EKSOTROPIA
Oleh:
Luthfi Akhyar
102011101013
Pembimbing:
dr. Bagas Kumoro, Sp. M
dr. Iwan Dewanto, Sp. M
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................................ii
BAB 1. PENDAHULUAN..........2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA..................10
2.1 Eksotrofia...................................................................................................................10
2.1.1 Definisi ................................................................................................................10
2.1.2 Etiologi.................................................................................................................10
2.1.3 Klasifikasi............................................................................................................11
2.1.4 Patogenesis...........................................................................................................11
2.1.5 Manifestasi Klinis................................................................................................11
2.1.6 Diagnosis..............................................................................................................14
2.1.7 Tatalaksana...........................................................................................................15
2.1.8 Prognosis..............................................................................................................18
2.2 Eksotrofia Konstan ...................................................................................................19
2.2.1 Definisi.................................................................................................................19
2.2.2 Manifestasi Klinis................................................................................................19
2.2.3 Diagnosis..............................................................................................................19
2.2.4 Tatalaksana...........................................................................................................20
BAB 3. KESIMPULAN.........22
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................23
BAB I
PENDAHULUAN
Mata merupakan salah satu organ sensoris yang berfungsi sebagai organ penglihatan.
Agar dapat melihat, mata harus menangkap pola pencahayaan di lingkungan sebagai
gambar/bayangan optis di suatu lapisan sel peka sinar, retina, seperti kamera nondigital
menangkap bayangan pada film. Seperti film yang dapat diproses menjadi salinan visual dari
bayangan asli, citra tersandi di retina disalurkan melalui serangkaian tahap pemrosesan visual
yang semakin rumit hingga akhirnya secara sadar dipersepsikan sebagai kemiripan visual dari
bayangan asli.1,5
Mata secara keseluruhan dapat berfungsi secara optimal berkat adanya susunan
penting struktur-struktur yang membentuk bola mata. Gangguan pada salah satu struktur
penting mungkin dapat sangat berpengaruh pada fungsi utama mata sebagai organ
penglihatan dengan manifestasi yang berbeda-beda, tergantung dari struktur mana yang
terganggu. 1,5
Mata memiliki otot-otot ekstraokular memegang peranan penting pada sistem visual,
baik untuk penyesuaian statis binocular alignment yang diperlukan untuk stereopsis maupun
bagi pergerakan dinamis untuk mempertahankan target visual pada fovea. 1 Terdapat 7 otot
ekstraokular yaitu empat otot rektus, dua otot oblik, dan satu otot levator palpebra superior.
Posisi primer terjadi pada saat mata dan kepala berada dalam keadaan lurus ke depan. Bola
mata biasanya dapat digerakkan sekitar 50 pada tiap-tiap arah dari posisi primer, akan tetapi
mata hanya bergerak 15-20 dari posisi primer sebelum terjadi gerakan kepala.2
Keempat otot rektus berorigo di posterior orbita pada annulus Zinn di sekeliling
kanalis optik dan bagian inferior fissura orbitalis superior.1 Otot rektus medial dan lateral
adalah otot rektus horisontal. Otot rektus medial berjalan sepanjang dinding orbita medial dan
berinsersi 5.3 mm dari limbus. Otot rektus lateral berjalan sepanjang dinding lateral orbita
dan berinsersi 6.9 mm dari limbus. Otot rektus vertikal terdiri dari otot rektus superior dan
inferior. Otot rektus superior berjalan ke anterior di atas bola mata, kemudian ke lateral
membentuk sudut 23 dengan aksis visual pada posisi primer, dan berinsersi 7.9 mm dari
limbus. Otot rektus inferior berjalan ke anterior, ke bawah, kemudian ke lateral di sepanjang
dasar orbita, membentuk sudut 23 dengan aksis visual pada posisi primer, dan berinsersi 6.8
mm dari limbus. Dimulai dari otot rektus medial, inferior, lateral, dan otot rektus superior,
tendon otot rektus ini akan berinsersi semakin menjauhi limbus. Jika dari insersi ini ditarik
suatu garis imajiner maka akan menghasilkan bentuk spiral yang disebut spiral of Tillaux.
Otot oblik inferior berorigo dari periosteum tulang maksila, di posterior rima orbita.
Otot ini berjalan ke lateral, superior, dan posterior, kemudian ke inferior otot rektus inferior
dan berinsersi di bawah otot rektus lateral. Otot oblik inferior membentuk sudut 51 dengan
aksis visual pada posisi primer. Otot levator palpebra superior muncul dari apeks orbita di
atas annulus Zinn, berjalan ke anterior di atas otot rektus superior dan menjadi aponeurosis di
daerah forniks superior.
Saraf okulomotor akan menginervasi otot rektus superior, inferior, medial, otot oblik
inferior, serta otot levator palpebra superior. Divisi inferior menginervasi rektus medial,
inferior, dan otot oblik inferior. Divisi superior menginervasi otot rektus superior dan otot
levator palpebra superior. Otot oblik superior diinervasi oleh saraf troklearis sedangkan otot
rektus lateral diinervasi oleh saraf abdusen.2
Masing-masing otot ekstraokular mendapat suplai darah dari cabang muskular medial
dan lateral arteri oftalmika. Cabang medial mensuplai darah otot rektus inferior dan medial
serta otot oblik inferior, sedangkan cabang lateral menvaskularisasi otot rektus superior dan
lateral, otot oblik superior dan otot levator palpebra superior.
Terdapat 3 aksis utama pada mata yaitu aksis y, x, dan z yang pertama kali
diperkenalkan oleh Fick tahun 1854. Aksis y adalah aksis anteroposterior dan berhimpitan
dengan garis fiksasi. Bidang median bola mata terletak sepanjang aksis y. Aksis x dan z
terletak perpendikular terhadap aksis y. Aksis x adalah aksis horisontal dan aksis z adalah
aksis vertikal. Aksis horisontal dan vertikal terletak pada Listings plane. Listings plane
adalah bidang pada orbita yang melewati pusat rotasi dari bola mata dan mengandung dua
aksis rotasi utama. 5,23
Gambar 2. Aksis rotasi bola mata dan Listings plane.dikutip dari kepustakaan 23
Duksi adalah gerak satu mata. Duksi di sekitar aksis vertikal (aksis z) menghasilkan
gerak mata aduksi dan abduksi. Rotasi dengan pusat aksis horisontal (aksis x) menghasilkan
gerak mata vertikal yaitu gerak elevasi dan depresi. Rotasi dengan pusat aksis y disebut
dengan sikloduksi. Rotasi dengan sumbu sagital ke arah nasal disebut insikloduksi sedangkan
ke arah temporal disebut eksikloduksi.
Versi adalah gerak kedua mata dengan arah yang sama. Vergens adalah gerak kedua
mata dengan arah yang berlawanan. Kontraksi otot mata akan menghasilkan gerakan bola
mata. Otot-otot yang memproduksi suatu gerakan disebut otot agonis sedangkan otot yang
menghasilkan gerakan dengan arah yang berlawanan disebut otot antagonis. Sebagai contoh,
otot rektus medial beraksi sebagai aduktor sedangkan otot rektus lateral beraksi sebagai
abduktor sehingga kedua otot tersebut dikatakan antagonis relatif terhadap satu sama lain.
Otot pada mata yang sama yang menggerakkan bola mata pada arah yang sama
disebut sebagai sinergis. Sebagai contoh, otot rektus superior dan otot oblik inferior beraksi
sebagai elevator bola mata dan dikatakan sinergis pada aksi elevasi. Otot pada masing-masing
mata juga dapat beraksi secara sinergis dan disebut sebagai otot yoke. Sebagai contoh, otot
rektus medial mata kanan dan otot rektus lateral mata kiri berfungsi untuk menggerakkan
mata ke arah kiri (levoversi).
6
Gambar 3. Otot yoke berperan dalam 6 posisi pergerakan bola mata.dikutip dari kepustakaan 23
Terdapat 2 hukum gerakan bola mata yang penting untuk diketahui, yaitu hukum
Sherrington dan hukum Herring. Hukum Sherrington menyatakan bahwa pada saat terdapat
impuls untuk berkontraksi yang diterima oleh otot agonis, maka otot antagonis akan
menerima impuls inhibisi sehingga gerakan bola mata selalu melibatkan kontraksi satu atau
lebih otot ekstraokular dan relaksasi otot antagonisnya.
Hukum Herring menyatakan bahwa pada keadaan normal otot yoke pada kedua mata
selalu menerima inervasi yang sama besar. Hukum ini dapat diterapkan pada gerakan mata
volunter maupun involunter.
Bidang otot dari otot rektus horisontal berkorespondensi dengan bidang horisontal
mata. Pada saat mata berada dalam posisi primer otot rektus horizontal akan berotasi pada
aksis z.2 Otot rektus medial dan lateral hanya mempunyai aksi horisontal; di mana aksi otot
rektus medial adalah sebagai aduktor dan otot rektus lateral sebagai abduktor.5,23
Pada saat mata berada dalam posisi primer, bidang otot dari otot rektus superior dan
inferior membentuk sudut 23 dengan aksis y.
Gambar 4. Hubungan bidang otot dari otot rektus vertical terhadap aksis rotasi x dan y. dikutip dari
kepustakaan 23
Aksi utama otot rektus superior pada posisi primer adalah untuk elevasi bola mata.
Karena adanya hubungan antara bidang otot dari otot rektus superior dan aksis kardinal rotasi
bola mata, kontraksi otot rektus superior juga menyebabkan aduksi dan insikloduksi.
Pada posisi primer, otot rektus inferior berfungsi sebagai depresor. Selain itu otot
rektus inferior juga menghasilkan gerak eksikloduksi dan aduksi. Fungsi depresor terjadi
maksimal saat bola mata abduksi sekitar 23 dari posisi primer, di mana bidang otot paralel
dengan aksis y. Fungsi sikloduksi maksimal saat bola mata berada dalam keadaan aduksi.
Aksi utama otot oblik superior adalah insikloduksi saat mata pada posisi primer.
Karena hubungannya dengan bidang otot dari tendon oblik superior dan aksis utama rotasi
bola mata, kontraksi otot oblik superior juga menghasilkan depresi dan abduksi. Saat bola
mata aduksi, sudut antara bidang median (aksis y) dan bidang otot berkurang, dan
memperkuat fungsi depresi otot oblik superior. Saat mata dalam keadaan abduksi, sudut
antara bidang otot dan bidang median bola mata bertambah, dan memperkuat fungsi
sikloduksi otot oblik superior.
Fungsi otot oblik inferior yang utama pada posisi primer adalah menghasilkan
eksikloduksi dan sejumlah kecil elevasi serta abduksi. Fungsi elevasi otot oblik inferior
diperkuat saat aduksi dan fungsi eksikloduksi diperkuat saat abduksi. Fungsi elevasi akan
maksimal saat mata aduksi 51 dan fungsi eksikloduksi maksimal saat mata abduksi sekitar
39.
Gambar 5. a. Hubungan antara bidang otot dari otot oblik terhadap aksis y; b. Otot oblik
superior akan berfungsi insikloduksi sepenuhnya saat mata abduksi sekitar 36.
Untuk menentukan sudut strabismus digunakan beberapa tes yaitu sebagai berikut :
a. Uji Tutup dan Prisma
Uji tutup terdiri atas 4 bagian, yaitu ;
1. Uji Tutup
Untuk menentukan deviasi yang bermanifestasi (strabismus). Arah gerakan
memperlihatkan arah penyimpangan ( missal : jika mata yang diamati bergerak ke
luar untuk melakukan fiksasi, terdapat esotropia ).
2. Uji Buka Tutup (Cover-Uncover Test)
Untuk menilai terjadi interupsi penglihatan binokuler yang menyebabkan deviasi
dan mampu menunjukkan kualitas (eso-,exo-,hiper-) serta sifat/ nature
(foria/tropia) deviasi.
3. Uji Tutup Bergantian (Alternate Cover Testing)
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
penglihatan menuju titik fiksasi sedangkan sumbu penglihatan lainnya menyimpang pada
bidang horizontal ke arah lateral.
Ekstropia lebih jarang dijumpai dibandingkan esotropia, terutama pada masa bayi dan
anak. Insidensnya meningkat secara bertahap seiring dengan usia. Tidak jarang bahwa suatu
tendensi strabismus divergen berawal dari suatu eksoforia yang berkembang menjadi
eksotropia intermiten dan akhirnya menjadi eksotropia yang menetap apabila tidak dilakukan
terapi. Kasus-kasus lain berawal sebagai eksotropia intermiten atau konstan dan tetap
stasioner. Seperti halnya esotropia, pada beberapa kasus mungkin terdapat unsur herediter.
Eksoforia dan eksotropia (yang dianggap sebagai sebuah entitas deviasi divergen) sering
diwariskan sebagai ciri autosomal dominan; salah satu atau kedua orangtua dari seorang anak
eksotropia mungkin memperlihatkan eksotropia atau eksoforia derajat tinggi.
B. ETIOLOGI 10,11,12
Penyebab eksotropia dapat dibagi menjadi 3, yaitu :
1) Herediter, unsur herediter sangat besar, yaitu trait autosomal dominan.
2) Inervasi, tetapi tidak terdapat abnormalitas yang berarti dalam bidang sensorimotor
3) Anatomi, kelainan untuk rongga orbita misalnya pada penyakit Crouzon
C. KLASIFIKASI 10,11,12
1. Eksotropia Intermiten
11
16,17,18
12
kesulitan membaca, fotofobia, dan masalah kosmetik saat mata berdeviasi. 24 Gejala seperti
penglihatan kabur, asthenopia, nyeri kepala, fotofobia, dan diplopia jarang dikeluhkan kecuali
jika terdapat convergence insufficiency. Jarangnya keluhan gejala ini menandakan mekanisme
supresi yang berkembang dengan baik.
Pada saat mata berada dalam fase foria, penderita mempunyai fusi bifovea
yang
baik dengan stereoacuity berkisar antara 40-50 sec of arc.24 Pada saat mata berdeviasi,
penderita akan menunjukkan supresi hemiretina atau supresi retina temporal.24
Gambar 6. A. Penderita intermiten eksotropia menggunakan fusi kedua mata. B. Oklusi mata
kanan
untuk
menghilangkan
mekanisme
fusi.
C.
Penderita
bermanifes
menjadi
Tipe divergence excess dibagi menjadi dua, yaitu pseudodivergence excess dan true
divergence excess. Pada tipe pseudodivergence excess, deviasi pada fiksasi jauh lebih besar
dibanding fiksasi dekat jika diukur dengan alternate cover test. Apabila dilakukan oklusi satu
mata selama 60 menit untuk menghilangkan tenacious proximal fusion, maka deviasi dekat
akan meningkat hingga sama besar dengan deviasi jauh. 2 Tipe ini cukup sering terjadi, lebih
dari 80% penderita dengan tipe divergence excess sebenarnya merupakan pseudodivergence
excess.19
Pada tipe divergence excess, deviasi jauh tetap lebih besar dibanding deviasi dekat
setelah dilakukan oklusi satu mata. Beberapa penderita dengan tipe ini mempunyai AC/A
ratio yang tinggi, yang dibuktikan dengan meningkatnya deviasi dekat setelah ditambah
dengan lensa +3.00 D.2
Pada tipe convergence insufficiency deviasi dekat melebihi deviasi jauh, minimal 10
PD. Jika saat melihat jauh tidak terdapat deviasi atau deviasi yang ada minimal sedangkan
saat melihat dekat terdapat deviasi maka ini disebut true convergence insufficiency. Sebagai
contoh, pada saat melihat jauh ortoforia, saat melihat dekat terjadi deviasi sebesar 15 PD.15
Perjalanan penyakit intermiten eksotropia hingga saat ini masih belum jelas karena
tidak adanya studi prospektif longitudinal dan kurangnya studi retrospektif pada penderita
yang tidak mendapat terapi. Noorden melaporkan bahwa 75% dari 51 pasien yang tidak
diberikan terapi menunjukkan progresivitas dalam 3.5 tahun, di mana 9% memburuk, dan
16% sisanya menunjukkan perbaikan.25 Hiles menyatakan bahwa dalam 11 tahun masa
follow up tidak ada perbedaan deviasi yang signifikan pada 48 subjek, sedangkan 2 orang
subjek berkembang menjadi eksotropia konstan.
Pada kebanyakan kasus intermiten eksotropia tidak akan menunjukkan perbaikan
melainkan akan menetap atau malah menunjukkan perburukan atau progresivitas. Jika fase
14
tropia meningkat maka supresi yang terjadi juga akan semakin sering dan seiring dengan
progresivitasnya menjadi eksotropia konstan maka fusi juga akan menghilang.24
1.3 Diagnosis
Diagnosis intermiten eksotropia ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan
oftalmologis. Pada anamnesis dapat digali onset dan progresivitas deviasi. Pemeriksaan
oftalmologis untuk mengukur sudut deviasi menggunakan prisma dan alternate cover test
untuk fiksasi jauh dan fiksasi dekat dengan target akomodasi. Mengukur sudut deviasi
penderita intermiten eksotropia dapat menjadi masalah tersendiri karena besar sudut
terkadang bervariasi saat diukur dengan uji alternate cover prism. Pada saat penderita
kelelahan maka fusi konvergensi lemah dan akan terukur deviasi yang besar. Sebaliknya, jika
penderita berada dalam keadaan sadar penuh maka fusi konvergensi akan menutupi deviasi
yang kecil dan sulit bagi pemeriksa untuk mengukurnya. 24 Pemeriksaan eksotropia
intermitten berdasarkan sebagai berikut :
Observasi
Visus
: normal
Deviasi
: divergen
Fusion
Motility
Akomodasi
: miopia
Fiksasi
: nistagmus
Binokular
: abnormal
Supresi
: diplopia
15
Patch test (oklusi) dapat mengurangi fusi konvergensi karena oklusi satu mata selama
30-60 menit dapat mengganggu fusi dan deviasi laten akan manifes. Karena kebanyakan
penderita intermiten eksotropia mempunyai fusi konvergensi tonik yang kuat maka harus
diukur dengan prolonged alternate cover test. Jika terdapat perbedaan yang signifikan antara
deviasi jauh dan dekat maka harus dilakukan patch test.24
Teknik pemeriksaan lain adalah prism adaptation test untuk mengetahui deviasi
maksimal sehingga setelah pembedahan tidak terjadi undercorrection.
1.4 Tatalaksana
Tatalaksana intermiten eksotropia meliputi pendekatan bedah dan non bedah. Terapi
non bedah dapat menggunakan koreksi kacamata, pemberian lensa overminus, prisma, oklusi
satu mata, dan orthoptic vision theraphy. Terapi ini dapat digunakan pada penderita dengan
sudut deviasi kecil ( 20-25 PD)19, penderita usia sangat muda di mana overkoreksi setelah
pembedahan dapat menimbulkan ambliopia, serta penderita dengan kemungkinan hasil
pembedahan yang buruk. Penderita dengan AC/A ratio tinggi juga dilaporkan cukup responsif
terhadap terapi non bedah.
Koreksi kacamata dapat diberikan pada penderita anisometropia, astigmatisme,
miopia, dan hipermetropia karena kesalahan refraksi yang tidak terkoreksi dapat
menyebabkan terganggunya fusi dan terjadinya deviasi yang manifes. 19 Proporsi penderita
intermiten eksotropia yang dapat dikoreksi hanya dengan kacamata belum diketahui karena
tidak adanya studi yang dilakukan hingga saat ini. Studi retrospektif selama 6-22 tahun yang
dilakukan oleh Hiles melaporkan bahwa pada 48 subjek penderita intermiten eksotropia yang
hanya mendapat terapi kacamata, 65% subjek menjadi eksoforia, 73% mengalami
pengurangan sudut deviasi, dan 4% subjek berkembang menjadi eksotropia konstan.21
16
Pemberian lensa overminus juga merupakan alternatif lain dan diberikan dengan
kekuatan 2-3 D lebih besar daripada kekuatan lensa minus yang diperlukan. Setelah fusi
konstan diperoleh selama beberapa waktu maka kekuatan lensa overminus dikurangi secara
bertahap hingga nol. Noorden melaporkan asthenopia akomodativa sebagai efek samping
terutama pada anak usia lebih tua dan dewasa. Rutstein melaporkan bahwa 25% subjek
mengalami peningkatan miopia sebesar lebih dari 0.50 D per tahun setelah diberikan lensa
-0.50 D hingga -3.75 D.25 Salah satu keterbatasan lensa overminus ini adalah hanya efektif
bila digunakan pada penderita usia muda dan tidak bermanfaat pada penderita dengan
presbiopia.21
Terapi oklusi dapat diberikan mulai dari full-time, yaitu saat penderita bangun hingga
tidur kembali, atau secara parsial yaitu 1 hingga beberapa jam sehari. Terapi ini jarang
digunakan sebagai terapi tunggal dan biasanya diberikan untuk menunda terapi bedah.
Freeman dan Isenberg melaporkan bahwa pada 4-6 jam oklusi yang diberikan selama 6 bulan
pada anak usia 9 bulan hingga 5 tahun, 100% berubah dari heteroforia menjadi orthoforia.
Pada
Secara
keseluruhan angka keberhasilan terapi oklusi pada 7 studi yang dilakukan dari tahun 1965
hingga 1989 adalah 37%.21
Pemberian prisma pada intermiten eksotropia dapat dilakukan dan bekerja dengan
mekanisme (1) mengkompensasi eksodeviasi dan mengurangi kebutuhan fusi vergens
(demand-reducing prism) sehingga fusi lebih stabil dan frekuensi deviasi berkurang, (2)
menetralkan seluruh eksodeviasi dan memungkinkan fusi sensori (neutralizing prism), (3)
pemberian prisma base-in dengan kekuatan di atas kekuatan yang dapat menetralkan gerakan
pada alternate cover test (overcompensating base-in prism) sehingga diharapkan terjadi
konvergensi dan diplopia dapat dicegah.21
17
Demand-reducing prism adalah prisma yang paling sering digunakan meskipun belum
ada studi yang dapat menjelaskan efikasinya. Kekuatan neutralizing prism yang digunakan
adalah nilai antara deviasi jauh dan dekat. Pada kasus di mana nilai prisma pada titik ini tidak
menghilangkan heteroforia pada kedua deviasi, maka dapat digunakan kaca mata dengan
kekuatan prisma yang berbeda pada bagian atas dan bawah lensa minimal selama 6 bulan.
Overcompensating base-in prism digunakan jika prosedur bedah berakibat undercorrection.
Kekuatan prisma yang digunakan minimal 10 PD untuk menggerakkan bayangan retina pada
mata yang berdeviasi dari temporal ke nasal. Prisma ini akan menyebabkan diplopia yang
memaksa penderita untuk mengadakan adaptasi motorik konvergensi (convergent motor
adaptation). Setelah tercapai adaptasi motorik konvergensi sempurna maka kekuatan prisma
dikurangi secara perlahan.
Keseluruhan angka keberhasilan penggunaan prisma pada 8 studi yang dilakukan dari
tahun 1969 hingga tahun 1990 adalah 28%.21 Keunggulan prisma adalah relatif mudah
digunakan dan biayanya yang lebih murah jika dibandingkan dengan prosedur bedah.
Keterbatasannya adalah sulit mengontrol komplians penderita dan masalah kosmetik.
Orthopthic vision therapy atau vision training digunakan pada sudut deviasi kecil,
kurang dari 20 PD. Terapi ini berfungsi untuk melatih konvergensi pada penderita tipe
convergence insufficiency. Efikasi terapi ini dilaporkan berkisar antara 43-100%.15,21
Pendekatan bedah pada intermiten eksotropia diindikasikan jika terdapat progresivitas
penyakit, terdapat deviasi lebih dari atau sama dengan 15 PD, dan jika eksotropia bermanifes
lebih dari 50% saat penderita bangun.2,27 Kapan sebaiknya dilakukan tindakan bedah hingga
sekarang masih merupakan kontroversi. Beberapa berpendapat bahwa pembedahan dini perlu
dilakukan untuk mencegah supresi dan anomalous retinal correspondence sementara
pendapat lain mengatakan bahwa overkoreksi yang dapat terjadi setelah pembedahan dapat
18
19
pembedahan yang tinggi. AC/A ratio yang tinggi akan memberikan prognosis yang lebih
buruk karena overcorrection yang dapat terjadi setelah pembedahan akan berkembang
menjadi esotropia persisten.
2.
Eksotropia Konstan
Eksotropia konstan lebih jarang dibandingkan eksotropia intermiten. Kelainan ini
dapat dijumpai sejak lahir atau muncul belakangan sewaktu eksotropia intermiten
berkembang menjadi eksotropia konstan. Sebagian ekostropia onsetnya mungkin terjadi
pada usia lanjut, terutama setelah kehilangan salah satu mata.
.
2.1 Manifestasi Klinis
Derajat eksotropia konstan dapat bervariasi. Lamanya penyakit atau adanya
penurunan penglihatan pada satu mata dapat menjadikan deviasi semakin besar. Aduksi
mungkin terbatas, dan mungkin juga dijumpai hipertropia. Supresi terjadi apabila deviasi
didapat pada usia 6-8tahun, kalau tidak dapat dijumpai diplopia. Bila eksotropia
disebabkan oleh pengelihatan salah satu mata yang sangat buruk, mungkin tidak ada
diplopia. Ambliopia jarang terjadi bila tidak ada anisometropia, dan sering terlihat
perpindahan spontan mata yang melakukan fiksasi.
2.2 Diagnosis
Penegakkan diagnosis eksotropia konstan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan penunjang. Pemeriksaan eksotropia konstan berdasarkan sebagai berikut :
Observasi
: ekstropia menetap
Visus
: ambliopia
Deviasi
: divergen
Fusion
20
Motility
: terdapat tahanan
Akomodasi
: miopia
Fiksasi
: nistagmus
Binokular
: abnormal
Supresi
: diplopia
21
Bila pasien menderita miopia maka harus diberi kacamata yang lebih besar
ukurannya dari seharusnya untuk merangsang akomodasi konvergensi.
Namun pada dasarnya pengobatan ialah operasi. Harus dipertimbangkan
sebelumnya hal-hal sebagai berikut:
1. Besarnya sudut deviasi
2. Perbandingan pengukuran deviasi untuk jauh dan dekat.
Operasi pada eksotropia tergantung pada jenis eksotropianya, biasanya
dilakukan resesi otot rektus lateral dan reseksi otot rektus medial mata yang sama pada
yang berdeviasi.
BAB III
22
KESIMPULAN
Eksotropia adalah suatu penyimpangan sumbu penglihatan yang nyata dimana salah
satu sumbu penglihatan menuju titik fiksasi sedangkan sumbu penglihatan lainnya
menyimpang pada bidang horizontal ke arah lateral. Penyebab Eksotropia adalah hipotoni
rektus medius, hipertoni rektus lateralis, penurunan fungsi penglihatan satu mata pada remaja
dan dewasa muda (miop, kelemahan konvergensi, kelebihan divergensi). Gejala klinis
eksotropia adalah posisi bola mata menyimpang ke arah temporal.
Diagnosis dapat ditegakan dengan anamnesa, inspeksi, pemeriksaan ketajaman
penglihatan, pemeriksaan kelainan refraksi, mengukur sudut deviasi. Penatalaksanaan
esotropia dan eksotropia yaitu pengobatan secara non operatif dan operatif.
Eksotropia intermiten merupakan penyebab lebih dari separuh kasus eksotropia. Dari
anamnesis sering diketahui bahwa kelainan tersebut memburuk secara progresif. Suatu tanda
khas adalah penutupan satu mata dalam cahaya terang. Eksotropia manifes pertama tama
terlihat pada fiksasi jauh. Pasien biasanya melakukan fusi pada penglihatan dekat, mengatasi
eksoforia bersudut besar atau kecil. Terapi non bedah sebagian besar terbatas pada koreksi
refraksi dan terapi ambliopia. Sebagian besar pasien eksotropia intermiten memerlukan
tindakan bedah bila kontrol terhadap fusinya memburuk.
Eksotropia konstan lebih jarang dibandingkan eksotropia intermiten. Derajat
eksotropia konstan dapat bervariasi. Lamanya penyakit atau adanya penurunan penglihatan
pada satu mata.
DAFTAR PUSTAKA
23
1. Coats DK, Olitsky SE. Strabismus Surgery and Its Complication. In: Surgically
Important Anatomy. Germany: Springer; 2007. p 3-19.
2. American Academy of Ophthalmology staff. Anatomy of the extraocular muscles and
their fascia. In: American Academy of Ophthalmology staff, editor. Pediatric
ophthalmology and strabismus. Basic and clinical science course. Sec 6. San
Fransisco: The Foundation of American Academy of Ophthalmology; 2005-2006. p.
13-28.
3. Riordan-Eva P. Anatomi dan Embriologi Mata. Dalam: Susanto D, editor. Vaughan &
Asbury Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: EGC, 2009:14
4. Andrew
A.
Anatomy
and
Physiology
of
the
Eye.
Diunduh
dari:
R.
2009.
Eye
Muscles.
Diunduh
dari:
USA:
24
11. Robert P, et all. Optometric Clinical Practice Guideline dalam Care the Patient with:
Strabismus: Esotropia and Exotropia. USA: American Optometric Association. 2011:
8.
12. The Eye M.D Association. Esotropia and Exotropia. USA: American Academy Of
Opthalmology. 2012: 19.
13. Gerhard K. Opthalmology. New York: Department of Opthalmology and University
Eye Hospital Ulm Germany. 2000: 459.
14. David F. Pemeriksaan Oftalmologik Dalam: Susanto D, editor. Vaughan & Asbury
Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: EGC, 2009: 28.
15. Wright KW. Color Atlas of Strabismus Surgery: Strategies and Technique. 3 rd ed.
USA: Springer; 2007. p 42-51.
16. Mohney BG, Huffaker RK. Common forms of childhood exotropia. Ophthalmology;
2003;110:2093 6.
17. Govindan M, Mohney BG, Diehl NN, Burke JP. Incidence and types of childhood
exotropia: a population-based study. Ophthalmology; 2005;112:1048.
18. Yu CB, Fan DS, Wong VW. Changing patterns of strabismus: a decade of experience
in Hong Kong. Br J Ophthalmol; 2002;86:8546.
19. Hutchinson A. Intermittent Exotropia. Ophthalomology Clinics of North America;
2001; 14: 399-406.
20. Nusz KJ, Mohney BG, Diehl NN. The Course of Intermittent Exotropia in a
Population-Based Cohort. Ophthalmology; 2006; 113: 1154-1158.
21. Coffey B, Wick B, Cotter S, Scharre J, Horner D. Treatment Options in Intermittent
Exotropia: A Critical Appraisal. Optometry and Vision Science; 1992; 69: 386-404
25
22. Abroms AD, Mohney BG, Rush DP, Parks MM, Tong PY. Timely Surgery in
Intermittent and Constant Exotropia for Superior Sensory Outcome. Ophthalmology;
2001; 131: 111-116.
23. Coats DK, Olitsky SE. Strabismus Surgery and Its Complication. In: Physiology of
Eye Movements. Germany: Springer; 2007. p 21-25.
24. Wright KW, Siegel PH, Thompson LS. Handbook of Pediatric Strabismus and
Amblyopia. In: Wright KW, editor. Binocular Vision and Introduction to Strabismus.
New York: Springer; 2006. p 70-82.
25. von Noorden GK, Campos EC. Binocular Vision and Ocular Motility: Theory and
Management of Strabismus. 6th ed. St. Louis: Mosby; 2002:356 76.
26. Rutstein RP, Marsh TW, London R. Changes in Refractive Error for Exotropias
Treated with Overminus Lenses. Optom Vis Sci; 1989; 66: 487-91.
27. Freeman RS, Isenberg SJ. The Use of Part-time Occlusion for Early Onset Unilateral
Exotropia. J Pediatr Ophthalmol Strabismus. 1989; 26: 94-6.
28. Nishimura J, Okino L. Outcome Study of Bilateral Lateral Rectus Recession for
Intermittent Exotropia in Children. Trans Am Ophthalmol. 1997; 95: 433-443.
29. Kushner BJ. Selective Surgery for Intermittent Exotropia Based on Distance/Near
Differences. Arch Ophthalmol; 1998; 116: 324-28.
30. Benish R, Flanders M: The Role of Stereopsis and Early Postoperative Alignment in
Long-term Surgical Results of Intermittent Exotropia. Can J Ophthal; 1994; 29:119124
31. Ruttum MS. Initial verses Subsequent Postoperative Motor Alignment in Intermittent
Exotropia. J Am Ass Pediatr Ophthalmol Strabismus; 1997;1:88-91.
26
32. Olitsky SE. Early and Late Postoperative Alignment Following Unilateral Lateral
Rectus Recession for Intermittent Exotropia. J Pediatr Ophthalmol Strabismus;1998;
35: 146-148.
33. Stoller SH, Simon JW, Li ninger LL. Bilateral Lateral Rectus Muscle Recession for
Exotropia: A Survival Analysis. J Pediatr Ophthalmol Strabismus; 1994; 31:89-92.
34. Yildrem C, Mutlu FM, Chen Y, et al: Assessment of Central and Peripheral Fusion
and Near and Distance Stereoacuity in Intermittent Exotropic Patients before and after
Strabismus Surgery. Am J Ophthalmology; 1999; 128:222-230.
27