Anda di halaman 1dari 39

PROBLEM BASED LEARNING

MATA KABUR MENDADAK

Penulis

Lidya Pertiwi S. 011723143013

Zahra Fadhilazka T. 011723143084

Aini Nadhifa 011723143146

Vivi Permata Sari 011813143021

Pembimbing

Susy Fatmariyanti, dr., Sp.M

SMF/DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR SOETOMO

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2019

1
DAFTAR ISI

Halaman Judul ...................................................................................................... 1

Daftar Isi................................................................................................................ 2

BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................................. 3

BAB 2.TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 4

2.1. ANATOMI DAN FISIOLOGI ........................................................ 4

2.1.1. Anatomi mata ......................................................................... 4

2.1.2. Fisiologi Proses Visual .......................................................... 9

2.2. DEFINISI DAN KLASIFIKASI MATA KABUR MENDADAK


......................................................................................................... 12

2.3. GEJALA KLINIS DAN PEMERIKSAAN MATA KABUR ......... 13

2.3.1. Ablasio Retina........................................................................ 13

2.3.2. Oklusi Arteri Retina ............................................................... 21

2.3.3. Oklusi Vena Retina ................................................................ 25

2.3.5 Glaukoma (Acute Primary Angle Closure) ........................... 30

2.3.6 Neuritis optik .......................................................................... 33

2.3.7 Neuropati Optik Traumatik ..................................................... 37

Daftar Pustaka ....................................................................................................... 38

2
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Mata merupakan organ penglihatan yang dimiliki manusia, dan termasuk
satu dari lima panca indera yang dimiliki manusia. Mata dilindungi oleh area orbit
tengkorak yang disusun oleh berbagai tulang seperti tulang frontal, sphenoid,
maxilla, zygomatic, greater wing of sphenoid, lacrimal, dan ethmoid (Rizzo,
2001).
Fungsi mata adalah sebagai organ refraksi yang berfungsi untuk
membiaskan cahaya masuk ke retina, untuk selanjutnya dilanjutkan ke otak
berupa impuls melalui saraf optik, agar dapat diproses oleh otak untuk membentuk
sebuah gambar. Penglihatan yang baik adalah hasil kombinasi jalur visus
neurologik yang utuh, mata yang secara struktural sehat dan dapat memfokuskan
secara tepat. Struktur mata yang berkontribusi dalam proses refraksi ini adalah
kornea, lensa, aqueous dan vitreous humor. Kelainan pada satu atau lebih organ
yang melaksanakan proses ini dapat menyebabkan penurunan visus atau
ketajaman penglihatan, yang dapat merugikan dan mungkin pula membahayakan
pada kegiatan kita sehari-hari yang selalu bergantung pada mata untuk melihat.
Karena itu, visus merupakan komponen yang wajib diperiksa dalam setiap
pemeriksaan mata.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi


2.1.1 Anatomi Mata
Bola mata berbentuk bola bulat dengan kutub anterior dan posterior yang
merupakan titik pusat pada konveksitas maksimal lengkung anterior dan posterior,
serta terdapat ekuator bola mata yang terletak di bidang tengah di antara kedua
kutub. Bola mata bertekstur kistik, dan strukturnya dijaga oleh tekanan di dalamnya
(Khurana, 2015).
Berikut adalah ukuran bola mata normal pada orang dewasa :
a. Diameter anteroposterior : 24 mm
b. Diameter horizontal : 23.5 mm
c. Diameter vertical : 23 mm
d. Lingkar : 75 mm
e. Volume : 6.5 ml
f. Berat : 7 gm
(Khurana, 2015)
Bola mata memiliki mantel yang terdiri atas 3 bagian, yakni :
a. Mantel fibrous
Mantel fibrous merupakan dinding kuat yang melindungi isi intraokular. 1/6 bagian
anteriornya berupa struktur transparan yang disebut kornea, dan 5/6 bagian
posteriornya buram, disebut sclera. Pertemuan kornea dan sklera disebut limbus,
yang merupakan tempat melekatnya konjungtiva.
b. Mantel pembuluh darah (jaringan uveal)
Mantel pembuluh darah yang disebut sebagai jaringan uveal merupakan pemasok
nutrisi ke berbagai struktur bola mata. Jaringan uveal terbagi menjadi tiga bagian,
dari anterior ke posterior, yaitu: iris, ciliary body dan choroid.
c. Mantel saraf (retina)
Merupakan bagian yang berperan penting dalam fungsi visual dan proyek untuk
korteks visual melalui jalur visual.
(Khurana, 2015)

4
Bola mata dibagi menjadi dua segmen, sebagai berikut :
1. Segmen anterior
Segmen ini terdiri atas lensa kristal (yang ditangguhkan dari ciliary body oleh
zonules), dan struktur anteriornya, yaitu, iris, kornea dan dua ruang berisi humor
aqueous: ruang anterior dan posterior.
a. Ruang anterior.
Dibatasi di anterior oleh bagian belakang kornea, dan di posterior oleh permukaan
anterior iris dan ciliary body. Kedalaman ruang anterior sekitar 2,5 mm pada orang
dewasa normal, sedikit lebih dangkal pada hipermetropia dan lebih dalam pada
myopia. Ruang anterior mengandung sekitar 0,25 ml humor aqueous yang
berhubungan dengan ruang posterior melalui pupil.
b. Ruang posterior.
Ruang posterior dibatasi di anterior oleh permukaan posterior iris dan ciliary body,
batas posteriornya adalah lensa dan zonula-zonula, dan batas lateralnya adalah
ciliary body. Ruang ini Nampak sebagai ruang segitiga yang mengandung 0,06 ml
aqueous humor.
2. Segmen posterior
Didalamnya terkandung struktur posterior, yakni vitreous humor (bahan seperti gel
yang mengisi ruang di belakang lensa), retina, koroid, dan optic disk.

(Khurana, 2015)

Bola mata mempertahankan posisinya dengan fiksasi oleh otot ekstraokular


dan selubung fasia, dan terletak dalam rongga tulang berbentuk piramid segi empat
yang disebut orbit (Khurana, 2015). Secara spesifik, bola mata terletak di orbit
bagian anterior, lebih dekat ke atap dan dinding lateral daripada ke lantai (inferior)
dan dinding medial.
Mata dilindungi pada bagian anterior oleh kelopak mata (Khurana, 2015).
Permukaan posterior kelopak dan bagian anterior sklera dilapisi oleh membran tipis
yang disebut konjungtiva. Kornea dan konjungtiva senantiasa dialiri oleh air mata
yang dihasilkan oleh kelenjar lakrimal untuk menjaga kelembabannya, agar kedua
struktur dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Air mata yang dihasilkan oleh
kelenjar lakrimal didrainasi oleh saluran lakrimal (Khurana, 2015). Kelopak mata,

5
alis, konjungtiva, dan apparatus lakrimal secara kolektif disebut sebagai pelengkap
mata (Khurana, 2015).
Vaskularisasi mata dan struktur orbital lainnya utamanya disuplai oleh
cabang arteri karotis interna (Khurana, 2015). Vena yang mengeluarkan darah dari
bola mata termasuk vena retina sentral yang mengalirkan darah dari retina; dan vena
ciliary anterior, vena posterior ciliary pendek dan venae verticosae yang
mengalirkan darah dari jaringan uveal (Khurana, 2015). Saluran vena utama yang
akhirnya mendapatkan pasokan darah dari berbagai struktur orbital meliputi Vena
ophthalmic superior, Vena ophthalmic inferior, Vena ophthalmic tengah, Vena
ophthalmic medial, Vena ophthalmic medial, Vena angular, dan Sinus kavernosa
(Khurana, 2015).

Mata diinervasi secara sensorik oleh n. ophthalmic, yaitu saraf terkecil dari
tiga divisi saraf trigeminal (kranial ke-5), yang memasok berbagai struktur mata
melalui tiga cabangnya (Khurana, 2015):
 Saraf Lacrimal
Saraf ini terletak di bagian lateral orbit dan memasok kelenjar lakrimal,
konjungtiva, dan bagian lateral kelopak mata atas.
 Saraf frontal
Saraf fontral terbagi menjadi dua cabang di tengah orbit, yaitu saraf supratoklear
dan saraf supraorbital. Saraf supratroklear memasok konjungtiva, bagian tengah
kelopak mata atas, dan kulit dahi di atas akar hidung. Saraf supraorbital memasok
konjungtiva, bagian tengah kelopak mata atas, dan bagian kulit dahi dan kulit
kepala.
 Saraf nasosiliaris
Saraf nasosiliaris memiliki beberapa cabang, sebagai berikut :
 Saraf siliaris yang panjang, dua jumlahnya, menembus sklera di kedua sisi
saraf optik, berjalan maju antara sklera dan koroid dan memasok saraf sensoris ke
tubuh siliaris, iris dan kornea.
 Cabang communicating ke ganglion siliaris membentuk akar sensorik dan
serabutnya melewati saraf siliaris pendek, untuk memasok ciliary body, iris dan
kornea.
 Saraf ethmoidal posterior memasok sinus ethmoidal dan sphenoidal.

6
 Saraf ethmoidal anterior adalah cabang terminal saraf nasosiliar yang
meninggalkan orbit melalui foramen ethmoidal anterior.
 Saraf infratroklear adalah cabang terminal lain dari saraf nasosiliar. Ini
berjalan maju dan memasok konjungtiva, kantung lakrimal, caruncle, dan bagian
medial dari kelopak mata.
(Khurana, 2015)
Mata diinervasi motoriknya oleh saraf kranial ke-3, ke-4 dan ke-6 yang
mempersarafi otot ekstraokular, serta cabang saraf ke-7 yang memasok otot
orbicularis oculi pada kelopak mata (Khurana, 2015).
Inervasi otonom pada mata terbagi menjadi simpatik dan parasimpatik. Saraf
simpatik mata terdiri dari :
 Serat preganglionic, timbul dari pusat ciliospinal Budge (terletak di kolom
sel mediolateral inferior sumsum tulang belakang pada level C8, T1 dan T2) dan
menuju ke rantai simpatis cervical untuk berada pada ganglion servical superior.
 Serat postganglionik dari ganglion cervical superior memasuki tengkorak
dengan pleksus karotis interna dan mempersarafi struktur berikut:
 Arteri orbital menerima serat vasomotor melalui pleksus di sekitar arteri
ophthalmic.
 Otot dilator pupillae dipersarafi oleh serabut simpatis dari pleksus karotis
yang memasuki ganglion Gasserian dari saraf kranial ke-5 dan akhirnya mencapai
otot dilator pupillae bersama dengan cabang silia panjang dari nervus nasociliary
(cabang ophthalmic, saraf ke-5).
 Pembuluh darah di dalam bola mata dipersarafi oleh serat dari pleksus
karotis interna yang bergabung dengan ganglion siliaris sebagai akar simpatiknya
dan tanpa merambat di sini serat ini masuk ke dalam bola mata sepanjang saraf
siliaris pendek. Serat-serat ini juga dapat memasok otot dilator pupillae jika tidak
dipersarafi oleh jalur biasa melalui saraf nasociliary.
 Otot palpebral (Muller) pada kelopak mata disuplai oleh serat
postganglionik yang membentuk pleksus kavernosa yang mencapai otot melalui
cabang-cabang saraf okulomotor (nervus kranial ke-3).
(Khurana, 2015)
Sementara inervasi parasimpatetik mata terdiri dari :

7
 Edinger-Westphal nucleus, terletak di otak tengah, mengirimkan serat
preganglionik melalui saraf kranial ketiga ke ganglion silia dan ganglion aksesori.
Serabut saraf postganglionik dari ganglion silia berjalan sepanjang saraf siliaris
pendek untuk mempersarafi otot sphincter pupil dan serat postganglionik dari
ganglion aksesori mempersarafi otot siliaris.
 Nukleus Salivatori, terletak di pons, mengirimkan serat preganglionik
melalui nervus facialis ke ganglion sphenopalatine. Serabut sekretomotor
postganglionik akhirnya mencapai kelenjar lacrimal melalui nervus lacrimal.
 Ciliary ganglion. Ganglion silia adalah ganglion parasimpatis perifer yang
ditempatkan pada jalur saraf okulomotor dekat puncak orbit. Akar ganglion siliaris
meliputi: Akar sensoris (berasal dari saraf nasociliary), Akar simpatik ganglion
ciliary (berasal dari pleksus karotis interna. Serat-serat ini melewati saraf ciliary
pendek untuk mempersarafi pembuluh darah bola mata), dan Akar parasimpatis
ganglion siliaris (muncul dari saraf ke otot oblique inferior dan membawa serabut
preganglionik dari nukleus Edinger-Westphal. Serabut postganglionik melewati
saraf ciliary pendek dan mempersarafi sphincter pupil dan otot ciliary).
 Saraf ciliary pendek, merupakan cabang ganglion ciliary, sekitar 10
jumlahnya, menembus sklera di sekitar saraf optik dan menuju ke depan antara
sclera dan choroid serta mencapai otot ciliary di mana serat sensorik membentuk
pleksus dan mempersarafinya.
(Khurana, 2015)
Limfatik yang mendrainase kelopak mata, konjungtiva, dan jaringan orbital
disusun dalam dua kelompok, yaitu :

 Kelompok medial limfatik, yang mengalir ke kelenjar getah bening


submandibular
 Kelompok lateral limfatik, yang mengalir ke kelenjar getah bening
subauricular

(Khurana, 2015).

Bola mata menjalankan fungsinya sebagai pelaksana jalur visual, yang terdiri
dari saraf optik, optik chiasma, traktus optik, geniculate bodies dan optic radiations
(Khurana, 2015).

8
2.1.2 Fisiologi Proses Visual
Fisiologi visual adalah fenomena kompleks yang melibatkan (Khurana,
2015):
 Inisiasi penglihatan (Fototransduksi)
Fototransduksi merupakan keseluruhan fenomena konversi energi cahaya
menjadi impuls saraf. Inisiasi penglihatan melibatkan peran sel batang dan kerucut,
yang berfungsi sebagai ujung saraf sensorik untuk sensasi visual. Cahaya yang jatuh
ke retina menyebabkan perubahan fotokimia yang akan memicu reaksi kaskade
biokimia, yang kemudian akan menghasilkan generasi perubahan listrik.
Perubahan fotokimia meliputi :
1) Pemutihan Rhodopsin
Rhodopsin merupakan pigmen visual yang ada di batang, yang berfungsi sebagai
reseptor untuk penglihatan malam (scotopic). Spektrum serapan maksimumnya
adalah sekitar 500 nm. Rhodopsin terdiri dari protein tidak berwarna yang disebut
opsin ditambah dengan karotenoid yang disebut retinine (Vitamin A aldehyde atau
11-cis-retinal). Cahaya yang jatuh pada batang mengubah komponen 11-cis-retinal
dari rhodopsin menjadi 11-cis-retinal. All-trans-retinal yang terbentuk segera
dipisahkan dari opsin. Proses pemisahan ini disebut photodecomposition dan
rhodopsin diputihkan oleh aksi cahaya.
2) Regenerasi rhodopsin
11-cis-retinal diregenerasi dari alt-trans-retinal yang dipisahkan dari opsin dan
vitamin-A (retina) dipasok dari darah. 11-cisretinal kemudian bersatu kembali
dengan opsin di segmen luar batang untuk membentuk rhodopsin. Seluruh proses
ini disebut regenerasi rhodopsin. Dengan demikian, pemutihan rhodopsin terjadi di
bawah pengaruh cahaya, sedangkan proses regenerasi tidak tergantung pada
cahaya, berjalan sama baiknya dalam cahaya dan kegelapan.
3) Siklus visual
Dalam retina hewan hidup, di bawah stimulasi cahaya konstan, di mana tingkat di
mana fotokimia diputihkan sama dengan tingkat di mana diregenerasi.
Keseimbangan antara komposisi foto dan regenerasi pigmen visual ini disebut
sebagai siklus visual.
4) Perubahan listrik

9
Rhodopsin yang teraktivasi, setelah terpapar cahaya, memicu kaskade reaksi
biokimia kompleks yang akhirnya menghasilkan potensi reseptor di fotoreseptor.
Dengan cara ini, energi cahaya diubah menjadi energi listrik yang diproses lebih
lanjut dan ditransmisikan melalui jalur visual.
(Khurana, 2015)
 Pemrosesan dan transmisi sensasi visual
Proses ini melibatkan fungsi sel pemrosesan gambar retina dan jalur visual.
Potensi reseptor yang dihasilkan dalam fotoreseptor ditransmisikan oleh konduksi
elektrotonik (misalnya Aliran arus listrik langsung, dan bukan sebagai potensial
aksi) ke sel-sel lain dari retina seperti sel horizontal, sel amakrin, dan sel ganglion
(Khurana, 2015). Namun, sel-sel ganglion mentransmisikan sinyal visual melalui
aksi potensial ke neuron geniculate lateral dan kemudian ke korteks visual primer
(Khurana, 2015).
 Persepsi visual
Proses persepsi visual melibatkan fungsi korteks visual dan area terkait dari korteks
serebral.
(Khurana, 2015)
Mata manusia memiliki cahaya minimum, yakni kecerahan minimum yang
diperlukan untuk membangkitkan sensasi cahaya (Khurana, 2015). Cahaya
minimum mata diukur ketika mata gelap diadaptasi setidaknya 20-30 menit. Mata
manusia sehari-harinya mampu berfungsi secara normal pada rentang pencahayaan
yang sangat luas, disebabkan oleh fenomena yang sangat kompleks, yang disebut
sebagai adaptasi visual. Proses adaptasi visual terutama melibatkan (Khurana,
2015):
 Adaptasi gelap (penyesuaian pencahayaan redup)
Adaptasi gelap merupakan kemampuan mata untuk beradaptasi sendiri
dengan mengurangi pencahayaan yang masuk mata. Kemampuan ini berfungsi
ketika seseorang beralih dari sinar matahari yang cerah ke ruangan yang remang-
remang, dimana seseorang tidak akan dapat melihat benda-benda di ruangan itu
untuk beberapa waktu. Selama hal tersebut terjadi, mata beradaptasi dengan
pencahayaan rendah. Waktu yang diperlukan untuk mata dapat melihat kembali
dalam pencahayaan redup disebut waktu adaptasi gelap. Batang jauh lebih sensitif

10
terhadap pencahayaan rendah daripada kerucut. Oleh karena itu, batang lebih
banyak digunakan dalam cahaya redup (penglihatan skotopik) dan kerucut dalam
cahaya terang (penglihatan photopic). Adaptasi gelap yang tertunda terjadi pada
penyakit batang, mis. retinitis pigmentosa dan defisiensi vitamin A (Khurana,
2015).
 Adaptasi cahaya (penyesuaian pencahayaan terang)
Adaptasi cahaya yaitu ketika seseorang tiba-tiba beralih dari redup ke
lingkungan yang terang benderang. Sesaat mata akan melihat cahaya yang tampak
sangat terang dan tidak nyaman. Retina kemudian menyesuaikan diri dengan
cahaya terang tersebut, yang prosesnya disebut adaptasi cahaya, dimana mata
beradaptasi dengan peningkatan pencahayaan dan ambang visual meningkat,
dengan menghilangkan adaptasi gelap. Proses adaptasi cahaya sangat cepat dan
terjadi selama 5 menit (Khurana, 2015).
Shape sense merupakan kemampuan untuk membedakan antara bentuk-
bentuk benda, diperankan utamanya oleh sel kerucut (Khurana, 2015). Ketajaman
visual yang direkam oleh bagan uji Snellen adalah ukuran dari pengertian bentuk
(Khurana, 2015).
Sense of contrast merupakan kemampuan mata untuk merasakan sedikit
perubahan dalam pencahayaan antara daerah yang tidak dipisahkan oleh batas yang
pasti (Khurana, 2015). Sensitivitas kontras dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti
usia, kesalahan refraktif, glaukoma, ambliopia, diabetes, penyakit saraf optik dan
perubahan lentikular (Khurana, 2015). Gangguan sensitivitas kontras dapat terjadi,
walaupun ketajaman visual yang normal (Khurana, 2015).
Sense warna merupakan kemampuan mata untuk membedakan antara
berbagai warna yang tereksitasi oleh cahaya dengan panjang gelombang yang
berbeda, diperankan oleh fungsi kerucut (Khurana, 2015). Dalam cahaya redup
(penglihatan scotopic), semua warna terlihat abu-abu, fenomena ini disebut
perubahan Purkinje (Khurana, 2015). Proses analisis warna dimulai di retina dan
tidak sepenuhnya merupakan fungsi otak. Teori mengenai persepsi warna,
diantaranya adalah :

a. Teori trikromatik Young-Helmholtz, warna yang diberikan terdiri dari


campuran dari tiga warna primer (merah, hijau, biru) dalam proporsi yang berbeda.

11
b. Teori warna Lawan dari Hering (menunjukkan bahwa beberapa warna
tampak 'saling eksklusif', tidak ada warna seperti 'hijau kemerahan').

Dari dua teori tersebut, diketahui bahwa penglihatan warna adalah


trikromatik pada tingkat fotoreseptor, penentangan warna terjadi pada sel ganglion
(Khurana, 2015).

2.2 Definisi dan Klasifikasi Mata Kabur Mendadak


Tajam penglihatan didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk
membaca tes pola standar pada jarak tertentu dan merupakan indikator primer
kesehatan mata dan sistem visual (Julita, 2018). Pada umumnya hasil pengukuran
dibandingkan dengan penglihatan orang normal. Pemeriksaan tajam penglihatan
merupakan pemeriksaan fungsi mata untuk menilai kekuatan resolusi mata.
Gangguan penglihatan memerlukan pemeriksaan untuk mengetahui sebab kelainan
mata yang mengakibatkan turunnya tajam penglihatan (Julita, 2018).
Ketajaman penglihatan adalah ukuran kemampuan mata untuk membedakan
bentuk dan detail objek pada jarak tertentu (Janet,et al., 2014). Hal ini merupakan
kemampuan untuk memeriksa fungsi fovea, di mana ketajaman penglihatan
dipengaruhi sel kerucut di fovea retina. Pengukuran ketajaman penglihatan
umumnya menggunakan snelen chart, yang berisi angka atau huruf atau “E
illiterate” (untuk orang yang buta huruf) dengan sudut 5˚ busur dari sumber
penglihatan berjumlah sebanyak 10 baris yang makin ke bawah makin kecil
ukurannya. Hasil pemeriksaan ini ditulis sebagai pecahan yang terdiri dari
pembilang dan penyebut. Pembilang dari pecahan menunjukkan jarak penderita
dengan kartu Snellen atau jarak yang dapat dibaca oleh penderita, sedangkan
penyebut dari pecahan menunjukkan jarak yang dapat dibaca oleh orang normal.
Pemeriksaan visus dilakukan dengan cara subyektif, di mana memerlukan kerja
sama yang baik antara pemeriksa dengan penderita dan masih dipengaruhi oleh
motivasi, intelegensi, dan perhatian penderita. Sarana pemeriksaan seperti luas
kamar periksa, jarak pemeriksaan, dan cukup tidaknya penerangan juga sangat
berpengaruh (Pedoman Ketrampilan Medik, 2014).

Klasifikasi penyebab mata kabur mendadak (AAO, nd):

12
1. Kekeruhan struktur mata yang transparan: Konjungtivitis yang merusak
kornea, Uveitis anterior, Scar pada kornea akibat contact lens, Keratomalacia,
Katarak
2. Cahaya tidak jatuh tepat di retina: Gangguan refraksi.
3. Kelainan retina (sense cahaya abnormal): Ablasi retina, Retinopati diabetik,
Degenerasi macula, Iskemi retina, Oklusi arteri vena central retina, Infeksi pada
retina, Infeksi Mucormycosis (jamur ke orbit melalui sinus ethmoid serang
pembuluh darah, menyebabkan iskemia dan nekrosis jaringan)
4. Kelainan saraf yang membawa sinyal visual dari mata ke otak: Tumor,
Apneasi Hipofisis, Giant cell/Temporal arteritis. Stroke, Neuropati optik iskemi,
artopati neuropati optic iskemik anterior, Glaukoma.
5. Kelainan di otak: Tumor, Stroke, TIA Infarc oksipital.

2.3 Gejala Klinis dan Pemeriksaan Mata Kabur


2.3.1 Ablasio Retina
a. Definisi
Ablasio retina atau retinal detachment merupakan suatu keadaan terpisahnya
lapisan neurosensoris retina (NSR) dari retinal pigment epithelium (RPE)
(Khurana, 2018).
Secara umum terdapat dua jenis ablasio retina, yaitu rhegmatogenous dan non-
rhegmatogenous :
- Ablasio Retina Rhegmatogenous atau Primary Retinal Detachment
Merupakan kondisi terjadinya robekan pada retina (lubang atau robekan) dimana
cairan subretinal (SRF) merembes dan memisahkan sensoris retina dari pigmen
epitel. Jenis ini merupakan jenis terbanyak (Khurana, 2018).
- Ablasio Retina Non-Rhegmatogenous
Terbagi menjadi dua, yaitu traksional dan eksudatif :
 Tractional Retinal Detachment
 Terjadi karena retina secara mekanis ditarik dari membran vitreoretina oleh
kontraksi jaringan fibrosis dalam vitreus (Khurana, 2018)
Ablasio retina traksional terjadi karena adanya kontraksi atau tarikan pada
membrane vitreoretina tanpa adanya robekan pada retina (Khurana, 2015).

13
 Exudative or Solid Retinal Detachment
Terjadi karena retina didorong oleh neoplasma atau akumulasi cairan subretina
(SRF) akibat proses inflamasi atau lesi vaskular (Khurana, 2018).
Ablasio retina eksudatif terjadi karena adanya cairan subretina yang berasal dari
choriocapillary dengan cara menembus lapisan RPE yang rusak. Pada jenis ablasio
retina ini tidak ditemukan adanya robekan ataupun traksi, melainkan terjadi suatu
akumulasi cairan pada lapisan di bawah retina sensoris (Khurana, 2015).

Gambar 2.1 Retinal breaks pada retinal detachment


b. Epidemiologi
The Rochester epidemiology project menyatakan bahwa kejadian retina
rhegmatogenous memiliki insiden tahunan sebesar 12,6 per 100.000 orang dalam
populasi yang terutama berkulit putih. Risiko individu yang terkena dipengaruhi
oleh ada atau tidak adanya faktor-faktor tertentu, termasuk miopia, riwayat
keluarga, robekan atau detasemen retina sesama mata, pelepasan cairan vitreus
(American Academy of Opthalmology, 2018).

14
c. Patofisiologi
- Ablasio Retina Rhegmatogenus
Retinal break pada RRD disebabkan oleh interaksi antara traksi vitreoretinal
dinamis dan degenerasi predisposisi pada retina perifer. Traksi vitreoretinal dinamis
diinduksi oleh gerakan cepat mata terutama PVD, vitreous syneresis, aphakia, dan
miopia. Ketika retina break terbentuk maka cairan vitreous dapat meresap
memisahkan retina sensorik dari epitel pigmen. Saat cairan subretinal (SRF)
terakumulasi, maka cenderung condong ke bawah. Bentuk dan posisi akhir ablasio
retina ditentukan oleh lokasi retina break (aturan Lincoff) dan batas anatomi optik
disc dan ora serrata. Cairan vitreous yang merembes masuk retina pecah dan
terkumpul sebagai cairan subretinal (SRF) antara retina sensorik dan pigmen epitel
(Khurana, 2018)

Gambar 2.2 Phatogenesis Ablasio Retina Rhegmatogenus


d. Etiologi
- Ablasio Retina Rhegmatogenus
Masih belum jelas etiologi sesungguhnya. Faktor predisposisi dan patogenesis
sebagai berikut:
1. Usia. Kondisi ini paling umum pada 40-60 tahun. Namun, usia bukanlah
batasan.
2. Seks. Lebih umum pada pria (M: F — 3: 2).
3. Miopia. Sekitar 40% kasus rhegmatogenous ablasi retina adalah rabun.

15
4. Aphakia dan pseudophakia. Kondisinya lebih sering terjadi pada aphakes
dan pseudophake daripada phakes.
5. Degenerasi retina.
6. Trauma.
7. Senile posterior vitreous detachment (PVD). Ini terkait dengan ablasi retina
di sekitar 10% kasus (Khurana, 2018)
- Ablasio Retina Eksudatif
1. Penyakit Sistemik: toksemia kehamilan, hipertensi renal, blood dyscrasias
dan polyarteritis nodosa.
2. Penyakit pada mata.
 Kelainan kongenital : nanophthalmos optic pit, choroidal coloboma and
familia exudative vitreoretinopathy (FEVR);
 Inflamasi : Harada’s disease, sympathetic ophthalmia, posterior scleritis,
and orbital cellulitis;
 Penyakit vascular : central serous retinopathy and exudative retinopathy of
Coats;
 Keganasan : malignant melanoma of choroid retinoblastoma (exophytic
type), haemangioma, and metastatic tumours of choroid;
 Hipoton mendadak karena perforasi bola mata dan operasi intraocular
 Neovaskularisasi koroid juga dapat menyebabkan ablasi retina eksudatif
(Khurana, 2018).
- Ablasio Retina Traksional
 Retraksi pasca-trauma pada jaringan parut khususnya cedera tembus,
 Retinopati diabetik proliferatif,
 Proliferans retinitis pasca-hemoragik,
 Retinopati prematuritas,
 Siklitis plastik,
 Retinopati sel sabit,
 Retinopati proliferatif pada penyakit Eales,
 Sindrom traksi vitreomacular,
 Incontinentia pigmenti,
 Displasia retina, dan

16
 Toksokariasis (Khurana, 2018).
e. Gejala Klinis
- Ablasio Retina Rhegmatogenus
 Gejala Prodormal : Dark spots (floaters) adanya bitnik hitam di deapan
mata (karena degenerasi cepat viterus) dan Photopsia, yaitu sensasi kilatan cahaya
(karena iritasi retina oleh gerakan vitreous)
 Gejala abalsio :
o Penurunan penglihatan pada area terjadinya ablasi retina yang dikeluhkan
oleh pasien di tahap awal yang perlahan berkembang menjadi penurunan
penglihatan total saat ablasi perifer bertahap menuju area makula.
o Tiba-tiba muncul awan gelap atau kerudung di depan mata dikeluhkan oleh
pasien ketika ablasi meluas ke posterior hingga ekuator.
o Hilangnya penglihatan tiba-tiba tanpa rasa sakit terjadi ketika detasemen
besar dan sentral (Khurana, 2018).
- Ablasio Retina Eksudatif
Ablasi retina eksudatif dapat dibedakan dari ablasio retina sederhana dengan:
 Tidak adanya fotopsia, lubang / robekan, lipatan dan undulasi.
 Ablasi retina eksudatif halus dan cembung
 Pola pembuluh retina mungkin terganggu, karena adanya neovaskularisasi
di puncak tumor.
 Cairan yang berubah-ubah ditandai dengan perubahan posisi dari daerah
yang terlepas dengan gravitasi adalah ciri khas ablasio retina eksudatif
 Pada uji transiluminasi, ablasio retina sederhana tampak transparan
semntara ablasio retina eksudatif buram (Khurana, 2018).
- Ablasio Retina Traksional
Photopsia dan floaters tidak dikeluhkan. Biasanya ditandai dengan:
 Adanya pita vitreoretinal dengan lesi pada penyakit penyebab.
 retina break biasanya tidak ada dan konfigurasi dari area terpisah adalah
cekung.
 Ketinggian retina tertinggi terjadi di situs traksi vitreoretinal.
 Mobilitas retina sangat berkurang dan bergeser dan tidak didapatkan cairan
(Khurana, 2018).

17
f. DD
- Retinoschisis
- Tumor koroid,
- Peningkatan retina akibat terlepasnya koroid
(American Academy of Opthalmology, 2018)
1. Posterior Vitreous Detachment
2. Degenerative Retinoschisis
3. Choroidal Detachment
4. Choroidal Tumor
5. Uveal Effusion Syndrome (Panduan Praktik Klinis, 2015).
g. Diagnostik
- Ablasio Retina Rhegmatogenus
o External examination, mata biasanya normal
o Tekanan intraocular biasanya sedikit rendah atau normal
o Marcus Gunn pupil muncul pada mata yang ablasi
o Plane mirror examination atau Distant Direct ophthalmoscopy
menunjukkan refleks merah yang berubah di daerah pupil (yaitu refleks keabu-
abuan di kuadran retina yang terlepas)
o Oftalmoskopi harus dilakukan secara direk dan indirek. Ablasi retina paling
baik diperiksa dengan ophthalmoscopy indirek menggunakan indentasi skleral
(untuk meningkatkan visualisasi retina perifer anterior ke khatulistiwa). Dengan
oftalmoskopi tampak retina yang lepas berbentuk konveks, warna lebih pucat,
konfigurasi pembuluh darah retina yang berkelok-kelok serta retina bergoyang jika
mata bergerak (Panduan Praktik Klinis, 2015).
o Visual field chart menunjukkan skotoma yang sesuai dengan area retina
yang terlepas
o Electroretinography (ERG) abnormal atau tidak ada
o Ultrasonografi menegaskan diagnosis. Biasanya pada pasien dengan media
kabur terutama di hadapan katarak yang padat dan perdarahan vitreous (Khurana,
2018). USG dilakukan pada kasus dengan kecurigaan ablasi retinal pada media
keruh (ditemukan katarak komplikata dan atau obscura corpus vitreous seperti pada
perdarahan vitreous (Panduan Praktik Klinis, 2015).

18
o Goldmann Three Mirror: tampak lokalisasi dan luasnya retina yang lepas
serta lokasi break/hole (tipe robekan tunggal/multiple), degeneraasi retina
perifer/kelainan vitreus (Panduan Praktik Klinis, 2015)
- Ablasio Retina Eksudatif
o Pemeriksaan mata dan sistemik dilakukan secara menyeluruh
o B-scan ultrasonografi dapat membantu menggambarkan penyebab yang
mendasarinya.
o FFA dapat menunjukkan sumber cairan.
o CT scan dan / atau MRI berguna, khususnya dalam kasus tumor intraocular
(Khurana, 2018)

Gambar 2.3 B-Scan menunjukkan retinal detachment

h. Tatalaksana
- Ablasio Retina Rhegmatogenus
Prinsip dasar dan langkah-langkah operasi RD adalah mengunci retinal breaks,
mengurangi traksi vitreous retina, dan perataan retina dengan drainase cairan
subretinal dan tamponade eksternal atau internal.
o Mengunci retina break. Semua retina pecah harus dideteksi, ditutup dengan
memproduksi chorioretinitis aseptik, dengan cryocoagulation, atau
photocoagulation atau diathermy. Cryocoagulation lebih sering digunakan. Laser
fotokoagulasi dilakukan pada break tanpa retinal detachment yang ditemukan, dan
sebagai preventif pada fellow eye dengan anestesi topikal, jika didapatkan
degenerasi retina perifer terutama bila didapatkan kelainan vitreus demikian juga

19
pada kasus dengan miopia patologis pada kedua mata dengan mata satunya riwayat
retinal detachment (Panduan Praktik Klinis, 2015).
o Drainase SRF. Drainase SRF adalah dilakukan dengan sangat hati-hati
dengan memasukkan jarum ke sklera dan koroid ke dalam ruang subretinal dan
memungkinkan SRF mengalir keluar. Drainase SRF mungkin tidak diperlukan
dalam beberapa kasus.
o Pemeliharaan apposisi chorioretinal adalah diperlukan setidaknya untuk
beberapa minggu. Ini bisa diselesaikan dengan salah satu dari prosedur berikut
tergantung pada kondisi klinis mata :
1. Scleral buckling adalah indentasi ke dalam sklera untuk memasang tampon
eksternal dengan cara memasukkan eksplan (spons silikon atau silikon padat)
kemudian sklera dijahit (Khurana, 2018).
Pemasangan segmental scleral buckle dapat disertai prosedur tambahan seperti
drainage cairan subretina, cryotherapy, dan pneumatic retinopexy, dapat dilakukan
dengan anestesi lokal dan anestesi umum. Sebelumnya diperlukan pemeriksaan
laboratorium darah lengkap, RFT, LFT, profil lipid, dan faal hemostasis (Panduan
Praktik Klinis, 2015)
2. Pneumatic retinopexy adalah prosedur sederhana untuk memperbaiki ablasi
retina superior dengan cara injeksi expandable gas (Khurana, 2018). Prosedur ini
dilakukan dengan anestesi lokal yaitu dengan menginjeksikan expandable gas untuk
menutup robekan retina dan menempelkan kembali retina tanpa pemasangan
Scleral buckle, dengan positioning penderita setelah injeksi. Gas yang digunakan
dapat berupa SF6 atau C3F8 (Panduan Praktik Klinis, 2015).
3. Pars plana vitrectomy, endolaser photocoagulation dan internal tamponade
(Khurana, 2018).Operasi mikro untuk mengevakuasi vitreus yang patologis,
menghilangkan tarikan membran vitreoretina agar dapat lebih mudah mendekati
retina untuk melakukan prosedur internal drainage, endolaser, dan pemberian
tamponade (Panduan Praktik Klinis, 2015).
Ablasi retina primer dapat dicegah dengan penerapan laser fotokoagulasi atau
cryotherapy tepat waktu di area ablasi. Langkah-langkah profilaksis secara khusus
ditunjukkan pada pasien yang memiliki faktor risiko tinggi seperti miopia, aphakia,
ablasi di mata sesama atau riwayat ablasi retina dalam keluarga (Khurana, 2018).

20
Edukasi yang diberikan kepada pasien dengan ablasi retina primer :
1. Menjelaskan bahwa gangguan penglihatan yang terjadi akibat dari lepasnya
lapisan saraf mata/retina yang dapat disebabkan oleh faktor resiko antara lain
kelainan minus tinggi, degenerasi retina perifer atau trauma.
2. Menjelaskan bahwa terapi dari penyakit ini adalah tindakan operatif yang
bertujuan untuk menempelkan kembali secara anatomis lapisan saraf mata/retina
yang lepas.
3. Menjelaskan bahwa prognosis visus setelah tindakan dapat membaik
terutama kasus dengan fresh retinal detachment dan macula on (Panduan Praktik
Klinis, 2015).
- Ablasio Retina Eksudatif
Pengobatan pada sebagian besar kasus yaitu mengobati penyakit penyebab atau
yang mendasari, sebagai ablasio retina eksudatif karena transudat, eksudat dan
perdarahan dapat terjadi regresi spontan mengikuti penyerapan cairan. Oleh karena
itu pengobatan diutamakan mengobati penyakit penyebab. Enukleasi biasanya
diperlukan pada tumor intraocular (Khurana, 2018).
- Ablasio Retina Traksional
Operasi sulit dan membutuhkan pars plana vitrektomi untuk memotong pita traktus
vitreoretinal dan tamponade. Prognosis biasanya tidak begitu baik.
i. Komplikasi
Komplikasi biasanya terjadi pada kasus yang sudah berlangsung lama dan termasuk
vitreoretinopati proliferatif (PVR), katarak yang rumit, uveitis dan bola phthisis
(Khurana, 2018).
j. Prognosis
Pada umumnya retinal detachment tanpa keterlibatan macula memiliki prognosis
visual lebih baik (Khurana, 2015).

2.3.2 Oklusi Arteri Retina


Oklusi arteri retina sentral terdapat pada usia tua atau usia pertengahan dengan
keluhan penglihatan kabur yang hilang timbul (amaurosis fugaks) tidak disertai rasa
sakit dan gelap menetap. Etiologi : arteritik (temporal arteritis) dan nonarteritik
(emboli, aterosklerotik).

21
Penurunan visus berupa serangan berulang dapat disebabkan oleh penyakit spasme
pembuluh darah atau emboli.Penyumbatan arteri retina sentral akan menyebabkan
keluhan penglihatan tiba-tiba gelap tanpa terlihatnya kelainan pada mata luar.
Reaksi pupil menjadi lemah dengan pupil anisokoria. Pada pemeriksaan funduskopi
akan terlihat seluruh retina berwarna pucat karena edema dan gangguan nutrisi pada
retina. Terdapat gambaran sosis pada arteri retina akibat pengisian arteri yang tidak
merata. Sesudah beberapa jam retina akan tampak pucat, keruh keabu-abuan yang
disebabkan edema lapisan dalam retina dan lapisan sel ganglion. Pada keadaan ini
akan terlihat gambaran merah cheri atau cherry red spot pada macula lutea. Hal ini
disebabkan karena tidak ada lapisan ganglion di macula, sehingga macula
mempertahankan warna aslinya. Lama kelamaan papil menjadi pucat dan batasnya
kabur.
Penyumbatan arteri retina sentral dapat disebabkan oleh radang arteri, thrombus
dan embolus pada arteri, spasme pembuluh darah, akibat terlambatnya pengaliran
darah, giant cell arthritis, penyakit kolagen, kelainan hiperkoagulasi, sifilis dan
trauma.tempat tersumbatnya arteri retina sentral biasanyadi daerah lamina kribrosa.
Emboli merupakan penyebab penyumbatan arteri retina sentral yang paling sering.
Emboli dapat berasal dari pengapuran yang berasal dari penyakit emboli jantung.
Nodus-nodus reuma, carotid plaque atau emboli endocarditis.
Penyebab spasme pembuluh lainnya antara lain pada migraine, keracunan alcohol,
tembakau kina atau timah hitam. Perlambatan aliran pembuluh darah retina terjadi
pada peninggian tekanan intraocular, stenosis aorta atau arteri karotis.
Pengobatan dini dapat menurunkan tekanan bola mata dengan mengurut bola mata
dan asetazolamid atau parasintesis bilik mata depan. Vasodilator pemberian
bersama dengan antikoagulan dan diberikan steroid bila diduga terdapatnya
peradangan. Pasien dengan oklusi arteri retina sentral harus secepatnya diberikan
02.
Penyulit yang dapat timbul adalah glaucoma neovaskular, tergantung pada letak
dan lamanya terjadi oklusi, kadang visus dapat kembali normal tetapi lapang
pandang menjadi kecil.

22
- Etiologi
Gangguan pembuluh retina oklusif lebih banyak umum pada pasien yang menderita
hipertensi dan penyakit kardiovaskular lainnya. Penyebab umum oklusi arteri retina
adalah :
o Emboli
o Atherosclerosis-related thrombosis
o Retinal arteritis with obliteration
o Angiospasme
o Peningkatan Tekanan Intraokuli
o Trombophilic disorders
o Penyakit jarang lainnya (Khurana, 2015).

Gambar 1. Gambaran oklusi arteri retina pada funduskopi (Meadows Retina,


2017)
- Gejala Klinis
Oklusi arteri retina secara klinis dapat muncul sebagai oklusi arteri retina sentral
(60%) atau arteri cabang oklusi (35%) atau oklusi arteri cilioretinal (5%). Oklusi
arteri retina lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Biasanya unilateral
tetapi jarang bisa bilateral (1 hingga 2% kasus) (Khurana, 2015).
1. Central Retinal Artery Occlusion (CRAO)
Sumbatan pada arteri retina sentralis yang pada umumnya disebabkan oleh emboli.
Gejala :
o Kehilangan penglihatan mendadak, tanpa nyeri
o Bisa mengalami amaurosis fugax (kebutaan dalam periode waktu singkat
yang dialami beberapa detik hingga menit, paling lama 2 jam) terjadi pad CRAO
transien

23
o Riwayat penyakit dahulu mengenai predisposisi pembentukan embolus
seperti atrial fibrilasi, aterosklerosis, endocarditis
2. Branch Retinal Artery Occlusion (BRAO)
Oklusi pada cabang arteri retina sentral. Gejala :
o Kehilangan lapan pandang mendadak, tanpa nyeri
o Kadang tidak disadari selama penglihatan sentral masih baik (Khurana,
2015).
- Pemeriksaan Fisik
1. Central Retinal Artery Occlusion (CRAO)
o Visus : Hitung jari hingga persepsi cahaya
o Refleks pupil negative dan RAPD positif
o Funduskopi : Diskus optikus tampak pucat, Cherry-red Spot menandakan
sirkulasi choroidal, Segmentasi Boxcar, embolus
2. Branch Retinal Artery Occlusion (BRAO)
o Visus menurun
o RAPD sering positif
o Funduskopi : edema berwarna putih (ground glass) pada area iskemia,
emboli dapat terlihat pada daerah bifurkasio, bisa satu atau lebih (Khurana, 2015).
- Pemeriksaan Penunjang
1. Central Retinal Artery Occlusion (CRAO)
o Fundal Fluoresein Angiography (FFA) : Pengisian arteri terhambat
o OCT : menunjukkan peningkatan refleksitas pada area retina retina yang
nekrosis
2. Branch Retinal Artery Occlusion (BRAO)
o Fundal Fluoresein Angiography (FFA) : Pengisian arteri terhambat
(Khurana, 2015).
- DD
1. Central Retinal Artery Occlusion (CRAO)
o Central retinal vein occlusion
o Glaucoma sudut tertutup akut
o Retinal detachment
2. Branch Retinal Artery Occlusion (BRAO)

24
o CRAO
o Ischaemic Optic Neuropathy (ION)
o Retinal detachment (Khurana, 2015).
- Tatalaksana
Pengobatan oklusi arteri retina sentral tidak memuaskan, karena jaringan retina
tidak dapat bertahan hidup apabila terjadi iskemia selama lebih dari 90-100 menit.
Pengobatan agresif untuk episode akut CRAO harus dilakukan dalam semua kasus
yang terjadi dalam 24 jam dengan langkah-langkah berikut:
o Menurunkan tekanan intraokuler yaitu dengan ntermittent ocular massage,
intravenous mannitol, parasentesis anterior chamber dan intravenous acetazolamide
500 mg
o Vasodilatasi dan meningkatkan konten oksigen
o Fibrinolytic therapy
o Intravenous steroids pada pasien giant cell arteritis.
o Laser photodisruption pada embolus (Khurana, 2015).
- Komplikasi
o Neovaskularisasi
o CVA disebabkan glaucoma sekunder (Khurana, 2015).
- Prognosis
Sebagian besar CRAO akan mengalami penurunan penglihatan berat dengan
pemeriksaan visual dengan hitung jari hingga persepsi cahaya. Pada 10% penderita
dapat mempertahankan penglihatan sentral dikarenakan vaskularisasi aretri sentral
masih baik (Khurana, 2015).

2.3.3 Oklusi Vena Retina


Oklusi vena retina sentral adalah penyumbatan vena retina yang mengakibatkan
gangguan perdarahan didalam bola mata, ditemukan pada usia pertengahan.
Biasanya penyumbatan terletak dimana saja pada retina, akan tetapi lebih sering
terletak didepan lamina kribosa. Penyumbatan vena retina dapat terjadi pada suatu
cabang kecil ataupun pembuluh vena utama (vena retina sentral), sehingga daerah
yang terlibat memberi gejala sesuai daerah yang dipengaruhi. Suatu penyumbatan

25
cabang vena retina lebih sering terdapat didaerah temporal atas atau temporal
bawah.
Penyumbatan vena retina sentral mudah terjadi pada pasien dengan glaucoma,
diabetes mellitus, hipertensi, kelainan darah, arteriosclerosis, papilledema,
retinopati radiasi dan penyakit pembuluh darah. Trombosit dapat terjadi akibat
endoflebitis.
Sebab-sebab terjadinya penyumbatan vena retina sentral adalah :
1. Akibat kompresi dari luar terhadap vena tersebut seperti yang terdapat pada
proses arteriosclerosis atau jaringan pada lamina kribrosa
2. Akibat penyakit pada pembuluh darah vena sendiri seperti fibrosklerosis
atau endoflebitis
3. Akibat hambatan aliran darah dalam pembuluh vena tersebut seperti yang
terdapat pada kelainan viskositas darah, diksrasia darah atau spasme arteri retina
yang berhubungan.
Tajam penglihatan sentral terganggu bila perdarahan mengenai daerah macula
lutea. Penderita biasanya mengeluh adanya penurunan tajam penglihatan sentral
maupun perifer mendadak yang dapat memburuk sampai hanya tinggal persepsi
cahaya. Tidak terdapat rasa sakit dan mengenai satu mata.
Pada pemeriksaan funduskopi pasien dengan oklusi vena sentral akan terlihat vena
yang berkelok-kelok, edema macula dan retina, perdarahan berupa titik terutama
bila terdapat penyumbatan vena yang tidak sempurna.
Pada retina terdapat edema retina dan macula dan bercak-bercak (eksudat) wol
katun yang terdapat diantara bercak-bercak perdarahan. Papil edema dengan pulsasi
vena menghilang karena penyumbatan biasanya terletak pada lamina kribrosa.
Terdapat papil yang merah dan menonjol (edema) disertai pulsasi vena yang
menghilang. Kadang-kadang dijumpai edema papil tanpa disertai dengan
perdarahan ditempat yang jauh (perifer) dan ini merupakan gejala awal
penyumbatan ditempat yang sentral. Penyempitan lapang pandang atau suatu
skotoma sentral dan defek ireguler. Dengan angiografi fluorescein dapat ditentukan
beberapa hal seperti letak penyumbatan, penyumbatan total atau sebagian, da nada
atau tidaknya neovaskularisasi.

26
Pengobatan terutama ditujukan mebcari penyebab dan mengobatinya,
antikoagulasia dan fotokoagulasi daerah retina yang mengalami hipoksia. Steroid
diberi bila penyumbatan disebabkan oleh flebitis.
Akibat penyumbatan ini akan terjadi gangguan fungsi penglihatan sehingga tajam
penglihatan akan berkurang. Pada keadaan ini dapat dipertimbangkan untuk
melakukan fotokoagulasi. Pengobatan dengan menurunkan tekanan bola mata dan
mengatasi penyebabnya. Edema dan perdarahan retina akan diserap kembali dan
hal ini dapat memberikan perbaikan visus.
Penyulit oklusi vena retina sentral berupa perdarahan massif kedalam retina
terutama pada lapis serabut saraf retina dan tanda iskemia retina. Pada penyumbatan
vena retina sentral perdarahan juga dapat terjadi didepan papilla dan ini dapat
memasuki vitreous body menjadi perdarahan vitreous body. Oklusi vena retina
sentral dapat menimbulkan terjadinya pembuluh darah baru yang dapat ditemukan
disekitar papil, iris dan di retina (rubeosis iridis). Rubeosis iridis dapat
mengakibatkan terjadinya glaucoma sekunder dan hal ini dapat terjadi dalam waktu
1-3 bulan.
Penyulit yang dapat terjadi adalah glaucoma hemoragik atau neovaskular. Bila
terjdi neovaskularisasi iris, dilakukan fotokoagulasi dan dapat dikontrol dengan anti
VEGF intravitreal.
- Etiologi
1. Central Retinal Vein Occlusion (CRVO)
Sumbatan vena retina sentral yang mengakibatkan gangguan penglihatan terutama
pada individu usia tua (50 tahun keatas). Prevalensi lebih sering terjadi daripaa
CRAO. Dibagi menjadi 2 yaitu : CRVO Non-iskemik dan CRVO iskemik
(Khurana, 2015).

27
Gambar 2. Gambaran BRVO pada funduskopi (Medscape, 2016)
2. Branch Retinal Vein Occlusion (BRVO)
Biasnaya 3x lebih sering daripada CRVO. Mengenai usia decade 6 atau 7. 75%
penderita BRVO menderita hipertensi (Khurana, 2015).

Gambar 2. Gambaran BRVO pada funduskopi (Medscape, 2016)


- Gejala Klinis
1. Retinal Vein Occlusion (CRVO)
 Penglihatan kabur mendadak
 CRVO non iskemik : penurunan penglihatan ringan-sedang
 CRVO iskemik : penurunan penglihatan berat
 Riwayat penyakit sistemik lain
2. Branch Retinal Vein Occlusion (BRVO)
 Penurunan penglihatan hanya pada area macula yang terkena
 Penglihatan kabur dan metamorfopsia mendadak (Khurana, 2015).
- Pemeriksaan Fisik
1. Central Retinal Vein Occlusion (CRVO)
 Visus : CRVO non iskemik biasanya >6/60, CRVO iskemik biasanya <6/60
 RAPD noniskemi -, iskemik +
 Oftalmoskop :
o Non-skemik : kongesti vena ringan, vena berkelok ringan, flame shaped
hemorrhages, papilledema ringan, kolateral silioretinal
o Iskemik : kongesti vena dan vena berkelok massif, perarahan retina massif,
soft exudates, papiledema
2. Branch Retinal Vein Occlusion (BRVO)
 Visus menurun

28
 Funduskopi : dilatasi vena, edema, perdarahan flame shaped, dot dan blot,
neovaskularisasi (Khurana, 2015).
- Pemeriksaan Penunjang
1. Central Retinal Vein Occlusion (CRVO)
 FFA : Tampak vena berkelok dan area non perfusi
 OCT : edema iskemik
2. Branch Retinal Vein Occlusion (BRVO)
 FFA : Iskemia perifer dan makula, perdarahan, edema, pembuluh darah
kolateral, pengisian vena terlambat
 OCT : edema macula (Khurana, 2015).
- DD
 BRVO
 Ocular ischemic syndrome (Khurana, 2015).
- Tatalaksana
1. Central Retinal Vein Occlusion (CRVO)
o Non iskemik : Tidak perlu terapi karena akan sembuh sendiri pada 50%
kasus, kebutaan dikarenakan edema macular kronis dimana penyakit sudah tidak
bisa diterapi
o Iskemik : Panretinal Photocoagulation (PRP) dilakukan ketika perdarahan
intraretina hamper seluruhnya terabsorbsi (3-4 bulan).
2. Branch Retinal Vein Occlusion (BRVO)
o Fotokoagulasi grid pada edema macula kronik
o Scatter fotokoagulasi
o Injeksi anti-VEGF (Khurana, 2015).
- Komplikasi
1. Central Retinal Vein Occlusion (CRVO)
o Neovaskularisasi ocular
o Edema makular
2. Branch Retinal Vein Occlusion (BRVO)
o Edema macula kronik
o Neovaskularisasi retina
o Neovaskularisasi iris (Khurana, 2015).

29
- Prognosis
Pada CRVO non iskemik penyembuhan dengan fungsi visual baik hanya pada 50%
penderita. 50% akan memiliki visus 6/60 atau lebih buruk. 1/3 penderita akan
menjadi CRVO iskemik. Pada CRVO iskemik lebih dari 90% akan memiliki visus
<6/60 (Khurana, 2015).

2.3.5 Glaukoma (Acute Primary Angle Closure)

Glaukoma adalah suatu penyakit yang ditandai oleh neuropati optik dan
penyempitan lapang pandang sebagai progress kerusakan dengan peningkatan
tekanan intraokular sebagai faktor risiko utama. Pada tingkat molekuler, glaukoma
berkaitan dengan adanya endothelial leucocyte adhesion molecule-1 (ELAM-1)
yang menandakan adanya respon stress sel trabekular meshwork (Bowling dan
Kansky, 2011).

Sebanyak 10% lansia berusia 80 tahun mengidap glaukoma, sekitar separuh pasien
dengan penyakit ini tidak terdiagnosis. Pada populasi orang afrika dan eropa,
glaukoma sudut terbuka primer adalah jenis yang paling banyak. Sedangkan secara
umum, glaukoma sudut tertutup primer mengenai hampir separuh populasi pasien
glaukoma (Asbury et al., 2011).

Berdasarkan etiologinya, glaukoma diklasifikasikan menjadi glaukoma primer,


glaukoma sekunder, glaukoma kongenital, dan glaukoma absolut. Glaukoma
primer dibedakan berdasarkan keadaan sudut iridokorneal dan mekanisme
peningkatan tekanan intraokular, diantaranya adalah glaukoma sudut terbuka dan
glaukoma sudut tertutup. Glaukoma sekunder disebabkan oleh glaukoma
pigmentasi, sindrom eksfoliasi, kelainan lensa, gangguan pada traktus uvea,
sindrom iridokorneoendotelial (ICE), trauma mekanis, trauma pasca operasi,
glaukoma akibat neovasculer, peningkatan tekanan episklera, dan akibat
penggunaan streroid. Glaukoma kongenital diantaranya glaukoma kongenital
primer, glaukoma yang berkaitan dengan kelainan perkembangan mata, dan
glaukoma yang berkaitan dengan kelainan perkembangan ekstraokular (Bowling
dan Kansky, 2011).

30
Mata kabur mendadak dapat terjadi pada APAC (Acute Primary Angle-Closure).
Penyakit Sudut-Tertutup Primer dikarakterisasikan sebagai aposisi iris perifer pada
trabecular meshwork sehingga terjadi obstruksi aliran aqueous karena tertutupnya
sudut bilik mata depan. Kondisi ini tidak berhubungan dengan kelainan okular atau
sistemik lainnya.

Faktor Risiko

Faktor risiko glaukoma antara lain adalah usia (dekade ke-6 dan 7), gender (laki-
laki: perempuan 1:3), dan ras. Pada ras kaukasia, Primary Angle-Closure Glaucoma
(PACG) menyumbang sekitar 6% dari seluruh kasus glaukoma. Penyakit ini lebih
umum di asia tenggara, cina, dan eskimo, tetapi jarang pada kulit hitam. Penyakit
ini menyumbang 50% dari glaukoma dewasa primer di Indonesia.

Serangan peningkatan TIO akut pada pasien dengan primary angle-closure (PAC)
dapat terjadi karena blok pupil menyebabkan penutupan sudut secara tiba-tiba.
Biasanya tidak dapat berhenti sendiri dan dengan demikian jika tidak diobati dapat
berlangsung selama berhari-hari. Ini adalah keadaan darurat yang mengancam
pemandangan.

Gambaran klinis
Gejalanya meliputi:

a. Nyeri. Serangan akut biasanya ditandai dengan. Tiba-tiba timbul rasa sakit
yang sangat parah di mata yang menjalar di sepanjang cabang-cabang saraf ke 5.
b. Mual, muntah dan sujud sering terjadi terkait dengan rasa sakit.
c. Kerusakan penglihatan yang progresif cepat, kemerahan, fotofobia dan
lakrimasi terjadi pada semua kasus.
d. Riwayat penyakit dahulu : sekitar 5% pasien memberikan riwayat serangan
subakut.

Tanda-tanda termasuk:

 Edema palpebra
 Konjungtiva mengalami kemerahan, dan tersumbat, (baik pembuluh
konjungtiva dan siliaris tersumbat),

31
 Kornea menjadi edema dan tidak sensitif,
 Ruang anterior sangat dangkal. Flare atau sel berair dapat terlihat di ruang
anterior,
 Sudut ruang anterior tertutup sepenuhnya seperti yang terlihat pada
gonioskopi (Shaffer grade 0),
 Iris mungkin berubah warna,
 Pupil semidilasi, oval vertikal, dan menetap. Ini tidak reaktif terhadap
cahaya dan akomodasi,
 TIO meningkat tajam, biasanya antara 40 dan 70 mm Hg,
 Disk optik edema dan hiperemik,
 Mata satunya menunjukkan bilik mata depan dangkal dan sudut yang mudah
oklusi

Diagnosis
Diagnosis serangan penutupan sudut primer akut biasanya jelas dari gambaran
klinis. Namun, diagnosis banding mungkin harus dipertimbangkan:

1. Dari penyebab lain mata merah akut. Penutupan sudut primer akut kadang-
kadang membutuhkan diferensiasi dari penyebab lain mata merah yang meradang
seperti konjungtivitis akut dan iridosiklitis akut
2. Dari glaukoma sekunder akut seperti:
• Glaukoma phacomorphic
• Glaukoma neovaskular akut dan
• Krisis Glaucomatocyclitic

Penatalaksanaan Glaukoma

Penutupan sudut akut adalah keadaan darurat okular yang serius dan perlu dikelola
secara agresif seperti di bawah ini:

 Terapi medis segera untuk menurunkan TIO,


 Perawatan definitif,
 Profilaksis untuk mata satunya, dan
 Pengawasan glaukoma jangka panjang dan manajemen TIO kedua mata.

32
2.3.6 Neuritis Optik

Neuritis optik meliputi gangguan inflamasi dan demielinasi saraf optik.

Etiologi

1. Idiopatik. Dalam sebagian besar kasus penyebab yang mendasarinya tidak


dapat diidentifikasi
2. Neuritis optik herediter (penyakit Leber)
3. Gangguan demielinasi sejauh ini merupakan penyebab paling umum dari
neuritis optik. Ini termasuk multiple sclerosis, neuromyelitis optica (penyakit
Devic) dan ensefalitis periaxial difus Schilder. Sekitar 70% kasus multiple sclerosis
dapat berkembang menjadi neuritis optik
4. Neuritis optik parainfectious dikaitkan dengan berbagai infeksi virus seperti
campak, gondok, cacar air, batuk rejan dan demam kelenjar. Mungkin juga terjadi
setelah imunisasi
5. Neuritis optik menular dapat berhubungan dengan sinus (dengan etmoiditis
akut) atau berhubungan dengan demam kucing, sifilis (selama tahap primer atau
sekunder), tuberkulosis, penyakit lyme, dan meningitis kriptokokus pada pasien
dengan AIDS
6. Penyakit Autoimun
7. Neuritis optik toksik

33
Klasifikasi Neuritis Optik Berdasarkan Jenis Anatomi

Neuritis optik dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis anatomi:

 Papilitis
 Neuroretinitis mengacu pada keterlibatan gabungan disk optik dan retina di
sekitarnya pada area makula
 Neuritis retrobulbar ditandai oleh keterlibatan saraf optik di belakang bola
mata

Gambaran Klinis Neuritis Optik

Gejala Neuritis optik dapat asimptomatik atau dapat dikaitkan dengan gejala
berikut:

 Penurunan visus. Kehilangan penglihatan bermata tiba-tiba, progresif, dan


dalam adalah ciri khas neuritis optik akut
 Kemampuan adaptasi gelap dapat menurun.
 Pengaburan visual dalam cahaya terang adalah gejala khas neuritis optik
akut
 Gangguan penglihatan warna selalu hadir pada neuritis optik
 Pengaburan transien penglihatan secara episodik saat aktivitas dan paparan
panas, yang pulih saat beristirahat atau menjauh dari panas (gejala Uhthoff) terjadi
pada pasien dengan neuritis optik terisolasi
 Persepsi kedalaman, terutama untuk objek bergerak mungkin terganggu
(fenomena Pulfrich)
 Rasa sakit. Pasien mungkin mengeluh sakit mata ringan. Ini lebih ditandai
pada pasien dengan retrobulbar neuritis daripada dengan papillitis. Nyeri biasanya
diperburuk oleh gerakan mata, terutama dalam arah ke atas atau ke bawah karena
perlekatan beberapa serat rektus superior ke duramater.
Tandanya adalah sebagai berikut:
1. Ketajaman visual biasanya berkurang secara nyata
2. Penglihatan warna sering sangat terganggu (biasanya desaturasi merah)
3. Pupil menunjukkan penyempitan cahaya yang berkelanjutan. Pupil Marcus
Gunn yang menunjukkan defek pupil aferen relatif (RAPD) adalah tanda diagnostik

34
4. Fitur optalmoskopik. Papillitis ditandai oleh hiperemia pada diskus dan
pemburaman margin. Disk menjadi edema dan cawan fisiologis dilenyapkan (pada
papilitis edema disk jarang melebihi 2-3 D, sedangkan pada papilloedema menjadi
3-6 D). Vena retina tersumbat dan berliku. Perdarahan splinter dan eksudat halus
dapat dilihat pada disk. Pemeriksaan slitlamp dapat mempeerlihatkan sel-sel
inflamasi dalam cairan vitreus. Pada sebagian besar kasus dengan neuritis
retrobulbar, fundus tampak normal dan kondisi ini biasanya didefinisikan sebagai
penyakit di mana dokter mata maupun pasien tidak melihat apa pun
5. Perubahan lapang pandangan. Defek lapang pandangan yang paling umum
pada neuritis optik adalah skotoma sentral
6. Sensitivitas kontras terganggu
7. Visually Evoked Response (VER) menunjukkan pengurangan amplitudo
dan penundaan dalam waktu transmisi.
8. Fundus fluorescein angiografi mengungkapkan kebocoran ringan hingga
sedang pada fase awal yang meningkat seiring waktu.

Diagnosis Diffensial Neuritis Optik

 Papilitis harus dibedakan dari papilloedema, neuropati optik iskemik,


neuropati tekan orbital anterior, dan pseudopapilloedema
 Neuritis retrobulbar akut. Ini harus dibedakan dari berpura-pura sakit,
kebutaan histeris, kebutaan kortikal dan neuropati optik tidak langsung. evolusi,
pemulihan dan komplikasi

Evolusi Neuritis Optik

Pada neuritis optik, biasanya, ketajaman visual dan penglihatan warna hilang secara
progresif dalam 2-5 hari.

Pemulihan Neuritis Optik

Tingkat pemulihan visual lebih lambat daripada tingkat kehilangan penglihatan dan
biasanya dimulai dalam 2 minggu dan memakan waktu antara 4 dan 6 minggu.
Sekitar 75 hingga 90% kasus mendapatkan pemulihan visual yang baik.

35
Komplikasi Neuritis Optik

Serangan berulang neuritis retrobulbar akut diikuti oleh atrofi optik primer dan
serangan berulang papilitis diikuti oleh atrofi optik postneuritik yang menyebabkan
kebutaan total.

Tatalaksana
1. Pengobatan penyebabnya. Upaya harus dilakukan untuk mencari tahu dan
mengobati penyebab yang mendasarinya. Tidak ada pengobatan yang efektif untuk
neuritis optik idiopatik dan herediter dan yang terkait dengan gangguan demielinasi.
2. Terapi kortikosteroid dapat mempersingkat periode kehilangan penglihatan,
tetapi tidak akan mempengaruhi tingkat pemulihan visual pada pasien dengan
neuritis optik. Kelompok percobaan pengobatan neuritis optik (ONTT) telah
membuat rekomendasi berikut untuk penggunaan kortikosteroid:
a. Terapi prednisolon oral saja dikontraindikasikan dalam pengobatan neuritis
optik akut, karena, itu tidak meningkatkan hasil visual dan dikaitkan dengan
peningkatan yang signifikan dalam risiko serangan baru neuritis optik.
b. Metilprednisolone intravena
i. Indikasi untuk metilprednisolon intravena pada pasien neuritis optik akut
dengan otak normal
ii. Indikasi MRI adalah:
1. Kehilangan penglihatan di kedua mata secara bersamaan atau selanjutnya
dalam beberapa jam atau hari satu sama lain
2. Saat satu-satunya mata yang baik terpengaruh
3. Ketika kehilangan visual progresif yang lambat terus terjadi.
c. Terapi interferon telah dilaporkan untuk mengurangi kekambuhan pada
pasien dengan multiple sclerosis. Namun, perawatannya sangat mahal dan dengan
manfaat jangka panjang yang tidak diketahui.

36
2.3.7 Neuropati Optik Traumatik
Neuropati optik traumatis terdiri dari dua jenis langsung dan tidak langsung:
1. Neuropati optik traumatis langsung kurang umum dan melibatkan gangguan
anatomi langsung saraf optik pada trauma kranio-orbital.
2. Neuropati optik traumatis tidak langsung terjadi pada cedera kepala tertutup
akibat geser atau avulsi pembuluh nutrisi atau oleh tekanan yang ditransmisikan di
sepanjang tulang ke kanal optik.
Karakteristik Neuropati Optik Traumatis adalah:
 Kehilangan penglihatan / atau penurunan ketajaman visual
 Dilatasi pupil
 Refleks cahaya pupil : terjadi kehilangan refleks cahaya langsung pada sisi
yang terkena dengan refleks cahaya konsensual ipsilateral tetap dan hilangnya
refleks cahaya konsensual pada sisi kontralateral serta tetapnya refleks cahaya
langsung kontralateral
 Defek pupil aferen relatif (RAPD) atau murid Marcus Gunn adalah tanda
awal
 Refleks dekat tetap (konvergensi dan refleks akomodasi) karena saraf optik
tidak terlibat dalam jalur refleks dekat
 Sensitivitas kecerahan cahaya dan sensitivitas kontras berkurang

37
 Saturasi warna merah subyektif dan intensitas cahaya adalah dua tes terbaik
untuk keseluruhan fungsi saraf optic
 Uji lapang pandang pada pasien yang sadar dan kooperatif sepenuhnya bisa
lebih menunjukkan daripada ketajaman penglihatan. Pengujian bidang visual
dilakukan dengan perimetri. Bidang visual menunjukkan central atau centrocecal
scotoma
 Visual evoked potential (VEP) menunjukkan pengurangan amplitude
 Pencitraan : CT scan resolusi tinggi adalah prosedur diagnostik pilihan
untuk menentukan lokasi trauma. MRI adalah investigasi pilihan untuk visualisasi
saraf optik.
Tatalaksana Neuropati Optik Traumatis

Tatalaksana termasuk steroid, dekompresi bedah atau kombinasi keduanya.


Penglihatan yang optimal hanya dapat dicapai bila terdapat suatu jalur saraf visual
yang utuh, stuktur mata yang sehat serta kemampuan fokus mata yang tepat (Julita,
2018).

Ketajaman penglihatan dapat dibagi lagi menjadi recognition acuity dan


resolution acuity. Recognition acuity adalah ketajaman penglihatan yang
berhubungan dengan detail dari huruf terkecil, angka ataupun bentuk lainnya yang
dapat dikenali. Resolution acuity adalah kemampuan mata untuk mengenali dua
titik ataupun benda yang mempunyai jarak sebagai dua objek yang terpisah
(Khurana, 2015).
Beberapa gangguan pada mata dapat menyebabkan gangguan ketajaman
penglihatan, sehingga membuat pasien merasa bahwa penglihatannya terlihat kabur
dan tidak jelas. Gejala mata kabur mendadak dapat diklasifikasikan menjadi mata
kabur akibat ablasio retina, oklusi vena dan arteri retuna sentral, glaucoma neuritis
retrobulbar dan traumatic optic neuropati (Budiono, 2013).

38
DAFTAR PUSTAKA

AAO, nd. Sudden Visual Loss. Tersedia di:


https://www.aao.org/focalpointssnippetdetail.aspx?id=9afe10a9-5569-
4903-986b-b0c5ddbc389e

American Academy of Ophtalmology, 2017. Primary Open Angle Glaucoma.


Diakses dari : http://eyewiki.aao.org/Primary_Open-Angle_Glaucoma
[Tanggal Akses 8 Februari 2018]

Bowling dan Kansky, 2011. Clinical Ophtalmology : A Systematic Approach.


Edisi ketujuh, Elsevier : Edinburgh.

Budiono, S. 2013. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Mata. Surabaya : Airlangga


University Press
Julita. 2018. Pemeriksaan Tajam Penglihatan Anak dan Refraksi Siklopegik:
Apa, Kenapa, Siapa? Tersedia di:
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/771/627
Khurana, AK. 2015. Comprehensive Ophthalmology. Ed 6. Jaypee Brothers
Medical Publishers: India.
Perrier, M. (2004). A 33 year old man with difficulty adapting to light . Digital
Journal of Ophthalmology. 10 (6), Diakses dari:
http://www.djo.harvard.edu/print.php?url=/physicians/gr/623&print=1

Retina & Vitreous of Louisiana. (2017). Retinal Detachment. Available:


https://www.retinala.com/retinal-detachment.html. [Tanggal Akses 8
Februari 2018]

Rosalina D, Wahjudi H. Visual Field Abnormality and Quality of Life of


Patient with Primary Open Angle Glaucoma. J Opthalmology Indones.
2011;7(5)

Vaughan, D. G., Asbury, T., Riordan-Eva, P. 2010. General Ophtalmology.


Edisi ke-18, cetakan ke-1. Lange : McGrawHill.

39

Anda mungkin juga menyukai