Anda di halaman 1dari 29

Case Report Session

AMBLIOPIA

Oleh:

Pratiwi Rulinny 12

Widia Winda Sari 1010311007

Adhiya Azni 12

Preseptor :

dr. Julita, Sp.M

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


RSUP DR M.DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2016

i
DAFTAR ISI

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang …………………………………………………………………... 1

1.2. Batasan Masalah …………………………………………………………………. 2

1.3. Tujuan Penulisan …………………………………………………………………. 2

1.4. Metode Penulisan ………………………………………………………………... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Mata ……………………………………………………… 3

2.2. Tahap Perkembangan Penglihatan ……………………………………………...... 8

2.3. Definisi ………………………………..……………………………………………... 10

2.4. Epidemiologi …………………………….…………………………………………... 11


.
2.5. Etiologi ………………………………………………………….………………….... 12

2.6. Patofisiologi …………………………………………………….…………….……... 14

2.7. Klasifikasi ………………………………………………………….…………........... 15

2.8. Diagnosis …………………………………………………………….………….…... 17

2.9. Penatalaksanaan ……………………………………………………….……………. 19

2.10. Komplikasi …………………………………………………………….……………. 23

2.11. Prognosis ……………………………………………………………...………… 24

Daftar Pustaka

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ambliopia adalah penurunan tajam penglihatan, walaupun sudah diberi

koreksi yang terbaik. Ambliopia dapat unilateral atau bilateral (jarang) yang tidak

dapat dihubungkan langsung dengan kelainan struktural mata maupun jaras

penglihatan posterior.1 Ambliopia berasal dari bahasa Yunani,yang berarti

penglihatan tumpul atau pudar (amblus : pudar, Ops : mata). Klasifikasi ambliopia

dibagi ke dalam beberapa kategori dengan nama yang sesuai dengan penyebabnya

yaitu ambliopia strabismik, ambliopia anisometropik, ambliopia isometropia dan

ambliopia deprivasi.1

Ambliopia, dikenal juga dengan istilah “mata malas” (lazy eye), merupakan

suatu permasalahan dalam penglihatan yang memang hanya mengenai 2 – 3 %

populasi, tapi bila dibiarkan akan sangat merugikan nantinya bagi kehidupan

penderita. Insidensinya tidak dipengaruhi jenis kelamin dan ras. Ambliopia tidak

dapat sembuh dengan sendirinya. Ambliopia yang tidak diterapi dapat

menyebabkan gangguan penglihatan permanen. Jika nantinya pada mata yang baik

timbul suatu penyakit ataupun trauma, maka penderita akan bergantung pada

penglihatan buruk mata yang ambliopia, oleh karena itu ambliopia harus

ditatalaksana secepat mungkin.2

Hampir seluruh kasus ambliopia itu dapat dicegah dan bersifat reversibel

dengan deteksi dini dan intervensi yang tepat. 2,3 Umumnya penatalaksanaan

ambliopia dilakukan dengan menghilangkan penyulit, mengkoreksi kelainan

refraksi, dan memaksakan penggunaan mata yang lebih lemah dengan membatasi

1
penggunaan yang lebih baik. Anak dengan ambliopia atau yang beresiko ambliopia

hendaknya dapat diidentifikasi pada umur dini, dimana prognosis keberhasilan terapi

akan lebih baik.1 Prognosis juga ditentukan oleh jenis ambliopia dan dalamnya

ambliopia saat terapi dimulai. Untuk itu penting bagi kita sebagai dokter layanan

primer untuk dapat mendeteksi secara dini amblyopia, terutama pada anak agar dapat

mencegah terjadinya ambliopia permanen.

1.2. Batasan Masalah

Dalam makalah ini akan membahas mengenai anatomi dan fisiologi, tahap

perkembangan penglihatan, definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi,

klasifikasi, diagnosis, manifestasi klinis, tatalaksana, prognosis dan komplikasi

ambliopia.

1.3. Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memahami serta menambah

pengetahuan tentang penulis dan pembaca tentang ambliopia.

1.4. Metode Penulisan

Penulisan makalah menggunakan metode tinjauan pustaka dengan merujuk

ke berbagai literatur.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Mata

Struktur mata terletak dalam suatu rongga orbita yang berbentuk piramid

dengan puncaknya menuju ke belakang. Bila dilihat dari luar/dari depan, maka kita

temukan bagian-bagian dari mata sebagai berikut :

Gambar 2.1 Struktur bagian luar mata manusia

1) Alis Mata (Supersilia)

Sederajat bulu-bulu yang terletak paling atas dari organ mata. Berfungsi

untuk menahan kotoran/keringat (Gambar 2.1). 4

2) Kelopak Mata (Palpebra)

Terdiri dari kelopak mata atas (palpebra superior) dan kelopak mata bawah

(palpebra inferior). Bagian dari kelopak mata adalah kulit yang halus dan tipis yang

mudah digerakkan dari dasarnya (Gambar 2.1). 4

3
Di dalam kelopak mata terdapat antara lain : 4

1. Otot (M. orbicularis oculi) yang letaknya melingkar dan berfungsi untuk

mengedipkan mata.

2. Otot levator palpebra (hanya pada kelopak mata atas) dan berfungsi untuk

mengangkat kelopak mata atas sehingga mata dapat membuka dan menutup.

3. Jaringan tulang rawan bersifat elastis (tarsus) yang terletak sepanjang kelopak

mata atas dan bawah. Tarsus sebelah atas lebih lebar dari tarsus sebelah bawah.

4. Di dalam kelopak mata juga terdapat beberapa macam kelenjar yaitu kelenjar

meibom yang terletak dalam tarsus menghasilkan semacam minyak air mata

yang mana merupakan lapisan terluar air mata. Kelenjar lain adalah zeis dan

moll yang bermuara di folikel rambut bulu mata, serta kelenjar wollfring dan

krause di forniks.

Gambar 2.2 Struktur bagian dalam mata manusia

3) Konjungtiva

Konjungtiva merupakan hamparan membran mukosa yang tipis dan

transparan yang terdiri dari 3 bagian yaitu : konjungtiva tarsal, konjungtiva forniks

4
dan konjungtiva bulbi. Konjungtiva tarsal melapisi dan melekat dengan erat pada

permukaan dalam kelopak mata. Konjungtiva ini akan membelok dan membentuk

lipatan-lipatan yang disebut sebagai konjungtiva forniks. Selanjutnya konjungtiva

akan beralih menjadi konjungtiva bulbi yang melekat longgar di permukaan depan

sklera dan berakhir di perbatasan sklera dan kornea (daerah limbus) (Gambar 2.2).4

4) Kornea

Merupakan bagian terdepan dari bola mata yang bentuknya menyerupai

mangkuk dan transparan karena tidak mengandung pembuluh darah. Kornea

mendapat nutrisi makanan dari daerah limbus yang mengadung pembuluh darah.

Lapisan luar kornea juga mendapat oksigen dari atmosfir dan lapisan dalam

mendapat nutrisi dari cairan aqueous humor di bilik mata depan. Kornea terdiri

dari 5 lapisan dari luar ke dalam yaitu lapisan epitel, membran bowman, stroma,

membran descement dan lapisan endotel. Tebal kornea adalah 0,7 – 1,0 mm pada

bagian tepi, dan ± 0,5 mm pada bagian tengah, serta mempunyai garis tengah 11 –

12 mm. Kornea merupakan jendela tempat masuknya cahaya ke dalam mata dan

berfungsi sebagai media refraksi yang terdepan dan terkuat. Berkas cahaya dari

luar masuk ke dalam mata akan difokuskan oleh kornea. Sebagian besar fungsi

refraksi (90%) dipegang oleh kornea yang mempunyai kekuatan refraksi sebesar

kira-kira 43 D (Gambar 2.2).

5) Sklera

Sklera adalah lapisan terluar yang membungkus 4/5 bagian bola mata.

Terdiri dari jaringan ikat dan berfungsi sebagai pelindung mata. Sklera kearah

belakang akan bersatu dengan pembungkus saraf optikus (Gambar 2.2). 4

5
6) Uvea

Berada di bagian tengah bola mata dan terdiri dari 3 bagian yaitu : iris, badan

siliar, dan koroid. Iris merupakan jaringan uvea depan yang permukaannya tidak

merata dan mempunyai kripti-kripti. Iris mengandung pigmen yang mewarnai mata

seseorang (biru, coklat, abu-abu). Bagian tengah iris yang merupakan celah bulat

disebut pupil. Pada iris terdapat 2 macam otot yaitu otot sphincter pupilae yang

dipersarafi parasimpatis untuk mengecilkan pupil (miosis) dan otot dilatator

pupilae yang dipersarafi simpatis untuk melebarkan pupil (midriasis). Ke arah

belakang, iris akan menjadi badan siliar yang berbentuk segitiga. Badan siliar

berfungsi memproduksi cairan bola mata (aqueous humor) dan menjadi tempat

melekatnya tali penggantung lensa (zonula zinii) (Gambar 2.2). 4

7) Lensa

Terletak di belakang iris dan pupil berbentuk cembung (bikonveks), tidak

mengandung pembuluh darah (avaskular), tidak berwarna dengan tebal ± 4 mm dan

diameter ±9 mm. Lensa tetap berada pada tempatnya karena digantung oleh tali

penggantung lensa (zonula zinii) yang merupakan serabut-serabut berasal dari

badan siliar dan berinsersi di lensa pada daerah equator. Lensa mendapat nutrisi

dari cairan bola mata (aqueous humor). Sebagian besar terdiri dari air dan sisaya

terdiri dari protein (Gambar 2.2).

Lensa terdiri dari kapsul yang membungkus lensa. Sebelah dalam kapsul

terdapat korteks dan ditengahnya terdapat nukleus. Serabut lensa diproduksi

sepanjang tahun, sehingga serabut yang lebih dulu terbentuk akan memadat di

daerah sentral membentuk nukleus. Makin tua seseorang, lensa semakin tebal dan

kekenyalannya berkurang. Lensa merupakan bagian bola mata yang mempunyai

6
fungsi sebagai media refraksi (bias). Untuk dapat menjadi media refraksi yang baik

lensa harus jernih. Pada usia muda lensa mempunyai kekenyalan tertentu yaitu dapat

mencembung (daya bias meningkat) atau memipih (daya bias menurun), sehingga

mata dapat melihat benda yang jatuh maupun yang dekat dengan jelas. Kemampuan

ini yang kita kenal dengan daya akomodasi. Lensa mempunyai kekuatan kira-kira ±

10 D dalam keadaan tanpa akomodasi.

8) Aqueous Humor

Salah satu hal yag mempertahankan bentuk bola mata ialah adanya tekanan

bola mata yang lebih besar dari tekanan atmosfer yang diperankan oleh adanya

cairan bola mata (aqueous humor) di dalam mata. Nilai normalnya berkisar atara

10 – 21 mmHg dan nilai ini dipertahankan karena adanya keseimbangan antara

produksi aqueous dan aliran keluar. Cairan bola mata ini diproduksi oleh badan

siliar. Cairan ini akan mengalir ke bilik mata belakang melalui celah lensa dan iris

menuju pupil dan bilik mata depan (ruang di antara kornea dan iris). Setelah

melalui bilik mata depan akan masuk ke anyaman Trabekula, ke kanal Schlemm,

ke kanal kolektor dan akhirnya masuk ke sistem vena. Bila aliran aqueous

terhambat, maka tekanan bola mata akan meningkat dan timbul penyakit yang

disebut Glaukoma (Gambar 2.2). 4

9) Badan Kaca (Vitreous Humour)

Terletak dibelakang lensa, di depan retina dan papilla n. optikus, avaskular,

dan berbentuk agar-agar jernih. Makin tua seseorang badan kaca makin cair. Badan

kaca mengisi 2/3 bagian dari bola mata, merupakan bagian terbesar bola mata, bila

isi badan kaca keluar, mata akan kolaps. Badan kaca juga berfungsi sebagai media

refraksi (Gambar 2.2). 4

7
10) Retina

Retina melapisi 2/3 bagian dalam posterior bola mata. Retina terdiri dari

lapisan jaringan saraf (sensoris retina) dan jaringan pigmen retina. Secara

histologis, retina terdiri dari 9 lapisan. Tebal retina 0.1 mm di daerah tepi dan 0,23

mm di bagian polus posterior. Bagian yang paling tipis berada di fovea sentralis

yaitu bagian sentral makula. Pada pemeriksaan oftalmoskop akan tampak refleks

fovea sentralis berbintik kuning (makula lutea). Sistem optik dari luar berakhir

sampai di retina (lapisan sel kerucut dan batang). Selanjutnya cahaya tersebut akan

diolah secara kimiawi, tenaga elektris dan akan dikirim ke otak untuk dianalisa. Sel

kerucut terutama berguna untuk penglihatan detail dan warna, dan terutama

terdapat di makula, bahkan di fovea hanya mengandung sel kerucut. Daerah fovea

inilah yang meberikan tajam penglihatan terbaik. Sel batang yang terutama berada

di luar makula berfungsi untuk penglihatan gelap atau untuk penglihatan benda

yang bergerak (Gambar 2.2). 4

2.2. Tahap Perkembangan Penglihatan

1. Perkembangan Penglihatan Monokular

Pada saat lahir, tajam penglihatan berkisar antara gerakan tangan sampai

hitung jari. Hal ini karena pusat penglihatan di otak yang meliputi nukleus

genikulatum lateral dan korteks striata belum matang. Setelah umur 4-6

minggu, fiksasi bintik kuning atau fovea sentral timbul dengan pursuit halus

yang akurat. Pada umur 6 bulan respon terhadap stimulus optokinetik timbul.

Perkembangan penglihatan yang cepat terjadi pada 2-3 bulan pertama yang

dikenal sebagai periode kritis perkembangan penglihatan.5

8
2. Perkembangan Penglihatan Binokular

Perkembangan penglihatan binokular terjadi bersamaan dengan

meningkatnya penglihatan monokular. Kedua saraf dari mata kanan dan kiri

akan bergabung memberikan penglihatan binokular (penglihatan tunggal dua

mata). Di korteks striata jalur aferen kanan dan kiri berhubungan dengan sel-

sel korteks monokular yang berekasi terhadap rangasangan hanya pada satu

mata. Kira-kira 70% sel-sel di korteks striata adalah sel-sel binokular. Sel-sel

tersebut berhubungan dengan saraf di otak yang menghasilkan penglihatan

tunggal binokular dan stereopsis (penglihatan tiga dimensi). Fusi penglihatan

binokular berkembang pada usia 1,5 hingga 2 bulan, sementara stereopsis

berkembang kemudian pada usia 3 hingga 6 bulan.5

3. Penglihatan Binokular Tunggal dan Stereopsis

Penglihatan binokular normal adalah proses penyatuan bayangan di

retina dari dua mata ke dalam persepsi penglihatan tunggal tiga dimensi.

Syarat penglihatan binokular tunggal adalah memiliki sumbu mata jatuh pada

titik di retina yang sefaal, yang akan diteruskan ke sel-sel binokular korteks

yang sama. Obyek di depan atau belakang horopter akan merangsang titik

retina nonkorespondensi. Titik di belakang horopter empiris merangsang retina

binasal, dan titik di depan horopter merangsang retina bitemporal. Ada daerah

yang terbatas di depan dan di belakang garis horopter tempat obyek

merangsang titik-titik retina non korespondensi sehingga masih dapat terjadi

fusi menjadi bayangan binokular tunggal. Area ini disebut area panum. Obyek

dalam area ini akan menghasilkan penglihatan binokular tunggal dengan

penglihatan stereopsis atau tiga dimensi. Fovea atau bintik kuning mempunyai

9
resolusi atau daya pisah ruang yang tinggi, sehingga perpindahan kecil pada

garis horopter pada lapangan pandang sentral dapat terdeteksi, menghasilkan

stereopsis derajat tinggi.5

4. Adaptasi Sensoris pada Gangguan Rangsangan Penglihatan

Hal ini terjadi karena keduamata kita terpisah dan masing-masing mata

mempunyai perbedaan penglihatan menyesuaikan dengan kekacauan bayangan

retina yang tidak sama dengan menghambat aktivitas korteks dari satu mata.

Hambatan korteks ini biasanya melibatkan bagian sentral lapangan pandang

dan disebut supresi kortikal. Bayangan yang jatuh dalam lapangan supresi

kortikal tidak akan dirasakan di area ini disebut skotoma supresi. Supresi

tergantung pada adanya penglihatan binokular, dengan satu mata berfiksasi,

sedang mata satunya supresi. Ketika mata fiksasi ditutup, skotoma supresi

hilang. Supresi korteks mengganggu perkembangan sel-sel kortikal bilateral

dan akan menghasilkan penglihatan binokular abnormal tanpa stereopsis atau

stereopsis yang buruk. Jika supresi bergantian antara kedua mata, tajam

penglihatan akan berkembang sama meskipun terpisah tanpa fungsi binokular

normal sehingga terjadi penglihatan bergantian atau alternating. Supresi terus

menerus terhadap aktivitas korteks pada satu mata akan mengakibatkan

gangguan perkembangan penglihatan binokularitas dan tajam penglihatan

buruk.5

2.3. Definisi

Ambilopia berasal dari bahasa Yunani yaitu amblyos (tumpul) dan opia

(penglihatan). Dikenal juga dengan “lazy eye” atau “mata malas”.2 Ambliopia

merupakan suatu keadaan dimana pemeriksa tidak melihat apa – apa dan terkadang

10
pasien hanya dapat melihat sangat sedikit (The observer see nothing and the patient

very little).

Ambliopia adalah penurunan ketajaman penglihatan, walaupun sudah diberi

koreksi yang terbaik, dapat unilateral atau bilateral (jarang) yang tidak dapat

dihubungkan langsung dengan kelainan struktural mata maupun jaras penglihatan

posterior.1

2.4. Epidemiologi

Ambliopia adalah suatu masalah kesehatan masyarakat yang penting oleh

karena menyebabkan penderitaan seumur hidup. Usaha-usaha untuk mengatasinya

memerlukan biaya yang besar, kedisiplinan yang tinggi dari dokter dan pasiennya,

juga waktu yang lama. Prevalensi ambliopia di Amerika Serikat sulit untuk ditaksir

dan berbeda pada tiap literatur, berkisar antara 1 – 3,5 % pada anak yang sehat

sampai 4 – 5,3 % pada anak dengan problema mata. Hampir seluruh data

mengatakan sekitar 2 % dari keseluruhan populasi menderita ambliopia.3,6 Di Cina,

menurut data bulan Desember tahun 2005, sekitar 3 – 5 % atau 9 hingga 5 juta

anak menderita ambliopia.2

Di Indonesia , suatu penelitian dengan sampel Murid-murid kelas 1 SD di

kotamadya Bandung, menunjukkan angka prevalensi Ambliopia berkisar 1,56 %. 7

Pada sebuah penelitian di Yogyakarta, didapatkan bahwa insidensi Ambliopia pada

anak di kawasan perkotaan adalah sebesar 0,25% sedangkan di pedesaaan sebesar

0,20%.8

Tidak ada perbedaan insidensi berdasarkan jenis kelamin dan ras. Usia

terjadinya ambliopia yaitu pada periode kritis dari perkembangan mata. Resiko

meningkat pada anak yang perkembangannya terlambat, prematur dan/atau

dijumpai adanya riwayat keluarga ambliopia.3

11
2.5. Etiologi

Ambliopia terjadi akibat beberapa gangguan pada tahap perkembangan

penglihatan, diantaranya:

1) Strabismus

Strabismus adalah gangguan visual di mana mata tidak sinkron dan titik

fokus menuju ke arah yang berbeda. Jenis Klasifikasi strabismus dibagi

menjadi4: 10

a. Esotropia. Keadaan strabismus, yakni juling ke dalam atau strabismus

konvergen, dimana sumbu penglihatan mengarah ke arah nasal.

b. Eksotropia. Keadaan strabismus, yakni juling ke luar atau strabismus

divergen dimana sumbu penglihatan kearah temporal.

c. Hipertropia. Keadan strabismus, dimana salah satu bola mata normal,

sedangkan bola mata yang lain bergulir kearah atas, atau seakan - akan

salah satu mata melihat kearah alis atau rambut.

d. Hipotropia. Keadan strabismus, dimana salah satu bola mata normal,

sedangkan bola mata yang lain bergulir ke arah bawah, atau seakan -

akan melihat kearah mulut.

Ambliopia strabismik diduga disebabkan karena kompetisi atau

terhambatnya interaksi antara neuron yang membawa input yang tidak menyatu

(fusi) dari kedua mata, yang akhirnya akan terjadi dominasi pusat penglihatan

kortikal oleh mata yang berfiksasi dan lama kelamaan terjadi penurunan respon

terhadap input dari mata yang tidak berfiksasi.

12
2) Gangguan Refraksi

Dalam keadaan normal, cahaya sejajar yang masuk ke mata dalam

keadaan istirahat atau tidak berakomodasi akan difokuskan pada satu titik di

retina. Kondisi ini disebut emetropia. Ketika mata dalam keadaan tidak

berakomodasi dengan baik, mata tidak dapat memfokuskan cahaya ke retina.

Keadaan ini disebut ametropia. Namun, ada suatu keadaan dimana mata

mempunyai kelainan refraksi yang tidak sama pada mata kanan dan mata mata

kiri. Ada tiga keadaan yang dapat menyebabkan ametropia, yaitu:9

a. Miopia

b. Hipermetropia (disebut juga hiperopia)

c. Astigmat

Pada gangguan refraksi, ambliopia yang terjadi dapat akibat dari kelainan

refraksi tinggi yang tidak dikoreksi (ambliopia isometropia) atau adanya

perbedaan refraksi antara kedua mata yang menyebabkan lama kelamaan

bayangan pada satu retina tidak fokus (ambliopia anisometropik).

3) Deprivasi Penglihatan

Gangguan mata ini timbul ketika katarak atau keadaan yang sejenis yang

menutup axis visual pada saat periode visual experience. Gangguan ambliopia

deprivatif jika tidak ditangani dengan cepat maka prognosisnya akan buruk.4

Mekanisme terjadinya ambliopia pada beberapa gangguan visual ini

diduga akibat 2 faktor, yaitu nirpakai (non use) dan supresi. Ambliopia nirpakai

terjadi akibat tidak dipergunakannya elemen visual retino kortikal pada saat

periode kritis dalam perkembangannya terutama sebelum usia 9 tahun. Supresi

yang terjadi pada ambliopia dapat merupakan proses kortikal yang akan

13
mengakibatkan terdapatnya skotoma absolut pada penglihatan binokular atau sebagai

hambatan binokular pada bayangan retina yang kabur. Supresi sama sekali tidak

berkaitan dengan perkembangan penglihatan.

2.6. Patofisiologi

Pada ambliopia ditemukan adanya kerusakan penglihatan sentral, sedangkan

daerah perifer dapat dikatakan masih tetap normal. Studi eksperimental pada

binatang serta studi klinis pada bayi dan balita, mendukung adanya suatu periode

kritis yang peka dalam berkembangnya ambliopia. Periode kritis ini sesuai dengan

perkembangan sistem pengglihatan anak yang peka terhadap masukan abnormal

yang diakibatkan oleh ransangan deprivasi, strabismus, atau kelainan refraksi yang

siknifikan. Secara umum, periode kritis untuk ambliopia deprivasi terjadi lebih

cepat dibanding strabismus ataupun anisometropia, begitu juga dengan waktu yang

dibutuhkan untuk terjadinya amblyopia lebih singkat pada ransangan deprivasi ini.1

Periode kritis yang sesuai dengan perkembangan sistem penglihatan anak

yang dimaksudkan diatas adalah :11

a. Perkembangan tajam penglihatan dari 20/200 (6/60) hingga 20/20 (6/6),

yaitu pada saat lahir sampai usia 3-5 tahun.

b. Periode yang beresiko tinggi untuk terjadinya amblyopia deprivasi yaitu

usia beberapa bulan hingga usia 7-8 tahun.

c. Periode dimana kesembuhan amblyopia masih dapat dicapai, yaitu sejak

terjadinya deprivasi sampai usia remaja atau bahkan terkadang usia

dewasa.

Walaupun mekanisme neurofisiologi penyebab amblyopia masih sangat

belum jelas, studi eksperimental modifikasi pengalaman dalam melihat pada

binatang dan percoban laboratorium pada pada manusia dengan amblyopia telah

14
memberikan beberapa masukan, pada binatang percobaan menunjukkan gangguan

sistem penglihatan fungsi neuron diakibatkan oleh pengalaman melihat abnormal dini.

Sel pada korteks visual primer dapat kehilangan kemampuan dalam menanggapi

rangsangan pada satu atau kedua mata, dan sel yang masih responsive fungsinya

akhirnya dapat menurun. Kelainan juga terjadi pada neuron badan genikulatum

lateral.1

2.7. Klasifikasi

Ambliopia dibagi kedalam beberapa bagian sesuai dengan ganguan/ kelainan

yang menjadi penyebabnya.

1. Ambliopia Strabismik

Esotropia atau eksotropia pada seorang anak menyebabkan penglihatan

ganda. Anak dengan cepat belajar untuk menekan bayangan pada mata yang

mengalami deviasi dan belajar melihat normal hanya dengan satu mata.

Sayangnya, penglihatan tidak berkembang pada mata yang tidak digunakan

(kecuali jika mata yang normal ditutup, sehingga memaksa anak menggunakan

mata yang berdeviasi) penglihatan tidak akan terbentuk pada mata tersebut.

Anak akan tumbuh dengan satu mata normal yang pada dasarnya buta karena

mata tersebut tidak membentuk hubungan fungsional dengan pusat-pusat

penglihatan di otak. Hal ini lebih mungkin terjadi pada esotropia dibandingkan

eksotropia.4

2. Amblyopia Anisometropik

Ambliopia anisometropia merupakan jenis ambliopia terbanyak kedua

setelah ambliopia strabismus.1 Ambliopia ini terjadi akibat perbedaan refraksi

kedua mata yang terlalu besar atau lebih dari 2.5 dioptri.10 Anak lebih

memperhatikan benda-benda yang terletak dekat daripada yang jauh. Apabila

15
salah satu mata nearsighted (miopia) dan yang lain farsighted (hyperopia), anak lebih

menyukai mata yang myopia. Dengan demikian, mata yang farsighted tidak akan

digunakan walaupun tidak juling. Akibatnya akan sama seperti pada strabismus yang

tidak diobati, yakni kebutaan monocular akibat kegagalan perkembangan visual mata

yang tidak digunakan.4

3. Ambliopia Isometropia

Pada amblyopia ini visus turun bilateral walaupun sudah dikoreksi

maksimal. Hal ini disebabkan oleh kelainan refraksi bilateral yang tingi pada

anak yang tidak dikoreksiyang ukurannya hampir sama pada mata kanan dan

mata kiri, yaitu hyperopia lebih dari 5 dioptri atau myopia lebih dari 10 dioptri.

Jika hiperopianya hanya 1-2 dioptri maka masih bisa dikompensasi dengan

akomodasi, jadi tidak sampai menyebabkan amblyopia.1,12

4. Ambliopia Deprivasi

Ambliopia deprivasi dilaporkan mengenai <3% dari seluruh penderita

ambliopia.13 Ambliopia deprivasi sering disebabkan oleh kekeruhan media

kongenital atau dini yang akan menyebabkan terjadinya penurunan

pembentukan bayangan yang akhirnya menimbulkan ambliopia. Bentuk

ambliopia ini merupakan yang paling parah dan sulit diperbaiki.1

Pasien dengan ambliopia deprivasi dapat memiliki mata yang sehat atau

dengan kondisi penyerta, seperti mikroftalmus, koloboma, hipoplasia nervus

optikus, atau abnormalitas retina. Hal yang sulit untuk menentukan apakah

kehilangan penglihatan disebabkan oleh ambliopia deprivasi atau kondisi

penyerta pada mata. Etiologi yang paling sering dilaporkan adalah katarak

kongenital atau infantil unilateral. Ambliopia deprivasi karena katarak berlanjut

sampai katarak diangkat dan koreksi optik dilakukan. Bahkan setelah koreksi

16
optik dilakukan, mata yang terkena ambliopia dapat berlanjut menjadi anisometrop

dan anisekonik. Onset penyakit yang terjadi di waktu dini dipercaya membuat

ambliopia tipe ini parah dan resisten terhadap pengobatan.13

2.8. Diagnosis

Ambliopia didiagnosis ketika penurunan ketajaman penglihatan tidak dapat

dijelaskan berdasarkan abnormalitas pemeriksaan fisik dan ditemukan berkaitan

dengan penemuan kondisi yang bisa menyebabkan ambliopia. Karakteristik

penglihatan tidak dapat dibedakan secara nyata antara ambliopia dengan

kehilangan penglihatan lainnya. Sebagai contoh crowding phenomenon bukan

suatu patognomonik pada ambliopia.3

Beberapa pemeriksaan digunakan untuk menegakkan diagnosis dan derajat

ambliopia. Pemeriksaan untuk mengetahui perkembangan tajam penglihatan sejak

bayi sampai usia 9 tahun perlu untuk mencegah keadaan terlambat untuk

melakukan perawatan.

Pemeriksaan kedudukan mata dan adanya reaksi pupil selain pemeriksaan

fundus, yaitu:3

1. Penilaian ketajaman penglihatan

a. Ketajaman penglihatan jauh

b. Ketajaman penglihatan dekat

2. Tes crowding phenomenon

Penderita diminta membaca huruf kartu snellen sampai huruf terkecil

yang dibuka satu persatu atau yang diisolasi, kemudian isolasi huruf

dibuka satu persatu dan pasien diminta membaca sebaris huruf yang sama.

Bila terjadi penurunan ketajaman penglihatan dari huruf isolasi ke huruf

dalam baris maka ini disebut adanya fenomena crowding pada mata

tersebut.

3. Uji densiti filter netral


17
Dasar uji adalah diketahuinya bahwa pada mata yang ambliopia secara

fisiologik berada dalam keadaan beradaptasi gelap, sehingga bila pada

mata ambliopia dilakukan uji penglihatan dengan intensitas sinar yang

direndahkan (memakai filter densiti netral) tidak akan terjadi penurunan

ketajaman penglihatan. Dilakukan dengan memakai filter yang perlahan-

lahan digelapkan sehingga tajam penglihatan pada mata normal turun 50%

pada mata ambliopia fungsional tidak akan atau hanya sedikit menurunkan

tajam penglihatan pada pemeriksaan sebelumnya. Bila ambliopia adalah

fungsional maka paling banyak tajam penglihatan berkurang satu baris

atau tidak terganggu sama sekali. Bila mata tersebut ambliopia organik

maka tajam penglihatan akan sangat menurun dengan pemakaian filter

tersebut.

4. Uji Worth’s Four Dot

Uji untuk melihat penglihatan binokular, adanya fusi, korespondensi

retina abnormal, supresi pada satu mata dan juling. Penderita memakai

kacamata dengan filter merah pada mata kanan dan filter biru pada mata

kiri lalu melihat pada objek 4 titik dimana satu berwarna merah, 2 hijau, 1

putih. Lampu atau titik putih akan terlihat merah oleh mata kanan dan

hijau oleh mata kiri. Lampu merah hanya dapat dilihat oleh mata kanan

dan lampu hijau hanya dapat dilihat oleh mata kiri. Bila fusi baik maka

akan terlihat 4 titik dan sedang lampu putih terlihat sebagai lampu

campuran hijau dan merah. 4 titik juga akan dilihat oleh mata juling akan

tetapi telah terjadi korespondensi retina yang tidak normal. Bila terdapat

supresi maka akan terlihat hanya 2 merah bila mata dominan kanan atau 3

hijau bila mata kiri dominan. Bila terlihat 5 titik (3 merah dan 2 hijau yang

saling bersilangan) berarti mata dalam keadaan eksotropia dan bila tidak

bersilangan berarti mata berkedudukan esotropia.

18
2.9. Penatalaksanaan

Ambliopia dapat ditatalaksana dengan efektif selama satu dekade pertama.

Lebih cepat tindakan terapeutik dilakukan, maka akan semakin besar pula peluang

keberhasilannya. Bila pada awal terapi sudah berhasil, hal ini tidak menjamin

penglihatan optimal akan tetap bertahan. Maka para klinisi harus tetap waspada dan

bersiap untuk melanjutkan penatalaksanaan hingga penglihatan ”matang” (sekitar

umur 10 tahun).14

Penatalaksanaan ambliopia meliputi langkah – langkah berikut :1

a) Menghilangkan (bila mungkin) semua penghalang penglihatan seperti

katarak

b) Koreksi kelainan refraksi

c) Paksakan penggunaan mata yang lebih lemah dengan membatasi

penggunaan mata yang lebih baik

1. Pengangkatan Katarak

Katarak yang dapat menyebabkan ambliopia harus segera dioperasi, tidak perlu

ditunda – tunda. Pengangkatan katarak kongenital pada usia 2-3 bulan pertama

kehidupan, sangat penting dilakukan agar penglihatan kembali pulih dengan

optimal. Pada kasus katarak bilateral, interval operasi pada mata yang pertama

dan kedua sebaiknya tidak lebih dari 1- 2 minggu. Terbentuknya katarak

traumatika berat dan akut pada anak dibawah umur 6 tahun harus diangkat

dalam beberapa minggu setelah kejadian trauma, bila memungkinkan.1 Yang

mana katarak traumatika itu sangat bersifat amblyopiogenik.

Kegagalan dalam ”menjernihkan” media, memperbaiki optikal, dan

penggunaan regular mata yang terluka, akan mengakibatkan ambliopia berat

dalam beberapa bulan, selambat – lambatnya pada usia 6 hingga 8 tahun.14

2. Koreksi Refraksi

19
Bila ambliopia disebabkan kelainan refraksi atau anisometropia, maka

dapat diterapi dengan kacamata atau lensa kontak.2 Ukuran kaca mata untuk

mata ambliopia diberi dengan koreksi penuh dengan penggunaan sikloplegia. 1

Bila dijumpai myopia tinggi unilateral, lensa kontak merupakan pilihan, karena

bila memakai kacamata akan terasa berat dan penampilannya (estetika) buruk.14

Karena kemampuan mata ambliopia untuk mengatur akomodasi cenderung

menurun, maka ia tidak dapat mengkompensasi hyperopia yang tidak dikoreksi

seperti pada mata anak normal. Koreksi aphakia pada anak dilakukan segera

mungkin untuk menghindarkan terjadinya deprivasi penglihatan akibat keruhnya

lensa menjadi defisit optikal berat. Ambliopia anisometropik dan ambliopia

isometropik akan sangat membaik walau hanya dengan koreksi kacamata

selama beberapa bulan.1

3. Oklusi

a) Terapi oklusi sudah dilakukan sejak abad ke-18 dan merupakan terapi

pilihan, yang keberhasilannya baik dan cepat, dapat dilakukan oklusi penuh

waktu (full time) atau paruh waktu (part-time).

Pengertian oklusi full- time pada mata yang lebih baik adalah oklusi

untuk semua atau setiap saat kecuali 1 jam waktu berjaga.(Occlusion for all

or all but one waking hour). Arti ini sangat penting dalam pentalaksanaan

ambliopia dengan cara penggunaan mata yang ”rusak”. 1 Biasanya penutup

mata yang digunakan adalah penutup adesif (adhesive patches) yang

tersedia secara komersial.1

Penutup (patch) dapat dibiarkan terpasang pada malam hari atau

dibuka sewaktu tidur. Kacamata okluder (spectacle mounted ocluder) atau

lensa kontak opak,atau Annisa’s Fun Patches dapat juga menjadi alternatif

full-time patching bila terjadi iritasi kulit atau perekat patch-nya kurang

lengket.1 Full-time patching baru dilaksanakan hanya bila strabismus

20
konstan menghambat penglihatan binokular, karena full-time patching

mempunyai sedikit resiko, yaitu bingung dalam hal penglihatan binokular.1

Terdapat suatu aturan bahwa full-time patching diberi selama 1

minggu untuk setiap tahun usia.3,15 Misalnya penderita ambliopia pada mata

kanan berusia 3 tahun harus memakai full-time patch selama 3 minggu, lalu

dievaluasi kembali. Hal ini untuk menghindarkan terjadinya ambliopia pada

mata yang baik.3

b) Oklusi Part Time

Oklusi part-time adalah oklusi selama 1-6 jam per hari yang akan memberi

hasil sama dengan oklusi full-time. Durasi interval buka dan tutup patch-

nya tergantung dari derajat ambliopia. 1 Ambliopia Treatment Studies (ATS)

telah membantu dalam penjelasan peranan full-time patching dibanding

part-time. Studi tersebut menunjukkan, pasien usia 3-7 tahun dengan

ambliopia berat (tajam penglihatan antara 20/100 = 6/30 dan 20/400

= 6/120 ), full-time patching memberi efek sama dengan penutupan selama

6 jam per hari. Dalam studi lain, patching 2 jam/hari menunjukkan

kemajuan tajam penglihatan hampir sama dengan patching 6jam/hari pada

ambliopia sedang / moderate (tajam penglihatan lebih baik dari 20/100)

pasien usia 3 – 7 tahun. Dalam studi ini, patching dikombinasi dengan

aktivitas melihat dekat selama 1 jam/ hari.3

Idealnya, terapi ambliopia diteruskan hingga terjadi fiksasi alternat

atau tajam penglihatan dengan Snellen linear 20/20 (6/6) pada masing –

masing mata. Hasil ini tidak selalu dapat dicapai. Sepanjang terapi terus

menunjukkan kemajuan, maka penatalaksanaan harus tetap diteruskan.14

4. Degradasi Optikal

Metode lain untuk penatalaksanaan ambliopia adalah dengan

menurunkan kualitas bayangan (degradasi optikal) pada mata yang lebih

21
baik hingga menjadi lebih buruk dari mata yang ambliopia, sering juga

disebut penalisasi (penalization). Sikloplegik (biasanya atropine tetes 1%

atau homatropine tetes 5%) diberi satu kali dalam sehari pada mata yang

lebih baik sehingga tidak dapat berakomodasi dan kabur bila melihat dekat

dekat.1

ATS menunjukkan metode ini memberi hasil yang sama efektifnya dengan

patching untuk ambliopia sedang (tajam penglihatan lebih baik daripada

20/100). ATS tersebut dilakukan pada anak usia 3 – 7 tahun. ATS juga

memperlihatkan bahwa pemberian atropine pada akhir minggu (weekend)

memberi perbaikan tajam penglihatan sama dengan pemberian atropine

harian yang dilakukan pada kelompok anak usia 3 – 7 tahun dengan

ambliopia sedang.3 Ada juga studi terbaru yang membandingkan atropine

dengan patching pada 419 orang anak usia 3-7 tahun,menunjukkan atropine

merupakan pilihan efektif. Sehingga, ahli mata yang tadinya masih ragu –

ragu, memilih atropine sebagai pilihan pertama daripada patching. 2

Pendekatan ini mempunyai beberapa keuntungan dibanding dengan

oklusi, yaitu tidak mengiritasi kulit dan lebih apik dilihat dari segi kosmetis.

Dengan atropinisasi, anak sulit untuk ”menggagalkan” metode ini.

Evaluasinya juga tidak perlu sesering oklusi.14 Metode pilihan lain yang

prinsipnya sama adalah dengan memberikan lensa positif dengan ukuran

tinggi (fogging) atau filter. Metode ini mencegah terjadinya efek samping

farmakologik atropine.1 Keuntungan lain dari metode atropinisasi dan

metode non-oklusi pada pasien dengan mata yang lurus (tidak strabismus)

adalah kedua mata dapat bekerjasama, jadi memungkinkan penglihatan

binokular.14

2.10. Komplikasi

22
Komplikasi utama jika ambliopia tidak ditatalaksana segera adalah buta

irreversibel.3 Semua bentuk penatalaksanaan ambliopia memungkinkan untuk

terjadinya ambliopia pada mata yang baik. Oklusi full-time adalah yang paling

berisiko tinggi dan harus dipantau dengan ketat terutama pada anak balita. Follow-

up pertama setelah pemberian oklusi dilakukan setelah 1 minggu pada bayi dan 1

minggu per tahun usia pada anak (misalnya : 4 minggu untuk anak usia 4 tahun).

Oklusi part-time dan degradasi optikal, observasinya tidak perlu sesering oklusi

full-time tapi follow-up reguler tetap penting. Hasil akhir terapi ambliopia

unilateral adalah terbentuknya kembali fiksasi alternat. Tajam penglihatan dengan

Snellen linear tidak berbeda lebih dari satu baris antara kedua mata. Waktu yang

diperlukan untuk lamanya terapi tergantung pada hal berikut :1

 Derajat ambliopia

 Pilihan terapeutik yang digunakan

 Kepatuhan pasien terhadap terapi yang dipilih

 Usia pasien

Semakin berat ambliopia dan usia lebih tua membutuhkan penatalaksanaan

yang lebih lama. Oklusi full-time pada bayi dan balita dapat memberi perbaikan

ambliopia strabismik berat dalam 1 minggu atau kurang. Sebaliknya, anak yang

lebih berumur yang memakai penutup hanya seusai sekolah dan pada akhir minggu

saja membutuhkan waktu 1 tahun atau lebih untuk dapat berhasil. Komplikasi dari

terapi oklusi mencakup ambliopia pada mata yang ditutup, alergi kulit, infeksi atau

abrasi kornea karena pemakaian lensa kontak, diplopia, dan stres psikologis.13

2.11. Prognosis

Setelah 1 tahun, 73% pasien menunjukkan kesuksesan setelah percobaan

pertama terapi oklusi setelah 1 tahun. Studi menunjukkan jumlah pasien yang dapat

mempertahankan visusnya berkurang hingga 53% seiring berjalan waktu setelah 3

tahun.3 Faktor risiko kegagalan penatalaksanaan ambliopia :


23
1. Tipe Ambliopia

Pasien dengan anisometrop tinggi dan pasien dengan kelainan organik

memiliki prognosis yang lebih buruk. Pasien dengan ambliopia strabismik

memiliki prognosis yang lebih baik.

2. Usia Dimulai Terapi

Semakin muda pasien diterapi semakin baik prognosisnya.

3. Keparahan Ambliopia Saat Mulai Terapi

Semakin baik visus awal saat ambliopia semakin baik prognosisnya. 3 Bahkan

jika terapi ambliopia sukses dilakukan, persepsi gambar pada pasien ambliopia

tidak akan sebaik orang normal.16

BAB 3

KESIMPULAN

Berdasar pembahasan tentang ambliopia di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai

berikut :

1. Perkembangan penglihatan terdiri dari : 1) perkembangan penglihatan monokuler

atau penglihatan satu mata yang awalnya ketajaman penglihatan hanya berkisar

antara gerakan tangan sampai hitung jari dan kemudian berkembang terutama usia 2-

3 bulan, 2) perkembangan penglihatan binokuler dimana terjadi fusi penglihatan

mata kiri dan kanan yang menghasilkan penglihatan tunggal binokuler pada usia 1,5-

2 bulan, dan penglihatan tiga dimensi atau stereopsis yang berkembang pada usia 3-6

bulan.
24
2. Jika terjadi gangguan rangsangan penglihatan yang menimbulkan kekacauan pada

masing-masing mata, akan terjadi adaptasi sensoris dimana salah satu mata akan

mengalami supresi kortikal sehingga tidak terjadi respon terhadap bayangan yang

masuk yang akan menimbulkan skotoma supresi, sedangkan mata lainnya berfiksasi.

3. Ambliopia merupakan keadaan dimana terjadi penurunan ketajaman penglihatan

walaupun sudah diberikan koreksi terbaik.

4. Prevalensi ambliopia di Amerika serikat rata-rata sekitar 2%, di Cina 3-5%, di

Bandung 1,56%, dan di Yogyakarta 0,25%.

5. Ambliopia dapat terjadi akibat gangguan pada tahap perkembangan penglihatan,

yaitu akibat strabismus, gangguan refraksi, dan akibat deprivasi penglihatan.

6. Pada ambliopia terjadi kerusakan penglihatan sentral karena terganggunya

penglihatan pada periode kritis perkembangan visual, seperti strabismu, gangguan

refraksi, dan deprivasi penglihatan.

7. Dua teori utama terjadinya ambliopia adalah mekanisme nirpakai (non use) akibat

terganggunya fungsi penglihatan pada masa perkembangan visual, dan mekanisme

supresi akibat adaptasi sensoris penglihatan karena perbedaan rangsangan yang

diterima pada kedua mata.

8. Ambliopia dikelompokkan berdasarkan penyebabnya, yaitu ambliopia strabismik,

ambliopia anisometropik, ambliopia isometropia, dan ambliopia deprivasi.

9. Diagnosis ambliopia ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan seperti

pemeriksaan visus, crowding phenomenon test, uji densiti filter netral, dan uji

worth’s four dot.

10. Prinsip penatalaksanaan ambliopia adalah menghilangkan semua penghalang

penglihatan misalnya dengan operasi katarak, mengoreksi kelainan refraksi seperti

menggunakan kacamata atau lensa kontak, dan memaksakan penggunaan mata yang

mengalami gangguan dengan terapi oklus, serta dapat juga diberikan terapi degradasi

optikal dengan menurunkan kualitas bayangan pada mata yang sehat.

25
11. Komplikasi ambliopia dapat berupa buta ireversibel, dan akibat terapi oklusi dapat

terjadi ambliopia pada mata yang sehat, alergi kulit, infeksi, atau abrasi kornea.

12. Prognosis tergantung tipe ambliopia, usia dimulai terapi dan keparahan ambliopia

saat mulai terapi, dimana pasien dengan anisometrop tinggi, usia mulai terapi yang

cenderung lebih tua, dan tingkat keparahan yang tinggi akan memberikan prognosis

yang buruk.

DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology. Pediatric Ophthalmology and Strabismus.


Section 6. Basic and Clinical Science Course. 2011 – 2012.
2. Heiting, Gary. Amblyopia (Lazy Eye). Tersedia dari: URL: http://
www.allaboutvision.com/conditions/amblyopia.htm
3. Yen, K.G. Amblyopia. Tersedia dari: URL: http: //www.emedicine.com/OPH/
topic316.htm
4. Riordan-Eva, P. dan J.P. Whitcher. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Edisi 17.
Jakarta: EGC. 2009.
5. Gunawan, W. Gangguan Penglihatan Pada Anak karena Ambliopia dan
Penanganannya. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Kedokteran
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universtas Gajah Mada.
2007.
6. Amblyopia in Common Eye Conditions Disorders and Diseases. Tersedia dari: URL:
http://www.middleseweye.com/eye_conditions.htm
26
7. Sastraprawira. Prevalensi Ambliopia pada murid kelas 1 Sekolah Dasar di Kotamadya
Bandung. Bandung : 1989.
8. Suharjo, Ulfah M. Insidensi Ambliopia pada murid sekolah dasar di perkotaan dan di
pedesaaan . Bagian Mata FK UGM/ RSUP Sarjito Yogyakarta. 2002.
9. Ilyas, S. Kelainan Refraksi dan Kacamata. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.
10. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Keempat. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2011.
11. Daw, N.W. Critical Periods and Ambyopia. Arch Ophthalmol. 1998; 116(4): 502-5.
12. Suhardjo dan Hartono. Ilmu Kesehatan Mata. Edisi Pertama. Yogyakarta. Bagian Ilmu
Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. 2007.
13. Antonio-Santos A, Vedula SS, Hatt SR, Powell C. Occlusion for stimulus deprivation
amblyopia. Cochrane Database Syst Rev. 2014.
14. Greenwald, M.J. dan Parks M.M. Duane’s Clinical Ophtalmology. Volume 1. Revised
Edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2004.
15. Langston, D.P. Manual of Ocular Diagnosis and Therapy. Fifth Edition. Lippincott
Williams & Wilkins. Philadelphia.
16. Mirabella G, Hay S, Wong AM. Deficits in perception of images of real-world scenes
in patients with a history of amblyopia. Arch Ophtalmology. 2011; 129(2):176-83.

27

Anda mungkin juga menyukai