Anda di halaman 1dari 35

Case Report Session

AMBLIOPIA

Oleh:

Syvianti Renny 1940312107

Yohandoko Jufri 2040312098

Estiayuningtias 2040312064

Preseptor:

dr. Julita, Sp.M(K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA RSUP DR. M. DJAMIL


PADANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga Case Report Session yang
berjudul “Ambliopia” ini dapat penulis selesaikan. Case Report Session ini ditulis
untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis dan pembaca mengenai
Ambliopia, serta menjadi salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik di
bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini, khususnya kepada dr. Julita, Sp.M (K)
sebagai preseptor yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan
saran, perbaikan, dan bimbingan. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat
bagi semua pembaca terutama dalam meningkatkan pemahaman tentang
Ambliopia.

Padang, 22 Oktober 2020

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
DAFTAR GAMBAR 4
BAB 1 PENDAHULUAN 5
1.1 Latar Belakang 5
1.2 Batasan Masalah 6
1.3 Tujuan Penulisan 6
1.4 Metode Penulisan 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 7
2.1 Anatomi dan Fisiologi Mata 7
2.2 Ambliopia 11
2.2.1 Definisi 12
2.2.2 Epidemiologi 12
2.2.3 Etiologi 13
2.2.4 Patofisiologi 14
2.2.5 Klasifikasi 16
2.2.6 Diagnosis 17
2.2.7 Tatalaksana 18
2.2.8 Komplikasi 19
2.2.9 Prognosis 20
BAB 3 LAPORAN KASUS 20
BAB 4 DISKUSI 25
BAB 5 PENUTUP 29
DAFTAR PUSTAKA 30

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 : Struktur Bagian Luar Mata 7


Gambar 2.2 : Otot-Otot Penggerak Bola Mata 8
Gambar 2.3 : Struktur Bagian Dalam Mata 10
Gambar 3.1 : Asimetris refleks Brucner 23
Gambar 4.1 : Reflek Bruckner normal simetris dan Reflek Brukner asimetris mengindikasi
untuk dirujuk 27
Gambar 4.2 : MTI photosceener 27
Gambar 4.3 : Foto skrining dari MTI photosceener yang menunjukan anisotropia 28
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ambliopia atau mata malas merupakan penurunan tajam penglihatan yang telah
dikoreksi dan tidak berkaitan dengan kelainan anatomis atau jalur visual pada mata .
Ambliopia dapat terjadi unilateral atau bilateral (jarang). Klasifikasi ambliopia dibagi ke
dalam beberapa kategori dengan nama yang sesuai dengan penyebabnya yaitu ambliopia
strabismik, refraktif deprivasi.1

Ambliopia atau mata malas adalah kelainan yang tidak berhubungan langsung dengan
kelainan anatomis pada mata berupa penurunan ketajaman visual yang sudah
dikoreksi/BCVA (best-corrected visual acuity) yang hanya mencapai ≤20/30 atau adanya
perbedaan dvisus kedua mata dua baris atau lebih snellen chart. Insiden ambliopia tidak
dipengaruhi jenis kelamin dan ras. Ambliopia tidak dapat sembuh dengan sendirinya.
Ambliopia yang tidak diterapi dapat menyebabkan gangguan penglihatan permanen. Jika
pada mata yang baik timbul suatu penyakit ataupun trauma, maka penderita akan bergantung
pada penglihatan buruk mata yang ambliopia. Hal tersebut mengakibatkan penatalaksanaan
ambliopia harus dilakukan segera.2

Sebagian besar kasus ambliopia dapat dicegah dan bersifat reversibel dengan deteksi
dini dan intervensi yang tepat. Pada umumnya penatalaksanaan ambliopia dilakukan dengan
menghilangkan penyulit, mengkoreksi kelainan refraksi, dan memaksakan penggunaan mata
yang lebih lemah dengan membatasi penggunaan yang lebih baik. Anak dengan ambliopia
atau yang beresiko ambliopia hendaknya dapat diidentifikasi pada umur dini, dimana
prognosis keberhasilan terapi akan lebih baik. 1 Prognosis juga ditentukan oleh jenis
ambliopia dan dalamnya ambliopia saat terapi dimulai. Untuk itu penting bagi dokter di
layanan primer untuk dapat mendeteksi secara dini ambliopia, terutama pada anak agar dapat
mencegah terjadinya ambliopia permanen.3
1.2 Batasan masalah

Makalah ini membahas tentang anatomi dan fisiologi mata, definisi, epidemiologi,
etiologi, patofisiologi, klasifikasi, diagnosis, manifestasi klinis, tatalaksana, prognosis dan
komplikasi ambliopia.

1.3 Tujuan penulisan

Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai


ambliopia.

1.4 Metode penulisan

Makalah ini ditulis menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk pada berbagai
literatur.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Mata

Struktur mata terletak dalam suatu rongga orbita yang berbentuk piramid dengan
puncaknya menuju ke belakang. Rongga orbita terdiri dari 7 tulang yang membentuk dinding
orbita, antara lain Os. frontal dibagian superior, Os. zigomatik, Os. maksila dan Os. palatina
dibagian inferior, Os. maksila, Os. lakrimal dan Os. etmoid dibagian medial, serta Os. frontal,
Os. zigomatik dan Os. sphenoid dibagian lateral. Struktur mata manusia berfungsi utama untuk
memfokuskan cahaya ke retina.1 Bagian-bagian dari mata terlihat pada gambar 2.1 berikut:

Gambar 2.1 Struktur Bagian Luar Mata2

a. Kelopak Mata (Palpebra)


Palpebra atau kelopak mata adalah bagian mata paling luar yang berfungsi melindungi
bola mata dari trauma, serta mengeluarkan sekresi kelenjar berupa tear film di depan kornea
untuk mencegah keringnya bola mata. Bagian anterior palpebra terdiri dari lapisan kulit tipis dan
bagian posterior ditutupi oleh konjungtiva tarsal yang dapat di lihat dengan melakukan eversi
kelopak mata.3
Terdiri dari kelopak mata atas (palpebra superior) dan kelopak mata bawah (palpebra
inferior). Bagian dari kelopak mata adalah kulit yang halus dan tipis yang mudah digerakkan
dari dasarnya.1 Di dalam kelopak mata terdapat beberapa bagian, diantara lain:4

1. Otot (M. orbicularis oculi) yang letaknya melingkar dan berfungsi untuk
mengedipkan mata.
2. Otot levator palpebra (hanya pada kelopak mata atas) dan berfungsi untuk
mengangkat kelopak mata atas sehingga mata dapat membuka dan menutup.
3. Jaringan tulang rawan bersifat elastis (tarsus) yang terletak sepanjang kelopak mata
atas dan bawah. Tarsus sebelah atas lebih lebar dari tarsus sebelah bawah.
4. Di dalam kelopak mata juga terdapat beberapa macam kelenjar yaitu kelenjar
meibom yang terletak dalam tarsus menghasilkan semacam minyak air mata yang
mana merupakan lapisan terluar air mata. Kelenjar lain adalah zeis dan moll yang
bermuara di folikel rambut bulu mata, serta kelenjar wollfring dan krause di forniks.

b. Otot-Otot Penggerak Bola Mata


Otot penggerak bola mata terdiri dari 2 otot oblik (M. oblique superior untuk
menggerakkan bola mata ke arah kanan dan kiri atas, serta M. oblique inferior untuk
menggerakkan bola mata ke arah kanan dan kiri bawah) yang berorigo pada sklera bagian
lateral di belakang ekuator, dan 4 otot rektus (M. rectus superior untuk menggerakkan bola
mata ke atas, M. rectus inferior untuk menggerakkan bola mata ke bawah, M. rectus medial
untuk menggerakkan bola mata ke arah nasal, dan M. rectus lateral untuk menggerakkan bola
mata ke arah temporal) yang berorigo pada sklera didepan ekuator.1

Gambar 2.2 Otot-Otot Penggerak Bola Mata1

c. Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran mukosa yang tipis dan transparan dan terdiri dari 3
bagian yaitu : konjungtiva tarsal, konjungtiva forniks dan konjungtiva bulbi. Konjungtiva tarsal
melapisi dan melekat dengan erat pada permukaan dalam kelopak mata. Konjungtiva ini akan
membelok dan membentuk lipatan-lipatan yang disebut sebagai konjungtiva forniks.
Selanjutnya konjungtiva akan beralih menjadi konjungtiva bulbi yang melekat longgar di
permukaan depan sklera dan berakhir di perbatasan sklera dan kornea (daerah limbus).5
d. Kornea
Merupakan bagian terdepan dari bola mata yang bentuknya menyerupai mangkuk dan
transparan karena tidak mengandung pembuluh darah. Kornea mendapat nutrisi makanan dari
daerah limbus yang mengadung pembuluh darah. Lapisan luar kornea juga mendapat oksigen
dari atmosfir dan lapisan dalam mendapat nutrisi dari cairan aqueous humor di bilik mata
depan.4

Kornea terdiri dari lapisan epitel, membran basal, membran bowman, stroma, membran
descement dan endotel. Epitel merupakan lapisan terluar dari kornea yang berkontak langsung
dengan dunia luar, terdiri dari 5 lapis sel epitel tidak bertanduk, 1 lapis sel basal, sel poligonal,
dan sel gepeng. Membran basal terletak di belakang lapisan epitel. Membran basal dihasilkan
oleh sel basal yang terdapat pada epitel kornea. Membran bowman terdapat dibelakang
membran basal, merupakan jaringan kolagen yang tersusun tidak teratur dan berasal dari bagian
depan stroma. Stroma terdapat di belakang membran bowman, merupakan lapisan paling tebal
yang menyusun kornea, terdiri dari lamel dan keratosit.1

e. Sklera
Sklera adalah lapisan terluar yang membungkus 4/5 bagian bola mata. Terdiri dari
jaringan ikat dan berfungsi sebagai pelindung mata. Sklera kearah belakang akan bersatu dengan
pembungkus saraf optikus.2

f. Uvea
Uvea merupakan lapisan vaskular didalam bola mata yang terdiri dari iris, badan siliar dan
koroid. Iris dan uvea terletak di bagian anterior sedangkan koroid terletak di anterior hingga
posterior. Perdarahan uvea dibedakan menjadi perdarahan uvea anterior (arteri sirkularis mayor)
dan uvea posterior (arteri siliar posterior brevis).1

Uvea erada di bagian tengah bola mata dan terdiri dari 3 bagian yaitu : iris, badan siliar,
dan koroid. Iris merupakan jaringan uvea depan yang permukaannya tidak merata dan
mempunyai kripti-kripti. Iris mengandung pigmen yang mewarnai mata seseorang (biru, coklat,
abu-abu). Bagian tengah iris yang merupakan celah bulat disebut pupil. Pada iris terdapat 2
macam otot yaitu otot sphincter pupil yang dipersarafi parasimpatis untuk mengecilkan pupil
(miosis) dan otot dilatator pupilae yang dipersarafi simpatis untuk melebarkan pupil (midriasis).
Ke arah belakang, iris akan menjadi badan siliar yang berbentuk segitiga. Badan siliar berfungsi
memproduksi cairan bola mata (aqueous humor) dan menjadi tempat melekatnya tali
penggantung lensa (zonula zinii).6
g. Lensa
Terletak di belakang iris dan pupil berbentuk cembung (bikonveks), tidak mengandung
pembuluh darah (avaskular), tidak berwarna dengan tebal ± 4 mm dan diameter ±9 mm. Lensa
tetap berada pada tempatnya karena digantung oleh tali penggantung lensa (zonula zinii) yang
merupakan serabut-serabut berasal dari badan siliar dan berinsersi di lensa pada daerah equator.
Lensa mendapat nutrisi dari cairan bola mata (aqueous humor). Sebagian besar terdiri dari air
dan sisaya terdiri dari protein.3

Lensa terdiri dari kapsul yang membungkus lensa. Sebelah dalam kapsul terdapat korteks
dan ditengahnya terdapat nukleus. Serabut lensa diproduksi sepanjang tahun, sehingga serabut
yang lebih dulu terbentuk akan memadat di daerah sentral membentuk nukleus. Makin tua
seseorang, lensa semakin tebal dan kekenyalannya berkurang. Lensa merupakan bagian bola
mata yang mempunyai fungsi sebagai media refraksi (bias). Untuk dapat menjadi media refraksi
yang baik lensa harus jernih. Pada usia muda lensa mempunyai kekenyalan tertentu yaitu dapat
mencembung (daya bias meningkat) atau memipih (daya bias menurun), sehingga mata dapat
melihat benda yang jatuh maupun yang dekat dengan jelas. Kemampuan ini yang kita kenal
dengan daya akomodasi. Lensa mempunyai kekuatan kira- kira ± 10 D dalam keadaan tanpa
akomodasi.1

Gambar 2.3 Struktur Bagian Dalam Mata6

h. Aqueous Humor
Salah satu hal yag mempertahankan bentuk bola mata ialah adanya tekanan bola mata yang
lebih besar dari tekanan atmosfer yang diperankan oleh adanya cairan bola mata (aqueous
humor) di dalam mata. Nilai normalnya berkisar atara 10 – 21 mmHg dan nilai ini
dipertahankan karena adanya keseimbangan antara produksi aqueous dan aliran keluar. Cairan
bola mata ini diproduksi oleh badan siliar. Cairan ini akan mengalir ke bilik mata belakang
melalui celah lensa dan iris menuju pupil dan bilik mata depan (ruang di antara kornea dan
iris). Setelah melalui bilik mata depan akan masuk ke anyaman Trabekula, ke kanal
Schlemm, ke kanal kolektor dan akhirnya masuk ke sistem vena. Jika aliran aqueous terhambat
maka tekanan bola mata akan meningkat dan timbul penyakit yang disebut Glaukoma.6

i. Korpus Vitreus
Korpus vitreus merupakan jaringan avaskular dan aseluler yang terletak antara lensa
dengan retina. Bagian anterior korpus viterus menempel pada lensa dan badan siliar, sedangkan
pada bagian posterior korpus vitreus menempel pada papil saraf optik, makula dan pars plana.
Korpus vitreus mengandung 90% air sehingga tidak dapat lagi menyerap air.6

j. Retina

Retina melapisi 2/3 bagian dalam posterior bola mata. Retina terdiri dari lapisan jaringan
saraf (sensoris retina) dan jaringan pigmen retina. Secara histologis, retina terdiri dari 9 lapisan.
Tebal retina 0.1 mm di daerah tepi dan 0,23 mm di bagian polus posterior. Bagian yang paling
tipis berada di fovea sentralis yaitu bagian sentral makula. Pada pemeriksaan oftalmoskop akan
tampak refleks fovea sentralis berbintik kuning (makula lutea). 1 Sistem optik dari luar berakhir
sampai di retina (lapisan sel kerucut dan batang). Selanjutnya cahaya tersebut akan diolah secara
kimiawi, tenaga elektris dan akan dikirim ke otak untuk dianalisa. Sel kerucut terutama berguna
untuk penglihatan detail dan warna, dan terutama terdapat di makula, bahkan di fovea hanya
mengandung sel kerucut. Daerah fovea inilah yang meberikan tajam penglihatan terbaik. Sel
batang yang terutama berada di luar makula berfungsi untuk penglihatan gelap atau untuk
penglihatan benda yang bergerak.7

Ambliopia

2.1.1 Definisi

Ambilopia berasal dari bahasa Yunani yaitu amblyos (tumpul) dan opia (penglihatan).
Dikenal juga dengan “lazy eye” atau “mata malas”. Ambliopia atau mata malas adalah kelainan
yang tidak berhubungan langsung dengan kelainan anatomis pada mata berupa penurunan
ketajaman visual yang sudah dikoreksi/BCVA (best-corrected visual acuity) yang hanya
mencapai ≤20/30 atau adanya perbedaan dvisus kedua mata dua baris atau lebih snellen chart.8
Ambliopia merupakan penyebab paling sering terjadinya penurunan visus unilateral yang
dimulai pada masa kanak-kanak dan lebih sering menyebabkan penurunan visus dibandingkan
dengan trauma dan penyakit mata lainnya.1 Penyakit ini diperkirakan berhubungan dengan
terganggunya perkembangan sistem visual yang menyebabkan perubahan histologis pada lateral
geniculate body (LGB). Bayangan yang kabur (pattern distortion) dan supresi pada mata yang
ambliopik (cortical distortion) akan menyebabkan otak hanya merespon stimulus dari mata yang
sehat.8

2.1.2 Epidemiologi

Angka kejadian ambliopia diperkirakan mencapai 1,75% dari seluruh penduduk di dunia.
Prevalensi ambliopia di Amerika Serikat sulit untuk ditaksir dan berbeda pada tiap literatur,
berkisar antara 1 – 3,5 % pada anak yang sehat sampai 4 – 5,3 % pada anak dengan problema
mata. Hampir seluruh data mengatakan sekitar 2 % dari keseluruhan populasi menderita
ambliopia. Sampai saat ini masih belum ada data kejadian ambliopia di Indonesia, namun di
DKI Jakarta, diperkirakan kejadian ambliopia pada anak sekolah dasar mencapai 2,7% yang
92,2% di antaranya disebabkan oleh keadaan ametropia (baik anisometropia maupun
isoametropia) dan 7,8% disebabkan oleh strabismus.9

Tidak ada perbedaan insidensi berdasarkan jenis kelamin dan ras. Usia terjadinya
ambliopia yaitu pada periode kritis dari perkembangan mata. Resiko meningkat pada anak yang
perkembangannya terlambat, prematur dan/atau dijumpai adanya riwayat keluarga ambliopia.4

2.1.3 Etiologi

Ambliopia terjadi akibat beberapa gangguan pada tahap perkembangan penglihatan,


diantaranya:

a. Strabismus
Strabismus adalah suatu kelainan mata dimana visual axis dari kedua mata tidak mengarah
secara bersamaan kepada titik fiksasi. Penurunan tajam penglihatan pada ambliopia strabismik
disebabkan karena mata yang juling cenderung mengalami supresi, yang berakibat
berkurangnya penggunaan fovea.10

Jenis Klasifikasi strabismus dibagi menjadi 4 yaitu :5

1. Esotropia. Keadaan strabismus, yakni juling ke dalam atau strabismus konvergen,


dimana sumbu penglihatan mengarah ke arah nasal.
2. Eksotropia. Keadaan strabismus, yakni juling ke luar atau strabismus divergen
dimana sumbu penglihatan kearah temporal.
3. Hipertropia. Keadan strabismus, dimana salah satu bola mata normal, sedangkan bola
mata yang lain bergulir kearah atas, atau seakan - akan salah satu mata melihat kearah
alis atau rambut.
4. Hipotropia. Keadan strabismus, dimana salah satu bola mata normal, sedangkan
bola mata yang lain bergulir ke arah bawah, atau seakan - akan melihat kearah mulut.
Ambliopia strabismik diduga disebabkan karena kompetisi atau terhambatnya interaksi
antara neuron yang membawa input yang tidak menyatu (fusi) dari kedua mata, yang akhirnya
akan terjadi dominasi pusat penglihatan kortikal oleh mata yang berfiksasi dan lama kelamaan
terjadi penurunan respon terhadap input dari mata yang tidak berfiksasi.10

b. Gangguan Refraksi

Ambliopia dapat disebabkan oleh kelainan refraksi, yaitu keadaan yang disebabkan karena
bayangan objek tidak jatuh tepat di retina, meliputi isoametropia dan anisometropia. Ambliopia
isomaetropik adalah kelainan refraksi pada kedua mata yang besar namun cenderung seimbang
antara kiri-dan kanan, yang biasanya menyebabkan ambliopia bilateral. Sedangkan ambliopia
anisometropik merupakan ambliopia yang diakibatkan karena adanya kesenjangan status
refraksi antara kedua mata penderita, yang menyebabkan bayangan yang jatuh pada fovea mata
yang mengalami kelainan tidak fokus. Anisometropia merupakan penyebab ambliopia yang
sering ditemukan.5

c. Deprivasi Penglihatan
Ambliopia deprivasi terjadi karena adanya kelainan pada mata yang menyebabkan
obstruksi pada jaras visual dan menghasilkan bayangan yang jatuh tidak tegas pada retina.
Terjadi hambatan sinar masuk ke dalam mata pada ambliopia deprivasi. Penyebab utama
terjadinya ambliopia deprivasi adalah katarak kongenital, ptosis kongenital dan opasitas pada
kornea. Pada katarak, axis visual menutup saat periode visual experience. Gangguan ambliopia
deprivatif jika tidak ditangani dengan cepat maka prognosisnya akan buruk.1

2.1.4 Patofisiologi

Pada umumnya ambliopia disebabkan karena adanya kelainan pada pusat visual, dan
sistem visual perifer masih normal. Sistem visual aferen pada manusia terdiri atas empat elemen
neuron. Kelainan pada lateral geniculate body (LGB) ditemukan pada penderita ambliopia.4

Ambliopia dapat terjadi karena dua mekanisme, yaitu pattern distortion yang merupakan
bayangan yang kabur di retina dan cortical distortion, yaitu supresi yang berkelanjutan pada
salah satu mata. Kedua mekanisme ini dapat terjadi secara independen atau pun bersamaan.
Pattern distortion terjadi pada kasus dengan bayangan kabur pada kedua mata tanpa adanya
strabismus, meliputi kelainan refraksi isoametropik serta katarak kongenital bilateral. Supresi
pada area V1 dapat ditimbulkan akibat kurangnya stimulus visual atau hadirnya faktor
ambliogenik yang dapat menyebabkan penurunan progresif tajam penglihatan. Penurunan tajam
penglihatan ini akan terus memburuk hingga akhir masa perkembangan visual, yaitu pada usia 6-
8 tahun.11

Gambar binokuler yang abnormal (strabismik) dapat menyebabkan supresi pada bayangan
dari mata yang mengalami deviasi, yang juga dapat menyebabkan penurunan Best Corrected
Visual Acuity (BCVA). Otak dengan sengaja mengabaikan bayangan yang diterima oleh mata
yang berdeviasi untuk menghindari terjadinya diplopia.4

2.7. Klasifikasi

a. Ambliopia Strabismik

Penurunan tajam penglihatan pada ambliopia strabismik disebabkan karena mata yang
juling cenderung mengalami supresi, yang berakibat berkurangnya penggunaan fovea.
Ambliopia strabismik terjadi apabila strabismus terjadi secara konstan dan lebih sering
ditemukan pada esotropia, serta derajatnya sering kali lebih berat dibandingkan dengan
ambliopia yang terjadi pada eksotropia. 10 Esotropia atau eksotropia pada seorang anak
menyebabkan penglihatan ganda. Anak dengan cepat belajar untuk menekan bayangan pada
mata yang mengalami deviasi dan belajar melihat normal hanya dengan satu mata.12

Penglihatan tidak berkembang pada mata yang tidak digunakan (kecuali jika mata yang
normal ditutup, sehingga memaksa anak menggunakan mata yang berdeviasi) penglihatan tidak
akan terbentuk pada mata tersebut. Anak akan tumbuh dengan satu mata normal yang pada
dasarnya buta karena mata tersebut tidak membentuk hubungan fungsional dengan pusat-pusat
penglihatan di otak.12

b. Ambliopia Refraktif

Ambliopia juga dapat disebabkan karena kelainan refraksi, yaitu keadaan yang
disebabkan karena bayangan objek tidak jatuh tepat di retina, meliputi isometropia dan
anisometropia. Ambliopia anisometropia merupakan jenis ambliopia terbanyak kedua setelah
ambliopia strabismus.12 Ambliopia ini terjadi akibat perbedaan refraksi kedua mata yang terlalu
besar atau lebih dari 1.5 D untuk anisohiperopia, 2.00 D untuk anisoastigmatism, dan 3.00 D
untuk anisomiopia. Semakin tinggi koreksi refraksi maka semakin besar resiko untuk terjadinya
ambliopia. Mata anak dengan ambliopia biasanya terlihat normal pada keluarga dan tenaga
layanan primer, ini bisa menyebabkan lambat terdeteksi dan penanganan. (AAO,2020)

Astigmatisme yang tidak dikoreksi dapat mempengaruhi kemandirian dan kualitas hidup
penderita, meskipun derajat astigmatismenya hanya 1.00 D. Astigmatisme dapat menyebabkan
ambliopia jika kelainan yang diderita mencapai ≥2.50 D pada astigmatisme isoametropik, atau
≥1.50 D pada astigmatisme anisometropik. Risiko astigmatisme pada penderita miopia 4,6 kali
lebih besar dibandingkan pada mata normal. Astigmatisme merupakan kondisi keadaan
bayangan benda yang tidak jatuh di satu titik, melainkan beberapa titik yang disebabkan karena
ketidakrataan pada permukaan kornea atau lensa.15

Pada ambliopia isometropi, visus turun bilateral walaupun sudah dikoreksi maksimal.
Faktor risiko terjadinya ambiopia isometropik, yaitu jika hyperopia lebih dari 4.00 – 5.00 D dan
myopia lebih 5.00 – 6.00 D.(AAO,2020) Jika hyperopianya hanya 1-2 D maka masih bisa
dikompensasi dengan akomodasi, jadi tidak sampai menyebabkan amblyopia.1,12 Kelainan
refraksi, terutama hipermetropia dan astigmatisme yang berat, merupakan faktor ambliogenik
yang cukup berpengaruh.10 astigmatisme bilateral yang tinggi mungkin bisa menyebabkan
hilangnya kemampuan untuk perbaikan meridian yang kabur secara kronik. Kebanyakan dokter
mata merekomendasi koreksi untuk mata dengan silindris lebih dari 2.00 – 3.00 D.(AAO,2020)

c. Ambliopia Deprivasi

Ambliopia deprivasi dilaporkan mengenai <3% dari seluruh penderita ambliopia.


Ambliopia deprivasi sering disebabkan oleh kekeruhan media kongenital atau dini yang akan
menyebabkan terjadinya penurunan pembentukan bayangan yang akhirnya menimbulkan
ambliopia. Bentuk ambliopia ini merupakan yang paling parah dan sulit diperbaiki.7

Pasien dengan ambliopia deprivasi dapat memiliki mata yang sehat atau dengan kondisi penyerta,
seperti mikroftalmus, koloboma, hipoplasia nervus optikus, atau abnormalitas retina. Hal yang
sulit untuk menentukan apakah kehilangan penglihatan disebabkan oleh ambliopia deprivasi atau
kondisi penyerta pada mata. Etiologi yang paling sering dilaporkan adalah katarak kongenital
atau infantil unilateral. Ambliopia deprivasi karena katarak berlanjut sampai katarak diangkat dan
koreksi optik dilakukan. Bahkan setelah koreksi optik dilakukan, mata yang terkena ambliopia
dapat berlanjut menjadi anisometropi dan anisekonik. Onset penyakit yang terjadi di waktu dini
dipercaya membuat ambliopia tipe ini parah dan resisten terhadap pengobatan.13

2.2.4 Diagnosis
Ambliopia didiagnosis ketika penurunan ketajaman penglihatan tidak disebabkan oleh
kelainan anatomi mata serta ditemukan adanya faktor ambliopia. Diagnosis ambliopia biasanya
bergantung pada observasi dan keluhan yang disampaikan orang tua. Kebanyakan orang tua
akan mengeluhkan kondisi penyebab ambliopia, seperti strabismus atau ptosis, tanpa menyadari
bahwa sudah terjadi ambliopia. 1 Ambliopia organik harus dibedakan dengan ambliopia
fungsional. Ambliopia organik adalah keadaan menurunnya visus yang disebabkan karena
kelainan struktural pada mata atau bagian otak yang mengatur masukan sensoris.13

Pada anamnesis dapat diketahui berbagai faktor risiko dan gejala klinis dari ambliopia.
Saat anamnesis, ditanyakan kepada orang tua pasien mengenai riwayat prenatal, kelahiran dan
perkembangan secara rinci, di antaranya kebiasaan menutup salah satu mata, kesulitan untuk
melihat secara tiga dimensi, defisit preseptual, serta kesulitan belajar di sekolah. Selanjutnya
pada pemeriksaan fisik dilakukan inspeksi pada mata dengan memperhatikan apakah strabismus
yang terjadi konstan atau intermiten. Lensa prisma dapat digunakan untuk menilai besar deviasi
mata pada strabismus. Pemeriksaan pada segmen anterior dilakukan untuk mencari kelainan
opasitas pada mata.13

Pada pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan dengan menggunakan snellen chart. Jika
tidak terdapat perbaikan tajam penglihatan menggunakan lensa atau kacamata pinhole, kejadian
ambliopia harus dicurigai.11 Seseorang dikatakan menderita ambliopia jika mata yang terdapat
perbedaan minimal dua baris tajam penglihatan atau mata yang bermasalah tidak bisa mencapai
20/20, walaupun sudah dikoreksi. Pemeriksaan dengan snellen chart juga dapat mendeteksi
adanya crowding phenomenon (ketidakmampuan untuk mengenali objek yang berada dalam
objek-objek berkelompok) yang merupakan tanda khas amblopia. Pemeriksaan dilakukan
dengan menggunakan snellen chart yang hurufnya dibuka satu- persatu, lalu pemeriksaan
diulang dan penderita diminta untuk melihat sebaris huruf yang sama. Seseorang dikatakan
mengalami crowding phenomenon jika hasil pemeriksaan kedua menunjukan penurunan tajam
penglihatan dari pemeriksaan pertama.10

Adanya perbedaan refleks fundus pada kedua mata menandakan adanya strabismus, defek pada
media refraksi, atau kelainan warna fundus intraokuler. Berkurangnya fungsi stereopsis
merupakan defisit yang paling sering ditemukan pada penderita ambliopia. Hal ini disebabkan
karena visus didominasi oleh mata yang lebih dominan.10 Untuk mengetahui fungsi stereopsis
dapat dilakukan uji TNO (The Netherlands Organisation), yaitu pemeriksaan dengan
menggunakan kacamata hijau-merah yang berfungsi untuk membedakan objek yang terlihat oleh
kedua mata. Uji TNO dapat dilakukan di fasilitas kesehatan primer dan dapat dilakukan pada
anak sejak usia dini.40 Uji TNO dirancang untuk menskrining anak usia 2 ½ sampai 5 tahun
untuk mendeteksi adanya gangguan penglihatan binokuler.14 Deteksi dini ambliopia
adalah dengan melakukan skrining yang dimulai sejak usia dini, dengan melakukan beberapa
pemeriksaan sesuai dengan usia anak tersebut. The American Optometric Association (AOA)
menganjurkan dilakukannya pemeriksaan rutin pada bayi usia 6 dan 12 bulan, terutama pada
bayi dengan faktor risiko.11

2.2.4 Tatalaksana

Prinsip tatalaksana kasus ambliopia yaitu eliminasi penghalang fisik di jalur penglihatan,
koreksi kelainan refraksi, serta tatalaksana untuk mata yang strabismik. Pada ambliopia
strabismik dapat ditatalaksana dengan empat cara, yaitu dengan oklusi total, oklusi parsial,
farmakologik dan kombinasi dari ketiganya. Cara yang paling efektif yaitu dengan gabungan
koreksi refraksi dan oklusi. Terapi oklusi atau patching, yaitu menutup mata pasien yang
penglihatannya baik atau dengan tetes atropine pada mata yang baik.14 Oklusi parsial dilakukan
pada pasien dengan ambliopia strabismik yang ringan atau pada pasien dengan usia yang masih
kecil selama maksimal enam jam per hari. Jika oklusi parsial dua jam per hari tidak memberikan
efek pada terapi, maka perbaikan pada mata yang ambliopik tercapai dari peningkatan dosis
menjadi enam jam per hari. Oklusi dengan menggunakan atropin 1% bertujuan untuk
menurunkan fungsi akomodasi pada mata yang sehat, sehingga visusnya menjadi lebih buruk
dibandingkan dengan mata yang lainnya, proses ini disebut dengan penalization.15

Lensa korektif digunakan untuk menangani ambliopia yang disebabkan karena kelainan
refraksi, yang ditentukan dengan menggunankan agen sikloplegik. Pada penderita ambliopia
refraktif bilateral, penggunaan lensa korektif tanpa tatalaksana tambahan dapat memperbaiki
ketajaman visual dan sferikal pada anak usia 3-8 tahun. 16 Pada ambliopia refraktif unilateral,
dengan dilakukan koreksi menggunakan lensa dapat memperbaiki ketajaman penglihatan.
Ambliopia anisometropik dan isometropik akan sangat membaik walau hanya dengan koreksi
kacamata selama beberapa bulan.1 Oklusi dilakukan jika terapi dengan koreksi lensa telah
dilakukan untuk beberapa waktu dan tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan.12

Koreksi lensa harus segera diberikan terhadap anak yang telah menjalani operasi katarak
untuk mengurangi risiko terjadinya deprivasi visual yang berkelanjutan. Katarak kongenital
yang menyebabkan ambliopia harus segera dilakukan operasi. Operasi katarak unilateral
sebaiknya dilakukan sebelum usia enam minggu, dan katarak bilateral sebelum usia 10 minggu.
Pada kasus ambliopia yang disebabkan karena ptosis, dapat dilakukan operasi untuk
memperbaiki sumbu visual dan estetika, dengan beberapa pertimbangan, yaitu fungsi levator
(sulit untuk kasus dengan kemampuan elevasi <3mm), dengan tetap mempertimbangkan agar
tidak terjadi lagophthalmos.17

Terapi farmakologi dilakukan pada kasus ambliopia strabismik berat dengan


menggunakan levodopa sebagai pekursor dopamin yang merupakan neurotransmitter pada jalur
visual. Penggunaan levodopa dan carbidopa menunjukkan perbaikan dan mempertahakan
ketajaman penglihatan, mencapai 2 atau lebih baris chart, terutama pada penderita berusia di
bawah 8 tahun.17

Tatalaksana ambliopia dianggap berhasil berdasarkan beberapa kriteria, yaitu; perbaikan


BCVA, menilai residu ambliopia di antara kedua mata, dan menghitung proporsi kelainan
ambliopia yang sudah terkoreksi. Pemantauan harus dilakukan selama dan setelah pengobatan
ambliopia untuk mencegah terjadinya rekurensi.14

2.2.5 Komplikasi

Komplikasi utama jika ambliopia tidak ditatalaksana segera adalah kebutaan. Semua
bentuk penatalaksanaan ambliopia memungkinkan untuk terjadinya ambliopia pada mata yang
baik. Oklusi full-time adalah yang paling berisiko tinggi dan harus dipantau dengan ketat
terutama pada anak balita. Follow-up pertama setelah pemberian oklusi dilakukan setelah 1
minggu pada bayi dan 1 minggu per tahun usia pada anak (misalnya : 4 minggu untuk anak usia
4 tahun).18

Oklusi part-time dan degradasi optikal, observasinya tidak perlu sesering oklusi full- time
tapi follow-up reguler tetap penting. Hasil akhir terapi ambliopia unilateral adalah terbentuknya
kembali fiksasi alternat. Semakin berat ambliopia dan usia lebih tua membutuhkan
penatalaksanaan yang lebih lama. Oklusi full-time pada bayi dan balita dapat memberi perbaikan
ambliopia strabismik berat dalam 1 minggu atau kurang. Sebaliknya, anak yang lebih berumur
yang memakai penutup hanya seusai sekolah dan pada akhir minggu saja membutuhkan waktu
1 tahun atau lebih untuk dapat berhasil. Komplikasi dari terapi oklusi mencakup ambliopia pada
mata yang ditutup, alergi kulit, infeksi atau abrasi kornea karena pemakaian lensa kontak,
diplopia, dan stres psikologis.15

2.2.6 Prognosis

Sebagian besar kasus ambliopia menunjukkan adanya perbaikan tajam penglihatan dengan
terapi yang sesuai. Pasien dengan ambliopia strabismik memiliki prognosis yang lebih baik.
Terapi ambliopia memiliki efek terbaik jika dilakukan pada usia yang lebih muda. Semakin
muda usia seorang pasien saat terjadi ambliopia dan semakin lambat intervensi yang diberikan,
semakin buruk prognosis ambliopia.19

Pada ambliopia refraktif, koreksi kelainan refraksi dan patching memperbaiki tajam
penglihatan secara signifikan, yaitu mencapai dua baris atau lebih snellen chart pada 88%
pasien. Pada umumnya ambliopia bilateral memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan
dengan ambliopia unilateral, begitu pula dengan ambliopia miopik dibandingkan dengan
ambliopia hipermetropik. Setelah 1 tahun, 73% pasien menunjukkan perbaikan setelah
percobaan pertama terapi oklusi setelah 1 tahun. Pasien dengan anisometrop tinggi dan pasien
dengan kelainan organik memiliki prognosis yang lebih buruk.20
BAB 3 LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. A
Umur : 5 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Tidak bekerja
Alamat : Pasaman

Kunjungan : 20 Oktober 2020

2. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Pasien datang ke RSUP.Dr.M.Djamil padang karena rujukan dari dokter
umum tempat tinggal pasien yang diduga terjadi penurunan penglihatan pada mata
kiri pasien saat pemeriksaan skiring. Ibunya tidak mengetahui adanya permasalahan
pada penglihatan anaknya dan pertumbuhan dan perkembangan pasien tidak terdapat
kelainan.
Riwayat Penyakit Sekarang
 Penurunan ketajaman penglihatan pada mata kiri saat pemeriksaan skrining
 Penglihatan ganda (-), mata merah (-), nyeri pada bola mata (-), riwayat
trauma disangkal
 Gangguan penglihatan sebelumnya disangkal
 Riwayat operasi mata disangkal
 Nyeri kepala hebat disertai mual muntal (-)

20
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat penyakit jantung, hipertensi, diabetes melitus dan gangguan
pembekuan darah disangkal oleh penderita.
 Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya.
 Pasien tidak pernah operasi mata sebelumnya.
 Belum ada diobati penyakit ini sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak terdapat anggota keluarga lainnya yang mengeluhkan penyakit seperti ini
dan mata juling sebelumnya

Riwayat Alergi
 Riwayat alergi obat dan makanan disangkal oleh penderita

3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 79x/menit
Respirasi : 19x/menit

BB/TB : 20 kg/114 cm

IMT : Normoweight

Suhu badan (aksila) : 37,5 oC


Kepala : tidak ada kelainan
Thoraks : jantung, paru dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas : akral hangat, tidak ada kelainan
Pemeriksaan Mata
- Inspeksi :
o OD: Dalam batas normal
o OS : Edema Palpebra (-), Hiperemi Palpebra (-), Injeksi Konjungtiva (-), Injeksi
Siliar (-), Ulkus Kornea (-), Hipopion (-), Pupil: Refleks Cahaya (-)
- Palpasi :
o OD: Nyeri tekan (-), benjolan (-), tekanan intra okuler digital normal.
o OS: Nyeri tekan (-), benjolan (-), tekanan intra okuler digital normal.

Pemeriksaan Khusus (Status Oftalmikus)


OCULUS DEXTRA OCULUS SINISTRA
VISUS TANPA 20/30 20/160
KOREKSI
VISUS DENGAN +0.75 +0.50 x 090 = 20/20- +2.75 +1.75 x 105 = 20/70-1
KOREKSI 1
PERGERAKAN
BOLA MATA Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah

SILIA Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan


PALPEBRA Dalam batas normal Dalam batas normal
Injeksi konjungtiva
CONJUNGTIVA Injeksi konjungtiva (-),
injeksi siliar (-), sekret (-) Siliar (-), sekret (-)
(-), Injeksi
SCLERA Tidak ada kelainan, warna Tidak ada kelainan, warna putih
putih
Cornea Jernih Jernih
Lensa Bening Bening
KORPUS VITREUM Jernih Jernih
Fundus :
- Media Bening Bening
- Papil optikus Bulat, batas tegas, C/D Bulat, batas tegas, C/D 0,3-0,4
0,3-0,4
- Makula Refleks fovea (+) Refleks fovea (+)
- aa/vv retina 2:3 2:3
- Retina Perdarahan (-), eksudat (- Perdarahan (-), eksudat (-)
)
TEKANAN BULBUS Normal palpasi Normal Palspasi
OKULI
CAMERA OCULI
Dalam Dalam
ANTERIOR
IRIS Coklat, rugae (+) Coklat, rugae (+)
PUPIL Bulat, central, regular, RP Bulat, central, regular, RP (+)
(+)

Gambar 3.1. Asimetris refleks Brucner


4. RESUME
Seorang laki-laki, 5 tahun, rujukan dari Puskesmas Pasaman datang ke
Instalasi gawat darurat mata RSUP. Dr.MDjamil Padang dengan keluhan mata kiri
terjadi penurunan tajam penglihatan saat pemeriksaan skirining dilayanan primer.
mata merah dan gatal (-) OS, penurunan penglihatan (+) OS, mata berair (-), sekret
(-), gatal (-), nyeri kepala (-), mual/muntah (-).
Tidak terdapat riwayat penyakit kelainan mata sebelumnya, riwayat anggota
keluarga dengan keluhan yang sama disangkal, riwayat operasi mata juga disangkal.
Pada pemeriksaan oftalmologik didapatkan pada pemeriksaan visus tanpa
koreksi OD:20/30 OS: 20/160 dan dengan koreksi OD: +0.75 +0.50 x 090 = 20/20-1
OS:+2.75 +1.75 x 105 = 20/70-1OD: 6/6, OS: 1/300, pada pemeriksaan lainnya
didapatkan dalam batas normal.
4. Diagnosis Kerja
Anisometropia Ambliopia OS

5. Diagnosis Banding

6. Terapi
Khusus:
- CAMVISION
- Kacamata
Edukasi:
- Memakai kacamata
- Melakukan terapi CAM VISION secara rutin
- Kontrol 1 bulan kemudian untuk melihat perkembangan perbaikan penglihatan pada pasien

7. Prognosis
- Quo ad vitam : bonam
- Quo ad sanationam : bonam
- Quo ad functionam : bonam
BAB 4
DISKUSI

Ambliopia merupakan penyebab utama hilangnya penglihatan yang dapat


dicegah. Pediatric Eye Disease Investigator Group (PEDIG) dalam penelitiannya
menunjukan bahwa anisometropia merupakan faktor yang berkontribusi pada 61% pasien
yang datang untuk evaluasi awal ambliopia dan sekitar 37% menjadi faktor ambliogenik
yang dapat diidentifikasi. Kesalahan refraksi yang tidak seimbang dipercaya menjadi
penyebab terjadinya ambliopia akibat kombinasi dari penglihatan kabur yang kronis dan
adanya inhibisi sentral dalam penyaluran signal penglihatan dari mata yang terkena.
Dalam kasus ini, pasien mengalami anisometropia yang signifikan dengan perbedaan
koreksi hiperopik dan astigmatisme antara kedua mata (ambliopia secara klinis
ditentukan dari adanya perbedaan visus = 2 baris antara kedua mata). Hiperopik
anisometropia lebih ambliogenik dan lebih umum terjadi daripada anisometropia myopia
dan astigmatisme pada anak-anak. Pada kasus ini, pasien menderita anisometropia
hiperopik serta astigmatisme yang berkontribusi pada anisometropianya. American
Academy of Ophthalmology memiliki pedoman Konsensus untuk meresepkan koreksi
kacamata untuk anak-anak dengan anisometropia berdasarkan pada jenis ketajaman visus.

Tabel 1. Adaptasi dari pedoman konsensus American Academy of Ophthalmology


untuk koreksi optik pada anisometropia berdasarkan umur.

Pedoman Konsensus AAO untuk Meresepkan Kacamata pada


Anisometropia berdasarkan Umur
0-1 tahun 1-2 tahun >3 tahun
Miopia ≥ -2.50 ≥ -2.50 ≥ -2.00
Hiperopia ≥ +2.50 ≥ +2.00 ≥ +1.50
Astigmatisme ≥ 2.50 ≥ 2.00 ≥ 2.00
Ambliopia anisometropia dilaporkan terjadi dengan hanya sedikit perbedaan satu
dioptri antara kedua mata. Terapi dengan kacamata telah terbukti meningkatkan
penglihatan ≥ 2 baris snellen chart pada 77 – 93% pasien dengan resolusi total ambliopia
pada 27 – 45%. Efek terapi tampak stabil sekitar 2 bulan. Jika ambliopia berat, dengan
visus 20/100 - 20/400, penambahan terapi farrmakologi dapat ditambahkan. Namun,
pemberian farmakologi harus dipertimbangkan selain penatalaksanaan optik jika pasien
tidak menunjukan perbaikan dengan kacamata saja setelah 3-5 bulan.

Menurut beberapa penelitian, kematangan penglihatan terjadi antara usia 6 dan 9


tahun. Namun, banyak penelitian lain menunjukan respon pengobatan ambliopia terlihat
pada pasien yang lebih tua. Berdasarkan PEIDG melaporkan bahwa ambliopia membaik
dengan koreksi kacamata saja pada sekitar seperempat pasien berusia 7 hingga 17 tahun
dengan 15% pasien membaik saat pertama kali ditatalaksana pada usia remaja.

Faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi adalah kepatuhan pasien terhadap


pemaikaian kacamata pada pasien dengan ambliopia anisometropia. Hal tersebut sangat
sulit terutama pada pasien anak-anak atau usia muda karena mereka sering tidak dapat
melihat perbaikan subjektif dengan kacamata. Diskusi dengan orang tua mengenai
perlunya pemakaian kacamata yang berkelanjutkan dan risiko kekambuhan penting untuk
keberhasilan pengobatan yang dinilai dari pemeriksaan visus yang menurun pada pasien.

Untuk meningkatkan kualitas hidup dan penatalaksaan dini kasus ambliopia, perlu
dilakukan skrining yang efektif terutama pada anak-anak. Skrining yang efektif dan
diagnosis dini adalah masalah kesehatan masyarakat dalam menangani kasus ambliopia
anisometropik karena sering kali terlambat didiagnosis dan visus awal yang memburuk
menandakan tidak efektifnya pengobatan. Penggunaan tes Bruckner merupakan metode
yang mudah dan efektif untuk mendeteksi anisometropia oleh dokter. Upaya skrining skala
besar seperti program Iowa KidsSight menggunakan instrumen seperti penyaringan foto
MTI (Medical Technologies, Inc) telah berhasil mengidentifikasi faktor risiko ambliopia
untuk sebagian besar anak-anak. Metode ini memiliki nilai prediksi positif yang tinggi
untuk anisometropia (96%). Ambliopia terus menjadi masalah kesehatan masyarakat yang
signifikan, mempengaruhi 2% hingga 5% populasi. Ketika didiagnosis dan diobati di awal
kehidupan, kehilangan penglihatan dapat dibalik, yang mendukung kebutuhan untuk
identifikasi awal dan pengobatan anisometropia.

Gambar 4.1. A. Reflek Bruckner normal simetris. B. Reflek Brukner asimetris mengindikasi untuk
dirujuk.

Gambar 4.2. MTI photosceener.


Gambar 4.3. Foto skrining dari MTI photosceener yang menunjukan
anisotropia.
BAB 5
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ambliopia merupakan penurunan visus meskipun dengan koreksi terbaik
ketajaman visual (juga disebut sebagai koreksi ketajaman visual jarak jauh) yang
tidak dapat dikaitkan secara langsung dengan efek dari kelainan struktural dari
mata atau aksis visual. Ambliopia berhubungan dengan terganggunya
perkembangan sistem visual yang menyebabkan perubahan histologis pada lateral
geniculate body (LGB). Bayangan yang kabur (pattern distortion) dan supresi
pada mata yang ambliopik (cortical distortion) akan menyebabkan otak hanya
merespon stimulus dari mata yang sehat.4 Kurangnya stimulus visual pada masa
perkembangan sistem visual (berakhir di usia 7-8 tahun) dapat menyebabkan
penurunan tajam penglihatan secara permanen. Keadaan patologis pada mata yang
menimbulkan ambliopia meliputi strabismus, kelainan refraksi berupa
anisometropia dan isometropia, serta deprivasi visual pada mata seperti katarak
dan ptosis.
Semakin cepat onset faktor ambliogenik atau faktor penyebab terjadinya
ambliopia terjadi, semakin berat derajat ambliopia yang dialami.3 Sangat penting
untuk dilakukannya deteksi dini pada penderita ambliopia untuk mencegah
penurunan tajam penglihatan. Tatalaksana pada penderita ambliopia juga
memiliki prognosis yang lebih baik jika dilakukan pada usia dini. Skrining
ambliopia yang dilakukan pada usia dini dapat menurunkan kejadian ambliopia
hingga empat kali lipat.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology. Pediatric Ophthalmology and


Strabismus. In: American Academy of Ofthalmology, ed Pediatric
Ophthalmology and Strabismus. San Francisco: American Academy of
Ophthalmology; 2014
2. Hoeg T, Moldow B, Ellervik C, Klemp K, Erngaard D, la Cour M, et al.
Danish rural eye study: the association of preschool vision screening with the
prevalence of amblyopia. Acta Ophthalmolica . 2015;93(4):322–9.
3. Heiting, Gary. Amblyopia (Lazy Eye). Tersedia dari: URL: http://
www.allaboutvision.com/conditions/amblyopia.htm
4. Riordan-Eva, P. dan J.P. Whitcher. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum.
Edisi 17. Jakarta: EGC. 2009.
5. Crick R, Khaw P. Squinting eyes (strabismus) disorders of ocular motility. In:
A Textbook of Clinical Science. 3rd ed. Singapore: World Scientific
Publishing Co. Pte. Ltd; 2003. p. 221–5.
6. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata, edisi 5. Jakarta:Badan Penerbit
FKUI;2015. p. 1-296.
7. Amblyopia in Common Eye Conditions Disorders and Diseases. Tersedia
dari: URL: http://www.middleseweye.com/eye_conditions.htm
8. Doshi N, Rodriguez M. Amblyopia. Am Fam Physician. 2007;75(3):361–7.
9. Saputri FE, Tongku Y, Poluan H. Angka kejadian ambliopia pada usia
sekolah di SD Negeri 6 Manado. J e-clinic. 2016;4(2).
10. Wright K. Visual Development and Amblyopia. In: Handbook of Pediatric
Strabismus and Ambloyopia. Springer; 2006.
11. Petroysan T. Amblyopia: the pathophisiology behind it and its treatment. Am
Optom Assoc . 2015;1(2000):1–15.
12. Riordan-Eva P, Whitcher J. Strabismus. In: Vaughan & Asbury Oftalmologi
Umum Edisi 17. EGC; 2008. p. 230–50.
13. Sapkota K, Pirouzian A, Matta N. Prevalence of amblyopia and patterns of
refractive error in the amblyopic children of a tertiary eye care center of
Nepal. Nepal J Opthalmology. 2013;5(1):38–44.

14. Levi D, Knill D, Bavelier D. Stereopsis and amblyopia: a mini-review. Vision


Res . 2015;114:17–30.
15. Taylor K, Elliott S. Interventions for strabismic ambliopia. Cochrane Database
Syst Rev . 2014;18(4).
16. Coats D, Paysse E, SE O, Armsby C. Amblyopia in Children: Classification,
Screening, and Evaluation. UpToDate . 2018.
17. Vyas K, Kim U, North W, Stewart D. Frontalis sling for the treatment of
congenital ptosis . Eplasty. 2016.
18. Kohli P, Bansal R, Soni T, Agrawal A. Amblyopia: it is time to take action.
Indian J od Ophthalmol . 2018;66(9):1374–5.
19. Koo E, Gilbert A, VanderVeen D. Treatment of amblyopia and amblyopia risk
factors based on current evidence. Semin Ophthalmol . 2017;32(1):1–7.
20. Pang Y, Allison C, Frantz K. A prospective pilot study of treatment outcomes
for amblyopia associated with myopic anisometropia. Arch Ophthalmol.
2012;130(5):579–84.

Anda mungkin juga menyukai