikal,

kompres air dingin mungkin dapat mengurangi gejala. Selain itu

21
dibutuhkan cuci tangan secara berkala dan menggunakan handuk serta

alat kosmetik secara sendiri-sendiri untuk mencegah penularan.11

3. Konjungtivitis Alergi

a. Definisi

Konjungtivitis alergi adalah peradangan yang mengenai lapisan

tipis jaringan yang menutupi bagian depan mata dan bagian dalam

kelopak mata (konjungtiva). Kadang-kadang disebut sebagai mata pink

atau mata merah.13

b. Etiologi

Konjungtivitis alergi biasanya disebabkan oleh sensitivitas

terhadap rumput dan serbuk sari pohon, debu atau tungau binatang. Ini

jauh lebih umum pada mereka yang memiliki riwayat alergi atau

riwayat alergi keluarga.13

c. Epidemiologi

Diagnosis konjungtivitis alergi terus meningkat. Penyakit ini

lebih umum di daerah tropis yang panas dan lembab. Banyak faktor

seperti perubahan iklim, meningkatnya polusi, genetika, polutan rokok

dan terjadinya alergi pada awal masa kecil telah diusulkan sebagai agen

penyebab atau faktor risiko.14

d. Manifestasi Klinis

Konjungtivitis alergi biasanya menyebabkan mata yang gatal

menjadi merah muda atau merah. Mata biasanya berair dan gejala alergi

lainnya seperti bersin dan pilek mungkin ada. Konjungtivitis alergi jenis

22
musiman akan bervariasi sesuai tahun dan kondisi cuaca. Pasien dengan

alergi yang lebih umum, seperti alergi terhadap tungau debu,

kemungkinan besar akan memiliki gejala sepanjang tahun.13

Gambar 6. Konjungtivitis Alergi17

e. Tatalaksana

1) menghindari penyebab alergi (jika mungkin);

2) menggunakan kompres dingin (seperti kapas bersih direndam dalam

air dingin) untuk menenangkan mata; dan

3) menghindari menggosok mata karena ini akan mengakibatkan gejala

lebih buruk.

4) Tetes mata stabilisator sel mast seperti sodium cromoglicate

(Opticrom) tidak langsung bekerja. Tetes ini bagus untuk mencegah

gejala

5) Obat tetes mata antihistamin seperti antazolin sulfat (Otrivine-

Antistin) memberikan efek yang lebih langsung. Obat ini tidak akan

mencegah reaksi alergi, tetapi sebaliknya obati gejalanya begitu

alergi mulai terjadi.13

23
4. Konjungtivitis Vernal

a. Definisi

Konjungtivitis vernalis (KV) merupakan salah satu bentuk

proses inflamasi kronik dan berulang pada mata, umumnya bilateral.

Pasien dengan atopi mempunyai risiko lebih besar untuk menderita KV.

Konjungtivitis Vernalis dibedakan atas 3 tipe yaitu tipe palpebra, tipe

limbus atau campuran keduanya.15

Konjungtivitis vernal merupakan salah satu bentuk

konjungtivitis allergi yang berulang khas musiman, bersifat bilateral,

sering pada orang dengan riwayat alergi pada keluarga, sering

ditemukan pada anak laki yang berusia kurang dari 10 tahun,

diperkirakan diseluruh dunia insiden konjungtivitis vernal berkisar

antara 0,1 % – 0,5 % dan cenderung lebih tinggi di negara

berkembang.16

Gambar 7. Konjungtivitis Vernal18

b. Etiologi

24
Penyebab utama konjungtivitis vernal adalah reaksi allergi, hal

ini didasarkan pada beberapa pemikiran : 1) Konjungtivitis yang

kambuh secara musiman 2) Pada pemeriksaan kerakan getah mata

didapatkan eosinofil 3) Lebih sering diderita oleh anak dan usia muda.16

c. Epidemiologi

Prevalensi KV lebih tinggi di daerah tropis seperti Afrika, India,

Mediteranian, Amerika Tengah dan Selatan, serta Timur Tengah. KV

lebih banyak terdapat pada kulit berwarna dibandingkan kulit putih.

Penyakit ini lebih banyak didapatkan pada laki-laki dengan

perbandingan 3 : 1. Sebagian besar pasien berusia antara 3-25 tahun.15

d. Manifestasi Klinis

Gejala klinis utama adalah rasa gatal yang terus menerus pada

mata, mata sering berair, rasa terbakar atau seperti ada benda asing di

mata. Gejala lainnya fotofobia, ptosis, sekret mata berbentuk mukus

seperti benang tebal berwarna hijau atau kuning tua. KV dapat terjadi

pada konjungtiva tarsalis atau limbus, atau terjadi bersamaan dengan

dominasi pada salah satu tempat tersebut. Pada konjungtiva tarsalis

superior dapat dijumpai gambaran papil cobblestone yang menyerupai

gambaran mozaik atau hipertrofi papil. Sedangkan pada limbus

dijumpai satu atau lebih papil berwarna putih yang disebut sebagai

trantas dots, yaitu terdiri dari tumpukan sel-sel eosinofil. Apabila

penyakit meluas sampai kornea, disebut sebagai keratokonjungtivitis

25
vernalis (KKV) dan digolongkan ke dalam penyakit yang lebih berat,

karena dapat menyebabkan penurunan visus.15

e. Tatalaksana

1) Terapi utama : berupa penghindaran terhadap semua kemungkinan

alergen penyebab.

2) Terapi topical. Pemberian vasokonstriktor topikal dapat

mengurangi gejala kemerahan dan edem pada konjungtiva. Namun

pada beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan

kombinasi obat vasokonstriktor dan antihistamin topikal (vasocon

A) mempunyai efek yang lebih efektif dibanding pemberian yang

terpisah.5,6,8 Pemberian stabilisator sel mast yaitu natrium

kromoglikat 2% atau sodium kromolyn 4% atau iodoksamid

trometamin dapat mencegah degranulasi dan lepasnya substansi

vasoaktif, sehingga dapat mengurangi kebutuhan akan

kortikosteroid topikal. Pemakaian iodoksamid dikatakan

mempunyai efek yang lebih baik dibandingkan dengan natrium

kromoglikat 2% maupun sodium kromolyn 4%. Pemberian obat

antiinflamasi non-steroid topikal seperti diklofenak, suprofen,

flubirofen dan ketorolak dapat menghambat kerja enzim

siklooksigenase, namun saat ini hanya ketorolak yang mendapat

rekomendasi dari Food Drug Administration. Bila obat-obatan

topikal seperti antihistamin, vasokonstriktor, atau sodium kromolyn

tidak adekuat maka dapat dipertimbangkan pemberian

26
kortikosteroid topikal. Allansmith melaporkan bahwa pemberian

terapi “pulse” dengan deksametason 1% topikal, diberikan tiap 2

jam, 8 kali sehari kemudian diturunkan secara bertahap selama 1

minggu, dapat mengobati inflamasi pada KV, tetapi bila tidak

dalam serangan akut pemberian steroid topikal tidak diperbolehkan.

Saat ini preparat steroid digunakan dengan cara injeksi supratarsal

pada kasus KV yang refrakter. Siklosporin bekerja menghambat

aksi interleukin 2 pada limfosit T dan menekan efek sel T dan

eosinofil, terbukti bermanfaat menurunkan gejala dan tanda KV.

Terapi untuk kasus berulang yang tidak dapat diobati dengan

natrium kromoglikat atau steroid, diberikan siklosporin topikal 2%

dan mitomisin-C topikal 0,01%.15

3) Terapi sistemik. Pengobatan dengan antihistamin sistemik

bermanfaat untuk menambah efektivitas pengobatan topikal.

Pemberian aspirin dan indometasin (golongan antiinflamasi non-

steroid) yang bekerja sebagai penghambat enzim siklooksigenase

dilaporkan dapat mengurangi gejala KV. Kortikosteroid sistemik

diberikan bila ada indikasi khusus yaitu inflamasi berat pada

kornea dan konjungtiva, bertujuan untuk mencegah kerusakan

jaringan. Pemberian montelukas dilaporkan dapat mengurangi

gejala pada pasien KV yang juga menderita asma atau pada pasien

yang mempunyai risiko terhadap terapi steroid. Namun hal ini

masih dalam perdebatan. Efektivitas pemberian imunoterapi

27
sebagai terapi alergi pada mata sampai saat ini belum memberikan

hasil yang memuaskan.

4) Terapi suportif : a) Desensitisasi dengan alergen inhalan, b)

Kompres dingin pada mata dan menggunakan kacamata hitam, c)

Tetes mata artifisial dapat melarutkan alergen dan berguna untuk

mencuci mata, d) Klimatoterapi seperti pendingin udara di rumah

atau pindah ke tempat berhawa dingin.

5) Terapi bedah. Terapi bedah yang dapat dilakukan adalah otograf

konjungtiva dan krio terapi, namun kelemahan kedua terapi ini

dapat menyebabkan terjadinya sikatriks, trikiasis, defisiensi air

mata dan entropion. Keratotomi superfisial dapat dilakukan untuk

reepitelisasi kornea.15

H. Diagnosis

1. Anamnesis

Pasien datang dengan keluhan mata merah, rasa mengganjal, gatal

dan berair, kadang disertai sekret. Keluhan tidak disertai penurunan tajam

penglihatan.19

2. Pemeriksaan Fisik

a. Visus normal

b. Injeksi konjungtival

c. Dapat disertai edema kelopak, kemosis

d. Eksudasi; eksudat dapat serous, mukopurulen, atau purulen tergantung

penyebab

28
e. Pada konjungtiva tarsal dapat ditemukan folikel, papil atau papil

raksasa, flikten, membrane, atau pseudomembran.19

3. Pemeriksaan Penunjang

Sediaan langsung swab konjungtiva dengan perwarnaan Gram atau

Giemsa Pemeriksaan sekret dengan perwarnaan biru metilen pada kasus

konjungtivitis gonore Pemeriksaan Penunjang Lanjutan: Umumnya

tidak diperlukan, kecuali pada kecurigaan konjungtivitis gonore, dilakukan

pemeriksaan sediaan apus dengan pewarnaan Gram.19

I. Tatalaksana

Pemberian obat mata topical

1. Pada infeksi bakteri: Kloramfenikol tetes sebanyak 1 tetes 6 kali sehari

atau salep mata 3 kali sehari selama 3 hari.

2. Pada alergi: Flumetolon tetes mata dua kali sehari selama 2 minggu.

3. Pada konjungtivitis gonore: Kloramfenikol tetes mata 0,5- 1% sebanyak 1

tetes tiap jam dan suntikan pada bayi diberikan 50.000 U/kgBB tiap hari

sampai tidak ditemukan kuman GO pada sediaan apus selama 3 hari

berturutturut.

4. Pada konjungtivitis viral: Salep Acyclovir 3%, 5 kali sehari selama 10

hari.19

J. Konseling dan Edukasi

1. Konjungtivitis mudah menular, karena itu sebelum dan sesudah

membersihkan atau mengoleskan obat, penderita harus mencuci tangannya

bersih-bersih.

29
2. Jangan menggunakan handuk atau lap bersama-sama dengan penghuni

rumah lainnya.

3. Menjaga kebersihan lingkungan rumah dan sekitar.19

K. Komplikasi

Keratokonjuntivitis19

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Insani ML, Adioka IGM, Artini IGA, Mahendra AN. Karakteristik Dan

Manajemen Konjungtivitis Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Indera

Denpasar Periode Januari-April 2014. E-Jurnal Medika, Juli 2017, 6(7): 1-6.

2. Snell RS. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. 2002. EGC. Jakarta.

3. Sitompul R. Konjungtivitis Viral: Diagnosis dan Terapi di Pelayanan

Kesehatan Primer. eJKI, April 2017, 5(1): 64-71.

4. Saskatchewan Association. Conjunctivitis: Adult & Pediatric. ENT, 2019: 1-9.

5. Sakina A. Diagnosis Klinis, Tatalaksana, dan Pencegahan Chlamydial

Conjunctivitis. Continuing Medical Education Edisi Suplemen-2, 2019, 46:

45-47.

6. Putra IMGD, Budhiastra P, Susila NKN. Tingkat pengetahuan mahasiswa

semester VI, Pogram Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran,

Universitas Udayana terhadap konjungtivitis bakteri tahun 2017. Intisari Sains

Medis, 2019, 10(1): 70-76.

7. Yogo G. 2017. Buku Ilmu Penyakit Mata UGM. Universitas Gadjah Mada.

Yogyakarta.

8. Ramadhanisa A. Conjunctivitis Bakterial Treatment In Kota Karang Village. J

Medula Unila, Desember 2014, 3(2): 1-7.

9. Ahmad S. Diagnosis and Management of Bacterial Conjunctivitis. Acta

Scientific Pharmaceutical Sciences, 2018, 2(11): 80-85.

31
10. Azari AA, Barney NP. Conjunctivitis: A Systematic Review of Diagnosis and

Treatment. JAMA. Oktober 2013, 310(16): 1721–1729.

11. Lovensia. Oculi Dextra Conjunctivitis ec. Suspect Viral. Jurnal Medula Unila,

September 2014, 3(1): 168-173.

12. Haq A, Wardak H, Kraskian N. 2013. Infective Conjunctivitis – Its

Pathogenesis, Management and Complications. Intech. London.

13. The Association of Optometrists. 2017. Allergic conjunctivitis. London.

14. Rathi VM, Murthy SI. Allergic conjunctivitis. Community Eye Health

Journal, 2017, 29(99): 57-60.

15. Widyastuti SB, Siregar SP. Konjungtivitis Vernalis. Sari Pediatri, Maret

2004, 5(4): 160 – 164.

16. Lukitasari A. Konjungtivitis Vernal. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, April

2012, 12(1): 58-62.

17. Bielory L, dkk. An algorithm for the management of allergic conjunctivitis.

Allergy and Asthma Proceedings, 2013, 34: 408–420.

18. Hall A, Shillo B. Vernal Keratoconjunctivitis. Community Eye Health

Journal, March 2005, 18(53): 76-78.

19. Ikatan Dokter Indonesia. 2017. Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter Di

Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Pengurus Besar Ikatan Dokter

Indonesia. Jakarta.

20. Chen JY, Tey A. 2014. GP guide to the diagnosis and management of

conjunctivitis. Drug Review. UK.

32

Anda mungkin juga menyukai